BAB I - Repository UNIMAL

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1.
Jelaskan istilah-istilah yang digunakan untuk hukum humaniter!
Istilah Hukum Humaniter atau lengkapnya international humanitarian law
applicable in armed conflict berawal dari istilah hukum perang (laws of war),
yang kemudian berkembang menjadi hukum sengketa bersenjata (laws of
armed conflict), yang akhirnya pada saat ini biasa dikenal dengan istilah
hukum humaniter.
2.
Bagaimana Haryomataram membagi hukum humaniter?
Haryomataram membagi hukum humaniter menjadi dua aturan pokok, yaitu
hukum yang mengatur mengenai cara dan alat yang boleh dipakai untuk
berperang (Hukum Den Haag/The Hague Laws); dan hukum yang mengatur
mengenai perlindungan terhadap kombatan dan penduduk sipil dari akibat
perang (Hukum Jenewa/The Geneva Laws).
3.
Bagaimana pula pemisahan hukum humaniter menurut Mochtar
Kusumaatmadja?
Mochtar Kusumaatmadja membagi hukum perang menjadi Jus ad bellum yaitu
hukum tentang perang, mengatur tentang hal bagaimana negara dibenarkan
menggunakan kekerasan bersenjata; dan Jus in bello yaitu hukum yang
berlaku dalam perang. Dimana hukum ini dibagi lagi dalam dua hal yaitu
hukum yang mengatur cara dilakukannya perang (conduct of war) yang biasa
disebut The Hague Laws; dan hukum yang mengatur perlindungan orangorang yang menjadi korban perang, yang biasanya disebut The Geneva Laws.
1
4.
Darimana asalnya hukum humaniter internasional?
Hukum
Perikemanusiaan
Internasional
adalah
bagian
dari
hukum
internasional. Hukum internasional adalah hukum yang mengatur hubungan
antara negara. Hukum internasional dapat ditemui dalam perjanjian-perjanjian
yang disepakati antara negara-negara sering disebut traktat atau konvensi dan
secara prinsip dan praktis negara menerimanya sebagai kewajiban hukum.
Dalam sejarahnya hukum perikemanusiaan internasional dapat ditemukan
dalam aturan-aturan
keagamaan
dan
kebudayaan
di
seluruh dunia.
Perkembangan modern dari hukum tersebut dimulai pada abad ke-19. Sejak
itu, negara-negara telah setuju untuk menyusun aturan-aturan praktis,
berdasarkan pengalaman pahit atas peperangan modern. Hukum itu mewakili
suatu keseimbangan antara tuntutan kemanusiaan dan kebutuhan militer dari
negara-negara. Seiring dengan berkembangnya komunitas internasional
sejumlah negara di seluruh dunia telah memberikan sumbangan atas
perkembangan hukum perikemanusiaan internasional. Dewasa ini hukum
perikemanusiaan internasional diakui sebagai suatu sistem hukum yang benarbenar universal.
5.
Bagaimana pengertian hukum humaniter yang diberikan oleh Panitia
Tetap Hukum Humaniter?
Menurut Panitia Tetap Hukum Humaniter adalah keseluruhan asas, kaidah dan
ketentuan internasional baik tertulis maupun tidak tertulis yang mencakup
hukum perang dan hak asasi manusia, bertujuan untuk menjamin
penghormatan terhadap harkat dan martabat seseorang.
6.
Apa yang dimaksud dengan Hukum Perikemanusiaan Internasional?
Hukum Perikemanusiaan Internasional adalah seperangkat aturan yang karena
alasan kemanusiaan dibuat untuk membatasi akibat-akibat dari pertikaian
2
bersenjata. Hukum ini melindungi mereka yang tidak atau tidak lagi terlibat
dalam pertikaian dan membatasi cara-cara dan metode peperangan. Hukum
Perikemanusiaan Internasional adalah istilah yang digunakan oleh Palang
Merah Indonesia untuk Hukum Humaniter Internasional (International
Humanitarian Law). Istilah lain dari Hukum Humaniter Internasional ini
adalah "Hukum Perang" (Law of War) dan "Hukum Konflik Bersenjata" (Law
of Armed Conflict).
7.
Jelaskan tiga asas yang dikenal dalam hukum humaniter!
Dalam hukum humaniter dikenal tiga asas utama, yaitu asas kepentingan
militer (military necessity) dimana pihak yang bersengketa dibenarkan
menggunakan kekerasan untuk menundukkan lawan demi tercapainya tujuan
dan
keberhasilan
perang;
asas
perikemanusiaan
(humanity)
yang
mengharuskan pihak yang bersengketa untuk memperhatikan perikemanusiaan
dan dilarang menggunakan kekerasan yang dapat menimbulkan luka yang
berlebihan atau penderitaan yang tidak perlu; dan asas ksatriaan (chivalry)
yaitu asas yang mengandung arti bahwa di dalam peperangan, kejujuran harus
diutamakan. Penggunaan alat-alat yang tidak terhormat, berbagai macam tipu
daya dan cara-cara yang bersifat khianat dilarang.
8.
Apakah yang menjadi tujuan hukum humaniter?
Hukum humaniter tidak bermaksud untuk melarang perang, karena dari sudut
pandang hukum humaniter, perang merupakan suatu kenyataan yang tidak
dapat dihindari. Tujuan hukum humaniter diantaranya adalah memberikan
perlindungan terhadap kombatan maupun penduduk sipil dari penderitaan
yang tidak perlu; menjamin hak asasi manusia yang sangat fundamental bagi
mereka yang jatuh ke tangan musuh; mencegah dilakukannya perang secara
3
kejam tanpa mengenal batas. Yang terpenting adalah adanya asas
perikemanusiaan.
9.
Jelaskan sejarah hukum humaniter pada zaman kuno!
Pada masa ini para pemimpin militer memerintahkan pasukan mereka untuk
menyelamatkan musuh yang tertangkap, memperlakukan dengan baik,
menyelamatkan penduduk sipil musuh, dan pada waktu penghentian
permusuhan biasanya para pihak bersepakat memperlakukan tawanan perang
dengan baik. Sebelum perang dimulai pihak musuh akan diberi peringatan
terlebih dulu. Untuk menghindari luka yang berlebihan maka ujung panah
tidak diarahkan ke hati musuh dan segera setelah ada yang terbunuh dan
terluka pertempuran dihentikan hingga 15 hari. Praktek-praktek hukum
humaniter yang pernah dilakukan oleh Bangsa Sumeria, Mesir Kuno, Bangsa
Hittite dan India pada masa kepahlawanan Mahabarata.
10. Jelaskan sejarah hukum humaniter pada abad pertengahan!
Pada abad pertengahan hukum humaniter dipengaruhi oleh ajaran-ajaran
agama Kristen, Islam dan Prinsip Kesatriaan. Ajaran agama Kristen
memberikan sumbangan penting dalam konsep perang adil. Agama Islam bisa
dilihat dalam Surat Al Baqarah, Al Anfaal, Attaubah dan Al Hajj, yang
memandang perang sebagai saran pembelaan diri, dan menghapuskan
kemungkaran. Prinsip Kesatriaan yang berkembang pada abad pertengahan ini
mengajarkan pentingnya pengumuman perang dan larangan penggunaan
senjata-senjata tertentu.
11. Jelaskan perkembangan hukum humaniter pada zaman modern!
Salah satu tonggak sejarah yang paling penting dalam perkembangan hukum
humaniter adalah didirikannya Palang Merah dan ditandatanganinya Konvensi
4
Jenewa tahun 1864. Pada waktu itu, Presiden Amerika Serikat Abraham
Lincoln meminta Lieber, seorang pakar hukum imigran Jerman, untuk
menyusun aturan perang. Hingga akhirnya dikeluarkan Lieber Code yang
dipublikasikan pada tahun 1863. Kode Lieber ini memuat aturan-aturan rinci
pada semua tahapan perang darat, tindakan perang yang benar, perlakuan
terhadap penduduk sipil, perlakuan terhadap kelompok orang-orang tertentu
seperti tawanan perang, yang luka dan sebagainya. Pada masa ini sudah
dikembangkannya aturan hukum humaniter dalam bentuk traktat-traktat umum
yang ditandatangani oleh mayoritas negara-negara setelah tahun 1850.
5
BAB II
SUMBER HUKUM HUMANITER
12. Apa saja yang menjadi sumber hukum internasional menurut Pasal 38
ayat(1) Statuta Mahkamah Internasional?
Menurut Pasal 38 (1) yang menjadi sumber hukum internasional adalah
perjanjian internasional, baik yang bersifat umum maupun yang khusus;
kebiasaan internasional; prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh
negara-negara beradab; dan keputusan pengadilan dan pendapat para ahli yang
telah diakui kepakarannya sebagai sumber hukum tambahan.
13. Jelaskan sumber hukum humaniter berdasarkan hukum Den Haag!
Sumber hukum humaniter menurut hukum Den Haag ada beberapa, namun
yang terpenting adalah hasil dari Konferensi Perdamaian I tahun 1899 dan
Konferensi Perdamaian II tahun 1907. Pada Konferensi Perdamaian I tahun
1899 ada tiga konvensi yang dihasilkan yaitu Konvensi tentang Penyelesaian
Damai Persengketaan Internasional; Konvensi tentang Hukum dan Kebiasaan
Perang di Darat; dan Konvensi tentang Adaptasi Asas-Asas Konvensi Jenewa
tanggal 22 Agustus 1864 tentang hukum perang di laut. Sedangkan tiga
deklarasi yang dihasilkan pada Konferensi Perdamaian I adalah melarang
penggunaan peluru dum-dum; peluncuran proyektil dan bahan peledak dari
balon; dan melarang penggunaan proyektil yang menyebabkan gas cekik dan
beracun. Adapun Konferensi Perdamaian II menghasilkan 13 buah konvensi.
14. Bagaimana isi Kalusula SiOmnes yang ada dalam Konvensi IV Den Haag
1907?
Dalam konvensi ini menghasilkan klausula yang dianggap penting yaitu
Klausula SiOmnes yang isinya menyatakan bahwa Konvensi hanya berlaku
6
apabila kedua belah pihak yang bertikai adalah pihak dalam konvensi, apabila
salah satu pihak bukan peserta konvensi, maka konvensi ini tidak berlaku. Hal
ini dicantumkan dalam pasal 2 Konvensi IV Den Haag 1907.
15. Jelaskan sumber Hukum humaniter menurut hukum Jenewa!
Sumber hukum humaniter menurut Konvensi Jenewa ada 4 yaitu keempat
Konvensi Jenewa 1949 yaitu Konvensi tentang Perbaikan kondisi lukua dan
sakit di dalam Angkatan bersenjata di medan perang; Konvensi tentang
perbaikan kondisi bagi yang luka, sakit, dan korban kecelakaan kapal bagi
Angkatan Bersenjata di laut; Konvensi yang berhubungan dengan perlakuan
terhadap tawanan perang; dan Konvensi yang berhubungan dengan
Perlindungan Orang Sipil pada saat peperangan. Selain itu juga dihasilkan 2
protokol tambahan. Baik Konvensi-Konvensi Jenewa maupun protocol
tambahannya merupakan sumber utama hukum humaniter.
16. Apakah yang dimaksud dengan common articles?
Dalam konvensi Jenewa, beberapa pasal diantaranya dipandang sangat penting
dan mendasar sehingga perlu dicantumkan di setiap konvensi, baik diletakkan
pada nomor pasal yang sama, maupun dirumuskan dengan redaksi atau isi
yang sama atau hampir sama. Pasal-pasal inilah yang lazim disebut sebagai
common articles. Common articles ini meliputi beberapa hal penting seperti
ketentuan umum, ketentuan hukum terhadap pelanggaran dan penyalahgunaan,
dan ketentuan mengenai pelaksanaan dan ketentuan penutup.
17. Menurut Pasal 2 Konvensi Jenewa, Konvensi itu berlaku dalam keadaan
apa saja?
Pasal 2 menyebutkan bahwa Konvensi Jenewa berlaku dalam keadaan perang
yang diumumkan; pertikaian bersenjata sekalipun keadaan perang tidak diakui;
7
dalam hal pendudukan sebagian atau seluruhnya, sekalipun pendudukan
tersebut tidak mendapatkan perlawanan.
18. Bagaimana hubungan Pasal 2 Konvensi Den Haag mengenai Klausula
SiOmnes dengan Pasal 2 Konvensi Jenewa 1949?
Dalam Pasal 2 Konvensi Den Haag IV 1907 dicantumkan tentang Klausula
SiOmnes yang menyebutkan bahwa Konvensi Jenewa hanya berlaku bila
kedua pihak yang bertikai merupakan peserta konvensi, bila salah satu pihak
bukan peserta konvensi maka dengan sendirinya konvensi tersebut tidak
berlaku bagi pertikaian tersebut. Namun dengan adanya Pasal 2 Konvensi
Jenewa, maka telah menghapuskan ketentuan Pasal 2 Konvensi Den Haag
1907. Artinya konvensi Jenewa tetap berlaku pada para pihak yang
bersengketa walaupun salah satu pihak tersebut itu tidak menjadi peserta pada
Konvensi Jenewa.
19. Siapakah yang dimaksud dengan negara pelindung menurut Konvensi
Jenewa?
Ketentuan mengenai keharusan adanya suatu negara pelindung dalam sengketa
bersenjata internasional, diatur dalam pasal 8 Konvensi Jenewa I, II, III dan
pasal 9 Konvensi IV. Walaupun demikian, dalam keadaan tersebut tidak
tertutup
kemungkinan
bagi
organisasi
kemanusiaan
lainnya
untuk
melaksanakan tugas-tugas sosialnya, asalkan ada persetujuan dari pihak-pihak
yang bersengketa itu sendiri. Apabila dalam keadaan tersebut tidak terpilih
suatu Negara Pelindung yang dapat disetujui oleh kedua belah pihak yang
bersengketa, maka negara-negara yang bersengketa dapat menentukan apa
yang disebut dengan “Substitute” atau pengganti. Pengganti ini tidak lagi
berupa negara, namun biasanya suatu organisasi internasional yang bersifat
netral (tidak memihak).
8
20. Apa yang dimaksud dengan negara pelindung?
Menurut Pasal 2 (c) Protokol I yang dimaksud dengan Negara Pelindung
adalah suatu negara netral atau negara lainnya yang bukan menjadi pihak
dalam pertikaian, yang telah ditunjuk oleh suatu pihak dalam pertikaian dan
disetujui oleh pihak lainnya, dan negara tersebut telah menyetujui untuk
melaksanakan
fungsi-fungsi
yang
dibebankan
kepadanya
berdasarkan
Konvensi dan Protokolnya.
21. Bagaimanakah mekanisme penunjukan “Substitute” menurut Pasal 5
Protokol?
Sejak permulaan pertikaian, pihak yang bertikai wajib menjamin pengawasan
dan pelaksanaan konvensi dan protokolnya dengan menerapkan system negara
pelindung; Sejak permulaan itu, para pihak yang bertikai tanpa menundanunda menunjuk negara pelindung untuk melaksanakan ketentuan konvensi
dan
protokolnya
serta
mengijinkan
negara
pelindung
melaksanakan
kegiatannya dan diterima oleh pihak lawan; Jika belum dapat ditentukan
negara pelindung pada permulaan situasi, maka dapat ditunjuk negara
pelindung, seperti ICRC atau badan lain sejenis untuk memberikan jasa-jasa
baiknya kepada pihak dalam konflik untuk secepat mungkin menunjuk negara
pelindung yang disetujui para pihak bertikai; Mediator dalam hal ini meminta
para pihak untuk menyerahkan sekurang-kurangnya lima negara yang
diusulkan sebagai negara pelindung dirinya sendiri dan sebagai pelindung
pihak lawan, demikian juga dengan pihak lawan harus menyerahkan dua daftar
negara pelindung. Berdasarkan daftar tersebut diharapkan mediator dapat
mengusulkan satu negara sebagai negara pelindung yang dapat disetujui oleh
kedua belah pihak. Jika tidak dapat disetujui juga, maka dengan secepatnya
9
kedua pihak harus memperbolehkan ICRC atau organisasi internasional
lainnya yang tidak berpihak untuk bertindak sebagai Substitute.
22. Apakah kewajiban utama dari Pihak Peserta mengenai pelanggaran
berat (grave breaches)?
Kewajiban utama yang berkaitan dengan pelanggaran berat yang harus
dilakukan oleh pihak peserta konvensi adalah membuat undang-undang di
tingkat nasional yang mengatur mengenai pelanggaran berat; mencari orang
yang diduga melakukan pelanggaran berat; dan mengadili pelaku pelanggaran
berat.
23. Apa saja yang termasuk dalam kategori Pelanggaran Berat menurut
Konvensi I Jenewa?
Menurut Konvensi I Jenewa pasal 50, yang termasuk pelanggaran berat adalah
pembunuhan yang disengaja; penganiayaan atau perlakuan yang tidak
berperikemanusiaan, termasuk percobaan biologis; menyebabkan dengan
sengaja, penderitaan besar atau luka berat atas badan atau kesehatan; dan
pembinasaan yang luas dan tindakan pemilikan atas harta benda yang tidak
dibenarkan oleh kepentingan militer dan yang dilaksanakan dengan melawan
hukum dan semena-mena.
24. Selain hukum Den Haag dan hukum Jenewa, apalagi yang menjadi
sumber hukum humaniter?
Selain kedua sumber utama tersebut, hukum humaniter juga mengenal sumber
hukum lainnya seperti Protokol tambahan 1977 yang sering disebut sebagai
hukum campuran karena selain mengatur perlindungan terhadap korban
perang ada juga mengatur mengenai cara dan alat berperang. Selain itu ada
juga beberapa asas umum yang diterima dalam hukum humaniter yaitu asas
10
bahwa pembajakan dihapus dan akan tetap dihapus; bendera netral melindungi
barang-barang musuh; berang-barang netral di bawah bendera musuh tidak
boleh disita; dan supaya mengikat, blokade harus efektif, artinya dilakukan
oleh sesuatu kekuatan yang mencukupi untuk benar-benar mencegah
mendekatnya kapal ke pantai musuh.
25. Apakah yang dimaksud dengan Klausula Martens?
Klausula ini menentukan bahwa apabila hukum humaniter belum mengatur
suatu ketentuan hukum mengenai masalah-masalah tertentu, maka ketentuan
yang dipakai harus mengacu kepada prinsip-prinsip hukum internasional yang
terjadi dari kebiasaan yang terbentuk diantara negara-negara yang beradab;
dari hukum kemanusiaan; serta dari pendapat publik.
11
BAB III
SARANA DAN METODE PERANG
26. Bagaimana perbedaan Lieber Code dengan Deklarasi St. Petersburg?
Dokumen Lieber mengatur secara rinci mengenai aspek-aspek hukum dan
kebiasaan perang di darat, mulai dari bagaimana perang seharusnya
dilaksanakan sampai dengan bagaimana perlakuan yang harus diberikan
kepada penduduk sipil; termasuk penduduk dalam kategori khusus seperti
tawanan perang, yang terluka, dan sebagainya. Adapaun Deklarasi St.
Petersburg merupakan suatu perjanjian internasional yang hanya mengatur
mengenai suatu aspek saja dari peperangan, yakni mengatur mengenai
persenjataan khususnya perkembangan proyektil-proyektil yang dapat
meledak.
27. Apakah maksud dari Deklarasi St. Petersburg?
Maksud utama dari deklarasi ini adalah membatasi penggunaan terhadap
perkembangan persenjataan yang bersifat mudah menyala dan meledak. Hal
ini disebabkan apabila penggunaan senjata tersebut ditujukan pada bangunanbangunan militer, maka akibat yang akan ditimbulkan akan cukup memberi
arti.
28. Apakah yang menjadi peraturan dasar tentang metode dan sarana
berperang?
Ketentuan utama tentang metode dan sarana berperang terdapat dalam
Konvensi Den Haag IV (1907), terutama Lampirannya yang berjudul
“Regulations respecting the Laws and customs of war on land” atau sering
disebut Hague Regulations. Peraturan ini mengatur mengenai hukum dan
12
kebiasaan perang di darat, termasuk ketentuan-ketentuan mengenai metode
dan sarana berperang.
29. Bagaimanakah
peraturan
mengenai
sarana
berperang
menurut
Peraturan Den Haag?
Peraturan dasar yang paling utama dalam menggunakan alat untuk melakukan
peperangan dalam suatu sengketa bersenjata adalah keterbatasan dalam
memilih dan menggunakan sarana atau alat berperang
30. Bagaimanakah peraturan Den Haag mengenai metode berperang?
Peraturan Hague Regulations (HR) melarang membunuh atau melukai orang
dari pihak musuh secara curang atau khianat; melarang melakukan perang
dengan kejam, seperti melarang membunuh atau melukai musuh yang telah
menyerah, atau melarang dilakukan pemboman terhadap kota, desa, daerahdaerah berpenduduk atau daerah yang tidak dipertahankan.
31. Bagaimana pula metode berperang menurut Protokol Tambahan I?
Secara garis besar ketentuan mengenai alat dan cara berperang dalam Protokol
ini disempurnakan lagi, diantaranya dengan adanya penambahan aturan dasar,
ketentuan mengenai senjata-senjata baru, adanya penambahan lambinglambang internasional yang harus dihormati selama masa peperangan, dan
perluasan kategori orang-orang yang dapat terlibat dalam sengketa bersenjata.
32. Bagaimana konsep khianat (perfidy) di dalam Protokol I?
Dalam Protokol I terdapat perluasan penerapan konsep khianat. Walaupun
sebelumnya sudah diperkenalkan konsep ini dalam Konvensi Den Haag, ada
perbedaan konsep diantara keduanya. Perbedaannya, dalam konsep Den Haag,
larangan melakukan khianat hanya diterapkan dalam kaitannya dengan
13
pembunuhan, melukai atau menangkap musuh saja, sedangkan dalam Protokol
larangan tersebut diperluas dengan tidak hanya diterapkan di dalam suatu
operasi-operasi pertempuran saja, diterapkan juga pada penghormatan
terhadap bendera gencatan senjata, tanda kebangsaan, penduduk sipil dan
lambang-lambang internasional lainnya.
14
BAB IV
PRINSIP PEMBEDAAN
33. Apakah yang dimaksud dengan Prinsip Pembedaan?
Prinsip atau asas pembedaan merupakan suatu asas penting dalam Hukum
Humaniter, yaitu suatu prinsip atau asas yang membedakan atau membagi
penduduk dari suatu negara yang sedang berperang, atau sedang terlibat dalam
konflik bersenjata, ke dalam dua golongan yaitu Kombatan dan Penduduk
Sipil. Kombatan adalah golongan penduduk yang secara aktif turut serta dalam
permusuhan, sedangkan penduduk sipil adalah golongan penduduk yang tidak
turut serta dalam permusuhan.
34. Bagaimana pendapat Jean Pictet mengenai asal prinsip pembedaan?
Menurut Jean Pictet, prinsip pembedaan berasal dari asas umum yang
dinamakan asas pembatasan ratione personae yang menyatakan bahwa
penduduk dan individu sipil seharusnya mendapatkan perlindungan dari
bahaya yang timbul akibat operasi militer. Adapun penjabaran dari asas ini
dapat dilihat bahwa pihak yang bersengketa harus membedakan antara
kombatan dan penduduk sipil; penduduk sipil dan individu sipil tidak boleh
dijadikan objek serangan; Tidak boleh dilakukannya tindakan terror terhadap
penduduk sipil; pihak yang bersengketa harus mencegah dan menyelamatkan
penduduk sipil dari kerugian akibat perang atau permusuhan; dan hanya
anggota angkatan bersenjata yang berhak menyerang dan menahan musuh.
35. Apakah tujuan prinsip pembedaan?
Prinsip pembedaan lebih ditujukan sebagai upaya untuk melindungi penduduk
sipil pada waktu perang atau konflik bersenjata, secara tidak langsung prinsip
ini juga melindungi para kombatan atau anggota angkatan bersenjata dari
15
pihak-pihak yang terlibat perang atau konflik bersenjata. Secara normative,
prinsip ini dapat menghilangkan kemungkinan terjadinya pelanggarn yang
dilakukan oleh kombatan terhadap penduduk sipil, yang akan memperkecil
kemungkinan terjadinya pelanggaran terhadap hak asasi manusia.
36. Bagaimanakah aturan mengenai prinsip pembedaan dalam Bagian
Pertama, Bab I HR, Pasal 1 (Konvensi Den Haag 1907)?
Yang diatur di dalam Konvensi Den Haag adalah penegasan bahwa hukum,
hak, dan kewajiban perang bukan hanya berlaku bagi tentara, melainkan juga
bagi milisi dan korps sukarelawan, sepanjang memenuhi persyaratan tertentu.
Ditegaskan juga bahwa di negara-negara yang milisi dan korps sukarelawan
merupakan tentara atau merupakan bagian dari tentara, maka milisi dan korps
sukarelawan itu dimasukkan dalam sebutan tentara. Maksudnya bagi milisi
dan korps sukarelawan itu hukum, hak dan kewajiban mereka tidak berbeda
dengan hukum, hak dan kewajiban tentara.
37. Bagaimana pula yang dimaksud dengan levee en masse dalam Pasal 2
HR?
Levee en masse adalah penduduk di sebuah daerah yang tidak dikuasai, yang
dalam pendekatan musuh, secara sontan mengangkata senjata untuk melawan
musuh tanpa mempunyai waktu yang cukup untuk menyusun dan
mengorganisir diri mereka, dianggap sebagai belligerent jika mereka
membawa senjata secara terbuka dan mereka menghormati ketentuan dan
kebiasaan perang. Mereka dapat dikategorikan sebagai belligerent dengan
syarat bahwa penduduk dari wilayah yang belum diduduki; secara spontan
mengangkat senjata; tidak memiliki waktu untuk mengatur diri; menghormati
hukum dan kebiasaan perang; dan membawa senjata secara terbuka. Karena
mereka tidak sempat mempersiapkan diri maka levee en masse ini juga bersifat
16
temporal artinya mereka harus mengorganisir diri bila ingin melanjutkan
perlawanannya. Dalam hal ini mereka akan dikategorikan sebagai milisi atau
sukarelawan yang termasuk dalam kategori kombatan.
38. Siapa saja yang tergolong dalam pihak-pihak yang boleh turut secara
aktif dalam pertempuran atau kombatan menurut Konvensi Den Haag
1907?
Yang digolongkan sebagai pihak-pihak yang boleh turut serta secara aktif
dalam pertempuran atau kombatan menurut Konvensi Den Haag 1907,
khususnya HR, adalah Armies (Tentara); Militia and Volunteer Corps (Milisi
dan Korps Sukarelawan) dengan memenuhi persyaratan tertentu; dan Leeve on
Masse.
39. Apakah yang dimaksud dengan istilah non-combatan dalam Pasal 3 HR?
Istilah non-combatan dalam pasal 3 HR ini bukanlah dalam arti civilians atau
penduduk sipil, melainkan bagian dari angkatan bersenjata yang tidak turut
bertempur (seperti dokter militer dan rohaniawan). Meskipun mereka tidak
turut bertempur, kalau mereka tertangkap oleh musush, mereka juga berhak
memperoleh status sebagai tawanan perang.
40. Bagaimana ketentuan mengenai kombatan dalam Konvensi Jenewa 1949?
Ketentuan mengenai kombatan dalam Konvensi Jenewa berbeda dengan
ketentuan dalam Konvensi Den Haag 1907, khususnya HR. Dalam Konvensi
Jenewa 1949, mulai dari Konvensi I sampai Konvensi IV, tidak menyebutkan
istilah kombatan, melainkan hanya menentukan ‘yang berhak mendapatkan
perlindungan’ dan ‘yang berhak mendapatkan perlakuan sebagai tawanan
perang’ bila jatuh ke tangan musuh. Mereka yang harus disebutkan di atas
harus dibedakan dengan penduduk sipil. Meskipun tidak disebutkan dengan
17
tegas adanya penggolongan Combatans dengan Civilians, namun ketentuan
dalam Konvensi Jenewa jelas maksudnya adalah untuk memberlakukannya
kepada kombatan.
41. Siapakah yang disebut dengan Organized Resistance Movement dalam
Konvensi Jenewa?
Organized Resistance Movement atau Gerakan Perlawanan yang Terorganisasi
adalah penduduk yang merupakan bagian dari pihak-pihak yang bertikai, yang
melakukan operasinya baik di dalam maupun di luar wilayah mereka
walaupun wilayah tersebut telah diduduki. Mereka dapat dimasukkan dalam
golongan kombatan jika memiliki pemimpin yang bertanggung jawab atas
bawahannya; mengenakan tanda-tanda tertentu yang dapat dikenali dari jarak
tertentu; membawa senjata secara terbuka; beroperasi dengan mematuhi
hukum dan kebiasaan perang.
42. Bagaimana istilah Kombatan di dalam Protokol Tambahan tahun 1977?
Dalam Protokol Tambahan Pasal 43 ditegaskan bahwa yang digolongkan
dalam kombatan adalah mereka yang termasuk dalam pengertian armed forces
(angkatan bersenjata) suatu negara, dan mereka yang termasuk kedalam
pengertian angkatan bersenjata itu adalah mereka yang memiliki hak untuk
berperan serta secara langsung dalam permusuhan. Mereka terdiri atas
angkatan bersenjata yang terorganisasi, kelompok-kelompok atau unit-unit
yang berada di bawah suatu komando yang bertanggung jawab atas tingkah
laku bawahannya kepada pihak yang bersangkutan, meskipun pihak tersebut
diwakili oleh suatu Penguasa yang tidak diakui oleh Pihak yang menjadi
lawannya, dengan ketentuan bahwa angkatan bersenjata itu harus tunduk
kepada suatu disiplin internal.
18
BAB V
MATA-MATA, TENTARA BAYARAN &
KOMBATAN YANG TIDAK SAH
43. Apakah tujuan dari kegiatan mata-mata?
Kegiatan mata-mata dapat dilakukan untuk mendapatkan informasi penting,
yang biasanya tidak mudah didapatkan melalui jalur-jalur komunikasi resmi.
Informasi tersebut dapat diperoleh melalui alat-alat telekomunikasi yang
canggih seperti satelit mata-mata, yang umumnya dipergunakan untuk
mendapatkan informasi mengenai foto udara (aerial photography), eksplorasi
permukaan bumi (surface exploration), dan sebagainya. Namun demikian
adapula kegiatan untuk mendapatkan informasi tersebut tanpa menggunakan
alat berteknologi tinggi, melainkan dengan menggunakan agen rahasia (secret
agent). Disinilah kegiatan mata-mata dimulai. Kegiatan tersebut tidak dilarang
berdasarkan hukum kebiasaan internasional.
44. Apakah perbedaan kegiatan mata-mata dengan pengkhianatan?
Kegiatan mata-mata berbeda dengan yang disebut pengkhianatan (war
treason). Pengkhianatan adalah apabila penduduk sipil di wilayah yang
diduduki memberikan keterangan kepada pasukan yang menduduki wilayah
tersebut. Pengkhianatan ini dianggap melanggar hukum dari pihak yang
menduduki wilayah tersebut, karena sebagai penduduk sipil seharusnya ia
melakukan hak dan kewajibannya untuk tidak terlibat dalam pertikaian, dan
melakukan aktivitas sebagai mana biasanya.
19
45. Jelaskan macam-macam istilah dari mata-mata?
Terdapat berbagai istilah yang dipergunakan untuk mengatakan kegiatan
seseorang sebagai mata-mata, diantaranya Espionage, Spies, Clandestine, dan
Intellegence. Espionage adalah perbuatan pidana yang bertujuan untuk
mengumpulkan, memindahkan atau pun menghilangkan keterangan yang
berkaitan dengan pertahanan nasional dengan maksud keterangan itu dapat
dipergunakan utnuk merugikan negara atau untuk keuntungan bangsa lain.
Spies adalah seseorang yang karena pekerjaannya dikirim ke kamp musuh
untuk memastikan kekuatan, kehendak, dan gerakan-gerakan musuh, untuk
kemudian menyampaikan informasi itu secara rahasia kepada pejabat yang
berwenang, maka berdasarkan hukum internasional, orang tersebut dapat
dijatuhi hukuman mati. Clandestine maksudnya adalah kegiatan yang
dilakukan secara rahasia dan tersembunyi demi mencapai tujuan yang tidak
sah. Sedangkan Intellegence adalah kegiatan untuk mendapatkan berita atau
informasi mengenai hal-hal penting atau keterangan-keterangan rahasia.
46. Sebutkan definisi mata-mata!
Ada beberapa macam definisi mengenai mata-mata. Menurut Pietro Verri,
seseorang dianggap mata-mata apabila melakukan perbuatan secara diam-diam
atau berpura-pura bohong, untuk mendapatkan atau mencoba untuk
mendapatkan informasi militer di wilayah yang dikuasai oleh musuh; seorang
mata-mata yang tertangkap oleh musuh tidak dapat dihukum tanpa proses
peradilan terlebih dahulu; seorang mata-mata, setelah kembali menjadi
serdadu di tempat asalnya, jika tertangkap oleh musuh akan diperlakukan
sebagai tawanan perang dan dia tidak bertanggung jawab atas perbuatan matamata yang dilakukan sebelumnya; seorang angkatan bersenjata yang
mengenakan pakaian seragam dan sedang mengumpulkan atau mencoba untuk
20
mengumpulkan informasi di wilayah yang dikuasai oleh musuh tidak dianggap
sebagai melakukan kegiatan mata-mata.
47. Jelaskan istilah-istilah yang digunakan untuk Tentara Bayaran!
Ada beberapa istilah yang telah dikenal untuk menyebut tentara bayaran.
Misalnya pada awal Kekaisaran Romawi dikenal istilah Balearic Slingers dan
Aegean Bowmen. Di Jerman (pada abad pertengahan) disebut dengan
Landsknechts, sementara pada masa revolusi di Amerika disebut Hessian, dan
di Itali disebut Condottieri. Pada masa kini istilah yang sering digunakan
adalah Mercenary, bahkan masyarakat umum terkadang menyebutnya sebagai
Soldier of Fortune.
48. Bagaimana pendapat para ahli terhadap tentara bayaran?
Banyak pendapat dan persepsi mengenai tentara bayaran. Diantaranya oleh
Ayala yang berpendapat bahwa sebaiknya suatu negara yang akan berperang
menggunakan warga negaranya sendiri, karena tentara asing yang mengabdi
pada negara hanyalah karena kepentingan pribadi. Jadi tidak perlu adanya
tentara bayaran. Sedangkan menurut Vitoria dan Grotius, tentara bayaran
dapat ikut serta dalam suatu peperangan asalkan peperangan tersebut adil (just
war).
49. Jelaskan
pengaturan
tentang
tentara
bayaran
menurut
Hukum
Humaniter!
Pengertian tentara bayaran secara eksplisit baru ada dalam Protokol Tambahan
I 1977. Namun sebenarnya ketentuan yang menyerupai tentara bayaran, yaitu
ketentuan tentang perekrutan orang asing dalam perang, sudah diatur dalam
Konvensi Den Haag 1907. Pada hakekatnya, berdasarkan Konvensi Den Haag,
merupakan kewajiban negara-negara untuk tetap berstatus sebagai negara
21
netral atau tidak ikut terlibat pada pertikaian antara negara-negara yang
bersengketa dengan memberikan bantuan tentara bayaran. Namun bila
dilakukan oleh individu suatu negara netral, maka negara tersebut tidak
kehilangan kenetralannya. Sedangkan orang atau tentara bayaran tersebut akan
diterapkan hukum dan kebiasaan perang apabila menjadi tawanan perang.
50. Apakah yang menjadi syarat agar dapat dikatakan tentara bayaran yang
sah?
Menurut Pasal 4 Konvensi III Jenewa, seorang tentara bayaran dianggap sah
bila memenuhi persyaratan bahwa ia menjadi anggota angkatan perang, milisi
atau barisan sukarela yang menjadi bagian angkatan perang tersebut; menjadi
anggota milisi atau barisan sukarela, serta anggota perlawanan yang
terorganisir dibawah pimpinan yang bertanggung jawab terhadap bawahannya,
memakai tanda pengenal yang dapat dikenal dari jauh, membawa senjata
secara terbuka, dan melakukan operasi sesuai dengan hukum dan kebiasaan
berperang.
51. Bagaimana pengaturan tentang tentara bayaran dalam Protokol
Tambahan I tahun 1977?
Dalam Protokol Tambahan I 1977 diatur mengenai tentara bayaran yang
menyebutkan bahwa seorang tentara bayaran tidak berhak atas status
kombatan atau tawanan perang; dan yang dimaksud dengan tentara bayaran
adalah tentara yang secara khusus direkrut di dalam negeri atau di luar negeri
dalam rangka untuk berperang dalam suatu sengketa bersenjata; secara nyata
ikut serta langsung dalam permusuhan; motivasinya adalah untuk mencari
keuntungan pribadi, dijanjikan kompensasi materi, atau jabatan dalam
angkatan bersenjata; bukan warga negara dari negara yang bersengketa, dan
bukan pula orang yang berdiam di wilayah sengketa; bukan anggota dari
22
angkatan bersenjata dari salah satu pihak yang bersengketa; dan tidak dikirim
oleh negara-negara diluar pihak yang bersengketa.
52. Jelaskan pembagian kelompok penduduk dalam suatu wilayah yang
bertikai!
Dalam suatu konflik bersenjata, penduduk pihak yang bertikai dibagi dalam
dua kelompok atau status yaitu sebagai kombatan dan sipil. Kombatan berhak
untuk ikut serta secara langsung dalam permusuhan, boleh membunuh dan
dibunuh dan apabila tertangkap diperlakukan sebagai tawanan perang.
Sedangkan kelompok sipil tidak boleh turut serta dalam permusuhan, harus
dilindungi dan tidak boleh dijadikan sasaran serangan.
53. Siapakah yang disebutkan sebagai kombatan?
Kombatan adalah orang yang mempunyai hak untuk turut serta secara
langsung dalam peperangan dan apabila tertangkap oleh pihak lawan harus
diperlakukan sebagai tawanan perang. Mereka adalah anggota angkatan
bersenjata dari pihak yang bertikai, tidak termasuk tenaga kesehatan dan
rohaniawan. Kombatan terbagi dalam dua golongan yaitu kombatan sah
(lawful combatant) dan kombatan tidak sah (unlawful combatant).
54. Apakah yang dimaksud dengan kombatan yang tidak sah?
Kombatan yang tidak sah (unlawful combatant) adalah mereka yang tidak
memenuhi syarat sebagaimana yang diatur dalam Konvensi-konvensi hukum
humaniter untuk dapat disebut sebagai kombatan, tetapi ikut serta secara
langsung dalam permusuhan.
23
BAB VI
KETENTUAN-KETENTUAN YANG BERSAMAAN
55. Apakah yang dimaksud dengan ketentuan yang bersamaan?
Ketentuan yang bersamaan atau pasal-pasal yang bersamaan adalah ketentuanketentuan yang karena pentingnya dimuat pada keempat Konvensi Jenewa
1949 dengan bunyi yang sama atau dengan sedikit modifikasi. Ketentuanketentuan yang bersamaan ini ada yang dimuat dalam pasal-pasal yang sama
pada keempat konvensi dan ada pula pada pasal-pasal yang berlainan
56. Jelaskan beberapa penggolongan ketentuan yang bersamaan!
Ketentuan yang bersamaan terbagi ke dalam tiga golonan yaitu ketentuanketentuan
pelanggaran
umum;
dan
ketentuan-ketentuan
penyalahgunaan
mengenai
konvensi;
dan
hukuman
terhadap
ketentuan-ketentuan
pelaksanaan dan penutup (akhir).
57. Bagaimana pengaturan mengenai penghormatan terhadap konvensi?
Penghormatan konvensi ini ditegaskan dalam Pasal 1 yang menyatakan bahwa
para pihak Peserta berjanji untuk menghormati dan menjamin penghormatan
konvensi-konvensi dalam segala keadaan. Penempatannya dalam Pasal 1
menunjukkan bahwa para peserta konferensi hendak menekankan pentingnya
kewajiban para peserta untuk menghormati ketentuan-ketentuan konvensi.
Menurut Haryomataram, kata ‘menjamin penghormatan’ dalam Pasal 1 harus
diartikan sebagai negara harus memerintahkan kepada petugas militer dan sipil
untuk mentaati konvensi-konvensi ini; negara harus mengawasi pelaksanaan
dari perintah tersebut; serta negara harus mengambil tindakan apabila ada
petugas melanggar konvensi tersebut. Sedangkan kata ‘dalam segala hal’
diartikan sebagai konvensi harus tetap dihormati tanpa memandang apakah
24
perang itu sah atau tidak, agresi atau bukan, konvensi ini tetap berlaku asalkan
memenuhi syarat-syarat tertentu.
58. Bagaimana pengaturan mengenai ruang lingkup berlakunya konvensi?
Menurut Pasal 2, Konvensi ini akan berlaku dalam hal perang yang dinyatakan
ataupun konflik bersenjata lainnya yang timbul di antara dua pihak peserta
atau lebih, sekalipun keadaan perang tidak diakui oleh salah satu pihak.
Ketentuan ini merupakan perubahan yang sangat significan terhadap prinsip
yang membatasi berlakunya Konvensi Perlindungan Korban Perang hanya
pada perang dalam arti hukum saja. Ketentuan ini sangat memperluas
berlakunya Konvensi karena tidak hanya berlaku pada perang dalam arti
hukum tetapi juga perang dalam arti teknis.
59. Bagaimana
pengaturan
mengenai
sengketa
bersenjata
Non-
Internasional?
Konvensi Den Haag 1907 dan Konvensi Jenewa 1929 hanya mengatur perang
atau konflik bersenjata antar negara. Dalam kedua konvensi tersebut tidak
dimuat ketentuan tentang perang saudara (civil war) dan pemberontakan
(insurgence). Ketentuan tentang perang/konflik yang terjadi di dalam wilayah
suatu negara, baru diatur dalam Pasal 3 Konvensi Jenewa. Pasal ini biasa
disebut Konvensi Mini atau Konvensi Kecil. Di dalam Pasal 3 itu menegaskan
larangan untuk kekerasan terhadap jiwa orang; penyanderaan; merendahkan
martabat pribadi, khususnya perlakuan yang bersifat menghina dan
merendahkan martabat; penghukuman dan pelaksanaan pututsan tanpa putusan
yang diumumkan lebih dahulu oleh pengadilan yang dilakukan secara lazim
yang memberikan jaminan hukum yang diakui karena sangat dibutuhkan oleh
semua bangsa yang beradab.
25
60. Jelaskan ketentuan yang bersamaan dalam hal orang-orang yang
dilindungi!
Pasal atau ketentuan yang bersamaan dalam Konvensi yang mengatur tentang
orang-orang yang dilindungi adalah Pasal 13 Konvensi I, II, dan III dan Pasal
41 Konvensi. Orang-orang yang dilindungi dalam ketentuan yang bersamaan
ini adalah dalam pengertian sempit yaitu terbatas pada orang-orang yang turut
serta dalam perang atau sengketa bersenjata yang telah menjadi korban perang
karena sakit dan tertawan.
61. Bagaimana ketentuan yang bersamaan mengenai persetujuan khusus?
Menurut Pasal 6 Konvensi, pihak-pihak peserta Konvensi dapat mengadakan
persetujuan khusus tentang segala hal selain dari yang ditentukan dalam Pasal
10, 15, 23, 28, 31, 36, 37 dan 52. Ketentuan ini hanya menetapkan bahwa
persetujuan tersebut tidak boleh mengurangi atau membatasi hak-hak yang
diberikan Konvensi kepada orang-orang tersebut.
62. Jelaskan ketentuan yang bersamaan dalam hal larangan pelepasan hak!
Larangan pelepasan hak ditegaskan dalam Pasal 7 Konvensi I, II, III dan Pasal
8 Konvensi IV. Pasal-pasal tersebut menegaskan bahwa yang luka dan sakit,
demikian juga anggota dinas kesehatan serta rohaniawan sekali-kali tidak
boleh menolak sebagian atau seluruh hak yang diberikan kepada mereka oleh
konvensi-konvensi ini serta oleh persetujuan-persetujuan khusus seperti
tersebut dalam pasal terdahulu, bila ada. Asas larangan pelepasan hak ini
berlaku untuk semua hak yang melindungi korban perang. Larangan ini
bersifat mutlak, termasuk juga penolakan hak yang dilakukan secara sukarela
atau atas kemauan sendiri. Berdasarkan ketentuan ini, maka negara penahan
tidak mungkin mengelakkan kewajibannya memberikan perlindungan terhadap
26
orang-orang yang berada dalam kekuasaannya dengan alasan bahwa orangorang tersebut dengan sukarela atau atas kemauan sendiri menolak hak-hak
dan jaminan yang diberikan oleh konvensi-konvensi kepada mereka.
63. Jelaskan pengaturan tentang pengawasan pelaksanaan konvensi!
Gagasan bahwa pelaksanaan hukum humaniter berada di bawah pengawasan
internasional telah berkembang terutama dalam kerangka hukum Jenewa.
Dalam keadaan normal negara-negara sudah biasa melindungi warganegara
mereka di negara asing. Juga sudah merupakan kebiasaan bagi suatu negara
untuk meminta bantuan negara ketiga untuk melindungi kepentingannya di
negara lain. Ini berkembang menjadi praktek kebiasaan dalam abad ke-19, dan
diabadikan dalam Konvensi Jenewa 1929 dan Konvensi 1949 sebagai suatu
system negara pelindung. System negara pelindung diatur dalam Pasal 8
Konvensi I, II, III dan Pasal 9 Konvensi yang terdiri atas 3 ayat. Selain system
negara pelindung, pengawasan juga dapat dilakukan oleh Palang Merah
Internasional dan organisasi kemanusiaan lainnya. Pasal 9 Konvensi I, II, III
dan Pasal 10 Konvensi IV menyatakan secara tegas bahwa Komite Palang
Merah Internasional atau organisasi kemanusiaan lainnya berhak melindungi
dan menolong yang luka dan sakit, anggota dinas kesehatan dan para
rohaniawan selama kegiatan-kegiatan tersebut mendapat persetujuan pihakpihak yang bersengketa tersebut.
64. Bagaimana ketentuan yang bersamaan dalam hal larangan melakukan
pembalasan?
Tindakan pembalasan tidak boleh dilakukan untuk segala keadaan. Dalam
keadaan-keadaan tertentu tindakan ini tidak diperbolehkan sesuai dengan
ketentuan dalam Pasal 46 Konvensi I, 47 Konvensi II, 13 Konvensi III, dan 33
Konvensi IV. Menurut ketentuan di atas, pembalasan dilarang dilakukan
27
terhadap orang yang luka, sakit, korban karam, para pegawai, gedung-gedung
atau perlengkapan yang dilindungi, dinas dan personil kesehatan, dinas dan
personil tahanan sipil, tawanan perang, orang-orang sipil, hak milik sipil dan
budaya. Larangan ini diperluas oleh Protokol I 1977 sampai kepada larangan
pembalasan terhadap lingkungan alam dan bangunan-bangunan serta instalasiinstalasi yang berbahaya.
65. Jelaskan penyebarluasan konvensi yang diatur secara bersamaan dalam
konvensi hukum humaniter!
Berdasarkan ketentuan Pasal 47 Konvensi I ditegaskan bahwa para Pihak
Peserta Agung berjanji untuk menyebarluaskan naskah Konvensi di negara
mereka masing-masing. Penyebarluasan ini meliputi pula pemasukan
pengajarannya di dalam program-program pendidikan militer dan jika
mungkin dalam program pendidikan sipil, baik di masa damai maupun masa
perang.
66. Bagaimana pengaturan sanksi dalam hukum humaniter?
Pasal 49, 50, 129, dan 146 Konvensi I, II, III dan IV berturut-turut meletakkan
kewajiban kepada pemerintah untuk membuat peraturan perundang-undangan
yang diperlukan untuk memberikan sanksi yang efektif bagi orang-orang yang
melakukan atau memerintahkan melakukan pelanggaran berat atau kejahatan
perang; keharusan mencari orang-orang yang didakwa melakukan atau
memerintahkan tindakan pelanggaran berat tersebut termasuk mereka yang
menyebabkan kegagalan untuk bertindak manakala mereka berkewajiban
melakukan hal tersebut. Pasal-pasal ini juga mengharuskan komandan militer
untuk mencegah pelanggaran atas Konvensi dan Protokol, menindak mereka
dan bila perlu melaporkan mereka kepada penguasa yang berwenang.
28
67. Jelaskan ketentuan mengenai mulai dan berakhirnya konvensi!
Konvensi-konvensi mulai berlaku bagi setiap peserta enam bulan setelah
penyimpanan dokumen ratifikasi pada Dewan Federal Swiss (Pasal 58).
Apabila ada negara yang turut serta dengan jalan penyertaan (accession),
konvensi juga akan mulai berlaku enam bulan sesudah tanggal penerimaan
pemberitahuan tersebut (Pasal 61). Sedangkan untuk pernyataan tidak terikat
lagi
pada
ketentuan
konvensi
mulai
berlaku
satu
tahun
setelah
pemberitahuannya kepada Dewan Federasi.
29
BAB VII
PROTOKOL TAMBAHAN 1977
68. Apa alasannya sehingga dibentuk Protokol Tambahan?
Protokol Tambahan 1977 merupakan ketentuan baru yang menambah dan
melengkapi Konvensi-Konvensi Jenewa 1949. Protokol tambahan tersebut
terdiri dari Protokol Tambahan I dan Protokol Tambahan II. Protokol
Tambahan I dibentuk disebabkan metode peperangan yang digunakan oleh
negara-negara telah berkembang; demikian pula aturan-aturan mengenai tata
cara berperang. Sedangkan Protokol Tambahan II terbentuk karena pada
kenyataannya konflik-konflik yang terjadi sesudah Perang Dunia II adalah
konflik yang bersifat non-internasional. Prinsip-prinsip kemanusiaan yang
telah dicantumkan sebelumnya dalam Pasal 3 Konvensi ditegaskan kembali
dalam Protokol Tambahan II.
69. Apa saja yang ditentukan dalam Protokol I?
Protokol Imenentukan beberapa hal pokok diantaranya melarang serangan
yang membabi buta dan tindakan pembalasan terhadap penduduk dan orangorang sipil, objek yang sangat penting untuk kelangsungan hidup penduduk
sipil, benda budaya dan religius, bangunan dan instalasi berbahaya, lingkungan
alam; memperluas perlindungan yang sebelumnya telah diatur dalam Konvensi
Jenewa; menentukan kewajiban bagi Pihak Peserta Agung untuk mencari
orang-orang yang hilang; menegaskan ketentuan mengenai suplai bantuan
kepada penduduk sipil; memberikan perlindungan terhadap kegiatan
organisasi pertahanan sipil; dan mengkhususkan adanya tindakan yang harus
dilakukan oleh negara-negara untuk memfasilitasi implementasi hukum
humaniter.
30
70. Bagaimana ketentuan yang terdapat dalam Protokol Tambahan II?
Ketentuan-ketentuan pokok yang diatur dalam Protokol II adalah mengatur
jaminan-jaminan fundamental bagi semua orang; menentukan hak-hak bagi
orang-orang yang kebebasannya dibatasi dalam menerima peradilan yang adil;
memberikan perlindungan penduduk sipil dan objek-objek perlindungan; serta
melarang dilakukannya tindakan starvasi secara sengaja.
71. Apakah yang dimaksud dengan konflik yang bersifat internasional
menurut Protokol I?
Berdasarkan rumusan Pasal 1 ayat (3) dan (4) Protokol I dapat disimpulkan
bahwa yang dimaksud dengan konflik yang bersifat internasional adalah
konflik bersenjata antar negara; dan konflik bersenjata antara sekelompok
orang atau individu (peoples) melawan colonial domination, alien occupation
dan racist regimes yang lazim disebut dengan war of national liberation.
72. Bagaimana
(international
perbedaan
armed
antara
conflict)
sengketa
dengan
bersenjata
sengketa
internasional
bersenjata
non-
internasional (non-international armed conflict)?
Perbedaan pokok antara sengketa bersenjata non-internasional dengan
sengketa bersenjata internasional dapat dilihat dari status hukum para pihak
yang bersengketa. Dalam sengketa bersenjata internasional, kedua pihak
memiliki status hukum yang sama karena keduanya adalah negara. Sedangkan
dalam sengketa bersenjata non-internasional, status kedua pihak tidak sama
karena pihak yang satu berstatus negara, sedangkan pihak yang lainnya adalah
satuan bukan negara (non-state entity). Pada sengketa bersenjata noninternasional merupakan suatu situasi dimana terjadi pertempuran antara
angkatan bersenjata dengan kelompok bersenjata yang terorganisis (organized
31
armed group) di dalam wilayah suatu negara. Sengketa non-internasional juga
dapat berupa suatu peristiwa dimana faksi-faksi bersenjata saling bertempur
satu sama lain tanpa suatu intervensi dari angkatan bersenjata Pemerintah yang
sah.
73. Bagaimana pengertian konflik bersenjata dalam Konvensi Jenewa 1949
dan Protokol Tambahan II 1977?
Pasal 3 Konvensi Jenewa menggunakan istilah “armed conflict not of an
international character” untuk setiap jenis konflik yang bukan konflik
bersenjata internasional. Karena Konvensi Jenewa sendiri tidak memberikan
defenisi mengenai apa yang dimaksud dengan armed conflict not of an
international character, maka penafsiran pasal 3 ini sangat luas. Untuk itu
yang perlu diperhatikan adalah batasan pengertian dari sengketa bersenjata
internasional itu sendiri. Selebihnya merupakan sengketa bersenjata non
internasional.
74. Apa saja syarat untuk adanya suatu sengketa bersenjata?
Syarat untuk adanya suatu sengketa bersenjata bahwa pihak yang
memberontak terhadap pemerintah de jure memiliki kekuatan militer
terorganisir, dipimpin oleh seorang Komandan yang bertanggung jawab
terhadap anak buahnya, melakukan aksi dalam wilayah tertentu dan memiliki
sarana untuk menghormati dan menjamin penghormatan terhadap konvensi;
bahwa pemerintah yang sah dipaksa untuk menggerakkan kekuatan militer
reguler untuk menghadapi pemberontak yang terorganisir secara militer dan
menguasai sebagian wilayah nasional; bahwa pemerintah de jure telah
mengakui pemberontak sebagai
belligerent; bahwa
pemerintah telah
mengklaim bagi dirinya hak sebagai belligerent; bahwa pemerintah telah
mengakui pemberontak sebagai belligerent hanya untuk keperluan Konvensi
32
Jenewa ini saja; bahwa perselisihan tersebut telah dimasukkan dalam agenda
Dewan Keamanan atau Majelis Umum PBB sebagai ancaman terhadap
perdamaian internasional, pelanggaran terhadap perdamaian atau tindakan
agresi; bahwa pemberontak mempunyai organisasi yang bersifat sebagai
negara; bahwa penguasa sipil melaksanakan kekuasaannya terhadap orangorang dalam wilayah tertentu; bahwa kekuatan bersenjata bertindak di bawah
kekuasaan
penguasa
sipil
yang
terorganisir;
bahwa
penguasa
sipil
pemberontak setuju terikat pada ketentuan Konvensi.
33
BAB VIII
ORANG-ORANG YANG DILINDUNGI PADA SAAT SENGKETA
BERSENJATA
75. Siapakah yang dimaksud ‘orang-orang yang dilindungi’ berdasarkan
Konvensi Jenewa dan Protokol Tambahannya?
Dalam suatu sengketa bersenjata, orang-orang yang dilindungi meliputi
kombatan dan penduduk sipil. Kombatan harus dilindungi dan dihormati
dalam segala keadaan. Kombatan yang jatuh ke tangan musuh mendapatkan
status sebagai tawanan perang. Perlindungan dan hak-hak sebagai seorang
tawanan perang diatur dalam Konvensi Jenewa III. Sedangkan penduduk sipil
berhak mendapatkan perlindungan sebagaimana diatur dalam Konvensi
Jenewa IV dan Protokol Tambahan 1977.
76. Siapakah yang berhak mendapat status sebagai tawanan perang?
Berdasarkan Pasal 4A Konvensi III, yang berhak mendapatkan status sebagai
tawanan perang adalah para anggota angkatan perang dari pihak yang
bersengketa, anggota-anggota milisi atau korps sukarelawan yang merupakan
bagian dari angkatan perang itu; para anggota milisi lainnya, termasuk gerakan
perlawanan yang terorganisir (organized resistence movement) yang tergolong
pada satu pihak yang bersengketa dan beroperasi di dalam atau di luar wilayah
mereka, sekalipun wilayah itu diduduki; para aggota angkatan perang reguler
yang menyatakan kesetiaannya pada suatu pemerintah atau kekuasaan yang
tidak diakui oleh negara penahan; orang-orang yang menyertai angkatan
perang tanpa menjadi anggota dari angkatan perang itu; awak kapal niaga
termasuk nakhoda, pandu laut, dan taruna serta awak pesawat terbang sipil
dari pihak-pihak yang bersengketa yang tidak mendapat perlakuan yang lebih
34
baik menurut ketentuan apapun dalam hukum internasional; penduduk wilayah
yang belum diduduki, yang karena serangan musuh, atas kemauan sendiri dan
dengan serentak mengangkat senjata untuk melawan musuh, tanpa memilik
waktu yang cukup untuk membentuk kesatuan bersenjata secara teratur, asal
mereka menggunakan senjata secara terbuka dan menghormati hukum dan
kebiasaan perang.
77. Apa saja yang harus dilakukan oleh para pihak yang bersengketa
terhadap orang-orang yang dilindungi?
Pada prinsipnya, pihak-pihak yang bersengketa harus melakukan tindakan
terhadap orang-orang yang dilindungi dengan menjamin penghormatan yang
artinya mereka harus diperlakukan secara manusiawi; menjamin perlindungan
yang artinya mereka harus dilindungi dari ketidakadilan dan bahaya yang
mungkin timbul dari suatu peperangan; dan memberikan perawatan kesehatan
yang artinya mereka berhak atas perawatan kesehatan yang setara dan tidak
boleh diabaikan, walaupun ia pihak musuh.
78. Bagaimanakah
proses
pemulangan
tawanan
perang
yang
harus
dilakukan oleh negara penawan?
Proses pemulangan tawanan perang yang diatur dalam Pasal 109-119
Konvensi III adalah segera setelah mampu berjalan, orang yang luka dan sakit
parah harus langsung dikembalikan tanpa penangguhan. Komisi kesehatan
bersama akan memutuskan siapa saja yang akan dipulangkan; setelah
peperangan berakhir, semua tawanan harus dibebaskan dan sipulangkan setiap
saat tanpa penundaan; tanpa menunggu barakhirnya perang, para pihak yang
bersengketa hendaknya memulangkan para tawanan atas dasar kemanusiaan
dan sedapat mungkin bersifat timbal balik yaitu dengan cara melakukan
35
pertukaran tawanan perang secara langsung atau melalui pihak ketiga yang
netral.
79. Perlindungan apa saja yang diberikan kepada penduduk sipil?
Perlindungan terhadap penduduk sipil diatur dalam Konvensi Jenewa IV yang
berupa perlindungan umum (general protection). Sedangkan dalam Protokol
Tambahan, perlindungan itu diatur dalam Bagian IV tentang penduduk sipil
diantaranya mengenai perlindungan umum (general protection against the
effect of hostilities); bantuan terhadap penduduk sipil (relief in favour of the
civilian population); serta perlakuan orang-orang yang berada dalam salah satu
kekuasaan pihak yang bersengketa (treatment of persons in the power of a
party to a conflict).
80. Hal umum apa saja yang harus tidak boleh dilakukan terhadap
penduduk sipil?
Berdasarkan Konvensi Jenewa, perlindungan umum yang diberikan kepada
penduduk sipil tidak boleh dilakukan secara diskriminatif. Terhadap mereka
tidak boleh dilakukan tindakan-tindakan pemaksaan jasmani dan rohani untuk
memperoleh keterangan; melakukan tindakan yang menimbulkan penderitaan
jasmani; menjatuhkan hukuman kolektif; melakukan intimidasi, terorisme dan
perampokan; melakukan pembalasan; menjadikan mereka sebagai sandera;
dan melakukan tindakan yang menimbulkan penderitaan jasmani atau
permusuhan terhadap orang yang dilindungi.
81. Apakah yang dimaksud dengan daerah keselamatan dan apa saja
syaratnya?
Daerah keselamatan adalah pembentukan kawasan yang tujuannya untuk
memberikan perlindungan kepada orang-orang sipil yang rentan terhadap
36
perang, yaitu orang yang luka dan sakit, lemah, perempuan hamil atau
menyusui, perempuan yang memiliki anak-anak balita, orang lanjut usia dan
anak-anak. Syarat untuk sebuah daerah keselamatan adalah daerah kesehatan
hanya meliputi sebagian kecil dari wilayah yang diperintah oleh negara yang
mengadakannya; daerah-daerah itu harus berpenduduk relatif lebih sedikit
dibandingkan dengan kemungkinan-kemungkinan akomodasi yang terdapat di
situ; daerah-daerah itu harus jauh letaknya dan tidak ada hubungannya dengan
segala macam objek-objek militer atau bangunan-bangunan industri dan
administrasi yang besar; daerah-daerah seperti itu tidak boleh ditempatkan di
wilayah-wilayah yang menurut perkiraan, dapat dijadikan areal untuk
melakukan peperangan.
82. Siapa saja yang berhak menikmati perlindungan khusus?
Sekelompok penduduk sipil yang berhak menikmati perlindungan khusus
adalah mereka yang umumnya tergabung dalam suatu organisasi sosial yang
melaksanakan tugas-tugas yang bersifat sosial untuk membantu penduduk sipil
lainnya pada waktu sengketa bersenjata. Mereka adalah penduduk sipil yang
menjadi anggota Perhimpunan Palang Merah Nasional dan anggota
perhimpunan Penolong Sukarela lainnya, termasuk Pertahanan Sipil. Pada saat
melakukan tugasnya, mereka harus dihormati dan dilindungi. Dihormati berati
mereka harus dibiarkan untuk melaksanakan tugas-tugas sosial mereka pada
waktu sengketa bersenjata; sedangkan pengertian dilindungi adalah bahwa
mereka tidak boleh dijadikan sasaran serangan militer.
37
BAB IX
MEKANISME PENEGAKAN HUKUM HUMANITER
INTERNASIONAL
83. Bagaimana mekanisme penegakan hukum humaniter menurut Konvensi
Jenewa 1949 dan Protokol Tambahan 1977?
Mekanisme yang diatur dalam Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol Tambahan
1977 adalah suatu mekanisme dimana penegakan Hukum Humaniter
Internasional yang dilaksanakan berdasarkan proses peradilan nasional.
Artinya, apabila terjadi kasus pelanggaran hukum humaniter maka si pelaku
akan dituntut dan dihukum berdasarkan peraturan perundang-undangan dan
dengan menggunakan mekanisme peradilan nasional yang bersangkutan. Sejak
terjadinya atau adanya indikasi telah terjadi pelanggaran hukum humaniter,
maka institusi yang bertanggung jawab harus segera mengambil tindakan yang
diperlukan.
84. Bagaimana penegakan hukum yang dilakukan di lingkungan TNI?
Dalam lingkungan TNI, adanya kewajiban dari Komandan untuk mencegah
dan kalau perlu menghukum serta melaporkan kepada pihak yang berwenang
mengenai pelanggaran terhadap Konvensi dan Protokol. Dan ditegaskan juga
perlunya memberikan sanksi disiplin atau hukuman pidana kepada mereka
yang melanggar Konvensi dan Protokol. Apabila Komandan atau atasan
langsung dari prajurit yang salah tidak mengambil tindakan, maka Komandan
yang diatasnya berkewajiban untuk mengambil tindakan yang dimaksud.
Apabila mekanisme internal atau nasional tidak berfungsi dengan baik maka
tahapan berikutnya kasus yang bersangkutan dapat diambil alih oleh suatu
mekanisme internasional.
38
85. Bagaimana penegakan hukum menurut Mahkamah Ad Hoc Kejahatan
Perang?
Dalam sejarah ada dua mahkamah yang mengadili penjahat Perang Dunia II,
yaitu Mahkamah Nuremberg dan Mahkamah Tokyo. Mahkamah Tokyo
dibentuk untuk mengadili penjahat perang Jepang, sedangkan Mahkamah
Nuremberg dibentuk untuk mengadili para penjahat perang Nazi, Jerman. Ada
tiga kategori pelanggaran yang menjadi yurisdiksi keduanya yaitu kejahatan
terhadap perdamaian, kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan.
Setelah Perang Dunia II selesai, kemudian dibentuk dua Mahkamah Ad Hoc
lainnya yaitu Mahkamah Eks-Yugoslavia dan Mahkamah Rwanda. Kedua
mahkamah ini bersifat Ad Hoc atau sementara yang berarti untuk jangka
waktu dan daerah tertentu saja.
86. Bagaimanakah Mahkamah Eks-Yugoslavia dibentuk dan bagaimana
system kerjanya?
Mahkamah Eks-Yugoslavia dibentuk berdasarkan Resolusi Dewan Keamanan
PBB Nomor 808 (22 Februari 1993) dan nomor 827 (25 Mei 1993), yang
akhirnya diamandemen oleh Resolusi Dewan Keamanan PBB nomor 1166
tahun 1998. Beberapa yurisdiksi Mahkamah ini adalah mengatur mengenai
pelanggaran serius terhadap hukum humaniter; pelanggaran berat sebagaimana
yang dimaksud dalam Konvensi Jenewa 1949; pelanggaran terhadap hukum
dan kebiasaan berperang; Genocide; dan kejahatan terhadap kemanusiaan.
87. Jelaskan secara singkat mengenai Mahkamah Rwanda!
Mahkamah Rwanda dibentuk berdasarkan Resolusi Dewan Keamanan PBB
nomor 955 (8 November 1994). Tujuan dibentuknya mahkamah ini adalah
untuk mengadili warga negara Rwanda yang melakukan genocide dan
39
pelanggaran serupa lainnya di wilayah negara tetangga dan Rwanda sendiri
yang dilakukan antara tanggal 1 Januari 1994 sampai dengan tanggal 31
Desember 1994. Kompetensi atau yurisdiksi mahkamah ini adalah mengenai
genocide; kejahatan terhadap kemanusiaan; dan pelanggaran terhadap pasal 3
Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol Tambahan II 1977.
88. Bagaimana latar belakang dibentuknya International Criminal Court?
Mahkamah Pidana Internasional dibentuk pada bulan Juli 1998 dengan tujuan
untuk mengadili orang-orang yang melakukan kejahatan-kejahatan yang oleh
masyarakat internasional dikategorikan sebagai kejahatan serius sebagaimana
ditetapkan dalam Statuta ICC. Mahkamah ini merupakan pelengkap dari
mahkamah pidana nasional yang artinya ICC baru bisa menjalankan fungsinya
apabila mahkamah nasional tidak dapat menjalankan fungsinya dengan baik.
89. Apa saja yurisdiksi ICC?
Yurisdiksi ICC mencakup empat kejahatan yang dikategorikan sebagai
kejahatan yang oleh masyarakat internasional dianggap sebagai kejahatan
serius, yaitu genocide; kejahatan terhadap kemanusiaan; kejahatan perang; dan
kejahatan agresi.
40
BAB X
PERKEMBANGAN BARU DALAM HUKUM HUMANITER
INTERNASIONAL
90. Bagaimana perkembangan yang terjadi dalam Protokol Tambahan 1977
mengenai pembedaan antara objek sipil dan sasaran militer?
Di dalam Protokol I 1977 telah memberikan beberapa istilah dan sekaligus
defenisi-defenisi yang sebelumnya tidak dipergunakan dalam Hukum Den
Haag. Istilah tersebut seperti “rakyat sipil”, “penduduk sipil”, “objek-objek
sipil”, “kombatan” dan “sasaran militer”. Dalam Protokol Tambahan
disebutkan bahwa yang dimaksud objek-objek sipil adalah semua objek yang
bukan sasaran militer yang diberikan berdasarkan kriteria yang disebutkan
dalam Pasal 52 (2), yaitu tergantung dari sifat, tempat/lokasi, tujuan dan
keuntungan militer yang pasti.
91. Apa maksud dari civil defence yang terkandung dalam Protokol I?
Civil defence atau perlindungan masyarakat adalah suatu organisasi yang
melakukan tugas-tugas kemanusiaan yang ditujukan untuk melindungi
penduduk sipil terhadap suatu bencana alam dan akibat pertempuran, dan
berupaya untuk memulihkannya segera ke keadaan semula serta melakukan
hal-hal yang dianggap perlu demi kelangsungan hidup penduduk sipil.
92. Apa saja yang menjadi tugas civil defence?
Beberapa tugas civil defence adalah melakukan peringatan; melakukan
pengungsian/evakuasi; membangun tempat-tempat perlindungan; melakukan
tindakan-tindakan
pemadaman
penerangan;
melakukan
pertolongan;
melakukan pelayanan kesehatan, termasuk pertolongan pertama dan bantuan
keagamaan; pemadam kebakaran; mendeteksi dan memberi tanda-tanda daerah
41
yang berbahaya; melakukan tindakan dekontaminasi; menyediakan tempat
tinggal darurat dan perbekalan; melakukan bantuan darurat dalam pemulihan
dan pemeliharaan ketertiban di daerah yang terkena bencana; melakukan
perbaikan darurat tempat-tempat fasilitas umum yang sangat diperlukan oleh
penduduk sipil; melakukan pemakaman darurat bagi orang-orang yang
meninggal dunia; membantu menyelamatkan objek-objek yang sangat penting
bagi kelangsungan hidup; dan melakukan kegiatan-kegiatan pelengkap lainnya
guna melaksanakan setiap tugas di atas.
93. Apakah perlindungan yang diberikan kepada civil defence dapat
berakhir?
Walaupun
civil
defence
mendapatkan
perlindungan
khusus,
namun
perlindungan tersebut dapat berakhir. Apabila seorang anggota civil defence
melakukan perbuatan di luar tugas-tugasnya yang merugikan pihak-pihak
musuh,
maka
ia
akan
kehilangan
perlindungan
khusus.
Hilangnya
perlindungan khusus berlaku apabila peringatan yang diberikan padanya tidak
dihiraukan.
94. Mengapa di dalam organisasi civil defence harus dimasukkan unsur
personel militer?
Dengan memasukkan personel militer diharapkan dapat memudahkan
organisasi civil defence untuk mendapatkan para teknisi yang berpengalaman
yang biasanya sulit dicari pada saat sengketa bersenjata, kecuali dalam
personel militer. Namun bila seorang personel militer masuk ke dalam
organisasi civil defence akan kehilangan status sebagai kombatan, walaupun
bila ditangkap oleh musuh mereka tetap akan mendapatkan status sebagai
tawanan perang.
42
95. Apa saja syarat bagi para personil militer yang akan diperbantukan ke
dalam organisasi civil defence?
Seorang personel militer yang diperbantukan dalam organisasi civil defence
harus diperbantukan secara permanen dan benar-benar melaksanakan tugastugas sebagai civil defence; mereka tidak boleh lagi melakukan tugas-tugas
militer lainnya selama masa pertempuran; mereka secara permanen harus
dibedakan dengan para kombatan atau personel angkatan bersenjata, dengan
memakai tanda pembeda internasional untuk civil defence; mereka dilengkapi
dengan senjata ringan perorangan hanya untuk melindungi diri dan menjaga
ketertiban umum; mereka tidak boleh turut serta secara langsung dalam
pertempuran atau melakukan tugas-tugas selain sebagai civil defence; mereka
hanya boleh melakukan tugas civil defence di dalam wilayah nasional negara
mereka.
96. Bagaimana perkembangan dalam hal Komisi Internasional Pencari
Fakta?
Sebelum adanya Protokol Tambahan, untuk melakukan suatu upaya
penyelidikan atas pelanggaran konvensi terdapat suatu syarat penting yaitu
adanya persetujuan dari pihak-pihak yang bersengketa atau perlu seorang
wasit untuk menentukan prosedur yang akan dilakukan. Setelah adanya
Protokol Tambahan, ketentuan mengenai prosedur penyelidikan di atas
disempurnakan dengan dibentuknya Komisi Internasional Pencari Fakta.
Tugasnya adalah untuk mencari fakta-fakta untuk menjamin pelaksanaan
hukum humaniter internasional apabila terdapat suatu tindakan yang
merupakan
pelanggaran
terhadap
Konvensi
Jenewa
dan
Protokol
Tambahannya.
43
97. Bagaimana perkembangan tentang larangan penggunaan senjata-senjata
konvensional tertentu?
Pada tahun 1980 dihasilkan suatu Konvensi tentang Larangan atau Pembatasan
Penggunaan Senjata-senjata Konvensional Tertentu yang mengakibatkan
Luka-luka yang berlebihan atau akibat yang membabi-buta. Ada tiga protocol
yang dihasilkan yaitu Larangan penggunaan senjata yang apabila mengenai
tubuh manusia, menjadi pecahan-pecahan yang tidak dapat dideteksi dengan
sinar-x; Larangan penggunaan booby traps dalam segala keadaan; dan
larangan terhadap senjata pembakar secara bebas.
98. Jelaskan pengertian istilah kerusakan lingkungan yang bersifat meluas,
berjangka waktu lama dan dahsyat!
Pengertian widespread atau meluas maksudnya kepada suatu daerah yang
luasnya tidak kurang dari beberapa ratus kilometer persegi; berjangka waktu
lama atau long-term maksudnya adalah suatu jangka waktu yang lamanya
sepuluh tahun atau lebih; serta severe atau dahsyat maksudnya meliputi
kerusakan yang lebih dari sekedar berjangka waktu lama yang kemungkinan
dapat membahayakan kelangsungan hidup penduduk sipil atau menyebabkan
resiko terhadap masalah-masalah kesehatan dan sumber alam.
44
BAB XI
IMPLEMENTASI HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL
99. Apa saja kesulitan yang dihadapi dalam mengimplementasikan Hukum
Humaniter Internasional?
Kesulitan yang pertama adalah penerapan hukum humaniter internasional
dilakukan pada saat suatu negara dalam keadaan tidak stabil dan terancam.
Sedangkan untuk prosedur pelaksanaan hukum humaniter internasional harus
disetujui oleh negara yang bersengketa. Kesulitan yang kedua adalah hukum
humaniter sendiri bersifat sangat kompleks, artinya bagian ketentuan hukum
humaniter yang disusun banyak menggunakan struktur kalimat yang sukar
dimengerti
oleh
umum.
Seharusnya
kalimat-kalimat
tersebut
dapat
diterjemahkan dalam bahasa yang lebih sederhana. Sedangkan kesulitan yang
ketiga adalah berbagai ketentuan hukum humaniter internasional tidak bersifat
operasional, artinya tidak dapat diterapkan secara langsung.
Masih
dibutuhkannya undang-undang nasional yang menetapkan sanksi pidana
terhadap pelanggaran hukum humaniter internasional.
100. Jelaskan pemegang tanggung jawab utama dalam melaksanakan hukum
humaniter internasional!
Untuk kalangan angkatan bersenjata, tugas utama untuk melaksanakan hukum
humaniter diberikan kepada para komandan. Komandan yang bertugas untuk
mencegah adanya pelanggaran terhadap hukum humaniter. Sedangkan
berdasarkan Pasal 1 Konvensi Jenewa serta Pasal 80 dan 87 Protokol
Tambahan menyebutkan bahwa tanggung jawab utama dalam pelaksanaan
hukum humaniter internasional diberikan kepada Negara peserta.
45
101. Apa saja tindakan yang harus dilakukan untuk pelaksanaan hukum
humaniter internasional dalam skala nasional?
Tindakan nasional setiap negara terhadap implementasi hukum humaniter
internasional mempunyai prioritas yang berbeda-beda. Namun tindakantindakan prioritas tersebut dapat dibagi dalam empat kategori, yaitu tindakan
legislasi nasional; tindakan organisatoris yang harus diambil dalam masa
damai; tindakan organisatoris yang harus diambil ketika terjadinya sengketa
bersenjata;
dan
tindakan
yang
berhubungan
dengan
instruksi
dan
penyebarluasan hukum humaniter internasional atau disebut desiminasi hukum
humaniter.
102. Apa saja yang telah dilakukan Indonesia dalam pelaksanaan hukum
humaniter internasional?
Indonesia telah meratifikasi Konvensi-konvensi Jenewa pada tahun 1958.
Selain itu di Indonesia juga telah dibentuk Perhimpunan Palang Merah
Nasional (PMI), yang telah diakui secara resmi oleh Pemerintah Indonesia,
dan telah disiapkan juga rancangan undang-undang tentang penggunaan
lambang Palang Merah. Namun demikian ada tindakan legislasi yang belum
diambil yaitu mengenai sanksi pidana terhadap pelanggaran Konvensikonvensi Jenewa. TNI Angkatan Darat telah juga mengeluarkan sebuah
pedoman Hak-Hak Asasi Manusia dalam melaksanakan operasi militer. Pada
tahun 1980 telah pula dibentuk Panitia Tetap hukum humaniter internasional
yang terdiri dari wakil-wakil dari berbagai instansi terkait serta dari anggota
PMI, yang berada di bawah Departemen Hukum dan Perundang-undangan.
Untuk kalangan TNI, hukum humaniter internasional telah menjadi kurikulum
pendidikan militer. Pada saat ini meteri hukum humaniter telah dijadikan
kurikulum di fakultas hukum dan disajikan sebagai mata kuliah wajib. Bahkan
46
diberbagai universitas telah didirikan pusat studi HAM dan Hukum
Humaniter.
103. Jelaskan
tentang
Undang-undang
No.
20
Tahun
1982
tentang
SISHANKAMRATA!
Undang-undang ini memuat sistem bagaimana cara mempertahankan negara
apabila diserang oleh musuh yang disebut dengan Sistem Pertahanan
Keamanan Rakyat Semesta yang intinya adalah mengikutsertakan seluruh
rakyat dalam upaya pembelaan negara. Ditegaskan bahwa tidak seorang warga
negara pun boleh menghindarkan diri dari kewajiban ikut serta dalam
pembelaan negara, kecuali ditentukan oleh undang-undang. Selain itu juga
disebutkan bahwa rakyatlah yang menjadi tumpuan perlawanan bangsa
Indonesia dalam menghadapi musuh.
104. Apa saja yang menjadi fungsi RATIH?
RATIH mempunyai empat fungsi utama, yaitu Ketertiban Umum yang artinya
memelihara ketertiban masyarakat, kelancaran roda pemerintahan dan segenap
perangkatnya serta kelancaran kegiatan masyarakat untuk memenuhi
kebutuhan hidup; fungsi Perlindungan Rakyat, yang artinya menanggulangi
gangguan ketertiban hukum, maupun gangguan ketentraman masyarakat;
fungsi Keamanan Rakyat, yang artinya menanggulangi atau meniadakan
ganguan keamanan masyarakat atau subversi yang dapat mengakibatkan
terganggunya stabilitas keamanan; dan fungsi Perlawanan Rakyat, yang
artinya menghadapi dan menanggulangi serta menghancurkan musuh yang
hendak menduduki atau menguasai wilayah atau sebagian wilayah Republik
Indonesia.
47
BAB XII
HUBUNGAN HUKUM HUMANITER DENGAN HUKUM HAM
105. Jelaskan kaitan antara hukum humaniter dengan hukum hak asasi
manusia!
Hukum humaniter dan hukum hak asasi manusia memiliki tujuan yang sama
yaitu memberikan jaminan perlindungan terhadap manusia, hanya masalah
waktu dan situasi pelaksanaannya saja yang berbeda. Hukum humaniter
diterapkan ketika terjadinya suatu sengketa bersenjata internasional maupun
non-internasional seperti perang saudara. Sedangkan ketentuan tentang hak
asasi manusia dimaksudkan untuk menjamin hak dan kebebasan sipil, politik,
ekonomi, social maupun budaya bagi setiap orang. Dalam hak asasi manusia
setiap orang harus dilindungi dari penyalahgunaan kekuasaan oleh pemerintah.
106. Bagaimana perbedaan antara hukum humaniter dengan hukum hak asasi
manusia dalam hal masa berlakunya?
Hukum humaniter berlaku pada saat sengketa bersenjata terjadi, sedangkan
hukum hak asasi manusia berlaku pada saat damai. Namun demikian, inti dari
hak-hak asasi manusia tetap berlaku sekalipun pada waktu sengketa bersenjata.
107. Jelaskan tentang non-derogable rights atau hak-hak yang tak boleh
dikurangi!
Hak-hak yang tak dapat dikurangi meliputi hak hidup, prinsip non
diskriminasi, larangan penyiksaan, larangan berlaku surutnya hukum pidana
dalam pasal 15 Kovenan Politik, hak untuk tidak dipenjara karena
ketidakmampuan
melaksanakan
ketentuan
perjanjian,
perbudakan,
perhambaan, kebebasan berpendapat, keyakinan dan agama, larangan
penyanderaan, larangan penjatuhan hukuman tanpa putusan pengadilan.
48
108. Bagaimana pendapat aliran integrasionis terhadap hubungan hukum
humaniter internasional?
Aliran ini berpendapat bahwa system hukum humaniter dengan sistem hukum
hak asasi manusia berasal dan terkait satu sama lain. Ada dua kemungkinan
bahwa hukum HAM menjadi dasar bagi Hukum Humaniter, artinya hukum
humaniter
merupakan
cabang
dari
hak
asasi
manusia.
Sedangkan
kemungkinan yang lain adalah Hukum Humaniter Internasional merupakan
dasar dari HAM. Artinya HAM merupakan bagian dari hukum humaniter.
109. Bagaimana pendapat aliran separatis tentang hubungan hukum
humaniter dengan hukum hak asasi manusia?
Menurut pendapat aliran separatis, HAM dan Hukum Humaniter Internasional
sebagai sistem hukum yang sama sekali tidak ada kaitannya karena keduanya
berbeda, baik dari segi objek, sifat, dan masa berlakunya. Hukum Humaniter
berhubungan dengan akibat dari sengketa bersenjata sedangkan HAM
berkaitan dengan pertentangan antara pemerintah dengan individu di dalam
negara yang bersangkutan. Hukum Humaniter berlaku pada saat HAM sudah
tidak berlaku lagi. HAM tidak ada dalam sengketa bersenjata karena perannya
digantikan oleh Hukum Humaniter yang terbatas pada golongan tertentu saja.
110. Bagaimana
pendapat
aliran
komplementaris
mengenai
Hukum
Humaniter dan hukum hak asasi manusia?
Aliran komplementaris melihat HAM dan Hukum Humaniter Internasional
melalui proses yang bertahap, berkembang sejajar dan saling melengkapi.
Aliran ini menentang pendapat aliran separatis yang dianggap menyalahi
kenyataan bahwa kedua sistem tersebut memiliki tujuan yang sama, yaitu
perlindungan pribadi masyarakat. HAM melindungi pribadi manusia pada
49
masa damai sedangkan hukum humaniter melindungi pribadi manusia pada
saat terjadinya sengketa bersenjata.
50
DAFTAR PUSTAKA
Arlina Permanasari dkk, (1999), Pengantar Hukum Humaniter, International
Committee of the Red Cross, Jakarta
Haryomataram, GPH (1984), Hukum Humaniter, Rajawali, Jakarta
Mochtar Kusumaatmadja, (1986), Konvensi-Konvensi Palang Merah Tahun 1949, Bina
Cipta, Bandung
Terjemahan Konvensi Jenewa Tahun 1949, (1999), Direktorat Jenderal Hukum dan
Perundang-undangan Departemen Kehakiman, Jakarta
51
Download