Abdul Chaer - lembagakebudayaanbetawi.com

advertisement
Sistem Perkerabatan dan Sapaan dalam Masyarakat Betawi
Oleh Abdul Chaer (Anggota Dewan Pakar LKB)
Pengantar
C.D. Grijns, salah seorang pakat bahasa Betawi berkebangsaan Belanda, pada akhir tahun
enam puluhan memasuki lebih dari 500 buah desa di Jakarta dan sekitarnya dalam rangka
memetakan batas-batas isolek di wilayah Jakarta. Dalam kegiatan itu dia telah pula mendaftarkan
kosakata pekerabatan yang digunakan masyarakat Jakarta dan sekitarnya. Namun kemudian dia
menjadi bingung karena untuk konsep yang sama terdapat berbagai kata yang berbeda. Atau,
untuk kata yang sama digunakan untuk mewakili konsep yang berbeda. Misalnya, untuk konsep
‘ayah’ didapati kata aba’, baba’, babe, bapak, embah, kai, dan aki. Untuk konsep ‘ibu’ didapati
kata babu’, ema’, enya’, ibu’, néné, nyai, dan embu. Untuk konsep ‘ayahnya ayah’ atau ‘ayahnya
ibu’ terdapat kata aki, baba tua, bapa tua, engkong, kaké, kai dan embah. Sebaliknya kata enya’
ada digunakan untuk mewadahi konsep ‘orang tua perempuan, ibu’, tetapi ada digunakan juga
untuk mewadahi konsep ‘ibunya ayah, ibunya ibu, nenek’. Kata misanan ada digunakan untuk
mewadahi konsep ‘anak saudara kandung’, tetapi ada pula digunakan untuk mewadahi konsep
‘anak paman, anak bibi’. Demikian juga dengan kata-kata yang lain.
Grijns memang tidak berusaha membuat kaidah bagaimana penggunaan kosakata
perkerabatan yang sangat ruwet itu karena, sebagai ahli dialektologi, tugasnya yang utama adalah
memetakan di mana kata-kata itu digunakan.
Sistem Perkerabatan
Sekedar mencoba mengurai keruwetan seperti yang dialami C.D. Grijns, saya
menawarkan solusi dengan menyusun bagan sistem perkerabatan masyarakat dengan
menggunakan kosakata yang saya kenal dari keluarga orang tua saya zaman dulu (lihat
lampiran).
Mari kita bicarakan bagan tersebut mulai dari atas.
Empat tingkat di atas EGO adalah uyut, yakni orang tuanya kumpi. Uyut bisa pria dan
bisa pula wanita.
Tiga tingkat di atas EGO adalah kumpi. Menurut keterangan kumpi adalah pria. Untuk
wanita, tidak dikenal istilahnya. Kumpi ini di samping menurunkan ngkong atau nyai juga
menurunkan saudaranya ngkong atau nyai yang tidak dikenal istilahnya. Lalu, saudaranya
ngkong atau nyai ini menurunkan mindon, yang dalam bahasa Melayu disebut saudara dua
pupu.
Dua tingkat di atas EGO adalah ngkong atau nyai. Ngkong adalah orang tua laki-laki dari
ayah atau ibu, dan nyai adalah orang tua perempuan dari ayah atau ibu. Ngkong dan nyai ini
menurunkan aba’ atau ibu.
Satu tingkat di atas EGO adalah aba’, yaitu orang tua laki-laki, dan ibu, yaitu orang tua
perempuan. Lalu, aba’ dan ibu ini menurunkan EGO.
Setingkat dengan aba’ dan ibu di sebelah kanan ada ncang, yaitu saudara ayah atau ibu
yang lebih tua; dan ada ncing, yakni saudara ayah atau ibu yang lebih muda. Lalu, ada cangantu
yakni suami atau istri ncang; dan ada cingantu yakni suami atau istri ncing. Selanjutnya ada
cangbok yaitu istri dari ncang; dan ada cingbok yakni istri dari ncing. Di sini kita lihat, kalau
cangantu dan cingantu bisa laki-laki dan bisa perempuan, sedangkan cangbok dan cingbok hanya
perempuan.
Setingkat dengan aba’ dan ibu disebelah kiri ada mertua, yakni ayah atau ibu dari istri
EGO (kalau ego pria) atau suami EGO (kalau ego perempuan).
Setingkat dengan EGO di sebelah kanan, pertama ada sudare yang termasuk abang mpok
dan ade. Penjelasannya, sudare adalah orang yang lahir dari ibu yang sama, bisa laki-laki bisa
1
perempuan. Abang adalah saudara laki-laki yang lebih tua; mpok adalah saudara perempuan yang
lebih tua dari EGO; sedangkan ade adalah saudara yang lebih muda dari EGO, bisa perempuan
bisa pula laki-laki. Lalu, mbok adalah istri dari saudara laki-laki baik dari abang maupun ade.
Selanjutnya di sini masih ada istilah abang mantu, yaitu suami dari mpok (kakak
perempuan); dan ada ade mantu yaitu suami dari adik perempuan.
Kalau tali persaudaraan itu hanya dari seorang ibu disebut sudare seibu; kalau hanya dari
seorang ayah disebut sudare sebapa’. Di samping itu masih ada istilah sudare ketemu, yakni
terjadinya tali persaudaraan dari seorang laki-laki dan seorang perempuan yang masing-masing
telah mempunyai anak.
Yang terakhir dari kelompok ini adalah mbok yakni istri dari saudara laki-laki, baik dari
abang maupun ade.
Kedua, ada misanan yaitu anak daci ncang atau dari ncing, baik laki-laki maupun
perempuan. Sering juga disebut sudare misan (Dalam bahasa Indonesia disebut saudara sepupu).
Ketiga, ada mindon yaitu anak dari saudara ngkong atau saudara nyai. Tali
perkerabatannya dengan EGO bertamu pada kumpi. Berbeda dengan misanan yang tali
perkerabatannya dengan EGO pada engkong atau nyai. Sayang apa nama orang tua dari mindon
ini tidak diketahui (paling tidak oleh penulis).
Setingkat dengan EGO di sebelah kiri ada bini/laki, ipar, dan besan. Kalau EGO-nya pria
maka tepat di sebelah kirinya ada bini dan kalau EGO-nya wanita, maka tepat di sebelah kirinya
ada laki. Yang dimaksud dengan ipar adalah saudara dari bini atau laki. Kalau ipar itu pria
disebut ipar laki-laki, kalau ipar itu wanita disebut ipar perempuan, kalau ipar itu lebih tua dari
bini atau laki disebut abang ipar (bila laki-laki) atau mpok ipar (bila perempuan). Terakhir, ada
besan yaitu orang tua dari menantu yaitu istri atau suami anak.
Satu tingkat di bawah EGO ada anak dan mantu (di sebelah kirinya), dan ponakan atau
keponakan disebelah kanannya. Disebut anak kalau lahir dari satu pasangan suami-istri. Kalau
hanya dari ibu atau bapak saja, maka anak tersebut disebut anak kualon (dari bapak atau dari ibu)
atau anak tiri, sedangkan bapak dan ibunya disebut bapak kualon dan ibu kualon atau bapak tiri
dan ibu tiri. Anak orang lain yang dipelihara oleh satu pasangan suami-stri disebut anak piara
atau anak angkat.
Ponakan adalah anak dari sudare, bisa perempuan bisa pula laki-laki. Sedangkan mantu
adalah istri atau suami anak.
Dua tingkat di bawah EGO adalah cucu, yakni anaknya anak. Ada juga digunakan istilah
cucu samping untuk menyebut anak dari ponakan.
Tiga tingkat di bawah EGO ada cicit; dan empat tingkat di bawah EGO ada buyut.
Namun, istilah cicit dan buyut ini seringkali dipertukarkan.
Demikianlah sistem perkerabatan dalam masyarakat Betawi yang hanya tercatat, empat
tingkat di atas EGO dan empat tingkat di bawah EGO. Beda dengan dalam masyarakat Sunda,
yang menurut Ranabrata (1998), sampai tujuh tingkat di atas EGO, dan tujuh tingkat di bawah
EGO.
Sistem Sapaan
Kosakata perkerabatan (bersama dengan kosa-kata nama diri, nama jabatan, dan nama
gelaran) lazim juga digunakan sebagai kata sapaan (terms of address), kata acuan (terms of
reference) dan kata sebutan (terms of honour). Untuk tidak mengelirukan, di sini perlu terlebih
dahulu dijelaskan pengertian ketiga konsep itu.
Kata sapaan adalah kata yang digunakan untuk menyapa atau memanggil orang kedua,
yang dilakukan oleh orang pertama (pembicara). Kata acuan adalah kata yang digunakan untuk
mengacu atau merujuk bisa kepada orang pertama, orang kedua, maupun orang ketiga.
Kedudukan kata acuan ini bisa diganti dengan kata ganti orang (pronomia persona). Sedangkan
2
kata sebutan adalah kata yang digunakan untuk menyebut (sebagai penghormatan) orang ketiga.
Simak contoh kalimat berikut:
“Bang, katanya abang punya abang nyang kerje di bengkelnya bang Yoyo”.
Kata bang yang pertama dalam kalimat itu adalah kata sapaan, kata abang yang pertama
adalah kata acuan, dan kata abang yang kedua adalah kata perkerabatan. Sedangkan kata abang
yang kedua adalah kata sebutan. Sebagai kata acuan, kata abang yang pertama dapat diganti
dengan kata ganti lu, kamu, ente, dan sebagainya
“Be, orang bilang babe kenal sama Bang Ali”.
Kata Be (singkatan dari babe) dalam kalimat di atas adalah sebuah kata sapaan; kata babe
adalah sebuah kata acuan; sedangkan kata bang pada Bang Ali adalah sebuah kata sebutan.
“Mat, ape bener Mamat kenal ame anaknya Bang Ali mantan gubernur DKI dulu?”
Kata Mat (singkatan dari Mamat) adalah kata sapaan, kata Mamat (yang merupakan
nama diri) adalah sebuah kata acuan; dan Pak (singkatan dari bapak) pada Pak Camat adalah
sebuah kata sebutan.
Kata ibu kepada abang, “Dudung, ibu mau ke pasar dulu ya, Dudung di rumah aje ye,
jagain ade”
Kata ibu yang pertama, kata abang, dan kata ade pada kalimat di atas adalah kata
perkerabatan. Kata Dudung yang pertama adalah kata sapaan; kata ibu yang kedua adalah sebuah
kata acuan (sebab bisa diganti dengan kata ganti aye atau saye atau gue), dan kata Dudung yang
kedua adalah sebuah kata acuan (sebab bisa diganti dengan kata ganti lu atau ente).
Dari contoh-contoh di atas bisa ditarik kesimpulan :
Kosakata perkerabatan bila digunakan sebagai kata perkerabatan selalu menggunakan
bentuk utuh, seperti abe, ibu, ngkong, abang, dan besan.
Kosa kata perkerabatan dan kosakata nama diri, nama jabatan, nama gelaran, dan nama
pangkat bila digunakan sebagai kata sapaan dapat berbentuk lengkap, maupun berbentuk
singkatan. Secara frekuentif memang lebih banyak berbentuk singkatan seperti kata abe jadi be’,
ibu jadi bu, ngkong jadi kong; dan mantu jadi tu.
Kosakata perkerabatan dan kosakata nama diri, nama jabatan, nama gelaran, dan nama
pangkat bila digunakan sebagai kata acuan selalu dalam bentuk utuh; tidak pernah dalam bentuk
singkatannya.
Kosakata perkerabatan, bila digunakan sebagai kata sebutan bisa digunakan dalam bentuk
utuh maupun bentuk singkatannya. Misalnya, Bang Ali atau Abang Ali; Pak Camat atau Bapak
Camat; dan Bu Ani atau Ibu Ani.
Kosakata nama jabatan, nama gelaran, dan nama pangkat bila digunakan sebagai kata
sebutan selalu dalam bentuk utuh. Misalnya Camat Mustar, Dokter Kamil, dan Haji Ramli. Perlu
dicatat, nama diri tidak bisa digunakan sebagai kata sebutan.
Pilihan Kata
Dari pengamatan selintas mengenai pemilihan kata yang digunakan sebagai kata
perkerabatan, kata sapaan, dan kata acuan dapat disebutkan hal-hal berikut.
Pilihan secara arbitrer, mana suka, sehingga untuk konsep ‘orang tua laki-laki’ ada yang
menggunakan kata aba’, baba’, bapa’; Malah juga abi dan walid. Untuk konsep orang tua
perempuan ‘ada yang menggunakan ibu, emak, enyak; malah juga umi’.
Pilihan berdasarkan letak geografis, sehingga untuk konsep ‘saudara ayah atau saudara
ibu’ ada yang menggunakan ncang dan ncing ada pula yang menggunakan ua’ dan mamang.
Pilihan akibat perbedaan lafal, sehingga ada yang menggunakan, aba’, dan baba’, ada
pula yang menggunakan abe’ dan babe’.
Pilihan akibat latar belakang status sosial, sehingga ada yang menggunakan kata ganti
ane (ana), ente (anta); tapi ada pula yang menggunakan kata ganti gue (gua, guah) dan lu (luh).
3
Penggunaan Kata Ganti
Dalam masyarakat Betawi ada kata ganti :
- orang pertama : aye, saye, ane, dan gue (tunggal); kite (jamak)
- orang kedua : ente, dan lu
- orang ketiga : die
Seperti juga dalam bahasa Indonesia penggunaan kata gantiini sangat terkendala oleh
faktor sosial dan budaya, sehingga kata ganti hampir tidak digunakan dalam situasi yang
memerlukan “kesopanan”. Lalu, fungsinya diganti dengan kosakata perkerabatan, nama diri,
nama gelaran, atau nama jabatan. Simak contoh berikut:
- “Mak, Ani mau nanya, emak ude masak ape belon?” (Di sini kata Ani menggantikan
kata saya dan kata emak menggantikan kata kamu).
Namun, kata ganti saye dan aye kata lazim digunakan dalam situasi yang bersifat formal;
dan kata ganti lu dan gue lazim digunakan di antara dua partisipan yang sangat akrab, tetapi
bukan untuk mengakrabkan.
Catatan Penutup
Dalam linguistik disadari bahasa perubahan dan perkembangan bahasa tidak dapat
dibendung, sehingga kini dalam kosakata perkerabatan ada digunakan kata mama, mami, papa,
papi, malah juga dedi; dan di dalam pergaulan anak gaul ada bokap, nyokap, dan malah juga
bonyok.
Namun, kiranya kita perlu menggunakan milik kita yang ada. Maka daripada kita
menyapa Mbak Mega, tante Mina, dan Oom Yahya, bukanlah kita bisa menyapa dengan Mpok
Mega, Ncang Mina, dan Ncing Yahya. Sebelum ini bukanlah sapaan Bang Ali, Bang Yoyo, dan
Bang Rusdi sudah enak kita dengar?
BIBLIOGRAFI
Chaer, Abdul. 1976. Kamus Dialek Jakarta – Bahasa. Ende: Nusa Indah.
------------------. 1990. Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta.
Chaer, Abdul dan Leonie Agustina. 1995. Sosiolinguistik. Jakarta: Rineka Cipta.
Grijns, C.D. 1991. Kajian Bahasa Melayu Betawi. Seri ILDP. Jakarta: 1991.
Kridalaksana, Harimurti. 1968 “Second Participan in Indonesian Address” di dalam
Language Sciences 31.
Ranabrata, Utjen Djusen. 1998. “Istilah Kekerabatan dalam Masyarakat Sunda” di dalam
Kelana Bahasa dan Sastra: 28-34. Jakarta: PT. Bukit Timbel.
Sumampous, E.W.S. 1990. “Pola Penyapaan dalam Interaksi Verbal dengan Latar
Belakang Multilingual” di dalam Berita ILDEP Th. III, no. 1&2: 10-18.
4
Lampiran:
BAGAN SISTEM PERKERABATAN MASYARAKAT BETAWI
uyut
kumpi
?
ngkong + nyai
mertua
aba’ + ibu
ncang
ncing
cangantu
cingantu
cangbok
cingbok
besan
ipar
bini
EGO
laki
sudare
abang,
mpok
ade
misanan
mindon
mbok
mantu
anak
ponakan
cucu
cicit
buyut
Keterangan:
(1) dilihat dari EGO
(2)
menurunkan
(3)
setingkat
(4)
menikah
5
BAHAN DISKUSI
Bicarakan kata-kata yang dicetak tebal pada kalimat-kalimat berikut termasuk kata
perkerabatan, kata sapaan, kata acuan, atau kata sebutan!
Bang, ude denger ape belon, pagi tadi babe si Ali kecebur di empang Kong Jalil?
Pok Ida, name abang mpok nyang tinggal di Kuningan siape namenye?
“Bang Ali, mantan gubernur DKI, kini sudah tiade”, kata kong Sadeli kepade bininye.
“Mantu” kata pok Leha, “Cobe tanye tu anak nyang bediri di luar mau ape?”
“Pok!”, Tanya bang Ridwan ame mpok Siti, “Katenye mpok punye due orang mpok ame
tige orang abang, ape bener, Pok?”
6
Download