Slide 1 - Blog UNPAD

advertisement
Jusuf di Kala Muda (bagian 2)
Pada 1952, pecah pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII). Banyak toko dirampok dan dibakar. “Keadaan di sana kacau. Banyak gerombolan yang membakar rumah,” kata
Jusuf. Kehidupan bisnis pun lumpuh.
Setahun kemudian, Haji Kalla memutuskan pindah ke Makassar. Jusuf yang baru 10 tahun, dititipkan pada neneknya, Hj. Kerra, dan tante dari ibu, Hj. Manisan. Setahun kemudian, dia ikut
orangtuanya pindah ke Makassar.
Di Makassar, Jusuf sekeluarga tinggal di rumah toko berlantai tiga yang dibeli sang ayah. Haji Kalla pada 1954, memasukkan Jusuf ke SMP Islam di Jalan Datuk Museng. Dia menginginkan anakanaknya, terutama Jusuf yang menjadi anak lelaki tertua, menjadi pemuka agama Islam. “Beliau menginginkan saya menjadi ustad,” kata Jusuf. Harapannya, Jusuf belajar ilmu agama dan bisa
melanjutkan pendidikannya ke Universitas Al-Azhar di Kairo, Mesir.
Menurut Muhammad Abduh, rekan satu bangku Kalla, kurikulum SMP Islam 30 persen pendidikan umum dan 70 persen agama. Sementara menurut Jusuf, mata pelajaran favoritnya saat itu adalah
sejarah dan ilmu bumi, bukan ilmu agama. “Nilai saya delapan, yang lain enam-tujuh,” kata Jusuf. Bahasa Inggris Jusuf, kata Abduh juga lebih baik dibandingkan bahasa Arab.
Di SMP Islam, Jusuf selama empat tahun membedah Al-Quran, hadis, dan fikih. “Pokoknya semua soal agama,” kata Abduh. Pada tahun keempat, mereka ikut ujian persamaan sekolah menengah
umum. Belakangan Abduh melanjutkan pendidikannya ke SMA umum. Jusuf sendiri sempat meneruskan ke SMA Islam.
Kisah masa remaja Jusuf Kalla tidak melulu perihal agama. Dia adalah pemuda yang juga menikmati masa kanak-kanak sebagaimana umumnya anak laki-laki. Dia kerap diajak ayahnya menonton
pertandingan sepak bola. Sang ayah hampir tidak pernah absen menonton aksi Ramang, pemain Persatuan Sepak Bola Makassar (PSM) yang pada masa itu menjadi kebanggaan Sulawesi Selatan.
Jika sore hari ada pertandingan sepak bola, sehabis zuhur, ayah-anak itu telah siap di stadion Mattoangin sambil membawa sajadah untuk persiapan shalat Asar. “Bapak memang penggemar bola,”
kata Jusuf.
Kegemaran sang ayah menonton sepak bola menular kepada Jusuf. Bermain sepak bola menjadi hobi, selain berenang di irigasi. Ketika bermain bola berhubung badannya paling kecil, dia selalu
kebagian posisi kiper. Sepulang sekolah, dia dan teman-temannya bermain bola di pekarangan Rumah Sakit Stella Maris. “Kami pernah kena marah karena bola yang ditendang memecahkan kaca
rumah sakit,” kata Muhammad Abduh.
Sejak di Makassar pula bakat kepemimpinan Jusuf Kalla terasah. Dia bergabung dengan organisasi Pelajar Islam Indonesia (PII). Setiap jumat dia berlatih berpidato. “Saya sempat berpidato pada
Isra Mi’raj,” katanya.
Saat Haji Kalla menikah lagi dengan Hj. Adewiyah, tanggung jawab Jusuf sebagai anak lelaki tertua semakin besar. Ini karena sang ibu, Hj. Athirah, melarang suaminya bermalam di rumah. Jusuf
seketika berperan sebagai kepala rumah tangga. “Saya yang mengiringi ibu ke rumah sakit saat melahirkan adik-adik,” kata Jusuf. “Bapak baru datang setelah ibu melahirkan.”
Menurut Ahmad Kalla, Jusuf saat itu ibarat ayah bagi adik-adiknya. “Dia mendaftarkan adik-adik sekolah, termasuk membayarkan uang sekolahnya,” kata Ahmad.
Ketika menginjak SMA pada 1958, Jusuf Kalla mengendarai Vespa. “Dibelikan ayah karena SMA saya cukup jauh,” kata alumnus SMA 3 Makassar ini. Kawan-kawannya yang bersepeda, saat pulang
sekolah, sering menggandeng Vespa Jusuf. “Bukannya enak, naik Vespa jadi malah capaek,” katanya.
Karena anak orang berada, Jusuf juga kerap mentraktir kawan-kawan di kantin. “Uang jajannya memang lebih banyak daripada yang lain,” kata Muhammad Abduh.
Setahun mengendarai Vespa, Jusuf dibelikan mobil jip Willys. Tak dipakai bergaya-gaya, Willys itu disewakan. Sesekali mobil itu dipakai sendiri oleh Jusuf dan ayahnya untuk mengunjungi rekan
bisnis.
Pada 1961, Jusuf Kalla kuliah di Fakultas Ekonomi Universitas Hasanuddin. Di sana dia menjadi Ketua Dewan Mahasiswa, Ketua Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Makassar (1965-1966),
dan Ketua Umum Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) Makassar.
Saat menjadi aktivis inilah Jusuf berkenalan dengan Panglima Kodam XIV/Hasanuddin di Makassar (1960-1964) Jendral M. Jusuf. Hubungan keduanya semakin intens setelah M. Jusuf menjadi Ketua
Badan Pemeriksa Keuangan.
Jusuf sempat emapt kali naik haji bersama M. Jusuf. Di Mekkah, keduanya saling berdiskusi. “Misalnya tentang sikap M. Jusuf terhadap Jendral Soeharto,” tutur Ahmad Kalla. M. Jusuf juga
menanamkan kepada Jusuf Kalla perihal sikap berani menanggung risiko.
Tokoh lainnya yang dikagumi oleh Jusuf Kalla adalah Panglima Kodam XIV/Hasanuddin (1965-1968) Solihin Gautama Poerwanegara. “Sifat kerakyatan beliau sangat menonjol,” kata Jusuf. Sebagai
pemimpin mahasiswa di Makassar saat itu, dia kerap datang berkonsultasi mengenai politik nasional pasca-peristiwa G-30S tahun 1965. “Saya bisa datang menemui baliau tengah malam,”
katanya. Nama Solihin bahkan kemudian dipakai oleh Jusuf untuk anak lelaki satu-satunya: Solichin Jusuf Kalla.
Saat masih kuliah, Jusuf Kalla sempat menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Sulawesi Selatan (1965-1968) dari jalur Sekretariat Bersama Golongan Karya (Sekber Golkar). Dia
meninggalkan lembaga legislatif setelah sang ayah memintanya mengembangkan bisnis keluarga. Saat itu, bisnis Kalla sedang ambruk. Keluarga itu hanya mengelola enam bus antarkota di
Sulawesi Selatan.
Transisi kepemimpinan bisnis itu terjadi begitu saja. Menurut Ahmad Kalla, peristiwa ini disaksikan tiga orang: ayah, ibu, dan Jusuf Kalla. Sang ayah mengeluarkan 15 kilogram emas batangan hasil
likuidasi usaha setelah guncangan ekonomi pada 1955. “Emas itu ditanam di bawah tempat tidur orangtua,” kata Ahmad. Emas itu lalu dijual bertahap dan uangnya digunakan sebagai modal
usaha.
Di dalam NV Hadji Kalla, Jusuf bertindak selaku eksekutif, sedangkan ayahnya menjadi pengawas jalannya perusahaan. Haji Kalla hanya berada satu jam sehari di kantornya. Usai shalat Zuhur, sang
ayah mengurusi masjid. Dia sering jalan kaki berkain sarung berangkat dan pulang dari kantornya di Pasar Sentral, Makassar. Jarak antara rumah lamanya dan kantor, kurang lebih satu kilometer.
Sementara rumah barunya berjarak dua kilometer. Di samping rumah lamanya berdiri Masjid Raya yang terbesar di Sulawesi Selatan saat itu. Belasan tahun Haji Kalla menjadi bendahara masjid
tersebut.
Setelah ayahnya meninggal, Jusuf Kalla meneruskan jabatan tersebut. Dia mengenang, setiap selesai shalat Jumat, teman-teman ayahnya singgah ke rumahnya. Ibunya selalu menyediakan kue
khas Bugis, barongko, dan jus es markisa. Barongko adalah pisang gepok yang dihaluskan, dicampur telur, santan, dan gula. Lantas dibungkus dengan daun pisang dan dikukus.
Kemudian, Masjid Raya lama dibongkar dan dibangun Masjid Raya baru yang megah atas inisiatif Jusuf Kalla. Kemudian, dibangun lagi Masjid Raya Al-Markaz Al-Islami yang megah dan berkarakter
atas inisiatif dua Jusuf, yaitu jendral (Purn) M. Jusuf yang kemudian bertindak selaku pelindung dan Jusuf Kalla sebagai ketua panitia pelaksana pembangunan. Masjid raya ini antara lain
menyiapkan kader-kader ulama dan penghafal al-quran. Sementara Yayasan Al-Markaz yang didirikannya melakukan kegiatan yang lebih umum, seperti sekolah, pusat pengkajian, diskusi
cendekiawan muslim, dan kegiatan budaya. Pengurusan sehari-harinya diserahkan kepada kalangan cedekiawan kampus.
Jusuf Kalla melirik bisnis impor mobil Toyota dan membuka agen tunggal. Dia berangkat ke kedutaan besar di Jakarta, mencari tahu cara mengimpor mobil. Setelah mendapat alamat pabriknya, dia
menghubungi dan dipercaya mengimpor mobil semi-knocked doen untuk dirakit kembali dan dicat. “Saya ikut mengecat,” kata Ahmad, yang saat itu masih pelajar sekolah menengah.
Di tangan Jusuf, bisnis Haji Kalla berkibar kembali. Usaha bercabang ke sektor pembangunan jalan, irigasi, hingga pembangunan bandar udara. Dua pekan sebelum meninggal, sang ayah meminta
notaris dan menyerahkan saham kepada Jusuf dan adik-adiknya. Jusuf mendapat saham 50 persen, selebihnya dibagikan kepada anak yang lain. Posisi Jusuf di keluarga besarnya semakin kukuh.
“Jusuf itu seperti godfather bagi kami,” kata Ahmad.
Istri kedua Haji Kalla tidak mendapat warisan. Sang ayah menganggap bisnis keluarga itu adalah jerih payah dirinya dan Hj. Athirah. Menurut Herlina Kalla, adik tiri Jusuf Kalla, kebanyakan anak Haji
Kalla dari istri mudanya memang tidak bekerja di perusahaan keluarga itu. Mereka pegawai negeri sipil. “Hanya satu abang saya yang bekerja di PT. Haji Kalla,” kata Herlina.
Download