Uploaded by User71102

K2 SEJARAH FISIKA D PENGARUH ISLAM DALAM PERKEMBANGAN ASTRONOMI DUNIA

advertisement
MAKALAH SEJARAH FISIKA
Pengaruh Islam dalam Perkembangan Astronomi Dunia
Makalah ini disusun untuk memperoleh pengetahuan baru dan memenuhi tugas mata
kuliah Sejarah Fisika
Disusun oleh:
Devi Aprianti
|| NIM. 18302244013
Novia Putri Hastuti
|| NIM. 18302244015
Aji Nur Wijaksono
|| NIM. 18302244016
Doni Firmansyah
|| NIM. 18302244019
Dosen Pengampu:
Suparno M.App.Sc.,Ph.D.
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN FISIKA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS NEGERI YOGAKARTA
2021
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat rahmat dan hidayah-Nya
sehingga makalah yang berjudul “Al-Biruni” ini dapat disusun dengan sebaik-baiknya.
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Sejarah Fisika yang diampu oleh
Bapak Suparno M.App.Sc.,Ph.D..
Kami menyadari tanpa kerja sama antara beberapa pihak, kami tidak dapat
menyelesaikan makalah ini dengan baik. Untuk itu kami mengucapkan terima kasih
kepada semua pihak yang telah memberikan arahan, saran, bimbingan, dan dukungan
dalam menulis makalah ini. Semoga makalah ini dapat dapat digunakan dengan sebaikbaiknya. Kami
mengharapkan kritik dan saran dari berbagai pihak yang bersifat
membangun.
Yogyakarta, 23 Februari 2020
Penulis
ii
DAFTAR ISI
BAB 1 PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ........................................................................................... iv
B. Rumusan Masalah ......................................................................................................1
C. Tujuan ........................................................................................................................1
BAB 2 PEMBAHASAN
A. Perkembangan Astronomi Abad 3000 – 1000 SM ....................................................2
1. Astronom Mesopotamia .........................................................................................2
2. Astronom Cina (1800 SM) .....................................................................................3
3. Kitab Weda dan Lagadha (1400 SM) .....................................................................4
B. Perkembangan Astronomi 1000 SM – 1 M................................................................6
1. Aitareya Brahmana .................................................................................................7
2. Aryabhatasiddhanta ................................................................................................7
3. Aristachus ...............................................................................................................8
4. Eratosthenes ............................................................................................................9
C. Perkembangan Astronomi 1 – 1000 M ....................................................................10
1. Claudius Ptolomeus ( 140 M ) ..............................................................................11
3. Jabir Al Batany .....................................................................................................17
4. Abu Raihan al-Biruni ...........................................................................................20
5. Al Farghani: Perintis Astronomi Modern .............................................................24
D. Perkembangan Astronomi 1000 M – 2000 M ..........................................................25
1. Nasiruddin al-Tusi ...............................................................................................25
2. Muhammad Turghay Ulugbbek (1394-1449 M) ..................................................26
3. Nicolaus Copernicus (1473-1543 M) ...................................................................26
4. Tycho Brahe (1546-1601 M) ................................................................................27
5. Johanes Kepler (1571-1630 M) ............................................................................27
6. Galileo-Galilei (1564-1642 M).............................................................................28
7. Sir Isaac Newton (1642-1727 M) .........................................................................29
BAB 3 PENUTUP
A. Kesimpulan ..............................................................................................................30
B. Saran .........................................................................................................................30
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
lmu falak/Astronomi banyak mendapat perhatian dari para peneliti dan
sejarawan. Regis Morlan (seorang orientalis Prancis, peneliti sejarah ilmu falak
klasik) mengemukakan beberapa faktor di antaranya: banyaknya ulama yang
berkecimpung di bidang ini sepanjang sejarah, banyaknya karya-karya yang
dihasilkan, banyaknya observatorium astronomi yang berdiri sebagai akses dari
banyaknya astronom serta karya-karya mereka, banyaknya data observasi
(pengamatan alami) yang terdokumentasikan. Sementara itu Prof. Dr. Muhammad
Ahmad Sulaiman (guru besar ilmu falak di Institut Nasional Penelitian Astronomi
dan Geofisika, Helwan - Mesir) mengatakan ‚astronomi adalah miniatur terhadap
majunya peradaban sebuah bangsa‛.
Dalam perjalanan mulanya, peradaban India, Persia dan Yunani adalah
peradaban yang punya kedudukan istimewa. Dari tiga peradaban inilah secara
khusus muncul dan lahirnya peradaban falak Arab (Islam), disamping peradaban
lainnya. Peradaban India adalah yang terkuat dalam pengaruhnya terhadap Islam
(Arab). Buku astronomi ‘Sindhind’ punya pengaruh besar dalam perkembangan
astronomi Arab (Islam), dengan puncaknya pada dinasti Abbasiah masa
pemerintahan Al-Manshur, buku ini diringkas dan diterjemahkan ke dalam bahasa
Arab. Ibrahim al-Fazzârî adalah orang yang mendapat amanah untuk mengerjakan
proyek ini, sekaligus juga ia melahirkan buku penjelas yang berjudul ‚as-Sind
Hind al-Kabîr‛. Peradaban Persia memberi pengaruh signifikan dalam peradaban
ilmu falak Islam, ditemukan cukup banyak istilah-istilah falak Persia yang terus
dipakai dalam Islam hingga saat ini, seperti zij (epemiris) dan auj (aphelion). Buku
astronomi berbahasa Persia yang banyak mendapat perhatian Arab (Islam) adalah
'Zij Syah' atau ‘Zij Syahryaran’ yang merupakan ephemiris (zij) yang masyhur di
zamannya. Sementara dari peradaban Yunani puncaknya dimotori oleh Cladius
Ptolemaus (w. ± 160 M) yang dikenal dengan sistem "geosentris"nya. Gagasan
astronomi Ptolemaus terekam dalam maha karyanya yang berjudul ‘Almagest’
iv
atau ‘Tata Agung’ yang menjadi buku pedoman astronomi hingga berabad-abad
sebelum runtuh oleh teori tata surya Ibn Syathir (w. 777 H) dan Copernicus
v
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan paparan tersebut maka dapat disusun rumusan masalah
sebagai berikut :
1. Bagaimana Perkembangan Astronomi periode 3000-1000 SM ?
2. Bagaimana Perkembangan Astronomi periode 1000 SM – 1M?
3. Bagaimana Perkembangan Astronomi periode 1M-1000M?
4. Bagaimana Perkembangan Astronomi periode 1000M – 2000M?
C. Tujuan
Berdasarkan pemaparan rumusan masalah di atas, maka dapat
dikembangkan tujuan sebagai berikut :
1.
Mengetahui Perkembangan Astronomi periode 3000-1000 SM
2.
Mengetahui Perkembangan Astronomi periode 1000 SM – 1M
3.
Mengetahui Perkembangan Astronomi periode 1M-1000M
4.
Mengetahui Perkembangan Astronomi periode 1000M – 2000M
1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Perkembangan Astronomi Abad 3000 – 1000 SM
1. Astronom Mesopotamia
Mesopotamia merupakan nama kuno untuk wilayah yang sekarang dikenal
sebagai negara Irak. Dalam bahasa Yunani, Mesopotamia berasal dari kata mesos
(tengah) dan potamos (sungai). Karena memang Mesopotamia merupakan
daratan yang terletak di antara dua sungai besar, yaitu sungai Eufrat dan Tigris.
Bangsa Mesopotamialah yang pertama kali menjadi peletak dasar ilmu
astronomi, yakni sekitar tahun 3000 SM-2000 SM. Seiring berjalannya waktu,
ilmu astronomi tidak hanya diklaim sebagai milik bangsa Mesopotamia saja.
Tetapi bangsa-bangsa seperti Sumeria, Babilonia, Mesir, Persia, Maya India, dan
Cina juga melakukan penelitian-penelitian tentang astronomi seperti halnya
bangsa Mesopotamia.
Asal usul astronomi Barat dapat ditemukan di Mesopotamia, tempat
kerajaan kuno Sumeria, Asyur, dan Babilonia berada. Teologi astronomi, yang
memberikan peran penting kepada dewa planet dalam mitologi dan agama
Mesopotamia, dimulai dengan bangsa Sumeria. Bangsa Sumeria telah menyadari
bahwa bumi dan planet-planet lain berbentuk bulat dan bahwa mereka berputar
mengelilingi matahari. Dengan pengetahuan ini mereka memprediksi gerhana
matahari dan bulan.
Model tersebut sangat berpengaruh pada penanggalan saat ini, misalnya
tentang rotasi bumi, perputarannya bergoyang tidak selalu tepat pada porosnya,
hal ini menyebabkan pergeseran secara perlahan-lahan -1 derajat setiap 72 tahunmempengaruhi arah sumbu utara bumi. Fenomena ini dinamakan perputaran
gasing. Great Year atau waktu yang dibutuhkan sumbu utara-selatan bumi sampai
ke tempatnya semula adalah 25.921 tahun, dihitung dengan mengalikan waktu 72
tahun yang dilewati untuk bergeser di masing-masing derajat dengan 360 derajat
pada perputaran penuh. Bangsa Sumeria mengerti tentang perputaran gasing ini
dan mengetahui seberapa panjang Great Year.
Di Babilonia, astronomi mulai muncul pada sekitar 1800 SM. Para pemikir
Babilonia pada awalnya melakukan penelitian untuk penanggalan, mengamati
2
terjadinya gerhana, perpindahan matahari dan bulan, terjadinya siang dan malam,
dan sebagainya. Kemudian ditemukan bentuk tulisan yang dikenal sebagai tulisan
paku muncul di antara Astronom Sumeria sekitar 3500–3000 SM. Terungkapnya
tentang pengetahuan astronomi Sumeria tidak secara langsung, namun melalui
katalog bintang Babilonia paling awal yang berasal dari sekitar 1200 SM.
Bukti pertama pengakuan bahwa fenomena astronomi adalah periodik dan
penerapan matematika pada prediksinya adalah Babilonia. engamatan fenomena
langit Babilonia selama berabad-abad dicatat dalam rangkaian tablet paku (logo
atau suku kata yang digunakan untk menulis beberapa bahasa di Timur Kuno)
yang dikenal sebagai Enūma Anu Enlil. Enūma Anu Enlil merupakan kumpulan
pertanda yang substansial, diperkirakan berjumlah 6500 dan 7000, yang
menerjemahkan berbagai macam fenomena langit dan atmosfer.
2. Astronom Cina (1800 SM)
Tradisi astronomi di Tiongkok kuno adalah bagian penting dari tradisi
budaya negara dan telah dimulai dari Zaman Perunggu hingga 1800 SM. Untuk
pengamatan astronomi awal - terutama bagian matahari - Astronom Cina
menggunakan instrumen sederhana namun sangat kuat yang dikenal sebagai
'gnomon'. Astronom Cina menggunakan instrumen 'gnomon' seperti yang
dikonfirmasi oleh para arkeolog yang menemukan simbol grafis kuno yang
mewakili ide atau konsep pada tulang ramalan Zaman Perunggu Dinasti Shang.
Sedangkan, arti dari gnomon adalah tongkat istiwa’ merupakan tongkat
biasa yang ditancapkan tegak lurus pada bidang datar atau bidang dial ditempat
3
terbuka yang memiliki fungsi untuk petunjuk jam pada bidang dial yang
dihasilkan oleh bayangan Matahari. Sedangkan bidang dial sendiri merupakan
bagian dari sundial yang berupa piringan atau dataran yang di atasnya tertulis
angka-angka jam yang ditunjukkan oleh gnomon sebagai petunjuk bayangan
Matahari. Bidang dial dapat berbentuk horizontal, vertikal, ataupun miring
dengan berbagai sudut (ekuatorial), yang mana sudut tersebut mengikuti lintang
tempat suatu daerah tertentu.
Sekitar tahun 1500 SM beberapa peneliti menemukan salah satu sundial
di daerah Mesir yang diperkirakan sundial tertua sepanjang sejarah. Sundial
tersebut terbuat dari batu yang berbentuk batangan datar dengan panjang sekitar
30 cm dengan sebuah bidang tegak lurus yang berbentuk “L” pada salah satu
ujungnya.
Peradaban Cina mengalami perkembangan dengan melakukan penelitian
terhadap naskah kuno yang ditemukan di Mesir sekitar tahun 1000 SM. Sehingga
Astronom Cina dapat menggunakan gnomon sebagai instrumen yang digunakan
untuk pengamatan astronomi. Selain itu, Astronom Cina juga berhasil
menemukan suatu lokasi menggunakan meridian astronomis, mengetahui waktu
terjadinya titik balik Matahari, dan telah menghitung kemiringan yang dimiliki
Bumi yaitu 23° 54’ yang tidak jauh berbeda dengan deklinasi terjauh Matahari
yaitu 23°27’.
3. Kitab Weda dan Lagadha (1400 SM)
Beberapa akar paling awal dari sejarah perkembangan astronomi India
dapat dikaitkan dengan periode peradaban Lembah Indus di Mohenjo-Daro atau
sebelumnya. Mohenjo-daro terletak di Sindh, Pakistan, di sebuah bubungan
zaman Pleistosen di tengah-tengah dataran banjir Sungai Sindhu. Mohenjo-Daro
merupakan kota yang merupakan peradaban tertinggi pada 2600 SM. Kota ini
merupakan salah satu permukiman kota pertama di dunia, bersamaan dengan
peradaban Mesir Kuno, Mesopotamia, dan Yunani Kuno.
Setelah itu Astronomi dikembangkan sebagai disiplin Vedanga atau salah
satu "disiplin pelengkap" yang terkait dengan studi Weda. Kitab Weda merupakan
catatan pertama astronomi di India yang ditemukan pertama kali pada tahun 2000
SM, setelah sekian waktu hanya diturunkan dengan sistem lisan dari mulut ke
4
mulut. Weda diyakini sebagai sastra tertua dalam peradaban manusia yang masih
ada hingga saat ini, dan dianggap sebagai wahyu yang tidak dikarang oleh
manusia.
Teks astronomi pertama dalam Kitab Weda yang diperkirakan sudah ada
sekitar 1350 SM yaitu naskah kuno yang ditulis oleh Lagadha. Lagadha menulis
naskah astronomi pertama yang bernama Vedānga Jyotiṣa. Naskah tersebut
sebagian besar berisi muatan religius (ajaran agama Hindu). Namun di dalamnya
juga terdapat penjelasan beberapa hubungan secara umum yang diterapkan untuk
menentukan waktu pelaksanaan ritual dan kegiatan dalam masyarakat. Vedānga
Jyotiṣa awal mulanya ditulis bertujuan untuk menentukan waktu-waktu
peribadatan. Peribadatan meliputi peribadatan bulan baru dan bulan purnama,
peribadatan musiman dan lain-lain.
Perhitungan di Jyotisha menggunakan bumi sebagai patokan, dimana
planet lain mengitarinya. Hal ini semata-mata digunakan untuk penyederhanaan
perhitungan Astronomi yang dilakukan, sebab dalam kitab Weda menganut
paham Heliosentris (matahari sebagai pusat tata surya), bukan geosentris (bumi
sebagai pusat tata surya) seperti yang termuat dalam kitab Sama Weda 121,
“Matahari tidak pernah terbenam ataupun terbit karena bumi yang berotasi.”
Selain itu, dalam kitab Weda tentang Fisika, Planet, Matahari, dan Galaksi,
yaitu Rgveda II, 11.20 “Avartayat suryo na cakram” beararti Matahari berputar
seperti sebuah roda pada sumbunya. Selanjutnya dalam Atharwa Weda XII.1.37
"Ya apa sarpam vijamana vimrgvari” artinya: Bumi bergerak berotasi dan
bertranslasi. Selanjutnya Yajur Weda III. 6 “Ayam gauh prsnir akramid, asadan
mataram purah, pitaram caprayam svah” Artinya, Bumi yang berbintik-bintik ini
ada dan berputar di langit seperti seAstronom ibu, ia berjalan mengelilingi
matahari sebagai seAstronom ayah.
Sloka tersebut memperlihatkan bahwa selain berotasi atau berputar pada
porosnya, bumi juga berevolusi mengelilingi matahari, dari pernyataan ini sangat
erat dengan teori heliosentris yang menyatakan bahwa pusat alam semesta adalah
matahari. Hal ini dijelaskan lagi dalam kitab Atharwa Weda XII.1.37 mengenai
pergerakan Bumi, yaitu “Ya apa sarpam vijamana vimrgvari” yang berarti Bumi
bergerak berotasi dan bertranslasi.
5
Dalam kitab ini pun juga dijelaskan bahwa bagaimana bumi dapat bertahan
di dalam angkasa raya karena gaya tarik-menarik yang lebih superior yaitu dalam
kitab Rig Veda yang berbunyi “Matahari mengikat Bumi dan planet-planet lain
melalui daya tarik dan menggerakkan di sekitar dirinya bagaikan seAstronom
pelatih memegang kendali kuda dan bergerak mengelilinginya”, hal ini dalam
ilmu fisika telah dijelaskan oleh Newton melalui teori Gravitasi.
B. Perkembangan Astronomi 1000 SM – 1 M
Astronomi Hindu sudah dikenal dalam kurun waktu yang cukup tua
bahkan berkembang serta mempengaruhi sistem astronomi Barat dan Timur. Era
Siddhanta adalah sebuah era baru dari perkembangan astronomi yang
menyimpang dari Weda. Era ini disebut Era Siddhantic, era ini ditandai dengan
adanya serangkaian buku yang disebut Siddhanta. Astronom India mengusulkan
bahwa bintang-bintang bentuknya persis seperti matahari, namun jaraknya lebih
jauh, pada waktu itu orang Yunani masih menggunakan bola langit kristal untuk
menjelaskan kosmos. Mereka juga mengerti bahwa bumi itu bulat, dan astronom
India mencoba untuk menghitung keliling planet. Astronomi India ini dipengaruhi
oleh astronomi Yunani yang dimulai pada abad ke-4 SM, salah satu tulisan oleh
astronom Yunani ini adalah Yavanajataka dan Romaka Siddhanta.
Teks ini merupakan bahasa Sansekerta dari teks Yunani yang
disebarluaskan. Yajnavalkya (800-900 SM) mengemukakan Teori Heliosentris
seperti yang ada di dalam Weda. Selain itu, ia juga menghitung jumlah hari dalam
setahun berjumlah 365.24675 hari. Perhitungannya hanya berselisih 6 menit lebih
lama daripada perhitungan saat ini yaitu berjumlah 365.24220 hari. Ia juga
mengemukakan bahwa matahari jauh lebih besar daripada bumi dan secara akurat
mengukur jarak relatif matahari dan bulan dari bumi yaitu 108 kali dari diameter
benda-benda langit tersebut, hampir mendekati perhitungan saat ini yaitu 107,6
untuk matahari dan 110,6 untuk bulan.
Selain itu, sekitar 771 M, seorang pengembara India memperkenalkan
naskah astronomi yang berjudul Siddhanta (Sindhind dalam bahasa Arab) ke
Baghdad. Atas perintah khalifah al-Manshur, naskah Sinddhanta atau Sindhind
kemudian diterjemahkan oleh Muhammad Ibn Ibrahim al-Fazari (wafat 806 M).
Al-Fazari (796 M) merupakan astronom yang pertama kali mengembangkan
6
astronomi Islam yang mengambil sumber dari India, Sasania, dan Yunani. Ia
menerjemahkan buku-buku astronomi ke dalam bahasa Arab.
1. Aitareya Brahmana
Aitareya Brahmana merupakan astronom India (900-800 SM). Aitareya
Brahmana menjelaskan bahwa matahari tidak pernah tenggelam dan tidak
pernah terbit, hal ini menandakan bahwa matahari pada dasarnya stasioner dan
tidak bergerak. “Matahari tidak pernah tenggelam ataupun terbit. Ketika orang
berpikir Matahari tenggelam, tapi tidaklah demikian. Setelah tiba di
penghujung hari, matahari membuat dirinya menghasilkan dua efek yang
berlawanan, menghasilkan malam hari untuk apa yang di belahan bawah dan
siang hari di belahan lainnya. Setelah sampai di penghujung malam, matahari
membuat dirinya menghasilkan dua efek yang berlawanan, menghasilkan
siang hari di belahan bawah dan malam hari di belahan lainnya. Pada
kenyataannya, Matahari tidak pernah tenggelam.”
2. Aryabhatasiddhanta
Beredar terutama di barat laut India dan, melalui dinasti Sāsānian (224–
651) Iran, memiliki pengaruh yang besar terhadap perkembangan astronomi
Islam. Isinya dipertahankan sampai batas tertentu dalam karya-karya
Varahamihira (berkembang sekitar 550), Bhaskara I (berkembang sekitar
629), Brahmagupta (598-± 665), dan lain-lain. Ini adalah salah satu karya
astronomi paling awal yang menetapkan awal setiap hari hingga tengah
malam.
Aryabhatiya sangat populer di India Selatan, di mana banyak ahli
matematika selama milenium berikutnya menulis komentar. Karya itu ditulis
dalam bait bait dan berhubungan dengan matematika dan astronomi.
Mengikuti pendahuluan yang berisi tabel astronomi dan sistem notasi bilangan
fonemik Aryabhata di mana bilangan diwakili oleh huruf konsonan-vokal
bersuku satu, karya tersebut dibagi menjadi tiga bagian: Ganita
("Matematika"), Kala-kriya ("Perhitungan Waktu") , dan Gola ("Sphere").
Dalam Ganita Aryabhata memberi nama 10 tempat desimal pertama dan
memberikan algoritma untuk mendapatkan akar kuadrat dan kubik,
7
menggunakan sistem bilangan desimal. Kemudian dia memperlakukan
pengukuran geometris menggunakan 62,832 / 20,000 (= 3,1416) untuk π,
sangat dekat dengan nilai aktual 3,14159 dan mengembangkan sifat segitiga
siku-siku yang serupa dan dari dua lingkaran yang berpotongan. Dengan
menggunakan teorema Pythagoras, ia memperoleh salah satu dari dua metode
untuk menyusun tabel sinusnya. Dia juga menyadari bahwa perbedaan sinus
orde dua sebanding dengan sinus. Deret matematika, persamaan kuadrat,
bunga majemuk (melibatkan persamaan kuadrat), proporsi (rasio), dan
penyelesaian berbagai persamaan linier termasuk di antara topik aritmatika
dan aljabar yang disertakan. Solusi umum Aryabhata untuk persamaan tak
tentu linier, yang Bhaskara I sebut kuttakara ("penghancur"), terdiri dari
pemecahan masalah menjadi masalah baru dengan koefisien yang lebih kecil
berturut-turut pada dasarnya algoritme Euclidean dan terkait dengan metode
pecahan lanjutan.
Dengan Kala-kriya Aryabhata beralih ke astronomi khususnya, membahas
gerakan planet di sepanjang ekliptika. Topiknya mencakup definisi berbagai
unit waktu, model eksentrik dan episiklik gerakan planet (lihat Hipparchus
untuk model Yunani sebelumnya), koreksi garis bujur planet untuk lokasi
terestrial yang berbeda, dan teori "penguasa jam dan hari" (konsep astrologi
digunakan untuk menentukan waktu yang tepat untuk bertindak).
3. Aristachus
Aristachus dari Samos (310 sebelum Masehi) berpendapat matahari adalah
pusat dari kosmos dan menempatkan semua planet yang dikenal saat itu dalam
urutan jarak yang tepat di sekitarnya. Ini adalah teori heliosentris awal tata
surya yang diketahui. Sayangnya, teks asli di mana dia membuat argumen ini
hilang dari sejarah. Jadi, tidak tahu bagaimana dia bisa menemukan itu.
Aristachus tahu matahari jauh lebih besar daripada bumi atau bulan dan ia
mungkin menduga seharusnya ada yang memiliki posisi sentral dalam tata
surya.
Salah satu buku Aristarchus yang bertahan hidup adalah tentang ukuran
dan jarak matahari dan bulan. Dalam buku tersebut, Aristarchus menjabarkan
perhitungan percobaan paling awal yang diketahui dari ukuran relatif dan
8
jarak ke matahari dan bulan. Ia mengamati matahari dan bulan tampak
berukuran sama di langit dan matahari lebih jauh. Mereka menyadari ini dari
gerhana matahari, yang disebabkan bulan yang melintas di depan matahari
pada jarak tertentu dari bumi. Juga pada saat ketika bulan berada pada kuartal
pertama atau ketiga, Aristarchus beralasan matahari, bumi, dan bulan akan
membentuk segitiga siku-siku. Aristarchus menggunakan segitiga itu
memperkirakan jarak ke matahari adalah antara 18 dan 20 kali jarak ke bulan.
Dia juga memperkirakan ukuran bulan kira-kira sepertiga dari bumi,
berdasarkan waktu gerhana bulan. Sementara perkiraan jaraknya ke matahari
terlalu rendah (rasio aktualnya adalah 390) karena kurangnya ketepatan
teleskopik yang tersedia pada saat itu, nilai rasio ukuran bumi ke bulan secara
mengejutkan akurat (bulan memiliki diameter 0,27 kali dari bumi).
4. Eratosthenes
Eratosthenes, dalam bahasa lengkap Eratosthenes of Cyrene, (lahir sekitar
276 SM, Kirene, Libya meninggal sekitar 194 SM, Aleksandria, Mesir),
penulis ilmiah, astronom, dan penyair Yunani, yang membuat pengukuran
pertama tentang ukuran Bumi untuk yang detailnya diketahui. Di Syene
(sekarang Aswān), sekitar 800 km (500 mil) tenggara Alexandria di Mesir,
sinar Matahari jatuh secara vertikal pada siang hari pada titik balik matahari
musim panas. Eratosthenes mencatat bahwa di Alexandria, pada tanggal dan
waktu yang sama, sinar matahari turun dengan sudut sekitar 7,2 ° dari vertikal.
(Menulis sebelum orang Yunani mengadopsi derajat, satuan ukuran Babilonia,
dia sebenarnya mengatakan "seperlimapuluh lingkaran.") Dia dengan tepat
mengasumsikan jarak Matahari sangat jauh; Oleh karena itu sinarnya secara
praktis sejajar ketika mencapai Bumi. Dengan perkiraan jarak antara dua kota,
ia dapat menghitung keliling Bumi, memperoleh 250.000 stadia.
Perkiraan sebelumnya tentang keliling Bumi telah dibuat (misalnya,
Aristoteles mengatakan bahwa "beberapa ahli matematika" telah memperoleh
nilai 400.000 stadia), tetapi tidak ada rincian metode mereka yang bertahan.
Catatan tentang metode Eratosthenes disimpan dalam astronom Yunani
Cleomedes 'Meteora. Panjang pasti dari satuan (stadia) yang dia gunakan
diragukan, dan keakuratan hasilnya tidak pasti. Pengukurannya terhadap
9
keliling bumi mungkin bervariasi 0,5 hingga 17 persen dari nilai yang diterima
oleh para astronom modern, tetapi itu pasti dalam kisaran yang tepat. Dia juga
mengukur derajat kemiringan ekliptika (pada dasarnya, kemiringan sumbu
bumi) dan menulis risalah tentang octaëteris, siklus lunar-solar delapan tahun.
Dia dikreditkan dengan merancang algoritma untuk menemukan bilangan
prima yang disebut saringan Eratosthenes, di mana seseorang mengatur
bilangan asli dalam urutan numerik dan mencoret satu, setiap angka kedua
mengikuti dua, setiap angka ketiga mengikuti tiga, dan seterusnya, yang baru
saja meninggalkan bilangan prima.
Satu-satunya
karya
Eratosthenes
yang
masih
bertahan
adalah
Catasterisms, sebuah buku tentang konstelasi, yang memberikan deskripsi dan
cerita untuk setiap konstelasi, serta hitungan jumlah bintang yang terkandung
di dalamnya, namun atribusi dari karya ini telah diragukan oleh beberapa
ahli. . Karya matematikanya diketahui terutama dari tulisan ahli geologi
Yunani Pappus dari Aleksandria, dan pekerjaan geografisnya dari dua buku
pertama Geografi ahli geografi Yunani Strabo.
Setelah belajar di Aleksandria dan Athena, Eratosthenes menetap di
Aleksandria sekitar 255 SM dan menjadi direktur perpustakaan besar di sana.
Dia mencoba untuk memperbaiki tanggal peristiwa sastra dan politik sejak
pengepungan Troy. Tulisannya termasuk puisi yang diilhami oleh astronomi,
serta karya tentang teater dan etika. Eratosthenes menderita kebutaan di usia
tuanya, dan dia dikatakan melakukan bunuh diri karena kelaparan yang
disengaja.
C. Perkembangan Astronomi 1 – 1000 M
Dalam perjalanan mulanya, peradaban India, Persia dan Yunani adalah
peradaban yang punya kedudukan istimewa. Dari tiga peradaban inilah secara
khusus muncul dan lahirnya peradaban falak Arab (Islam), disamping peradaban
lainnya. Peradaban India adalah yang terkuat dalam pengaruhnya terhadap Islam
(Arab). Buku astronomi ‘Sindhind’ punya pengaruh besar dalam perkembangan
astronomi Arab (Islam), dengan puncaknya pada dinasti Abbasiah masa
pemerintahan Al-Manshur, buku ini diringkas dan diterjemahkan ke dalam bahasa
10
Arab. Ibrahim al-Fazzârî adalah orang yang mendapat amanah untuk mengerjakan
proyek ini, sekaligus juga ia melahirkan buku penjelas yang berjudul ‚as-Sind
Hind al-Kabîr‛.
Peradaban Persia memberi pengaruh signifikan dalam peradaban ilmu
falak Islam, ditemukan cukup banyak istilah-istilah falak Persia yang terus dipakai
dalam Islam hingga saat ini, seperti zij (epemiris) dan auj (aphelion). Buku
astronomi berbahasa Persia yang banyak mendapat perhatian Arab (Islam) adalah
'Zij Syah' atau ‘Zij Syahryaran’ yang merupakan ephemiris (zij) yang masyhur di
zamannya. Sementara dari peradaban Yunani puncaknya dimotori oleh Cladius
Ptolemaus (w. ± 160 M) yang dikenal dengan sistem "geosentris"nya. Gagasan
astronomi Ptolemaus terekam dalam maha karyanya yang berjudul ‘Almagest’
atau ‘Tata Agung’ yang menjadi buku pedoman astronomi hingga berabad-abad
sebelum runtuh oleh teori tata surya Ibn Syathir (w. 777 H) dan Copernicus.
Dalam melihat perkembangan ilmu Falak, diperiodesasikan menjadi Ilmu
Falak sebelum Islam, ilmu Falak dalam peradaban Islam, ilmu Falak dalam
peradaban Eropa dan ilmu Falak di Indonesia.
1. Claudius Ptolomeus ( 140 M )
Pendapat yang dikemukakan oleh Ptolomeus sesuai dengan pandangan
Aristoteles tentng kosmos, yaitu pandangan Geosentris, bumi dikitari oleh
bulan, Merkurius, Venus, matahari, mars, Yupiter, saturnus. Benda-benda
langit tersebut jaraknya dari bumi berturut-turut semakan jauh . Lintasan
benda-benda langit tersebut berupa lingkaran di dalam bola langit. Sementara
langit merupakan tempat bintang-bintang sejati, sehingga merekat berada
pada dinding-dinding bola langit. Ptolomeus mempunyai buku besar tentang
ilmu bintang – bintang yang berjudul ‚ Syntasis ‚ . Pandangan Ptolomeus yang
geosentris ini berlaku sampai pada abad ke- 6 M tanpa ada perubahan
(Muhyiddin, 2004 : 24)
2. Abu Ma’syar al-Falaky
a. Biografi
Abu Masyar Ja’far Ibnu Muhammad Ibnu Umar juga dikenal sebagai alFalaki atau Ibn Balkhi, Latin sebagai Albumasar, Albusar, atau Albuxar adalah
11
astronom dan filsuf Islam asal Persia. Ia dianggap sebagai Astronom terbesar
dari Abbasiyah di Baghdad. Ia menulis sejumlah buku pedoman praktis
tentang astrologi, Karya-karyanya ditulis dalam bahasa Arab dan Persia. Abu
Ma'shar al-Balkhi lahir 10 Agustus 787 (abad IX) di Balkh, Khurasan Balkh,
sebuah kota di sebelah timur Khurasan. Abu Ma‟shar ahli astronomi dan
astrologi. Astrologi yang dimaksudkan di sini adalah yang berhubungan
dengan rasi bintang, bukan ilmu nujum. Setelah menyelesaikan studi Tradisi
Islam Klasik di Baghdad, Abu Ma‟shar mencurahkan seluruh perhatiannya
untuk memelajari astronomi dan astrologi.
Sejak remaja, Abu Ma‟shar sudah memelajari tradisi kuno Arab. Ia terus
memperdalam pengetahuannya di bidang itu sambil memelajari bidang lain,
seperti astronomi. Pada masa itu, ilmu astrologi belum dihubungkan dengan
ilmu nujum. Abu Ma‟shar menguasai astrologi yang bermuatan sains. Ia
menghasilkan sejumlah karya astrologi yang banyak dipengaruhi prinsip dasar
dan hukum-hukum astronomi. Karyanya itu berisi sejumlah pengamatan yang
telah dilakukannya, salah satunya adalah mengamati komet. Sehubungan
dengan hal itu, Tycho Brahe berpendapat bahwa Abu Ma‟shar adalah ilmuwan
pertama yang menyanggah pendapat Aristoteles bahwa dia telah mengamati
komet-komet di sfera Planet Venus. Tycho Brahe menulis pendapat tersebut
dalam bukunya yang berjudul Progymnastica. Abu Ma‟shar juga pernah
menghasilkan sebuah himpunan Tabel Astronomi (Zij) dan sebuah risalah
yang terdiri dari delapan buku. Risalah yang berjudul al-Madkhali al-Kabir il
Ilm al-Nujum (Pengantar Besar ke Ilmu Astrologi) ini telah dua kali
diterjemahkan dalam bahasa Latin. Pertama, oleh Johanes Hispalensis pada
tahun 1130. Kedua, oleh Hermanus Secundus pada tahun 1150.
Keberadaan karya-karya Abu Ma‟shar sangat memengaruhi para ilmuwan
Timur dan Barat. Pada abad pertengahan, para ilmuwan Eropa memelajari
Hukum Pasang Surut Air Laut dari buku Abu Ma‟shar. Dalam penjelasan itu
terdapat beberapa uraian yang sangat mengagumkan karena sesuai dengan
hasil pengamatan yang dilakukan oleh sejumlah ilmuwan modern. Misalnya,
teori tentang pengaruh bulan terhadap angin dan curah hujan. Hingga kini,
karya tersebut masih sering dijadikan bahan rujukan oleh para ahli matematika
12
dan geografi. Selain menguasai ilmu perbintangan, Abu Ma‟shar al-Balkhi
dikenal pula sebagai seorang filosof.
b. Kajian Pemikiran
1.)
Pengertian Astrologi
Astrologi tidak sepenuhnya sama dengan astronomi.
Astronomi sering dikelirukan dengan astrologi, dan sebaliknya.
Karena banyak ilmuwan menganggap bahwa astrologi tidak
mengikuti metode ilmiah dari negara barat, maka kebanyakan
mereka secara umum menolak astrologi untuk menjadi ilmu
astronomi dan cukup mengklasifikasikan sebagai ilmu semu.4
Astrologi
secara
mendalam
pernah
digabungkan
dengan
astronomi, dan perbedaan jelas di antara keduanya diungkap
kembali pada masa Galileo. Dia ialah orang pertama yang
menggunakan metode ilmiah untuk menguji pernyataan obyektif
tentang langit.
Astrologi berasal dari kata Yunani yang berarti ilmu
tentang bintang-bintang. Ilmu ini awalnya digunakan oleh bangsa
Kaldea yang hidup di Babilonia pada permulaan tahun 3000 SM
(Sebelum Masehi). Jika kita mendasari pada peninggalan artefakartefak kuno, astrologi telah dikenal lebih tua lagi yaitu sekitar
tahun 15.000 SM. Artefak-artefak ini banyak ditemukan di daerah
Timur Tengah. Bangsa Cina di Asia kemudian mengadopsi ilmu
ini untuk digunakan dalam kesehariannya. Astrologi mendasari
ilmunya pada pergerakan benda-benda langit antara lain matahari,
planet-planet, bintang, dan bulan. Para astrolog percaya bahwa
posisi benda-benda langit ini berpengaruh pada kehidupan
manusia dan peristiwa masa depan yang akan terjadi dapat
diramalkan berdasarkan posisi benda langit tersebut. Bagaimana
dengan astronomi?
Menurut kamus Merriam-Webster, Astrologi (Astrology):
“The divination of the supposed influences of the stars and planets
on human affairs and terrestrial events by their positions and
13
aspects.” Dari definisi tersebut jelas bahwa para pakar astrologi
percaya bahwa posisi benda-benda langit (planet dan bintang)
berpengaruh pada kehidupan manusia dan peristiwa masa depan
yang akan terjadi dapat diramalkan berdasarkan posisi benda langit
tersebut.
Astrologi merupakan ramalan yang dibangun melalui
interpretasi pengaruh bintang-bintang dan planet-planet terhadap
urusan-urusan di bumi dan nasib atau takdir manusia. Pada zaman
kuno astrologi tidak dapat dipisahkan dengan astronomi. Astrologi
mulai dikenal di Mesopotamia (millennium ketiga SM) dan
menyebar ke India, tetapi kemudian berkembang di peradaban
Yunani. Astrologi memasuki kebudayaan Islam sebagai bagian
dari tradisi Yunani dan dikembalikan ke budaya Eropa pada zaman
pertengahan. Menurut tradisi Yunani, surga dibagi berdasarkan
menurut 12 rasi bintang zodiak, dan cahaya dan posisi bintang
yang pada berbagai interval tersebut mempengaruhi kejadian dan
urusan manusia.
Astrologi juga merupakan bagian penting dalam peradaban
Cina kuno. Horoskop pada setiap bayi yang lahir menentukan
seluruh titik waktu kehidupan mereka (junctures of life). Pada pada
zaman modern sekarang, astrologi masih dipercaya secara luas
untuk mempengaruhi kepribadian.
2.)
Pengertian Astrologi
Dalam kitab Abu Ma’syar Al-Falaki atau dalam edisi
terjemah Jawa-nya berjudul Abu Ma’syar Al-Falaki; Ilmu
Palintangan Ngaweruhi Kahanane Manusia disebutkan bahwa
metode yang digunakan berbeda dengan metode pitungan Jawi.
Jika pitungan Jawi menggunakan rumus, di antaranya, pancawara
dan saptawara, maka Abu Ma’syar menggunakan rumus hisab
Abajadun.
14
Pada bagian pengantar ditulis:
“Sesungguhnya ketika aku berpikir firman Allah: Maha
suci Allah yang menjadikan di langit gugusan-gugusan bintang
dan Dia menjadikan juga padanya matahari dan bulan yang
bercahaya (QS. Al-Furqon: 61). Aku istikharah pada Allah Swt
agar bisa menerangkan tentang manusia dari aspek perbintangan,
dan aku haturkan agar tertib di setiap bintang yang dibagi tiga jenis
jalan dan 12 tempat karena menggunakan cara-cara meramal”
Keterangan di atas menunjukan bahwa latar belakang
penulis kitab tersebut mendalami ilmu hisab/ falak/ astrologi
adalah berangkat dari keingintahuannya akan rahasia di balik
firman Allah dalam surat Al-Furqon ayat 61, dan kemudian ia
melakukan istikharah.
Abu Ma‟syar Al-Falaki memuat 14 pasal dan pembahasan,
yaitu: (1) Pasal tahun, (2) Pasal pengingat yang akan terjadi dalam
satu tahun, (3) Pasal hari, (4) Pasal waktu siang, (5) Pasal waktu
malam, (6) Perhitungan menang kalah, (7) Pasal perhitungan
bergaul, berteman, jodoh, dan persaudaraan, (8) Pasal perhitungan
sakit, (9) Pasal perhitungan orang hamil, (10) Pasal perhitungan
orang bepergian, (11) Pasal perhitungan orang melahirkan, (12)
15
Jalan berguna, (13) Pasal perbintangan manusia dan gugusan
bintang, (14) Pasal pengingat gugusan bintang dan perbintangan.
Pasal pertama tentang tahun misalnya, disebutkan bahwa
tiap-tiap hari, mulai Ahad sampai Sabtu memiliki pengaruh
terhadap jalannya kehidupan selama satu tahun, tergantung hari
apa yang mengawali tahun tersebut. Kita ambil satu contoh, tahun
2014 yang diawali dengan hari Rabu. Hari Rabu dikuasai oleh
‘Athorod (Merkurius), menunjukan keadilan raja dan para hakim,
air bengawan cukup namun pada akhirnya akan surut, banyak
kerajinan dari batu yang berbentuk aneh, orang banyak membuat
perkumpulan, banyak orang besar (pemimpin) yang mati, tahun
tersebut harga kacang murah mulai bulan Oktober dan akan naik
pada November. Di langit terlihat bintang baru yang menandakan
naiknya harga buah-buahan hingga datang musim penghujan,
orang asing merajalela.
Ramalan tersebut dibuat berdasarkan peredaran bendabenda langit yang menguasai masing-masing hari. Hari Ahad
dikuasai oleh Syams (Matahari), hari Senin dikuasai oleh Qomar
(Bulan), hari Selasa dikuasai oleh Marikh (Mars), hari Rabu
dikuasai oleh „Athorod (Merkurius), hari Kamis dikuasai oleh
Musytaro (Jupiter), hari Jum‟at dikuasai oleh Zahroh (Venus), hari
Sabtu dikuasai oleh Zahl (Saturnus).
Sedangkan
pasal
terakhir
menjelaskan
perhitungan
manusia dan bintangnya dengan gugusan bintangnya (buruj) untuk
mengetahui hal ikhwal dan tabiat manusia di dunia. Untuk
mengetahuinya maka terlebih dahulu dihitung namanya dan nama
ibunya menggunakan hisab abajadun. Jumlahnya nanti dibagi 12.
Sisanya kurang dari 12 atau genap 12, kemudian dihubungkan 12
bintang yang menunjukan hal ikhwal dan tabiat manusia seperti
yang di bawah ini, setelah mengetahui gugusan bintangnya/ buruj/
zodiaknya, bintang, watak, kemudian perhatikan maksud bintang
satu-persatu.
16
3. Jabir Al Batany
17
Al-Battani adalah ilmuwan Irak yang hidup pada tahun 850-923 M . Dia
adalah ahli astronomi terbesar di kalangan orang Arab. Nama lengkapnya Abu
Abdullah Muhammad ibn Jabir ibn Sinan al-Raqqa al-Harrani al-Sabiʾ alBattani. Dia lahir di Harran dekat Urfa. Salah satu pencapaiannya yang
terkenal adalah tentang penentuan tahun matahari sebagai 365 hari, 5 jam, 46
menit dan 24 detik.
Al-Battani mendalami astronomi sejak berusia 20 tahun hingga akhir
hayatnya. La Lande, ahli Astronomi dari Perancis mengatakan bahwa AlBattani termasuk salah seorang dari 20 orang besar ahli astronomi dalam
sejarah manusia. Ia juga mengatakan dalam bukunya yang berjudul Sejarah
Alam Semesta bahwa Al-Battani merupakan ahli astronomi paling besar pada
bangsa dan zamannya, selain salah seorang ilmuwan besar Islam.
Para ilmuwan astronomi sebelumnya banyak merujuk kajian astronomi
kepada ilmu astronomi Yunani terutama kepada karya-karya Ptolomeus dan
ilmu astronomi India. Naskah teoritis dan mendasar mereka adalah buku
Ptolomeus yang dikenal oleh orang Arab dengan judul Al-Majesty.
Para ahli astronomi Arab banyak yang mengikuti Ptolomeus yang
berpendapat bahwa bumi dian dan dikitari oleh delapan planet: Matahari,
bulan, 5 planet dan bintang. Untuk membuktikan kesesuaian antara tatanan
seperti itu dan kenyataan yang ada, dia meletakkan aturan perputaran dan
hitungan matematisnya. Akan tetapi dengan berlalunya waktu tahu, Bangsa
18
Arab tahu mengenai kelemahan Ptolomeus sehingga mereka mengkritiknya
tanpa memberikan jalan keluar.
Kegiatan Al-Battani tercurahkan kepada yang dinamakan al-zayj atau
kalender astronomi yang dia buat pada tahun 900 masehi dengan sangat
cermat dan akurat. Pengamatannya yang sangat akurat mengenai gerhana
matahari menjadi dasar yang pasti bagi pengamatan sejenis hingga tahun
1749 Masehi.
Bukunya Al-Zayj berisi hasil-hasil peneropongannya terhadap bintangbintang tetap. Buku tersebut telah diterjemahkan juga ke dalam bahasa Latin
dan bahasa Spanyol. Namun buku-bukunya yang jumlahnya 4 jilid tidak
sampai ke tangan kita. Pengaruhnya sangat besar bukan saja dalam bidang
ilmu astronomi untuk kalangan bangsa Arab saja, melainkan juga dalam ilmu
astronomi dan hitungan segitiga lingkaran pada bangsa Eropa pada abad
pertengahan dan awal renaissance. Dia telah menetapkan hitungan yang
sangat akurat mengenai panjang hitungan tahun dan pembagian musimnya
serta peredaran yang pasti untuk Matahari.
Al-Battani juga membenarkan ucapan Ptolemeus mengenai tetapnya
posisi bumi yang berjauhan dengan matahari, dengan membangun dalil atas
perubahan yang terjadi pada teori yang ditemukan Ptolomeus dan dengan
mengikuti
gerakan
rata-rata
planet
tersebut. Akhirnya Al-Battani
mendapatkan kesimpulan bahwa penyesuaian waktu berubah sangat lamban.
Al-Battani juga memastikan perubahan sudut tampak matahari, dan
kemungkinan terjadinya gerhana matahari total. Selain itu, Al-Battani juga
meluruskan sejumlah pengetahuan mengenai gerakan bulan dan bintang
bergerak. Dia membuat teori baru yang menunjukkan tingkat kecerdasan dan
keluasan wawasannya, yang menjelaskan kondisi dimana bulan bisa terlihat,
dan memantapkan gerakan rata-rata yang ditemukan oleh Ptolemeus. Dia juga
memiliki hasil peneropongan gerhana bulan dan gerhana matahari yang
dijadikan patokan oleh Dantrhone pada tahun 1749 M tentang batas kecepatan
bulan dalam satu abad. Dia memberikan pemecahan yang sangat bagus
melalui pencarian titik tengah bagi segitiga lingkaran. Dalam bidang ilmu
pasti Al-Battani adalah orang yang pertama kali memasukkan sinus dan
19
cosinus dalam ilmu pasti. Dia menggunakan sinus dan cosinus sebagai ganti
hypotenuse yang banyak digunakan oleh orang Yunani. Lalu dia
menyempurnakan definisi bayangan semu dan bayangan inti, selain membuat
daftar untuk dua hal tersebut. Penemuan hukum segitiga sama sisi yang
sempurna pun dinisbatkan kepadanya. Selain itu dia juga memecahkan
berbagai persoalan hitungan ala Yunani dengan menggunakan cara ilmu ukur
untuk mengetahui detail ukurannya. Hasil yang dicapai oleh Al-Battani dalam
ilmu Astronomi mendapatkan tempat dalam sejarah ilmu pengetahuan. Dia
adalah seorang ahli ilmu astronomi yang brilian tanpa menggunakan
peralatan yang canggih yang baru ditemukan pada abad ke-17.
Kesuksesannya kembali kepada dua hal berikut. Pertama dia menggunakan
metode dan alat teropong yang jauh lebih maju daripada yang dimiliki oleh
orang Yunani. Bahkan sebagian peralatan yang ada yang tidak diketahui sama
sekali oleh mereka. Kedua, dia menggunakan hitungan yang akurat dalam
menghitung persoalan-persoalan yang dihadapinya dalam ilmu astronomi.
Hitungan yang dipergunakan jauh lebih maju daripada yang dipergunakan
oleh orang Yunani, termasuk hitungannya dalam berbagai segitiga yang juga
belum dikenal oleh mereka. Yang membuat mereka gagal dalam kajian di
bidang ilmu astronomi dan geografi adalah karena mereka mengandalkan
cara hitung yang konvensional.
4. Abu Raihan al-Biruni
Salah satu ilmuwan muslim yang memiliki pengaruh besar pada abad
11 adalah al-Biruni. Al-Biruni adalah seorang ulama yang juga saintis
terkenal sebagai pakar astronomi Islam dengan karya monumentalnya alQanun al-Mas’ud. Nama lengkap al-Biruni adalah Abu Raihan Muhammad
Ibnu Ahmad al-Biruni.
Pada tahun 1030 M, al-Biruni membicarakan teori astronomi India dari
Aryabhata, Brahmagupta, dan Varahamihira. Beliau sepakat dengan rotasi
bumi yang berputar terhadap porosnya sendiri. Menurutnya, lebih masuk akal
bahwa bumi berputar terhadap porosnya daripada langit yang mengelilingi
bumi. Al-Biruni pula yang menduga bahwa bumi mengelilingi matahari serta
orbit-orbit planet mungkin tidak hanya berbentuk lingkaran tetapi juga ada
20
yang
berbentuk
elips. Al-Biruni
adalah
ilmuwan
pertama
yang
mempersoalkan perputaran bumi mengelilingi sumbunya (Rochayati, 2018).
Dalam kitab al-Qanun al-Mas’udi mengkaji tentang matahari sebagai
pusat tata surya yang dikelilingi berbagai benda langit. al-Biruni
menyusunnya sekitar tahun 1030 M. al-Biruni merupakan astronom Islam
pertama yang meragukan adanya teori Geosentris yang dikemukakan oleh
Ptolomeus, al-Biruni menganggap bahwasanya teori Geosentris tidak masuk
akal, sehingga al-Biruni menulis karya ini untuk mendeklarasikan teori baru
tentang matahari sebagai pusat peredaran benda-benda langit (Sakirman,
2017 judul bentuk dan ukuran bumi...).
Tanpa menolak sistem alam semesta Geosentris yang diterima hingga
abad pertengahan, Al-Biruni sungguh menyadari akan keberadaan sistem
Heliosentris yang telah diketahui
tidak hanya oleh sejumlah astronom
Yunani, tetapi juga pemikiran orang-orang yang ditemui Al-Biruni di India
(Rochayati,2018). Faktanya, sampai akhir hidupnya ia tetap netral terhadap
persoalan Helioentris dan Geosentris. Dalam padangan al Biruni, pilihan
antara dua hipotesis tersebut, bergantung pada persoalan kosmologi dan
psikologi yang sangat tegas didasarkan pada budaya manusia dan juga bukti
sains fisika.
Al Biruni menuliskan “Saya telah melihat astrolable yang disebut
Zuraqi temuan Abu Saíd Sijzi. Saya sangat menyukainya dan memujinya
sebagai persoalan yang besar, sebagaimana hal tersebut didasarkan pada
gagasan yang menyita perhatian banyak orang. Bahwa gerakan yang kita
lihat adalah bahwa Bumi bergerak dan bukan sebaliknya dari langit. Dalam
hidupku, itu adalah sebuah permasalahan yang sulit untuk memberi solusi
dan menyangkalnya.”
Selanjutnya al Biruni menjelaskan: “Salah satu sebabnya (bintang
tampak diam) dikarenakan posisinya yang tampak tetap dari benda-benda
langit lain di sekelilingnya, baik dalam jarak maupun kecepatannya yang
tidak berubah dari pandangan. Selain itu, karena kemunculannya yang tetap
dari posisi zodiak-zodiak dengan kadar yang sama, sehingga seolah-olah
dengan keadaan ini ia tampak diam pada sebuah benda langit yang
21
mengelilingnya”.
Selain itu, Al-Biruni mengemukakan konsepnya sendiri tentang
kemungkinan gerak bumi. al-Biruni menyatakan secara tegas bahwa; “Ajaran
bahwa bumi itu diam adalah satu diantara dasar penting astronomi, dogma
para astronom Hindu, tetapi ini memberikan banyak kesukaran berat”
Pemahaman gaya tarik bumi ini dipengaruhi oleh Brahmagupta dari India
(Sakirman, 2017 Judul geneologi....).
Al-Biruni membuat analisis apakah bumi bergerak dan dalam arah
bagaimana bergerak atau tidak bergerak, al-Biruni mengutip pendapat
astronom Brahmagupta; “Para pengikut Aryabhata berpendapat bahwa
Bumi bergerak, langitlah yang diam. Orang-orang berusaha menolak dengan
alasan, andaikata demikian adanya maka batu-batu dan pohon-pohon akan
berlepasan dari tanah.”
Biruni menambahkan lebih lanjut; Brahmagupta tidak setuju dengan
mereka dan mengatakan bahwa itu (berlepasan), Sama sekali bukanlah
akibat dari teori mereka, kiranya karena (Brahmagupta) berpikir bahwa
semua benda ditarik kearah pusat bumi. Brahmagupta sendiri menulis:
sebaliknya, kalau saja keadaanya demikian maka bumi tidak akan dapat
mempertahankan gerakan beraturan dan gerakan semacam ini, yang terikat
dalam kesesuaian penuh dengan berbagai posisi-posisi benda langit.
Al-Biruni menerima sepenuhnya pendapat Brahmagupta tentang
tarikan benda-benda ke pusat bumi. Semua elemen (benda) mengarah ke
pusat bumi dengan kecepatan yang sama. Alasan bahwa benda yang berat
jatuh lepas cepat ke bumi daripada yang ringan adalah karena adanya
hambatan dari udara. Para astronom terkenal yang baru maupun yang kuno
secara serius mempelajari persoalan putaran bumi tetapi sambil berusaha
menolak fakta bahwa bumi itu bergerak (Sakirman, 2017 judul bentuk dan
ukuran bumi...).
Catatan rihlah ilmiah al-Biruni serta interaksinya dengan para ulama
telah memberi sumbangan berharga bagi peradaban Islam. Tercatat 150 lebih
karya yang dihasilkan merupakan buah perjalanannya ke berbagai wilayah.
Al-Biruni memiliki catatan dan penemuan di berbagai bidang astronomi.
22
Salah satu sumbangan penting al-Biruni adalah apa yang dikenal di era
modern dengan paradoks sirkum navigator yang menjadi bukti bahwa bumi
berbentuk bulat, bukan datar (Rochayati,2018).
Dalam al-Qanun al-Mas’udi al-Biruni membuktikan bahwa bentuk
bumi adalah bulat, bumi berputar mengelilingi matahari dan bulan berputar
berdasarkan garis edarnya mengelilingi bumi. Pembuktian-pembuktiannya
ini dilakukan al-Biruni hampir enam abad mendahului pembuktian yang
dilakukan oleh ilmuwan barat. Al-Biruni mendahului para astronom di dunia,
alam menemukan gerakan poros bumi yang berputar condong, dan gerakan
peredaran bumi mengelilingi matahari dalam satu tahun.
Al-Biruni mengemukakan konsep kekuatan gravitasi bumi, yang
merupakan satu bukti bahwa bumi berputar pada porosnya. Buktinya ada
malam dan siang dan kita lihat matahari, bulan, dan bintang-bintang terbit di
timur dan terbenam di barat. Benda yang ada di bumi tidak merasakan gerak
rotasi tersebut, karena efek gaya gravitasi yang menarik semua benda tetap
berada di permukaan bumi lebih dominan daripada efek gerak rotasi bumi
tersebut (Sakirman, 2017 judul bentuk dan ukuran bumi...).
Gravitasi adalah gaya tarik-menarik yang terjadi antara semua partikel
yang mempunyai massa di alam semesta. Bumi yang memiliki massa yang
sangat besar menghasilkan gaya gravitasi yang sangat besar untuk menarik
benda-benda di sekitarnya, termasuk makhluk hidup, dan benda benda yang
ada di bumi. Gaya gravitasi ini juga menarik benda-benda yang ada di luar
angkasa, seperti bulan, meteor, dan benda angkasa lainnya, termasuk satelit
buatan manusia.
Dalam kitab yang menjadi magnum opusnya, al-Biruni membuktikan
bahwa bintang bergerak mengelilingi poros rasi bintang. Al-Biruni
menentukan letak 1024 bintang; al-Biruni meletakkan secara cermat masingmasing bintang itu pada galaksinya. al-Biruni menjelaskan secara matematis
tentang gerakan planet-planet. Al-Biruni menghubungkan gerakan planetplanet itu dengan gerakan bumi di sekitar matahari, dan batas akhir lingkaran
bumi. Al-Biruni mengukur jumlah hari dalam setahun, memperkenalkan
musim-musim yang dilalui dalam setahun, pergantian musim dan al-Biruni
23
menentukan waktu-waktu terjadinya musim ini.
5. Al Farghani: Perintis Astronomi Modern
Para ahli astronomi Barat abad pertengahan menyebutnya AlFarghanus. Ia astronom termasyhur pada zamannya. Nama lengkapnya Abu
al-Abbas bin Muhammad bin Kathir al-Farghani. Al-Farghani begitu
kemudian sejarah Islam mengenalnya. Diambil dari kata Farghana atau
Transoxania, yaitu sebuah kota di tepi sungai Sardaria, Uzbekistan. Tidak
diketahui secara pasti tanggal berapa ia dilahirkan. Tapi, banyak sejarawan
menyebutkan ia hidup pada masa pemerintahan al-Makmun (813-833) hingga
meninggalnya al-Mutawakkil (847-881). Al-Farghani hidup pada masa
puncak keemasan ilmu pengetahuan Islam. Khalifah pada masanya
merupakan pecinta ilmu pengetahuan.
Didirikannya Akademi al-Makmun merupakan salah satu bukti
kecintaan khalifah terhadap ilmu pengetahuan. Dalam akademi inilah alFarghani memulai pengkajian tentang ilmu astronomi. Kesungguhan alFarghani diikuti dengan dukungan khalifah berupa peralatan canggih
peneropong bintang untuk mengetahui ukuran bumi dan juga membuat
laporan ilmiah.
Karier al-Farghani berlanjut dalam ilmu astronomi. Ia berhasil
menyelesaikan penelitian mengetahui diameter bumi dan jarak antara bumi
dengan planet lain. Selain itu, ia juga turut merancang hadirnya Darul Hikmah
24
al-Makmun, ikut dalam proyek pengukuran garis lintang bumi, menjabarkan
jarak, dan diameter beberapa planet. Sebuah pencapaian yang luar biasa pada
masa itu.
a.
Pemikiran dan Karya Al-Farghani
Sebuah Buku Al-Farghani, Harakat As-Samawiyya Wa Jawami
Ilm An-Nujm (Asas-Asas Ilmu Bintang) memuat kajian tentang
bintang. Buku ini paling berpengaruh dalam perkembangan ilmu
astronomi Eropa. Dalam buku ini, al-Farghani mengadopsi teori
Ptolemaeus dan mengembangkannya hingga menjadi teori yang berdiri
sendiri. Apresiasi atas buku ini bukan hanya muncul dari sarjana
Muslim, sarjana non-Muslim pun menyambut gembira.
Karya ini diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa. Dalam
bahasa Inggris, judulnya diubah menjadi The Elements of Astronomy.
Pada abad XII, buku ini diterjemahkan pula dalam dua versi bahasa
Latin. Salah satunya oleh John Seville pada 1135, sebelum kemudian
direvisi oleh Regiomontanus pada 1460-an. Sebelum 1175, karya ini
juga sempat diterjemahkan oleh Gerard Ceremona.
Pada masa selanjutnya, Dante melengkapi karya al-Farghani ini
dengan
menambahkan
pendapatnya
tentang
astronomi
dan
memasukkan karyanya yang berjudul La Vita Nuova. Seorang ilmuwan
Yahudi, Jacob Anatoli, juga menerjemahkan karya ini dalam bahasa
Yahudi, dan menjadi terjemahan latin versi ketiga (1590). Pada 1669,
Jacob Golius menerbitkan teks Latin yang baru. Bersamaan dengan itu,
sejumlah ringkasan karya al-Farghani telah beredar di kalangan para
ilmuwan. Di kemudian hari, The Elements of Astronomy diakui sebagai
sebuah karya sangat berpengaruh bagi para ilmuwan masa itu.
D. Perkembangan Astronomi 1000 M – 2000 M
1. Nasiruddin al-Tusi (Abu Ja’far Muhammad bin Muhammad bin AlHasan Nasiruddin at-Tusi ((1201-1274 M))
Dalam bidang astronomi, ia merupakan tokoh yang sangat menonjol
diantara ilmuan dan peneliti muslim lainnya. Penelitiannya antara lain
25
mengenai lintasan, ukuran dan jarak planit Merkurius, terbit dan terbenam,
ukuran dan jarak matahari dengan bulan, dan bintang-bintang. Di antara karya
tulisannya dalam bidang ini adalah Al-Mutawassil baina al-Handasah wa alHai’ah (kumpulan karya terjemahan dari Yunani tentang geometri dan
astronomi), Al-Tadzkirah fi ilm al-Hari’ah (sebuah karya hasil penyelidikan
dalm bidang astronomi ) dan Zubdah al-Hai’ah (intisari astromoni).
2. Muhammad Turghay Ulugbbek (1394-1449 M)
Muhammad Turghay Ulugbbek dikenal sebagai ahli Falak dan yang
membangun obvservatorium di Samarkan pada tahun 823 H/1420 M dan
menyusun Zij Sulthani. Karya-karya momumental tersebut sebagian besar
masih bernuansa manuskrip dan kini tersimpan di Ma’had Makhlutat alAraby, Kaero, Mesir. Patut diketahui bahwa semua karya tersebut masih
bergaya masih bernuansa geosentris. Artinya karya-karya tersebut masih
banyak dipengaruhi oleh Ptolmeus, yang menempatkan bumi sebagai pusat
peredaran planet-planet dan matahari. Assumsi ini didasarkan pada kenyataan
sejarah bahwa teori Heliosentris yang dibangun oleh Copernicus baru muncul
pada abad XVI M meskipun al-Biruni telah mengkritik teori geosentris pada
periode sebelumnya. Obvservatorium di Samarkan ini dianggap sebagai
penghubung lembaga ini ke dunia barat.
3. Nicolaus Copernicus (1473-1543 M)
Perkembangan ilmu pengetahuan, khususnya ilmu astronomi pada masa
kejayaan Islam berpengaruh hingga keluar wilayah Islam. Salah satu wilayah
yang paling terpengaruh adalah Eropa. Pengaruh ini masuk melalui wilayah
Andalusia, kemudian melalui Sisilia (wilayah yang juga dikuasai Islam
hingga 1091 M). Para ilmuan ini mulai tertarik dengan astronomi Islam
sehingga mereka menerjemahkan banyak karya-karya astronomi Islam ke
dalam berbagai bahasa baik bahasa latin maupun bahasa Yahudi dan bahasabahasa yang lain. Dari buku-buku terjemahan inilah, mereka mempelajari
serta mengkajinya.
Pada sekitar pertengahan abad ke-16, dengan keilmuan matematikanya,
Nicolaus Copernicus mengenalkan teori heliosentris sebagai koreksi dari
26
teori sebelumnya, geosentris yang ia pelajari dari buku Ibnu Haytam (alShuku ‘ala Batlamyus yang berisi kritikan terhadap perhitungan Ptolemeus)
dan al-Biruni (al-Qanun al-Mas’udi yang mengkaji tentang matahari sebagai
pusat tata surya yang dikelilingi berbagai benda langit, pengukuran jarak
bumi ke matahari dan gravitasi bumi). Copernicus menyusunan buku De
Revolutionibus Orbium Coelestium (Tentang Revolusi Bulatan Benda-benda
Langit), yang melukiskan teorinya secara terperinci dan mengedepankan
pembuktian-pembuktiannya. Dalam teorinya, Copernicus menyatakan bahwa
bumi berputar pada porosnya dan bergerak bersama bulan dan planet lainnya
mengelilingi matahari. Ide ini mendapat pertentangan yang sangat keras dari
para ilmuwan lainnya bahkan dari institusi gereja. Pertentangan ini terus
berlanjut hingga Copernicus menemui kematiannya, dan institusi gereja
melarang penerbitan dan peredaran buku-buku karangan Copernicus.
4. Tycho Brahe (1546-1601 M)
Setelah Copernicus, lalu muncul para tokoh astronomi dan perbintangan
lainnya. Salah satunya adalah Tycho Brahe, seorang pakar astronom dari
Denmark. Seperti halnya para pendahulunya, Copernicus membuat
perhitungan yang serampangan mengenai skala peredaran planet mengelilingi
matahari. Ia juga membuat kekeliruan besar karena ia meyakini bahwa orbit
mengandung lingkaran-lingkaran. Meski begitu, buku Copernicus ini lekas
mendapat perhatian besar para astronom lain, terutama astronom
berkebangsaan Denmark, Tycho Brahe yang melakukan pengamatan lebih
teliti
dan
tepat
terhadap
gerakan-gerakan
planet.
Tiycho
Brahe
mengemukakan model sistem tata surya kompromi (gabungan dari teori
heliosentris dan teori geosentris). Model tersebut tampak seperti perpaduan
antara model Ptolemius dan Copernicus karena menyatakan bahwa bumi ada
di pusat alam semesta yang dikelilingi oleh matahari, bulan dan bintangbintang. Perbedaannya terletak pada posisi dominan matahari karena
dikelilingi oleh semua planet selain bumi.
5. Johanes Kepler (1571-1630 M)
Pada tahun 1600, Johanes Kepler menjadi satu dari beberapa asisten
27
Tycho dan ia juga membuat perhitungan baru dengan menggunakan data yang
dimiliki oleh Tycho. Kepler mendapatkan akses data Tycho tentang Mars dan
mencobanya agar sesuai dengan kalkulasinya. Kepler juga mengerjakan
logaritma khusus untuk menghasilkan perhitungannya yang lebih akurat.
Data yang didapatkan oleh Kepler dari Tycho merupakan posisi Mars di
langit dengan latar belakang jutaan bintang. Ia mencoba menghitung gerakan
nyata Mars yang mengelilingi matahari. Pada awalnya, ia mencoba
mencocokkan suatu lingkaran atau orbit berbentuk telur (elips), namun dia
tidak dapat mencocokkan observasinya secara akurat. Akhirnya, ia mencoba
suatu gambar geometris yang dinamakan elips, sejenis lingkaran yang ditekan
di dua sisi dan hasilnya cocok.
Dari penemuannya tersebut, pada tahun 1609, Johanes Kepler
menerbitkan buku New Astronomy sebagai buku astronomi modern. Maha
karya ini memuat dua hukum Kepler. Hukum pertama bentuk lingkaran orbit
planet, bunyi hukum ini sebagai berikut : lintasan setiap planet mengelilingi
matahari merupakan sebuah elips dengan matahari terletak pada salah satu
titik fokusnya. Hukum kedua menjelaskan tentang kecepatan orbit planet,
bunyi hukum ini sebagai berikut : setiap planet bergerak sedemikian sehingga
suatu garis khayal yang ditarik dari matahari ke planet tersebut mencakup
daerah dengan luas yang sama dalam waktu yang sama. Hukum yang ketiga
diterbitkan dalam buku Harmonies of The World yang menjelaskan tentang
periode revolusi planet. Periode revolusi planet ini dikaitkan dengan jari-jari
orbit rata-ratanya, hukum ini berbunyi : kuadrat periode planet mengitari
matahari sebanding dengan pangkat tiga rata-rata planet dari matahari.
6. Galileo-Galilei (1564-1642 M)
Pada akhir tahun 1609, dengan menggunakan teleskopnya, Galileo
menemukan pegunungan dan lembah di bulan dan galaksi Bima Sakti yang
terdiri atas banyak bintang, termasuk arterisme. Kemudian pada bulan Januari
1610, ia juga menemukan empat “bintang” disekitar planet Jupiter yang
bergerak bersamaan dengan Jupiter dan berpindah posisi dari suatu malam ke
malam berikutnya. Penemuan ini ditandai sebagai penemuan bulan-bulan
Jupiter yang sekarang dikenal dengan Satelit Galileo. Galilei menuliskan
28
penemuannya ini dalam suatu buku tipis berjudul Sidereus Nuncius (The
Starry Messenger) yang diterbitkan pada tahun 1610. Penemuan satelit
Jupiter merupakan pukulan luar biasa bagi penganut konsep geosentris. Oleh
karena itu, penemuan ini menjadi bagian penting bagi teori heliosentris
Copernicus.
7. Sir Isaac Newton (1642-1727 M)
Pada tahun 1687, Sir Isaac Newton menerbitkan buku terkenalnya The
Philosophia Naturalis Principia Mathematica (Prinsip Matematika Filosofi
Alam) dimana filosofi yang dimaksud sekarang bernama sains yang
diterbitkan dalam bahasa Latin. Dalam buku ini, Newton mengemukakan
hukum gravitasi umum yaitu gaya tarik menarik antara dua benda besarnya
sebanding dengan massa masing-masing benda dan berbanding terbalik
dengan kuadrat jarak antara kedua benda. Selain itu, buku ini juga berisi
pembuktian Hukum Kepler tentang orbit planet.
Berkaitan dengan pergerakan planet dalam tata surya, ternyata saat itu
hukum gravitasi Newton berhasil menjelaskan bagaimana mekanisme dua
buah objek bermassa yang berinteraksi dalam gaya tarik menarik gravitasi.
Matahari dalam sisten tata surya menurut teori ini memiliki gaya tarik yang
sangat besar jangkauannya sehingga menarik benda-benda angkasa yang
bermasaa relatif kecil planet, komet, asteroid melayang pada orbitnya.
29
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan materi yang telah dipaparkan di atas, maka dapat kita simpulkan
bahwa :
1. Perkembangan Ilmu Astronomi dimulai dengan Era Mesopotamia yang
diperkirakan sebagai peletak dasar ilmu Astronomi pada 3000 – 2000 SM.
Kemudian astronomi mulai mengalami perkembangan dan bangsa-bangsa lain
mulai berdatangan ke Mesopotamia. Bangsa-bangsa lain ini beberapa
diantaranya adalah Mesir, Sumeria, Babilonia, Mesir, Cina, dan India.
Kemudian diwaktu yang hampir bersamaan terjadilah juga perkembangan
peradaban di Cina dan India. Ini terjadi karena ilmuwan-ilmuwan asal Cina
dan India ini mencoba melakukan penelitian yang sama dengan apa yang
sedang berkembang di Mesopotamia, dan kemudian mengembangkan
pemikirannya.
2. Perkembangan Ilmu Astronomi di Dunia Pra Islam tentunya dipengaruhi
dengan perkembangan Ilmu Astronomi sebelum-sebelumnya yang berpusat di
Mesopotamia dan kemudian menyebar ke bangsa Cina, Yunani, Persia, Eropa,
Mesir dan daerah lainnya karena pada saat ini Ilmu Astronomi banyak
dikembangkan karena untuk melakukan peribadatan dan berlangsung sekitar
1000 SM – 1000 M. Dimana pada makalah ini astronom-astronom pada era
ini adalah mulai dari Aitareya Brahmana sampai dengan Al Biruni dan terus
berlangsung sampai pada masa Al-Farghani.
3. Astronomi pada era Modern bermula sejak 1000 M – 2000 M dimana
perkembangan ilmu astronomi ini masih dengan campur tangan ilmuwan
muslim. Dimana ilmuwan-ilmuwan muslim seperti Nasiruddin al-Tusi sampai
dengan era Sir Isaac Newton dan masih terus berlangsung sampai saat ini.
30
B. Saran
Berdasarkan makalah yang telah disusun, penulis berharap makalah ini
dapat membawa kebermanfaatan bagi kita semua para pembaca. Sedikit tidaknya
adalah dengan memunculkan motivasi untuk mengembangkan ilmu yang sedang
kita pelajari saat ini.
31
DAFTAR PUSTAKA
Alimuddin. (2013). SEJARAH PERKEMBANGAN ILMU FALAK. Jurnal Aldaulah,
181-193.
Mubit, R. (2018). Al-Battani, Ulama Ahli Astronomi. Jakarta Pusat: NU Online.
Mursyid Fikri, Muh. Rasywan Syarif. (2019). Eksplorasi Pemikiran Abu Ma’shar Al
Falaky Tentang Manuasia dan Bintang. Alfalaky, 177-189.
Nursalikah, A. (2020). Al Farghani: Perintis Astronomi Modern. Jakarta: Islam Digest.
32
Download