Uploaded by User93231

PENATALAKSANAAN FISIOTERAPI PADA FRAKTUR 1 revisi (1)

advertisement
PENATALAKSANAAN FISIOTERAPI PADA FRAKTUR 1/3 PROKSIMAL
HUMERUS DEXTRA DENGAN MODALITAS INFRA RED DAN TERAPI
LATIHAN
Disusun oleh:
1. Nindya Rufin Sholihah
(E2017044)
2. Rosalia Rika Alphy Ariyani (E2017051)
3. Pratiwi Putri Yuniadi
(E2017048)
4. Gesang Bayu Aji
(E2017034)
PROGRAM STUDI DIV FISIOTERAPI
STIKES ‘AISYIYAH SURAKARTA
2019
HALAMAN PERSETUJUAN
Makalah dengan judul “Penatalaksanaan Fisioterapi Pada Fraktur 1/3
Proksimal Humerus Dextra Dengan Modalitas Infra Red Dan Terapi Latihan”
ini telah dikoreksi dan disetujui oleh pembimbing praktek lahan guna memenuhi
tugas praktek Preklinik di RS PKU Muhammadiyah Karanganyar.
Karanganyar, ..............................
Mengetahui,
Pembimbing Kampus
Pembimbing Lahan
.........................................
.........................................
KATA PENGANTAR
Pertama-tama, penulis ucapkan syukur dan terima kasih kepada Allah atas
rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini. Makalah
ini kiranya tidak akan selesai tanpa bantuan dari beberapa pihak yang terus
mendorong penulis untuk menyelesaikannya.
Terima kasih penulis haturkan kepada :
1. Ibu Sapti Ari Meilani, SSt., Ft., M. Or., selaku Kaprodi DIV Fisioterapi
STIKES ‘Aisyiyah Surakarta.
2. Ibu Dea Linia Romadhoni, S.Fis., M.K.M selaku koordinator praktek
lapangan dan pembimbing stase muskuloskeletal.
3. Ibu Sudarmi, AMF, selaku pembimbing lahan preklinik di Rumah Sakit
PKU Muhammadiyah Karanganyar.
4. Bapak Arizal Rifki P., SSt. Ft. dan Bapak Rifki Eka Bayu Aji., SSt. Ft.,
selaku fisioterapis di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Karanganyar
5. Semua pihak yang telah membantu penyusunan makalah ini baik secara
langsung maupun tidak langsung.
Yang senantiasa membimbing penulis di dalam kelas maupun di lahan
praktek. Tanpa adanya bimbingan dari beliau, penulis kiranya tidak akan mampu
menyelesaikan makalah ini.
Apabila dalam penyusunan makalah yang berjudul “Penatalaksanaan
Fisioterapi Pada Fraktur 1/3 Proksimal Humerus Dextra Dengan Modalitas
Infra Red Dan Terapi Latihan” terdapat beberapa kesalahan, izinkan penulis
menghaturkan permohonan maaf. Sebab, makalah ini tiada sempurna dan masih
banyak kelemahan.
Adapun, penulis berharap makalah ini juga bisa bermanfaat bagi pembacanya
ataupun penelitian selanjutnya.
Karanganyar, 31 Juli 2019
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Cedera yang sering terjadi pada tulang umumnya dikenal dengan
patah tulang atau fraktur. Fraktur merupakan suatu kondisi diskontinuitas
tulang atau terputusnya kontinuitas jaringan tulang yang umumnya
disebabkan oleh rudapaksa atau trauma, baik trauma langsung maupun
trauma tidak langsung (Hoppenfield, 2011). Fraktur dapat terjadi pada
seluruh tulang, salah satunya adalah fraktur humerus. Fraktur humerus adalah
fraktur pada tulang terpanjang dan terbesar dari ekstremitas superior yang
disebabkan oleh benturan atau trauma langsung maupun tidak langsung (de
Jong, 2010).
Fraktur dapat mengakibatkan terjadinya keterbatasan gerak, terutama
di daerah sendi yang fraktur dan sendi yang ada di daerah sekitarnya. Karena
keterbatasan gerak tersebut mengakibatkan terjadinya keterbatasan lingkup
gerak sendi dan gangguan pada fleksibilitas sendi (Gusty & Armayanti,
2014). Lingkup Gerak Sendi (LGS) adalah istilah yang digunakan untuk
menjelaskan jauhnya jangkauan dari gerak sendi (Pangemanan et al., 2012).
Menurut Lukman dan Nurna, (2013) penanganan untuk fraktur dibagi
menjadi dua yaitu secara operatif dan konservatif. Seperti pada fraktur humeri
yang dilakukan pemasangan ORIF (Open Reduction Internal Fixation).
Berupa plate (lempengan) and screw (sekrup), fraktur di daerah ini, dapat
terjadi komplikasi-komplikasi tertentu, seperti kekakuan sendi shoulder.
Kekakuan sendi shoulder akan menimbulkan beberapa gangguan yaitu
adanya nyeri dan keterbatasan lingkup gerak sendi bahu. Dalam hal ini
fisioterapis berperan dalam memelihara, memperbaiki, dan mengembalikan
kemampuan fungsional penderita seperti semula. Untuk mengatasi hal
tersebut banyak teknologi fisioterapi antara lain : hidroterapi, elektroterapi,
dan terapi latihan.
Berdasarkan latar belakang di atas, penulis tertarik untuk menyusun
makalah dengan judul penatalaksanaan Fisioterapi Pada Fraktur 1/3
Proksimal Humerus Dextra Dengan Modalitas Infra Red Dan Terapi Latihan.
B. Rumusan masalah
Rumusan masalah makalah ini adalah:
1. Apakah modalitas infra merah dapat mengurangi nyeri pada kondisi post
fraktur 1/3 proksimal humerus dextra?
2. Apakah terapi latihan dapat meningkatkan LGS pada shoulder dextra?
3. Apakah terapi latihan dapat meningkatkan kekuatan otot shoulder
dextra?
C. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini adalah:
1. Untuk mengetahui manfat modalitas infra red untuk mengurangi nyeri
pada kondisi post fraktur 1/3 proximal humerus dextra.
2. Untuk mengetahui manfaat terapi latihan untuk meningkatkan LGS pada
shoulder dextra.
3. Untuk mengetahui manfaat terapi latihan untuk meningkatkan kekuatan
otot shoulder dextra.
D. Manfaat Penulisan
1. Manfaat Bagi Penulis
Menambah pengetahuan dan wawasan tentang pengaruh modalitas infra
red untuk mengurangi nyeri pada kondisi post fraktur 1/3 proximal
humerus dextra dan untuk mengetahui manfaat terapi latihan untuk
meningkatkan LGS dan kekuatan otot shoulder dextra.
2. Manfaat Bagi Masyarakat
Manfaat yang diperoleh masyarakat pada umumnya yaitu dapat
mengetahui modalitas fisioterapi bukan hanya terapi latihan ataupun
manual terapi, namun juga menggunakan modalitas lain Infra Red untuk
memperlancar peredaran darah sehingga dapat mengurangi nyeri pada
kondisi fraktur 1/3 proximal humerus dextra.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Anatomi
1. Anatomi 1/3 Tulang Humerus Proksimal
Gambar 2.1 Anatomi 1/3 Proksimal Tulang Humerus (Syaifuddin,
2011)
2. Otot-otot Penggerak Pada Bahu
Menurut Syaifuddin (2011), otot- otot bahu terdiri dari :
a. Gerakan fleksi shoulder
Gerakan ini terutama dilakukan oleh m. deltoid bagian anterior dan m.
supraspinatus dari 0o-90o, sedangkan untuk 90o -180o dibantu oleh m.
pectoralis mayor, m. coracobrachialis dan m. biceps brachii.
b. Gerakan ekstensi shoulder
Otot pergerakannya adalah m. latissimus dorsi dan m. teres mayor,
sedangkan pada gerakan hiperekstensi m. teres mayor tidak berfungsi
lagi, dan digantikan fungsinya oleh m. deltoid posterior.
c. Gerakan abduksi shoulder
Gerakan ini dilakukan oleh serabut tengah m. deltoideus dimana
innervasinya oleh nervus axilaris C5, 6 dan m. supraspinatus yang
diinervasi oleh nervus supra scapula C5.
d. Gerakan adduksi shoulder
Penggerak utama gerakan ini adalah m. pectoralis major yang
diinervasi oleh nervus medial dan lateral pectoral C5-Th 1.
e. Gerakan exorotasi shoulder
Gerakan ini dilakuakan oleh m. infraspinatus yang diinervasi oleh
nervus supra scapula C5, 6 dan m. teres minor yang diinervasi oleh
nervus axilaris C5.
f. Gerakan endorotasi shoulder
Penggerak utamanya adalah m. supscapularis yang diinervasi oleh
nervus supscapular C5, 6 kemudian juga m. latissimus dorsi dan m.
teres mayor.
B. Definisi Kasus
a. Pengertian Fraktur Humerus
Fraktur humerus adalah terputusnya hubungan tulang disertai kerusakan
jaringan lunak(otot, kulit, jaringan saraf, pembuluh darah) sehingga
memungkinkan terjadinya hubungan atara fragmen tulang yang patah
dengan udara luar yang disebabkan oleh cedera dari trauma langsung
yang mengenai lengan atas (Muttaqin, 2011).
b. Jenis-jenis Fraktur Humerus Proksimal
Jenis fraktur proksimal humerus (Murray, dkk, 2011)
c. Proses Penyembuhan Tulang/Bone Healing
Proses penyambungan tulang menurut Apley dibagi dalam 5 fase:
1) Fase Hematoma
Fase hematoma terjadi selama 1- 3 hari. Pembuluh darah robek dan
terbentuk hematoma di sekitar dan di dalam fraktur. Tulang pada
permukaan fraktur, yang tidak mendapat pesediaan darah akan mati
sepanjang satu atau dua milimeter.
2) Fase Proliferasi
Fase proliferasi terjadi selama 3 hari sampai 2 minggu. Dalam 8 jam
setelah fraktur terdapat reaksi radang akut disertai proliferasi dibawah
periosteum dan didalam saluran medula yang tertembus ujung
fragmen dikelilingi jaringan sel yang menghubungkan tempat fraktur.
Hematoma yang membeku perlahan-lahan diabsorbsi dan kapiler baru
yang halus berkembang dalam daerah fraktur.
3) Fase Pembentukan Kalus
Fase pembentukan kalus terjadi selama 2-6 minggu. Pada sel yang
berkembangbiak memiliki potensi untuk menjadi kondrogenik dan
osteogenik jika diberikan tindakan yang tepat selain itu akan
membentuk tulang kartilago dan osteoklas. Massa tulang akan
menjadi tebal dengan adanya tulang dan kartilago juga osteoklas yang
disebut dengan kalus. Kalus terletak pada permukaan periosteum dan
endosteom. Terjadi selama 4 minggu, tulang mati akan dibersihkan.
4) Fase Konsolidasi
Fase konsolidasi terjadi dalam waktu 3 minggu – 6 bulan. Tulang
fibrosa atau anyaman tulang menjadi padat jika aktivitas osteoklas dan
osteoblastik masih berlanjut maka anyaman tulang berubah menjadi
tulang lamelar. Pada saat ini osteoblast tidak memungkinkan untuk
menerobos melalui reruntuhan garis fraktur karena sistem ini cukup
kaku. Celah-celah diantara fragmen dengan tulang baru akan diisi
oleh osteoblas. Perlu beberapa bulan sebelum tulang cukup untuk
menumpu berat badan normal.
5) Fase Remodelling
Fase remodelling terjadi selama 6 minggu hingga 1 tahun. Fraktur
telah dihubungkan oleh tulang yang padat, tulang yang padat tersebut
akan diresorbsi dan pembentukan tulang yang terus menerus lamelar
akan menjadi lebih tebal, dinding-dinding yang tidak dikehendaki
dibuang, dibentuk rongga sumsum dan akhirnya akan memperoleh
bentuk tulang seperti normalnya. Terjadi dalam beberapa bulan
bahkan sampai beberapa tahun
Proses bone healing pada tulang femur (Gerstenfeld, 2014)
d. Otot yang Terinsisi
Kasus fraktur dan non union proksimal humerus semakin banyak yang
ditangani dengan metode reduksi terbuka dan fiksasi internal(ORIF).
Penanganan dengan cara menginsisi otot deltoid tetap yang paling banyak
digunakan untuk kasus ini. Insisi jenis ini tidak sesuai untuk fraktur yang
memanjang ke distal sampai pada shaft/medial humerus (Murray dan
Robinson, 2011).
Insisi kulit shoulder-strap (Murray dan Robinson, 2011)
C. Etiologi
Fraktur disebabkan oleh pukulan langsung, gaya meremuk, gerakan
puntir mendadak, dan bahkan kontraksi otot ekstrem. Umumnya fraktur
disebabkan oleh trauma dimana terdapat tekanan yang berlebihan pada tulang
(Reeves dkk, 2011).
D. Patofisiologi
Fraktur humerus pada kondisi klinis sangat jarang, penyebab
terjadinya adalah trauma tajam langsung ke batang humerus sehingga terjadi
kerusakan total jaringan lunak disertai terputusnya batang humerus.
(Muttaqin, 2011).
E. Tanda dan Gejala
Secara umum menurut Sjamsuhidajat (2010), gejala fraktur humerus
adalah adanya rasa nyeri dan bengkak di bagian tulang yang patah,
deformitas, nyeri tekan, krepitasi, gangguan fungsi muskuloskeletal akibat
nyeri, putusnya kontinuitas tulang, dan gangguan neurovaskuler.
F. Pemeriksaan Diagnosa
1. Pemeriksaan Radiologis
Menurut Reksoprodjo (2009), dengan pemeriksaan klinik kita sudah dapat
mencurigai adanya fraktur.Walaupun demikian pemeriksaan radiologi
dilakukan untuk menentukan keaadaan, lokasi serta ekstensi frak
tur. Untuk menghindari nyeri serta kerusakan jaringan lunak selanjutnya,
maka sebaiknya kita mempergunakan bidai ysng bersifat radiolusen untuk
immobilisasi sementara sebelum dilakukan pemeriksaan radiologis.
Pemeriksaan radiologis dilakukan dengan beberapa prinsip:
a. Dua posisi proyeksi: Dilakukan sekurang-kurangnya yaitu pada
anterior- posterior dan lateral
b. Dua sendi pada anggota gerak dan tungkai harus difoto, di proksimal,
dan distal sendi yang mengalami fraktur
c. Dua anggota gerak. Pada anak-anak sebaiknya dilakukan foto pada
kedua anggota gerak terutama pada fraktur epifisis
d. Dua trauma, pada trauma yang hebat sering menyebabkan fraktur
pada dua daerah tulang. Misalnya pada fraktur calcaneus atau femur,
maka perlu dilakukan foto pada panggul dan tulang belakang
e. Dua kali dilakukan foto. Pada fraktur tertentu misalnya fraktur tulang
scafoid foto pertama biasanya tidak jelas sehingga biasanya
diperlukan foto berikutnya 10-14 hari kemudian.
Umumnya dengan foto polos kita dapat mendiagnosis fraktur, tulang
mana yang terkena dan lokalisasinya, apakah sendi juga mengalami
fraktur serta bentuk fraktur itu sendiri.
2. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium:
1. Pemeriksaan darah rutin untuk mengenai keadaan umum, infeksi akut
atau menahun
2. Atas indikasi tertentu: diperlukan pemeriksaan kimia darah, teaksi
immunologi, fungsi hati/ginjal
G. Teknologi Intervensi Fisioterapi
Teknologi intervensi fisioterapi yang digunakan untuk mengatasi
problematika pada kondisi post fraktur 1/3 proksimal humerus dextra adalah
Infra merah dan terapi latihan.
1. Infra Merah
Sinar Infra Merah adalah pancaran gelombang elektromagnetik
dengan panjang gelombang 7.700– 4 juta Amstrong. Efek Fisiologi Sinar
Infra merah pada saat disinari akan diabsorbsi oleh kulit, maka akan
muncul panas pada daerah tersebut. Sinar
Infra Merah
yang
bergelombang pendek (7.700– 12.000A) penetrasinya sampai pada
lapisan dermis yaitu dibawah kulit. Sedangkan untuk gelombang panjang
(diatas 12.000A) hanya sampai pada lapisan superficial epidermis.
Dengan efek panas tersebut otomatis temperatur akan naik dan akan
mempengaruhi
beberapa
aspek
yakni
:
Meningkatkan
proses
metabolisme, vasodilatasi pembuluh darah, pemanasan yang ringan akan
bersifat sedatif, peningkatan temperatur disamping membantu relaksasi
juga akan meningkatkan kemampuan kontraksi otot, menaikkan
temperatur tubuh. Efek terapeutik sinar infra merah: mengurangi rasa
sakit, relakasi otot, meningkatkan supply darah, menghilangkan sisa- sisa
metabolisme (Usman, 2012).
2. Terapi Latihan
Terapi latihan ini merupakan salah satu tindakan yang dalam
pelaksanaannya menggunakan gerak tubuh baik secara aktif maupun pasif
(Kisner, 2012). Terdiri dari:
a. Static contraction dapat mengurangi oedema sehingga nyeri
berkurang dan dapat memperlancar aliran darah dan menjaga
kekuatan otot agar tidak terjadi atrofi. Static contraction akan terjadi
pumping action dan kontraksi otot yang dapat menekan pembuluh
darah sehingga aliran darah akan lancar dan eksudat akan dapat
dialirkan ke bagian yang lebih proksimal (Kisner, 2012).
b. Relaxed passive movement dapat mengurangi nyeri serta terjadinya
keterbatasan gerak serta menjaga elastisitas otot (Kisner, 2012).
c.
Hold relax dapat meningkatkan LGS dan mengurangi nyeri. Setelah
kontraksi maksimal maka membutuhkan suplai darah yang besar dan
darah yang mengalir ke jaringan semakin besar dan zat “P” ikut
terangkut (Kisner, 2012).
d. Free active movement dapat menjaga LGS, meningkatkan kekuatan
dan daya tahan otot, meningkatkan sirkulasi darah, meningkatkan
rileksasi otot, penguluran jaringan lunak (Kisner, 2012).
e. Resisted active movement dapat meningkatkan kekuatan otot,
menjaga daya tahan otot, dan meningkatkan aliran darah. Latihan ini
dapat meningkatkan kekuatan otot karena adanya irradiasi dan
overflow reaction akan mempengaruhi rangsangan terhadap motor
unit latihan ini akan meningkatkan rekuitmen motor unit sehingga
akan semakin banyak melibatkan komponen otot yang bekerja
(Kisner, 2012).
BAB III
LAPORAN STATUS KLINIS
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. HASIL
Setelah mendapatkan tindakan fisioterapi dengan menggunakan modalitas
inframerah dan terapi latihan sebanyak dua kali didapatkan hasil sebagai
berikut:
1. Penurunan rasa nyeri diam, tekan, dan gerak pada lengan kanan pasien
yang diukur dengan menggunakan skala VDS (Skala nyeri tekan yang
diukur pada bagian distal humerus)
Nyeri
T0
T1
T2
Diam
3
3
0
Tekan
6
5
4
Gerak
7
6
4
2. Pengukuran LGS pada lengan kanan pasien gerak aktif, pasif yang diukur
dengan menggunakan goniometer.
a. LGS Aktif
LGS
T0
T1
T2
Shoulder
S=250-00-300
S=280-00-350
S=300-00-400
F=260-00-180
F=280-00-200
F=300-00-200
R(F 900)=300-
R(F 900)=350-
R(F 900)=380-
00-230
00-250
00-260
S=00-00-750
S=00-00-900
S=00-00-1050
LGS
T0
T1
T2
Shoulder
S=250-00-320
S=280-00-400
S=300-00-420
F=260-00-200
F=300-00-230
F=300-00-250
R(F 900)=320-
R(F 900)=400-
R(F 900)=420-
00-250
00-260
00-280
S=00-00-800
S=00-00-900
S=00-00-1050
dextra
Elbow
dextra
b. LGS Pasif
dextra
Elbow
dextra
3. Pengukuran kekuatan otot pada lengan kanan pasien gerak aktif, pasif
yang diukur dengan m8enggunakan skala MMT
Group otot
T0
T1
T2
Fleksor
2
2
3
Ekstensor
2
2
3
Abduktor
2
2
3
Adduktor
2
2
3
Internal
2
2
3
2
2
3
Rotator
Eksternal
Rotator
4. Pengukuran Antropometri pada lengan kanan dengan menggunakan
midline
Jarak dari
To(cm) T1(cm) T2(cm)
Acromion
5 cm
33
33
32
10 cm
30
29.5
29
15 cm
24.5
24
24
B. PEMBAHASAN
1. Pengurangan Derajat Nyeri dengan Modalitas Infra Merah
Infra merah adalah suatu terapi yang menggunakan pancaran
gelombang elektromagnetik dengan panjang gelombang 7.700– 4 juta Å.
Tujuan pemberian penyinaran infra merah pada kasus ini adalah untuk
mengurangi rasa nyeri. Efek thermal dari Infra merah mampu
mempengaruhi syaraf sensoris. Pemanasan tersebut akan bersifat sedatif
bagi ujung-ujung syaraf sensoris, tubuh akan rileks, dan sirkulasi darah
lancar, sehingga mengurangi rasa nyerinya (Usman, 2012).
Nyeri pada fraktur adalah nyeri yang termasuk dalam nyeri nosiseptif,
apabila telah terjadi kerusakan jaringan, maka sistem nosisseptif akan
bergeser fungsinya, dari fungsi protektif menjadi fungsi yang membantu
perbaikan jaringan yang rusak.
Transduksi adalah suatu proses dimana akhiran saraf efferent
menerjemahkan stimulus (misalnya tusukan jarum) ke dalam impuls
nosieptif. Transmisi adalah suatu proses dimana impuls disalurkan
menuju kornu dorsalis medula spinalis, kemudian sepanjang traktus
sensorik menuju otak. Modulasi adalah proses amplivikasi sinyal neural
terkait nyeri (pain related neural signals). Persepi adalah kesadaran akan
pengalaman nyeri yang merupakan hasil dari interaksi proses transdukdi,
transmisi, modulasi, aspek psikologi, dan karakteristik individu lainnya.
(Bahrudin, 2017)
Kerusakan jaringan yang diakibatkan trauma seperti robekan otot,
putusnya kontinuitas tulang, akan memacu pelepasan zat-zat kimiawi
(mediator inflamasi) yang menimbulkan reaksi inflamasi yang diteruskan
sebagai sinyal ke otak. Sinyal nyeri dalam bentuk impuls listrik akan
dihantarkan oleh serabut saraf nosiseptor tidak bermielin (serabut C dan
delta) yang bersinaps dengan neuron di kornu dorsalis medulla spinalis.
Sinyal kemudian diteruskan melalui traktus spinotalakmikus di otak,
dimana nyeri pada fraktur dipersepsi, dilokalisis dan diinterpretasikan
(Pinzon, 2014).
Efek dari pemberian Infra Red (IR) yang memberikan pemanasan
superfisial pada daerah kulit sehingga daerah yang diterapi menghasilkan
efek fisiologis dalam penyembuhan, efek-efek fisiologis tersebut yaitu
mengaktifkan reseptor panas superfisial pada kulit untuk mengubah
transmisi atau konduksi saraf sensoris dalam menghantarkan nyeri
sehingga menimbulkan efek pengurangan rasa nyeri, efek panas juga
menyebabkan pelebaran pembuluh darah (vasodilatasi) dan meningkatkan
aliran darah sehingga oksigen pada daerah tersebut cukup terpenuhi,
selain itu efek pemberian Infra Red (IR) memberikan rasa nyaman dan
rileks sehingga dapat mengurangi nyeri pada otot yang mengalami
ketegangan (Ansari et al., 2014).
2. Peningkatan Lingkup Gerak Sendi (LGS) dengan Terapi Latihan
Untuk meningkatkan LGS, fisioterapis menggunakan terapi latihan
yang terdiri dari:
a. Relaxed passive movement dapat mengurangi nyeri serta terjadinya
keterbatasan gerak serta menjaga elastisitas otot (Kisner, 2012).
b. Free active movement dapat menjaga LGS, meningkatkan kekuatan
dan daya tahan otot, meningkatkan sirkulasi darah, meningkatkan
rileksasi otot, penguluran jaringan lunak (Kisner, 2012).
c. Assisted active movement yaitu gerakan aktif dengan bantuan
kekuatan dari luar, sedangkan pasien tetap mengkontraksikan ototnya
secara sadar. Bantuan dari luar dapat berupa tangan terapis, papan,
maupun suspenction. Terapi latihan jenis ini dapat membantu
mempertahakan fungsi sendi dan kekuatan otot setelah terjadi fraktur.
Bertambahnya LGS menggunakan intervensi exercise therapy metode
passive exercise sesuai dengan mekanisme terstimulusnya Muscle Spindle
Organs(MSO) pada saat otot rileks. MSO sangat sensitif terhadap
perubahan panjang otot, yang mana ketika otot dalam keadaan rileksasi
responnya berubah mempertahankan panjang(tonic response) untuk
memelihara posisi atau mengubah panjang(phasic responce) saat
bergerak. Pergerakan secara pasif tidak menimbulkan kontraksi pada otot
agonis dan otot antagonis, sehingga MSO terstimulus pada kedua otot
yang rileks dan pada akhirnya pergerakan baik ke arah agonis maupun
antagonis menjadi lebih mudah dan lebih leluasa, maka dengan demikian
LGS dapat menjadi bertambah(Wahyono, & Utomo, 2016)
Active movement, merupakan gerak yang dilakukan oleh otot-otot
anggota tubuh itu sendiri. Gerak yang dalam mekanisme pengurangan
nyeri dapat terjadi secara reflek dan disadari. Gerak yang dilakukan
secara sadar dengan perlahan dan berusaha hingga mencapai lingkup
gerak penuh dan diikuti relaksasi otot akan menghasilkan penurunan
nyeri. Di samping itu, gerak dapat menimbulkan “pumping action” pada
kondisi oedema sering menimbulkan keluhan nyeri, sehingga akan
mendorong cairan oedema mengikuti aliran ke proksimal (Amanati, et.
al., 2017).
Terapi latihan mampu meningkatkan LGS karena terapi latihan dapat
meningkatkan fleksibilitas sehingga dapat memelihara mobilisasi yang
menyebabkan otot menjadi lentur dan mampu untuk meningkatkan LGS
sebelumnya (Novita, 2010).
3. Peningkatan Kekuatan Otot Shoulder Dextra dengan Terapi Latihan
Untuk meningkatkan kekuatan otot, fisioterapis memberikan terapi
latihan secara active resisted. Dengan adanya gerakan yang teratur oleh
kekuatan otot penderita itu sendiri dapat meningkatkan kekuatan otot.
Saat memberikan exercise pada pasien, maka otot pasien akan
berkontraksi yang menyebabkan adaptasi neural yang kemudian diikuti
dengan adaptasi struktural. Proses adaptasi neural berlangsung selama 6
minggu pertama. Setelah 6 minggu adaptasi neural akan mengalami
penurunan dan adaptasi struktural akan mengalami percepatan. Proses
adaptasi tersebut secara bertahap akan menyebabkan peningkatan ukuran
penampang melintang otot, hipertropi pertumbuhan miofibril, hiperplasia
serabut otot, dan perubahan serabut otot, sehingga kekuatan otot secara
bertahap akan mengalami peningkatan otot (Tresnasari et al,. 2017)
4. Penurunan Odema pada Shoulder Dextra dengan Static Contraction
Static contraction dapat mengurangi oedema sehingga nyeri
berkurang dan dapat memperlancar aliran darah dan menjaga kekuatan
otot agar tidak terjadi atrofi. Static contraction akan terjadi pumping
action dan kontraksi otot yang dapat menekan pembuluh darah vena
sehingga aliran darah akan lancar dan eksudat akan dapat dialirkan ke
bagian yang lebih proksimal (Kisner, 2012).
Static contraction dapat mengurangi oedema pada adanya kontraksi
otot dalam keadaan statis ini, sehingga memberikan efek pumping action,
dimana menyebabkan peningkatan perifer ressistance of blood vessels.
Adanya hambatan perifer ini menyebabkan blood pressure meningkat dan
diikuti dengan peningkatan cardiac output secara otomatis sehingga
mekanisme metabolisme menjadi lancar dan sehingga menyebabkan
oedema menurun (Joyne & Casey, 2015).
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Setelah mendapatkan penanganan terapi sebanyak dua kali didapatkan hasil:
1. Terdapat pengurangan nyeri diam, nyeri tekan, dan nyeri gerak setelah
diberikan modalitas infra merah.
2. Terdapat peningkatan LGS pada gerakan fleksi, ekstensi, abduksi,
adduksi, endorotasi dan eksorotasi Shoulder dextra setelah diberikan
terapi latihan.
3. Terdapat peningkatan kekuatan otot Shoulder dextra setelah diberikan
terapi latihan.
B. Saran
1. Kepada Pasien
Latihan yang bisa dilakukan di rumah antara lain dengan melakukan
latihan gerakan pada sendi bahu seperti gerakan fleksi- ekstensi, abduksiadduksi, dan eksorotasi- endorotasi. Pasien disarankan agar lebih berhatihati dalam beraktifitas khususnya seperti mengangkat berat, mendorong
ataupun menarik benda berat menggunakan tangan kanannya. Dapat juga
memberikan kompres air hangat pada bagian yang sakit untuk
mengurangi nyeri.
2. Kepada Fisioterapi
Dalam melakukan pelayanan hendaknya sesuai prosedur yang ada
sebelum tindakan terapi. Fisioterapi mengadakan pemeriksaan yang teliti
dan sistematis sehingga dapat memecahkan permasalahan pasien secara
rinci dan untuk itu perluasan dan penambahan ilmu pengetahuan yang
sesuai dengan kondisi pasien atau suatu masalah diperlukan dengan
memanfaatkan kemajuan IPTEK. Fisioterapi dapat memilih teknologi
intervensi yang paling sesuai dengan hasil yang memuaskan bagi pasien
dan terapis sendiri.
3. Kepada Masyarakat
Apabila mengalami atau menjumpai kecelakaan dan kejadian yang
mengakibatkan cedera tubuh terutama yang mengalami patah tulang
supaya lebih memanfaatkan adanya institusi kesehatan yang ada dengan
memeriksakan diri ke rumah sakit terdekat untuk mendapatkan
pertolongan / tindakan yang benar yang sesuai dengan permasalahan yang
ada secara dini, sehingga tidak terjadi cedera yang berkelanjutan.
DAFTAR PUSTAKA
Amanati, Suci., Kuswardani dan Rose Ash Sidiqi Marita. Pengaruh Terapi Latihan
dan Massage terhadap Kasus Close Fraktur Humeri Dextra 1/3 Distal dengan
Pemasangan Skin Traction. Jurnal Fisioterapi dan Rehabilitasi, 1(1): 57-64.
Ansari, N. N., et.al. (2014). Effect of Therapeutic Infra-red In Patients With NonSpecific Low Back Pain: A Pilot Study. Journal of Bodywork and Movement
Therapies, 18(1): 75-81.
Arofah, Intan Novita. (2010). Dasar-dasar Fisioterapi pada Cedera Olahraga.
Yogyakarta.
Bahrudin, Mochamad. (2017). Patofisiologi nyeri (pain), 13(1:7-13).
de Jong, W. (2010). Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 3. Jakarta: EGC.
Einhorn, Thomas A. Dan Gerstenfeld, Louis C. (2014). Fracture healing:
Mechanisms and interventions. Nature Reviews | Rheumatology: 1-10.
Gusty, R. P., & Armayanti. (2014). Pemberian Latihan Rentang Gerak Terhadap
Fleksibilitas Sendi Anggota Gerak Bawah Pasien Fraktur Femur Terpasang
Fiksasi Interna Di RSUP. Dr. M. Djamil Padang. Jurnal Keperawatan, 10(1),
176 – 196.
Hoppenfeid, S., & Myrthy, V. L. (2011). Treatment & rehabilitation of fractures.
Jakarta: EGC.
Joyner, Michael J. dan Cassey, Darren P. (2015). Regulation of Increased Blood
Flow (Hyperemia) to Muscles During Exercise: A Hierarchy of Competing
Physiological
Needs.
Physio
Rev,
95(2):549-601.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4551211/
Kisner, C dan Lynn A. C. (2012). Therapeutic Exercise Foundation And Technique
Sixth Edition. Philadelphia: F. A. Davis Company.
Lukman dan Nurna N. 2013. Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan Gangguan
Sistem Muskuloskeletal. Jakarta: Salemba Medika.
Murray, I. R dan Robinson, C. M. (2011). TRAUMA: The Extended DeltoidSplitting Approach To The Proximal Humerus. The Journal of Bone and Joint
Surgery, 93-B( 3): 387-392.
Murray, Iain R, et. al. (2011). Proximal Humeral Fractures: Current Concepts In
Classification, Treatment And Outcomes. The Journal Of Bones and Joint
Surgery(Sr), 93(1): 1-12.
Muttaqin, Arif. (2011). Buku Saku Gangguan Muskuloskeletal Aplikasi Pada Praktik
Klinik Keperawatan. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Nayagam S. (2010). Principles of Fractures. Dalam: Solomon L, Warwick D,
Nayagam S. Apley’s System of Orthopaedics and Fractures Ninth Edition.
London: Hodder Education. 2010.
Pangemanan, D. H. C., Engka, J. N. A., & Supit, S. (2012). Gambaran Kekuatan Otot
Dan Fleksibilitas Sendi Ekstremitas Atas Dan Ekstremitas Bawah Pada Siswa/I
Smkn 3 Manado. Jurnal Biomedik, 4(3), 109-118.
Reeves CJ, dkk. (2011). Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: Salemba Medika.
Rizaldiy, Pinzon. (2014). Esesmen Nyeri Yogyakarta: Betha Grafika L.
Syaifuddin. (2011). Anatomi Tubuh Manusia untuk Mahasiswa Keperawatan.
Jakarta: Salemba Medika.
Tresnasari, C., A. Basuki, & Irma R. D. (2017). Efektivitas Latihan Penguatan
Terhadap Kemampuan Fungsional Anggota Gerak Atas Pada Pasien Strok
Iskemi Fase Subacut The Effectiveness Of Strenghtening Exercise On Upper
Limbs Functional Ability Of Subacut Phase Ischemic Stroke Patient. Global
Medikal And Health Communication, 5(22):182-188.
Wahyono, Yulianto., & Utomo, Budi. (2016). Efek Pemberian Latihan Hold Relax
Dan Penguluran Pasif Otot Kuadrisep Terhadap Peningkatan Lingkup Gerak
Fleksi Sendi Lutut Dan Penurunan Nyeri Pada Pasien Pasca Orif Karena
Fraktur Femur 1/3 Bawah Dan Tibia 1/3 Atas. Jurnal Terpadu Ilmu Kesehatan,
5(1), 01-10.
.
LAMPIRAN
Foto Rontgen Pre Operasi Pemasangan ORIF
Foto Rontgen Post Operasi Pemasangan ORIF
Download