Uploaded by User98102

Muhammad Rizky Mubarok Manajemen Hiponatremia

advertisement
REFERAT
MANAJEMEN HIPONATREMIA
Disusun Oleh
Muhammad Rizky Mubarok
03015121
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
ANASTESI
RSUD SEMARANG
PERIODE 24 AGUSTUS-5 SEPTEMBER 2020
1
DAFTAR ISI
BAB I ...................................................................................................................................................... 3
PENDAHULUAN .................................................................................................................................. 3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................................................... 4
2.1 Definisi Hiponatremia ................................................................................................................... 4
2.2 Epidemiologi hyponatremia .......................................................................................................... 4
2.3 Etiologi Hiponatremia ................................................................................................................... 5
2.4 Faktor Risiko Hiponatremia .......................................................................................................... 6
2.5 Manifestasi Klinis ......................................................................................................................... 6
2.6 Klasifikasi hyponatremia .............................................................................................................. 7
2.7 Patofisiologi Hiponatremia ........................................................................................................... 8
2.8 Diagnosis Hiponatremia................................................................................................................ 9
2.9 Pemeriksaan Penunjang .............................................................................................................. 10
2.9 Tatalaksana Hiponatremia........................................................................................................... 13
2.10 Diagnosis banding ..................................................................................................................... 16
2.11 Prognosis ................................................................................................................................... 16
BAB III KESIMPULAN....................................................................................................................... 20
Daftar Pustaka ................................................................................................................................ 21
2
BAB I
PENDAHULUAN
Hiponatremia merupakan bahaya kesehatan yang serius. Pada Pasien rawat inap,
penghuni panti jompo, wanita, dan anak-anak menunjukkan tingkat keparahan hiponatremia
yang tinggi. Keparahan gejala dari Hiponatremia berhubungan dengan penyakit
komorbiditas.(1) Manifestasi klinis hiponatremia bersifat universal, mulai dari yang ringan
(gangguan keseimbangan, masalah kognitif hingga manifestasi klinis yang dapat mengancam
jiwa dari peningkatan tekanan intrakranial dengan hipoksia dan edema paru nonkardiak.
Meskipun dokter yang merawat harus membuat diagnosis yang akurat berdasarkan kriteria
klinis yang ditetapkan dan dijelaskan dengan baik, tatalaksana hyponatremia juga harus
didasarkan pada manifestasi klinisnya.(2) Besarnya dan laju peningkatan konsentrasi natrium
serum ([Na]) sangat penting. Koreksi berlebihan dari hiponatremia kronis dapat menyebabkan
mielinolisis osmotik, sedangkan koreksi yang kurang dapat gagal untuk mencegah manifestasi
yang mengancam jiwa. Etiologi hyponatremia dapat dibagi menjadi tiga kategori: euvolemik,
hipervolemik, dan hipovolemik.(3)
Dalam penelitian terbaru melalui metode analisis retrospektif besar yang mencakup
periode 2 tahun, 42,6% dari lebih dari 43.000 pasien dirawat di rumah sakit perawatan akut
1.200 tempat tidur di Singapura mengembangkan hiponatremia (didefinisikan sebagai serum
[Na +] <136 mEq / L) di beberapa titik mereka tinggal, 66% dari mereka (yaitu, 28,2% secara
total) dirawat dengan hiponatremia., prevalensi hiponatremia pada presentasi turun menjadi
22,1%. Prevalensi keseluruhan untuk hiponatremia yang lebih berat dengan serum [Na +] <126
mEq / L dan <116 masing-masing adalah 6,2 dan 1,2%. Dalam populasi Asia ini, usia
diidentifikasi sebagai faktor risiko independen yang kuat sedangkan jenis kelamin hanya
memiliki pengaruh kecil. Berbeda dengan prevalensi hiponatremia yang tinggi pada pasien
rawat inap, angka tersebut jauh lebih rendah dengan 7,2, 0,14, dan 0,03% untuk serum [Na +]
<136, <126, dan <116 mEq / L, masing-masing, di 3 poliklinik perawatan primer yang juga
dianalisis dalam studi yang sama.(4) Oleh karena itu penulis tertarik mengangkat referat dengan
judul manajemen hyponatremia
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Hiponatremia
Hiponatremia adalah gangguan elektrolit umum yang didefinisikan sebagai kadar
natrium serum kurang dari 135 mEq per L. Sebagian besar kasus hiponatremia terjadi pada
orang dewasa dari jumlah berlebih atau efek dari anti diuretic hormone.(5)
2.2 Epidemiologi hyponatremia
Prevalensi hiponatremia pada pasien lansia yang mempunyai fraktur sangat bervariasi
yaitu sebanyak 2,8% -26,5%, sedangkan 2,6-5,5% hiponatremia yang terjadi pada pasca
operasi. Hiponatremia terjadi karena gangguan homeostasis natrium dan air, biasanya
dipertahankan oleh mekanisme fisiologis multi-sistem yang kompleks . Akibatnya, ada banyak
penyebab potensial yang mendasari hiponatremia, mencakup spektrum penyakit yang luas,
farmakoterapi dan varian patofisiologis masing-masing dengan kebutuhan pengobatan yang
berbeda. Baru-baru ini, dalam analisis retrospektif besar yang mencakup periode 2 tahun,
42,6% dari 43.000 pasien dirawat di rumah sakit perawatan akut 1.200 tempat tidur di
Singapura mengembangkan hiponatremia (didefinisikan sebagai serum [Na +] <136 mEq / L)
di beberapa titik mereka tinggal, 66% dari mereka (yaitu, 28,2% secara total) dirawat dengan
hiponatremia, prevalensi hiponatremia pada studi ini turun menjadi 22,1%. Prevalensi
keseluruhan untuk hiponatremia yang lebih berat dengan serum [Na +] <126 mEq / L dan <116
masing-masing adalah 6,2 dan 1,2%. Identifikasi populasi di asia, usia diidentifikasi sebagai
faktor risiko independen yang kuat, sedangkan jenis kelamin hanya memiliki pengaruh kecil.
Berbeda dengan prevalensi hiponatremia yang tinggi pada pasien rawat inap, angka tersebut
jauh lebih rendah dengan 7,2, 0,14, dan 0,03% untuk serum [Na +] <136, <126, dan <116 mEq
/ L, masing-masing, di 3 poliklinik perawatan primer yang juga dianalisis dalam studi yang
sama.(3,4)
4
2.3 Etiologi Hiponatremia
Pada hypovolemic dapat diklasifikasikan menjadi renal dan non renal, hypovolemic
disebabkan oleh perdarahan yang mengakibatkan terjadinya perubahan pada ADH,
hypovolemic dikaitkan dengan berkurangnya volume plasma darah. Euvolemik merupakan
penyebab tersering pada kejadian hyponatremia. Penyebab tersering euvolemik adalah
SIADH.(6)
Retensi cairan sejauh ini merupakan penyebab tersering hipotonik, hiponatremia
pengenceran. Dengan kata lain, hiponatremia hipotonik harus dianggap sebagai gangguan
homeostasis cairan daripada gangguan elektrolit. Hiponatremia dilusional berkembang apabila
kapasitas ekskresi ginjal untuk air tidak dapat menampung asupan cairan yang berlebihan
(misalnya, polidipsia psikogenik, penggunaan larutan irigasi bebas elektrolit dalam
prostatektomi transurethral, dll.) Atau, lebih sering, jika mekanisme pengaturan yang secara
fisiologis mengarah pada produksi urin encer terganggu. sebagian besar (tetapi tidak
seluruhnya) tidak terkait dengan hormon antidiuretik arginine vasopressin (AVP, juga disebut
ADH), kadar di hadapan hipotonisitas bisa diobservasi dengan penurunan, normal, atau
peningkatan volume cairan ekstraseluler. Penurunan volume darah arteri yang efektif
menstimulasi baroreseptor, yang pada gilirannya menyebabkan pelepasan AVP dari kelenjar
pituitari posterior.(7)
5
2.4 Faktor Risiko Hiponatremia
Usia, jenis kelamin dan ras berpengaruh terhadap terjadinya hyponatremia, pada orang
yang mempunyai usia dengan kategori lansia berisiko untuk terjadinya hyponatremia, hal ini
dikaitkan dengan factor risko beberapa penyakit seperti, Congestive Heart Failure, gagal ginjal,
cirosis hepatis, dan juga mengkonsumsi obat-obatan diuretic seperti thiazide yang dapat
menimbulkan terjadinya SIADH, namun pada penyakit yang berkaitan dengan keseimbangan
cairan seperti diare juga dapat menyeabkan terjadinya hyponatremia, dan juga dikaitkan
dengan trauma yang dimana merupakan faktor risio terjadinya hyponatremia karena terjadinya
perdarahan sesuai dengan etiologi dasar hypovolemic.(7)
2.5 Manifestasi Klinis
Hiponatremia akut ditandai dengan timbulnya gejala <48 jam. Pasien dengan hiponatremia
akut mengalami gejala neurologis akibat edema serebral yang disebabkan oleh pergerakan air
ke otak. Ini mungkin termasuk kejang, gangguan status mental atau koma dan kematian.
Hiponatremia kronis merupakan kejadian dimana Hiponatremia yang berkembang selama> 48
jam harus dianggap "kronis". Kebanyakan pasien mengalami hiponatremia kronis. Konsentrasi
natrium serum biasanya di atas 120meq / L. Otak menyesuaikan diri dengan hiponatremia
melalui pembentukan osmol idiogenik. Ini adalah mekanisme perlindungan yang mengurangi
derajat edema serebral; itu dimulai pada hari pertama dan selesai dalam beberapa hari. Oleh
karena itu pada pasien hiponatremia kronis mungkin tampak asimtomatik. Hiponatremia ringan
ditandai dengan gejala saluran cerna mual, muntah, kehilangan nafsu makan. Kadang-kadang,
kelainan neurologis yang tidak kentara dapat muncul ketika natrium serum antara 120 dan 130
meq / L. Hiponatremia pada lansia dapat bermanifestasi dengan sering terjatuh dan gangguan
gaya berjalan.(8)
6
2.6 Klasifikasi hyponatremia
Osmolalitas serum normal adalah 280-295 mosm / kg. Osmolalitas serum (Osm) dapat
dihitung dengan konsentrasi dalam milimol per liter larutan serum utama menurut persamaan
berikut: Sosm (mmol / kg) = (2 × serum [Na]) + (serum [glukosa] / 18) + (nitrogen urea darah
/ 2.8).
Hiponatremia pseudo (normo-osmolal) atau isotonik disebabkan oleh adanya
hipertrigliseridemia atau peningkatan protein plasma pada kondisi seperti mieloma multipel.
Pada subjek normal, air plasma adalah 93 persen dari volume plasma, lemak dan protein
menyumbang 7 persen sisanya. Fraksi air plasma turun di bawah 80 persen pada kasus dengan
hiperlipidemia (trigliserida> 1500 mg / dL) atau hiperproteinemia (protein> 10 g / dL). [4,5]
Di sini, konsentrasi natrium air plasma dan osmolalitas plasma tidak berubah, tetapi konsentrasi
natrium yang terdeteksi dalam total volume plasma berkurang karena darah mengandung lebih
sedikit air plasma. Pada gagal ginjal, peningkatan urea darah melawan penurunan osmolalitas
serum akibat hiponatremia. Namun, osmolalitas serum yang efektif berkurang secara tepat
dalam pengaturan ini karena urea adalah osmol yang tidak efektif.(8,9)
Hiponatremia translokasi (hiperosmolal) atau hipertonik atau redistributif disebabkan
oleh adanya zat terlarut yang aktif secara osmotik dalam serum misalnya manitol atau glukosa.
Ketika plasma mengandung sejumlah besar zat terlarut tak terukur, seperti manitol atau agen
kontras radiografi, osmolalitas plasma tidak dapat dihitung secara akurat dan evaluasi harus
dilakukan secara langsung.(11,12)
7
2.7 Patofisiologi Hiponatremia
Hiponatremia diakibatkan oleh ketidakmampuan ginjal untuk mengeluarkan cairan atau
kelebihan asupan air. Asupan air bergantung pada mekanisme rasa haus. Rasa haus dirangsang
oleh peningkatan osmolalitas. Rasa haus dirasakan oleh osmoreseptor yang terletak di
hipotalamus dan menyebabkan pelepasan hormon anti-diuretik (vasopresin) dari hipofisis
posterior. Hormon antidiuretik bekerja pada reseptor V2 yang terletak di aspek basolateral sel
duktus pengumpul dan menyebabkan peningkatan ekspresi aquaporin pada aspek luminal sel
duktus pengumpul yang meningkatkan penyerapan air dan menghilangkan rasa haus.
Hiponatremia terjadi jika stimulasi ADH persisten yang terlihat pada situasi berikut. Sekresi
ADH yang normal tapi terus-menerus - Penurunan volume, efek penurunan volume melawan
efek hipoosmolalitas dan stimulasi ADH terus terjadi. Penurunan volume darah arteri yang
efektif terjadi melalui dua mekanisme: Penurunan volume darah yang merupakan respon
fisiologis dan pada pasien edema pada gagal jantung maupun sirosis hepatis, dimana perfusi
jaringan menurun karena curah jantung yang rendah atau vasodilatasi arteri. Penurunan perfusi
jaringan dirasakan oleh baroreseptor di tiga tempat(13)
8
(i) terdapa pada sinus karotis dan arkus aorta yang mengatur aktivitas simpatis dan, dengan
penurunan volume yang signifikan, pelepasan hormon antidiuretik (ii)di dalam arteriol aferen
glomerulus yang mengatur aktivitas sistem renin-angiotensin; dan (iii) di atrium dan ventrikel
yang mengatur pelepasan peptida natriuretik. Akibatnya terjadi retensi air Sekresi ADH
abnormal mis. Sindrom pelepasan ADH yang tidak sesuai yang dijelaskan di bawah ini
(SIADH).(14)
2.8 Diagnosis Hiponatremia
Anamnesis dan pemeriksaan fisik
Riwayat konsumsi obat dan diet, riwayat kehilangan cairan seperti diare, muntah harus
dicatat. Penentuan status volume yaitu dehidrasi, edema, asites harus dilakukan. Pasien dengan
tanda klinis penurunan volume (misalnya penurunan ortostatik pada tekanan darah dan
peningkatan denyut nadi, selaput lendir kering, penurunan turgor kulit) harus dianggap
hipovolemik. Jika tersedia, pengukuran hemodinamik langsung dapat memperkuat kesan
klinis. Tanda-tanda hipotiroidisme atau insufisiensi adrenal harus diperhatikan. Juga
pemeriksaan rinci harus dilakukan untuk mendeteksi adanya lesi SSP atau paru.(15)
9
2.9 Pemeriksaan Penunjang
Langkah 1: Pengukuran natrium serumIdealnya dengan Ion specific electrode (ISE)
menggunakan potensiometri langsung. Pseudohyponatremia (Na rendah palsu dengan
osmolalitas plasma normal) tidak terlihat jika ISE dengan metode potensiometri langsung
digunakan. Namun, banyak penganalisis laboratorium yang mengukur natrium dengan
elektroda selektif ion menggunakan potensiometri tidak langsung di mana sampel plasma
diencerkan sebelum pengukuran; penganalisis ini akan melaporkan konsentrasi natrium yang
10
rendah. Fotometer api dapat menghasilkan nilai natrium serum yang rendah karena mereka
mengukur natrium hanya dalam fase air.
Langkah 2: Osmolalitas serum
Dilakukan untuk mengetahui hiponatremia sejati, semu atau translokasi . Osmolalitas
serum yang dihitung mungkin tidak mencerminkan osmolalitas serum jika zat terlarut yang
aktif secara osmotik terdapat dalam plasma. Oleh karena itu, osmolalitas serum harus diukur
menggunakan osmometer, (IB). Jika osmometer tidak tersedia, gula darah acak, trigliserida
serum, dan protein serum harus membantu dalam membedakan ketiga jenis tersebut. Setiap mg
peningkatan glukosa darah di atas 100 mg / dl menurunkan natrium serum sebesar 1,6 meq / l.
Jika gula darah kurang dari 200 sampai 300 mg / dl, hiperglikemia memiliki efek yang dapat
diabaikan pada konsentrasi natrium serum. Ketika trigliserida serum di atas 100 mg / dl, untuk
setiap kenaikan trigliserida serum 500 mg / dl, penurunan natrium serum akan menjadi sekitar
1,0 mEq / L. Ketika protein serum di atas 8 gm / dl, untuk setiap kenaikan 1 gm / dl protein
serum, penurunan natrium serum akan menjadi sekitar 4,0 mEq / L.
Langkah 3: Osmolalitas urin
Osmolalitas urin dapat digunakan untuk membedakan antara gangguan ekskresi air dan
hiponatremia dengan ekskresi air normal
Ekskresi air yang terganggu (Osmolalitas urin> 150 mosm / kg)
11
Fisiologis terhadap hiponatremia ditandai dengan penekanan sekresi ADH, yang
mengakibatkan ekskresi urin encer secara maksimal dengan osmolalitas di bawah 100 mosmol
/ kg dan berat jenis ≤1.003. Nilai di atas tingkat ini menunjukkan ketidakmampuan untuk
mengeluarkan cairan secara normal, paling sering karena sekresi ADH yang persisten.(16)
12
2.9 Tatalaksana Hiponatremia
13
14
Guideline dari eropa berpendapat rekomendasinya berpacu pada tingkat stadium
daripada durasi. Kedua pedoman merekomendasikan salin hipertonik (biasanya 3% NaCl)
untuk hiponatremia akut ataupun simptomatik. Salin hipertonik efektif efektif untuk mengobati
edema serebral akibat hiponatremia, karena konsentrasi natrium ekstraseluler yang tinggi
segera menghilangkan air dari ruang intraseluler. Pada pasien dengan hiponatremia
hipervolemik, larutan garam hipertonik dapat dikombinasikan dengan loop diuretik. Volume
larutan garam hipertonik yang diperlukan untuk mencapai peningkatan SNa yang telah
ditentukan dapat diperkirakan dengan menggunakan rumus Adrogué-Madias atau BarsoumLevinee. Meskipun prediksi dengan formula ini cukup akurat, peralihan ke arah pemberian
garam hipertonik dengan pemberian bolus telah terjadi dalam beberapa tahun terakhir. Tidak
ada penelitian yang secara sistematis menguji pendekatan ini, tetapi ada sejumlah aspek yang
menarik. Pertama pada pasien dengan edema serebral, diperlukan koreksi parsial yang cepat
pada SNa. Kedua, bolus tetap menghilangkan kebutuhan untuk kalkulasi pada pasien dengan
masalah akut, membatasi potensi kesalahan kalkulasi. Ketiga, terapi bolus membatasi risiko
koreksi berlebih, yang biasanya terjadi dengan infus saline hipertonik yang terus menerus.
Berdasarkan pertimbangan, kedua pedoman merekomendasikan terapi bolus, meskipun dengan
spesifikasi yang sedikit berbeda.(17,18)
Pengobatan Hiponatremia Kronik, dilakukan kecuali pada hiponatremia hipovolemik,
pengobatan hiponatremia kronis ini bergantung pada pengurangan asupan air gratis dan / atau
peningkatan ekskresi cairan bebas pada ginjal. Pembatasan cairan (<1 L / hari) sering menjadi
landasan terapi untuk hiponatremia kronis. Rasio urin terhadap serum elektrolit ([UNa +
konsentrasi kalium urin] / SNa) menunjukkan jika pasien berada dalam fase antidiuretik atau
akaretik, dan juga dapat membantu memperkirakan derajat pembatasan cairan yang diperlukan
untuk meningkatkan SNa.Untuk pasien dengan rasio> 1 (menunjukkan urin pekat), dianjurkan
<500 ml cairan / hari, yang sulit untuk dipatuhi. ( 19,20)
15
2.10 Diagnosis banding
Osmolalitas urin dapat digunakan untuk membedakan diagnosis antara gangguan
ekskresi air dan hiponatremia dengan ekskresi cairan normal
Ekskresi air yang terganggu (Osmolalitas urin> 150 mosm / kg)
Respon normal terhadap hiponatremia ditandai dengan penekanan sekresi ADH, yang
mengakibatkan ekskresi urin encer secara maksimal dengan osmolalitas di bawah 100 mosmol
/ kg dan berat jenis ≤1.003. Nilai di atas tingkat ini menunjukkan ketidakmampuan untuk
mengeluarkan cairan secara , paling sering karena sekresi ADH yang persisten.
2.11 Prognosis
Ad Vitam :dubia ad bonam
Ad Fungtionam: dubia ad bonam
Ad Sanationam :dubia ad bonam
16
2.13 Fisiologi Keseimbagan cairan
Keseimbangan cairan didasarkan pada 3 konsep utama yaitu, tekanan hidrostatik,
tekanan onkotik dan permeabilitas kapiler. Distribusi cairan diatur oleh tekanan osmotic
dimana melibatkan membrane semipermeable, saluran ion transmembran dan gradien
elektrokimia dan. Membran seluler relatif pasif terhadap anion dan protein besar tetapi dapat
mentrasport cairan. Metabolisme merupakan keseimbangan antara intake dan juga uptake
dimana terbagi menjadi 2 faktor yaitu regulated dan unregulated. Intake diatur oleh yang
teregulasi dan yang tidak teregulasi, dan uptake bergantung pada pengeluaran cairan melalui
keringat dan juga urin.(20)
Pengaturan cairan didasarkan pada cara mengatur air.Air didalam tubuh antara lain
airn, serta air. Sedangkan pengeluaran cairan dalam tubuh dapat melalui mekanisme insensible
water loss, keringat, feses dan urin. Berkeringat bukanlah fisiologis normal pada tubuh kita
dalam mengatur pembuangan air di dalam tubuh. tubuh mengatur jumlah air melalui fungsi
ginjal dan mekanisme haus. Peningkatan osmolaritas cairan ekstraselular akan terdeteksi
melalui osmoreseptor di hipotalamus, yang kemudian akan merangsang neuron hipotalamus
sehingga menimbulkan rasa haus akan berdampak kepada sekresi hormon vasopresin.(21)
17
Aldosterone berfungsi pada menjaga stabilitas cairan, aldosterone akan masuk kedalam
lumen ginjal melalui proses difusi, selnya akan bekerja pada keadaan hiperpolarisasi, karena
kerja dari kanal kalium, kanal kalsium dan pompa natrium-kalium. Ketika angiotensin II
berikatan dengan reseptornya pada sel korteks adrenal, maka akan terjadi inhibisi kanal kalium
dan pompa natrium-kalium, sehingga terjadilah depolarisasi. Depolarisasi tersebut akan
mengakibatkan kanal kalsium membuka, sehingga kalsium masuk ke dalam sel, dan kalsium
yang masuk tadi akan menyebabkan peningkatan ekspresi gen Cyp11B2 sehingga
meningkatlah produksi hormon aldosterone. Pada fase lambat, ikatan aldosteron dan reseptor
terjadi yang menyebabkan meningkatnya sintesis kanal ion natrium, kanal ion kalium dan
pompa natrium-kalium,kemudian terjadi reabsorpsi natrium dan eliminasi kalium oleh
ginjal.(22,23)
18
Vasopresin juga berperaan dalam proses keseimbangan cairan tubuh. Vasopresin
bekerja di duktus koligentes ginjal, ketika hormon vasopresin berikatan pada reseptor V2 di
membran basolateral, akan mengaktifkan enzim adenilat siklase dimana menyebabkan
peningkatan jumlah cAMP. meningkatnya cAMP akan berpengaruh pada protein kinase A
(PKA) dimana akan merangsang translokasi dari vesikel protein AQP2, translokasi AQP2 ini
akan mengakibatkan peningkatan pada permeabilitas membran sel terhadap air. Translokasi
AQP2 juga dapat terjadi melalui jalur protein Epac akibat dari peningkatan kadar cAMP. Selain
translokasi yang ditingkatkan oleh PKA, PKA bisa mengakibatkan meningkatnya sintesis
AQP2 dengan ion fosforilasi protein CREB. Namun bukan hanya PKA saja yang meningkatkan
sintesis AQP2, Epac juga mempunyai efek yang sama yaitu melalui mekanisme penghambatan
ERK 1/2. Apabila terjadi molekulas yang kompleks dapat menyebabkan air masuk ke dalam
sel pada duktus koligentes. Air yang sudah masuk akan meninggalkan sel melalui AQP3 dan
AQP4 dan terjadilah reabsorbsi pada cairan melalui mekanisme vasopressor.(24)
19
BAB III
KESIMPULAN
Hiponatremia merupakan keadaan klinis dimana kadar serum natrium dalam darah
<135, etiologi dari hyponatremia dapat dikelompokkan menjadi hypovolemia, euvolemia, dan
hypervolemia. Klasifikasi hyponatremia itu sendiri didasarkan pada osmolalitas serum
natrium. Gejala klinis dari hyponatremia itu terjadi biasanya penurunan fungsi neurologis. Dan
biasanya pasien hyponatremia tampak gejala apabila dalam keadaan akut/ <48 jam. Pada pasien
kronis biasanya tidak menunjukkan gejala. Banyak faktor yang dapat mendasari terjadinya
hyponatremia antara lain adalah usia, jenis kelamin, penyakit komorbiditas yang menyertai
seperti hipertensi, diabetes mellitus tipe II diketahui dapat memprparah terjadinya
hyponatremia. Patofisiologi hyponatremia didasarkan pada fungsi ginjal yang tidak mampu
mengatur regulasi cairan. Prinsip tatalaksana pada hyponatremia adalah penggantian cairan
menggunakan kristaloid seperti normasaline atau ringer laktat. Diagnosis banding pada
hyponatremia dapat ditegakkan melalui perbandingan osmolalitas.
20
Daftar Pustaka
1. Ganguli A, Mascarenhas RC, Jamshed N, Tefera E, Veis JH. Hyponatremia: incidence,
risk factors, and consequences in the elderly in a home-based primary care program.
Clinical nephrology. 2015 Aug;84(2):75.
2. Tzikas S, Keller T, Wild PS, Schulz A, Zwiener I, Zeller T, Schnabel RB, Sinning C,
Lubos E, Kunde J, Münzel T, Lackner KJ, Blankenberg SMidregional
pro-atrial
natriuretic peptide in the general population/Insights from the Gutenberg Health
Study. Clin Chem Lab Med 51: 1125–1133, 2013.
3. Cuesta M, Garrahy A, Slatt ery D, Gupta S, Hannon AM, Forde H, McGurren K,
Sherlock M, Tormey W, Thompson CJ: The contribution of undiagnosed adrenal
insufficiency to euvolaemic hyponatraemia: Results of a large prospective single-centre
study. Clin Endocrinol (Oxf) 2016;85:836–844.
4. Fenske W, Maier SK, Blechschmidt A, Allolio B, Stork S: Utility and limitations of the
traditional diagnostic approach to hyponatremia: a diagnostic study. Am J Med
2010;123:652–657.
5. Verbalis JG, Goldsmith SR, Greenberg A, Korzelius C, Schrier RW, Sterns RH, et al.
Diagnosis,
evaluation
and
treatment
of
hyponatremia:
Expert
panel
recommendations. Am J Med. 2013;126(Suppl 10):S1–42.
6. Sahay M, Sahay R. Hyponatremia: a practical approach. Indian journal of
endocrinology and metabolism. 2014 Nov;18(6):760.
7. Burst V. Etiology and Epidemiology of Hyponatremia. InDisorders of Fluid and
Electrolyte Metabolism 2019 (Vol. 52, pp. 24-35). Karger Publishers.
8. Adrogué
HJ,
Madias
NE.
The
challenge
of
hyponatremia. J
Am
Soc
Nephrol. 2012;23:1140–8.
9. Giordano M, Ciarambino T, Castellino P, Malatino L, Cataliotti A, Rinaldi L, Paolisso
G, Adinolfi LE: Seasonal variations of hyponatremia in the emergency department:
age-related changes. Am J Emerg Med 2017;35:749–752.
10. Tzamaloukas AH, Malhotra D, Rosen BH, Raj DS, Murata GH, Shapiro JI. Principles
of management of severe hyponatremia. Journal of the American Heart Association.
2013 Jan 23;2(1):e005199.
11. Adrogué HJ, Madias NE. Hyponatremia. N Engl J Med. 2000;342:1581–9.
12. Hoorn EJ, Hotho D, Hassing RJ, Zietse R Unexplained hyponatremia: Seek and you
will find. Nephron, Physiol 118: 66–71, 2011pmid:21212700
21
13. Adrogué HJ, Madias NE Diagnosis and treatment of hyponatremia. Am J Kidney
Dis 64: 681–684, 2014pmid:24996937,
14. Spasovski G, Vanholder R, Allolio B, Annane D, Ball S, Bichet D, Decaux G, Fenske
W, Hoorn EJ, Ichai C, Joannidis M. Clinical practice guideline on diagnosis and
treatment of hyponatraemia. Nephrology Dialysis Transplantation. 2014 Apr
1;29(suppl_2):i1-39.
15. Tormey WP, Carney M, Cuesta M, Sreenan S. Reference change values for sodium are
ignored by the American and European treatment guidelines for hyponatremia. Clinical
chemistry. 2015 Dec 1;61(12):1430.
16. Ellison DH, Berl T. Clinical practice. The syndrome of inappropriate antidiuresis. N
Engl J Med. 2007;356:2064–72.
17. Moritz ML, Ayus JC: 100 cc 3% sodium chloride bolus: A novel treatment for
hyponatremic encephalopathy. Metab Brain Dis 25: 91–96, 2010
18. Ayus JC, Caputo D, Bazerque F, Heguilen R, Gonzalez CD, Moritz ML. Treatment of
hyponatremic encephalopathy with a 3% sodium chloride protocol: a case series.
American Journal of Kidney Diseases. 2015 Mar 1;65(3):435-42.
19. Verbalis JG, Ellison H, Hobart M, Krasa H, Ouyang J, Czerwiec FS, Barnum O,
Devireddy K, Franco M, Goldstein F, Hack TC. Tolvaptan and neurocognitive function
in mild to moderate chronic hyponatremia: a randomized trial (INSIGHT). American
Journal of Kidney Diseases. 2016 Jun 1;67(6):893-901.
20. Blackmer AB. Fluids and Electrolytes. N Engl J Med. 2003;349:1157-67.
21. William W. Fisiologi Keseimbangan Cairan dan Hormon yang Berperan. Jurnal
Kedokteran Meditek. 2017 Oct 11.
22. Yaswir R, Ferawati I. Fisiologi dan Gangguan Keseimbangan Natrium, Kalium dan
Klorida serta Pemeriksaan Laboratorium. Jurnal FK UNAND. 2012; 1(2):80-5.
23. Jequier E, Constant F. Water as an essential nutrient: physiological basis of hydration.
European Journal of Clinical Nutrition. 2010; 64:115-23.
24. Yan Y, Hongbao M. Aldosterone. Researcher. 2009; 1(5):89-93.
22
Download