Uploaded by User95216

BukuGerakanSosialBacaanUntukPemula

advertisement
See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.net/publication/323238283
GERAKAN SOSIAL, Sejarah Perkembangan Teori antara Kekuatan dan
Kelemahan
Book · December 2012
CITATIONS
READS
2
62,458
1 author:
Joni Rusmanto
Universitas Palangka Raya
10 PUBLICATIONS 15 CITATIONS
SEE PROFILE
Some of the authors of this publication are also working on these related projects:
cultural framing on social movement View project
Social network View project
All content following this page was uploaded by Joni Rusmanto on 29 April 2018.
The user has requested enhancement of the downloaded file.
Joni Rusmanto
GERAKAN SOSIAL
Sejarah Perkembangan Teori
Antara Kekuatan dan Kelemahannya
Bahan Bacaan untuk Pemula
GERAKAN SOSIAL
Sejarah Perkembangan Teori
Antara kekuatan dan Kelemahannya
Penulis :
Joni Rusmanto
© 2013
Diterbitkan Oleh:
Jl. Taman Pondok Jati J 3, Taman Sidoarjo
Telp/fax : 031-7871090
Email : [email protected]
Bekerjasama dengan
UNIVERSITAS PALANGKARAYA
Cetakan Pertama, Desember 2012
Ukuran buku : 15.5 cm x 23 cm, 101 hal
Penata Isi & Desain Cover : Akbar Jati
ISBN : 978-602-18597-8-0
Hak Cipta dilindungi undang-undang. Dilarang memperbanyak atau memindahkan sebagian atau seluruh isi buku ke dalam bentuk apapun, secara elektronis maupun mekanis,
termasuk fotokopi, merekam, atau dengan teknik perekaman lainnya, tanpa izin tertulis
dari Penerbit. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000 tentang Hak Cipta, Bab XII Ketentuan Pidana, Pasal 72, Ayat (1), (2), dan (6)
Daftar isi
Daftar isi
III
Pengantar Penulis
IV
Data Penulis
VII
Pendahuluan
1
I) Perspektif studi gerakan sosial tradisi klasik dan neoklasik (lama)
3
1) Konteks sosial dan politik yang melatarinya
4
2) Pengaruh tradisi pemikiran dalam teori gerakan sosial klasik
dan neoklasik
6
3) Tema-tema dan kajian teoritis studi gerakan sosial klasik
dan neoklasik
7
4) Kekuatan dan kelemahan perspektif klasik dan neoklasik
17
II) Menuju arah baru studi gerakan sosial (new social movement)
21
1) Konteks sosial politik gerakan sosial baru (new social movement)
22
2) Pengaruh tradisi pemikiran dalam studi gerakan sosial baru
(new social movement)
24
3) Berbagai paradigma studi gerakan sosial baru (new social movement)
25
a. Paradigma ketegangan struktur (structural strain paradigma)
25
b. Paradigma mobilisasi sumber daya (resource mobilization paradigm)
33
c. Paradigma berorientasi identitas
43
III) Kesimpulan
55
IV) Perkembangan terakhir (state of the art) Teori Gerakan Sosial
78
1) Perkembangan sesudah strukturalisme (postrukturalis)
79
2) Keterbatasan dalam perspektif mikro
84
3) Menuju ke sebuah arti atau makna
87
4) Pragmatisme
88
5) Kesimpulan
89
Sumber Bacaan
91
III
Pengantar Penulis
Buku yang berjudul, “Sejarah Perkembangan Teori
Gerakan Sosial; antara Kekuatan dan Kelemahannya” Bahan
Bacaan untuk Pemula”, merupakan sebuah tulisan kecil yang
menyuguhkan sejarah dan dinamika studi gerakan sosial,
konteks sosial politik fenomena yang melahirkan gerakan,
latar pemikiran dan keilmuan yang mempengaruhinya teoritisi
gerakan, perspektif dan teori yang digunakan oleh teoritisi,
berbagai kekurangan dan kelemahan setiap paradigma hingga
ke perkembangan terakhir dari studi gerakan sosial masa kini
(state of the art).
Sistematisasi tema ini penting, sebagai frame logic untuk
melakukan sebuah pemetaan studi gerakan sosial dalam
keanekaragaman perspektif, sehingga titik tolak konstruksi
perspektif dan teori studi gerakan sosial itu dapat dipahami
secara utuh dan lengkap. Mulai dari teori yang didiskusikan
dan diperdebatkan oleh para teoritisi semula, hingga ke
perkembangan akhir studi pada masa kini. Karena setiap
paradigma studi gerakan sosial, satu sama lain dalam sejarah
perkembangannya saling mengisi kekurangan masing-masing
dan kekurangan paradigma yang dibangun itu menjadi sebuah
kekuatan baru dalam teori itu, dan kekuatan paradigmatik
semacam ini dapat dipandang sebagai sebuah konstruksi teori
yang dianggap lebih adekuat dari paradigma sebelumnya.
Demikian sesungguhnya yang terjadi dalam sejarah dinamika
studi gerakan sosial itu.
Oleh karenanya, dalam tulisan singkat yang sederhana
ini, disuguhkan tentang sejarah studi gerakan sosial periode
klasik atau yang lebih popular disebut paradigma klasik dan
neoklasik. Periode lama studi gerakan sosial ini mendapatkan
pengaruh pemikiran dari perspektif psikologi sosial klasik. Ciriciri mendasar perspektif psikologi sosial dalam studi gerakan
sosial klasik, di mana asumsi dasar yang dibangun oleh para
IV
peneliti dalam studi adalah memahami perilaku individu yang
mengambil bentuk dalam tindakan atau aksi bersifat irasional.
Para individu yang ambil bagian dalam sebuah gerakan
dalam bentuk kelompok aksi seperti pemberontakan (revolt),
kerusuhan rakyat (riots), dan huru hara politik (mob) dan
sebagainya. Merupakan entitas orang-orang yang berperilaku
tidak rasional, tujuan dan motivasi yang ingin dicapai dalam
gerakan tidak jelas, para aktor gerakan bukanlah pada individu,
melainkan kumpulan orang-orang yang mengabungkan
diri dalam aksi kelompok yang anarkis, kejam, sadis, suka
membunuh, mengeroyok bahkan kadang-kadang tidak segansegan sebagai kelompok yang suka membunuh dan seterusnya.
Jadi, gambaran para peneliti paradigma studi gerakan sosial
lama ini memahami perilaku sebagai kolektivitas yang liar
(crowd) dalam perilaku kolektif (collective behavior) pada sebuah
gerakan yang terjadi di masyarakat.
Paradigma studi gerakan sosial perspektif psikologi sosial
klasik itulah yang selanjutnya dikaji kembali oleh paradigma
studi gerakan sosial baru~GSB (New Social Movement). Menurut
paradigma ini fenomena gerakan sosial yang terjadi sekitar
tahun 1960 lebih tepat memasuki tahun 1970-an, di Eropah dan
Amerika, perilaku individu maupun kolektif dalam berbagai
gerakan yang terjadi adalah aksi yang bukan lagi kumpulan
orang-orang yang berperilaku irasional sebagaimana yang
dipahami dalam paradigma klasik di atas. Melainkan terdiridari individu-individu sebagai anggota gerakan sebagai
kumpulan orang-orang yang berpikiran rasional dan waras
dan aksi gerakan yang dilakukan diperhitungkan secara
matang, para aktor dan anggota gerakan adalah orang-orang
yang jelas, memiliki wawasan luas dan visi ke depan yang
jelas serta diperhitungkan secara matang dalam gerakan yang
dilakukan.
Perlu pembaca ketahui bahwa, tulisan ini hanyalah
sekedar bahan ringan yang sifatnya memperkaya keaneragaman
V
eksositas mengenai dinamika studi gerakan sosial yang ada.
Karya yang tidak melebihi dari tulisan-tulisan yang ada,
karena hasil ramuan yang dikumpukan secara amatiran
dari beberapa catatan kecil, tugas-tugas formal Matakuliah
Penunjang Disertasi (MkPD), yang belum selesai didiskusikan
dengan para dosen pengasuh matakuliah ini. Oleh karena itu,
maka karya ini tidak dapat dihindari dari berbagai kekurangan
dan kelemahan yang ada. Semoga bermanfaat,. dan selamat
membaca.
Penulis
VI
Data Penulis
Nama lengkap
: Joni Rusmanto, dilahirkan di kota
Palangkaraya pada Tanggal 10 Oktober 1974. Sejak tahun 2006
hingga sekarang berprofesi sebagai Dosen Tetap di Fakutas
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Palangkaraya (Fisipol
UNPAR). Periode tahun 2008 s/d 2011 tugas struktural
tambahan sebagai Sekretaris Jurusan Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik, Fakultas Ekonomi Universitas Palangka Raya
(UNPAR). Latar belakang pendidikan Strata Satu (S-1) Teologi
tahun 1994/1995 di Sekolah Tinggi Teologi Gereja Kalimantan
Evangelis (STT GKE) Banjarmasin. Pendidikan Strata Dua
(S-2) bidang Sosiologi Agama (Program Studi Agama dan
Masyarakat) pada tahun 2002 di Universitas Kristen Satya
Wacana (UKSW) Salatiga. Sejak tahun akademik 2010 hingga
sekarang aktif sebagai mahasiswa dengan konsentrasi studi
Ilmu-ilmu Sosial pada Program Studi Doktor Ilmu Sosial
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga
(Fisipol UNAIR), Surabaya. Beberapa karya tulis ilmiah
yang pernah dihasilkan antara lain; Konflik Etnik Dayak dan
Madura di Kalimantan Tengah (tahun 2001), Sistem Perladangan
dalam Masyarakat Dayak Ngaju Kalimantan Tengah; Kajian dalam
Perspektif Sosio~Kultural (dipublikasikan dalam Jurnal Tunjung
Nyaho, Unpar, edisi 1, Vol..tahun 2009), Societas Indonesia dalam
Panorama Politik, Hukum, Budaya dan Postmodernitas (Sketsa
Metodologi Pemikiran dalam Filsafat Fenomenologis) tahun 2010,
Manyanggar: Ritus Tolak Bala dalam Masyarakat Dayak Ngaju
(Kajian dalam Perspektif The Social Construction of Reality Peter
L. Berger dan Thomas Luckmann) tahun 2009. Dayak Kalimantan :
Perjuangan Rivalitas dan Harmonisitas; Kritik Politik Pembangunan
dalam Era Postmodernitas, tahun 2010.,,dsbnnya.
VII
Sejarah Perkembangan Teori Gerakan Sosial;
Antara Kekuatan dan Kelemahannya
S
ejarah Perkembangan
Teori Gerakan Sosial;
antara Kekuatan dan
Kelemahannya
0. Pendahuluan
Berbagai
hasil
studi
tentang gerakan sosial dipengaruhi oleh beragamnya
paradigma yang digunakan
Bahan Bacaan untuk Pemula
untuk memahami fenomena
gerakan sosial yang terjadi dalam suatu masyarakat. Beragam
varian teoritik dan pendekatan perspektif tidak muncul
dengan sendirinya, melainkan dikonstruksi berdasarkan
dinamika bentuk dan model gerakan yang terjadi di masyarakat.
Dinamika sosial gerakan inilah yang kemudian melahirkan
komunitas-komunitas intelektual studi terhadap gerakan
sosial dengan beragam perspektif yang kemudian di antaranya
saling mempengaruhi satu dengan lain. Paradigma adalah
sebuah pendekatan yang digunakan oleh para ilmuwan
untuk memahami sebuah pokok persoalan di bidang ilmu
pengetahuan yang mereka geluti (Kuhn, 1962).
Sebuah paradigma dalam dimensinya memiliki kekuatan
dan kelemahan pada dirinya sendiri. Sebuah paradigma yang
adekuat pada masanya, kemudian pada kesempatan lain telah
ditemukan berbagai kelemahannya. Paradigma yang lebih
adekuat ini dibangun berdasarkan temuan-temuan baru,
konstruksi dan analisa yang berbeda berdasarkan data-data
penelitian yang diperoleh peneliti gerakan sosial atas berbagai
karakteristik fenomena gerakan masyarakat yang terus
menerus mengalami gejala perubahan tersendiri.
Irama pergeseran paradigma di dalam cabang sosiologi
gerakan sosial itu rumit, karena setiap sumber perubahan
memiliki arahnya sendiri yang kurang lebih (tetapi tidak
seluruhnya) lepas dari yang lain. Akan tetapi, tiga tahapan
yang khas dapat diperlihatkan. Setiap tahapan punya tematema yang khas terkandung di dalam ungkapan-ungkapan
kuncinya, objek risetnya, metodologi risetnya dan orientasi1
Sejarah Perkembangan Teori Gerakan Sosial;
Antara Kekuatan dan Kelemahannya
orientasi nilainya terhadap gerakan-gerkan kemasyarakatan. Di
bawah ini akan dikemukan tahapan-tahapan setiap paradigma
studi gerakan sosial dalam periode perkembangan tertentu
hingga pada lahirnya periode paradigma baru studi gerakan
sosial yang kemudian disebut gerakan sosial baru (New Social
Movement).
2
Sejarah Perkembangan Teori Gerakan Sosial;
Antara Kekuatan dan Kelemahannya
I
Studi
gerakan
sosial
klasik
maupun
neoklasik
merupakan studi gerakan sosial
yang terbilang relatif lama. Pada
periode ini penekanan utama
pada unsur-unsur irasionalitas
perilaku kolektif (collective
behavior) menjadi perhatian yang mendasar di dalam berbagai
kajian gerakan sosial. Oleh karenanya, tidaklah mengherankan
jika periode ini oleh sejumlah analis disebut periode klasik
(McAdam, 1987, Mayer, 1991), atau periode tradisional
(McCarthy & Zald, 1979; Jengkins, 1982).
Perspektif studi
gerakan sosial
tradisi klasik
dan neoklasik
(lama)
Pada tahun 1930-an hingga memasuki era tahun 1960an
studi gerakan sosial lebih difokuskan pada perspektif teori
psikologi sosial, termasuk juga sebagai reaksi terhadap
popularitas psikonalisis dan pengaruh “dunia nyata”
Nazisme, fasisme, Stalinisme, tindakan main hakim sendiri
misalnya dengan mengeroyok atau membunuh, termasuk juga
kerusuhan-kerusuhan yang berbau ras. Menurut R. Mirsel,
pada tahapan pertama ini teori gerakan sosial meneliti asal-usul
irasional dari setiap gerakan yang muncul di bawah beberapa
pemikiran yang saling berhubungan seperti dalam berbagai
unit analisis kajian pada tema misalnya perkumpulan massal
(mass society) dan tingkahlaku kolektif (collective behavior)
(Robert Mirsel, 2004:21).
Secara umum studi gerakan sosial klasik berorientasi
pada teori-teori psikologi sosial, yang menurut Rajendra Singh,
merupakan ciri khas perspektif gerakan sosial klasik walaupun
kemudian mendapat dimensi baru dalam studi gerakan sosial
tradisi neoklasik. Hal yang paling mendasar dalam tradisi
klasik bahwa sebagian besar studi dalam perilaku kolektif
(collective behavior), diarahkan pada berbagai bentuk perilaku
kelompok kerumunan yang disebut crowd, dan crowd di sini
merupakan kolektivitas yang liar, haus darah, rasional seperti
3
Sejarah Perkembangan Teori Gerakan Sosial;
Antara Kekuatan dan Kelemahannya
nampak dalam berbagai tindakan antara lain; kerusuhan
(revolts) huru-hara (mob), keributan dan kerisauan (riots) hingga
kepada pemberontakan (rebels), utamanya oleh para psikolog
sosial Barat dan para sejarawan dari sebelum tahun 1950-an
(Rajendra Singh, 2010:111).
1
Konteks sosial dan politik yang melatarinya
Pertama, lahirnya paradigma studi gerakan sosial
periode klasik dan neoklasik (gerakan sosial lama), terkait
dengan ruang lingkup konteks historis dinamika gerakan
masyarakat yang berkembang luas, terutama di Amerika
Serikat dan Eropa Barat umumnya. Hal ini terjadi persis pada
masa rezim-rezim pergerakkan anti demokrasi dan represif
telah menjadi kekuatan geopolitik utama di negara-negara
Barat. Perkembangan ini berlanjut memasuki Perang Dunia
II, sebagai buah militerisasi persaingan dan konflik antara tiga
negara pergerakan, antar tipe-tipe negara dan antar masyarakat
yang terbentuk melalui pergerakan-pergerakan yang telah
mencapai kekuasaan dalam negara.
Kedua, hal yang mengiringi lahirnya kompetisi di antara
negara-negara adidaya pada saat itu adalah demokrasi pasar,
negara pasar dan masyarakat pasar seperti Inggris Raya,
Perancis dan Amerika Serikat. Ketiganya terbentuk bersamaan
dengan lahirnya kapitalisme industri, kemenangan liberalisme
dalam artian klasik (yakni, pemisahan antara negara dengan
masyarakat madani), dan keberhasilan yang dicapai oleh
gerakan-gerakan nasional. Negara-negara ini biasanya secara
longgar dikelompokkan bersama sebagai apa yang lazim
disebut Barat (West). Tipe kedua dari negara yang terlibat
dalam konflik ini adalah Uni Sovyet (Robert Mirsel, 2004:
25). Negara ini merupakan sebuah rezim yang juga lahir dari
gerakan yang mau menguji coba sosialisme di dalam sebuah
negara. Kekuatan ketiga, adalah Aliansi Sumbuh, yaitu aliansi
yang terdiri-dari rezim-rezim pergerakan seperti fasisme di
Jepang, Italia, dan Nazi Jerman, bersama dengan para sekutu
4
Sejarah Perkembangan Teori Gerakan Sosial;
Antara Kekuatan dan Kelemahannya
dan rezim-rezim bonekannya. Biasanya dalam masyarakatmasyarakat semacam ini, ekonomi kapitalis dipadukan dengan
negara aktivis dan represif.
Negara-negara yang meleburkan diri dan menjadi bagian
negara-negara sekutu yang telah memenangkan perang,
yakni demokrasi pasar Barat dan Uni Sovyet yang dipadukan
dengan negara-negara komunisnya, tidak bisa bertahan hingga
berakhirnya konflik. Munculnya konflik antar pemenang
perang melahirkan bentuk Perang Dingin, perlombaan senjata
nuklir sejalan dengan lahirnya konflik-konflik regional di
Dunia Ketiga.
Beberapa tahun setelah Perang Dunia II berakhir, Cina
dan Eropa Timur terserap ke dalam blok komunis, dan perang
pun meletus di Semenanjung Korea. Lebih spesifik lagi, bahwa
di negara-negara pendukung utama masing-masing blok,
orang-orang atau kelompok maupun organisasi-organisasi
yang dituduh sebagai pendukung pihak lain dibersihkan atau
disterilkan. Pembersihan ini umumnya lebih kejam dilakukan di
negara-negara komunis, (kecuali Perancis dan Italia). Demikian
juga demokrasi pasar, juga melakukan penyingkiran terhadap
partai-partai dan gerakan-gerakan komunis dari arena politik
seperti halnya negara-negara komunis melakukan tindakan
yang sama terhadap gerakan dan partai-partai borjuis.
Ketiga, tekanan historis lainnya, terutama di Amerika
Serikat adalah munculnya berbagai fenomena sosial yang
cenderung membentuk diri dalam sebuah perilaku kerumunan
(crowd behavior). Fenomena perilaku kolektif yang membentuk
diri dalam sebuah kelompok kerumunan (crowd), seperti halnya
kerusuhan rasial dan tindakan main hakim sendiri dengan
sikap mengeroyok hingga saling membunuh yang dilakukan
oleh warga kulit putih terhadap warga kulit hitam misalnya
yang terjadi di Chicago tahun 1919, St. Louis Timur, 1917, dan
di Detroit, 1943, dan terhadap warga keturunan Meksiko di Los
Angeles, 1943. Kenyataan ini berlangsung lama dalam sejarah
Amerika abad kedua puluh.
5
Sejarah Perkembangan Teori Gerakan Sosial;
Antara Kekuatan dan Kelemahannya
Menjelang tahun 1930-an, ciri kebencian rasial dari
Nazisme memberi sebuah konteks baru terhadap tindakantindakan kekerasan semacam ini terutama khususnya di
Amerika Serikat. Tindakan-tindakan ini dilihat sebagai
fenomena serupa yang lebih besar. Para ilmuwan sosial merasa
terdorong untuk memahami sisi irasional dan intoleran dari
perilaku kerumunan (crowd), guna memerangi rasisme dalam
segala bentuknya. Upaya-upaya inilah yang kemudian turut
serta mempengaruhi perpektif teoritik studi gerakan sosial
neoklasik yang agak sedikit lebih mengalami kemajuan dan
perubahan yang cukup berarti, namun masih tetap dipengaruhi
oleh perspektif psikologi sosial terutama pada aliran crowd
tradisi klasik mula-mula.
2
Pengaruh tradisi pemikiran dalam teori gerakan
sosial klasik dan neoklasik
Dalam periode ini perspektif psikologi sosial umum
berkembang pesat di Eropa Barat dan di Amerika Serikat. Di
dalam melakukan studi, teoritisi ini mengawali asumsi yang
negatif mengenai tingkahlaku kerumunan (crowd), yaitu
tingkahlaku yang merujuk pada suatu kolektivitas yang liar
(collectifities riotous) dalam berbagai dinamika gerakan (Rajendra
Singh, 2010:113). Berbagai asumsi itu, dapat dilihat dalam
beberapa karya besar, di mana secara dominan dipengaruhi
para psikolog sosial klasik seperti, misalnya Gustav LeBon,
The Crowd, (1987), Gabriel Tarde, The Laws of Imitation, (1903),
karya William Mac Dougall, The Group Mind (1920), karya E.D.
Martin, The Behaviour of Crowd (1929) dan sebagainya.
Pendekatan psikologi sosial klasik terhadap penulisan
gerakan sosial, lahir dari sejarah pemikiran besar yang lebih
dismisif yakni Sigmund Freud dalam, Group Psychology and
the Analysis of the Ego, (1921/1959), yang berorientasi teoritis
pada psikologi kelompok yang kemudian bergema kembali
pada awal abad ke 20 di dalam karya Robert Park dan E.
Burgess. Robert Park berjasa sebagai pengguna pertama
6
Sejarah Perkembangan Teori Gerakan Sosial;
Antara Kekuatan dan Kelemahannya
istilah “tingkahlaku kolektif” (collective behavior). Tulisan Park
bersama Burges memperlihatkan pengaruh Gustave LeBon
dalam penggunaan sejumlah konsep seperti sugestibilitas,
ketularan (contagion), dan kepatuhan kerumunan (crowd) kepada
seorang pemimpin. Mereka juga memperlihatkan bahwa
tingkahlaku kolektif (collective behavior) merupakan kekuatan
yang dapat membawa perubahan. Kesimpulan Park akhirnya
mengemukakan bahwa kerumunan (crowd) dan publik atau
kelompok atau perkumpulan massa (mass society) mengakhiri
ikatan-ikatan lama dan membawa individu ke dalam jalinan
hubungan-hubungan baru (Turner & Killian, 1987).
Park dan Aliran Chicago memainkan peran penting dalam
menggeser bidang akademik sosiologi yang baru muncul dari
teori-teori berskala besar, yakni teori-teori mengenai struktur
dan perubahan sosial, kepada studi-studi empiris berskala
kecil yakni mengenai proses-proses sosial. Menurut Ritzer dan
Goodman, karena Park adalah murid Simmel dan gagasan
Simmel tentang tindakan dan interaksi, pada akhirnya menjadi
instrumen penting dalam mengembangkan orientasi aliran
Chicago (George Ritzer dan Douglas J. Goodman, 2003:72).
Dengan adanya pergeseran umum ini lahir pula batasan
pertama tentang cabang sosiologi tingkah laku kolektif dan
gerakan sosial yang berorientasi bukan hanya kepada peranan
gerakan-gerakan sosial di dalam pembaharuan politik dan
perubahan sejarah, melainkan juga kepada psikologi sosial yang
mempengaruhi faktor-faktor tingkahlaku kerumunan (crowd)
di dalam pembentukan sebuah gerakan sosial yang terjadi.
3
Tema-tema dan kajian teoritis studi gerakan sosial
klasik dan neoklasik
Adapun unit analisis yang pertama diperhatikan
oleh para teoritisi adalah menyoroti interkoneksi perspektif
psikologi sosial pada berbagai bentuk perilaku individu. Para
peneliti perspektif ini telah memusatkan perhatian; mengapa
dan bagaimana individu-individu menggabungkan diri dalam
7
Sejarah Perkembangan Teori Gerakan Sosial;
Antara Kekuatan dan Kelemahannya
sebuah gerakan, dan pada ciri-ciri yang khas yang membedakan
individu-individu yang terlibat pada sebuah gerakan dari
mereka yang tidak terlibat. Kekuatan-kekuatan kultural
menjadi riil dan dapat diteliti secara empiris takkala mereka
dialih bentukan ke dalam motivasi, predisposisi, dan kecendrungan
pribadi. Konsep mengenai kepribadian, merupakan cara yang
bermanfaat dan sahih guna memperlihatkan konsistensi
di dalam motivasi, perilaku, keyakinan, dan predisposisi
individu. Konsistensi ini kemudian, tetap terus bertahan lintas
waktu dan lintas peran-peran sosial.
Demikian juga persoalan yang menyangkut ideologi
serta yang menjadi keyakinan para peserta terlibat dalam
sebuah gerakan yakni sistem kepercayaan yang dibangun,
adalah bersifat sekunder, dan lebih merupakan sebuah elemen
yang terdeterminasi ketimbang elemen penentu. Dalam
konteks ini,keyakinan-keyakinan para individu dibentuk
oleh kepribadian, yakni oleh kecendrungan-kecendrungan
psikologis mereka, atau juga oleh tekanan-tekanan mikro
informal (informal micro~pressures) di dalam lingkungan
hidup pribadi para individu saat itu. Menurut Robert Mirsel,
dalam teori psikologi sosial (social~psikologycal theory), di
mana perilaku-perilaku yang diperlihatkan oleh para individu
sebagai anggota suatu gerakan semacam itu, merupakan kunci
pokok bagi studi mengenai keyakinan dan bukannya ide-ide
mengenai sistem kepercayaan sebagai sebuah sistem pemikiran
yang abstrak (Robert Mirsel, 2004:32).
Dalam kajian teoritik pada tema dan unit analisa yang
kedua adalah orientasi terhadap perkumpulan massal (mass
society theory). Kajian pada tema ini mengarahkan perspektif
studi gerakan pada suatu keadaan di dalam masyarakat.
Di mana aksi-aksi kolektif disebabkan oleh karena para
individu disingkirkan dari kelompok-kelompok sosial
yang tetap dan membuatnya lebih rentan terhadap aksiaksi protes atau pengaduan-pengaduan di dalam sebuah
gerakan kemasyarakatan. Analisis berfokus pada penelitian
8
Sejarah Perkembangan Teori Gerakan Sosial;
Antara Kekuatan dan Kelemahannya
bagaimana kondisi-kondisi individu seperti keterasingan
(alienasi) dan kondisi-kondisi kultural seperti ketakberaturan
(anomie) berhubungan dengan lahirnya sebuah gerakan
sosial. Perkumpulan massal melahirkan gerakan-gerakan
kemasyarakatan,
yakni
bahwa
gerakan-gerakan
ini
dipandang sebagai jawaban terhadap hilangnya jangkarjangkar tradisional, karena para individu yang terlepas dari
komunitasnya yang mapan kemudian mencari bentuk-bentuk
komitmen bersama yang baru.
Demikian juga tema dan unit analisis ketiga studi
gerakan sosial yang melihat dari aspek teori tingkahlaku
kolektif (collective behavior theory). Perspektif ini memandang
bahwa fenomena-fenomena kelompok yang panik (panic
groups), kelompok histeris (hysterias) dan kelompok yang
tingkahlakunya dengan cepat sekali berubah-ubah (fads)
dan tingkah laku kerumunan (crowd behavior) berhubungan
erat dengan pembentukan gerakan sosial dan kemungkinan
besar mewakili tahap-tahap awal pembentukan sebuah
gerakan yang kemudian meluas dan menetap dalam satu
gerakan. Kerumunan dan gerombolan dalam skala kecil
menghasilkan apa yang dilakukan oleh perkumpulan massal
(mass society) pada skala yang lebih luas. Mereka memisahkan
individu dari keterikatan dengan kelompok-kelompok primer
seperti keluarga, hubungan sekunder yang stabil (seperti
persekutuan-persekutuan berdasarkan tempat tinggal dan
serikat-serikat dagang). Mereka juga memisahkan individu
dari hal-hal rutin biasa, termasuk dari tingkahlaku politik yang
konvensional. Dengan ini para individu tersebut lebih mudah
menerima tekanan (pressure) yang irasional. Kondisi-kondisi
perkumpulan massal pada gilirannya membuat individu lebih
gampang menerima tekanan-tekanan guna mengambil bagian
dalam tingkahlaku kolektif (collective behavior).
Paradigma klasik dan neoklasik pada tindakan kolektif
(collective behavior), khususnya neoklasik tetap dominan hingga
9
Sejarah Perkembangan Teori Gerakan Sosial;
Antara Kekuatan dan Kelemahannya
tahun 1970-an, sebagaimana tema dan unit analisas di atas,
baik yang merujuk pada studi tentang tingkahlaku kolektif
(collective behavior theory), maupun perkumpulan massal (mass
society theory). Tema-tema pada kajian ini, sama-sama masih
memperlihatkan tindakan kolektif yang merujuk pada cetakan
konseptualisasi studi tentang crowd yaitu sebagai kolektifitas
yang liar (collectifities riotous), tindakan kolektivitas yang
cenderung bertindak anarkis, brutal sadis dan juga kelompok
yang perilakunya rentan terhadap hal-hal yang menjadikan
para anggota gerakan dapat melakukan apa saja dari berbagai
tindakan yang irasional.
Dalam tradisi klasik, gambaran sosial tentang crowd
adalah berupa kerumunan manusia secara kolektif yang terdiri
dari sejumlah individu-individu dalam ruang yang terbatas
yang merespon berbagai isu atau peristiwa dalam kepentingan
umum. Crowd tidak seperti yang digambarkan C.H. Cooley
sebagai grup utama yang berhadap-hadapan, melainkan lebih
menyerupai kelompok massa atau tingkahlaku kolektif yang
saling merapat dan berdesak-desakan. Kelompok-kelompok
yang membentuk diri pada situasi tindakan berkerumunan
(crowd), secara organisasi atau kelembagaan merupakan sebuah
kelompok yang bersifat sementara, tidak tetap, dan episodik.
Manifestasinya adalah dalam bentuk kolektifitas-kolektifitas
yang tidak terlembagakan dan tidak terbudayakan (Rajendra
Singh, 2010:113).
Kelompok crowd (kolektivitas yang liar) di atas, tidak
dapat disamakan dari sekumpulan manusia seperti misalnya
bangsa, komunitas, kasta, kelas kerena kelompok tersebut
relatif stabil dan merupakan sekumpulan manusia yang
terlembagakan. Sebaliknya kolektivitas ini bukan merupakan
kumpulan stabil semacam itu. Para psikolog sosial biasanya
membagi kegaduhan ke dalam tipe pasif dan aktif. Tipe
pasif merujuk pada kelompok penonton dipinggir jalan, para
penonton pasif yang berkumpul karena keingintahuan untuk
10
Sejarah Perkembangan Teori Gerakan Sosial;
Antara Kekuatan dan Kelemahannya
menyaksikan berbagai peristiwa yang tidak biasanya, baik
pemandangan atau suaranya. Meskipun crowd pasif memiliki
kecendrungan bisa berubah menjadi crowd aktif, maka crowd
aktiflah yang perilaku-perilakunya menjadi perhatian dalam
studi gerakan sosial dan tindakan kolektif (Rajendra Singh,
2010:114). Demikian juga, potensi crowd aktif inilah yang
terkadang mengambil kesan stereotipe seperti nampak dalam
wajah tindakan huru-hara (mob) dan kerusuhan rakyat (unruly
rabble), atau kerusuhan rakyat yang melanggar hukum (lawless
furios rabble) yang berbentuk kolektifitas massa haus darah
yang saling bermusuhan atau sekelompok para perusuh yang
memberontak dan agitasi pemogok serta para pemrotes di
jalan-jalan.
Dalam psikologi sosial klasik, huru-hara (mob), kerusuhan
rakyat (unruly rabble), atau kerusuhan rakyat yang melanggar
hukum (lawless furios rabble) yang berbentuk kolektifitas massa
haus darah yang saling bermusuhan biasanya, didefinisikan
sebagai perasaan gaduh dan kesatuan mental. Gustave LeBon
menjuluki jenis kegaduhan ini sebagai plin plan (fickle) dan
menghubungkannya sebagai sejenis perilaku semborono yang
irasional, menurutnya :
sejumlah mahluk hidup tertentu yang berkumpul
bersama, baik hewan maupun manusia, yang dengan insting
menempatkan diri mereka sendiri di bawah otoritas ketua,
dan ketua biasannya direkrut secara khusus dari sekelompok
bawahan yang gugup secara tak wajar, mudah digerakkan,
orang-orang yang setengah tak waras yang berada dalam
batas-batas kegilaan (Gustave LeBon, 1909:133).
Dalam konteks yang sama, Edward Martin dalam The
Behaviour of Crowd, (1929) menyatakan bahwa crowd merupakan
situasi di mana orang-orang sebagai anggota kerumunan yang
satu sama lain saling menciptakan kebencian. Dalam situasi
ini di mana orang-orang yang berkelompok yang membentuk
11
Sejarah Perkembangan Teori Gerakan Sosial;
Antara Kekuatan dan Kelemahannya
kerumunan, telah menciptakan situasi atau suasana emosional
yang panas dan cenderung tidak terkendali terhadap pihak
lawan. Dengan demikian, intensitas emosional yang meluap
dari setiap anggota kerumunan atas sumber masalah yang
dimunculkan, cenderung dimanifestasikan dalam bentuk
perilaku dan tindakan kolektivitas anarkhis yang sadis dan
kejam (Edward Martin, 1929:v).
Dengan demikian, dalam kebanyakan formulasi
seperti dalam studi Gustave LeBon, di atas, siapa pun bisa
membuktikan penekanan yang rentan terhadap crowd. Menurut
James M. Jasper, dalam Cultural Approaches in the Sociology of
Social Movements (2007), dalam visi yang lain, orang-orang
tertentu secara khusus terbuka pada gerakan emosi yang kuat
pada crowd (James M. Jasper, 2007:58;bab 3). Sebagaimana
contoh yang digambarkan oleh Eric Hoffer dalam karyanya The
True Believer,(1993),yang merumuskan versi agak sedikit lebih
jauh dan populer pada masannya, tentang gambaran seorang
fanatik yang putus asa yang diperlukannya untuk percaya pada
sesuatu, tidak peduli apa itu sesuatu yang mengisolasikannya
dari sosial. Para pengikut sejati dan setia, sang pemeluk yang
teguh, para pengikut yang fanatik (true believer) memunculkan
gerakan-gerakan yang didorong oleh dorongan batin bersama
untuk melakukan suatu gerakan (Eric Hoffer, 1993:25).
Hoffer menilai bahwa orang-orang yang kurang memiliki
identitas stabil dan frustrasi, merasa kekosongan bathin, hidup
merasa tandus dan tidak aman, situasi ini yang kemudian
menjadi penyebab seseorang itu kehilangan kepercayaan diri
mereka sendiri. Pengorbanan diri pada tindakan kolektif,
menurut Hoffer adalah massa yang terang-terangan tidak
rasional, menarik orang-orang yang miskin, orang-orang
aneh, orang-orang buangan, kaum minoritas, kaum remaja
muda yang ambisius, orang-orang yang berada dalam bayangbayang obsesi, orang-orang yang bosan dan merasa bersalah
dan lain sebagainya (Eric Hoffer, 1993:26).
12
Sejarah Perkembangan Teori Gerakan Sosial;
Antara Kekuatan dan Kelemahannya
Memang disadari bahwa pengaruh psikologi sosial
terutama inti konseptual mengenai formulasi gagasan
tentang crowd sebagai suatu kolektifitas manusia-manusia
dalam kelompok yang liar, berhasil diformulasikan ke dalam
cetakan konseptual baru di dalam meneliti perilaku kolektif
(collective behavior). Upaya inilah tidak serta merta menjadikan
studi tentang crowd, begitu saja menghilang dari pemikiran
sosiolog neo klasik kemudian. Melainkan orientasi terhadap
crowd, masih tetap eksis dan diulang kembali, hal ini misalnya
dapat ditemukan dalam karya Norman Cohn yang begitu
berpengaruh pada tahun 1970-an tentang, The Pursuit of
Millennium: Revolutionary Millenarians and Mystical Anarchists of
the Middle Ages (1961), yang membicarakan fantasi dan gerakan
milenarian dalam artian ketidakmampuan menyesuaikan diri
dan paranoia. Norman Cohn menjelaskan bahwa seolah-olah
unit-unit paranoia yang sampai saat ini menyebar ke seluruh
populasi mendadak bergabung membentuk entitas baru, yaitu
sebagai suatu fanatisme paranoid kolektif (Norman Cohn,
1961:312).
Hal yang sama juga ditemukan dalam studi Michael
Adas tentang, Prophet of Rebellion, Millenarian Protest
Movements against the European Colonial Order, (1943), kajian
ini lebih mengetengahkan pendekatan baru bagi penulisan
sejarah komparatif dan analisa gerakan protes sosial dengan
menyajikan lima kajian kasus (sejarah pemberontakan Pangeran
Dipenogoro di Hindia Belanda, 1825-1830, gerakan Pai Maire
atau Hau-Hau di Kalangan Masyarakat Maori, Selandia Baru
1864-1867, gerakan Birsa pada masyarakat Munda, Chota
Nagpur, India tengah bagian timur 1899-1900, pemberontakan
Maji-Maji di Afrika Timur jajahan Jerman, 1905-1906 dan
gerakan Saya San di Birma, 1930-1932 ).
Dalam penelitiannya itu, Adas membangun sebuah
konstruksi pemikiran dalam mempelajari hubungan antara
harapan milenarian dengan faktor kepemimpinan yang bersifat
13
Sejarah Perkembangan Teori Gerakan Sosial;
Antara Kekuatan dan Kelemahannya
propetis dan protes sosial secara kekerasan, walaupun gerakan
itu sifatnya agak terbuka dan revolusioner secara politik,
namun memobilisasi kekuatan simbol-simbol ritual budaya
yang potensial (Michael Adas, 143:79).
Demikian juga pengulangan eksistensi dan entitas crowd
dalam cetakan baru ditemukan juga dalam studi gerakan
millenearisme India, misalnya karya Stephen Fuchs, Rebellious
Prophets, (1965), Lioyd dan Susanne Rudolph, dalam The
Modernity of Tradition (1969), dan Robert Hardgraves, dalam
The Nadars of Tamilnad, (1969). Kesimpulan penelitian mereka
ini, banyak menyoroti gerakan Birsite yang bermaksud untuk
menghidupkan kembali ide raja Munda, tapi penekanan
utamanya ada pada mobilisasi kekuatan simbol-simbol
ritual dalam agama. Dan penemuan-penemuan sosial yang
dimaksudkan untuk membangkitkan penghargaan pada diri
sendiri dan status orang Munda dalam hubungannya dengan
kelompok-kelompok dataran rendah yang dominan. Birsa
menyerang kegiatan keagamaan animisme dari rakyatnya
dan menekankan pada konsep Tuhan tunggal yang terbentuk
sebagai campuran konsep Hindu dan Kristen. Birsa juga
menginstruksikan para pengikutnya untuk memakai benang
suci dari kasta-kasta tinggi dan menghentikan makan daging,
ikan dan makan lain yang berhubungan dengan kasta
rendah atau kelompok pariah. Namun yang menarik, di sini,
bahwa walaupun simbol keabsahan cenderung mengajarkan
keadilan dan meningkatkan solidaritas di antara orang-orang
yang bergabung dalam gerakan tertentu, mereka juga dapat
membenci pengikut nabi itu di antara kelompok-kelompok
yang dikolonisasi lainnya.
Dengan demikian, perspektif psikologi crowd dalam
berbagai studi yang dilakukan telah mengambil suatu entitas
baru dalam perkembanganya. Evolusi konseptualisasi teoritik
psikologis sosial klasik inilah yang ditanggapi Erward P.
Thompson dalam karyanya The Making of the English Working
14
Sejarah Perkembangan Teori Gerakan Sosial;
Antara Kekuatan dan Kelemahannya
Class, (1981) menyatakan:
orang meragukan proses penggabungan semacam
itu. Bagaimanapun, dengan adanya fenomena semacam
itu persoalan historis belum terpecahkan~mengapa
kemarahan, inspirasi atau bahkan kekacauan psikotis
mesti bergabung dalam gerakan berpengaruh hanya
dalam waktu-waktu tertentu dan dalam bentuk yang
khusus (E.P Thompson, 1981:117).
Pandangan E.P. Thompson di atas, bertujuan untuk
menantang para teoritisi yang melakukan studi gerakan sosial,
guna menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukannya.
Oleh karenanya, paradigma klasik aliran crowd dari psikologi
sosial tradisional mengalami versi radikal untuk memberi
batasan pada kehancuran dirinya. Akan tetapi sebagaimana
yang kita temukan di dalam berbagai studi belakangan,
kecendrungan-kencendrungan crowd mengulangi diri dalam
disiplin lain seperti (sejarah, politik, ekonomi dan sebagainya)
dalam bentuk atau model lain, bahkan dengan penjelasan
lain yang lebih variatif sifatnya dalam berbagai studi yang
dilakukan.
Masalah ini terjadi, menurut Rajendra Singh karena
tampilan perspektif crowd selalu mendapatkan kekuatan
dukungan data historis yang dikumpulkan secara lengkap
dan telaten, pada kurun waktu yang merentang mulai abad
ke-18 s.d abad ke-20 dalam sejarah Perancis dan Inggris.
Para sejarawan sosial telah berhasil menerangkan crowd
dalam cetakan konseptual baru bersama-sama, karya-karya
belakangan ini dapat kita temukan misalnya, penelitian Singha
Roy dalam The Crown in the French Revolution, (1959) dan The
Study of Popular Disturbances in the Pre-Industrial Age; Historical
Studies, (1963), Lars Rudebeck, dalam When Democracy Makes
Sense, (1992), Charles Tilly, et.al dalam The Rebelious Century,
1830-1930, (1975), dan E.P Thompson dalam The Making of the
15
Sejarah Perkembangan Teori Gerakan Sosial;
Antara Kekuatan dan Kelemahannya
English Working Class, (1981) dan sebagainya. Rajendra Singh,
2010:117).
Selanjutnya, dalam perspektif analisa para sejarawan,
crowd diperlakukan sebagai entitas sosial bertujuan dengan
suatu alasan untuk ada, dan suatu peran untuk bertindak dalam
sejarah. Berdasarkan bukti dalam hasil penelitiannya tentang
sejarah Perancis dan Inggris, George Rude menyatakan bahwa
crowd bukanlah abstraksi tidak berwujud, melainkan ia terdiri
dari orang-orang. Dalam konteks, analisanya terhadap data
sejarah tersebut, ia membedakan antara gejolak masyarakat
pra industri dengan masyarakat industrial dalam masyarakat
di dunia negara itu. Menurutnya gejolak pra industri dicirikan
oleh kerusuhan pangan (foot riots), gerakan milenarian, dan
pemberontakkan petani (peasant revolt). Sedangkan gejolak
industrial ditandai dengan pemogokan, demonstrasi dan
pertemuan massa publik berjangkauan ke depan. Singkat
kata, dalam menanggapi keberadaan entitas crowd yang tidak
berkewajahan, George Rude menyatakan sebagai berikut:
peran yang dimainkan oleh petani dan penduduk
desa di Inggris, kecendrungan khusus para pemintal
dan penambang untuk menghancurkan mesin
dalam pertikaian industrial di Inggris,...bagian yang
dimainkan kaum perempuan dalam perjalanan tertentu
Revolusi Perancis,.peran petani dan buruh tani dalam
kerusuhan (riots) pedesaan Inggris... dan seterusnya
(George Rude, 1964:194).
Berdasarkan contoh dalam beberapa studi di atas,
menunjukkan bahwa watak gejolak dan aktivitas crowd
terkait erat dengan komposisi unsur-unsur seperti; sosial,
pekerjaan, situasi, kondisi, dan lain sebagainya yang turut
mempengaruhinya. Meskipun crowd berperilaku berbeda
dalam situasi yang tidak sama, ada beberapa elemen yang
serupa seperti penggunaan aksi langsung dan penerapan
keadilan alamiah.
16
Sejarah Perkembangan Teori Gerakan Sosial;
Antara Kekuatan dan Kelemahannya
Dengan demikian data sejarah mengenai bentuk,
wajah, tipe aksi crowd selama selama abad ke 18 dan 19 tak
meragukan lagi membuktikan bahwa konstruksi perspektif
teori psikologi sosial klasik mengenai orientasi pada crowd
sebagai entitas wajah yang gampang berubah dan mengambil
bentuk yang berbeda-beda sesuai situasi dan kondisi sosial
yang ada. Dengan demikian, maka perspektif seperti itu sudah
tidak memadai lagi bahkan mungkin agak lebih berlebihan,
tendensius dan mungkin agak keliru.
Namun harus diakui, atas kekurangan perpektif psikologi
sosial atas crowd, telah mendorong penemuan berbagai tipe
letupan kolektif non institusional seperti revolt dan riot. Dan
peran aksi-aksi individual dan kolektif itu, yang dalam konteks
ini pun masih ditemukan tipe-tipe individu yang berkerumun,
mengelompok bahkan dalam bentuk aksi individual sekalipun
dan sebagainya. Dalam beragam bentuk, aksi dan tindakan
individu dapat terjadi dalam upaya menentang situasi sosial
dalam berbagai isu yang berkembang misalnya nilai, praktek,
tindakan dan perilaku. Termasuk iven-iven yang dapat
memancing kemarahan dan emosi kolektif atau setidaktidaknya sebuah perlawanan (resistance) dan protes individual
atau kelompok tertentu dalam menentang situasi dan struktur
kehidupan yang dominatif dan marginalitatif.
4
Kekuatan dan kelemahan perspektif klasik dan
neoklasik
Di bawah ini dipaparkan secara singkat kekuatan dan
kelemahan perspektif studi gerakan sosial tradisi klasik dan
neoklasik (lama) yakni, sebagai berikut:
Kekuatan perspektif
 Paradigma klasik dan neoklasik, mampu melihat
persoalan mengapa dan bagaimana individu-individu
menggabungkan diri dalam sebuah gerakan, dan pada
ciri-ciri khas yang membedakan individu-individu yang
17
Sejarah Perkembangan Teori Gerakan Sosial;
Antara Kekuatan dan Kelemahannya
terlibat pada sebuah gerakan dari mereka atau individu
lain yang tidak terlibat dalam gerakan itu.
 Para peneliti dalam paradigma ini mampu menunjukkan
kekuatan-kekuatan kultural menjadi riil dan dapat diteliti
secara empiris takala mereka dialih-bentukkan ke dalam
motivasi, predisposisi, dan kecendrungan pribadi sehingga
membentuk sebuah gerakan sosial.
 Paradigma ini mampu menunjukkan bahwa sistem
kepribadian dan unsur-unsur yang berhubungan
dengannya, merupakan elemen mendasar yang berkorelasi
dengan motivasi, perilaku, keyakinan, dan predisposisi individu.
Konsistensi ini terus bertahan lintas waktu dan lintas peranperan sosial.
 Para peneliti dalam paradigma ini secara tegas menunjukkan
watak gejolak dan aktivitas kelompok kerumunan (crowd)
konvensional berupa kumpulan orang-orang yang dapat
berbuat sadis, kejam dan anarkhis terkait erat dengan
komposisi unsur-unsur (sosial, pekerjaan dsbnya) yang
turut mempengaruhi.
 Paradigma ini mampu menunjukkan evolusi konseptual
teoritik tentang psikologi sosial pada teori crowd sebagai
kelompok massa yang liar, dan sebagainya ke dalam
cetakan baru yang lebih dinamis, di dalam berbagai tema
penelitian gerakan sosial kemudian. Dan unsur-unsur crowd
ini bereflikasi dan selalu erat terkait dengan komposisi
unsur-unsur sosial, pekerjaan dan sebagainya.
Kelemahan perspektif
 Dalam meneliti fenomena gerakan sosial, paradigma studi
gerakan sosial klasik dan neoklasik, mengawali konsepsi
pemikiran mereka pada asumsi irasionalitas tindakan dan
perilaku yang diambil oleh kolektivitas anggota gerakan.
Sehingga perilaku para individu dalam kelompok gerakan
disoroti secara lebih negatif.
18
Sejarah Perkembangan Teori Gerakan Sosial;
Antara Kekuatan dan Kelemahannya
 Ciri khas studi tradisi klasik dan neoklasik (lama) secara
teoritik dibangun dalam bingkai (frame logic) psikologi
sosial, sehingga dalam tema-tema dan unit analisis kajian
gerakan sosial diarahkan kepada kecendrungan fenomena
perilaku~tingkah-laku kolektif dalam gerakan, yakni
sebagai kumpulan massa yang selalu bertindak anarkhis,
massa haus darah, sadis, kejam, kelompok yang tanpa
kenal belas kasihan, suka mengeroyok, suka membunuh,
dan menghancurkan.
 Kelemahan perspektif ini secara substansial adalah,
menggeneralisasi setiap perilaku individu yang terlibat
dalam sebuah gerakan sebagai ciri-ciri perilaku yang sama
yang hanya disebabkan oleh emosi dan kemarahan. Emosi
dan kemarahan dipahami selalu berujung pada tindakan
yang tidak stabil.
 Para individu yang turut ambil bagian dalam gerakan,
dipandang sebagai manusia-manusia yang perilakunya
sama dengan binatang. Pilihan yang irasional kepada
setiap individu dalam gerakan selalu dijustifikasi pada
motivasi, dan kepribadian yang negatif. Seakan-akan setiap
individu tidak memiliki pilihan yang rasional dan otonom
dalam mengambil keputusan dalam tindakan yang bersifat
sukarela (voluntaristik).
 Dalam setiap gerakan, para peneliti gerakan sosial ini
menyembunyikan peranan pemimpin gerakan sebagai
aktor dan mempresentasikan pemimpin gerakan tersebut
bukan pada aksi individual terbatas melainkan sebagai
semua anggota gerakan yang terlibat dalam kelompok
gerakan. Kelemahan perspektif ini di mana para peneliti
melenyapkan peranan aktor individual dan hanya
memusatkan perhatian pada tindakan kolektif.
 Dalam gambaran paradigma ini, tidak ada pemimpin yang
jelas dalam memimpin gerakan. Jika terjadi kekacauan,
19
Sejarah Perkembangan Teori Gerakan Sosial;
Antara Kekuatan dan Kelemahannya
huru-hara dalam kelompok besar, maka tanggungjawab
politis dan hukum akibat dari gerakan itu bukan terletak
pada satu pihak melainkan orang banyak (kelompok) dalam
gerakan. Sehingga semua orang atau anggota gerakan
adalah para pemimpin gerakan yang bertanggungjawab
pada diri masing-masing.
 Kelemahan lain dari perspektif ini, adalah para peneliti
gerakan menggambarkan bahwa setiap gerakan sosial yang
terjadi tidak ada arah, tujuan dan motivasi yang jelas untuk
dicapai oleh para anggota gerakan, melainkan biasanya
hanya bertujuan revolusi tatanan politik yang ada. Tujuan
dan motivasi yang terlihat dalam gerakan hanyalah bersifat
sesaat yaitu gerakan dipandang sebagai sarana yang efektif
dan produktif untuk meluapkan serta mengekspresikan
segala emosi dan kemarahan negatif yang dirasakan oleh
para individu dalam gerakan.
20
Sejarah Perkembangan Teori Gerakan Sosial;
Antara Kekuatan dan Kelemahannya
II
Menjelang akhir tahun
1960-an lebih jelasnya mengawali tahun 1970-an ke atas,
munculnya suatu upaya baru
dari para teoritisi studi
gerakan sosial baik di Eropa
maupun di Amerika, untuk memformulasi kembali perspektif
teori gerakan sosial yang cukup berpengaruh kuat pada
periode pertama yang didominasi oleh psikologi sosial klasik.
Periode kedua ini lahir dan menandai semangat baru dalam
merumuskan ulang berbagai pendekatan studi gerakan sosial
lama, ke dalam formulasi baru yang disebut Gerakan Sosial
Baru (New Social Movement). Pada masyarakat kontemporer
yang banyak berubah, telah menjadikan Gerakan Sosial Baru
(GSB) memiliki citra baru dalam berbagai tampilan wajah,
tipe-tipe, bentuk serta model gerakan sosial.
Menuju arah baru
studi gerakan
sosial (new social
movement)
Periode kedua ini, semangat GSB lebih menitikberatkan perspektif studi pada tindakan rasional di dalam
pemaksaan-pemaksaan yang bersifat struktural. Dalam hal
ini, bahwa sifat dari gerakan sosial dipengaruhi oleh konteks
struktural yang berkembang saat itu, sehingga bentuk dan
model gerakan sosial pun memiliki tipe-tipe dan rumusanrumusan bersifat makro ketimbang mikro sosiologis dalam
melihat berbagai persoalan sosial yang terjadi. Menurut Robert
Mirsel, terdapat dua paradigma besar yang saling berbeda
muncul dalam kurun waktu ini, yakni paradigma ketegangan
struktural (structural strain paradigma); selanjutnya paradigma
ini kemudian digabungkan, lalu sampai pada batas tertentu
diganti oleh paradigma Marxis dan paradigma pengalangan
sumber daya (resource mobilization paradigma) (Mirsel. R, 2004:
49). Sedangkan paradigma GSB kontemporer yakni paradigma
berorientasi identitas dengan citra pemikiran sosiolog Eropa,
luput dari pembahasan Mirsel di atas.
21
Sejarah Perkembangan Teori Gerakan Sosial;
Antara Kekuatan dan Kelemahannya
Untuk melengkapi kekurangan itu, Rajendra Singh
(teoritisi gerakan sosial India) menggaris bawahi, bahwa
dalam periode GSB paling tidak terdapat dua aliran utama
(mainstream) yaitu teori mobilisasi sumber daya (resources
mobization theory) yang muncul di Amerika Serikat dan
dipengaruhi oleh pemikiran Mancur Olson (1965), Oberschall
(1973), McCarthy dan Zald (1977), Gamson (1975), Charles Tilly
(1975) dan Tarrow (1982). Kemudian paradigma kedua yaitu
teori yang berorientasi identitas berasal dari Eropa, yang lebih
ekspresif dipengaruhi oleh pemikir besar seperti, Pizzorno
(1978, 1985), Jean Cohen (1985) dan belakangan perspektif
pemikiran yang agak lebih terbuka berasal dari Alain Touraine
(1987;1985;1992) (S.Rajendra, 2010:134,144). Di sini rupanya
paradigma ketegangan struktural (structural strain paradigma)
luput dari perhatian Rajendra, mungkin dalam pemahamannya
bahwa paradigma ketegangan struktural (structural strain
paradigma) merupakan bagian atau kelanjutan bentuk lain
dari paradigma mobilisasi sumber daya (resource mobilization
paradigma), sebagai paradigma yang sama-sama berorientasi
pada proses politik (political proces). Namun hal yang terbaru
dalam perkembangan paradigma GSB kontemporer maka ia
menambahkan paradigma berorientasi identitas dari Alain
Touraine dan kawan-kawan.
1
Konteks sosial politik gerakan sosial baru (new
social movement)
Mendekati akhir tahun 1960-an, lebih jelasnya memasuki
tahun 1970-an, munculah gerakan-gerakan sosial baru di
Amerika Serikat dan kawasan-kawasan lainnya di benua
Eropa. Gerakan-gerakan sosial baru ini lebih ekspresif dan
mengambil wajah dan tipe gerakan sosial yang banyak
berubah bila dibandingkan dengan berbagai gerakan yang
terjadi pada periode sebelumnya. Pergerakan sosial tersebut
atara lain misalnya gerakan perjuangan hak-hak sipil warga
negara (civil rights movements) terutama di Amerika Serikat,
22
Sejarah Perkembangan Teori Gerakan Sosial;
Antara Kekuatan dan Kelemahannya
semacam organisasi sipil yang berorientasi memperjuangkan
dan mentransformasi pembaruan struktur pada lembagalembaga yang cenderung menindas secara reperesif.
Selanjutnya, muncul pula berbagai gerakan moral perdamaian
yang mengusung cita-cita dan semangat ideologi anti perang
hingga perjuangan melawan berbagai bentuk perlombaan
senjata nuklir. Berbagai aktivis-aktivis dalam kelompok
organisasi anti perang pada waktu itu misalnya secara
tegas menentang serta menolak ekspansi militerisasi antara
Amerika dengan Vietnam. Oleh karena itu, di Amerika Serikat
sendiri, munculnya aneka gerakan melawan perang Vietnam
melahirkan pula berbagai rupa aktivisme perdamaian dan
dukungan terhadap dekolonisasi.
Sejumlah gerakan tertentu memang membawa
pergeseran dalam fokus analisis dibidang teori gerakan sosial,
akan tetapi aliran-aliran pemikiran di antara para elite politik
dan di dalam kebudayaan umumnya juga menghasilkan
pemahaman bahwa pembaharuan itu sah dan rasional.
Aktivisme yang menuntut adanya pelayanan negara terhadap
kepentingan masyarakat (walfare state activism) di Eropa dan
juga gerakan masyarakat raya (great society), serta program
memerangi kemiskinan (war on poverty) yang dicanangkan
oleh pemerintahan John F. Kennedy dan Lindon B. Johnson
di Amerika Serikat pada awal dekade tahun 1960-an turut
menciptakan iklim pembaruan. Menurut Ritzer dan Goodman,
program pencanangan peperangan terhadap kemiskinan di
Amerika ini, merupakan cara khas strategi masyarakat modern
yang menyakini bahwa dapat ditemukan dan diterapkan
penyelesaian rasional atas masalah kemiskinan itu (Ritrzer dan
Goodman, 2003 : 630).
Demikian juga program yang dicanangkan oleh Bad
Goderberg dari Partai Sosial Demokrat (SPD) di Jerman Barat
pada tahun 1960-an pada gilirannya menandai keinginan
kaum sosialis untuk menciptakan konsensi-konsensi ideologis
23
Sejarah Perkembangan Teori Gerakan Sosial;
Antara Kekuatan dan Kelemahannya
guna melibatkan diri dalam pembangunan institusi-institusi
di Jerman Barat. Pada saat agenda-agenda pembaharuan
mulai direalisasikan, makin banyak gerakan radikal dan aliran
pemikiran yang mempertanyakan struktur-struktur penting
yang tengah dibaharui.
2
Pengaruh tradisi pemikiran dalam studi gerakan
sosial baru (new social movement)
Pada saat agenda-agenda pembaharuan mulai
direalisasikan, makin banyak gerakan radikal dan aliran
pemikiran yang mempertanyakan struktur-struktur penting
yang tengah dibaharui, seperti aliran Marxis atau tidak,
termasuk unsur-unsur gerakan Golongan Kiri Baru (New Left).
Aliran pemikiran ini telah menggunakan istilah-istilah seperti
“kapitalisme” dan “struktur kekuasaan” (power structure), guna
membuat definisi mengenai sumber masalah-masalah sosial.
Secara khusus, bahwa Marxisme Barat bangkit kembali dalam
skala besar, khususnya di Eropa Barat, di mana Marxisme
menjadi ideologi utama para intelektual muda (Anderson,
1976). Selanjutnya, pengaruh ini juga kian terasa di Amerika
Serikat, namun agak lebih terbatas.
Di samping itu, bahwa aliran pemikiran kalangan sosialis
pada waktu itu, juga turut serta mempengaruhi perspektif
gerakan sosial. Pemikiran-pemikiran sosialis ini kebanyakan
disebarkan dalam suatu wadah formal melalui media ilmiah
jurna-jurnal populer dan lebih menonjol bertahan lama seperti
New Left Review (Media Massa Kiri Baru) dan Monthly Review
(Jurnal Bulanan). Namun, yang pasti bahwa semua aktivitas
intelektual ini, juga menjadi pencetus teori-teori gerakan sosial,
paling tidak mempunyai peran secara tidak langsung dalam
upaya menciptakan atmosfir legitimasi bagi setiap gerakangerakan sosial yang terjadi pada saat itu.
Demikian juga, perubahan yang cukup mendasar dalam
perspektif gerakan sosial baru ini pada dasarnya semua
24
Sejarah Perkembangan Teori Gerakan Sosial;
Antara Kekuatan dan Kelemahannya
perhatian cabang sosiologi pada masa itu bergeser kepada tema
tentang struktur sosial (social structure) dan mulai menjauhkan
diri dari individu sebagai unit analisisnya. Kajian dan tematema tentang struktur sosial dan proses-proses sosial pada
tingkat makro, mulai menyerap teori-teori besar (grand theory)
periode klasik yang pernah berkembang pada masanya seperti
Marx, Weber dan Durkheim. Pemikiran ketiga teoritisi besar
inilah yang menginspirasikan kembali pengajaran sosiologi
gerakan sosial pada studi dan analisa periode gerakan sosial
baru. Fokus perhatian kepada masalah sturuktur menjadi
konsep kunci dalam paradigma gerakan sosial baru. Dalam
perspektif ini, bahwa struktur yang dimaksud mengacu
pada pemolaan tindakan-tindakan dan hubungan-hubungan,
diabstraksikan dan berada secara independen dari motivasimotivasi individual. Struktur dapat dipikirkan sebagai
seperangkat kondisi pada tindakan individu yang sifatnya
terbatas. Dengan demikian, bagi gelombang baru para
teoritisi struktural, bahwa struktur dipandang sebagai sebuah
fenomena yang ada secara obyektif dan dapat pula dipelajari
secara obyektif.
3
Berbagai paradigma studi gerakan sosial baru
(new social movement).
a. Paradigma ketegangan struktur
(structural strain paradigma)
Paradigma ini dalam
banyak hal menjembatani
pendekatan-pendekatan terdahulu yang didominasi oleh
kerangka pemikiran psikologi sosial dengan model-model
struktural yang dikembangkan pada awal periode kedua ini.
Paradigma ketegangan struktural sebagaimana konsepnya
merupakan sebuah paradigma yang menempatkan ketegangan
struktur (structural strain), di mana bentuk-bentuk ketegangan
pada tingkat lebih dari hanya sekedar pengalaman individu.
Dalam konteks ini, ketegangan dipahami sebagai sebuah
kondisi yang eksis secara obyektif dan juga menggambarkan
25
Sejarah Perkembangan Teori Gerakan Sosial;
Antara Kekuatan dan Kelemahannya
suatu keadaan tegang antara aktor-aktor sosial yang berkonflik.
Jika sudah ada ketegangan yang eksis secara obyektif,
apakah yang dibutuhkan untuk menjelaskan bagaimana dan
kapan aktor-aktor ini menyatu, guna membentuk sebuah
gerakan? Dalam berbagai bentuknya model-model ketegangan
struktural dirancang untuk menjelaskan bagaimana
ketegangan-ketegangan ditanggapi dan dikomunikasikan.
Robert Ted Gurr, adalah salah satu teoritisi yang memformulasi
model analisa gerakan pada tingkat struktural, dalam karyanya,
Why Men Rebel ?(1970), menjelaskan bahwa konsep dasar
Gurr adalah perampasan (deprivation). Perampasan memicu
munculnya resistensi atau perlawanan. Resistensi terjadi jika
orang merasa sesuatu yang dihargainya dan lebih bermanfaat
baginya dirampas. Perasaan terampas inilah yang disebut
Gurr, relative deprivation. Relative deprivation berarti suatu
persepsi perihal kesenjangan antara nilai yang diharapkan
(value expectation) dengan kapabilitas untuk meraih nilai (value
capabalities) yang diperlukan. Menurut Gurr, nilai adalah suatu
kejadian, barang dan kondisi yang diinginkan oleh manusia
untuk dimiliki. Sementara nilai ekspektasi adalah benda dan
kondisi hidup yang orang-orang percaya bahwa mereka sebagai
pemiliknya yang sah. Sementara nilai kapabilitas adalah benda
dan kondisi yang menurut mereka mampu untuk memperoleh
atau memeliharanya, disepakati harta sosial tersedia untuk
mereka (Robert Ted Gurr, 1970:13,25).
Relative deprivation bisa menyulut ketidakpuasan
(discontent) dalam masyarakat, yang berwujud kemarahan,
kemurkaan, atau kejengkelan, tergantung pada kedalaman
rasa terampas. Kadar ketidakpuasan akan berkurang bila
tersedia sarana untuk menyalurkannya. Saluran ini disebut
value opportunities. Apabila ketidakpuasan itu tidak tersalurkan atau berada dijalan buntu, ia dapat bermetamorfosis
menjadi pemberontakan dengan kekerasan yang berwujud
26
Sejarah Perkembangan Teori Gerakan Sosial;
Antara Kekuatan dan Kelemahannya
kekacauan, konspirasi atau perang dalam negeri (Robert Ted
Gurr, 1970:10-11).
Demikian pula, Gurr menambahkan bahwa tingkat
dan kualitas kemarahan dan frustasi sebagai gerak emosional
yang disebabkan oleh ketegangan sosial pada level makro.
Dengan bertolak dari asumsi ini, Gurr mulai mengembangkan
pengukuran-pengukuran kuantitatif bagi hal-hal yang
berhubungan dengan alasan lahirnya ketegangan dan
pemberontakan (rebel) dalam sebuah masyarakat (Robert Ted
Gurr,1970). Menurutnya, tingkat dan kualitas kemarahan
bahkan frustasi sebagai gerak emosional yang disebabkan
oleh ketegangan sosial pada level makro adalah ketegangan
yang bersumber pada struktur politik yang tersedia. Struktur
peluang politis (political opportunity structure) atau bentuk
lembaga-lembaga politis adalah faktor utama di dalam perilaku
gerakan yang kemudian bisa saja memaksa strategi-strategi
gerakan untuk mengikuti pola yang tergaris dalam struktur
tersebut.
Bentuk-bentuk letupan permusuhan dalam kategori data
yang lebih luas mengenai “kekerasan politik” adalah bahwa
semua serangan kolektif dalam sebuah komunitas politik
untuk menentang rezim politik yang ada, baik terhadap para
aktornya, termasuk kelompok pesaing politik maupun yang
sedang menjabat ataupun kebijakan-kebijakannya. Konsep
ini mempresentasikan serangkaian even, yang memiliki sifat
umum menggunakan kekerasan secara aktual atau bersifat
ancaman, namun konsep ini tak bisa dijelaskan semata-mata
dengan berdasarkan pada sifat umum ini. Termasuk dalam
konsep ini adalah revolusi yang biasanya didefinisikan
sebagai perubahan sosio~politik yang fundamental dicapai
melalui kekerasan, termasuk juga di dalamnya perang gerilya,
penentangan, kerusuhan hingga berakhir pada suatu kudeta
(Robert Ted Gurr, 1970:3-4). Kemudian, dalam konteks ini,
Gurr selanjutnya mengklasifikasikan kekerasan politik itu ke
dalam tiga kategori besar yaitu sebagai berikut:
27
Sejarah Perkembangan Teori Gerakan Sosial;
Antara Kekuatan dan Kelemahannya

Huru-hara (turmoil); yaitu kekerasan yang relatif spontan
dan tak terorganisisr yang melibatkan partisipasi umum
yang besar, dan termasuk di dalamnya pemogokanpemogokan politik, kerusuhan, benturan politik dan
penentangan lokal.

Konspirasi; yaitu kekerasan politik yang sangat terorganisir
dengan keikutsertaan yang terbatas, dan termasuk di
dalamnya pembunuhan politik secara terorganisir,
terorisme skala kecil, perang gerilya skala kecil, kudeta dan
pergolakan (mutiny).
 Perang domestik; yaitu kekerasan politik yang sangat
terorganisir yang melibatkan partisipasi massa yang luas
dan dirancang untuk menggulingkan rezim yang berkuasa
atau untuk meruntuhkan negara dengan menggunakan
kekerasan secara ekstensif dan termasuk di dalamnya
terorisme berskala besar, perang gerilya dan revolusi
(Robert Ted Gurr, 1970:11).
Selanjutnya dalam versi yang lain, James Davis dalam
esainya singkatnya berjudul, Toward a Theory of Revolution
(1962), merancang sebuah model lain. Di dalam model
ini ia mengemukakan bahwa kereta pendorong menuju
pembaharuan adalah ketegangan itu sendiri; upaya-upaya
awal dari para elite (baik politik maupun ekonomi) untuk
menciptakan pembaharuan melahirkan ekspektasi-ekspektasi
yang lebih tinggi, dan ketika ekspektasi-ekspektasi itu tidak
dicapai atau malah sebaliknya, munculah gerakan sosial.
Dalam konteks pemikiran ini, soal perampasanlah (deprivation)
yang ditanggapi dan titik perbandingan terletak di masa depan.
Demikian juga, pandangan yang paling inklusif dan agak
lebih jelas dari semua model ketegangan struktural adalah
gagasan Neil Smelser dalam karyanya yang selalu menjadi
sumber rujukan utama para akademisi yang berada dalam garis
pemikiran struktural yakni Theory of Collective Behavior (1963).
Dalam tulisanya itu, Smelser mengajukan sebuah teori yang
disebut teori nilai tambah~enam~tahap (six~stage value~added
28
Sejarah Perkembangan Teori Gerakan Sosial;
Antara Kekuatan dan Kelemahannya
theory), mencakupi pembahasan tentang ketegangan struktural
sebagai sebuah faktor penjelas. Selain itu ada pula komponenkomponen lain yang lebih bersifat psikologis, ideologis, dan
prosesual yang diistilahkannya dengan keyakinan-keyakinan
yang tergeneralisasi (generalized belief), kepemimpinan dan
komunikasi serta insiden-insiden pemicu (precipitating
incidents). Smelser juga memasukan sebuah faktor struktural
lain, yakni dukungan struktural (structural conduciveness)
sebagai unsur pertama dari model ini. Unsur-unsur ini
mengacu kepada kemungkinan-kemungkinan bagi organisasi
gerakan untuk bertahan di dalam ruang lingkup politik dan
sosial sebuah masyarakat (Neil Smelser, 1963:156).
Gambaran aksi dan analisis ekuilibrium Paretean
(pengikut gagasan utama Pareto) ini adalah bentuk konstribusi
nyata dalam teori Smelser, yaitu dalilnya pada mekanisme,
yang menjelaskan bagaimana batas kondisi menentukan
jenis perilaku sosial. Konsepsi Paretean tentang sebuah
mekanisme keseimbangan diri dalam sistem sosial tercermin
dalam proposisi utama Smelser, dan ia mengatakan; “people
under strain mobilize to reconstitute the social order in the name
of a generalized belief”. Selanjutnya dalam hal ini, kembali dia
merumuskan tiga mekanisme utama yaitu:
 Respon terhadap tegangan (strain) memberi energi pada
sistem perhatian yang semakin meningkat dari tingkat
yang rendah kepada tingkat perhatian yang lebih tinggi.
Dalam beberapa kondisi misalnya kondusifitas struktural
dan kontrol sosial tidak memadai, maka jenis tertentu dari
kepercayaan umum akan terbentuk ke dalam tahap: histeris
(mengurangi kecemasan dengan penataan situasi yang
realistis dan ambigu), magis (atribut biasa yang berpeluang
untuk membayangkan beberapa komponen tindakan), dan
naif (hasil yang diinginkan akan direalisasi atau hasilnya
dikhawatirkan untuk dihindari namun “jika hanya”
komponen tindakan yang relevan dapat diaktifkan atau
dinonaktifkan).
29
Sejarah Perkembangan Teori Gerakan Sosial;
Antara Kekuatan dan Kelemahannya
 Penafsiran terhadap sebuah peristiwa sebagai yang
mengesahkan keyakinan umum dan sebagai sumber
preperensi untuk bertindak. Ini adalah sebagai sumber
yang mendasari munculnya sebuah bentuk kepercayaan
umum dalam konteks nyata dan sebagai lintasan aksi atau
tindakan yang lebih singkat (short-circuits action) yaitu,
memungkinkan pelepasan energi, yang hanya diatur oleh
bentuk-bentuk keyakinan umum dan keadaan tertentu.
 Calon peserta telah dimobilisasi untuk bertindak. Smelser
membahas pentingnya faktor kepemimpinan, tetapi dalam
hal ini ia tidak secara jelas menyatakan apakah mobilisasi
itu hanya muncul dalam bentuk komunikasi yang
bertahap kepada setiap peserta potensial lainnya. Walau
bagaimanapun, dia membedakan antara dua fase mobilisasi
yaitu; real phase (fase nyata) yaitu fase yang ditentukan oleh
kondisi aslinya dan derived phase (fase manfaat) merupakan
fase yang ditentukan oleh kondisi yang dihasilkan oleh
fase nyata (Neil J. Smelser, 1963:436).
Kekuatan perspektif
 Paradigma ketegangan sruktural (structural strain paradigma)
lebih mampu mengabstraksikan tindakan-tindakan kolektif
(collective action) serta hubungan-hubungannya dalam
gerakan-gerakan sosial yang terjadi. Bahwa tindakantindakan kolektif (collective action) serta hubunganhubungannya secara independen terlepas atau samasekali
tidak ada kaitannya dengan rangkaian motivasi-motivasi
individual, sebagaimana yang diasumsikan sebelumnya
dalam pendekatan paradigma klasik.
 Paradigma ini lebih kuat dari paradigma klasik yang
kelewat irasional, karena penekanan pada struktur dan
bukan pada motivasi individual. Maka, untuk mengubah
masyarakat diperlukan sebuah keyakinan bahwa institusiinstitusi (tatanan struktural) tersebut, juga harus mendapatkan perubahan. Perubahan dilakukan dengan melalui
30
Sejarah Perkembangan Teori Gerakan Sosial;
Antara Kekuatan dan Kelemahannya
upaya transformasi pada tingkat struktural dan memerlukan tindakan-tindakan kolektif yang lebih rasional.
 Paradigma ini lebih mampu menunjukkan bahwa bentukbentuk, model, tipe dan karakteristik gerakan sosial baru
semakin diorganisasikan secara lebih formal, terancang
secara sistematis, didesain secara optimal dan efektif.
Termasuk fenomena-fenomena perilaku kolektif dalam
bentuk (kerumunan/crowd, gerombolan pengacau/mob,
kelompok panik, rumor, dsbnya) sebagaimana yang
menjadi konsepsi teoritik pada paradigma klasik, dalam
konteksini merupakan unsur-unsur yang secara sengaja
diorganisir atau diciptakan sebagai bagian dari taktik atau
strategi yang digunakan dalam gerakan sosial.
 Paradigma ini mampu menunjukkan bahwa di dalam
gerakan dipimpin oleh aktor-aktor yang jelas dalam suatu
gerakan.
 Paradigma ini mampu melihat interrelasi dan
interkoneksitas antara sebuah persoalan di dalam
masyarakat yakni ketegangan struktural. Ketegangan
merupakan sebuah kondisi yang eksis secara obyektif dan
juga suatu keadaan tegang antara aktor-aktor sosial. Maka
dalam paradigma ini, ketegangan struktural, mampu
menjelaskan bagaimana dan kapan aktor-aktor yang tegang
itu menyatu guna membentuk sebuah gerakan sosial.
Jawabannya dikemukakan Gurr dalam Why Men Rebel,
1970, yakni menekankan unsur kemarahan dan frustasi
sebagai gerak emosional yang disebabkan oleh ketegangan
sosial pada level makro.
Kelemahan perspektif
 Paradigma ketegangan struktural lebih khusus pada teori
Gurr, tentang relative deprivation mengandung unsurunsur kelemahan bahwa tingkat dan kualitas kemarahan
dan frustasi sebagai gerak emosional disebabkan oleh
ketegangan sosial pada level makro yang bersumber pada
struktur peluang politik yang tersedia (political opportunity
31
Sejarah Perkembangan Teori Gerakan Sosial;
Antara Kekuatan dan Kelemahannya
structure).
 Paradigma ketegangan struktural Gurr tentang teori relative
deprivation mengandung kelemahan mendasar karena gagal
mempertimbangkan bagaimana para individu mengalami
perampasan sebagai yang tertanam dalam struktur sosial
yang lebih luas. Masyarakat yang paling lemah dan orangorang yang terpinggirkan biasanya kurang tepat diposisikan
sebagai yang terlibat dalam tindakan-tindakan politik
yang sangat beresiko. Kurangnya jaminan secara ekonomi
dan tidak adanya pendapatan, mereka tidak mampu
mengambil banyak risiko. Menghadapi diskriminasi dari
mayoritas lebih kuat, mereka mungkin berusaha untuk
tetap terlihat atau juga untuk terlibat namun dalam bentuk
perlawanan simbolis sebagai suatu upaya dan mekanisme
mereka untuk tetap bertahan.
 Struktur peluang politis (political opportunity structure)
atau bentuk lembaga-lembaga politis adalah faktor utama
di dalam perilaku gerakan yang kemudian bisa saja
memaksa strategi-strategi gerakan untuk mengikuti pola
yang tergaris dalam struktur tersebut. Dalam konteks
ini, kelemahan mendasar Gurr adalah hanya membatasi
struktur peluang politis sebagai faktor utama, dan ia
tidak melihat keanekaragaman faktor lain yang dapat
mempengaruhi atau memunculkan dinamika perilaku
gerakan serta strategi-stategi yang kemungkinan diambil
oleh para individu dalam gerakan.
 Paradigma ketegangan struktural terlalu berlebihan dan
tendensius memformulasikan struktur yang bersifat eksis
secara obyektif, struktur obyektif cuma konstruksi dalam
angan-angan para pengikut sebuah gerakan, entah persepsi
tentang ketegangan dan tujuan sebuah gerakan rasional
atau tidak, atau bentuk simbolis mana yang diberikan oleh
pengikut sebuah gerakan kepada ketegangan yang ada.
 Dalam paradigma ketegangan struktural khususnya pada
32
Sejarah Perkembangan Teori Gerakan Sosial;
Antara Kekuatan dan Kelemahannya
teori perilaku kolektif (theory of colective behavior) Neil J.
Smelser untuk menerangkan perilaku kolektif dari sudut
pandang apa yang dinamakan kepercayaan umum (general
beliefs) dalam menjelaskan kelompok histeris, panik dan
letupan-letupan kebencian dan kemarahan perilaku
kolektif dalam pengertian sistem kepercayaan yang sudah
ada sebelumnya. Dalam pemikirannya ini, Smelser tidak
mampu membuktikan apakah ada yang dinamakan sistem
kepercayaan tunggal atau berbeda-beda menurut kelas
hirarki masyarakat?
Salah satu perspektif
yang mengalami kemajuan yang cukup
berarti bila dibandingkan dengan paradigma ketegangan struktur (structural
strain paradigma), adalah paradigma mobilisasi sumber daya
(resource mobilization paradigm). Paradigma ini berupaya keras
melakukan formulasi ulang berbagai kelemahan dan kekurangan yang ditemukan di dalam paradigma ketegangan
struktural (structural strain paradigma) sebelumnya.
Para teoritisi yang berdiri dalam garis utama pemikiran
ini adalah Mancur Olson, 1965, dan para pengikutnya
seperti Anthony Oberschall, 1973, McCarthy dan Zald, 1977,
Gamson, 1975, Charles Tilly, 1975, Tarrow, 1982 dan lain-lain.
Walaupun semua teoritisi ini berada di bawah paradigma
mobilisasi sumber daya, namun bukan berarti semua gagasan
mereka berada dalam satu-kesatuan konstruksi pemikiran
yang sama. Oleh karena itu, pada kesempatan ini tidaklah
mungkin bagi kita untuk membahas satu persatu atau semua
pemikiran dari para teoritisi ini, namun tujuan kita hanyalah
memformulasikan perbedaan perspektif mereka, kontinuitas
gagasan yang didiskusikan, dan konstruksi pemikiran mereka
dalam kerangka paradigma mobilisasi sumber daya (resource
mobilization paradigm).
b. Paradigma mobilisasi sumber daya
(resource mobilization paradigm)
33
Sejarah Perkembangan Teori Gerakan Sosial;
Antara Kekuatan dan Kelemahannya
Bagi teoritisi mobilisasi sumber daya, tidak jadi soal
entah ketegangan struktural eksis secara obyektif atau cuma
dalam angan-angan para pengikut sebuah gerakan, entah
persepsi tentang ketegangan dan tujuan sebuah gerakan
rasional atau tidak, atau bentuk simbolis mana yang diberikan
oleh pengikut sebuah gerakan kepada ketegangan yang ada.
Namun yang menjadi pusat perhatian mereka, adalah tindakantindakan diambil umumnya lebih rasional. Oleh karena itu,
agar menjadi lebih efektif, maka tindakan-tindakan yang
diambil oleh para peserta gerakan adalah melalui organisasiorganisasi gerakan yang diciptakan secara efektif dan optimal.
Paradigma mobilisasi sumber daya (resource mobilization
paradigm) memusatkan perhatian gerakan masyarakat pada
proses sistem mobilisasi yang terorganisir secara lebih rasional
dan yang lebih canggih, baik dari segi karakteristik, modelmodel bahkan bentuk-bentuk gerakan yang diambil oleh para
konstituen sebagai anggota dari gerakan sosial baru pada
masyarakat kontemporer.
Secara umum elemen-elemen kunci dari setiap gerakan
adalah organisasi-organisasi gerakan, bukan individu-individu.
Organisasi-organisasi ini merupakan unit-unit penggerak dari
sebuah gerakan sosial. Organisasi-organisasi gerakan mencoba
menjangkau para konstituen dan menghimpun para pengikut
sebanyak mungkin.
Teori mobilisasi sumber daya membedakan berbagai
tingkat dan tipe keterlibatan orang-orang dalam sebuah
gerakan, dengan membedakan penganut (anggota tetap dan
peserta), konstituensi (sumber dari sumber-sumber daya),
dan para pencari keuntungan (beneficiaries). Kemudian para
individu perlu dimobilisasi untuk mengambil bagian di dalam
aktivitas-aktivitas yang membentuk bagian dari strategi
dan taktik sebuah organisasi gerakan. Akan tetapi, anggotaanggota yang terhimpun di dalam sebuah gerakan bukanlah
satu-satunya yang dimobilisasi. Uang, dukungan senjata,
34
Sejarah Perkembangan Teori Gerakan Sosial;
Antara Kekuatan dan Kelemahannya
sumbangan dana para elit, dukungan media dan pembentukan
opini publik yang condong mendukung gerakan tersebut, juga
merupakan sumber-sumber daya (Zald dan Ash, 1966).
Demikain juga, agar sistem mobilisasi itu dapat
dijalankan secara optimal dan dapat berhasil dengan baik maka
pergerakan dalam organisasi diperlukan seorang pemimpin,
yang oleh Zald & McCarthy disebut kaum profesional (movement
professionals). Kaum profesional ini memainkan peranan
penting dalam sebuah organisasi gerakan, karena menjelang
akhir abad kedua puluh semua masyarakat adalah masyarakat
yang bercirikan organisasi. Ciri masyarakat yang berorganisasi
adalah bahwa setiap tindakan bagi suatu perubahan sosial
menuntut keahlian teknis tingkat tinggi, khususnya dalam
mengelola sumber-sumber daya, merencanakan strategi,
menghimpun dana, melakukan tekanan (pressure) terhadap
kelompok elit dan mengadakan kontak dengan media massa
(Zald & McCarthy, 1979, 1987).
Perspektif mobilisasi sumber daya lebih dominan dibawa
ke dalam nuansa pemikiran yang bersifat instrumentalis,
sehingga hal yang mendasar dalam bangunan perspektif
ini dapat ditelisik secara historis, dalam karya Mancur
Olson, mengenai The Logic of Collective Action, (1965). Olson,
menekankan bahwa sistem logika rasionalitas tindakan kolektif
gerakan sosial dipresentasikan dalam peranan-peranan faktor
objektif tertentu sebagai kepentingan, organisasi, sumber daya,
strategi, dan kesempatan dalam setiap mobilisasi kolektif
(collective mobilization) skala besar.
Dalam konteks pemikiran itulah, apa yang signifikan
untuk dicatat bahwa perbedaan yang mendasar konsepsi
klasik ala LeBon dalam, The Crowd, (1987), yang menganggap
lelaki dan perempuan dalam bentuk tindakan kolektif crowd
sebagai irasional, dan yang lebih maju berupa konstruksi
George Rude dan E.P. Thompson tentang crowd dalam sejarah,
bahwa para aktor dalam gerakan sosial kontemporer (GSB)
35
Sejarah Perkembangan Teori Gerakan Sosial;
Antara Kekuatan dan Kelemahannya
dianggap sebagai mahluk rasional yang mampu bernalar
dan terampil mengkalkulasi keberhasilan dan kegagalan.
Kerangka arahan dari rujukan ini secara garis besarnya adalah
instrumentasi utilitarian. Utilitarianisme merembesi karya-karya
kebanyakan tokoh utama GSB, di antaranya Mancur Olson ini
sebagai seorang ekonom yang memiliki pengaruh besar dalam
paradigma ini (Rajendra Sing, 2010:135).
Sementara itu, agak sedikit berbeda dari pandangan
Olson yang membayangkan sebuah pendekatan utilitarian dan
rasionalistik murni, McCarthy dan Zald 1977, menempatkan
peranan semangat entrepreneurship organisasional dalam
mobilisasi gerakan sosial kontemporer. Demikian juga,
Oberschall 1973; Gamson 1975; C. Tilly et.al 1975; Tarrow
1982, kebanyakan dari mereka ini sulit menerima teori
kalkulus individual yang kelewat rasional dari Olson tersebut.
Sebaliknya, mereka menekankan peran kelompok-kelompok
solidaritas dengan kepentingan-kepentingan kolektif dalam
aksi-aksi kolektif.
Secara khusus, Oberschall misalnya menyadari bahwa
keberadaan variasi non konfliktual dari kolektivitaskolektivitas dalam masyarakat, merujuk pada keberadaan
‘kelompok-kelompok asosiasional’ dalam masyarakat. Kelompokkelompok asosiasional diorganisasikan untuk maksud-maksud
non konfliktual. Ada acuan kepada keberadaan kepentingan
kolektif dari Charles Tilly, insentif sosial dari Fireman dan
Gamson, dan konstituen sadar dari McCarthy dan Zald.
Para teoritisi Olsonian ini menawarkan sumber daya kepada
kelompok-kelompok aksi kolektif dan merupakan perwujudan
non utilitarian dari masyarakat.
Dalam menjelaskan gagasan sentralnya menyangkut
keberadaan kepentingan kolektif, Tilly dan rekan-rekannya
(1975) sepakat bahwa perubahan-perubahan dalam masyarakat
mempengaruhi gerakan sosial. Pergeseran utama dari struktur
kekuasaan lokal ke nasional membawa akibat kepada
36
Sejarah Perkembangan Teori Gerakan Sosial;
Antara Kekuatan dan Kelemahannya
organisasi dan bentuk gerakan sosial. Berdasarkan data
sejarah yang dikumpulkan mereka dalam The Rebellious
Century:(1830-1930), membantu memperkuat perdebatan ini
dan memberikan pembenaran bagi asumsi bahwa paradigma
rasionalistik gerakan sosial mengoperasikan pra anggapan
munculnya ekonomi kapitalistik dan negara bangsa. Mereka
menolak kegagalan tesis sosial dan menolak habis gagasan
Durkheiman dan Smelserian bahwa transformasi struktural
utama mengarah ke kekacauan sosial. Menurut mereka yang
meragukan adalah apakah diskontinuitas dengan sendirinya
melahirkan anomia dan apakah anomia dengan sendirinya
melahirkan kekacauan individual atau kolektif (Charles Tilly,
et.al, 1975:6).
Tilly dkknya, kemudian memaparkan (menggunakan
susunan data sejarah), bagaimana transformasi ekonomi,
urbanisasi dan formasi negara membangkitkan pergeseran
karakter gerakan dan aksi sosial, reorganisasi kehidupan
sehari-hari mentransformasikan karakter konflik (Charles
Tilly, et.al, 1975:86). Tilly, dkk, menggunakan frasa “repertoire
aksi” untuk merujuk bentuk spesifik, metode dan cara
ekspresi perilaku dari aksi kolektif. Ia menujukkan bagaimana
perubahan dalam kehidupan harian, dalam populasi,
lingkungan ketetanggaan; perubahan yang mengundang
migrasi dari desa ke kota, pergeseran di medan kekuasaan
dan sistem ekonomi, telah mengganti solidaritas komunal
(gemeinschaft) menjadi solidaritas asosiasional (gesselschaft).
Perubahan tertentu telah merubah medan pertemuan komunal,
dari pasar malam, festival, pasar lokal, dstnya menjadi
seruan disengaja atau undangan pertemuan dari dan oleh
oganasisasi. Dengan demikian Tilly dkk, seperti Rude (1964)
menemukan perubahan-perubahan dalam sifat mobilisasi
kolektif. Konsepsi transformasi kerumunan dari bentuk pra
industri menggambarkan perubahan repertoire aksi kolektif di
abad XVIII. Kualitas letupan aksi kolektif juga berubah, dari
37
Sejarah Perkembangan Teori Gerakan Sosial;
Antara Kekuatan dan Kelemahannya
kerusuhan soal makan, pemberontakan pajak, dan permohonan
kepada otoritas paternalistik ke repertoire aksi kolektif abad XIX
yang ditandai oleh demonstrasi dan pemogokan.
Dalam karya solonya yang berjudul, From Mobilization
to Revolution (1978), Charles Tilly mengeksplorasi bagaimana
perang terhadap pengumpulan pajak pada abad kedelapan
belas mendapat dukungan langsung dari kaum golongangolongan kaya dalam gabungan kelembagaan pada negara
nasional yang modern. Tilly menemukan bahwa, dalam negara
nasional bahwa gerakan mengambil rupa-rupa baru, dan
bentuk-bentuk perlawanan memiliki target pencapaian yang
bersifat lebih nasional, dan tidak menyerupai sebagaimana
bentuk-bentuk protes yang selalu terjadi sebelumnya. Dengan
demikian menurutnya, kerusuhan pangan atau kekuarang
bahan makan seperti roti misalnya, telah membuka jalan
bagi munculnya berbagai asosiasi yang lebih terstruktur bagi
perlawanan rakyat (Jackie Smith dan Tina Fetner, 2007:13).
Demikian, pembacaan kita terhadap para teoritisi yang
berada dalam garis pemikiran Olsonian ini, di samping variasi
internal dalam hal fokus dan detail, pada dasarnya bahwa
pandangan mereka mengedepankan sekumpulan gagasan
sentral tentang pendekatan studi gerakan dan aksi kolektif
dalam kerangka logika interaksi strategis dan kalkulasi
cost~benefit. Donatella della Porta dan Mario Diani dalam Social
Movement An Introduction, (1999), menjelaskan:
collective movements constitute an extension of the
conventional forms of political action: the actor engage in this
act in a rational way, following their interests; organizations
and movement “entrepreneurs” have an essential role in the
mobilization of collective resources on which action is founded.
Movements are therefore part of the normal political proses.
Stressing the external obstacles and incentives, numerous
pieces of research have examined the variety of resources to be
mobilized, the links which social movements have their allies,
38
Sejarah Perkembangan Teori Gerakan Sosial;
Antara Kekuatan dan Kelemahannya
the tactics used by society to control or incorporate collective
action, and its results. The basic questions which they seek
to answer relate to the evaluation of costs and benefits of
participation in social movement organizations (Donatella
della Porta dan Mario Diani, 1999:7).
Apa yang dinyatakan della Porta dan Mario Diani
tersebut di atas ingin menggarisbawahi bahwa mobilisasi
sumber daya merupakan sebuah gerakan kolektif yang sifatnya
adalah perpanjangan dari bentuk aksi politik konvensional,
di mana para aktor yang terlibat dalam gerakan bertindak
secara rasional, mengejar target dan kepentingan mereka,
gerakan “pengusaha” organisasi memiliki peran penting
dalam mobilisasi sumber daya kolektif yang dibangun dalam
tindakan. Oleh karena itu, gerakan ini dianggap sebagai bagian
dari proses politik yang normal. Gerakan yang menekankan
hambatan-hambatan eksternal dan mencari peluang-peluang
yang menguntungkan organisasi, memformulasikan berbagai
potensi sumber daya untuk dimobilisasi, perluasan jaringan
gerakan sosial pada sekutu elit mereka, dan berbagai taktik
atau strategi yang digunakan masyarakat untuk mengontrol
atau menggabungkan tindakan kolektif, beserta hasil yang
ingin dicapai. Pertanyaan-pertanyaan mendasar yang berusaha
mereka jawab adalah berhubungan dengan evaluasi biaya
dan manfaatnya partisipasi dalam organisasi gerakan sosial
tersebut.
Dalam konteks ini, aksi para anggota gerakan mobilisasi
sumber daya mengutamakan peran aktif aksi gerakan kolektif
untuk mencapai tujuan unilitarian materialistik. Oleh karena
itu, pandangan inilah yang kemudian secara tegas ditolak oleh
Fireman dan Gamson dalam karya mereka, Utilitarian Logic
in the Resource Mobilization Perspective (1979), dan juga Craig,
J. Jenkins, dalam Resource Mobilization Theory and the Study of
Social Movement, (1983). Mereka menjelaskan bahwa terjadi
dominasi yang kian dangkal dari budaya industrial modernis
39
Sejarah Perkembangan Teori Gerakan Sosial;
Antara Kekuatan dan Kelemahannya
yang menaungi benak Amerika. Lahirnya kelompok-kelompok
solider, komunitas-komunitas, kelompok informal, kekariban,
kelompok-kelompok utama dan formasi dari apa yang disebut
McCarthy dan Zald sebagai konstituen sadar, merupakan jenisjenis aksi kolektif yang tidak bisa dijelaskan dalam kerangka
utilitarian rasional dan dalam kerangka ketrampilan tindak
memilih individu-individu sebagaimana disiratkan oleh teori
mobilisasi sumber daya. (lihat Fireman, B dan W.A Gamson,
(1979) ; juga Jenkins, Craig, J, (1983). Ketiga tokoh ini kurang
begitu sependapat dengan voluntarisme yang agak berlebihan
(hyper) dari teori mobilisasi sumber daya dalam fokus
sentralnya, didasarkan pada sebuah sistem relasi sekumpulan
asumsi yang terjalin secara aksiomatis. Asumsi-asumsi itu
adalah sebagai berikut:
 Gerakan sosial harus dipahami dalam kerangka model
konflik aksi kolektif.
 Tidak ada perbedaan mendasar antara aksi-aksi kolektif
institusional dan non institusional
 Baik aksi kolektif institusional maupun non institusional
berisikan serangkain konflik kepentingan yang terbangun
dalam sistem relasi kekuasaan yang terlembagakan.
 Gerakan sosial melibatkan cita-cita rasional berbagai
kepentingan melalui kelompok-kelompok yang saling
berkompetisi.
 Tujuan dan penderitaan, konflik dan tanding, semuanya
hadir secara inheren dalam seluruh relasi kekuasaan dan
sebagai misal, antara mereka sendiri tidak bisa menjelaskan
formasi gerakan sosial.
 Oleh sebab itu formasi gerakan sosial ditentukan oleh
perubahan dalam sumber daya, organisasi dan kesempatan
untuk aksi kolektif.
 Keberhasilan dan keefektifan aksi kolektif dipahami dalam
arti keuntungan material atau aktornya dikenali sebagai
tokoh politik.
40
Sejarah Perkembangan Teori Gerakan Sosial;
Antara Kekuatan dan Kelemahannya
 Mobilisasi orang dalam gerakan sosial kontemporer
berukuran skala besar yang merupakan hasil dari teknik
komunikasi terkini, birokratisasi organisasi dan dorongan
serta insiatif utilitarian.
Konstruksi bersifat sukarela yang berlebihan (hyper
voluntaristic) teori mobilisasi sumber daya memperkenalkan
citra GSB sebagai sebuah korporasi industri multinasional
yang dijalankan oleh strukstur manajerial dengan kualifikasi
tinggi berikut etos kental mencetak profit. Ia mengisyaratkan
kemampuan bernalar dan rasional bagi para partisipannya.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa secara
umum teori aksi kolektif (collective action theory) dalam
paradigma mobilisasi sumber daya ini cenderung diperas
menjadi teori pasar dan konsumerisme. Asumsi Olson sebagai
garis utama pemikiran ini menyatakan bahwa para aktor yang
termobilisasi ke dalam aksi kolektif adalah dia yang layaknya
atom terurai terpisah sendiri-sendiri dan pada umumnya tak
terorganisir, jadinya layak dipertanyakan. Akan tetapi, pada
kenyataannya, bahwa individu-individu telah siap hidup dan
beraksi dalam kelompok-kelompok solider (Rajendra Sing,
2010:135). Oleh karena itu menurut Rajendra Singh, gagasan
pemikiran neo Olsonian ini seperti Anthony Oberschall,
Charles Tilly, Fireman dan Gamson, McCarthy dan Zald, pada
akhirnya tidak menyelamatkan model penjelasan rasionalistik
radikal dari Olson, sehingga perspektif teoritisi ini masih
dianggap tergolong dalam kelompok paradigma mobilisasi
sumber daya ( Rajendra Singh, 2010:137).
Kekuatan perspektif
 Paradigma ini lebih mampu menunjukkan bentuk-bentuk,
tipe-tipe, model dan karakteristik gerakan sosial baru pada
masyarakat kontemporer yang dimobilisasi secara lebih
terorganisir secara lebih rasional.
 Paradigma ini menunjukkan bahwa studi gerakan sosial
41
Sejarah Perkembangan Teori Gerakan Sosial;
Antara Kekuatan dan Kelemahannya
paling tepat dapat dimengerti dalam hubungannya dengan
organisasi dan perilaku organisatoris.
 Paradigma mobilisasi sumber daya apabila dibandingkan
dengan paradigma ketegangan struktural lebih mampu
memahami dinamika masyarakat yang semakin berubah
sebagai masyarakat yang semakin terorganisir secara
formal.
 Paradigma ini mampu menunjukkan bahwa agar suatu
gerakan itu dapat berhasil dengan baik, maka diperlukan
sebuah upaya mobilisasi. Sistem mobilisasi dapat dijalankan
secara optimal, dan dapat berhasil maka pergerakan dalam
organisasi diperlukan seorang pemimpin, yang oleh Zald &
McCarthy disebut kaum profesional (movement professionals).
Kaum profesional ini memainkan peran penting dalam
sebuah organisasi gerakan, karena menjelang akhir abad
kedua puluh semua masyarakat adalah masyarakat yang
bercirikan organisasi (Zald & McCarthy, 1987:35).
 Kekuatan paradigma ini juga muncul dari gagasan Tilly
dan rekan-rekannya (1975) yang menilai bahwa perubahanperubahan dalam masyarakat mempengaruhi gerakan
sosial. Pergeseran utama dari struktur kekuasaan lokal ke
nasional membawa akibat kepada organisasi dan bentuk
gerakan sosial.
Kelemahan perspektif
 Paradigma ini menempatkan aksi kolektif (collective action)
cenderung diperas menjadi teori pasar dan konsumerisme.
Misalnya asumsi Olson tentang The Logic of Collective Action
1965, menjelaskan bahwa para aktor yang termobilisasi
ke dalam aksi kolektif adalah dia yang layaknya atom
terurai terpisah sendiri-sendiri dan pada umumnya tak
terorganisir, jadinya layak dipertanyakan. Pandangan
Olson ini mengandung kelemahan, ternyata pada
kenyataan hidup sehari-hari individu-individu telah siap
hidup dan beraksi dalam kelompok-kelompok solider.
 Paradigma ini menempatkan para individu yang
42
Sejarah Perkembangan Teori Gerakan Sosial;
Antara Kekuatan dan Kelemahannya
mengambil tindakan dalam gerakan sosial sebagai makhluk
yang memiliki motivasi instrumental utilitarian, makhluk
yang lebih rasional yang mampu bernalar dan terampil
mengkalkulasi keberhasilan dan kegagalan. Gerakan
senantiasa ekspresi kalkulasi strategis terhadap musuhmusuh, ia menggerakkan sesuatu yang lain.
 Paradigma ini memiliki kekurangan yang mendasar, di
mana aksi dan tindakan yang diambil dalam sebuah gerakan
lebih dipengaruhi oleh motivasi materialisai diri yaitu
sumber daya ekonomi. Tujuan dari aksi yang dilakukan
hanya dipandang untuk mengejar target material pada
distribusi sumber daya. Dalam konteks ini, para individu
yang berperan dalam sebuah aksi gerakan, hanyalah para
partisipan gerakan yang bermotifkan materialisasi diri
dengan tujuan memobilisasi berbagai sumber daya yang
dipertaruhkan dalam kelompok sosial.
 Kelemahan paradigma ini menempatkan sasaran yang
dicapai hanyalah mengejar target politik yang diharapkan
untuk diperjuangkan. Namun motif yang lebih dari itu,
telah diabaikan, sehingga para anggota gerakan adalah
mahluk-mahluk ekonom (socios economiculus) kalkulus
hedonistik yang deterministik maupun voluntaristik.
 Seacara umum kelemahan dalam paradigma ini, bahwa
teori aksi kolektif (collective action) cenderung diperas
menjadi teori pasar dan konsumerisme.
Paradigma berorientasi
identitas, lebih menekankan
basis perspektif mereka pada peranan identitas yang melandasi semangat individu dalam suatu gerakan. Berbeda
dengan paradigma mobilisasi sumber daya yang umumnya
dirumuskan dan dipraktikkan oleh para akademisi Amerika,
maka teori berorientasi identitas lahir dan muncul di Eropa.
c. Paradigma berorientasi identitas
Para teoritisi yang berada di dalam garis utama pemikiran
ini adalah Pizzorno, (1978,1985), kemudian seorang akademisi
43
Sejarah Perkembangan Teori Gerakan Sosial;
Antara Kekuatan dan Kelemahannya
model identitas murni yaitu Jean Cohen, (1985), termasuk juga
kalangan akademisi post~Marxis seperti Laclau dan Mouffe,
(1985), hingga ke warna baru pemikiran tentang GSB dalam
sentralitas perspektif postmodern yakni Alain Touraine,
(1981, 1985, 1987). Dengan banyaknya para teoritisi yang
bermunculan belakangan, pada paradirgma model identitas,
tentu melahirkan pula beragam pandangan, namun yang kita
fokuskan pada pembahasan ini hanyalah berupaya merenung
ulang tema diskusi model identitas, perkembangan teoritik
kemudian, kekuatan serta kelemahan yang didiskusikan oleh
para akademisi model ini dalam konstruksi gerakan sosial
kontemporer.
Sebagai perbandingan secara umum, paradigma
mobilisasi sumber daya yang sentralitas pemikirannya
terletak pada rasionalisme dan materialisme, maka paradigma
berorientasi identitas memusatkan perhatian mereka pada
fenomena gerakan yang cenderung bersifat non materialistik,
namun lebih pada perilaku yang ekspresif. Karenanya, maka
dalam konteks pemikiran ini, paradigma berorientasi identitas
mengajukan asumsi dan mengurai pokok pertanyaan mendasar
seputar pada masalah integrasi dan solidaritas. Gerakan
menurutnya, tidak senantiasa ekspresi kalkulasi strategis
terhadap musuh-musuh, ia menggerakkan sesuatu yang lain.
Demikian juga para anggotanya dilihat sebagai
makhluk subyektif. Walaupun paradigma model identitas
mempertanyakan masalah integrasi dan solidaritas, teori ini
tidak menemukan relevansi konsep Durkheimian tentang
anomia, dan kegagalan ataupun pengertian Smelserian tentang
tegangan, konsleting, keyakinan tergeneralisir dan seterusnya
untuk menjelaskan perilaku kolektif. Penyimpangan sosial
sebagaimana disiratkan oleh istilah anomia atau kegagalan
sosial, nyaris tidak menawarkan sebuah jendela pada berbagai
dimensi gerakan sosial (Rajendra Singh, 2001:145).
Paradigma berorientasi identitas, mencoba kembali
44
Sejarah Perkembangan Teori Gerakan Sosial;
Antara Kekuatan dan Kelemahannya
memahami tampilan-tampilan dan formasi-formasi gerakan
sosial baru (GSB) yang terjadi pada dinamika masyarakat
kontemporer. Tampilan wajah dan formasi gerakan GSB dapat
ditemukan dalam gerakan ekologi (environmentalism) gerakan
feminisme, perdamaian dan mobilisasi akar rumput, melintasi
gagasan kelas dan memotong batas pengkondisian material.
Menurut paradigma identitas, para partisipan
menegaskan aksi-aksi mereka bukan dalam kerangka menjadi
pengemban nilai-nilai buruh, melainkan sebagai manusia
secara keseluruhan. Ada kesepakatan umum bahwa gerakan
berorientasi identitas dan aksi kolektif (collective action) adalah
ekspresi pencarian manusia terhadap identitas, otonomi
dan pengakuan. Betapa pun terdapat perbedaan pemikiran
di kalangan pendukung paradigma ini, misalnya analisis
Pizzorno dalam Political Exchange and Collective Identity in
Industrial Conflict (1978), mengatakan bahwa logika formasi
identitas kolektif melibatkan partisipasi langsung para aktor
dalam aksi kolektif. Menurutnya, identitas tidak bisa dibentuk
melalui partisipasi tak langsung, delegasi atau perwakilan,
melainkan produksi identitas melibatkan interaksi kolektif itu
sendiri (Pizzorno, 1978:96).
Dalam melihat produksi identitas secara langsung
dalam kegiatan aksi yang dilakukan, Pizzorno menilai bahwa
logika aksi kolektif sebagai ekspresi. Para aktor sosial dalam
GSB mencari identitas dan pengakuan melalui aksi ekspresif,
melalui tuntutan universalistik dan tak dapat ditawar.
Semuanya itu harus dijalani melalui partisipasi langsung
berarti pada rentang yang sama para aktor tersebut sudah
membangun dan mengakui kolektivitas (seperti perserikatan
dan partai-partai politik) dan secara umum menghampiri
penggunaan rasionalitas instrumental strategis (sebagaimana
diajukan oleh paradigma mobilisasi sumber daya sebelumnya).
Partisipasi langsung para aktor pada rentang yang sama
mengakui kolektivitas berarti hasilnya tuntutan mereka bisa
45
Sejarah Perkembangan Teori Gerakan Sosial;
Antara Kekuatan dan Kelemahannya
dinegosiasikan dan karakter partisipasinya jadi terwakilkan
dan lebih representasional.
Pada kesempatan lain, Jean Cohen dalam Class and
Society: The Limits of Marxian Critical Theory (1985), memberikan
pandangan yang agak sedikit berbeda menyangkut ciri
mendasar GSB yang tidak bersandar pada fakta bahwa aksi
mereka ekspresif dan bahwa mereka menyatakan identitas
mereka. Sebaliknya ia bersandar lebih pada kesadaran mereka
akan kapasitas diri untuk menciptakan identitas dan relasi
kekuasaan yang terlibat dalam penciptaan mereka (Jean
Cohen, 1985:694). Asumsi inilah yang kemudian menjadi
sumber perdebatan penting antara Pizzorno dan Jean Cohen,
terutama penilaian mereka tentang aksi gerakan sosial GSB,
apakah ekspresif dan sebagai ruang untuk menyatakan
identitas kolektif yang melakukan gerakan? Menurut Cohen
pada dasarnya aksi gerakan sosial (GSB) tidak bersandar pada
aksi yang ekspresif serta peryataan identitas kelompok yang
melakukan aksi gerakan sosial itu, melainkan bersandar pada
kesadaran mereka akan kapasitas untuk menciptakan identitas.
Demikian juga menurutnya, para aktor kolektif
kontemporer menilai, penciptaan identitas melibatkan daya
tanding soal seputar penafsiran kembali norma-norma,
penciptaan makna-makna baru, dan sebuah tantangan untuk
konstruksi sosial dari batas-batas antara aksi publik, privat
dan domain politis. Oleh karena itu, apabila melihat dari
perspektif ini, bahwa model identitas murni Pizzorno tentang
aksi kolektif tampak terlampau menyandera dan terlalu
sempit rentangannya, cakupannya dan kemampuannya untuk
menjelas gerakan sosial baru (GSB) pada konteks masyarakat
kontemporer.
Selanjutnya pandangan yang agak sedikit lebih terbuka
tentang GSB, muncul dari salah seorang sosiolog Perancis yakni
Alain Touraine. Dalam menilai GSB masyarakat kontemporer,
Touraine berpendapat bahwa unsur pokok dari gerakan sosial
adalah aksi (action), yaitu sebuah aksi melawan sistem sosial.
46
Sejarah Perkembangan Teori Gerakan Sosial;
Antara Kekuatan dan Kelemahannya
Ambisi Touraine, khususnya dalam karya-karya terakhirnya,
adalah menunjukkan bagaimana penekanan terhadap aksi
semacam ini tidak harus membawa ke voluntarisme dan
individualisme. Baik voluntarisme maupun individualisme
tidak memberikan wawasan ke dalam subjek aksi (John Lechte,
1994:299).
Dalam menilai GSB, Touraine menekankan pentingnya
tindakan sosial, bahwa aksi yang dilakukan individu-individu
dalam bentuk gerakan sosial merupakan suatu upaya untuk
memproduksi dan mentransformasi struktur dan tatanan
sosial yang ada. Dan aksi sosial dalam gerakan sosial ini dilihat
sebagai tindakan yang normal menuju pada satu perubahan
yang diharap oleh masyarakat. Dalam tulisanya, The Self
Production of Society (1973), Touraine menyatakan bahwa
masyarakat itu bukan apa-apa selain dari tindakan sosial,
karena tatanan sosial itu tidak memiliki jaminan metasosial
demi eksistensinya (A.Touraine, 1973:2).
Konsep Touraine tentang gerakan sosial, secara umum
tidak seperti perilaku kolektif yang selalu reaktif, suatu gerakan
sosial adalah suatu kekuatan yang aktif. Pada umumnya
gerakan sosial berjuang untuk mengendalikan historisitas.
Historisitas menunjuk ke bentuk-bentuk kultural umum dan
struktur kehidupan sosial. Jika istilah masyarakat menunjuk
ke integrasi sosial, maka gerakan sosial menyarankan adanya
tindakan konflik yang menentang integrasi sosial yang sudah
ada. Tantangan terhadap integrasi sosial yang sudah ada
ini tidak selalu sama dengan suatu krisis masyarakat dan
runtuhnya organisasi sosial. Oleh sebab itu, perubahan yang
diakibatkan oleh tindakan sosial tidak boleh dilihat sebagai
yang bersifat patologis atau yang bersifat disfungsional dalam
pengertian Parsons.
Apabila dipahami lebih jauh analisis Touraine tentang
GSB masyarakat kontemporer, maka harus dipahami dalam
kerangka penghubung antara pemahaman diri dengan ideologi47
Sejarah Perkembangan Teori Gerakan Sosial;
Antara Kekuatan dan Kelemahannya
ideologi yang berkuasa di tengah masyarakat kontemporer dan
gerakan sosial. Guna memeriksa penghubung tertentu antar
dua elemen dalam analisanya, Touraine mengembangkan
penyidikannya dalam tiga tingkatan, yaitu: pertama; sebuah
elaborasi representasi sosial, struktural dan kultural masyarakat
kontemporer, Kedua; sebuah penafsiran konflik dan tegangan
yang terlibat alam proses pencarian identitas manusia dan
analisanya dalam kerangka rujukan orientasi aksi, Ketiga;
Touraine menyadari pentingnya kesadaran individual sebagai
ciri spesifik mahluk hidup (Rajendra Singh, 2001:148).
Pandangan Touraine dalam The Voice and the Eye, (1981),
mendefinisikan gerakan sosial sebagai interaksi berorientasi
normatif antara musuh atau saingan, berikut penafsiran
yang sarat konflik dengan model kemasyarakatan yang
berlawanan dari sebuah medan budaya bersama (A.Touraine,
1981:32). Dalam konteks ini, Touraine melakukan suatu upaya
transposisi analisis GSB dari wilayah model identitas murni
ala Pizzorno di atas, ke ruang sosial masyarakat sipil. Oleh
karena itu, apabila mengikuti pandangan Touraine ini, orang
jadi bisa melihat pemaknaan yang berbahaya (terutama oleh
model identitas murni Pizzorno) dalam pengertian tumbuhnya
tuntutan kelompok-kelompok kebangkitan komunal, sektarian,
etnis dan fundamentalis dalam pencarian identitas, otonomi
dan pengakuan mereka.
Dalam pandangan Touraine, orang mencatat supaya
sadar untuk memberikan sebuah kerangka sosiologis untuk
mengkaji gerakan. Dalam tulisan kecilnya yang berjudul, Social
Movements: Participation and Protests (1987), ia menyatakan
bahwa upaya semacam ini menjadi mungkin hanya jika konsepsi
gerakan disituasikan tidak dalam kategori psikologisasi murni
tentang identitas (Pizzorno) atau dalam rasionalitas pencapaian
tujuan utilitarian seperti yang ditampilkan teori mobilisasi
sumber daya Olsonian~Oberschall, melainkan pada pusat dari
suatu wilayah yang tumpang tindih antara inovasi kultural dan
48
Sejarah Perkembangan Teori Gerakan Sosial;
Antara Kekuatan dan Kelemahannya
konflik sosial (A.Touraine, 1987:219). Gagasan Touraine yang
ia sebut berkali-kali tentang sentralitas gerakan sosial baru,
konflik sentral dan prinsip sentral analisa mendekatkannya
pada konsep metodologis Max Weber mengenai tipe ideal.
Dengan melacak lokasi sentralitas konflik sosial,
Touraine bertujuan bukan hanya memberikan sebuah
pemahaman sosiologis tentang gerakan sosial, melainkan juga
mengembangkan tipologi gerakan. Representasi masyarakat
yang terkait dengan semacam sentralitas konflik sosial yang
khusus dan konflik ini, pada gilirannya, menghasilkan tipologi
jenis ideal dari gerakan sosial. Itulah sebabnya Touraine
memperlakukan gerakan sosial sebagai agen sosial yang
didefinisikan oleh relasi yang sarat konflik (Touraine,dkk.
1987:XV). Dan agensi dari agen, pada gilirannya, tampak
mendefinisikan representasi sosial dan kultural masyarakat.
Merenungkan sifat GSB, ia memperkenalkan sebuah versi
filsafat dari gerakan sebagai sebuah agen dalam sejarah dan
kepada agen ini, ia memberikan peran suatu capital subjecthood.
Pada kesempatan lain, Touraine, menilai bahwa
gerakan sosial mesti dipahami sebagai suatu tipe khusus dari
konflik sosial. Banyak macam perilaku kolektif seperti; panic,
craze, fashion, current opinion dan inovasi kultural, yang tidak
tergolong konflik. Sebuah konflik punya andaian awal sebuah
definisi jernih tentang aktor-aktor yang bertentangan atau
bersaing serta sumber daya yang mereka perebutkan. Konflik
harus dimaknai melalui taruhan yang dianggap bernilai dan
dihasratkan oleh dua atau lebih pihak yang bertentangan.
Semua konflik demikian, Touraine memiliki: a). Sekumpulan
aktor terorganisir b). Taruhan nilai atau yang dihasratkan, c).
pergumulan dan kompetisi antar pihak yang bermusuhan
untuk mencapai apa yang dipertaruhkan tersebut (Alain
Touraine, 1985:750).
Di dalam struktur luas paradigma konflik ini, perlu
untuk memilah berbagai jenis konflik sosial, sebagaimana yang
Touraine rumuskan sebagai berikut:
49
Sejarah Perkembangan Teori Gerakan Sosial;
Antara Kekuatan dan Kelemahannya
 Pengejaran kepentingan kolektif secara kompetitif.
 Konflik jenis ini dimaknai sebagai ekspresi dari relasi antara
input dan output para aktor di dalam sebuah organisasi,
atau ekspresi dari perampasan relatif yang mereka alami.
 Rekonstruksi identitas sosial, budaya atau politis.
 Di sini lawan didefinisikan sebagai orang asing atau
penyerbu ketimbang sebagai kelas atas atau elit kekuasaan.
Para aktornya memaknai diri mereka sebagai sebuah
komunitas yang nilai-nilai telah diserang. Konflik ini
berpusar pada konsepsi mempertahankan komunitas.
Banyak gerakan kontemporer di India seperti Shiv Sena di
Maharashtra, Jharkhand di Bihar, Gorkhaland di Bengal dan
Uttarakhand di Uttar Pradesh, merupakan atau dapat dilihat
sebagai contoh ekspresi perilaku konflik dari Touraine.
 Kekuatan politik. Menurut Touraine, konflik ini bertujuan
untuk melakukan perubahan aturan main, dan bukan
hanya keuntungan relatif dalam sebuah sistem yang given.
 Mempertahankan status dan hak istimewa (privilege).
Konflik jenis ini menjelaskan cara sebuah kelompok
kepentingan berupaya mempertahankan kepentingannya
dengan atas nama kepentingan nasional dari kelompok
kepentingan tersebut.
 Kontrol sosial arus kebudayaan utama. Touraine
menangkap pola-pola kebudayaan dalam tiga jenis, yaitu;
sebuah model pengetahuan, semacam investasi dan
prinsip-prinsip etis.
 Penciptaan sebuah tatanan baru (Alain Touraine, 1985:750).
Konsepsi Tourine tentang gerakan secara umum dan
khususnya tentang gerakan sosial baru, melekat dengan
perpektif makro sosiologis memandang tipe masyarakat,
seperti tampak dalam konsepsi masyarakat agraris dan
masyarakat industri. Setiap jenis kemasyarakatan tertentu
berkorespondensi dengan sebentuk spesifik representasi sejenis
sosial dan budaya. Menurutnya, ada enam pokok konsepsinya
50
Sejarah Perkembangan Teori Gerakan Sosial;
Antara Kekuatan dan Kelemahannya
tentang gerakan sosial baru adalah sebagai berikut:
 Konsepsi gerakan sosial berkorespondensi dengan
konsepsi jenis masyarakat spesifik. Dengan demikian
misalnya gerakan buruh kebanyakan berkorespondensi
dengan masyarakat industri. Touraine menyerang konsepsi
spesifik bahwa gerakan sosial baru adalah minoritas di
tengah gerakan sosial. Ia mendefinisikan gerakan sosial
baru melalui keberagamanan dan pluralismenya. Ia juga
menyerang kritik, bahwa seluruh model kehidupan dan
aksi kolektif bisa dihargai dan satu-satunya nilai tertinggi
adalah individualisme. Touraine menekankan bahwa
gerakan sosial baru harus dilihat dalam hubungannya
dengan konsepsi representasi baru masyarakat.
 Seluruh gerakan sosial dimasa lalu adalah terbatas,
sebagaimana kapasitas masyarakat untuk memproduksi
dirinya yang juga terbatas. Jaminan metasosial tatanan
sosial menempatkan sebuah batas pada pengalaman
historis dan pada pengembangan sebuah defenisi baru sifat
manusia. Semua gerakan sosial masa lalu mendefinisikan
pertaruhan dan musuh-musuh mereka dalam kerangka
prinsip-prinsip meta sosial seperti hukum ilahiah, hukum
alam, evolusi, termasuk gagasan modernitas.
 Touraine menilai bentuk-bentuk transformasi sosial ini
menancapkan dua jenis rintangan dihadapan cara formasi
gerakan sosial, yaitu; penghapusan batas-batas metasosial
yang menyediakan prinsip kesatuan positif atau negatif
bagi aksi kolektif di masa lalu. Dan periode sekularisasi
dramatis yang disertai dengan lepas landas ekonomi dan
penguraiannya yang cepat menjadi konsumerisme yang
berkorespondensi dengan sebuah bentuk spesifik jenis
kemasyarakatan yang memungkinkan gerakan sosial baru
masuk ke panggung sosial.
 Gerakan sosial masa lalu (lama) berada dalam jalinan
prinsip-prinsip metasosial dan ia menggunakan itu guna
menentang dominasi tradisi, sehingga gerakan sosial baru
51
Sejarah Perkembangan Teori Gerakan Sosial;
Antara Kekuatan dan Kelemahannya
kurang berwatak sosio-politis dan lebih berwatak sosiokultural.
 Kondisi utama bagi gerakan sosial baru untuk mengambil
bentuk adalah kesadarannya memasuki jenis baru
kehidupan sosial. Meluruhnya masyarakat industri,
rontoknya reperesentasi kutural masyarakat industri
dan dimulainya masyarakat post industri, merupakan
pengantar bagi proses penjadian gerakan sosial baru.
Revolusi elektronik, produksi teknologis simbol-simbol
kultural, pemrosesan informasi berikut distribusi globalnya,
mengisahkan kepada kita bahwa sebuah masyarakat baru
tengah menuju bentuknya. Dalam paradigma Touraine,
masyarakat baru ini, dalam waktu bersamaan dicirikan
oleh bentuk-bentuk baru konflik sosial dan inilah yang
disongsong oleh gerakan sosial baru (Alain Touraine,
1985:777).
Kekuatan perspektif
 Secara umum bahwa paradigma ini lebih memadai dalam
upaya menjelaskan beberapa ekspresi kuat GSB masyarakat
kontemporer yang semakin berubah secara ekspresif seperti
fenomena gerakan feminis, aktivis dan pejuang lingkungan
hidup (environmentalism), gerakan perdamaian, pelucutan
senjata dan gerakan otonomi lokal.
 Eskpresi formasi GSB dalam konteks gerakan di atas telah
melintasi gagasan kelas dan memotong batas pengkondisian
material yang ada.
 Paradigma berorientasi identitas ini memiliki pandangan
baru soal GSB, hampir semua teoritisi aliran ini memusatkan
perhatian dan tidak setuju pada fenomena gerakan yang
cenderung bersifat materialistik murni, namun lebih
pada perilaku yang ekspresif. Gerakan menurut menurut
mereka, tidak senantiasa ekspresi kalkulasi strategis
terhadap musuh-musuh, ia menggerakkan sesuatu yang
lain.
 Secara substantif, bahwa paradigma ini dalam konteks GSB
52
Sejarah Perkembangan Teori Gerakan Sosial;
Antara Kekuatan dan Kelemahannya
lebih maju dalam menempatkan peranan dan posisi aktoraktor kolektif kontemporer yang secara sadar berjuang
melawan kekuasaan untuk secara sosial membangun
identitas baru, untuk menciptakan ruang demokratis bagi
aksi sosial yang lebih otonom.
 Perspektif ini jauh berbeda dari perspektif mobilisasi
sumber daya yang menekankan model neo utilitarian dan
bersifat volutarisme berlebihan (hyper voluntaristic).
 Paradigma ini secara khusus menempatkan posisi
individu-individu dalam gerakan sosial baru (GSB) sebagai
kolektivitas yang otonom, makhluk-makhluk sosial yang
bebas di dalam mentransformasikan identitas dan mencari
makna baru bagi identitas mereka. Pembangunan dunia
baru bagi makna individualitas sebagai manusia yang
subjektif dan menentang tatanan dan sistem kehidupan
(struktur) serta ideologi-ideologi yang menjadikan mereka
sebagai mahkluk yang terfragmentasi dalam ruang
kehidupan masa kini yang sermakin tidak menentu.
Kelemahan perspektif
 Paradigma berorientasi identitas secara khusus analisis
Pizzorno dalam Political Exchange and Collective Identity
in Industrial Conflict (1978), mengatakan bahwa logika
formasi identitas kolektif melibatkan partisipasi langsung
para aktor dalam aksi kolektif. Menurutnya, identitas tidak
bisa dibentuk melalui partisipasi tak langsung, delegasi
atau perwakilan, melainkan produksi identitas melibatkan
interaksi kolektif itu sendiri. (Pizzorno, 1978:96). Dalam
melihat produksi identitas secara langsung dalam kegiatan
aksi yang dilakukan, Pizzorno menilai bahwa logika aksi
kolektif sebagai ekspresi. Para aktor sosial dalam GSB
mencari identitas dan pengakuan melalui aksi ekspresif,
melalui tuntutan universalistik dan tak dapat ditawar.
Semuanya itu harus dijalani melalui partisipasi langsung,
berarti pada rentang yang sama para aktor tersebut
53
Sejarah Perkembangan Teori Gerakan Sosial;
Antara Kekuatan dan Kelemahannya
sudah membangun dan mengakui kolektivitas (seperti
perserikatan dan partai-partai politik) dan secara umum
menghampiri penggunaan rasionalitas instrumental
strategis (sebagaimana diajukan oleh paradigma mobilisasi
sumber daya sebelumnya). Partisipasi langsung para aktor
pada rentang yang sama mengakui kolektivitas berarti
hasilnya tuntutan mereka bisa dinegosiasikan dan karakter
partisipasinya jadi terwakilkan dan lebih representasional.
Betapapun, disitulah Pizzorno membuat kesalahan.
Begitu identitas aktor-aktor kolektif baru itu diakui, aksi
ekspresif mereka bisa ditransformasikan menjadi aksi
instrumental. Ini kasus pelembagaan mobilitas kolektif.
Dengan demikian, aksi kolektif ekspresif dari Pizzorno
tidak terlalu berbeda dengan aksi ekspresif mob, rable, dan
crowd klasik dari mazhab crowd psikologi sosial seperti Le
Bon dan konstruksi neoklasik tentang crowd in history seperti
tulisan George Rude dan E.P Thompson sebelumnya.
 Paradigma berorientasi identitas khususnya model teori
identitas Touraine, sebagai sebuah paradigma yang
lebih komunikatif namun terlampau makro, kadangkala
cenderung menjadi abstrak, rumit dan mengulang-ulang.
Dan teorinya tentang tindakan kolektif (collective action)
dalam gerakan sosial kontemporer (GSB) belum terlalu
menyentuh pada unit analisis level mikro.
54
Sejarah Perkembangan Teori Gerakan Sosial;
Antara Kekuatan dan Kelemahannya
III
Kesimpulan
Ciri khas paling mendasar
dalam tradisi klasik dan neoklasik
adalah bahwa sebagian besar studi dalam perilaku kolektif
(collective behavior), dipahami dalam bingkai konseptualisasi
teoritik (frame of logic) analisis pada fenomena perilaku
kerumunan (crowd). Crowd merupakan kolektivitas yang
irasional, liar, haus darah yang muncul dalam berbagai aksi
atau tindakan; kerusuhan (revolts) huru-hara (mob), keributan
dan kerisauan (riots) hingga kepada pemberontakan (rebels).
Konseptualisasi pemikiran itu ditemukan dalam karya para
psikolog sosial klasik seperti, Gustav LeBon, The Crowd, (1987),
Gabriel Tarde, The Laws of Imitation, (1903), karya William
Mac Dougall, The Group Mind (1920), karya E.D. Martin, The
Behaviour of Crowd (1929).
Para peneliti perspektif ini mengajukan pertanyaan
mendasar, mengapa dan bagaimana individu-individu
menggabungkan diri dalam sebuah gerakan, dan pada
ciri-ciri yang khas yang membedakan individu-individu
yang terlibat pada sebuah gerakan dari mereka yang tidak
terlibat. Kekuatan-kekuatan kultural menjadi riil dan dapat
diteliti secara empiris takkala mereka dialih bentukan ke
dalam motivasi, predisposisi, dan kecendrungan pribadi. Konsep
mengenai kepribadian, merupakan cara yang bermanfaat dan
sahih guna memperlihatkan konsistensi di dalam motivasi,
perilaku, keyakinan, dan predisposisi individu. Konsistensi ini
kemudian tetap terus bertahan lintas waktu dan lintas peranperan sosial.
Demikian juga persoalan yang menyangkut ideologi
sebagai yang menjadi keyakinan para peserta terlibat dalam
sebuah gerakan yakni sistem kepercayaan yang dibangun,
dipahami bersifat sekunder, dan elemen yang terdeterminasi
ketimbang elemen penentu. Dalam konteks ini, keyakinankeyakinan para individu dibentuk oleh kepribadian, yakni
55
Sejarah Perkembangan Teori Gerakan Sosial;
Antara Kekuatan dan Kelemahannya
oleh kecendrungan-kecendrungan psikologis mereka, atau
juga oleh tekanan-tekanan mikro informal (informal micro~
pressures) di dalam lingkungan hidup pribadi para individu
saat itu. Menurut Robert Mirsel, dalam teori psikologi sosial
(social~psikologycal theory), di mana perilaku-perilaku yang
diperlihatkan oleh para individu sebagai anggota suatu
gerakan semacam itu, merupakan kunci pokok bagi studi
mengenai keyakinan dan bukannya ide-ide mengenai sistem
kepercayaan sebagai sebuah sistem pemikiran yang abstrak
(Robert Mirsel, 2004:32).
Pada kesempatan lain, teori perkumpulan massal (mass
society theory) memahami bahwa aksi-aksi kolektif disebabkan
oleh karena para individu disingkirkan dari kelompokkelompok sosial yang tetap dan membuatnya lebih rentan
terhadap aksi-aksi protes atau pengaduan-pengaduan di
dalam sebuah gerakan kemasyarakatan. Analisis berfokus
pada penelitian bagaimana kondisi-kondisi individu seperti
keterasingan (alienasi) dan kondisi-kondisi kultural seperti
ketakberaturan (anomie) berhubungan dengan lahirnya sebuah
gerakan sosial. Perkumpulan massal melahirkan gerakangerakan kemasyarakatan, yakni bahwa gerakan-gerakan ini
dipandang sebagai jawaban terhadap hilangnya jangkarjangkar tradisional, karena para individu yang terlepas dari
komunitasnya yang mapan kemudian mencari bentuk-bentuk
komitmen bersama yang baru.
Selanjutnya teori tingkahlaku kolektif (collective
behavior theory), memandang fenomena-fenomena kelompok
yang panik (panic groups), kelompok histeris (hysterias) dan
kelompok yang tingkahlakunya dengan cepat sekali berubahubah (fads), dan tingkahlaku kerumunan (crowd behavior)
berhubungan erat dengan pembentukan gerakan sosial dan
kemungkinan besar mewakili tahap-tahap awal pembentukan
sebuah gerakan yang kemudian meluas dan menetap dalam
satu gerakan. Kerumunan dan gerombolan dalam skala kecil
56
Sejarah Perkembangan Teori Gerakan Sosial;
Antara Kekuatan dan Kelemahannya
menghasilkan apa yang dilakukan oleh perkumpulan massal
(mass society) pada skala yang lebih luas. Mereka memisahkan
individu dari keterikatan dengan kelompok-kelompok primer
seperti keluarga, hubungan sekunder yang stabil (seperti
persekutuan-persekutuan berdasarkan tempat tinggal dan
serikat-serikat dagang). Mereka juga memisahkan individu
dari hal-hal rutin biasa, termasuk dari tingkahlaku politik yang
konvensional. Dengan ini para individu tersebut lebih mudah
menerima tekanan (pressure) yang irasional. Kondisi-kondisi
perkumpulan massal pada gilirannya membuat individu lebih
gampang menerima tekanan-tekanan guna mengambil bagian
dalam tingkahlaku kolektif (collective behavior).
Para psikolog sosial biasanya membagi kegaduhan ke
dalam tipe pasif dan aktif. Tipe pasif merujuk pada kelompok
penonton dipinggir jalan, para penonton pasif yang berkumpul
karena keingintahuan untuk menyaksikan berbagai peristiwa
yang tidak biasanya, baik pemandangan atau suaranya.
Meskipun crowd pasif memiliki kecendrungan bisa berubah
menjadi crowd aktif, maka crowd aktiflah yang perilakuperilakunya menjadi perhatian dalam studi gerakan sosial
dan tindakan kolektif (Rajendra Singh, 2010:114). Demikian
juga, potensi crowd aktif inilah yang terkadang mengambil
kesan stereotipe seperti nampak dalam wajah tindakan
huru-hara (mob) dan kerusuhan rakyat (unruly rabble), atau
kerusuhan rakyat yang melanggar hukum (lawless furios rabble)
yang berbentuk kolektifitas massa haus darah yang saling
bermusuhan atau sekelompok para perusuh yang memberontak
dan agitasi pemogok serta para pemrotes di jalan-jalan.
Dalam psikologi sosial klasik, huru-hara (mob), kerusuhan
rakyat (unruly rabble), atau kerusuhan rakyat yang melanggar
hukum (lawless furios rabble) yang berbentuk kolektifitas massa
haus darah yang saling bermusuhan biasanya, didefinisikan
sebagai perasaan gaduh dan kesatuan mental. Gustave LeBon
menjuluki jenis kegaduhan ini sebagai plin-plan (fickle) dan
57
Sejarah Perkembangan Teori Gerakan Sosial;
Antara Kekuatan dan Kelemahannya
menghubungkannya sebagai sejenis perilaku semborono yang
irasional (Gustave LeBon, 1909:133).
Dalam kebanyakan formulasi seperti dalam studi
Gustave LeBon dan kawan-kawannya di atas, siapa pun bisa
membuktikan penekanan yang rentan terhadap crowd. Menurut
James M. Jasper, dalam Cultural Approaches in the Sociology of
Social Movements (2007), dalam visi yang lain, orang-orang
tertentu secara khusus terbuka pada gerakan emosi yang kuat
pada crowd (James M. Jasper, 2007:58;bab 3). Misalnya contoh
yang dijelaskan Eric Hoffer dalam The True Believer (1993),yakni
gambaran seorang fanatik yang putus asa yang diperlukannya
untuk percaya pada sesuatu, tidak peduli apa itu sesuatu
yang mengisolasikannya dari sosial. Para pengikut sejati dan
setia, sang pemeluk yang teguh, para pengikut yang fanatik
(true believer) memunculkan gerakan-gerakan yang didorong
oleh dorongan batin bersama untuk melakukan suatu gerakan
(Eric Hoffer, 1993:25). Hoffer menilai bahwa orang-orang
yang kurang memiliki identitas stabil dan frustrasi, merasa
kekosongan bathin, hidup merasa tandus dan tidak aman,
dan situasi ini yang kemudian menjadi penyebab seseorang
itu kehilangan kepercayaan diri mereka sendiri. Pengorbanan
diri pada tindakan kolektif, menurut Hoffer adalah massa
yang terang-terangan tidak rasional, menarik orang-orang
yang miskin, orang-orang aneh, orang-orang buangan, kaum
minoritas, kaum remaja muda yang ambisius, orang-orang
yang berada dalam bayang-bayang obsesi, orang-orang yang
bosan dan merasa bersalah dan lain sebagainya (Eric Hoffer,
1993:26).
Memang disadari bahwa pengaruh psikologi sosial,
terutama konsep-konsep mengenai crowd sebagai suatu
kolektifitas manusia-manusia dalam kelompok yang liar,
berhasil diformulasikan ke dalam cetakan konseptual baru
di dalam meneliti perilaku kolektif (collective behavior). Upaya
inilah tidak serta merta menjadikan studi tentang crowd, begitu
58
Sejarah Perkembangan Teori Gerakan Sosial;
Antara Kekuatan dan Kelemahannya
saja menghilang dari pemikiran sosiolog neo klasik kemudian.
Melainkan orientasi terhadap crowd, masih tetap eksis dan
diulang kembali dalam beberapa studi gerakan millinearisme
misalnya karya Norman Cohn, The Pursuit of Millennium:
Revolutionary Millenarians and Mystical Anarchists of the Middle
Ages (1961), Michael Adas tentang, Prophet of Rebellion,
Millenarian Protest Movements against the European Colonial
Order, (1943), karya Stephen Fuchs, Rebellious Prophets, (1965),
Lioyd dan Susanne Rudolph, dalam The Modernity of Tradition
(1969), dan Robert Hardgraves, dalam The Nadars of Tamilnad,
(1969).
Evolusi konseptualisasi teoritik psikologis sosial klasik
inilah yang kemudian ditanggapi Erward P. Thompson dalam,
The Making of the English Working Class, (1981). Ia menyatakan
bahwa, orang meragukan proses penggabungan semacam
itu. Bagaimanapun, dengan adanya fenomena semacam itu
persoalan historis belum terpecahkan~mengapa kemarahan,
inspirasi atau bahkan kekacauan psikotis mesti bergabung
dalam gerakan berpengaruh hanya dalam waktu-waktu
tertentu dan dalam bentuk yang khusus (E.P Thompson,
1981:117). Pandangan E.P. Thompson ini, bertujuan untuk
menantang para teoritisi yang melakukan studi gerakan sosial,
guna menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukannya.
Oleh karenanya, paradigma klasik aliran crowd dari
psikologi sosial tradisional mengalami versi radikal untuk
memberi batasan pada kehancuran dirinya. Akan tetapi
sebagaimana yang kita temukan di dalam berbagai studi
belakangan, kecendrungan-kencendrungan crowd mengulangi
diri dalam disiplin lain seperti (sejarah, politik, ekonomi dan
sebagainya) dalam bentuk atau model lain, bahkan dengan
penjelasan lain yang lebih variatif sifatnya dalam berbagai
studi yang dilakukan. Masalah ini terjadi, menurut Rajendra
Singh karena tampilan perspektif crowd selalu mendapatkan
kekuatan dukungan data historis yang dikumpulkan secara
59
Sejarah Perkembangan Teori Gerakan Sosial;
Antara Kekuatan dan Kelemahannya
lengkap dan telaten, pada kurun waktu abad ke-18 s.d bad ke20 dalam sejarah Perancis dan Inggris. Para sejarawan sosial
telah berhasil menerangkan crowd dalam cetakan konseptual
baru bersama-sama, dan hal ini ditemukan dalam beberapa
hasil penelitian seperti; Singha Roy dalam The Crown in the
French Revolution, (1959) dan The Study of Popular Disturbances in
the Pre-Industrial Age; Historical Studies, (1963), Lars Rudebeck,
dalam When Democracy Makes Sense, (1992), Charles Tilly,
et.al dalam The Rebelious Century, 1830-1930, (1975), dan E.P
Thompson dalam The Making of the English Working Class, (1981)
dan sebagainya.Rajendra Singh, 2010:117).
Dalam konteks ini, perspektif analisa para sejarawan,
crowd diperlakukan sebagai entitas sosial bertujuan dengan
suatu alasan untuk ada, dan suatu peran untuk bertindak dalam
sejarah. Berdasarkan bukti dalam hasil penelitiannya tentang
sejarah Perancis dan Inggris, George Rude menyatakan bahwa
crowd bukanlah abstraksi tidak berwujud, melainkan ia terdiri
dari orang-orang. Dalam konteks, analisanya terhadap data
sejarah tersebut, ia membedakan antara gejolak masyarakat
pra industri dengan masyarakat industrial dalam masyarakat
di dunia negara itu. Menurutnya gejolak pra industri dicirikan
oleh kerusuhan pangan (foot riots), gerakan milenarian, dan
pemberontakkan petani (peasant revolt). Sedangkan gejolak
industrial ditandai dengan pemogokan, demonstrasi dan
pertemuan massa publik berjangkauan ke depan. Singkat
kata, dalam menanggapi keberadaan entitas crowd yang tidak
berkewajahan, George Rude menyatakan sebagai berikut:
“peran yang dimainkan oleh petani dan penduduk desa di
Inggris, kecendrungan khusus para pemintal dan penambang
untuk menghancurkan mesin dalam pertikaian industrial di
Inggris,...bagian yang dimainkan kaum perempuan dalam
perjalanan tertentu Revolusi Perancis, peran petani dan buruh
tani dalam kerusuhan (riot) pedesaan Inggris..dan seterusnya”
(George Rude, 1964:194). Studi-studi mereka ini, menunjukkan
60
Sejarah Perkembangan Teori Gerakan Sosial;
Antara Kekuatan dan Kelemahannya
bahwa watak gejolak dan aktivitas crowd terkait erat dengan
komposisi unsur-unsur seperti; sosial, pekerjaan, situasi,
kondisi, dan lain sebagainya yang turut mempengaruhinya.
Meskipun crowd berperilaku berbeda dalam situasi
yang tidak sama, ada beberapa elemen yang serupa seperti
penggunaan aksi langsung dan penerapan keadilan alamiah.
Dengan demikian data sejarah mengenai bentuk, wajah, tipe
aksi crowd selama selama abad ke 18 dan 19 tak meragukan
lagi membuktikan bahwa konstruksi perspektif teori psikologi
sosial klasik mengenai orientasi pada crowd sebagai entitas
wajah yang gampang berubah dan mengambil bentuk yang
berbeda-beda sesuai situasi dan kondisi sosial yang ada. Dengan
demikian, maka perspektif seperti itu sudah tidak memadai
lagi bahkan mungkin agak lebih berlebihan, tendensius dan
mungkin agak keliru.
Mendekati akhir tahun 1960-an, lebih jelasnya memasuki
tahun 1970-an, munculah fenomena gerakan-gerakan sosial
baru di Amerika Serikat dan kawasan-kawasan lainnya di
benua Eropa. Gerakan-gerakan sosial baru ini lebih ekspresif
dan mengambil tipe aksi gerakan yang banyak berubah bila
dibandingkan dengan berbagai gerakan yang terjadi pada
periode klasik dan neoklasik. Gerakan perjuangan hak-hak
sipil warga negara (civil rights movements) di Amerika Serikat,
semacam organisasi sipil yang berorientasi memperjuangkan
dan mentransformasi pembaruan struktur pada lembagalembaga yang cenderung menindas secara reperesif.
Selanjutnya, muncul pula berbagai gerakan moral perdamaian
yang mengusung cita-cita dan semangat ideologi anti perang
hingga perjuangan melawan berbagai bentuk perlombaan
senjata nuklir. Berbagai aktivis-aktivis dalam kelompok
organisasi anti perang pada waktu itu misalnya secara
tegas menentang serta menolak ekspansi militerisasi antara
Amerika dengan Vietnam. Oleh karena itu, di Amerika Serikat
sendiri, munculnya aneka gerakan melawan perang Vietnam
61
Sejarah Perkembangan Teori Gerakan Sosial;
Antara Kekuatan dan Kelemahannya
melahirkan pula berbagai rupa aktivisme perdamaian dan
dukungan terhadap dekolonisasi.
Sejumlah gerakan tertentu memang membawa pergeseran
dalam fokus analisis dibidang teori gerakan sosial, akan tetapi
aliran-aliran pemikiran di antara para elite politik dan di dalam
kebudayaan umumnya juga menghasilkan pemahaman bahwa
pembaharuan itu sah dan rasional. Aktivisme yang menuntut
adanya pelayanan negara terhadap kepentingan masyarakat
(walfare state activism) di Eropa dan juga gerakan masyarakat
raya (great society), serta program memerangi kemiskinan
(war on poverty) yang dicanangkan oleh pemerintahan John F.
Kennedy dan Lindon B. Johnson di Amerika Serikat pada awal
dekade tahun 1960-an turut menciptakan iklim pembaruan.
Menurut Ritzer dan Goodman, program pencanangan
peperangan terhadap kemiskinan di Amerika ini, merupakan
cara khas strategi masyarakat modern yang menyakini bahwa
dapat ditemukan dan diterapkan penyelesaian rasional atas
masalah kemiskinan itu (Ritrzer dan Goodman, 2003:630).
Demikian juga program yang dicanangkan oleh Bad
Goderberg dari Partai Sosial Demokrat (SPD) di Jerman Barat
pada tahun 1960-an pada gilirannya menandai keinginan
kaum sosialis untuk menciptakan konsensi-konsensi ideologis
guna melibatkan diri dalam pembangunan institusi-institusi
di Jerman Barat. Pada saat agenda-agenda pembaharuan
mulai direalisasikan, makin banyak gerakan radikal dan aliran
pemikiran yang mempertanyakan struktur-struktur penting
yang tengah dibaharui.
Ada tiga paradigma studi gerakan sosial baru (GSB),
meliputi; paradigma ketegangan struktural (structural strain
paradigm), paradigma mobilisasi sumber daya (resource
mobilization paradigm) dan terakhir paradigma berorientasi
identitas. Walaupun ketiga paradigma besar ini berbeda soal
konseptualisasi teoritik dalam menganalisa berbagai fenomena
gerakan sosial, namun ketiga paradigma ini saling melengkapi
62
Sejarah Perkembangan Teori Gerakan Sosial;
Antara Kekuatan dan Kelemahannya
satu sama lain. Paradigma ketegangan struktural (structural
strain paradigm) dengan teoritisi utamanya Robert Ted
Gurr, dalam karyanya, Why Men Rebel ?(1970), menjelaskan
bahwa konsep dasar Gurr adalah perampasan (deprivation).
Perampasan memicu munculnya resistensi atau perlawanan.
Resistensi terjadi jika orang merasa sesuatu yang dihargainya
dan lebih bermanfaat baginya dirampas. Perasaan terampas
inilah yang disebut Gurr, relative deprivation. Relative deprivation
berarti suatu persepsi perihal kesenjangan antara nilai yang
diharapkan (value expectation) dengan kapabilitas untuk meraih
nilai (value capabalities) yang diperlukan. Menurut Gurr, nilai
adalah suatu kejadian, barang dan kondisi yang diinginkan
oleh manusia untuk dimiliki. Sementara nilai ekspektasi
adalah benda dan kondisi hidup yang orang-orang percaya
bahwa mereka sebagai pemiliknya yang sah. Sementara nilai
kapabilitas adalah benda dan kondisi yang menurut mereka
mampu untuk memperoleh atau memeliharanya, disepakati
harta sosial tersedia untuk mereka. (Robert Ted Gurr,
1970:13,25).
Demikian pula menurut Gurr, relative deprivation bisa
menyulut ketidakpuasan (discontent) dalam masyarakat, yang
berwujud kemarahan, kemurkaan, atau kejengkelan, tergantung
pada kedalaman rasa terampas. Kadar ketidakpuasan akan
berkurang bila tersedia sarana untuk menyalurkannya. Saluran
ini disebut value opportunities. Apabila ketidakpuasan itu tidak
tersalurkan atau berada dijalan buntu, ia dapat bermetamorfosis
menjadi pemberontakan dengan kekerasan yang berwujud
kekacauan, konspirasi atau perang dalam negeri (Robert Ted
Gurr, 1970:10-11). Demikian pula, Gurr menambahkan bahwa
tingkat dan kualitas kemarahan dan frustasi sebagai gerak
emosional yang disebabkan oleh ketegangan sosial pada
level makro. Dengan bertolak dari asumsi ini, Gurr mulai
mengembangkan pengukuran-pengukuran kuantitatif bagi
hal-hal yang berhubungan dengan alasan lahirnya ketegangan
63
Sejarah Perkembangan Teori Gerakan Sosial;
Antara Kekuatan dan Kelemahannya
dan pemberontakan (rebel) dalam sebuah masyarakat (Robert
Ted Gurr,1970). Menurutnya, tingkat dan kualitas kemarahan
bahkan frustasi sebagai gerak emosional yang disebabkan
oleh ketegangan sosial pada level makro adalah ketegangan
yang bersumber pada struktur politik yang tersedia. Struktur
peluang politis (political opportunity structure) atau bentuk
lembaga-lembaga politis adalah faktor utama di dalam perilaku
gerakan yang kemudian bisa saja memaksa strategi-strategi
gerakan untuk mengikuti pola yang tergaris dalam struktur
tersebut.
Bentuk-bentuk letupan permusuhan dalam kategori data
yang lebih luas mengenai “kekerasan politik” adalah bahwa
semua serangan kolektif dalam sebuah komunitas politik
untuk menentang rezim politik yang ada, baik terhadap para
aktornya, termasuk kelompok pesaing politik maupun yang
sedang menjabat ataupun kebijakan-kebijakannya. Konsep
ini mempresentasikan serangkaian even, yang memiliki sifat
umum menggunakan kekerasan secara aktual atau bersifat
ancaman, namun konsep ini tak bisa dijelaskan semata-mata
dengan berdasarkan pada sifat umum ini. Termasuk dalam
konsep ini adalah revolusi yang biasanya didefinisikan
sebagai perubahan sosio~politik yang fundamental dicapai
melalui kekerasan, termasuk juga di dalamnya perang gerilya,
penentangan, kerusuhan hingga berakhir pada suatu kudeta
(Robert Ted Gurr, 1970:3-4).
Selanjutnya dalam versi yang lain, James Davis dalam
esainya Toward a Theory of Revolution (1962), merancang
sebuah model lain. Di dalam model ini ia mengemukakan
bahwa kereta pendorong menuju pembaharuan adalah
ketegangan itu sendiri; upaya-upaya awal dari para elite (baik
politik maupun ekonomi) untuk menciptakan pembaharuan
melahirkan ekspektasi-ekspektasi yang lebih tinggi, dan ketika
ekspektasi-ekspektasi itu tidak dicapai atau malah sebaliknya,
munculah gerakan sosial. Dalam konteks pemikiran ini,
64
Sejarah Perkembangan Teori Gerakan Sosial;
Antara Kekuatan dan Kelemahannya
soal perampasanlah (deprivation) yang ditanggapi dan titik
perbandingan terletak di masa depan.
Pandangan yang lebih inklusif model ketegangan
struktural ini, muncul dalam pemikiran Neil Smelser,
dalam Theory of Collective Behavior (1963). Dalam tulisanya
itu, Smelser mengajukan sebuah teori yang disebut teori
nilai tambah~enam~tahap (six~stage value~added theory),
mencakupi pembahasan tentang ketegangan struktural
sebagai sebuah faktor penjelas. Selain itu ada pula komponenkomponen lain yang lebih bersifat psikologis, ideologis, dan
prosesual yang diistilahkannya dengan keyakinan-keyakinan
yang tergeneralisasi (generalized belief), kepemimpinan dan
komunikasi serta insiden-insiden pemicu (precipitating
incidents). Smelser juga memasukan sebuah faktor struktural
lain, yakni dukungan struktural (structural conduciveness)
sebagai unsur pertama dari model ini. Unsur-unsur ini
mengacu kepada kemungkinan-kemungkinan bagi organisasi
gerakan untuk bertahan di dalam ruang lingkup politik dan
sosial sebuah masyarakat (Neil Smelser, 1963:156). Gambaran
aksi dan analisis ekuilibrium Paretean (pengikut gagasan
utama Pareto) ini adalah bentuk konstribusi nyata dalam teori
Smelser, yaitu dalilnya pada mekanisme, yang menjelaskan
bagaimana batas kondisi menentukan jenis perilaku sosial.
Konsepsi Paretean tentang sebuah mekanisme keseimbangan
diri dalam sistem sosial tercermin dalam proposisi utama
Smelser, dan ia mengatakan; “people under strain mobilize to
reconstitute the social order in the name of a generalized belief”.
Model ketegangan strukural inilah yang kemudian
dikritisi oleh teoritisi paradigma mobilisasi sumber daya
(resource mobilization paradigm). Teoritisi yang berdiri dalam
garis utama pemikiran ini adalah Mancur Olson, 1965, dan
para pengikutnya seperti Anthony Oberschall, 1973, McCarthy
dan Zald, 1977, Gamson, 1975, Charles Tilly, 1975, Tarrow, 1982
dan lain-lain. Teoritisi mobilisasi sumber daya, mengkritik
65
Sejarah Perkembangan Teori Gerakan Sosial;
Antara Kekuatan dan Kelemahannya
kekurangan model ketegangan struktural Gurr, dan kawankawan. Menurut teoritisi mobilisasi sumber daya, formulasi
ketegangan struktural eksis secara obyektif hanyalah formulasi
gagasan yang bersifat ada dalam angan-angan para pengikut
sebuah gerakan, entah persepsi tentang ketegangan dan tujuan
sebuah gerakan rasional atau tidak, atau bentuk simbolis
mana yang diberikan oleh pengikut sebuah gerakan kepada
ketegangan yang ada.
Sebaliknya menurut mereka, tindakan-tindakan diambil
umumnya lebih rasional. Oleh karena itu, agar menjadi lebih
efektif, maka tindakan-tindakan yang diambil oleh para peserta
gerakan adalah melalui organisasi-organisasi gerakan yang
diciptakan secara efektif dan optimal. Paradigma mobilisasi
sumber daya (resource mobilization paradigm) memusatkan
perhatian gerakan masyarakat pada proses sistem mobilisasi
yang terorganisir secara lebih rasional dan yang lebih canggih,
baik dari segi karakteristik, model-model bahkan bentukbentuk gerakan yang diambil oleh para konstituen sebagai
anggota dari gerakan sosial baru pada masyarakat kontemporer.
Secara umum elemen-elemen kunci dari setiap gerakan adalah
organisasi-organisasi gerakan, bukan individu-individu.
Organisasi-organisasi ini merupakan unit-unit penggerak dari
sebuah gerakan sosial. Organisasi-organisasi gerakan mencoba
menjangkau para konstituen dan menghimpun para pengikut
sebanyak mungkin.
Teori mobilisasi sumber daya membedakan berbagai
tingkat dan tipe keterlibatan orang-orang dalam sebuah
gerakan, dengan membedakan penganut (anggota tetap dan
peserta), konstituensi (sumber dari sumber-sumber daya),
dan para pencari keuntungan (beneficiaries). Kemudian para
individu perlu dimobilisasi untuk mengambil bagian di dalam
aktivitas-aktivitas yang membentuk bagian dari strategi
dan taktik sebuah organisasi gerakan. Akan tetapi, anggotaanggota yang terhimpun di dalam sebuah gerakan bukanlah
66
Sejarah Perkembangan Teori Gerakan Sosial;
Antara Kekuatan dan Kelemahannya
satu-satunya yang dimobilisasi. Uang, dukungan senjata,
sumbangan dana para elit, dukungan media dan pembentukan
opini publik yang condong mendukung gerakan tersebut, juga
merupakan sumber-sumber daya (Zald dan Ash, 1966).
Menurut Zald dan McCarthy (1979), agar sistem
mobilisasi itu dapat dijalankan secara optimal dan dapat berhasil
dengan baik maka pergerakan dalam organisasi diperlukan
seorang pemimpin, yang disebut kaum profesional (movement
professionals). Kaum profesional ini memainkan peranan
penting dalam sebuah organisasi gerakan, karena menjelang
akhir abad kedua puluh semua masyarakat adalah masyarakat
yang bercirikan organisasi. Ciri masyarakat yang berorganisasi
adalah bahwa setiap tindakan bagi suatu perubahan sosial
menuntut keahlian teknis tingkat tinggi, khususnya dalam
mengelola sumber-sumber daya, merencanakan strategi,
menghimpun dana, melakukan tekanan (pressure) terhadap
kelompok elit dan mengadakan kontak dengan media massa
(Zald & McCarthy, 1979, 1987).
Mancur Olson dalam The Logic of Collective Action (1965),
menekankan bahwa sistem logika rasionalitas tindakan kolektif
gerakan sosial dipresentasikan dalam peranan-peranan faktor
objektif tertentu sebagai kepentingan, organisasi, sumber daya,
strategi, dan kesempatan dalam setiap mobilisasi kolektif
(collective mobilization) skala besar. Menurut Olson, apa yang
signifikan untuk dicatat bahwa ada perbedaan mendasar
dari konsepsi klasik LeBon dalam, The Crowd, (1987), yang
menganggap lelaki dan perempuan adalah bentuk tindakan
kolektif crowd sebagai individual yang irasional. Dan yang
kemudian lebih maju dalam konstruksi George Rude dan
E.P. Thompson tentang crowd dalam sejarah, merupakan
sangat berbeda pada situasi para aktor dalam gerakan sosial
kontemporer (GSB). Dalam konteks ini lanjut Olson, individuindividu ini dianggap sebagai mahluk rasional yang mampu
bernalar dan terampil mengkalkulasi keberhasilan dan
67
Sejarah Perkembangan Teori Gerakan Sosial;
Antara Kekuatan dan Kelemahannya
kegagalan. Kerangka arahan dari rujukan ini secara garis
besarnya adalah instrumentasi utilitarian. Utilitarianisme
merembesi karya-karya kebanyakan tokoh utama GSB, di
antaranya Mancur Olson ini sebagai seorang ekonom yang
memiliki pengaruh besar dalam paradigma ini (Rajendra Sing,
2010:135).
Agak sedikit berbeda dari pandangan Olson, selanjutnya
McCarthy dan Zald 1977, menempatkan peranan semangat
entrepreneurship organisasional dalam mobilisasi gerakan sosial
kontemporer. Demikian juga, Oberschall 1973; Gamson 1975;
C. Tilly et.al 1975; Tarrow 1982, kebanyakan dari mereka ini
sulit menerima teori kalkulus individual yang kelewat rasional
dari Olson. Sebaliknya, mereka menekankan peran kelompokkelompok solidaritas dengan kepentingan-kepentingan kolektif
dalam aksi-aksi kolektif. Oberschall misalnya menyadari
bahwa keberadaan variasi non konfliktual dari kolektivitaskolektivitas dalam masyarakat, merujuk pada keberadaan
‘kelompok-kelompok asosiasional’ dalam masyarakat. Kelompokkelompok asosiasional diorganisasikan untuk maksud-maksud
non konfliktual. Ada acuan kepada keberadaan kepentingan
kolektif dari Charles Tilly, insentif sosial dari Fireman dan
Gamson, dan konstituen sadar dari McCarthy dan Zald.
Para teoritisi Olsonian ini menawarkan sumber daya kepada
kelompok-kelompok aksi kolektif dan merupakan perwujudan
non utilitarian dari masyarakat.
Tilly, dkk.,dalam The Rebellious Century:(1830-1930),
menjelaskan gagasan sentralnya tentang keberadaan
kepentingan kolektif, sepakat bahwa perubahan-perubahan
dalam masyarakat mempengaruhi gerakan sosial. Pergeseran
utama dari struktur kekuasaan lokal ke nasional membawa
akibat kepada organisasi dan bentuk gerakan sosial.
Berdasarkan data sejarah yang dikumpulkan mereka
membantu memperkuat perdebatan ini dan memberikan
pembenaran bagi asumsi bahwa paradigma rasionalistik
68
Sejarah Perkembangan Teori Gerakan Sosial;
Antara Kekuatan dan Kelemahannya
gerakan sosial mengoperasikan pra anggapan munculnya
ekonomi kapitalistik dan negara bangsa. Mereka menolak
kegagalan tesis sosial dan menolak habis gagasan Durkheiman
dan Smelserian bahwa transformasi struktural utama mengarah
ke kekacauan sosial. Menurut mereka yang meragukan adalah
apakah diskontinuitas dengan sendirinya melahirkan anomia
dan apakah anomia dengan sendirinya melahirkan kekacauan
individual atau kolektif (Charles Tilly, et.al, 1975:6).
Tilly dan kawan-kawannya, kemudian menjelaskan
bagaimana transformasi ekonomi, urbanisasi dan formasi
negara membangkitkan pergeseran karakter gerakan dan aksi
sosial, reorganisasi kehidupan sehari-hari mentransformasikan
karakter konflik (Charles Tilly, et.al, 1975:86). Tilly dan kawankawan menggunakan frasa “repertoire aksi” untuk merujuk bentuk
spesifik, metode dan cara ekspresi perilaku dari aksi kolektif. Ia
menujukkan bagaimana perubahan dalam kehidupan harian,
dalam populasi, lingkungan ketetanggaan; perubahan yang
mengundang migrasi dari desa ke kota, pergeseran di medan
kekuasaan dan sistem ekonomi, telah mengganti solidaritas
komunal (gemeinschaft) menjadi solidaritas asosiasional
(gesselschaft). Perubahan tertentu telah merubah medan
pertemuan komunal, dari pasar malam, festival, pasar lokal,
dstnya menjadi seruan disengaja atau undangan pertemuan
dari dan oleh oganasisasi. Dengan demikian Tilly dkk, seperti
Rude (1964) menemukan perubahan-perubahan dalam sifat
mobilisasi kolektif. Konsepsi transformasi kerumunan dari
bentuk pra industri menggambarkan perubahan repertoire
aksi kolektif di abad XVIII. Kualitas letupan aksi kolektif juga
berubah, dari kerusuhan soal makan, pemberontakan pajak,
dan permohonan kepada otoritas paternalistik ke repertoire
aksi kolektif abad XIX yang ditandai oleh demonstrasi dan
pemogokan.
Tilly dalam karya solonya, From Mobilization to Revolution
(1978), menjelaskan dinamika repertoire aksi kolektif ini, dengan
69
Sejarah Perkembangan Teori Gerakan Sosial;
Antara Kekuatan dan Kelemahannya
mengeksplorasi bagaimana perang terhadap pengumpulan
pajak pada abad kedelapan belas mendapat dukungan
langsung dari kaum golongan kaya dari berbagai gabungan
kelembagaan pada negara nasional yang modern. Tilly
menemukan bahwa, dalam negara nasional, sebuah gerakan
mengambil rupa-rupa baru, dan bentuk-bentuk perlawanan
memiliki target pencapaian yang bersifat lebih nasional, dan
tidak menyerupai sebagaimana bentuk-bentuk protes yang
selalu terjadi sebelumnya. Dengan demikian menurutnya,
kerusuhan pangan atau kekurangan bahan makan seperti
roti misalnya, telah membuka jalan bagi munculnya berbagai
asosiasi yang lebih terstruktur bagi perlawanan rakyat (Jackie
Smith dan Tina Fetner, 2007:13).
Demikian, pembacaan kita terhadap para teoritisi yang
berada dalam garis pemikiran Olsonian ini, di samping variasi
internal dalam hal fokus dan detail, pada dasarnya bahwa
pandangan mereka mengedepankan sekumpulan gagasan
sentral tentang pendekatan studi gerakan dan aksi kolektif
dalam kerangka logika interaksi strategis dan kalkulasi
cost~benefit. Donatella della Porta dan Mario Diani dalam Social
Movement An Introduction, (1999), menilai bahwa mobilisasi
sumber daya merupakan sebuah gerakan kolektif yang
sifatnya perpanjangan dari bentuk aksi politik konvensional,
di mana para aktor yang terlibat dalam gerakan bertindak
secara rasional, mengejar target dan kepentingan mereka,
gerakan “pengusaha” organisasi memiliki peran penting
dalam mobilisasi sumber daya kolektif yang dibangun dalam
tindakan.
Fireman dan Gamson dalam, Utilitarian Logic in the
Resource Mobilization Perspective (1979), dan Craig J. Jenkins
dalam Resource Mobilization Theory and the Study of Social
Movement, (1983). Mereka menjelaskan bahwa terjadi dominasi
yang kian dangkal dari budaya industrial modernis yang
menaungi benak Amerika. Lahirnya kelompok-kelompok
70
Sejarah Perkembangan Teori Gerakan Sosial;
Antara Kekuatan dan Kelemahannya
solider, komunitas-komunitas, kelompok informal, kekariban,
kelompok-kelompok utama dan formasi dari apa yang disebut
McCarthy dan Zald sebagai konstituen sadar, merupakan jenisjenis aksi kolektif yang tidak bisa dijelaskan dalam kerangka
utilitarian rasional dan dalam kerangka ketrampilan tindak
memilih individu-individu sebagaimana disiratkan oleh teori
mobilisasi sumber daya. (lihat Fireman, B dan W.A Gamson,
(1979) ; juga Jenkins, Craig, J, (1983). Singkat kata, maka ketiga
tokoh ini kurang begitu sependapat dengan voluntarisme
yang agak berlebihan (hyper) dari teori mobilisasi sumber
daya dalam fokus sentralnya, didasarkan pada sebuah sistem
relasi sekumpulan asumsi yang terjalin secara aksiomatis.
Demikian yang dikatakan Donatella della Porta dan Mario
Diani menilai, bahwa gerakan ini dianggap sebagai bagian
dari proses politik yang normal. Gerakan yang menekankan
hambatan-hambatan eksternal dan mencari peluang-peluang
yang menguntungkan organisasi, memformulasikan berbagai
potensi sumber daya untuk dimobilisasi, perluasan jaringan
gerakan sosial pada sekutu elit mereka, dan berbagai taktik
atau strategi yang digunakan masyarakat untuk mengontrol
atau menggabungkan tindakan kolektif, beserta hasil yang
ingin dicapai. Pertanyaan-pertanyaan mendasar yang berusaha
mereka jawab adalah berhubungan dengan evaluasi biaya
dan manfaatnya partisipasi dalam organisasi gerakan sosial
tersebut (Donatella della Porta dan Mario Diani, 1999:7).
Atas kekurangan paradigma mobilisasi sumber
daya
(resource
mobilization
paradigm)
yang
sangat
utilitarian~materialisme dan hyper voluntarik (voluntarisme
berlebihan), maka paradigma yang lebih adekuat muncul di
Eropa. Paradigma ini disebut berorientasi identitas yang lebih
menekankan basis perspektif mereka pada peranan identitas
yang melandasi semangat individu dalam suatu gerakan.
Para teoritisi yang berada di dalam garis utama pemikiran
ini adalah Pizzorno, (1978,1985), kemudian seorang akademisi
71
Sejarah Perkembangan Teori Gerakan Sosial;
Antara Kekuatan dan Kelemahannya
model identitas murni yaitu Jean Cohen, (1985), termasuk juga
kalangan akademisi post~Marxis seperti Laclau dan Mouffe,
(1985), hingga ke warna baru pemikiran tentang GSB dalam
sentralitas perspektif postmodern yakni Alain Touraine, (1981,
1985, 1987).
Sebagai perbandingan secara umum, paradigma
mobilisasi sumber daya yang sentralitas pemikirannya
terletak pada rasionalisme dan materialisme, maka paradigma
berorientasi identitas memusatkan perhatian mereka pada
fenomena gerakan yang cenderung bersifat non materialistik,
namun lebih pada perilaku yang ekspresif. Karenanya, maka
dalam konteks pemikiran ini, paradigma berorientasi identitas
mengajukan asumsi dan mengurai pokok pertanyaan mendasar
seputar pada masalah integrasi dan solidaritas. Gerakan
menurutnya, tidak senantiasa ekspresi kalkulasi strategis
terhadap musuh-musuh, ia menggerakkan sesuatu yang lain.
Demikian juga para anggotanya dilihat sebagai
makhluk subyektif. Walaupun paradigma model identitas
mempertanyakan masalah integrasi dan solidaritas, teori ini
tidak menemukan relevansi konsep Durkheimian tentang
anomia, dan kegagalan ataupun pengertian Smelserian tentang
tegangan, konsleting, keyakinan tergeneralisir dan seterusnya
untuk menjelaskan perilaku kolektif. Penyimpangan sosial
sebagaimana disiratkan oleh istilah anomia atau kegagalan
sosial, nyaris tidak menawarkan sebuah jendela pada berbagai
dimensi gerakan sosial (Rajendra Singh, 2001:145).
Paradigma berorientasi identitas, mencoba kembali
memahami tampilan-tampilan dan formasi-formasi gerakan
sosial baru (GSB) yang terjadi pada dinamika masyarakat
kontemporer. Tampilan wajah dan formasi gerakan GSB
dapat ditemukan dalam gerakan ekologi (environmentalism)
gerakan feminisme, perdamaian dan mobilisasi akar rumput,
melintasi gagasan kelas dan memotong batas pengkondisian
material. Menurut paradigma identitas, para partisipan
72
Sejarah Perkembangan Teori Gerakan Sosial;
Antara Kekuatan dan Kelemahannya
menegaskan aksi-aksi mereka bukan dalam kerangka menjadi
pengemban nilai-nilai buruh, melainkan sebagai manusia
secara keseluruhan. Ada kesepakatan umum bahwa gerakan
berorientasi identitas dan aksi kolektif (collective action) adalah
ekspresi pencarian manusia terhadap identitas, otonomi
dan pengakuan. Betapa pun terdapat perbedaan pemikiran
di kalangan pendukung paradigma ini, misalnya analisis
Pizzorno dalam Political Exchange and Collective Identity in
Industrial Conflict (1978), mengatakan bahwa logika formasi
identitas kolektif melibatkan partisipasi langsung para aktor
dalam aksi kolektif. Identitas menurutnya tidak bisa dibentuk
melalui partisipasi tak langsung, delegasi atau perwakilan,
melainkan produksi identitas melibatkan interaksi kolektif itu
sendiri (Pizzorno, 1978:96).
Dalam melihat produksi identitas secara langsung
dalam kegiatan aksi yang dilakukan, Pizzorno menilai bahwa
logika aksi kolektif sebagai ekspresi. Para aktor sosial dalam
GSB mencari identitas dan pengakuan melalui aksi ekspresif,
melalui tuntutan universalistik dan tak dapat ditawar.
Semuanya itu harus dijalani melalui partisipasi langsung
berarti pada rentang yang sama para aktor tersebut sudah
membangun dan mengakui kolektivitas (seperti perserikatan
dan partai-partai politik) dan secara umum menghampiri
penggunaan rasionalitas instrumental strategis (sebagaimana
diajukan oleh paradigma mobilisasi sumber daya sebelumnya).
Partisipasi langsung para aktor pada rentang yang sama
mengakui kolektivitas berarti hasilnya tuntutan mereka bisa
dinegosiasikan dan karakter partisipasinya jadi terwakilkan
dan lebih representasional.
Pada kesempatan lain, Jean Cohen dalam Class and
Society: The Limits of Marxian Critical Theory (1985), memberikan
pandangan yang agak sedikit berbeda menyangkut ciri
mendasar GSB yang tidak bersandar pada fakta bahwa aksi
mereka ekspresif dan bahwa mereka menyatakan identitas
73
Sejarah Perkembangan Teori Gerakan Sosial;
Antara Kekuatan dan Kelemahannya
mereka. Sebaliknya ia bersandar lebih pada kesadaran mereka
akan kapasitas diri untuk menciptakan identitas dan relasi
kekuasaan yang terlibat dalam penciptaan mereka (Jean
Cohen, 1985:694). Asumsi inilah yang kemudian menjadi
sumber perdebatan penting antara Pizzorno dan Jean Cohen,
terutama penilaian mereka tentang aksi gerakan sosial GSB,
apakah ekspresif dan sebagai ruang untuk menyatakan
identitas kolektif yang melakukan gerakan? Menurut Cohen
pada dasarnya aksi gerakan sosial (GSB) tidak bersandar pada
aksi yang ekspresif serta peryataan identitas kelompok yang
melakukan aksi gerakan sosial itu, melainkan bersandar pada
kesadaran mereka akan kapasitas untuk menciptakan identitas.
Demikian juga menurutnya, bahwa para aktor kolektif
kontemporer menilai, penciptaan identitas melibatkan daya
tanding soal seputar penafsiran kembali norma-norma,
penciptaan makna-makna baru, dan sebuah tantangan untuk
konstruksi sosial dari batas-batas antara aksi publik, privat
dan domain politis. Oleh karena itu, apabila melihat dari
perspektif ini, bahwa model identitas murni Pizzorno tentang
aksi kolektif tampak terlampau menyandera dan terlalu
sempit rentangannya, cakupannya dan kemampuannya untuk
menjelas gerakan sosial baru (GSB) pada konteks masyarakat
kontemporer.
Selanjutnya pandangan yang agak sedikit lebih terbuka
tentang GSB, muncul dari salah seorang sosiolog Perancis yakni
Alain Touraine. Dalam menilai GSB masyarakat kontemporer,
Touraine berpendapat bahwa unsur pokok dari gerakan sosial
adalah aksi (action), yaitu sebuah aksi melawan sistem sosial.
Ambisi Touraine, khususnya dalam karya-karya terakhirnya,
adalah menunjukkan bagaimana penekanan terhadap aksi
semacam ini tidak harus membawa ke voluntarisme dan
individualisme. Baik voluntarisme maupun individualisme
tidak memberikan wawasan ke dalam subjek aksi (John Lechte,
1994:299).
74
Sejarah Perkembangan Teori Gerakan Sosial;
Antara Kekuatan dan Kelemahannya
Dalam menilai GSB, Touraine menekankan pentingnya
tindakan sosial, bahwa aksi yang dilakukan individu-individu
dalam bentuk gerakan sosial merupakan suatu upaya untuk
memproduksi dan mentransformasi struktur dan tatanan
sosial yang ada. Dan aksi sosial dalam gerakan sosial ini dilihat
sebagai tindakan yang normal menuju pada satu perubahan
yang diharap oleh masyarakat. Dalam tulisanya, The Self
Production of Society (1973), Touraine menyatakan bahwa
masyarakat itu bukan apa-apa selain dari tindakan sosial,
karena tatanan sosial itu tidak memiliki jaminan metasosial
demi eksistensinya (A.Touraine, 1973:2).
Konsep Touraine tentang gerakan sosial, secara umum
tidak seperti perilaku kolektif yang selalu reaktif, suatu gerakan
sosial adalah suatu kekuatan yang aktif. Pada umumnya
gerakan sosial berjuang untuk mengendalikan historisitas.
Historisitas menunjuk ke bentuk-bentuk kultural umum dan
struktur kehidupan sosial. Jika istilah masyarakat menunjuk
ke integrasi sosial, maka gerakan sosial menyarankan adanya
tindakan konflik yang menentang integrasi sosial yang sudah
ada. Tantangan terhadap integrasi sosial yang sudah ada
ini tidak selalu sama dengan suatu krisis masyarakat dan
runtuhnya organisasi sosial. Oleh sebab itu, perubahan yang
diakibatkan oleh tindakan sosial tidak boleh dilihat sebagai
yang bersifat patologis atau yang bersifat disfungsional dalam
pengertian Parsons.
Apabila dipahami lebih jauh analisis Touraine tentang
GSB masyarakat kontemporer, maka harus dipahami dalam
kerangka penghubung antara pemahaman diri dengan ideologiideologi yang berkuasa di tengah masyarakat kontemporer dan
gerakan sosial. Guna memeriksa penghubung tertentu antar
dua elemen dalam analisanya, Touraine mengembangkan
penyidikannya dalam tiga tingkatan, yaitu: pertama; sebuah
elaborasi representasi sosial, struktural dan kultural masyarakat
kontemporer, Kedua; sebuah penafsiran konflik dan tegangan
75
Sejarah Perkembangan Teori Gerakan Sosial;
Antara Kekuatan dan Kelemahannya
yang terlibat alam proses pencarian identitas manusia dan
analisanya dalam kerangka rujukan orientasi aksi, Ketiga;
Touraine menyadari pentingnya kesadaran individual sebagai
ciri spesifik mahluk hidup (Rajendra Singh, 2001:148).
Pandangan Touraine dalam The Voice and the Eye, (1981),
mendefinisikan gerakan sosial sebagai interaksi berorientasi
normatif antara musuh atau saingan, berikut penafsiran
yang sarat konflik dengan model kemasyarakatan yang
berlawanan dari sebuah medan budaya bersama (A.Touraine,
1981:32). Dalam konteks ini, Touraine melakukan suatu upaya
transposisi analisis GSB dari wilayah model identitas murni
ala Pizzorno di atas, ke ruang sosial masyarakat sipil. Oleh
karena itu, apabila mengikuti pandangan Touraine ini, orang
jadi bisa melihat pemaknaan yang berbahaya (terutama oleh
model identitas murni Pizzorno) dalam pengertian tumbuhnya
tuntutan kelompok-kelompok kebangkitan komunal, sektarian,
etnis dan fundamentalis dalam pencarian identitas, otonomi
dan pengakuan mereka.
Dalam pandangan Touraine, orang mencatat supaya
sadar untuk memberikan sebuah kerangka sosiologis untuk
mengkaji gerakan. Dalam tulisan kecilnya yang berjudul, Social
Movements: Participation and Protests (1987), ia menyatakan
bahwa upaya semacam ini menjadi mungkin hanya jika konsepsi
gerakan disituasikan tidak dalam kategori psikologisasi murni
tentang identitas (Pizzorno) atau dalam rasionalitas pencapaian
tujuan utilitarian seperti yang ditampilkan teori mobilisasi
sumber daya Olsonian~Oberschall, melainkan pada pusat dari
suatu wilayah yang tumpang tindih antara inovasi kultural dan
konflik sosial (A.Touraine, 1987:219). Gagasan Touraine yang
ia sebut berkali-kali tentang sentralitas gerakan sosial baru,
konflik sentral dan prinsip sentral analisa mendekatkannya
pada konsep metodologis Max Weber mengenai tipe ideal.
Dengan melacak lokasi sentralitas konflik sosial,
Touraine bertujuan bukan hanya memberikan sebuah
76
Sejarah Perkembangan Teori Gerakan Sosial;
Antara Kekuatan dan Kelemahannya
pemahaman sosiologis tentang gerakan sosial, melainkan juga
mengembangkan tipologi gerakan. Representasi masyarakat
yang terkait dengan semacam sentralitas konflik sosial yang
khusus dan konflik ini, pada gilirannya, menghasilkan tipologi
jenis ideal dari gerakan sosial. Itulah sebabnya Touraine
memperlakukan gerakan sosial sebagai agen sosial yang
didefinisikan oleh relasi yang sarat konflik (Touraine,dkk.
1987:XV). Dan agensi dari agen, pada gilirannya, tampak
mendefinisikan representasi sosial dan kultural masyarakat.
Merenungkan sifat GSB, ia memperkenalkan sebuah versi
filsafat dari gerakan sebagai sebuah agen dalam sejarah dan
kepada agen ini, ia memberikan peran suatu capital subjecthood.
77
Sejarah Perkembangan Teori Gerakan Sosial;
Antara Kekuatan dan Kelemahannya
IV
M. Jasper dalam Perkembangan
Social Movement Theory
Today : Toward a Theory of terakhir
Action? (2010), mengata- (state of the art)
kan bahwa teori-teori teori gerakan sosial
besar gerakan sosial yang
sempat muncul atau yang pernah pupuler pada masanya,
kini telah dibongkar dan dievaluasi kembali. Di tempat lain,
pendekatan yang ada telah menawarkan teori budaya dan
tindakan emosional, yang memungkinkan analis untuk membangunnya kembali dari tingkat mikro ke tingkat yang lebih
makro secara lebih empiris, bukan dengan cara deduktif dari
atas ke bawah.
Gerakan sosial terdiri dari individu-individu dan
interaksi di antara anggota suatu masyarakat. Pendekatan
pilihan rasional (rational choice) menyadari akan hal ini, tetapi
versi mereka memperhitungkan individu sebagai yang abstrak
untuk menjadi realistis. Pragmatisme, feminisme, dan yang
terkait dengan berbagai tradisi yang mendorong lahirnya
studi tentang aksi-aksi individu (individual action) dan aksiaksi kolektif (collective action) sejak tahun 1960-an, yakni
penelitian tentang perlawanan (social resistence), gerakan sosial
(social movement) dan tindakan kolektif (collective behavior)
berkembang di bawah inspirasi dari teori-teori besar tersebut.
Dua dari mereka di antaranya dipengaruhi oleh pandangan
Marxisme, terutama sosiologi makro versi Amerika yang
menekankan teori mobilisasi sumber daya (resource mobilization
theory) dan interaksi dengan negara. Kemudian versi Prancis
yang berfokus pada tahap historisitas sejarah masyarakat yang
terorganisasi pascaindustri dengan citra konflik yang khas.
Sedangkan paradigma ketiga berbeda sumber, yaitu asumsi
pada level mikro ekonomi. Satu nama terutama yang terkait
dengan masing-masing pendekatan yang lebih ambisius
seperti misalnya; Charles Tilly, Alain Touraine dan Mancur
Olson.
78
Sejarah Perkembangan Teori Gerakan Sosial;
Antara Kekuatan dan Kelemahannya
Pada awal abad ini paradigma-paradigma tersebut
telah mencapai titik batas kulminasi, oleh karena sejumlah
alasan termasuk perubahan sejarah yang terjadi, akumulasi
ketidakmenentuan dan kekacauan, keberpihakkan pada
pendekatan yang bersifat metaforis, sehingga mengakibat-kan
kurangnya semangat untuk segera mengembangkan teori itu
pada tingkat yang lebih jauh. Tilly dan Olson sekarang sudah
meninggal selanjutnya Touraine (1997, 2009) telah beralih dari
studi gerakan sosial dan kembali ke sebuah teori sosial yang
lebih umum (makro).
Dalam banyak kasus kebanyakan teori besar saat ini
merupakan sintesis pemikiran-pemikiran sekolah tua yang
dimensinya telah terabaikan. Secara umum, kecenderungan
yang dipahami, bahwa model perhatian pada struktur besar
(big structures) kemudian mencoba mengalihkan perhatiannya
pada tingkat dasar tindakan sosial (collective action) yang lebih
mikro pada tindakan politik. Runtuhnya teori-teori besar yang
ambisius itu, bukan berarti akhir dari perjalanan teori gerakan
sosial. Namun sebaliknya, kita harus lebih mengupayakan
model teori yang sangat sederhana, yaitu melakukan upaya
interpretif yang berorientasi pada tindakan (action), yang pernah
muncul dalam bayang-bayang mendalam pengaruh dari teoriteori besar tersebut.
1
Perkembangan sesudah strukturalisme (postrukturalis)
Pada era tiga puluh tahun terakhir paradigma yang
dominan dalam penelitian gerakan sosial di Amerika yaitu
paradigma mobilisasi sumberdaya (resources mobilization
paradigm), yang kemudian diserap ke dalam teori proses politik
(politic proces). Keluhan dan sikap utama para partisipan anggota
potensial gerakan telah menurun dan mulai memahami faktorfaktor dukungan pada organisasi seperti; staf profesional,
upaya penggalangan dana dan keadaan eksternal seperti
sekutu elit dan sumber daya, sebagai pintu yang terbuka dalam
79
Sejarah Perkembangan Teori Gerakan Sosial;
Antara Kekuatan dan Kelemahannya
menimbulkan krisis negara, berkurangnya represi negara dan
pada lingkungan politik lainnya.
Perspektif organisasi dan struktural ini sangat kuat
mempengaruhi sebuah gerakan seperti penekananan pada
hak-hak sipil gerakan buruh dalam rangka mengejar keadilan
sepenuhnya menyangkut hak-hak sipil warga negara. Tujuan
dari suatu gerakan diperhitungkan, dan apa yang mereka
perlukan adalah sarana untuk bertindak. Kitschelt (1986), Kriesi
(1995), dan lain-lainnya memperkuat konsep peluang politik
(political oppurtunity) dalam membatasi karakteristik struktural
dari negara, sebagai variabel perbandingan secara jelas dapat
dilihat dalam pandangan Eropa Barat dan perbandingannya
dengan di Amerika Serikat.
Charles Tilly (1929-2008), adalah salah satu kekuatan
utama yang berada di balik lintasan sejarah panjang
pemikiran ini, sebagaimana contoh dalam penelitian uletnya
mengetengahkan gagasan teoritik yang lebih eksplisit. Pada
titik mana budaya diturunkan serta pengungkapannya dalam
berbagai tindakan atau aksi kolektif, dianggap sebagai rutinas
yang umumnya mencerminkan kepekaan moral. Upaya
bagaimana memahami dan termasuk tersediannya saluran
dalam berbagai seting lokal, yang dapat menghasilkan bentuk
lain dari budaya seperti sikap dan tujuan, intuisi moral dan
prinsip-prinsip, emosi, dan segala sesuatu yang ditolaknya
sebagai individualisme fenomenologis. Kurangnya perhatian
pada tujuan dalam studi gerakan sosial yang ada, telah memaksa
Tilly mengurangi penekanannya pada arena perjuangan, serta
mencegahnya pada isu-isu kegagalan dan keberhasilan. Dalam
konteks ini, Tilly hanya memfokuskan pada tindakan (action)
namun mengabaikan penekanan pada motivasi dan tujuan
yang mendorong sebuah gerakan. Alih-alih teori tindakan yang
eksplisit, satu hal yang lebih implisit tampaknya menyiratkan
bahwa orang-orang mengejar kepentingan materi mereka
(Opp 2009).
80
Sejarah Perkembangan Teori Gerakan Sosial;
Antara Kekuatan dan Kelemahannya
Kemudian, sekitar akhir tahun 1990-an, telah berakhirnya
kristalisasi paradigma proses politik (McAdam et al. 1996) tetapi
juga tidak terlepas dari berbagai kritik. Berbagai kritik teoritis
antara lain menyoroti bahwa asumsi pilihan rasional (rational
choice) terkadang secara tersembunyi terkubur dalam berbagai
model (Opp 2009). Bahwa konsep-konsep seperti sumber daya
dan peluang politik (Gamson dan Meyer 1996), selalu digunakan
dalam berbagai cakrawala pandangan atau ide struktural yang
lebih luas bahkan terkadang selalu agak dilebih-lebihkan
penggunaannya (Jasper 1997). Oleh karena itu, bias struktural
ini kemudian secara penuh dicegah dalam perhatiannya pada
perubahan budaya menyangkut aspek emosi atau kemarahan
(Goodwin dan Jasper 1999/2004).
Sebagian besar kritik tersebut menyatakan bahwa
pendekatan ini mengabaikan pilihan dan keinginan dari sudut
pandang aktor (individu), sebagai calon peserta gerakan yang
menentukan serta mempengaruhi lahirnya motivasi, yang
kemudian menunggu peluang aktor tersebut untuk bertindak.
Jadi, dengan demikian, paradigma di atas ini, pada dasarnya
tidak ada teori tindakkan (action theory). Selajutnya, sekitar
tahun 2001 kritik pun dilancarkan atas karya mereka, yang pada
akhirnya membuat McAdam dkk. (2001, h. 42) pun, mengakui
empat kekurangan mendasar dalam pendekatan model proses
yang mereka kembangkan sendiri, yaitu:
 Model proses yang dikembangkan lebih berfokus pada
hubungan yang statis dan bukan hubungan yang lebih
dinamis.
 Karya ini akan lebih baik jika berfokus pada gerakan sosial
level individu (mikro) dan kurang baik dalam dinamika
pertentangan yang lebih luas (makro).
 Secara politik, asal-usul nya relatif terbuka, dari enam puluh
orang Amerika lebih menekankan pada peluang daripada
ancaman, lebih percaya diri dalam perluasan organisasi
sumber daya daripada organisasi defisit yang banyak
81
Sejarah Perkembangan Teori Gerakan Sosial;
Antara Kekuatan dan Kelemahannya
menghasilkan/menimbulkan kesulitan atau penderitaan.
 Model proses difokuskan pada asal usul pertentangan
(konflik) dan bukan sebaliknya pada tahapan kelanjutan
gerakan.
Dalam konteks ini, bahwa hal yang paling penting dalam
sebuah gerakan adalah peluang (oppurtunity) yakni gerakan
untuk menuntut hak-hak sipil kewarganegaraan (Jasper 1997).
McTeam, menyatakan hal ini terjadi karena mereka sering
menyebut diri mereka dan menunjuk ke arah strategi yang lebih
terbuka pada perspektif budaya. Mereka mengakui bahwa
peluang dan ancaman harus diakui seperti itu oleh para pejuang
(anggota gerakan) dan bukannya pada kondisi struktural yang
objektif. Mereka mengakui bahwa karya-karya budaya terjadi
di sepanjang waktu dan tidak terbatas pada perekrutan banding
(meskipun sayangnya yang ditonjolkan pada pembingkaian
konsepsi struktur obyektif, ketimbang berbagai mekanisme,
di mana makna dari emosi dikembangkan, dipromosikan
dan diperebutkan). Oleh karena itu pada akhirnya, mereka
mengusulkan untuk menguji tindakan dari semua pemain
strategis dan bukan hanya pada aktivis gerakan saja dan bukan
pula hanya berhenti setelah orang-orang dimobilisasi, namun
berlanjut pada dinamika pertarungan kekecawaan yang lebih
luas (Barker 2003; Koopmans 2003; Oliver 2003; Platt 2004;
Taylor 2003).
Dalam ketergesaan mereka untuk mengembangkan
sebuah model yang lebih dinamis, maka McAdam, Tarrow
dan Tilly dalam upaya mereka sendiri tidak memberikan
kesempatan untuk menggambarkan pada tingkatan yang
lebih mikro. Sebuah pendekatan yang lebih diarahkan kepada
anggota, dan lebih banyak menjanjikan bagi jangka panjang,
terutama untuk melihat potongan-potongan kecil strategi
interaksi dari psikologis sosial dan bahkan hal-hal bersifat
psikologis seperti: suasana hati, emosi yang spontan, komitmen
afektif, pengambilan keputusan heuristik, pembentukan
82
Sejarah Perkembangan Teori Gerakan Sosial;
Antara Kekuatan dan Kelemahannya
identitas, kenangan, perasaan keberhasilan dan kontrol,
pemimpin perubahan, kejahatan yang semakin meningkat
dan sebagainya. Kurangnya pada perhatian ini sangatlah
mengejutkan, mengingat bahwa begitu banyak komponen
yang diperlukan sudah dijelaskan oleh psikolog kognitif,
ekonom perilaku, analis wacana, sosiolog organisasi dan lain
sebagainya (termasuk Oberschall 1973).
McTeam menganut pendekatan relasional sebagai cara
untuk menolak sebuah metodologi individualisme bahwa
mereka didefinisikan sebagai yang melihat realitas ada dalam
pikiran individu. Akan tetapi dalam konteks ini, mereka
mengabaikan kemungkinan rasionalitas akal bahwa pikiran
individu dibentuk melalui interaksi sosial, tetapi kemudian
memiliki sebuah realitas independen sebagai bagian dari
interaksi yang membawa pengalaman masa lalu sebagai
kenangan bersama, kepercayaan, perasaan dan seterusnya,
Collins 2004). Hubungan yang terstruktur dan berkelanjutan
kemudian membentuk latar belakang dalam proses interaksi.
Oleh karena itu, sebuah pendekatan yang lebih strategis
akan memeriksa interaksi terlebih dahulu dan kemudian
melihat apa yang membawa para pemain ke interaksi, tanpa
mengasumsikan dimulainya hubungan (interaksi). Demikian,
McTeam (McAdam dllnya 2001, hal. 26) membicarakana
tentang mekanisme relasional yang mengubah hubungan antara
orang-orang, kelompok dan jaringan interpersonal.
Dalam konteks ini sesungguhnya McTeam mengabaikan
arti budaya dan emosi yang kaya tindakan strategis. Mereka
kemudian menggantikan atau membingkainya dengan istilah
yang lebih luas namun secara samar menyebutnya sebagai
konstruksi sosial, dalam hal ini akan dipertanyakan siapakah
yang melakukan pekerjaan konstruksi? Hal ini yang masih
belum jelas. Mereka berbicara tentang penafsiran kolektif,
akan tetapi berpikirnya tidak tepat kolektif. Singkat kata
bahwa pada akhir hidupnya, Tilly (2003, 2008) dalam teorinya
83
Sejarah Perkembangan Teori Gerakan Sosial;
Antara Kekuatan dan Kelemahannya
mencoba menemukan tempat yang lebih luas bagi budaya,
tetapi sebagian besar dengan membuat akibat-akibat yang
dihasil oleh struktur (Tilly 2005). Dalam konteks ini, sekali lagi,
bahwa kita sangat memerlukan teori tindakan (action theory)
(Touraine 1984).
2
Keterbatasan dalam perspektif mikro
Setelah Tilly menerbitkan bukunya Vende’e (Tilly 1964)
dan kemudian mendefinisikan perspektif proses. Mancur Olson
(1932-1998) menerbitkan sebuah buku kecil yang berjudul The
Logic of Collective Action yang menerapkan asumsi ekonomi
level mikro pada tindakan kolektif. Dalam tindakan kolektif,
para aktor yang rasional akan berpartisipasi dalam serikat,
gerakan sosial dan revolusi, hanya jika mereka secara pribadi
menginginkan atau menghendaki sesuatu dan kemudian
mengharuskan mereka untuk berpartisipasi. Dengan tidak
adanya dorongan memilih (selective incentives), individuindividu akan memilih bukan karena imbalan, atau menolak
untuk berpartisipasi, akan tetapi tercapainya manfaat kolektif.
Hanya saja dalam kelompok kecil, di mana para anggota
dapat memantau satu sama lain dan rasa malu yang lain
berkontribusi, yang pada akhirnya dapat membuat seseorang
itu ikut berpartisipasi dalam suatu gerakan.
Olson (1965, hal 61) memperkenalkan faktor moral dan
emosional, sebagai pengecualian dalam modelnya dengan
alasan bahwa motivasi dibalik tindakan seseorang tidak
mungkin dapat dibuktikan secara empiris. Hal itu tentu sama
saja mustahilnya untuk mendapatkan bukti bahwa seseorang
termotivasi oleh kepentingan diri sendiri. Dan memang ahli saraf
pemetaan bagian otak menujukan bahwa otak mengaktifkan
keinginan altruistik yang berbeda dalam tindakan yang
mementingkan diri sendiri. Olson sendiri bersikeras menolak
pandangan ini, namun tanpa bukti (seperti Tilly), bahwa
kelompok-kelompok penekan yang paling terorganisasi secara
84
Sejarah Perkembangan Teori Gerakan Sosial;
Antara Kekuatan dan Kelemahannya
eksplisit bekerja untuk keuntungan diri mereka sendiri, dan
bukan sebaliknya keuntungan bagi kelompok lain. Olson pun
kemudian akhirnya mengakui bahwa kelompok yang afektif
contohnya adalah keluarga dan solidaritas, mungkin terbaik
dipelajari daripada model lainnya. Sejauh kelompok pemrotes
memiliki ikatan afektif, seperti kebanyakan model lain, maka
model ini dianggap sebagai salah satu model yang lebih
adekuat atau memadai dalam studi gerakan sosial.
Dalam generasi setelah Olson, banyak muncul
gelombang pemrotes baru terhadap teori dan penelitian
tentang rasionalitas, yang mencerminkan perluasan dari teori
pilihan rasional dan teori permainan, terutama dalam ilmu
politik. Banyak yang telah memberikan solusi sebagai jalan
keluar bagi hambatan pemikiran yang dikembang saat Olson
memformulasikan teori itu. Misalnya sebagai contoh, Lichbach
(1995) menawarkan lebih selusin pedoman bagi para aktivis
gerakan.
Dalam sebuah karyanya yang terbaru, Opp (2009)
menyajikan paradigma pilihan rasional sebagai satu-satunya
pendekatan bagi studi gerakan sosial dengan teori eksplisitnya
pada tindakan umum. Dengan mempelajari secara menyeluruh
tradisi-tradisi lain, ia menunjukkan bahwa masuk akal bila
sebuah teori tindakan tingkat mikro ditambahkan, yang
biasanya sudah ada secara implisit. Dalam kebanyakan kasus,
ia menemukan bahwa teori adalah beberapa versi pilihan
rasional. Dia mendefinisikan serta menyimpulkan bahwa
pilihan rasional yang sangat luas (Opp 2009, hlm 2-3), sebagai
preferensi (bagi suatu tujuan atau motif atau keinginan) dari
aktor-aktor individual yakni kondisi-kondisi perilaku mereka
bahwa tindakan yang berorientasi pada tujuan yakni di
mana perilaku tergantung pada kendala atau setara dengan
peluang perilaku individu, dan individu pun terbuka untuk
memilih atau menentukan berbagai alternatif perilaku dengan
memaksimalkan utilitas mereka.
85
Sejarah Perkembangan Teori Gerakan Sosial;
Antara Kekuatan dan Kelemahannya
Dia menambahkan bahwa orang mungkin mencari
tingkat kepuasan maksimal, atau mereka melakukan apa yang
mereka pikir terbaik bagi diri mereka sendiri dan bukan pada
apa yang obyektif (dari sudut pandang orang ketiga yang
mahatahu) serta menghasilkan manfaat yang tertinggi. Dengan
demikian, jika orang hanya melakukan apa yang mereka pikir
terbaik pada saat itu, ini akan membuka peluang bagi segala
macam dinamika interpretasi pada emosi (kemarahan) yang
membentuk persepsi mereka dan mengejar keuntungan
yang ingin diraih. Opp tidak memberitahu kita banyak hal
tentang ini, terutama masalah emosi, mungkin karena mereka
tampaknya tidak secara ketat merumuskannya gagasan dalam
sebuah proposisi yang lebih ilmiah dalam mendukung teori
pilihan rasional tersebut (lih. Elster 1999).
Namun yang jelas bahwa Opp, mampu menggabungkan
identitas kolektif dengan proses kognitif ke dalam sebuah model,
sebagai upaya untuk mengatasi dikotomi budaya. Akan tetapi,
teori Opp tentang tindakan tidak menjadikan orang agar menjadi
lebih egois atau brilian. Tetapi tidak juga menggambarkan
mereka sebagai sangat kognitif, sebaliknya mampu menyadari
tujuan mereka, dapat mengatur dan memilih keseimbangan
yang diinginkan sebagai tujuan mereka. Jika emosi adalah cara
pengolahan informasi, yaitu berpikir (dan mungkin berpikir
sadar atau setengah sadar), maka Opp menawarkan kepada
kita cara yang cukup memadai untuk memasuki dunia mereka.
Upaya ini yang kemudian menjadikan Opp tetap berupaya
memperluas teori pilihan rasional untuk menggabungkan
berbagai masukan dari luar yakni kepentingan-kepentingan
material yang obyektif (sebagaimana yang Olson kemukakan
yakni sebagai perjuangan eksistensi) dan kemudian membuat
pemikirannya menjadi luar biasa dan tidak informatif. Singkat
kata, Opp membuka jalan penyelidikan yang lebih berguna,
mungkin dalam waktu jangka panjang dapat memberikan kita
hasil yang lebih memadai dalam memahami gambaran tentang
aksi atau tindakan.
86
Sejarah Perkembangan Teori Gerakan Sosial;
Antara Kekuatan dan Kelemahannya
3
Menuju ke sebuah arti atau makna
Tak pelak lagi bahwa pendulum inteletual telah berayun
dari struktur besar paradigma sejarah kembali menuju
kreativitas pada lembaga, makna budaya, emosi dan dunia
moralitas yang oleh Tilly ditolak sebagai fenomenologi. Aksi
sebagai lawan dari struktur, hal-hal yang kecil sebagai lawan
dari hal-hal yang besar (Goldfarb 2006). Namun pendulum
tidak datang kembali ke tempat yang sama hanya cukup
dengan satu ayunan. Alih-alih kembali ke fenomenologi
Husserl dan Merleau Ponty, bahwa perkembangan saat ini
adalah menempatkan arti dan tujuan secara tegas dalam
konteks sosial, dalam arena kelembagaan dan bentukbentuk jaringan sosial serta interaksi sehingga dalam hal ini
pemikiran strukturalis sangat penting. Oleh karena itu, sistesis
pemikiran para teoretisi seperti Touraine, Giddens, Bourdieu,
dan Habermas mulai diperhatikan, oleh karena itu, dengan
keberhasilan yang lebih besar atau kurang dalam satu dekade
1970-an dan 1980-an, efek riak mereka ini mulai muncul dalam
studi gerakan sosial berikutnya.
Demikian juga teori budaya sering membingungkan,
sebagai upaya untuk memutuskan hubungan dengan
paradigma organisasi dan struktural. Pada awal tahun 1986,
Snow, Benford dan kolaborator mereka menawarkan kerangka
proses sebagai cara untuk memahami makna dalam tindakan.
Selanjutnya Melucci 1996, menekankan teori berorientasi
identitas kolektif dalam konsep budaya besar sebagai salah
satu teori yang berpengaruh sekitar tahun 1990-an, terutama
pada generasi para sarjana aktivis (misalnya Gamson 1995;
Taylor dan Whittier 1992). Setelah pergantian milenium narasi
menjadi konsep populer, seringkali sebagai penegasan kembali
yang terstruktur, menghambat sifat makna, didasarkan pada
bahasa sebagai model bagi budaya (Davis 2002; Polletta
2006). Demikian juga dalam konteks ini, Jasper sendiri mulai
87
Sejarah Perkembangan Teori Gerakan Sosial;
Antara Kekuatan dan Kelemahannya
berupaya mensintesiskan pendekatan budaya termasuk emosi,
dan dalam hal ini ia juga mendefinisikan budaya sebagai
kognisi, emosi, dan moralitas, bukan sebaliknya pengertian
budaya mengacu kepada produk-produk (Jasper 1997, 2007).
4
Pragmatisme
Apresiasi yang diperbarui dari filsafat pragmatis dan
sosiologi Sekolah Chicago telah menawarkan warisan teoritis
secara paralel dalam memikirkan kembali makna suatu
tindakan, dan emosi. Dalam upaya terbesarnya, Daniel Cefaı
(2007) menggali warisan intelektual yang diturunkan oleh
Chicago Park, memilah-milah literatur beragam dari berbagai
mode dan tampilan yang banyak diisukan di antaranya mengkaji
karya Quarantelli tentang bencana alam dan pengaruhnya pada
kerusuhan di AS tahun 1960-an. Dia menunjukkan kekuatan ide
Park pada publik, seperti berbagai perlawanan yang muncul
dalam berbagai bentuk perilaku massa dalam kerumunan. Dia
juga lahir dalam jejak tradisi Chicago melalui peneliti seperti
Klapp dan Gusfield, titik pandang konstruksionis berpengaruh
tetapi tidak pernah sepenuhnya keluar selama era struktural
(juga Turner dan Killian 1957).
Tidak setuju atau menolak gagasan bahwa orang banyak
tidak rasional, Cefaı menunjukkan bahwa banyak perilaku
kolektif terjadi di sekitar gerakan sosial. Ia menggabungkan
warisan Chicago dengan pendekatan masyarakat yang
diprogramkan, dan melempar akhir masa Chicagoite pada
Erving Goffman. Selanjutnya pada Tilly dan Touraine, dia
menemukan kesenjangan pemahaman makna yang tidak
memadai, ia mengisinya dengan konsep yang bertujuan untuk
memahami proses penciptaan makna praktis seperti; wacana,
kode, batas-batas moral, identitas kolektif, emosi, ritual, dan
sebagainya, termasuk mengarahkan pusat perhatian pada
hal yang lebih besar dalam aspek-aspek hukum. Cefaı juga
menghadirkan fokus metodologinya tersendiri, dengan
88
Sejarah Perkembangan Teori Gerakan Sosial;
Antara Kekuatan dan Kelemahannya
menyajikan etnografi sebagai cara yang paling tepat untuk
memahami situasi di mana manusia bekerja dan mengulangi
kembali dunia pemahaman mereka atas kehidupan sehari-hari
di sekitar mereka.
5
Kesimpulan
Suatu saat nanti, mungkin paradigma struktural pada
generasi yang akan datang dilihat kurang berguna lagi,
mengingatkan kita bahwa tujuan dari tindakan yang berarti
sebanding dengan pencapaian tujuan dan para pemain dalam
arena. Kita harus berpegang pada pandangan ini, sebagaimana
yang dijelaskan di latar belakang atau bahkan ketika kita
kembali ke pertanyaan mendasar yang oleh kebanyakan sarjana
dan praktisi ajukan seperti: apa yang orang inginkan? Jawaban
dari pertanyaan ini adalah mengarah kepada sebuah tujuan.
Dalam hal ini, maka tujuan adalah pusat pendekatan yang
strategis sebagai taktik, meskipun dalam pemahaman umum,
telah keliru memahami bahwa strategi merupakan instrumen
tujuan yang bersifat sementara mencerminkan budaya dan
emosi.
Kebanyakan para sarjana sepertinya kembali ke masalah
motivasi dan akhir dari tindakan, berdasarkan sudut sudut
pandang orang-orang, mereka ini mungkin dapat memberikan
jawaban yang lebih baik pada masalah irasionalitas yang
menjadi konsepsi penjelasan para rasionalis perilaku pada
masa lalu. Apakah akhir dari paradigma ambisius ini, berarti
kita harus menyerah pada teori? Haruskah kita mengabdikan
diri pada tugas-tugas empiris ilmu pengetahuan normal?
Haruskah kita membiarkan lapangan gerakan sosial terfragmen
ke sub spesialis, sehingga kekhususan gerakan wanita, atau
dalam globalisasi, jaringan perekrutan, atau emosi tidak perlu
lagi untuk saling berdialog? Apakah tidak ada alasan bagi
siswa mobilisasi di Australia belajar dari mereka yang menulis
tentang Nigeria? Sayangnya, fragmentasi ini berjalan dengan
89
Sejarah Perkembangan Teori Gerakan Sosial;
Antara Kekuatan dan Kelemahannya
baik, akan tetapi ada salah satu cara untuk membalikkan itu
yakni melalui debat teoritis dan sintesis. Misalnya, Collins
(1998), menunjukkan bahwa perjuangan antara beberapa
paradigma yang berbeda adalah situasi bermanfaat bagi
disiplin akademik. Artinya, jika kita mengabaikan teori dalam
studi gerakan sosial, maka kita akan membuat lebih banyak
kesalahan konseptual. Akan tetapi cara yang paling produktif
untuk melakukan teori hari ini mungkin untuk menghindari
teori-teori besar dan berkonsentrasi pada hal yang kecil.
Singkat kata, menurutnya, sebuah teori yang eksplisit tetapi
aksi atau tindakan yang realistis agar dapat membantu kita
mendapatkan sedikit hal yang benar.
90
Sumber Bacaan
Anderson, Perry. 1976. Considerations on Western Marxism.
London: New Left Books.
Adas, Michael, 1979. Prophet of Rebellion, Millenarian Protest
Movements against the European Colonial Order. USA: The
University of North Carolina Press. (diterjemahkan ke dalam
bahasa Indonesia oleh M. Tohir Effendi, menjadi Ratu Adil,
Tokoh dan Gerakan Milenarian Menentang Kolonialisme Eropa,
diterbitkan oleh CV. Rajawali, Jakarta, 1988).
Cohen, Jean L. 1985. Class and Society: The Limits of Marxian
Critical Theory. Amherest: Massachusett Press.
Cohn, Norman. 1961. The Pursuit of Millennium: Revolutionary
Millenarians and Mystical Anarchists of the Middle Ages.
London and New York: Oxford University Press.
Davies, James. 1962. “Toward a Theory of Revolution” American
Sociological Review, 27, no.1 (Pebruari).
Fireman, B. dan W.A Gamson, 1979. “Utilitarian Logic in the
Resource Mobilization Perspective”, in Mayer, N. Zald and J.
McCarthy, D (eds), Dynamics of Social Movements. Cambridge:
Winthrop.
Freud, Sigmund. 1959. Group Psychology and the Analysis of the
Ego. New York: Norton (aslinya diterbitkan tahun 1921).
Fuchs, Stephen. 1965. Rebellious Prophets; A Study of Messianic
Movements in Indian Religions. London.
Guur, Ted, Robert. 1970. Why Men Rebel. Princeton, NJ:
Princeton University Press.
Hoffer, Eric. 1993. The True Believer. (diterjemahkan ke dalam
Bahasa Indonesia menjadi Gerakan Massa, oleh Masri Maris.
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia).
Hardgraves, Robert. 1969. The Nadars of Tamilnad. USA:
Berkeley.
Jenkins, Craig J. 1983. “Resource Mobilization Theory and the
Study of Social Movement”, in Annual Review of Sociology,
volume 9, pp. 527.
Jasper, James M. 2007. ”Cultural Approaches in the Sociology
of Social Movements,” dalam Bert Klandermans & Conny
Roggeband (eds), Handbook of Social Movements Across
Disciplines. Amsterdam: University Department of Social
Sciences and Texas A & M University, College Station, Texas.
pp.,58, Chapter 3.
........................ 2010. Social Movement Theory Today: Toward a
Theory of Action?.Sociology Compass 4/11 (2010): pp.,965976, 10.1111/j.9020.2010.000329.x,.New York: Graduate
Center of the City University of New York.
Kuhn, Thomas. 1962. The Structure of Scientific Revolutions.
Chicago: University of Chicago Press.
LeBon, Gustave. 1897. The Crowd. London: Unwin.
Lioyd dan Rudolph, Susanne. 1969. The Modernity of Tradition.
New York: Chicago Press.
Lechte, John. 1994. Fifty Key Contemporary Thinkers. Routledge:
London and New York. (diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia oleh A. Gunawan Admiranto, 50 Filsuf
Kontemporer; dari Strukturalisme sampai Postmodernitas,
diterbitkan Yayasan Kanisius, Yogyakarta, 2001).
McCarthy, John dan Myer Zald. 1987.“Social Movement
Industries: Competition and Conflict Among SMOs,”dalam
Mayer Zald and John McCarthy (eds.). Social Movement in an
Organizational Society. New Brunswick, NJ: Transaction.
Mirsel, Robert. 2004. Teori Pergerakan Sosial; Kilasan Sejarah dan
Catatan Bibliografis. Yogyakarta: Resist Book.
Manan, Munafrizal. 2005. Gerakan Rakyat Melawan Elit.
Yogyakarta: Resist Book.
Olson, Mancur. 1965. The Logic of Collective Action. Cambridge:
Harvad University Press.
Pizzorno, A. 1978. Political Exchange and Collective Identity
in Industrial Conflict’, in C. Crouch and A. Pizzorno (eds),
Resurgence of Class Conflict in Western Europe Since 1968.
Londong: Macmillan.
.................... 1985. “On the Rationality of Democratic Choice”,
Telos, volume. 63 (Spring).
Porta, della, Donatella dan Diani, Mario. 1999. Social Movements:
An introduction. USA, New York: Blackwell Publishing.
Roy, Singha. 1959. The Crown in the French Revolution. Oxford:
Oxford University Press.
.................... 1963.”The Study of Popular Disturbances in the PreIndustrial Age”, Historical Studies. (Melbourne), May, PP.45769.
Rude, George. 1964. The Crowd in History, 1730-1840. New York:
John Wiley and Sons.
Rudebeck, Lars. 1992. “Introduction”, in Lars Rudebeck (ed.),
When Democracy Makes Sense. AKUT. Sweden: Uppsala
University.
Ritzer, George dan Goodman, Douglas, J. 2003. Modern
Sociological Theory 6th Edition. New York: McGraw Hill.
(diterjemahkan dalam bahasa Indonesia oleh A. Alimandan,
menajdi Teori Sosiologi Modern Edisi Keenam).
Ritzer, George. 2008. The Postmodern Social Theory (diterjemahkan
ke dalam bahasa Indonesia oleh Muhammad Taufik menjadi
Teori Sosial Postmodern. Yogyakarta: Kerjasama Kreasi
Wacana dengan Juxtapose Research and Publication Study
Club.
Smelser, Neil J. 1963. Theory of Collective Behavior. New York:
The Free Press of Glencoe.
Singh, Rajendra. 2001. Social Movement, Old and New: A PostModernist Critique diterjemahkan menjadi Gerakan Sosial
Baru (GSB).Yogyakarta: Resist Book (terj, Indonesia
diterbitkan tahun 2010).
Smith, Jackie dan Fetner, Tina. 2007. “Structural Approaches in
the Sociology of Social Movements”. (lihat Bab 2,. hlm,.13),
dalam Handbook of Social Movements Across Disciplines.
Bert Klandermans and Conny Roggeband,.(eds,) USA, New
York: Springer Science Business Media, LLC 233 Spring
Street.
Tarde, Gabriel. 1903. The Laws of Imitation. New York:
Holt.
Touraine, Alain. 1973. The Self Production of Society. Chicago:
University of Chicago Press. (diterjemahkan oleh Derek
Coltman, dari Bahasa Perancis Production de la societe, Paris,
Seuil, 1973).
................ 1981.The Voice and the Eye. New York: Cambridge
University Press.
................ 1985. “An Introduction to the Study of Social
Movements”, Social Research, vol. 52, no. 4, pp. 749-87.
................ 1987.“Social Movements: Participation and Protests”,
Scandinavian Political Studies, volume 10, no.1 pp. 125.
Tilly, Charles. Louse Tilly and Richard Tilly. 1975. The Rebelious
Century, 1830-1930. Cambridge: Harvard University Press.
Tilly, Charles. 1978. From Mobilization to Revolution. Reading,
MA: Addison Wesley.
Thompson, Erward P. 1981. The Making of the English Working
Class. Harmondsworth, Middlesex: Penguin Books.
Turner, Ralph dan Lewis, Killian. 1987. Collective Behavior.
Englewood Cliffs, NJ: Prenctice-Hall. (aslinya terbit tahun
1957).
Zald, Mayer dan Roberta Ash. 1966. Social Movements in
Organization: Coup d’Etat, Insurgency, and Mass Movements,
“American Journal of Sociology, 1983, January.
View publication stats
Download