SEJARAH ARSITEKTUR INDONESIA (Kadek Ayu

advertisement
SEJARAH ARSITEKTUR INDONESIA
Asitektur Indonesia terdiri dari klasik-tradisional, vernakular dan bangunan baru
kontemporer. Arsitektur klasik-tradisional adalah bangunan yang dibangun oleh zaman kuno.
Arsitektur vernakular juga bentuk lain dari arsitektur tradisional, terutama bangunan rumah
hunian, dengan beberapa penyesuaian membangun oleh beberapa generasi ke generasi.
Arsitektur Baru atau kontemporer lebih banyak menggunakan materi dan teknik konstruksi baru
dan menerima pengaruh dari masa kolonial Belanda ke era pasca kemerdekaan. Pengenalan
semen dan bahan-bahan modern lainnya dan pembangunan dengan pertumbuhan yang cepat
telah menghasilkan hasil yang beragam.
Arsitektur Klasik Indonesia
Ciri khas arsitektur klasik Indonesia dapat dilihat paada bangunan candi dengan struktur
menaranya. Candi Buddha dan Hindu dibangun dari batu, yang dibangun di atas tanah dengan
cirikhas piramida dan dihiasi dengan relief. Secara simbolis, bangunan adalah sebagai
representasi dari Gunung Meru yang legendaris, yang dalam mitologi Hindu-Buddha
diidentifikasi sebagai kediaman para dewa. Candi Buddha Borobudur yang terkenal dari abad ke9 dan Candi Prambanan bagi umat Hindu di Jawa Tengah juga dipenuhi dengan gagasan makro
kosmos yang direpresentasiken dengan sebuah gunung. Di Asia Timur, walau dipengaruhi oleh
budaya India, namun arsitektur Indonesia (nusantara) lebih mengedapankan elemen-elemen
masyarakat lokal, dan lebih tepatnya dengan budaya petani.
Budaya Hindu paling tidak 10 abad telah mempengaruhi kebudayaan Indonesia sebelum
pengaruh Islam datang. Peninggalan arsitektur klasik (Hindu-Buddha) di Indonesia sangat
terbatas untuk beberapa puluhan candi kecuali Pulau Bali yang masih banyak karena faktor
agama penduduk setempat.
Arsitektur vernakular di Indonesia
Arsitektur tradisional dan vernakular di Indonesia berasal dari dua sumber. Pertama
adalah dari tradisi Hindu besar dibawa ke Indonesia dari India melalui Jawa. Yang kedua adalah
arsitektur pribumi asli. Rumah-rumah vernakular yang kebanyakan ditemukan di daerah
pedesaan dibangun dengan menggunakan bahan-bahan alami seperti atap ilalang, bambu,
anyaman bambu, kayu kelapa, dan batu. Bangunan adalah penyesuain sepenuhnya selaras
dengan lingkungan sekitar. Rumah-rumah di pedalaman di Indonesia masih banyak yang
menggunakan bambu, namun dengan seiring dengan proses modernisasi, bangunan-bangunan
bambu ini sedikit demi sedikit diganti dengan bangunan dinding bata.
Arsitektur tradisional di Indonesia
Bangunan vernakular yang tertua di Indonesia saat ini tidak lebih dari sekitar 150 tahun
usianya. Namun dari relief di dinding abad ke-9 di candi Borobudur di Jawa Tengah
mengungkapkan bahwa ada hubungan erat dengan arsitektur rumah vernakular kontemporer
yang ada saat ini. Arsitektur vernakular Indonesia juga mirip dengan yang dapat ditemukan di
seluruh pulau-pulau di Asia Tenggara. Karakteristik utamanya adalah dengan digunakannya
lantai yang ditinggikan (kecuali di Jawa), atap dengan kemiringan tinggi menyerupai pelana dan
penggunaan material dari kayu dan bahan organik tahan lama lainnya.
Pengaruh Islam dalam Arsitektur
Budaya Islam di Indonesia dimulai pada tahun 13 Masehi ketika di Sumatra bagian utara
muncul kerajaan Islam Pasai di 1292. Dua setengah abad kemudian bersama-sama juga dengan
orang-orang Eropa, Islam datang ke Jawa. Islam tidak menyebar ke kawasan Indonesia oleh
kekuatan politik seperti di India atau Turki namun lebih melalui penyebaran budaya. Budaya
Islam pada arsitektur Indonesia dapat dijumpai di masjid-masjid, istana, dan bangunan makam.
Menurunnya kekuatan kerajaan Hindu Majapahit di Jawa menandai bergantinya periode
sejarah di Jawa. Kebudayaan Majapahit tersebut meninggalkan kebesarannya dengan dengan
serangkaian candi-candi monumental sampai abad keempat belas. Meskipun demikian, tidak
berarti bahwa “Zaman Klasik” di Jawa ini kemudian diganti dengan zaman “biadab” dan juga
bukanlah awal dari “Abad Kegelapan”. Selanjutnya kerajaan-kerajaan Islam melanjutkan budaya
lama Majapahit yang mereka adopsi secara jenius. “New Era” selanjutnya menghasilkan ikon
penting seperti masjid-masjid di Demak, Kudus dan Banten pada abad keenam belas. Juga
dengan situs makam Imogiri dan istana-istana Yogyakarta dan Surakarta pada abad kedelapan
belas. Fakta sejarah menunjukkan bahwa Islam tidak memperkenalkan bentuk-bentuk fisik baru
dan ajaran-ajarannyapun diajarkan lebih dalam cara-cara mistis oleh para sufi, atau dengan kata
lain melalui sinkretisme, sayangnya hal inilah yang mempengaruhi ‘gagal’nya Islam sebagai
sebuah sistem baru yang benar-benar tidak menghapuskan warisan Hindu ( lihat Prijotomo,
1988).
Masjid Kudus dengan Gaya Hindu untuk Drum Tower dan Gerbang
Penyebaran Islam secara bertahap di kawasan Indonesia dari abad ke-12 dan seterusnya
dengan memperkenalkan serangkaian penting pengaruh arsitektur. Namun, perubahan dari gaya
lama ke baru yang lebih bersifat ideologis baru kemudian teknologi. Kedatangan Islam tidak
mengarah pada pengenalan bangunan yang sama sekali baru, melainkan melihat dan
menyesuaikan bentuk-bentuk arsitektur yang ada, yang diciptakan kembali atau ditafsirkan
kembali sesuai persyaratan dalam Islam. Menara Kudus, di Jawa Tengah, adalah contoh dalam
kasus ini. Bangunan ini sangat mirip dengan candi dari abad ke-14 di era kerajaan Majapahit,
menara ini diadaptasi untuk kepentingan yang lebih baru dibangun masjid setelah runtuhnya
kerajaan Majapahit. Demikian pula, masjid-masjid di awal perkembangan Islam di Indonesia
murni terinspirasi dari tradisi bangunan local yang ada di Jawa, dan tempat lain di Nusantara,
dengan empat kolom utama yang mendukung atap tengahnya. Dalam kedua budaya ini empat
kolom utama atau Saka Guru mempunyai makna simbolis.
Gaya Belanda dan Hindia Belanda
Pengaruh Barat di mulai jauh sebelum tahun 1509 ketika Marco Polo dari Venesia melintasi
Nusantara di 1292 untuk kegiatan perdagangan. Sejak itu orang-orang Eropa berusaha untuk
merebut kendali atas perdagangan rempah-rempah yang sangat menguntungkan. Portugis dan
Spanyol, dan kemudian Belanda, memperkenalkan arsitektur mereka sendiri dengan cara awal
tetap menggunakan berbagai elemen arsitektur Eropa, namun kemudian dapat beradaptasi
dengan tradisi arsitektur lokal. Namun proses ini bukanlah sekadar satu arah: Belanda kemudian
mengadopsi unsur-unsur arsitektur pribumi untuk menciptakan bentuk yang unik yang dikenal
sebagai arsitektur kolonial Hindia Belanda. Belanda juga sadar dengan mengadopsi arsitektur
dan budaya setempat kedalam arsitektur tropis baru mereka dengan menerapkan bentuk-bentuk
tradisional ke dalam cara-cara modern termasuk bahan bangunan dan teknik konstruksi.
Gereja Blenduk dan Lawang Sewu bangunan, contoh dari arsitektur Belanda
Bangunan kolonial di Indonesia, terutama periode Belanda yang sangat panjang 1602 –
1945 ini sangat menarik untuk menjelajahi bagaimana silang budaya antara barat dan timur
dalam bentuk bangunan, dan juga bagaimana Belanda mengembangkan aklimatisasi bangunan di
daerah tropis. Menurut Sumalyo (1993), arsitektur kolonial Belanda di Indonesia adalah
fenomena budaya unik yang pernah ditemukan di tempat lain maupun di tanah air mereka
sendiri. Bangunan-bangunan tesebut adalah hasil dari budaya campuran kolonial dan budaya di
Indonesia.
Perbedaan konsep Barat dan Indonesia ke dalam arsitektur adalah terletak pada korelasi
antara bangunan dan manusianya. Arsitektur Barat adalah suatu totalitas konstruksi, sementara
itu di Timur lebih bersifat subjektif, yang lebih memilih penampilan luar terutama façade depan.
Kondisi alam antara sub-tropis Belanda dan tropis basah Indonesia juga merupakan
pertimbangan utama bangunan Belanda di Indonesia.
Sebenarnya, Belanda tidak langsung menemukan bentuk yang tepat untuk bangunan
mereka di awal perkembangannya di Indonesia. Selama awal kolonisasi Eropa awal abad 18,
jenis bangunan empat musim secara langsung dicangkokkan Belanda ke iklim tropis Indonesia.
Fasade datar tanpa beranda, jendela besar, atap dengan ventilasi kecil yang biasa terlihat di
bagian tertua kota bertembok Belanda, juga digunakan seperti di Batavia lama (Widodo, J. dan
YC. Wong 2002).
Menurut Sumintardja, (1978) VOC telah memilih Pulau Jawa sebagai pusat kegiatan
perdagangan mereka dan bangunan pertama dibangun di Batavia sebagai benteng Batavia. Di
dalam benteng, dibangun rumah untuk koloni, memiliki bentuk yang sederhana seperti rumah
asli di awal tapi belakangan diganti dengan rumah gaya Barat (untuk kepentingan politis).
Dinding batu bata rumah, mereka mengimpor bahan langsung dari Belanda dan juga dengan atap
genteng dan interior furniture. Rumah-rumah yang menjadi tradisi pertama rumah-rumah tanpa
halaman, dengan bentukan memanjang seperti di Belanda sendiri. Rumah-rumah ini ada dua
lantai, sempit di façade tapi lebar dalam. Rumah tipe ini selanjutnya banyak digunakan oleh
orang-orang cina setelah orang Belanda beralih dengan rumah-rumah besar dengan halaman luas.
Rumah-rumah ini disebut sebagai bentuk landhuizen atau rumah tanpa beranda dalam periode
awal, setelah mendapat aklimatisasi dengan iklim setempat, rumah-rumah ini dilengkapi dengan
beranda depan yang besar seperti di aula pendapa pada bangunan vernakular Jawa.
Pada awalnya, rumah-rumah ini dibangun dengan dua lantai, setelah mengalami gempa
dan juga untuk tujuan efisiensi, kemudian rumah-rumah ini dibangun hanya dalam satu lantai
saja. Tetapi setelah harga tanah menjadi meningkat, rumah-rumah itu kembali dibangun dengan
dua lantai lagi.
Penentuan desain arsitektur menjadi lebih formal dan ditingkatkan setelah pembentukan
profesi Arsitek pertama di bawah Dinas Pekerjaan Umum (BOW) pada 1814-1930. Sekitar tahun
1920-an 1930-an, perdebatan tentang masalah identitas Indonesia dan karakter tropis sangat
intensif, tidak hanya di kalangan akademis tetapi juga dalam praktek. Beberapa arsitek Belanda,
seperti Thomas Karsten, Maclaine Pont, Thomas Nix, CP Wolf Schoemaker, dan banyak
lainnya, terlibat dalam wacana sangat produktif baik dalam akademik dan praksis. Bagian yang
paling menarik dalam perkembangan Arsitektur modern di Indonesia adalah periode sekitar
1930-an, ketika beberapa arsitek Belanda dan akademisi mengembangkan sebuah wacana baru
yang dikenal sebagai “Indisch-Tropisch” yaitu gaya arsitektur dan urbanisme di Indonesia yang
dipengaruhi Belanda
Tipologi dari arsitektur kolonial Belanda; hampir bangunan besar luar koridor yang
memiliki fungsi ganda sebagai ruang perantara dan penyangga dari sinar matahari langsung dan
lebih besar atap dengan kemiringan yang lebih tinggi dan kadang-kadang dibangun oleh dua
lapis dengan ruang yang digunakan untuk ventilasi panas udara.
Arsitek-arsitek Belanda mempunyai pendekatan yang baik berkaitan dengan alam di
mana bangunan ditempatkan. Kesadaran mereka dapat dilihat dari unsur konstruksi orang yang
sangat sadar dengan alam. Dalam Sumalyo (1993,): Karsten pada tahun 1936 dilaporkan dalam
artikel: “Semarangse kantoorgebouwen” atau Dua Office Building di Semarang Jawa Tengah:
1. Pada semua lantai pertama dan kedua, ditempatkan pintu, jendela, dan ventilasi yang
lebar diantara dia rentang dua kolom. Ruangan untuk tiap lantai sangat tinggi; 5, 25 m di
lantai pertama dan 5 m untuk lantai dua. Ruangan yang lebih tinggi, jendela dan ventilasi
menjadi sistem yang baik untuk memungkinkan sirkulasi udara di atap, ada lubang ventilasi
di dinding atas (di atas jendela)
2. Disamping lebar ruang yang lebih tinggi, koridor terbuka di sisi Barat dan Timur meliputi
ruang utama dari sinar matahari langsung.
Ketika awal urbanisasi terjadi di Batavia (Jakarta), ada begitu banyak orang membangun vila
mewah di sekitar kota. Gaya arsitekturnya yang klasik tapi beradaptasi dengan alam ditandai
dengan banyak ventilasi, jendela dan koridor terbuka banyak dipakai sebagai pelindung dari
sinar matahari langsung. Di Bandung, Villa Isolla adalah salah satu contoh arsitektur yang baik
ini (oleh Schoemaker1933)
Villa Isolla, salah satu karya arsitektur Belanda di Indonesia
Arsitektur Kontemporer Indonesia
Setelah kemerdekaan pada tahun 1945, bangunan modern mengambil alih Indonesia. Kondisi ini
berlanjut ke tahun 1970-an dan 1980-an ketika pertumbuhan eknomi yang cepat Indonesia yang
mengarah pada program-program pembangunan besar-besaran di setiap sector mulai dari skema
rumah murah, pabrik-pabrik, bandara, pusat perbelanjaan dan gedung pencakar langit. Banyak
proyek bergengsi yang dirancang oleh arsitek asing yang jarang diterapkan diri mereka untuk
merancang secara khusus untuk konteks Indonesia. Seperti halnya kota-kota besar di dunia,
terutama di Asia, sebagai korban dari globalisasi terlepas dari sejarah lokal, iklim dan orientasi
budaya.
Rumah-rumah kontemporer di Indonesia
Arsitektur modern Indonesia umumnya mulai di sekitar tahun 50an dengan dominasi
bentuk atap. Model bangunan era kolonial juga diperluas dengan teknik dan peralatan baru
seperti konstruksi beton, AC, dan perangkat lift. Namun, sepuluh tahun setelah kemerdekaan,
kondisi ekonomi di Indonesia belum cukup kuat. Sebagai akibat, bangunan yang kurang
berkualitas terpaksa lahir. Semua itu sebagai upaya untuk menemukan arsitektur Indonesia
modern, seperti halnya penggunaan bentuk atap joglo untuk bangunan modern.
Arsitektur perumahan berkembang luas pada tahun 1980-an ketika industri perumahan
booming. Rumah pribadi dengan arsitektur yang unik banyak lahir tapi tidak dengan perumahan
massal. Istilah rumah rakyat, rumah berkembang, prototipe rumah, rumah murah, rumah
sederhana, dan rumah utama dikenal baik bagi masyarakat. Jenis ini dibangun dengan ide ruang
minimal, rasional konstruksi dan non konvensional (Sumintardja, 1978)
Permasalahan untuk Arsitektur Indonesia
Gerakan-gerakan baru dalam arsitektur seperti Modernisme, Dekonstruksi, Postmodern,
dll tampaknya juga diikuti di Indonesia terutama di Jawa. Namun, dalam kenyataannya, mereka
menyerap dalam bentuk luar saja, bukan ide-ide dan proses berpikir itu sendiri. Jangan heran jika
kemudian muncul pandangan yang dangkal; “Kotak-kotak adalah Modern, Kotak berjenjang
adalah pasca Modern” (Atmadi, 1997). Arsitektur hanya hanya dilihat sebagai objek bukan
sebagai lingkungan hidup.
Sumalyo, (1993) menyatakan bahwa pandangan umum arsitektur Barat: ‘Purism’, di
mana untuk menunjuk Bentuk dan Fungsi, adalah berlawanan dengan konsep-konsep tradisi
yang memiliki konteks dengan alam. Kartadiwirya, dalam Budihardjo (1989,) berpendapat,
mengapa prinsip tropis ‘nusantara’ arsitektur jarang dipraktekkan di Indonesia adalah karena
pemikiran dari proses perencanaan tidak pernah menjadi pemikiran. Mereka hanya hanya
mengajarkan tentang perencanaan konvensional selama 35 tahun tanpa perubahan berarti sampai
beberapa hari. Sayangnya hamper semua bahan pengajaran dalam arsitektur berasal dari cara
berpikir Barat yang menurut Frick (1997) telah menghasilkan kelemahan arsitektur Indonesia.
Dia juga menjelaskan bahwa Bahan menggunakan bangunan modern hanya karena alasan
produksi massal yang lebih ‘Barat’ dan jauh dari tradisi setempat. Kondisi ini telah memicu
penggunaan bahan yang tidak biasa dan tanpa kondisi lokal.
RUMAH TRADISIONAL INDONESIA
Rumah Adat Toraja (Tongkonan)
Rumah Adat Toraja atau yang biasa disebut dengan Tongkonan, kata tongkonan sendiri berasal
dari kata tongkon yang bermakna menduduki atau tempat duduk. Dikatakan sebagai tempat
duduk karena dahulu menjadi tempat berkupulnya bangsawan toraja yang duduk dalam
tongkonan untuk berdiskusi. Rumah adat ini selain berfungsi sebagai tempat tinggal juga
memiliki fungsi sosial budaya yang bertingkat-tingkat di masyarakat. Masyarakat Suku Toraja
menganggap rumah tongkonan itu sebagai ibu, sedangkan alang sura (lumbung padi) dianggap
sebagai bapak.
Rata-rata rumah orang Toraja menghadap ke arah utara, menghadap ke arah Puang Matua
sebutan bagi orang Toraja kepada Tuhan YME dan untuk menghormati leluhur mereka dan
dipercaya akan mendapatkan keberkahan di dunia.
Di daerah Tana Toraja pada umumnya merupakan tanah pegunungan batu alam dan kapur
dengan ladang dan hutan yang masih luas, dilembahnya itu terdapat hamparan persawahan.
Rumah Tongkonan adalah rumah panggung yang dibangun atau didirikan dari kombinasi
lembaran papan dan batang kayu. Kalau dilihat, denahnya berbentuk persegi panjang mengikuti
bentuk praktis dari material kayu. Material kayu dari kayu uru, yaitu sejenis kayu lokal yang
berasal dari Sulawesi. Kayu uru banyak ditemui dihutan-hutan didaerah Toraja dan kualitas dari
kayu uru cukup baik, kayu-kayu ini tidak perlu dipernis atau di pelistur, kayu dibiarkan asli .
Rumah Toraja atau Tongkonan ini dibagi menjadi 3 bagian:
1.
Kolong (Sulluk Banua)
2.
Ruangan rumah (Kale Banua)
3.
Atap (Ratiang Banua)
Pada bagian atap rumah Tongkonan, bentuknya melengkung seperti tanduk kerbau. Terdapat
jendela kecil disisi timur dan barat pada bangunan, bertujuan sebagai tempat masuknya sinar
matahari dan aliran angin.
Dalam pembangunan rumah adat Tongkonan ada hal-hal yang harus diperhatikan dan tidak boleh
untuk di langgar, yaitu:
1.
Rumah diharuskan menghadap ke utara, letak pintu di bagian depan rumah, dengan
keyakinan langit dan bumi itu merupakan satu kesatuan, dan bumi dibagi kedalam 4 penjuru
mata angin, yaitu:

Utara disebut Ulunna langi, yang paling mulia di mana Puang Matua berada (keyakinan
masyarakat Toraja).

Timur disebut Matallo, tempat matahari terbit, tempat asalnya kebahagiaan atau
kehidupan.

Barat disebut Matampu, tempat metahari terbenam, lawan dari kebahagiaan atau
kehidupan, yaitu kesusahan atau kematian.

Selatan disebut Pollo’na langi, sebagai lawan bagian yang mulia, tempat melepas segala
sesuatu yang tidak baik atau angkara murka.
2.
Pembangunan rumah tradisional Tongkonan biasanya dilakukan secara gotong royong.
Rumah Adat Tongkonan dibedakan menjadi 4 macam:

Tongkonan Layuk, rumah adat tempat membuat peraturan dan penyebaran aturan-aturan.

Tongkonan Pakamberan atau Pakaindoran, rumah adat tempat dilaksanakannya aturanaturan. Biasanya dalam satu daerah terdapat beberapa tongkonan, yang semuanya
bertanggung jawab pada Tongkonan Layuk.

Tongkonan Batu A’riri, rumah adat yang tidak mempunyai peranan dan fungsi adat,
hanya sebagai tempat pusat pertalian keluarga.

Barung-barung, merupakan rumah pribadi. Setelah beberapa turunan (diwariskan),
kemudian disebut Tongkonan Batu A’riri.
Kenapa harus tanduk Kerbau? bagi orang Toraja, kerbau selain sebagai hewan ternak juga
menjadi lambang kemakmuran dan status. Oleh sebab itu kenapa tanduk atau tengkorak kepala
kerbau di pajang dan disimpan di bagian rumah, karena sebagai tanda bawasannya
keberhasilan si pemilik rumah mengadakan sebuah upacara atau pesta.
Pada dasarnya, Suku Toraja yang ada sekarang ini bukanlah suku asli, tetapi merupakan suku
pendatang. Menurut mitos atau kepercayaan yang sampai saat ini masih dipegang teguh, suku
Toraja berasal dari khayangan yang turun pada sebuah pulau Lebukan.
Kemudian, secara bergelombang dengan menggunakan perahu mereka datang ke Sulawesi
bagian Selatan. Di pulau ini mereka berdiam disekitar danau Tempe dimana mereka mendirikan
perkampungan. Perkampungan inilah yang makin lama berkembang menjadi perkampungan
Bugis. Diantara orang-orang yang mendiami perkampungan ini ada seorang yang meninggalkan
perkampungan dan pergi ke Utara lalu menetap di gunung Kandora dan di daerah Enrekang.
Orang inilah yang dianggap merupakan nenek moyang suku Toraja.
Sistim pemerintahan yang dikenal di Toraja waktu dulu adalah sistim federasi. Daerah Toraja
dibagi menjadi 5 daerah yang terdiri atas :
1.
Makale
2.
Sangala
3.
Rantepao
4.
Mengkendek
5.
Toraja Barat.
Daerah-daerah Makale, Sangala dan Mengkendek dipimpin masing-masing oleh seorang
bangsawan yang bernama PUANG. Daerah Rantepao dipimpin oleh bangsawan yang bernama
PARENGI, sedangkan daerah Toraja Barat dipimpin oleh bangsawan bernama MA’DIKA.
Ada semacam perbedaan yang sangat menyolok antara daerah yang dipimpin oleh PUANG
dengan daerah yg dipimpin oleh PARENGI dan MA’DIKA didalam menentukan lapisan sosial
yang terdapat didalam masyarakat. Pada daerah yang dipimpin oleh PUANG masyarakat biasa
tidak akan dapat menjadi PUANG, sedangkan pada daerah Rantepao dan Toraja Barat
masyarakat biasa dapat saja mencapai kedudukan PARENGI atau MA’DIKA kalau dia pandai.
Hal inilah mungkin yang menyebabkan daerah Rantepao bisa berkembang lebih cepat
dibandingkan perkembangan yang terjadi di Makale.
Kepercayaan, kepercayaan di Tana Toraja dikenal pembagian kasta seperti yang terdapat
didalam Agama Hindu-Bali. Karena itulah sebabnya kepercayaan asli suku Toraja yaitu
ALUKTA ditetapkan pemerintah menjadi salah satu sekte dalam agama Hindu-Bali. Kelas atau
kasta ini dibagi menjadi 4:
1.
Kasta Tana’ Bulaan
2.
Kasta Tana’ Bassi
3.
Kasta Tana’Karurung
4.
Kasta Tana’ Kua-kua
Adat Istiadat, adat istiadat diToraja sangat dikenal dengan upacara adatnya. Didalam
menjalankan upacara dikenal 2 macam pembagian yaitu:
Upacara kedukaan disebut Rambu Solok
Upacara ini meiiputi 7 tahapan, yaitu :
1.
Rapasan
2.
Barata Kendek
3.
Todi Balang
4.
Todi Rondon
5.
Todi Sangoloi
6.
Di Silli
7.
Todi Tanaan
Upacara kegembiraan disebut Rambu Tuka
Upacara ini juga meliputi 7 tahapan, yaitu:
1.
Tananan Bua’
2.
Tokonan Tedong
3.
Batemanurun
4.
Surasan Tallang
5.
Remesan Para
6.
Tangkean Suru
7.
Kapuran Pangugan
Adat istiadat yang ada sejak dulu tetap dijalankan sekarang, karena mayoritas penduduk suku
Toraja masih memegang teguh kepercayaan nenek moyangnya (60 %). Hal ini terutama pada
adat yang berpokok pangkal dari upacara adat Rambu Solok dan Rambu Tuka. Dua pokok inilah
yang merangkaikan upacara-upacara adat yang masih dilakukan dan cukup terkenal.
Perkembangan Rumah Adat Toraja atau Tongkonan
Rumah Adat Suku Toraja mengalami perkembangan terus menerus sampai kepada rumah yang
dikenal sekarang ini. Perkembangan itu meliputi penggunaan ruangan, pemakaian bahan, bentuk,
sampai cara membangun. Sampai pada keadaannya yang sekarang rumah adat suku Toraja
berhenti dalam proses perkembangan. Walaupun mengalami perkembangan terus menerus, tetapi
rumah adat Toraja atau Tongkonan tetap mempunyai ciri yang khas. Ciri ini terjadi karena
pengaruh dari lingkungan hidup dan adat istiadat suku Toraja sendiri. Seperti halnya rumah adat
suku-suku lain di Indonesia yang umumnya dibedakan karena bentuk atapnya, rumah adat Toraja
inipun mempunyai bentuk atap yang khas. Memang mirip dengan rumah adat suku Batak, tetapi
meskipun begitu rumah adat suku Toraja tetap memiliki ciri-ciri tersendiri.
Pada mulanya rumah yang didirikan masih berupa semacam pondok yang diberi nama Lantang
Tolumio. Ini masih berupa atap yang disangga dangan dua tiang + dinding tebing.
Bentuk kedua dinamakan Pandoko Dena. Bentuk ini biasa disebut pondok pipit karena letak-nya
yang diatas pohon. Pada prinsipnya rumah ini dibuat atas 4 pohon yang berdekatan dan berfungsi
sebagai tiang. Hal pemindahan tempat ini mungkin disebabkan adanya gangguan binatang buas.
Perkembangan ketiga ialah ditandai dengan mulainya pemakaian tiang buatan. Bentuk ini
memakai 2 tiang yang berupa pohon hidup dan 1 tiang buatan. Mungkin ini disebabkan oleh
sukarnya mencari 4 buah pohon yang berdekatan. Bentuk ini disebut Re’neba Longtongapa.
Berikutnya adalah rumah panggung yang seluruhnya mempergunakan tiang buatan. Dibawahnya
sering digunakan untuk menyimpan padi (paliku), ini bentuk pertama terjadinya lumbung.
Perkembangan ke-5 masih berupa rumah pangqung sederhana tetapi dengan tiang yang lain.
Untuk keamanan hewan yang dikandangkan dikolong rumah itu. Tiang-tiang dibuat sedemikian
rupa, sehingga cukup aman. Biasanya tiang itu tidak dipasang dalam posisi vertikal tetapi
merupakan susunan batang yang disusun secara horisontal .
Lama sesudah itu terjadi perubahan yang banyak. Perubahan itu sudah meliputi atap, fungsi
ruang dan bahan. Dalam periode ini tiang-tiang kembali dipasang vertikal tetapi dengan jumlah
yang tertentu. Atap mulai memakai bambu dan bentuknya mulai berexpansi ke depan
(menjorok). Tetapi garis teratas dari atap masih datar. Dinding yang dibuat dari papan mulai
diukir begitu juga tiang penyangga. Bentuk ini dikenal dengan nama Banua Mellao Langi.
Berikutnya adalah rumah adat yang dinamakan Banua Bilolong Tedon. Perkembangan ini
terdapat pada Lantai yang mengalami perobahan sesuai fungsinya.
Pada periode ini hanya terjadi perkembangan pada lantai dan tangga yang berada di bagian
depan.
·
·
Pada periode ini letak tangga pindah ke bawah serta perubahan permainan lantai
Banua Diposi merupakan nama yang dikenal untuk perkembangan kesembilan ini.
Perubahan ini lebih untuk menyempurnakan fungsi lantai (ruang).
· Berikutnya adalah perobahan lantai yang menjadi datar dan ruang hanya dibagi dua. Setelah
periode ini perkembangan selanjutnya tidak lagi berdasarkan adat, tetapi lebih banyak karena
persoalan kebutuhan akan ruang dan konstruksi. Begitu juga dalam penggunaan materi mulai
dipakainya bahan produk mutakhir, seperti seng, sirap, paku, dan sebagainya. Jadi dapat
disimpulkan bahwa perkembangan yang terakhir merupakan puncak perkembangan dari rumah
adat Toraja.
Asal-usul
Menurut legenda, nenek moyang orang Toraja berasal dari Hindia Belakang (Siam). Mereka
berimigrasi ke daerah selatan untuk mencari daerah baru. Mereka menggunakan kapal yang
menyerupai rumah adat orang Toraja sekarang ini.
Asal-usul tentang pengertian Toraja, terbagi 2 versi. Versi pertama, mengatakan bahwa kata
Toraja berasal dari kata “to” yang artinya orang dan kata “raja” yang artinya raja. Jadi Toraja
artinya orang-orang keturunan raja. Versi lain mengatakan bahwa Toraja berasal dari dua kata
yaitu “to” yang artinya orang dan “ri aja” (bahasa Bugis) yang artinya orang-orang gunung. Jadi
Toraja artinya orang-orang gunung. Kedua versi tersebut memiliki alasan yang berbeda-beda dan
masuk akal.
Sejarah

Tahun 1926 Tana Toraja sebagai Onder Afdeeling Makale-Rantepao dibawah Self bestur
Luwu.

Tahun 1946 Tana Toraja terpisah menjadi Swaraja yang berdiri berdasarkan Besluit
Lanschap Nomor 105 tanggal 8 Oktober 1946.

Tahun 1957 berubah menjadi Kabupaten Dati II Tana Toraja berdasarkan UU Darurat Nomor
3 tahun 1957.UU Nomor 22 tahun 1999 Kabupaten Dati II Tana Toraja berubah menjadi
kabupaten Tana Toraja.
Sumber :
http://muchammadekodarwanto.blogspot.com/2012/11/rumah-adat-toraja-tongkonan.html
http://rahmatarifin93.wordpress.com/
Download