invetigasi slope di pesisir barat propinsi banten menggunakan citra

advertisement
MINDAGI Vol. 8 No.2 Juli 2014
INVETIGASI SLOPE DI PESISIR BARAT PROPINSI BANTEN
MENGGUNAKAN CITRA ASTER
oleh :
Afiat Anugrahadi *) **)
**)
*)
Dosen Tetap, Prodi T. Geologi
Pusat Studi Sumberdaya Mineral dan Manajemen Pesisir Kelautan FTKE Usakti
Fakultas Teknologi Kebumian & Energi, Usakti
Gedung D, Lt. 2, Jl. Kyai Tapa No.1, Grogol, Jakarta 11440
Abstrak
Daerah pesisir barat Propinsi Banten yang telah terjadi abrasi dan akresi secara intensif menarik untuk mengetahui
morfologi daerah pesisir tersebut. Teknologi penginderaan jauh sangat mendukung dalam identifikasi sumberdaya alam,
bencana abrasi dan akresi di wilayah pesisir laut, karena memiliki keunggulan yaitu meliputi daerah yang luas, resolusi
spasial dan temporal yang tinggi. Tujuan penelitian untuk mengetahui slope di daerah pesisir yang terkena abrasi dan
akresi. Metode penelitian menggunakan Citra Advanced Spaceborne Thermal Emission and Reflection Radiometer Global Digital
Elevation Model (ASTER GDEM) dengan melakukan perhitungan panjang garis penampang untuk mendapatkan besar
slope. Hasil analisis citra Aster GDEM di daerah yang mengalami abrasi memiliki panjang garis penampang 350.52 m 506.57 m dan slope 1.4o - 3.1o, dan di daerah akresi memiliki panjang garis penampang 306.62 m - 562.05 m dan slope 2.0o 3.3o .
Kata kunci: pesisir, abrasi, akresi, slope, ASTER GDEM
I. Pendahuluan
Latar Belakang
Indonesia secara umum memiliki tiga garis
pantai yang satu dengan lainnya sangat berbeda
kondisi fisik alaminya, terutama tataan geologinya.
Sebagai contoh di Propinsi Banten, tataan geologi
yang melatarbelakangi kawasan pesisir laut tertutup
(Laut Jawa), kawasan pesisir diantara pulau (Selat
Sunda), dan kawasan pesisir laut terbuka (Samudra
Hindia), memiliki karakteristik yang berbeda dan
dapat
dimanfaatkan
untuk
menunjang
pembangunan dan sekaligus mengendalikannya
(Darsoprajitno, 2000).
Proses-proses geologi yang berlangsung terus
menerus sepanjang masa, berupa agradasi yang
bersifat membangun dan degradasi yang bersifat
merusak, masih berlangsung hingga saat kini.
Proses-prses geologi resen dan pengaruh fisika
oaseanografi dan klimatologi dapat merubah garis
pantai. Pendangkalan muara sungai atau sebagian
pantai menyebabkan pantai maju ke arah laut,
akibat akresi sebagai proses agradasi dan degradasi,
yaitu terjadinya abrasi yang menyebabkan pantai
maju ke arah daratan..
Geomorfologi pesisir memiliki karekateristik
yang khas, karena terletak di perbatasan antara
daratan dengan lautan. Proses sedimentasi resen
dapat mempengaruhi geomorfologi daerah pesisir.
Manajemen kawasan pesisir sudah seharusnya
memperhitungkan dampak proses sedimentasi
resen.
Teknologi
penginderaan
jauh
sangat
mendukung dalam indentifikasi dan penilaian
sumberdaya di wilayah pesisir dan lautan, karena
memiliki keunggulan, yaitu meliputi daerah yang
luas dan resolusi temporal yang tinggi, banyak
pilihan jenis satelit penginderaan jauh yang
mempunyai keakuratan yang cukup baik dalam
mengindentifikasi obyek-obyek di permukaan bumi
(Purwadhi, 2001, 2008, Trisakti, et al, 2003,
Anugrahadi dan Hendiarti, 2004, Hendiarti dkk,
2006).
Sehubungan dengan lingkungan pengendapan
pesisir yang khas dan sangat menarik untuk diteliti
tersebut di atas dan keunggulan teknologi penginderaan jauh, maka perlu melakukan penelitian
tentang keterkaitaan proses-proses abrasi dan akresi
dengan kemiringan lereng/slope di pesisir Propinsi
Banten.
Tujuan penelitian
Tujuan penelitian untuk mengetahui slope di
daerah pesisir yang terkena abrasi dan akresi
dengan menggunakan Citra Advanced Spaceborne
Thermal Emission and Reflection Radiometer Global
Digital Elevation Model (ASTER GDEM) dengan
perhitungan panjang garis penampang, sehingga
mendapat besar slope, di daerah pesisir barat
Propinsi Banten
Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian di wilayah pesisir laut, dari
Anyer sampai Tanjung Lesung, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten dengan koordinat 6˚17’30’’
LS–6˚32’30’’LS dan 105˚40’30’’BT–105˚50’00’’BT.
Peta lokasi penelitian yang terkena abrasi, akresi
dan perhitungan kemiringan lereng/slope di pesisir
Banten dapat dilihat pada Gambar 1.
II. Metodologi
Metodologi penelitian yang digunakan dimulai
dengan studi pustaka dari publikasi beberapa
peneliti terdahulu, mengumpulkan data sekunder,
berupa citra Landsat TM dan ETM+, Citra ASTER
37
Invetigasi Slope di Pesisir Barat Propinsi Banten Menggunakan Citra Aster
Afiat Anugrahadi
GDEM arah angin, arus, gelombang dan
bathimetri, serta mengambil data primer dengan
melakukan survei lapangan untuk mengumpulkan
data oseanografi; arus, arah angin, dan bathimetri.
Selanjutnya dilakukan pengolahan analisis dan
pembahasan.
Selat Sunda
Selat Sunda
Gambar 1. Peta Lokasi Penelitian
Banyak pilihan jenis satelit penginderaan jauh
yang mempunyai keakuratan yang cukup baik
dalam mengindentifikasi obyek-obyek di permukaan bumi (Lillesand and Kiefer. 1979, Sabins, 1997,
Purwadhi, 2001, 2008). Satelit Landsat (Land
Satellite) adalah salah satu satelit sumberdaya yang
menghasilkan citra multispektral. Satelit ini milik
Amerika Serikat yang diluncurkan pada 23 Juli
1972. Landsat 1, 2, 3 mempunyai sensor MSS
(Multi Spectral Scanner) dan RBV (Return Beam
Vidicon), Landsat 4 dan 5 mempunyai sensor MSS
dan TM (Thematic Mapper). Landsat 6 dan 7
mempunyai sensor ETM dan ETM+ (Enhanced
Thematic Mapper Plus). Landsat 7 ETM+ mempunyai spesifikasi, antara lain resolusi spektral tinggi,
yaitu mempunyai 8 saluran, sehingga kemampuan
membedakan obyek relatif tinggi. Landsat 7 ETM+
mempunyai resolusi temporal atau mampu
merekam daerah yang sama setiap 16 hari sekali,
hal ini sangat bermanfaat untuk memperoleh data
terbaru tentang daerah penelitian. Landsat generasi
ke-7 telah ditingkatkan resolusi spasialnya, yaitu
dengan sensor ETM+ selain menghasilkan citra
dengan 7 saluran seperti pada sensor TM, ditambah
saluran (band) ke-8 yang mempunyai resolusi
spasial 15 meter (pankromatik).
Band 1 dengan sensor pada kisaran panjang
gelombang 0.45-0.52 m sensitif mendeteksi
perairan pesisir dan berguna untuk pembuatan peta
batimetri dan sedimentasi, juga berguna untuk
membedakan antara tanah dan vegetasi. Band 2
dengan sensor pada kisaran panjang gelombang
0.53-0.61 m sensitif untuk mendeteksi reflektansi
dari warna hijau, juga untuk peta sedimentasi pada
air keruh.
Kedua band ini digunakan pada
penelitian ini.
38
Satelit TERRA adalah sebutan untuk satelit
EOS AM-1 (Earth Observing System) yang
diluncurkan pada bulan Desember 1999. Satelit ini
membawa 5 sensor yang salah satunya adalah
sensor ASTER (Advanced Spaceborne Thermal
Emission and Reflection Radiometer). Salah satu
citranya, yaitu
Advanced Spaceborne Thermal
Emission and Reflection Radiometer Global Digital
Elevation Model (ASTER GDEM). Satelit Terra
dengan sensor ASTER (berwarna kuning)
ditempatkan di ketinggian 705 km di atas ekuator.
Sensor ASTER memiliki 14 band dari panjang
gelombang 520 hingga 11650 nanometer. Sensor
ASTER terbagi dalam 3 bagian berdasarkan
sensitivitas panjang gelombangnya.
Band 1-3 mengindera di panjang gelombang
tampak (520–860 nm) dengan resolusi spasial 15
meter, band 4–9 mengindera di gelombang short
wave infra red (1600–2430 nm) dengan resolusi
spasial 30 meter dan band 10-14 pada gelombang
thermal infra red (8125-11650 nm) dengan resolusi 90
meter.
Sensor ASTER band 3 dapat mengindera
dengan sudut inklinasi berbeda, sehingga dengan
menggunakan ke 2 data dari band 3 yang diakuisisi
dengan sudut inklinasi berbeda, dapat dibangun
citra ketinggian atau Citra Advanced Spaceborne
Thermal Emission and Reflection Radiometer Global
Digital Elevation Model (ASTER GDEM).
Metode penentuan daerah abrasi dan akresi
yaitu melakukan proses klasifikasi citra Landsat
tahun 1982 dan 2007 secara tak terbimbing
(unsupervised)
dengan
program
ERMapper.
Masukkan file citra Banten yang telah dicrop,
masukkan nama file hasil klasifikasi unsupervised.
Masukkan jumlah iterasi 100, unchanged 98.5
persen dan jumlah kelas 2 (hanya 2 kelas, karena
hanya ingin dilakukan pemisahan antara darat dan
laut).
Setelah keluar hasil klasifikasi, proses
selanjutnya dilakukan dengan program ArcView,
sehingga data citra yang telah diklasifikasi perlu di
export ke dalam format yang dapat dibaca oleh
program ArcView. Selanjutnya, mengaktifkan layer
1982 dan 2007 dan melakukan proses citra,
sehingga akan dihasilkan file baru hasil union antara
tahun 1982 dan 2007. Pada tampilan view double klik
layer hasil union, lalu memilih legend type : Unique
Value dan values field : ID. Tahap akhir merubah
warna menjadi : merah = wilayah abrasi, hijau =
wilayah akresi, coklat = wilayah yang tetap
(Anugrahadi, dkk, 2011).
Hasil pemrosesan citra Landsat tahun 1982 dan
2007 tersebut, kemudian dapat melakukan
perhitungan jarak abrasi dan akresi, sehingga dapat
ditentukan 3 lokasi terpilih yang memiliki
perubahan garis pantai yang tampak lebar dilihat
(Gambar 2). Bahwa daerah penelitian berada di:
- Lokasi 1 (Teluk Lada - Tanjung Lampe): telah
mengalami abrasi dengan jarak terjauh = 274,73
m. Sebagian wilayah mengalami akresi dengan
jarak terjauh = 31,65 m
MINDAGI Vol. 8 No.2 Juli 2014
- Di lokasi 2 (Teluk Lada - Tanjung Dadap) telah
mengalami abrasi dengan jarak terjauh = 206,69
m. Sebagian pantai mengalami akresi dengan
jarak terjauh = 111,58 m
- Di lokasi 3 daerah pantai Tanjung Lesung telah
mengalami abrasi dengan jarak terjauh = 125,05
m, sebagian pantai mengalami akresi dengan
jarak terjauh = 68,71 m
Gambar 2 Hasil Abrasi dan Akresi dengan Metoda
Unsupervised (Anugrahadi, dkk, 2011)
Luasan area yang mengalami abrasi dan akresi
dengan metoda unsupervised, yaitu di lokasi 1, luas
abrasi = 615022,77 m2 dan luas akresi = 9943,14
m2; lokasi 2, luas abrasi = 848492,98 m2 dan luas
akresi = 24491,14 m2; lokasi 3, luas abrasi =
106966,98 m2 dan luas akresi = 65841,54 m2.
Berdasarkan analisis citra Aster GDEM dapat
dilakukan perhitungan pengukuran slope (kemiringan lereng dasar laut) dan panjang sayatan
melintang (Anugrahadi dkk, 2012)., pada 3 lokasi
terpilih yang mengalami abrasi dan akresi (lihat
Gambar 3, 4 dan 5). Hasil pengukuran di daerah
penelitian yang berada di:
Lokasi 1: di daerah yang terkena abrasi: slope =
2.6o, panjang sayatan melintang = 1662
ft = 506.57 meter, di daerah yang
terkena akresi = slope = 3.1o. Panjang
Sayatan melintang = 1006 ft = 306.62
meter (Gambar 3a dan 3b).
Lokasi 2: di daerah yang terkena abrasi: slope =
3.3o, panjang sayatan melintang = 1639
ft = 499.56 meter, di daerah yang
terkena akresi = slope = 3.1o, panjang
sayatan melintang = 1231 ft = 375.20
meter (Gambar 4a dan 4b).
Gambar 3a Pengukuran Slope di daerah Abrasi Lokasi 1
Lokasi 3: di daerah yang terkena abrasi: slope =
2.0o, panjang sayatan melintang = 1844
ft = 562.05 meter, di daerah yang
terkena akresi= slope = 1.4o, panjang
sayatan melintang = 1150 ft = 350.52
meter (Gambar 5a dan 5b).
III. Hasil dan Pembahasan
Penelitian di lapangan menjumpai 18 lokasi
pengamatan (LP) data insitu hasil abrasi dan akresi,
sehingga dapat dikelompokan secara geografis
menjadi 3 wilayah, yaitu: Tanjung Lampe, Teluk
Lada, Tanjung Dadap dan Tanjung Lesung
(Anugrahadi A. dan Anjarsari, 2008).
Analisis data lapangan menyimpulkan bahwa
daerah penelitian merupakan sel sedimen yang
termasuk kedalam lingkungan energi rendah (Low
Energy Environment) (Komar, 1998; Sulaiman dan
Suhardi, 2008). Dibuktikan dengan adanya butiran
pasir halus - kasar yang mengandung fragmen
(batuan dan cangkang), mempunyai sebaran dari
arah barat pada bulan Nopember-Februari, karena
angin yang bertiup adalah angin barat yang
memberikan dampak berupa ombak/gelombang
yang lebih besar dibandingkan dengan dampak
yang diberikan oleh angin timur (Maret -Oktober).
39
Invetigasi Slope di Pesisir Barat Propinsi Banten Menggunakan Citra Aster
Afiat Anugrahadi
Gambar 3b Pengukuran Slope di daerah Akresi Lokasi 1
Gambar 4a Pengukuran Slope di daerah Abrasi Lokasi 2
Gambar 4b Pengukuran Slope di daerah Akresi Lokasi 2
40
MINDAGI Vol. 8 No.2 Juli 2014
Gambar 5a Pengukuran Slope di daerah Abrasi Lokasi 3
Komposisi sedimen tersebut mengidentifikasikan mengenai sumber (source), grain sedimen, slope
dan lebar pantai serta batas (boundary) dari suatu
sedimen transport (cell), sedangkan data sekunder
seperti peta geologi, peta topografi dan citra
Landsat pada skala tertentu efektif untuk
mengindikasikan proses yang terjadi pada sedimen
transport (Sulaiman dan Suhardi, 2008).
Kelompok sel disebut juga dengan sediment
transport system sebagai unit dalam pengelolaan
garis pantai yang pada akhirnya dapat mengelola
sumber daya pesisir pantai secara berkelanjutan.
Pada daerah penelitian ini terdapat sedimen
berukuran butir dengan ukuran yang berbeda, maka
daerah penelitian termasuk dalam kelompok sel
yang rendah energi. Batas sel sedimen di daerah
penelitian, umumnya berupa batas alami, yaitu
batas konvergen yang merupakan batas sel
dinamik, sebagai pertemuan arah angkutan muatan
sedimen. Batas konvergen dapat dijumpai di pantai
Tanjung Lampe, Pesisir Pantai Teluk Lada,
Tanjung Dadap dan Tanjung Lesung. Pada
umumnya, batas ini terjadi karena adanya difraksi
gelombang oleh adanya pertumbuhan Delta
maupun oleh adanya dataran yang menjorok ke
laut.
Hasil analisis citra Landsat TM dan ETM+
tahun 1982 dan 2007 menyimpulkan bahwa daerah
pantai barat Propinsi Banten telah mengalami
perubahan garis pantai, karena terjadinya abrasi
dan akresi.
Gejala abrasi di Pantai Tanjung Lampe,
dijumpai bukti terdapatnya sisa-sisa tumbuhan
yang telah tumbang dan bangunan yang rusak
terkena ombak, akibat hempasan ombak dan bukti
genangan air laut di daratan pantai yang cukup
luas, menunjukan pantai mundur ke arah daratan,
sedangkan daerah akresi ditunjukan bukti dengan
adanya terumbu dan endapan pasir pantai yang
memanjang ke arah laut.
Gejala abrasi di daerah Teluk Lada, dijumpai
adanya paras pantai yang menyempit dan adanya
sisa-sisa tumbuhan dan pemecah ombak yang
Gambar 5b Pengukuran Slope di daerah Akresi Lokasi 3
sudah hancur yang terendam air laut. Gejala akresi
ditunjukan oleh paras pantai yang melebar,
adanya terumbu dan endapan sedimen ke arah
laut.
Sebagian daerah di pesisir Tanjung Dadap dan
Tanjung Lesung terjadi abrasi dengan dijumpai
adanya pantai mundur ke arah darat dan pemecah
ombak yang sudah hancur dan terendam air laut.
Gejala akresi ditunjukan oleh paras pantai yang
melebar.
Berdasarkan metode unsupervised (tak terbimbing) dari citra Landsat TM dan ETM+ tahun 1982
dan 2007 diketahui selama 25 tahun didapat jarak
terjauh dan luas abrasi dan akresi, pada 3 lokasi
terpilih (Anugrahadi dkk., 2011).
Daerah yang telah mengalami abrasi di lokasi 1
(Teluk Lada-Tanjung Lampe): didapat jarak terjauh
= 274,73 m dan luas abrasi = 615022,77 m2. Di
lokasi 2 (Teluk Lada - Tanjung Dadap) didapat
jarak terjauh = 206,69 m dan luas abrasi =
848492,98 m2. Di lokasi 3 daerah pantai Tanjung
Lesung didapat jarak terjauh = 125,05 m dan luas
abrasi = 106966,98 m2
Daerah yang telah mengalami akresi lokasi 1 di
dapat jarak terjauh = 31,65 m dan luas akresi =
9943,14 m2. Di lokasi 2 di dapat jarak terjauh =
111,58 m dan luas akresi = 24491,14 m2, Di lokasi
3 didapat jarak terjauh = 68,71 m dan luas akresi
= 65841,54 m2
Berdasarkan analisis citra Aster GDEM untuk
pengukuran slope (kemiringan lereng dasar laut) dan
panjang sayatan melintang, diukur pada 3 lokasi
terpilih yang mengalami abrasi dan akresi, didapat
hasil pengukuran di daerah yang terkena abrasi
yaitu di lokasi 1 slope = 2.6o, panjang sayatan
melintang = 1662 ft = 506.57 meter, di lokasi 2
slope = 3.3o , panjang sayatan melintang = 1639 ft =
499.56 meter, di lokasi 3, slope = 2.0o, panjang
sayatan melintang = 1844 ft = 562.05 meter,
Hasil pengukuran di daerah yang terkena akresi
yaitu, di lokasi 1 slope = 3.1o, panjang sayatan
melintang = 1006 ft = 306.62 meter, di lokasi 2
slope = 3.1o, panjang sayatan melintang = 1231 ft =
41
Invetigasi Slope di Pesisir Barat Propinsi Banten Menggunakan Citra Aster
Afiat Anugrahadi
375.20 meter, dan di lokasi 3 slope = 1.4o, panjang
sayatan melintang = 1150 ft = 350.52 meter
(Anugrahadi dkk., 2012).
Proses abrasi terjadi, karena angin yang bertiup
pada musim barat (November-Februari) menghasilkan ombak besar, mengakibatkan sedimen
sepanjang pantai terkena abrasi, sedangkan untuk
proses akresi kemungkinan terjadi pada saat angin
yang bertiup pada musim angin timur (MaretOktober).
Terjadinya abrasi di beberapa tempat di daerah
penelitian, karena litologi penyusun didominasi
oleh batulempung. Slope yang relatif curam,
perubahan arah angin, musim dan curah hujan
yang dapat menyebabkan terjadinya kerusakan
pantai, karena adanya gelombang laut yang besar
dan aktifitas penambangan pasir.
Penyebab terjadinya akresi pada daerah
penelitian, karena daerah ini memiliki slope relatif
lebih datar, dan adanya daya angkut sedimen dari
aliran sungai di sekitarnya, litologi penyusunnya
didominasi oleh batuan yang keras, di beberapa
titik daerah masih terdapat tebing dan terumbu di
pesisir pantainya. Banyak pengurukan yang
dilakukan di pesisir pantai untuk dijadikan
bangunan yang menjadikan pantai maju dan
stabil.
IV. Simpulan
1.
2.
3.
Abrasi disebabkan oleh factor litologi
penyusun didominasi oleh batulempung. Slope
yang relatif curam, perubahan arah angin,
musim dan curah hujan gelombang laut dan
aktifitas manusia berupa penambangan pasir.
Akresi disebabkan oleh factor litologi
penyusunnya didominasi oleh batuan yang
keras, pantainya.memiliki slope relatif lebih
datar dan adanya daya angkut sedimen dari
aliran sungai di sekitarnya dan aktifitas
pengurukan untuk dijadikan bangunan.
Citra Aster GDEM dapat menghitung slope di
daerah yang terkena abrasi yaitu didapat slope
yang lebih curam (2,0o – 3,3o) dan daerah
akresi memiliki slope relatif datar (1,4o – 3,1o).
Pustaka
Anugrahadi, A. dan N. Hendiarti. 2004. Memetakan Fenomena Pesisir-Laut dari Citra Satelit
SeaWiFS dan NOAA-AVHRR. MINDAGI 7
(1): 71-75. FTM USAKTI.
Anugrahadi, A. dan V. Anjarsari. 2008. Study on
Coastline Change Using Landsat and Formosat
Image: Case Study in Pandeglang District, Banten
Province, Proceedings of SAKE-3 Workshop, Jakarta,
October 15~16, 2008.
Anugrahadi, A., D.S. Prabowo, A.I. Wardhana,
B.M. Sukojo, Y.S. Djajadiharja, F.S. Purwadhi,
2011. Software Applications Er Mapper and Arc
View GIS to Measure Area and Distance of Coastline
Changes during 25 Years in Coastal Pandeglang,
42
Banten Province. International Conference
Intercarto-Intergis 17 di Bali, 1 Desember 2011
Afiat Anugrahadi , B.M. Sukojo, Y.S. Djajadiharja,
dan F.S. Purwadhi, 2012. Analisis Citra Aster
GDEM untuk Mengetahui Slope di Daerah yang
Terkena Abrasi dan Akresi. PIT IX ISOI
(Pertemuan Ilmiah Tahunan ke IX Ikatan
Sarjana Oseanografi Indonesia) di Mataram 21
– 23 Oktober 2012.
Darsoprajitno, S.H. 2000. Analisis Data Geologi
untuk menunjang manajemen kawasan pantai,
dipresentasikan dalam Seminar Sehari Satu Bumi,
HMTG Usakti. Jakarta
Hendiarti,
N.,
M.Sadly,
M.C.G.Frederik,
R.Andiastuti A, A.Sulaiman,. 2006. : Satelite
Oseanografi dalam
Riset dan Teknologi
Pemantauan Dinamika Laut Indonesia INDOO
Project. Hal 20-46.
Komar, Paul D. 1998. Beach Processes and
Sedimentation. 2nd ed. College of Oceanic &
Atmospheric Sciences, Oregon State University.
Prentice Hall, Upper Saddle River, New Jersey.
Lillesand, T.M. and R.W. Kiefer. 1979. Remote
Sensing and Image Interpretation, John Wiley and
Sons. New York.
Purwadhi, S.H. 2001. Interpretasi Citra Digital. PT
Grasindo. Jakarta
Purwadhi, S.H. 2008. Aplikasi Penginderaan Jauh dan
Sistem Informasi Geografis untuk Penataan
Wilayah. PT Grasindo. Jakarta
Sabins, F.F. 1997. Remote Sensing, Principles and
Interpretation. W.H. Freeman and Co. San
Francisco.
Sulaiman, A. dan I. Soehardi. 2008. Pendahuluan
Geomorfologi Pantai Kuantitatif. E-book. LIPI
Trisakti, B., B. Hasyim, R. Dewanti, M. Hartuti
dan G.Winarso. 2003. Teknologi Penginderaan
Jauh dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir dan
Lautan. Pusat Pengembangan Pemanfaatan dan
Teknologi Penginderaan Jauh. LAPAN. Hal 1109.
Download