Uploaded by User68416

SGD Faktor Risiko dan Potensi Bencana di Wilayah Indonesia Tengah SGD ke 1

advertisement
LEARNING TASK 1
KEPERAWATAN BENCANA
FAKTOR RISIKO DAN POTENSI BENCANA
DI WILAYAH INDONESIA TENGAH
Oleh SGD 2:
Fasilitator: Ns. I Gusti Ngurah Juniartha, S.Kep., M.Kep
Anggota Kelompok :
1. Putu Rossi Widyasari
1502105015
2. Ni Kadek Rima Pebrianti
1702521005
3. Ni Ketut Ayu Indah Gita Cahyani
1702521009
4. Gusti Nyoman Mega Utami
1702521010
5. Ida Ayu Eni Pradnyandari
1702521014
6. Luh Yudita Intan Pratiwi
1702521018
7. Ida Ayu Susanti
1702521030
8. Dewa Gede Wirahadi Putra
1702521037
9. Kadek Riska Kristyani Sari Dewi
1702521052
10. Ni Kadek Konik Damayanti Putri
1702521060
11. Made Ayu Tara Sania Tari
1702521066
PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN DAN PROFESI NERS
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2020
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Bencana merupakan peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam,
mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan oleh
faktor alam, nonalam maupun manusia sehingga mengakibatkan timbulnya
korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak
psikologis (Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2007).
Bencana dikelompokkan menjadi tiga jenis yaitu bencana alam, bencana non
alam, dan bencana sosial. Bencana alam merupakan peristiwa atau serangkaian
peristiwa yang disebabkan oleh alam seperti, gempa bumi, tsunami, banjir,
kekeringan. Bencana non alam yaitu bencana yang disebabkan oleh peristiwa
non alam seperti kegagalan teknologi, epidemi, dan wabah penyakit. Bencana
Sosial merupakan bencana yang disebabkan oleh manusia seperti konflik sosial,
dan teror.
Indonesia merupakan salah satu negara dengan risiko bencana yang tinggi.
Fakta tersebut tidak dapat dipungkiri melihat letak geologi dan geografi
Indonesia yang menyebabkan rawan terjadi bencana (Badan Nasional
Penanggulangan Bencana, 2018). Secara geologi, Indonesia berada pada
pertemuan tiga lempeng tektonik besar yaitu Eurasia, Indo Australia, dan
Pasifik. Kondisi ini menyebabkan Indonesia rawan terjadi gempa bumi, erupsi
gunung api, tsunami, dan bencana geologi lainnya. Sedangkan secara geografi,
Indonesia terletak di garis khatulistiwa yang beriklim tropis dan hanya memiliki
dua musim yaitu musim penghujan dan musim kemarau. Kondisi ini juga
berisiko terjadi bencana seperti banjir, tanah longsor, puting beliung, kebakaran
hutan, dan kekeringan (BNPB, 2017).
BNPB mencatat jumlah kejadian bencana alam di Indonesia selama tahun 2019
yaitu 1.426 kejadian. Jenis bencana yang menyumbang angka kejadian tersebut
yaitu bencana banjir, tanah longsor, gelombang pasang, puting beliung,
kekeringan, kebakaran hutan, gempa bumi, dan letusan gunung api. Sementara
itu jumlah kejadian bencana alam yang terjadi di wilayah Indonesia bagian
tengah pada tahun 2019 yaitu 213 kejadian.
Hasil perhitungan indeks risiko bencana menurut BNPB (2018) menunjukkan
16 provinsi berada pada kelas risiko bencana tinggi, 18 provinsi berada pada
kelas risiko bencana sedang dan tidak ada provinsi yang berada pada risiko
bencana rendah. Sulawesi Barat merupakan salah satu provinsi di wilayah
Indonesia bagian tengah yang berisiko paling tinggi terhadap ancaman bencana
dengan skor indeks risiko bencana yaitu 162,92. Tingginya indeks risiko
bencana menunjukkan adanya ancaman bencana yang harus dihadapi, sehingga
diperlukan
upaya
pencegahan
bencana,
mitigasi,
kesiapsiagaan
dan
penanggulangan bencana.
Berdasarkan fakta letak geologis, geografi, angka kejadian bencana dan indeks
risiko bencana menunjukkan pentingnya melakukan identifikasi faktor risiko
dan potensi bencana. Hal ini sesuai dengan learning task Small Group
Discussion Keperawatan Bencana, dimana kelompok SGD 2 melakukan
identifikasi faktor risiko dan potensi bencana yang mungkin terjadi di wilayah
Indonesia bagian tengah khususnya Provinsi Sulawesi Barat yang memiliki skor
IRB 162,92 atau kelas risiko tinggi.
1.2 Tujuan
Tujuan dari penyusunan laporan Small Group Discussion ini, yaitu:
1. Mengidentifikasi dan menjelaskan faktor risiko bencana di wilayah
Indonesia bagian tengah khususnya Provinsi Sulawesi Barat.
2. Mengidentifikasi dan menjelaskan potensi bencana di wilayah Indonesia
bagian tengah khususnya Provinsi Sulawesi Barat.
1.3 Manfaat
1. Manfaat Teoritis
Hasil diskusi Small Group Discussion ini diharapkan dapat menjadi
sumbangan pemikiran dalam memperkaya wawasan konsep mengenai
faktor risiko dan potensi bencana di wilayah Indonesia bagian tengah
khususnya Provinsi Sulawesi Barat.
2. Manfaat Praktis
Hasil diskusi Small Group Discussion ini diharapkan mampu bermanfaat
bagi mahasiswa sebagai informasi terkait faktor risiko dan potensi bencana
di wilayah Indonesia bagian tengah khususnya Provinsi Sulawesi Barat dan
mengetahui peran perawat dalam upaya penanggulangan bencana.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Faktor risiko bencana di wilayah Indonesia bagian tengah khususnya
Provinsi Sulawesi Barat
1. Letak Geologi dan Geografis
Provinsi Sulawesi Barat yang secara astronomis terletak antara 0°12’03°38’ Lintang Selatan (LS) dan 118°43’15’’-119°54’3’’ Bujur Timur
(BT), berada di sebelah Barat Pulau Sulawesi. Wilayah di Provinsi Sulawesi
Barat berbatasan langsung dengan patahan mamuju dan palukoro yang
menyebabkan provinsi ini mempunyai ancaman yang tinggi terjadinya
bencana gempa bumi (Badan Nasional Penanggulangan Bencana, 2018).
Hal tersebut juga dapat menjadi faktor risiko terjadinya pergeseran secara
vertikal di dasar laut yang mengakibatkan potensi tsunami.
Gambar sesar atau patahan sebagai pemicu gempa bumi di pulau Sulawesi.
2. Iklim
Topografi di masing-masing kota di provinsi ini terdiri dari perbukitan
hingga dataran landai, kondisi dataran yang landai yang disertai dengan
iklim yang bervariasi menyebabkan potensi bencana hidrometeorologi.
Adapun penyebaran potensi kerentanan perubahan cuaca dapat dilihat pada
gambaran peta di bawah ini.
Berdasarkan peta di atas terdapat 14 desa yang rentan akibat dari perubahan
iklim. Desa yang rentan ditandai dengan warna merah pada gambar peta di
atas. Pemetaan daerah rentan perubahan iklim ini dapat menjadi acuan untuk
instansi agar dapat memfokuskan pada daerah/desa dengan tingkat
kerentanan yang tinggi. Selain itu, pemilihan aksi untuk adaptasi dan atau
mitigasi pada daerah tersebut dapat menjadi lebih efektif dengan melihat
informasi pemetaan daerah kerentanan yang sudah disajikan di atas agar
aksi adaptasi dan atau mitigasi dapat berjalan dengan efektif dan efisien.
Selain pemetaan indeks kerentanan secara umum, melalui data SIDIK dapat
diketahui tingkat kerentanan suatu daerah terhadap beberapa bencana alam
yang sering terjadi yaitu longsor dan banjir yang disajikan pada gambar di
bawah ini.
Peta Daerah Rentan dan Potensi Banjir Wilayah Sulawesi Barat
Peta Daerah Rentan dan Potensi Longsor Wilayah Sulawesi Barat
3. Kepadatan Penduduk
Provinsi sulawesi barat terdiri atas enam kabupaten/kota. Provinsi ini
mempunyai kepadatan penduduk mencapai 61 jiwa/km dengan total
penduduk sebanyak 1.355.554 jiwa. Faktor kepadatan penduduk di provinsi
ini merupakan faktor risiko terjadinya bencana, hal tersebut disebabkan
karena meningkatnya pengalihan fungsi lahan untuk perumahan,
perkebunan sehingga menyebabkan rusaknya lingkungan (BNPB, 2018).
4. Keberagaman Masyarakat
Indonesia dianugerahi dengan berbagai macam perbedaan yang meliputi
suku bangsa, ras agama dan antar golongan. berdasarkan data sensus
penduduk Badan Pusat Statistik pada tahun 2010 Indonesia memiliki sekitar
1.340 suku bangsa (Portal Informasi Indonesia, 2017). Menurut Badan
Pusat Statistik jumlah penduduk asal suku Mandar di Sulawesi Barat
mencapai 49,5%. Selain suku Mandar Provinsi Sulawesi Barat juga
ditinggali beragam suku lainnya seperti Toraja, Bugis, Jawa, dan Makassar.
Sementara itu keberagaman agama pada penduduk Sulawesi Barat yaitu 83,
30% penduduk beragama Islam, 13,83% beragama Protestan 1,16%
beragama Katolik, 1,65% beragama Hindu, dan 0,066% beragama Buddha
. Kondisi keberagaman tersebut menjadi salah satu faktor risiko dan
berpotensi menimbulkan konflik sosial terlepas dari beberapa faktor lain
yang memicu terjadinya konflik seperti perbedaan individu meliputi
perbedaan pendirian dan perasaan, perbedaan latar belakang kebudayaan
yang mengacu pada keberagaman di atas, perbedaan kepentingan antara
individu atau kelompok, perubahan nilai yang cepat dan mendadak dalam
masyarakat (Irwandi & Chotim, 2017).
B. Potensi bencana di wilayah Indonesia bagian tengah khususnya Provinsi
Sulawesi Barat
1. Potensi Bencana Alam
Provinsi Sulawesi Barat terletak dalam jalur tektonik cincin api dunia,
sehingga membuat wilayah Provinsi Sulawesi Barat memiliki kerentanan
tinggi
terhadap
kemungkinan
terjadinya
bencana
alam
geologi
(Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2016). Topografi di Provinsi
Sulawesi Barat terdiri dari perbukitan berlereng terjal hingga dataran landai,
kondisi topografi yang landai ditambah dengan situasi iklim yang berbagai
jenis dapat menyebabkan Provinsi Sulawesi Barat memiliki potensi yang
besar mengalami bencana hidrometeorologi. Potensi bencana yang dapat
terjadi di Provinsi Sulawesi Barat yaitu gempa bumi, tsunami, banjir, tanah
longsor, kebakaran hutan dan lahan, kekeringan, gelombang ekstrem dan
abrasi. Berdasarkan Indeks Risiko Bencana Indonesia (IRBI) pada tahun
2018, Provinsi Sulawesi Barat memiliki indeks risiko dengan kategori tinggi
yaitu 162.92 (BNPB, 2018). Adapun penjabaran nilai indeks risiko bencana
di wilayah Provinsi Sulawesi Barat, yaitu:
Banjir merupakan suatu daerah yang tergenang oleh air dalam jumlah besar
(Badan Penanggulangan Bencana Daerah, 2015). Banjir bandang
merupakan banjir yang datang secara tiba-tiba dengan jumlah air yang
besar, disebabkan oleh terbendungnya aliran sungai pada alur sungai (Badan
Penanggulangan Bencana Daerah, 2015). Kawasan di Indonesia ketika
musim penghujanan selalu dilanda oleh banjir. Kejadian bencana banjir
terlihat menunjukkan frekuensi yang meningkat. Ulah manusia dapat
menjadi salah satu faktor penyebab terjadinya banjir, seperti penebangan
liar mengakibatkan penggundulan hutan, membuang sampah sembarangan
ke aliran sungai yang dapat mengakibatkan penyumbatan pada aliran sungai
dan menyebabkan banjir, penggunaan lahan yang tidak tepat, seperti
pemukiman di daerah bantaran sungai, dan sebagainya (Badan
Penanggulangan Bencana Daerah, 2015). Daerah yang berpotensi
mengalami banjir di wilayah Indonesia salah satunya Sulawesi Barat, yaitu
sebuah website berita Kota Mamuju daerah yang berpotensi terjadi bencana
alam yang salah satunya bencana banjir. Daerah Mamuju memiliki sungai
besar di beberapa kecamatan sangat berpotensi terjadinya bencana banjir.
Sehingga pihak Badan Penanggulangan Bencana Daerah berharap agar
semua pihak tidak melakukan serta merusak hutan yang dapat mengancam
keselamatan manusia (Pemerintah Provinsi Sulawesi Barat, 2020).
2. Potensi Bencana Sosial
Berdasarkan Peta Potensi Kerawanan Konflik Sosial Provinsi Sulawesi
Barat dibagi menjadi beberapa kabupaten, yaitu:
a. Kabupaten Mamuju terdapat potensi konflik yaitu SARA.
b. Kabupaten Majene, Mamuju Tengah, dan Polman terdapat potensi
konflik yaitu Sengketa Tanah dan Sumber Saya Alam, SARA, dan
Sosial.
c. Kabupaten Mamasa terdapat potensi konflik yaitu Perkelahian antar
Warga, SARA, dan Sosial.
d. Kabupaten Pasangkayu terdapat potensi konflik yaitu Lahan dan
Sumber Daya Alam.
Potensi Konflik :
a. Konflik Sosial
Pada dasarnya dilansir oleh berita yang menekankan perlu ada upaya
bersama dalam mengefektifkan penanganan konflik sosial melalui
langkah-langkah kegiatan pencegahan, penghentian, dan pemulihan
pasca konflik. Untuk mewujudkan hal tersebut dibutuhkan keterpaduan
dan koordinasi antar aparatur pemerintah daerah dengan instansi
vertikal di daerah ini.
b. Sengketa Sumber Daya Alam
Adanya pengelolaan sumber daya alam yaitu di pesisir yang dilansir
oleh Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sulawesi Barat telah
menetapkan Rencana Strategis Kelautan dan Manajemen Sumber Daya
Pesisir dengan adanya program pengelolaan dan perlindungan terumbu
karang, padang lamun, dan mangrove. Implementasi program ini dapat
dilakukan
melalui
penyewaan
teknologi
praktik
terbaik
dan
keterampilan sosial berkelanjutan sehingga dapat meningkatkan
kesejahteraan masyarakat pesisir. Oleh karena itu sinergi multi-disiplin,
dimensi sosial, dan pembangunan berkelanjutan, masyarakat akan
mendapatkan pemahaman yang lebih baik mengenai ekosistem pesisir
dan sumber daya alam (Sadelie et al, 2011). Sedangkan untuk dataran
tinggi khusus pada Kabupaten Mamuju yaitu salah satu target area
Green Prosperity Project
yang dirancang
untuk
mendukung
pertumbuhan ekonomi berkelanjutan. Lokasi ini dipilih berdasarkan
keterkaitan aliran hulu dan hilir dari DAS Karama dengan DAS
Bonehau. Sebagai langkah awal, dokumen terkait telah diinventarisasi
melalui berbagai kegiatan penelitian dan proyek. Ke depannya, akan
dilakukan kajian mendalam mengenai landscape, lifescape, penguatan
institusi dan kondisi DAS, pengenalan teknologi, dan latar belakang
masalah dalam pengelolaan hutan berbasis masyarakat.
c. Sengketa Tanah
Ketimpangan wilayah dalam artian pembangunan yang dimaknai
sebagai upaya berkesinambungan menciptakan keadaan yang dapat
menyediakan lebih baik alternatif dan valid bagi setiap warga negara
untuk mencapai aspirasi humanistik (Kabul & Trigunarso, 2017).
Adapun tujuan untuk mewujudkan bangsa yang maju, mandiri, dan
sejahtera lahir batin dan masyarakat yang adil dan makmur.
Ketimpangan atau kesenjangan wilayah dapat dimengerti dalam kondisi
apa pun dengan berbagai perbedaan tingkat kesejahteraan dan
perkembangan ekonomi antar wilayah (Ratnasari & Santoso, 2014).
Ketimpangan ini terjadi pada domisili berbeda dengan pertumbuhan
ekonomi, kemiskinan, pendidikan, kesehatan, serta rendahnya akses
masyarakat terhadap sarana prasarana sosial ekonomi (Basri dalam
Ratnasari & Santoso, 2014). Meskipun adanya penurunan dalam indeks
ketimpangan,
ketimpangan
merupakan
sebuah
akumulasi
dari
konsentrasi kegiatan ekonomi yang tidak sama antara satu daerah
dengan daerah lainnya. Terdapat daerah yang memiliki pertumbuhan
ekonomi yang sangat tinggi seperti di Mamuju Utara, dikarenakan
terdapat produksi perkebunan sawitnya, namun terdapat pula daerah
seperti Majene yang pertumbuhan ekonomi lebih tertinggal dari daerah
lainnya di Sulawesi Barat. Faktor yang disebabkan karena kondisi
geografis yang tidak sesubur kabupaten lainnya, sehingga tidak
menunjang utamanya kegiatan pertanian yang masih menjadi
primadona di Sulawesi Barat (Amruddin, 2020).
d. Konflik SARA
Isu terkait adanya konflik SARA mengimbau masyarakat Sulawesi
Barat untuk lebih hati-hati dan waspada. Diskusi terkait LSM-Jari Manis
kali ini mengangkat tema ‘Pentingnya Kerukunan dan Toleransi Ummat
Beragama dalam menangkal isu SARA dan Hoax, menghadirkan
narasumber diantaranya Ketua Forum Kerukunan Ummat Beragama
(FKUB) Sulbar, Sahabuddin Kasim, Kapolres Mamuju AKBP
Muhammad Rivai Arvan, Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sulbar,
Misbahuddin. Sementara itu, Kapolres Mamuju AKBP Muhammad
Rivai Arvan menganggap, hoaks dan isu SARA tidak terlepas dari
perkembangan teknologi. Olehnya itu ia meminta agar masyarakat
selalu cerdas dalam menggunakan media sosial.
BAB III
PENUTUP
1. Simpulan
Faktor risiko terjadinya bencana di wilayah Indonesia bagian tengah khususnya
Provinsi Sulawesi Barat dapat ditinjau dari letak geologis, letak geografis,
iklim, kepadatan penduduk dan keberagaman masyarakat. Letak geologis dan
geografis menjadi faktor risiko terjadinya bencana gempa bumi dan tsunami.
Perubahan iklim juga menjadi faktor yang dapat menyebabkan terjadinya
bencana hidrometeorologi. Kepadatan penduduk dapat berdampak pada
kerusakan lingkungan dan kebakaran hutan atau lahan. Keberagaman
masyarakat menjadi faktor risiko dan berpotensi terjadi bencana sosial seperti
konflik.
Tingginya nilai indeks risiko yaitu 162.92 di wilayah Provinsi Sulawesi Barat
menunjukkan adanya potensi atau ancaman besar akan terjadinya bencana.
Potensi bencana alam yang dapat terjadi di Provinsi Sulawesi Barat yaitu gempa
bumi, tsunami, banjir, tanah longsor, kebakaran hutan dan lahan, kekeringan,
gelombang ekstrem dan abrasi. Selain itu Provinsi Sulawesi Barat juga
berpotensi terjadi bencana sosial antara lain, konflik sosial, konflik SARA,
sengketa tanah, dan sengketa sumber daya alam.
2. Saran
Mengidentifikasi dan mengenali faktor risiko dan potensi bencana di wilayah
Indonesia penting dilakukan sebagai upaya awal dalam pencegahan bencana,
mitigasi, kesiapsiagaan, dan penanggulangan bencana. Faktor risiko dan potensi
bencana tersebut juga dapat digunakan sebagai dasar dalam perencanaan
penanggulangan bencana dan membuat kebijakan terkait penanganan bencana
sehingga dapat digunakan dalam menghadapi bencana.
DAFTAR PUSTAKA
Amruddin, A. (2020). Ketimpangan Pembangunan Di Sulawesi Barat. Jurnal
Arajang, 3(1), 1–17. https://doi.org/10.31605/arajang.v3i1.582
Badan Kesatuan Bangsa dan Politik. (2020). Peta Potensi Kerawanan Konflik
Sosial Dan Bencana Alam Provinsi Sulawesi Barat. Available from :
https://kesbangpol.sulbarprov.go.id/petaSpotensi-kerawanan-konfliksosial-bencana-alam/peta-potensi-kerawanan-konflik-sosial-bencana-alam/
Badan Nasional Penanggulangan Bencana. (2017). Buku Saku Tanggap Tangkas
Tangguh Menghadapi Bencana. Jakarta: Pusat Data, Informasi Dan Humas
BNPB.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana. (2018). Indeks Risiko Bencana
Indonesia Tahun 2018. Jakarta: Direktorat Pengurangan Risiko Bencana
BNPB.
Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kota Mamuju. (2015). Potensi Bencana
Banjir di Kota Mamuju. Diakes [http://bpbd.kota.mamuju.go.id/bencana.]
pada 9 Oktober 2020.
Bakti, Y. (2017). Proceedings: Diskusi Nasional Pengetahuan Hijau. Available
from
:
https://pengetahuanhijau.batukarinfo.com/berita/pengelolaansumber-daya-alam-kabupaten-mamuju-sulawesi-barat.
Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim-Kementerian Lingkungan
Hidup dan Kehutanan. (2018). Sulawesi Barat. diakses melalui
http://ditjenppi.menlhk.go.id/admin/berita-admin/obrolan/3039-sulawesibarat.html. pada tanggal 12 Oktober 2020.
Irwandi, I., & Chotim, E. R. (2017). Analisis Konflik Antara Masyarakat,
Pemerintah Dan Swasta. JISPO Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, 7(2),
24-42.
Kabul, M. A. & Trigunarso, S. I. (2017). Perencanaan Pembangunan Daerah.
Depok: Kencana.
Pemerintah Indonesia. (2007). Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang
Penanggulangan Bencana. Lembaran Negara RI Tahun 2007 No. 66.
Jakarta: Sekretariat Negara.
Pemerintah Provinsi Sulawesi Barat. (2020). Sulawesi Barat Rawan Bencana.
Diakses
[https://berita.sulbarprov.go.id/index.php/kegiatan/item/2037sulawesi-barat-rawan-bencana] pada 9 Oktober 2020.
Portal
Informasi Indonesia. (2017). Suku Bangsa. Diakses
https://indonesia.go.id/profil/suku-bangsa pada 9 Oktober 2020.
melalui
Pratama, M. (2018). Tangkal Isu SARA & Hoax, LSM Jari Manis Gelar Diskusi.
Available from https://sulbaronline.com/2019/07/tangkal-isu-sara-hoaxlsm-jari-manis-gelar-diskusi/.
Pusat Informasi Data Investasi Indonesia. (2020). Potensi dan Peluang Investasi di
Provinsi
Sulawesi
Barat.
Diakses
melalui
http://pidii.info/index.php?option=com_blox&view=layouts&layout_id=5
7&Itemid=390 pada 9 Oktober 2020.
Ratnasari, Y. & Santoso, E. B. (2014). Penentuan Tipologi Kesenjangan Wilayah
di Kabupaten Lamongan Berdasarkan Aspek Ekonomi dan Sosial. Jurnal
Teknik Pomits, 03(02), pp. 125- 130.
PETA POTENSI KERAWANAN
KONFLIK SOSIAL DAN BENCANA
ALAM PROVINSI SULAWESI BARAT
1
Peta Potensi Kerawanan Konflik Sosial & Bencana Alam
Kabupaten Mamuju
1. Potensi Konflik SARA
2. Potensi Sengketa Sengketa Tanah dan
Sumber Daya Alam
3. Potensi Perkelahian antar warga
4. Potensi Banjir Bandang di Kec. Kalukku
5. Potensi Banjir Bandang di Kec. Mamuju
6. Potensi Rawan Longsor di Poros Kec.
Tapalang – Kec. Mamuju
7. Potensi Rawan Abrasi di Kec. Tapalang
8. Potensi Penggunaan Narkoba di Kec.
Mamuju, Kec. Tapalang dan Kec. Kalukku
2
Peta Potensi Kerawanan Konflik Sosial & Bencana Alam
Kabupaten Majene
1. Potensi Konflik Sengketa Sengketa Tanah
dan Sumber Daya Alam
2. Potensi Konflik SARA dan Sosial
3. Potensi Banjir Bandang di Kec. Malunda
4. Potensi Longsor dan Abrasi di Kec.
Sendana
5. Potensi Penggunaan Narkoba di Kec.
Banggae, Kec. Pamboang dan Kec.
Malunda
3
Peta Potensi Kerawanan Konflik Sosial & Bencana Alam
Kabupaten Polman
1. Potensi Konflik Sengketa Tanah dan
Sumber Daya Alam
2. Potensi Konflik SARA dan Sosial
3. Potensi Sengketa Tapal Batas antara
Sulbar dan Sulsel
4. Potensi Longsor di Kec. Matangnga
5. Potensi Banjir Bandang di Kec. Mapilli
6. Potensi Abrasi Pantai di Kec.
Campalagian
7. Potensi Penggunaan Narkoba di Kec.
Polewali dan Kec. Tinambung
4
Peta Potensi Kerawanan Konflik Sosial & Bencana Alam
Kabupaten Mamasa
1. Potensi Konflik Perkelahian antar
warga
2. Potensi Konflik SARA dan Sosial
3. Potensi Rawan Longsor di Kab.
Mamasa
4. Potensi Penggunaan Narkoba di Kab.
Mamasa
5
Peta Potensi Kerawanan Konflik Sosial & Bencana Alam
Kabupaten Mamuju Tengah
1. Potensi Konflik Sengketa Tanah dan
Sumber Daya Alam
2. Potensi Sengketa Tapal Batas
Administrasi Pemerintahan
3. Potensi Konflik SARA dan Sosial
4. Potensi Banjir Bandang di Kec. Pangale,
Kec. Topoyo dan Kec. Tobadak
6
Peta Potensi Kerawanan Konflik Sosial & Bencana Alam
Kabupaten Pasangkayu
1. Potensi Konflik Lahan dan Sumber
Daya Alam
2. Potensi Sengketa Tapal Batas antara
Sulbar dan Sulteng
3. Potensi Bencana Gempa Bumi dan
Tsunami di Kab. Pasangkayu
4. Potensi Bencana Banjir Bandang di
Kec. Baras dan Kec. Pasangkayu
5. Potensi Penggunaan Narkoba di Kec.
Pasangkayu
7
ARTIKEL
ANALISIS KONFLIK ANTARA MASYARAKAT,
PEMERINTAH DAN SWASTA
(Studi Kasus di Dusun Sungai Samak, Desa Sungai Samak, Kecamatan
Badau, Kabupaten Belitung)
Abstract
This paper describes the chronology of the conflict, the factors that cause conflict, the
form of conflict and conflict resolution between society, government and sand mining
companies in Samak River Village, Samak River Village, Badau District, Belitung Regency.
Conflict that occurred in the Samak River Hamlet backdrop by the lack of socialization, less
open village government to the community, the difference in the importance of the impact of
mining activities. The forms of social conflict that occurred in the Samak River Hamlet are
vertical conflicts and horizontal conflicts. Vertical conflicts occur between communities,
village governments and mining companies. While horizontal conflicts occur within the
society itself between the pro and the opposing groups because of differences of interest.
Conflict resolution measures taken by communities, government and mining companies
include negotiations; Kosuliasi; Mediation; and Arbitration.
Keywords: Conflict, Society, Government, Mine
A. PENDAHULUAN
Indonesia merupakan salah satu
Negara di dunia dengan sumber daya
alam
yang
sangat
melimpah,
khususnya sumber daya mineral dan
batu bara. Keseluruhan sumber daya
alam tersebut didapatkan melalui
proses pertambangan. Pertambangan
merupakan
rangkaian
kegiatan
dalam rangka upaya pencarian,
penambangan
(penggalian),
pengolahan,
pemanfaatan
dan
penjualan bahan galian (mineral, batu
bara, panas bumi, dan migas). Sektor
pertambangan
diharapkan
bisa
meningkatkan kesejahteraan bagi
mayarakat, namun disisi lain tidak
sedikit kegiatan pertambangan yang
menimbulkan
konflik
bagi
masyarakat
dan
kerusakan
lingkungan hidup.
Konflik pada dasarnya merupakan
sebuah hal yang selalu ada dan sulit
untuk dipisahkan dalam kehidupan
sosial. Konflik sosial merupakan
Irwandi, Endah R. Chotim
E-mail: [email protected],
[email protected]
Dosen FISIP
Universitas Islam Negeri
Sunan Gunung Djati Bandung
24
JISPO VOL. 7 No. 2 Edisi: Juli-Desember Tahun 2017
gambaran
tentang
perselisihan,
percecokan,
ketegangan
atau
pertentangan sebagai akibat dari
perbedaan-perbedaan yang muncul
dalam kehidupan masyarakat, baik
perbedaan yang bersifat individual
maupun
perbedaan
kelompok.
Seperti
perbedaan
pendapat,
pandangan, penafsiran, pemahaman,
kepentingan atau perbedaan lain
yang lebih luas dan umum seperti
perbedaan agama, ras, suku, bangsa,
bahasa, profesi, golongan politik dan
sebagainya.
Konflik tidak muncul begitu saja
dengan sendirinya, melainkan ada
faktor-faktor
yang
melatar
belakanginya. Konflik bisa muncul
pada skala yang berbeda, seperti
konflik antar individu (interpersonal
conflict), konflik antar kelompok
(intergroup conflict), konflik antar
kelompok dengan negara (vertical
conflict) dan konflik antar negara
(interstate conflict). Setiap skala
memiliki latar belakang dan arah
perkembangannya masing-masing.
Konflik
sendiri
hadir
sebagai
manifestasi dari ketegangan sosial,
politik, ekonomi dan budaya atau
bisa juga disebabkan oleh perasaan
ketidakpuasan umum, ketidakpuasan
terhadap komunikasi, ketidakpuasan
terhadap simbol-simbol sosial dan
ketidakpuasan
terhadap
kemungkinan resolusi serta adanya
sumber daya mobilisasi.
Konflik
merupakan
proses
disosiatif, namun konflik sebagai
salah satu bentuk proses sosial yang
memiliki fungsi positif maupun
negatif. Apabila konflik mampu
dikelola dan diatasi dengan baik oleh
setiap elemen masyarakat, maka akan
berdampak baik bagi kemajuan dan
perubahan
masyarakat.
Namun
sebaliknya, jika konflik yang terjadi
ditengah masyarakat tidak mampu
dikelola dan diatasi dengan baik
maka konflik akan menimbulkan
dampak buruk hingga timbulnya
berbagai kerusakan baik itu fisik
maupun non fisik, ketidak-amanan,
ketidakharmonisan, dan menciptakan
ketidakstabilan,
bahkan
sampai
mengakibatkan jatuhnya korban jiwa.
Sebagaimana konflik yang terjadi
antara masyarakat, pemerintah desa
dan perusahaan tambang pasir
bangunan di Dusun Sungai Samak,
Desa Sungai Samak Kecamatan
Badau Kabupaten Belitung.
Kehadiran perusahaan tambang
dengan segala aktivitas dan dampak
yang ditimbulkannya melahirkan
reaksi penolakan dari masyarakat
setempat. Masyarakat Dusun Sungai
Samak,
Desa
Sungai
Samak
Kecamatan
Badau
Kabupaten
Belitung menolak keberadaan dua
perusahaan tambang yang beroperasi
di
daerah
mereka.
Kegiatan
eksploitasi yang dilakukan oleh dua
perusahaan
tersebut
dinilai
mengganggu aktivitas masyarakat
setempat yang sebagian besar
berprofesi sebagai nelayan. Selain itu
masyarakat mengatakan tidak ada
informasi awal dari pemerintah desa
terkait dengan akan adanya kegiatan
penambangan dari perusahaan itu,
berapa jumlah lahan yang di
ekploitasi,
mekanisme
tambang
seperti apa, serta apa manfaat yang
akan diterima warga dan lainnya.
Penolakan masyarakat tersebut
memiliki dasar dan alasan yang kuat
karena
setelah
aktivitas
25
JISPO VOL. 7 No. 2 Edisi: Juli-Desember Tahun 2017
Konflik ini jika tidak ditangani
dengan
baik
maka
akan
menyebabkan eskalasi konflik kian
meluas. Selain itu, penanganan
konflik
yang
lambat
akan
menyebabkan
berbagai
dampak
dalam kehidupan masyarakat, seperti
hancurnya atau retaknya kesatuan
kelompok, hancurnya harta benda,
jatuhnya korban jiwa, dan lain
sebagainya. Melihat kondisi tersebut,
maka dibutuhkan penanganan atau
resolusi konflik yang tepat demi
meredam konflik tersebut agar tidak
semakin meluas dan menyebabkan
dampak yang lebih besar lagi.
pertambangan
tersebut
berjalan
warga sekitar mulai terkena dampak
negatifnya. Dampak negatif tersebut
antara lain warga terganggu dengan
kebisingan
dari
aktivitas
pengangkutan
pasir
dilakukan
perusahaan yang sampai 24 jam
dengan melalui jalan milik warga.
Akibat aktivitas pengangkutan pasir
tersebut juga menyebabkan jalan dan
saluran air menjadi rusak. Selain itu
warga nelayan mulai resah karena
hasil tangkapan mereka menurun
drastis dan terkadang tidak bisa
melalut akibat pembuangan limbah
cucian pasir yang dialirkan ke muara
sungai sehingga air menjadi keruh
dan terjadi penumpukan sedimen.
Tidak adanya sosialisasi kepada
warga perihal rencana dan aktivitas
penambangan yang dilakukan oleh
perusahaan serta dampak yang
ditimbulkannya
menyebabkan
masyarakat
menuding
bahwa
pemerintah desa setempat tidak
transparan
dan
menjalin
persekongkolan
dengan
pihak
perusahaan. Hal ini diperkuat
dengan kenyataan bahwa laporan
protes warga terhadap aktivitas
penambangan dan dampak yang
ditimbulkannya tidak mendapat
tanggapan serius dari pemerintah
desa setempat. Disinilah kemudian
muncul gerakan penolakan terhadap
aktivitas penambangan pasir di
Dusun Sungai Samak Kecamatan
Badau Kabupaten Belitung ini yang
kemudian memicu konflik antara
masyarakat dengan pemerintah desa
dan perusahaan tambang pasir
tersebut.
B. TINJAUAN PUSTAKA
1. Definisi Konflik
Konflik berasal dari kata kerja,
yaitu configure yaitu yang berarti
saling memukul. Secara sosiologis,
konflik diartikan sebagai suatu
proses sosial antara dua orang atau
lebih (bisa juga kelompok) dimana
salah
satu
pihak
berusaha
menyingkirkan pihak lain dengan
menghancurkan atau membuatnya
tidak berdaya.
Menurut Soerjono Soekanto (2006),
“Konflik sosial adalah suatu proses
sosial
dimana
individu
atau
kelompok berusaha untuk memenuhi
tujuannya dengan jalan menentang
pihak lawan yang disertai dengan
ancaman atau kekerasan”.
Menurut Pritt dan Rubbin dalam
Syahril Ramadhan (2008), konflik
berarti persepsi mengenai perbedaan
kepentingan (repceived divergence of
interest) atau suatu kepercayaan
bahwa aspirasi pihak-pihak yang
26
JISPO VOL. 7 No. 2 Edisi: Juli-Desember Tahun 2017
berkonflik tidak dapat tercapai secara
simultan.
Berdasarkan
teori
konflik,
masyarakat senantiasa berada dalam
proses perubahan yang di tandai oleh
pertentangan yang terus menerus
diantara unsur-unsur yang ada
dalam masyarakat. Teori konflik
melihat
bahwa
setiap
elemen
memberikan sumbangan terhadap
disintegrasi sosial. Selain itu teori
konflik
beranggapan
bahwa
keteraturan yang terdapat dalam
masyarakat itu hanyalah disebabkan
karena
adanya
tekanan
atau
pemaksaan kekuasaan dari atas
golongan yang berkuasa.
Konflik sudah menjadi bagian dari
kehidupan manusia. Ketika orang
memperebutkan sebuah area, mereka
tidak
hanya
memperebutkan
sebidang tanah saja, namun juga
sumber daya alam seperti air, emas,
meneral, hutan serta berbagai sumber
daya
alam
yang
terkandung
didalamnya. Setiap kelompok sosial
selalu ada benih-benih pertentangan
antara individu dengan individu,
kelompok
dengan
kelompok,
individu atau kelompok dengan
pemerintah.
Pertentangan
ini
biasanya berbentuk non fisik. Tetapi
dapat berkembang menjadi benturan
fisik, kekerasaan dan tidak berbentuk
kekerasaan. Konflik yang terjadi
dapat berupa konflik vertikal, yaitu
antar pemerintah, masyarakat dan
swasta, antar pemerintah pusat,
pemerintah kota dan desa, serta
konflik horizontal yaitu konflik antar
masyarakat.
Teori konflik menganggap bahwa
unsur-unsur yang terdapat di dalam
masyarakat
cenderung
bersifat
dinamis atau sering kali mengalami
perubahan. Setiap elemen yang
terdapat pada masyarakat dianggap
mempunyai
potensi
terhadap
disintegrasi sosial. Menurut teori
konflik ini keteraturan yang terdapat
dalam masyarakat hanyalah karena
ada
tekanan
atau
pemaksaan
kekuasaan dari golongan yang
berkuasa. Adanya perbedaan peran
dan status di dalam masyarakat
menyebabkan
adanya
golongan
penguasa
dan
yang
dikuasi.
Distribusi kekuasaan dan wewenang
yang tidak merata menjadi faktor
terjadinya konflik sosial secara
sistematis (Ritzer, 2002).
2. Jenis-Jenis Konflik
Konflik yang terjadi pada manusia
ada berbagai macam ragamnya,
bentuknya, dan jenisnya. Soetopo
(1999)
mengklasifikasikan
jenis
konflik,
dipandang
dari
segi
materinya menjadi empat, yaitu:
a. Konflik tujuan yaitu konflik
terjadi jika ada dua tujuan atau
yang kompetitif bahkan yang
kontradiktif.
b. Konflik peranan yaitu konflik
yang timbul karena manusia
memiliki lebih dari satu peranan
dan tiap peranan tidak selalu
memiliki kepentingan yang
sama.
c. Konflik nilai yaitu konflik yang
muncul karena pada dasarnya
nilai yang dimiliki setiap
individu dalam organisasi tidak
sama, sehingga konflik dapat
terjadi antar individu, individu
dengan kelompok, kelompok
dengan organisasi.
27
JISPO VOL. 7 No. 2 Edisi: Juli-Desember Tahun 2017
perbedaan kepentingan antar
kelas sosial.
d. Konflik
atau pertentangan
politik, yaitu konflik yang terjadi
akibat adanya kepentingan atau
tujuan politis seseorang
atau
kelompok.
e. Konflik
yang
bersifat
Internasional yaitu konflik yang
terjadi
karena
perbedaan
kepentingan
yang kemudian
berpengaruh pada kedaulatan
Negara.
d. Konflik kebijakan yaitu suatu
konflik dapat terjadi karena ada
ketidaksetujuan individu atau
kelompok terhadap perbedaan
kebijakan yang dikemukakan
oleh satu pihak dan kebijakan
lainnya.
Menurut
Fisher
(2001),
berdasarkan polanya, konflik dibagi
kedalam tiga bentuk, yaitu:
a. Konflik
latent
sifatnya
tersembunyi dan perlu diangkat
kepermukaan sehingga dapat
ditangani secara efektif.
b. Konflik terbuka adalah konflik
yang berakar dalam dan sangat
nyata, dan memerlukan berbagai
tindakan untuk mengatasi akar
penyebab dan berbagai macam
efeknya.
c. Konflik dipermukaan memiliki
akar yang dangkal atau tidak
berakar dan muncul hanya
karena
kesalahpahaman
mengenai sesuatu yang dapat
diatasi dengan menggunakan
komunikasi.
Selain itu Soerjono Soekanto dalam
Furkan Abdi (2009), membagi konflik
sosial kedalam lima bentuk khusus
berdasarkan tingkatannya, yaitu
sebagai berikut:
a. Konflik
atau
pertentangan
pribadi, yaitu konflik yang terjadi
antara dua individu atau lebih
karena perbedaan pandangan
dan sebagainya.
b. Konflik atau pertentangan rasial,
yaitu konflik yang timbul akibat
perbedaan ras.
c. Konflik atau pertentangan antara
kelas-kelas sosial, yaitu konflik
yangdisebabkanadanya
3. Faktor Penyebab Konfik
Sosiologi memandang
bahwa
masyarakat itu selalu dalam
perubahan dan setiap elemen dalam
masyarakat selalu memberikan
sumbangan bagi terjadinya konflik.
Salah satu penyebab terjadinya
konflik adalah karena ketidak
seimbangan
antara
hubunganhubungan manusia seperti aspek
sosial, ekonomi dan kekuasaan.
Contohnya
kurang
meratanya
kemakmuran dan akses yang tidak
seimbang terhadap sumber daya
yang kemudian akan menimbulkan
masalah-masalah dalam masyarakat
(Fisher, Simon, dkk. 2001).
Faktor-faktor penyebab konflik
menurut Soejono Soekanto (2006),
antara lain yaitu:
a. Adanya perbedan individu yang
meliputi perbedaan pendirian dan
perasaan, karena setiap manusia
unik, dan mempunyai perbedaan
pendirian, perasaan satu sama lain.
Perbedaan pendirian dan perasaan
ini akan menjadi satu faktor
penyebab konflik sosial, sebab
dalam menjalani hubungan
28
JISPO VOL. 7 No. 2 Edisi: Juli-Desember Tahun 2017
menjadi nilai-nilai masyarakat
industri.
Nilai-nilai yang berubah itu seperti
nilai kegotong royongan berganti
menjadi nilai kontrak kerja dengan
upah yang disesuaikan menurut jenis
pekerjaannya.
Hubungan
kekerabatan
bergeser
menjadi
hubungan struktural yang disusun
dalam organisasi formal perusahaan.
Nilai-nilai kebersamaan berubah
menjadi individualis dan nilai-nilai
tentang pamanfaatan waktu yang
cenderung tidak ketat berubah
menjadi pembagian waktu yang tegas
seperti jadwal kerja dan istirahat
dalam dunia industri. Perubahanperubahan ini jika terjadi secara cepat
dan mendadak, akan membuat
kegoncangan proses-proses sosial
dalam masyarakat, bahkan akan
terjadi upaya penolakan terhadap
semua bentuk perubahan karena
dianggap
mengacaukan
tatanan
kehidupan masyarakat yang sudah
ada.
Selain itu, menurut Diana Francis
(2006), sebab-sebab terjadinya konflik
antara lain:
a. Komunikasi
Salah pengertian yang berkenaan
dengan kalimat, bahasa yang
sulit dimengerti dan informasi
yang tidak lengkap.
b. Struktur
Pertarungan kekuasaan antara
pemilik kepentingan atau sistem
yang bertentangan, persaingan
untuk merebutkan sumberdaya
yang
terbatas,
atau
saling
ketergantungan dua atau lebih
kelompok- kelompok kegiatan
kerja
untukmencapai
tujuan
mereka.
sosial seorang individu tidak
selalu sejalan dengan individu
atau kelompoknya.
b. Perbedaan
latar
belakang
kebudayaan sehingga membentuk
pribadi-pribadi yang berbedabeda, individu sedikit banyak akan
terpengaruh oleh pola pemikiran
dan pendirian kelompoknya, dan
itu akan menghasilkan suatu
perbedaan individu yang dapat
memicu konflik.
c. Perbedaan kepentingan antara
individu atau kelompok, individu
memiliki latar perasaan, pendirian
dan latar belakang budaya yang
berbeda. Ketika dalam waktu yang
bersamaan
masing-masing
individu atau kelompok memilki
kepentingan
yang
berbeda.
Kadang, orang dapat melakukan
kegiatan
yang
sama,
tetapi
tujuannya berbeda. Konflik akibat
perbedaan kepentingan ini dapat
pula menyangkut bidang politik,
ekonomi, sosial, dan budaya.
d. Faktor terjadinya konflik juga
dapat
disebabkan
karena
perubahan-perubahan nilai yang
cepat dan mendadak dalam
masyarakat. Perubahan adalah
sesuatu yang lazim dan wajar
terjadi, tetapi jika perubahan itu
berlangsung cepat atau bahkan
mendadak, perubahan tersebut
dapat memicu terjadinya konflik
sosial. Misalnya, pada masyarakat
pedesan
yang
mengalami
industrialisai yang mendadak akan
memunculkan konflik sosial, sebab
nilai-nilai lama pada masyarakat
tradisional yang biasanya bercorak
pertanian secara cepat berubah
29
JISPO VOL. 7 No. 2 Edisi: Juli-Desember Tahun 2017
c. Pribadi.
Ketidaksesuaian tujuan atau
nilai-nilai sosial pribadi dengan
perilaku
yang
diperankan
mereka, dan perubahan dalam
nilai-nilai persepsi.
c. Krisis: ini merupakan puncak
konflik, ketika ketegangan dan/
kekerasan terjadi paling hebat.
Dalam konflik skala besar, ini
merupakan
periode
perang,
ketika orang-orang dari kedua
pihak terbunuh. Komunikasi
normal diantara dua pihak
kemungkinan putus, pernyataanpernyataan umum cenderung
menuduh dan menentang pihak
lainnya.
d. Akibat: kedua pihak mungkin
setuju bernegosiasi dengan atau
tanpa perantara. Suatu pihak
yang mempunyai otoritas atau
pihak ketiga yang lebih berkuasa
mungkin akan memaksa kedua
pihak
untuk
menghentikan
pertikaian.
e. Pasca-Konflik: akhirnya situasi
diselesaikan
dengan
cara
mengakhiri berbagai konfrontasi
kekerasan, ketegangan berkurang
dan hubungan mengarah lebih
normal diantara kedua pihak.
Namun jika isu-isu dan masalahmasalah yang timbul karena
sasaran
mereka
saling
bertentangan
tidak
diatasi
dengan baik, tahap ini sering
kembali lagi menjadi situasi pra
konflik.
4. Tahapan Konflik
Situasi konflik akan selalu berubah
dari waktu kewaktu apabila konflik
tersebut terus dibiarkan terjadi tanpa
adanya upaya penanganan atau
penyelesaian yang dilakukan oleh
pihak-pihak yang berkonflik. Fisher
el.al, menyebutkan ada beberapa alat
bantu
untukmenganalisissituasi
konflik,
salah
satunya
adalah
penahapan konflik. Konflik berubah
setiap saat, melalui tahap aktivitas,
intensitas, ketegangan dan kekerasan
yang berbeda (Fisher, 2001). Tahaptahap ini adalah:
a. Pra-Konflik: merupakan periode
dimanaterdapatsuatu
ketidaksesuaian sasaran diantara
dua pihak atau lebih, sehingga
timbul
konflik.
Konflik
tersembunyi dari pandangan
umum, meskipun salah satu
pihak atau lebih mungkin
mengetahui
potensi
terjadi
konfrontasi. Mungkin terdapat
ketegangan hubungan diantara
beberapa
pihak
dan/atau
keinginan untuk menghindari
kontak satu sama lain.
b. Konfrontasi: pada saat ini konflik
menjadi semakin terbuka. Jika
hanya satu pihak yang merasa
ada masalah, mungkin para
pendukungnya mulai melakukan
demonstrasi atau perilaku
konfrontatif lainnya.
5. Akibat Konflik
Konflik dapat merupakan proses
yang bersifat instrumental dalam
pembentukan,
penyatuan
dan
pemeliharaan
penyatuan
dan
pemeliharaan struktur soial. Konflik
dapat menetapkan dan menjaga garis
batas antara dua atau lebih individu
atau kelompok. Konflik individu atau
30
JISPO VOL. 7 No. 2 Edisi: Juli-Desember Tahun 2017
kelompok lain dapat memperkuat
kembali
identitasnya
dan
melindunginya agar tidak lebur
kedalam dunia sosial sekelilingnya.
Konflik atau pertentangan tentu
saja mempunyai dampak positif
maupun dampak negatif. Apakah
suatu
pertentangan
membawa
dampak-dampak yang poitif atau
tidak, tergantung dari persoalan yang
dipertentangkan dan juga truktur
sosial dimana pertentangan tersebut
bersifat positif oleh karena itu ia
mempunyai kecenderungan untuk
memungkinkan adanya penyesuaian
kembali
norma-norma
atau
hubungan-hubungan sosial dalam
kelompok
bersangkutan
sesuai
dengan kebutuhan individu maupun
bagian-bagian kelompok.
Pemikiran awal tentang fungsi dari
konflik sosial berasal dari pemikiran
George Simmel yang diperluas oleh
Lewis Alfred Coser dalam Furkan
Abdi (2009), yang menyatakan bahwa
konflik
dapat
membantu
mengeratkan ikatan kelompok yang
terstruktur
secara
longgar.
Masyarakat
yang
mengalami
disintegrasi atau berkonflik dapat
memperbaiki perpaduan integrasi.
Beberapa akibat yang ditimbulkan
oleh pertentangan atau konflik,
antara lain (Wirawan, 2010):
a. Bertambahnya solidaritas in-group
Apabila
suatu
kelompok
bertentangan dengan kelompok
lain, solidaritas antara warga/
kelompok biasanya akan tambah
erat.
b. Hancurnya atau retaknya
kesatuan kelompok
Hal ini terjadi apabla timbul
pertentangan antar golongan
dalam suatu kelompok.
c. Adanya perubahan kepribadian
individu
Ketika terjadi pertentangan, ada
beberapa pribadi yang tahan dan
tidak tahan terhadapnya. Mereka
yang tidak tahan akan mengalami
perubahan tekanan yang
berujung tekanan mental.
d. Hancurnya harta benda dan
jatuhnya korban Jiwa
Konflik yang berujung pada
kekerasan maupun peperangan
akan menimbulkan kerugian,
baik secara materi maupun jiwaraga manusia.
e. Akomodasi, dominasi, dan
takluknya suatu pihak
Konflik merupakan kenyataan
yang hidup dalam masyarakat.
Konflik bisa terjadi ketika
beberapa tujuan dari masyarakat
tidak sejalan.
6.
Resolusi Konflik di dalam
Masyarakat
Penyelesaian atau resolusi konflik
merupakan suatu kondisi di mana
pihak-pihak
yang
berkonflik
melakukan suatu perjanjian yang
dapat memecahkan ketidak cocokkan
utama di antara mereka, menerima
keberadaan satu sama lain dan
menghentikan tindakan kekerasan
satu sama lain. Ini merupakan suatu
kondisi yang selalu muncul setelah
konfliknya terjadi. Resolusi konflik
ini
merupakan
suatu
upaya
perumusan kembali suatu solusi atas
konflik yang terjadi untuk mencapai
kesepakatan baru yang lebih diterima
oleh pihak-pihak yang berkonflik.
31
JISPO VOL. 7 No. 2 Edisi: Juli-Desember Tahun 2017
Menurut Nasikun (1993), pola
penyelesaian konflik dapat dilakukan
dalam beberapa pendekatan, yaitu:
1. Negosiasi adalah proses tawarmenawar dengan jalan berunding
guna
mencapai
kesepakatan
bersama antara satu pihak
dengan pihak lain. Negosiasi juga
diartikan suatu cara penyelesaian
sengketa secaradamai melalui
perundingan antara pihak yang
berperkara. Dalam hal ini,
negosiasi merupakan komunikasi
dua arah yang dirancang untuk
mencapai kesepakatan pada saat
kedua belah pihak memiliki
berbagai kepentingan yangsama
maupun yang berbeda.
2. Konsiliasi
(Conciliation),
Pengendalian konflik dengan cara
konsiliasi
terwujud
melalui
lembaga-lembaga tertentu yang
memungkinkan tumbuhnya pola
diskusi
dan
pengambilan
keputusan di antara pihak-pihak
yang berkonflik. Lembaga yang
dimaksud diharapkan berfungsi
secara efektif, yang sedikitnya
memenuhi empat hal:
a. Harus mampu mengambil
keputusan secara otonom,
tanpa campur tangan dari
badan-badan lain,
b. Lembaga
harus
bersifat
monopolistis, dalam arti hanya
lembaga itulah yang berfungsi
demikian,
c. Lembaga
harus
mampu
mengikat kepentingan bagi
pihak-pihak yang berkonflik,
d. Lembaga tersebut harus
bersifat demokratis.
Resolusi konflik memiliki tujuan
agar kita mengetahui bahwa konflik
itu ada dan diarahkan pada
keterlibatan berbagai pihak dalam
isu-isu mendasar sehingga dapat
diselesaikan secara efektif. Selain itu,
agar kita memahami gaya dari
resolusi konflik dan mendefinisikan
kembali jalan pintas ke arah
pembaharuan penyelesaian konflik.
Resolusi konflik difokuskan pada
sumber konflik antara dua pihak,
agar
mereka
bersama-sama
mengidentifikasikan isu- isu yang
lebih nyata. Selain itu, resolusi
konflik dipahami pula sebagai upaya
dalam
menyelesaikan
dan
mengakhiri konflik. Fisher et.al (2001)
menjelaskan bahwa resolusi konflik
adalah usaha menangani sebab-sebab
konflik dan berusaha membangun
hubungan baru yang bisa tahan lama
diantara kelompok-kelompok yang
berseteru.
Menunjuk pada pemaparan diatas
maka yang dimaksud dengan
resolusi konflik adalah suatu cara
antara pihak yang berkonflik untuk
menyelesaikan masalah yang sedang
dihadapinya
secara
sukarela.
Resolusi konflik juga menyarankan
penggunaan cara-cara yang lebih
demokratis dan konstruktif untuk
menyelesaikan
konflik
dengan
memberikan kesempatan pada pihakpihak
yang
berkonflik
untuk
memecahkan masalah mereka oleh
mereka
sendiriatau
dengan
melibatkan pihak ketiga yang bijak,
netral dan adil untuk membantu
pihak-pihak
yang
berkonflik
memecahkan masalahnya.
32
JISPO VOL. 7 No. 2 Edisi: Juli-Desember Tahun 2017
penyelesaian. Tujuan mediasi
untuk
mencapai
atau
menghasilkan kesepakatan yang
dapat diterima pihak-pihak yang
bersengketa guna mengakhiri
sengketa.Dengan
demikian,
putusan yang diambil atau yang
dicapai oleh mediasi merupakan
putusan yang disepakati bersama
oleh para pihak yang dapat
berbentuk nilai-nilai atau normanorma yang menjadi tatanan
dalam masyarakat.
4. Arbitrasi (Arbitration), pihakpihak yang berkonflik bersepakat
untuk menerima pihak ketiga,
yang akan berperan untuk
memberikankeputusankeputusan,
dalam
rangka
menyelesaikan yang ada. Berbeda
dengan mediasi, cara arbitrasi
mengharuskan pihak-pihak yang
berkonflik
untuk
menerima
keputusan yang diambil oleh
pihak arbitrer.
e. Konsiliator nantinya memiliki
hak dan kewenangan untuk
menyampaikan
pendapat
secara terbuka dan tidak
memihak
kepada
yang
bersengketa.
Selain
itu,
konsiliator tidak berhak untuk
membuatputusan
dalam
sengketa untuk dan atas nama
para
pihak
sehingga
keputusan akhir merupakan
proses konsiliasi yang diambil
sepenuhnya oleh para pihak
dalam
sengketa
yang
dituangkan dalam bentuk
kesempatan di antara mereka.
3. Mediasi (Mediation), pihak-pihak
yang berkonflik bersepakat untuk
menunjuk pihak ketiga yang
akanmemberikannasihatnasihat,
berkaitan
dengan
penyelesaian terbaik terhadap
konflik yang mereka alami bahwa
mediasi merupakansalah satu
bentuk negosiasi antara para
pihak yang bersengketa dan
melibatkan pihak ketiga dengan
tujuan membantu demi
tercapainya penyelesaian yang
bersifat kompromistis. Sementara
itu, pihak ketiga yang ditunjuk
membantumenyelesaikan
sengketadinamakan sebagai
mediator. Oleh karena itu,
pengertian mediasi mengandung
unsur-unsur,antaralain:
Merupakansebuahproses
penyelesaiansengketa
berdasarkan
perundingan;
Mediator terlibat dan diterima
oleh para pihak yang bersengketa
di dalamperundingan; Mediator
bertugas membantu para pihak
yang bersengketa untuk mencari
C. METODE PENELITIAN
Metode penelitian yang digunakan
dalam penelitian ini adalah metode
penelitian
deskriptif
kualitatif.
Adapun yang menjadi informan
dalam penelitian ini adalah Ketua
Badan Permusyaratan Desa (BPD),
Kepala dan Sekretaris Desa, 2 (dua)
orang nelayanan, 1 (satu) orang
perwakilan perusahaan penambang,
serta dua tokoh masyarakat lainnya
yang
dianggap
memiliki
pengetahuan/pengalaman mengenai
aktivitas penambangan pasir.
Jenis data yang digunakan dalam
penelitian ini adalah data primer dan
data sekunder. Teknik pengumpulan
data dilakukan adalah observasi
33
JISPO VOL. 7 No. 2 Edisi: Juli-Desember Tahun 2017
kegiatan penambangan tersebut.
Akhirnya sejumlah tokoh pemuda
dan tokoh masyarakat berupaya
untuk menolak perusahaan tambang
tersebut agar tidak terus menerus
melakukan kegiatan eksploitasinya.
Masyarakat
melakukan
musyawarah dan bersepakat untuk
melakukan aksi penolakan tambang
kepada Kepala Desa Sungai Samak.
Dalam aksi tersebut masyarakat
menyampaikan kepada Kepala Desa
Sungai Samak Bupati Belitung bahwa
masyarakat Dusun Sungai Samak
menolak adanya pertambangan di
wilayah nya. Aksi tersebut tidak
ditanggapi serius oleh Pemerintah
Desa Sungai Samak, karena massa
aksi pada saat itu tidak begitu
banyak, hanya dilakukan oleh
beberapa
orang
pemuda
saja.
Pemerintah Desa Sungai Samak
menganggap bahwa masyarakat pada
umumnya
telah
menyetujui
pertambangan
tersebut
dengan
berdalih perusahaan telah memiliki
izin
terlebih
dahulu
sebelum
mendapat rekomendasi dari desa
untuk melakukan pertambangan.
Aksi protes yang dilakukan oleh
tokoh pemuda dan masyarakat
tersebut tidak berhenti sampai disitu,
mereka
kemudian
melakukan
memberikan
somasi/peringatan
kepada pihak perusahaan melalui
Kantor Hukum Arvid Saktyo &
Patners. Setelah adanya somasi itu
diadakan beberapa mediasi antara
masyarakat, pemerintah desa dan
perusahaan penambang baik di
Kantor Desa Sungai Samak maupun
di kantor kuasa hukum masyarakat.
Namun mediasi itu menemui jalan
terlibat, wawancara mendalam, studi
literatur dan studi dokumentasi.
Analisis data dalam penelitian ini
dilakukan dengan menggunakan
model interaktif Miles & Hubermas
dengan beberapa tahapan yaitu
reduksi data, penyajian dan verifikasi
data.
D. HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Kronologis Konflik
Konflik
antara
masyarakat,
pemerintah desa dan perusahaan
tambang pasir di Dusun Sungai
Samak pada tahun 2016 hingga 2017
ini berawal dari kehadiran CV
Cahaya Mandiri Abadi dan CV
Kembar Rezeki Bersama yang
melakukan kegiatan eksploitasinya di
wilayah Dusun Sungai Samak, Desa
Sungai Samak Kecamatan Badau
Kabupaten Belitung. Masyarakat
pada umumnya belum pernah
mendapatkan sosialisai atau
penyampaian dari pemerintah desa
setempat mengenai kegiatan
penambangan tersebut. Masyarakat
baru mengetahui hal tersebut ketika
pihakbertambanganmulai
melakukanaktivitas
penambangannya
berupa
pematokkan area pertambangan,
penggalian dan lain sebagainya.
Masyarakat di Dusun Sungai
Samak,DesaSungaiSamak
Kecamatan
Badau
Kabupaten
Belitung yang sebagian besar bermata
pencaharian sebagai petani dan
nelayan merasa resah melihat
aktivitas
penambangan
yang
dilakukan oleh pihak perusahaan
terebut. Mereka khawatir terhadap
dampak yang itimbulkan oleh
34
JISPO VOL. 7 No. 2 Edisi: Juli-Desember Tahun 2017
dan menutup paksa lokasi tambang
tersebut. Akibat aksi tersebut aparat
kepolisian dari SABARA beberapa
hari
berjaga-jaga
di
lokasi
penambangan untuk mengantisipasi
serbuan warga. Beberapa kali juga
warga meminta kejelasan pemerintah
desa
dan
pihak
perusahaan
penambang mengenai kejelasan luas
wilayah tambang dan dana ganti rugi
lahan terhadap warga namun tidak
ada kejelasan dari pihak desa.
Tidak berhenti sampai disitu,
masyarakat kemudian melalui kuasa
hukumnya Arvid Saktyo & Patners
melakukan gugatan Perdata ke
Pengadilan Negeri Tanjung Pandan
untuk
menuntut
Pemerintah
Kabupaten
Belitung
menutup
tambang pasir, menuntut pemerintah
desa untuk bertanggungjawab serta
menuntut
perusahaan
tambang
untuk melakukan ganti rugi atas
kerugian warga yang tidak bisa
melaut
selama
perusahaan
membuang limbah pencucian pasir
ke sungai. Harapan itu belum juga
terpenuhi, baik Pemerintah Daerah
Kabupaten
Belitung,
maupun
pemerintah
desa
tetap
pada
pendiriannya
dengan
berdalih.
Sementara pihak perusahaan terus
berkilah bahwa tidak mengakui
bahwa mereka telah melakukan
pencemaran di sungai dan laut
dengan dalih hasil pemeriksaaan
laboratorium
dari
BLHD
menunjukkan tingkat kekeruhan
masih dalam batas normal dan tidak
mau mengganti rugi.
Berkaitan dengan hal diatas, Teori
konflik
menganggap
adanya
perbedaan peran dan status dalam
masyarakat menyebabkan adanya
buntu karena tidak ada itikat baik
dari perusahaan. Bahkan masalah
tersebut pernah diangkat oleh media
cetak maupun media elektronik
setempat dengan harapan bahwa
pemerintah daerah dan pemerintah
provinsi turun tangan mengenai
masalah ini, namun tidak ada reaksi
dari pemerintah setempat.
Setelah itu masyarakat yang
menamakan dirinya sebagai Forum
Masyarakat Sungai Samak kembali
menghimpun massa dengan jumlah
yang lebih banyak dari sebelumnya
dan mendatangi Kantor DPRD
Kabupaten Belitung dengan tuntutan
yang
sama.
Akhirnya
DPRD
Kabupaten Belitung sepakat untuk
mengadakan rapat dengar pendapat
beberapa hari berselang dengan
mengundang pihak perusahaan dan
instansi-instansi terkait. Namun tidak
satupun
perwakilan
pihak
perusahaan yang hadir memenuhi
undangan DPRD tersebut untuk
menemui
dan
mendengarkan
keluhan
tuntutan
masyarakat
tersebut. Walaupun dalam rapat
dengar pendapat itu menghasilkan
rekomendasi
untuk
menutup
aktivitas
pertambangan,
namun
kenyataannya hal itu tidak pernah
jadi kenyataan.
Masyarakat yang tergabung dalam
Forum Masyarakat Sungai Samak
(FMS) ini terus melakukan berbagai
cara, namun pemerintah daerah dan
pemerintah
desa
tetap
pada
pendiriannya bahwa hak untuk
memberhentikan
kegiatan
penambangan adalah hak Provinsi
Kepulauan Bangka Belitung. Hingga
akhirnya masyarakat memutuskan
untuk mendatangi lokasi tambang
35
JISPO VOL. 7 No. 2 Edisi: Juli-Desember Tahun 2017
pemerintah desa dan perusahaan
tambang di Dusun Sungai Samak,
Desa Sungai Samak, Kecamatan
Badau, Kabupaten Belitung.
Kegiatan
eksploitasi
yang
dilakukan oleh perusahaan tambang
di
Dusun
Sungai
Samak
menimbulkan
berbagai
persepsi
dalam masyarakat, tentang mengapa
pemerintah
desa
mengeluarkan
rekomendasi izin pertambangan
tersebut tanpa mensosialisasikan atau
membicarakan
terlebih
dahulu
dengan masyarakat setempat sebagai
pemilik hak atas tanah, kemudian
menjelaskan kepada masyarakat
mengenai berbagai manfaat atau
keuntungan dari hasil pertambangan
tersebut baik untuk masyarakat serta
menjelaskan
pula
bagaimana
dampaknya kedepan dan seperti apa
AMDAL-nya, dengan senantiasa
memperhatikan seperti apa kondisi
Geografis, Sosial-Budayanya serta
bagaimana kondisi Ekonominya.
Selanjutnya, kenapa pemerintah desa
mengeluarkan kebijakan tersebut
tanpa memperhatikan persetujuan
dari masyarakat terlebih dahulu,
apakah masyarakat mendukung atau
menolak kegiatan pertambangan di
wilayah mereka.
Ibu M (37 tahun),
beliau
menuturkan
mengenai
tidak
maksimalnya
sosialisasi
yang
dilakukan oleh pemerintah desa
kepada masyarakat secara umum,
sehingga menimbulkan reaksi
penolakan masyarakat terhadap
perusahaan
tambang
tersebut,
sebagaiamana pernyataan beliau,
“Sosialisasi tidak dilakukan secara
menyeluruh
keseluruh
lapisan
golongan
penguasa
dan
yang
dikuasai. Distribusi kekuasaan dan
wewenang yang tidak merata
menjadi faktor terjadinya konflik
sosial secara sistematis (Ritzer,
2002:26). Pemerintah merasa bahwa
mereka adalah kaum penguasa dan
menganggap bahwa masyarakat
adalah golongan yang dikuasainya,
sehingga dengan leluasa penguasa
mengeluarkan
kebijakan
tanpa
meminta pertimbangan masyarakat
terlebih dahulu. Jadi, pemerintah
dinilai kurang transparan terhadap
masyarakatnya
dan
terkesan
menutup-nutupi kebijakan yang
mereka tetapkan.
2.
Faktor-Faktor
Terjadinya Konflik
Penyebab
Konflik sosial yang terjadi antara
masyarakat dengan pemerintah di
Dusun Sungai Samak, Desa Sungai
Samak,
Kecamatan
Badau,
Kabupaten Belitung dilatarbelakangi
oleh berbagai faktor. Faktor-faktor
yang melatar belakangi terjadinya
konflik, antara lain:
a. Proses Sosialisasi Tidak Berjalan
dengan Baik
Sosialisasi merupakan salah satu
hal terpenting dalam kehidupan
bermasyarakat.
Sosialisasi
dimaksudkan agar memudahkan
seseorang atau sekelompok orang
dalam memahami sesuatu hal. Proses
sosialisasi yang tidak berjalan dengan
baik
dapat
mengakibatkan
pemahaman atau persepsi orang
terhadap suatu hal tersebut akan
berbeda-beda (multipersepsi). Seperti
dalam kasus konflik sosial yang
terjadi
antara
masyarakat,
36
JISPO VOL. 7 No. 2 Edisi: Juli-Desember Tahun 2017
b. Pemerintah
Desa
Kurang
Terbuka Terhadap Masyarakat
Tidak adanya sosialisasi terhadap
masyarakat secara
menyeluruh,
mengakibatkan Pemerintah (baik itu
Pemerintah
Desa,
Kecamatan
maupun Pemerintah Kabupaten)
dinilai tidak transparan ataupun
terkesan
tertutup
terhadap
masyarakat, terkait rencana maupun
kebijakan-kebijakan yang mereka
putuskan. Sebagaimana dalam kasus
ini, pemerintah desa langsung saja
menetapkan
dan
mengeluarkan
rekomendasi pertambangan tersebut,
tanpa menjelaskan secara detail
kepada
masyarakat
mengenai
manfaat
yang
akan
diperoleh
masyarakat, luas wilayah yang
dijadikan
area
pertambangan,
mengenai ganti rugi terhadap tanah
warga, serta mengenai dampakdampak yang akan ditimbulkan oleh
kegiatan penambangan nantinya dan
bagaimana AMDAL-nya.
Terdapat beberapa hal yang
terkesan
ditutup-tutupi
oleh
Pemerintah Desa Sungai Samak
mengenai seperti apa perjanjian dan
kesepakatannya
dengan
pihak
perusahaan
tambang
tersebut,
sehingga hal itu wajar saja dilakukan
oleh pemerintah desa. Sebab apabila
pemerintah
desa
melakukan
sosialisasi terlebih dahulu kepada
masyarakat secara terbuka tanpa ada
yang di tutup-tutupi sedikitpun,
maka
kemungkinan
besar
masyarakat pasti akan menolaknya.
Sehingga
untuk
memuluskan
rencananya,
pemerintah
desa
mengambil langkah untuk tetap
mengeluarkan
rekomendasi
izin
tersebut kepada CV. Cahaya Mandiri
masyarakat, hanya beberapa tokoh
masyarakat yang hadir pada saat itu.
Sehingga setelah dilakukan kegiatan
penambangan, masyarakat banyak
yang merasa terganggu, dan merasa
tidak
setuju
dengan
adanya
pertambangan (Wawancara, 9 Juni
2016)”.
Pemerintah Desa Sungai Samak
memang
pernah
melakukan
sosialisasi
kepada
masyarakat
mengenai akan adanya aktivitas
pertambangan
tersebut,
namun
sosialisasi yang dilakukan dinilai
tidak maksimal serta tidak berjalan
dengan
baik,
karena
tidak
disampaikan secara menyeluruh
keseluruh
lapisan
masyarakat,
sosialisasi dilakukan hanya terbatas
pada aparatur-aparatur pemerintah
desa serta para pihak yang pro saja.
Selain itu, sosialisasi tidak dilakukan
sejak awal sebelum perusahaan
tersebut mulai melakukan kegiatan
pertambangan di Dusun Sungai
Samak, Desa Sungai Samak,
Kecamatan
Badau,
Kabupaten
Belitung.
Jadi, menurut Sa (38 Tahun),
konflik tersebut terjadi karena
pemerintah desa maupun pihak
perusahaan
tambang
tidak
melakukan sosialisasi terlebih dahulu
terhadap
masyarakat
setempat
sebelum
pemerintah
desa
memberikan
rekomendasi
pertambangan
serta
sebelum
perusahan
tambang
melakukan
kegiatan eksploitasinya di Dusun
Sungai Samak, Desa Sungai Samak,
Kecamatan
Badau,
Kabupaten
Belitung.
37
JISPO VOL. 7 No. 2 Edisi: Juli-Desember Tahun 2017
Abadi dan Kembar Rezeki Bersama,
meski tanpa sepengetahuan
masyarakat sebelumnya.
c. Perbedaan Kepentingan
Perbedaan merupakan hal yang
senantiasa ada dalam kehidupan
sosial masyarakat, baik perbedaan
antara individu atau kelompok
dengan individu atau kelompok
lainnya,
begitu
pula
dengan
perbedaan kepentingan. Menurut
Soejono Soekanto salah satu faktor
penyebab konfik adalah perbedaan
kepentingan.
Dia
menyatakan,
“Ketika
dalam
waktu
yang
bersamaan masing-masing individu
atau kelompok memilki kepentingan
yang berbeda. Kadang, orang dapat
melakukan kegiatan yang sama,
tetapi tujuannya berbeda”.
Jadi dapat dikatakan bahwa
kebutuhan atau kepentingan orang
terhadap objek yang sama terkadang
berbeda-beda,
misalnya
ketidakcocokan penggunaan lahan/
SDA di wilayah Dusun Sungai
Samak, Desa Sungai Samak,
Kecamatan
Badau,
Kabupaten
Belitung.
Pemerintah
desa
menginginkan potensi sumber daya
alam yang ada pada lahan tersebut
dikelola dan dimanfaatkan dengan
baik, yaitu dengan melibatkan
Perusahaan Tambang sebagai pencari
dan pengelolah potensi-potensi yang
ada pada lahan tersebut hasilnya
dapat menambah pendapatan desa
yang
akan
digunakan
untuk
kepentingan masyarakat.
Namun
dilain
sisi,
bagi
masyarakat terutama masyarakat
yang
tidak
menggantungkan
hidupnya terhadap perusahaan
tambang, lahan tersebut tidak boleh
dirusak maupun dieksploitasi, kerena
sangat
berdampak
pada
keberlangsungan hidup masyarakat
kedepan. Bila lahan menjadi rusak,
akan menimbulkan berbagai dampak
bagi
kehidupan
masyarakat
sekitarnya, seperti kekurangan air
bersih, tercemarnya lingkungan dan
lain-lain.
Ketidak
cocokan
penggunaan lahan ini juga disinyalir
karena Pemerintah Desa Sungai
Samak tidak pernah melakukan
kegiatan
sosialisasi
kepada
masyarakat, sehingga melahirkan
persepsi masyarakat bahwa ada
kemungkinan kepentingan pribadi
dan kelompok dari pemberian
rekomendasi pertambangan di
Dusun Sungai Samak tersebut.
Menurut saudara B (32 tahun),
bahwa
dalam
pemberian
rekomendasi pertambangan tersebut
terdapat beberapa kepentingan, baik
kepentingan
pribadi
maupun
kepentingan kelompok dari pihak
Desa. B secara subjektivitasnya
melihat bahwa aparatur desa telah
menyalah gunakan wewenangnya
demi keuntungan pribadi dan
kelompoknya. Sebagaiamana yang di
ungkapkan oleh sadara B (32 tahun),
“Kalau menurut saya sih, mungkin
aparat desa sudah menikmati hasil
dari pihak perusahaan makanya
mereka tidak berpihak ke warga, itu
menurut saya pribadi (Wawancara, 2
Juni 2016)”.
d. Dampak Yang Ditimbulkan oleh
Aktivitas Pertambangan
Kehadiran dua perusahaan
penambang pasir dengan segala
aktivitas
dan
dampak
yang
38
JISPO VOL. 7 No. 2 Edisi: Juli-Desember Tahun 2017
ditimbulkannya dampak negatif bagi
masyarakat
setempat.
Dampak
negatif tersebut antara lain adalah
sebagai
berikut:
warga
mulai
terganggu dengan kebisingan dari
aktivitas pengangkutan pasir yang
dilakukan perusahaan yang sampai
24 jam dengan melalui jalan milik
warga.
Akibat
aktivitas
pengangkutan pasir tersebut juga
menyebabkan jalan dan saluran air
warga menjadi rusak. Selain itu
warga nelayan mulai resah karena
hasil tangkapan mereka menurun
drastis dan terkadang tidak bisa
melalut akibat pembuangan limbah
cucian pasir yang dialirkan ke muara
sungai sehingga air menjadi keruh
dan terjadi penumpukan sedimen.
Disinilah kemudian muncul gerakan
penolakan
terhadap
aktivitas
penambangan pasir di Dusun Sungai
Samak Kecamatan Badau Kabupaten
Belitung ini yang kemudian memicu
konflik antara masyarakat dengan
pemerintah desa dan perusahaan
tambang pasir tersebut.
konflik antara pihak yang pro dan
kontra dengan adanya aktivitas
penambangan.
Masyarakat
menganggap
pemerintah desa tidak transparan
ataupun terkesan tertutup terhadap
masyarakat, terkait rencana maupun
kebijakan-kebijakan yang mereka
putuskan dengan pihak perusahaan
mengenai
manfaat
yang
akan
diperoleh masyarakat, luas wilayah
yang dijadikan area pertambangan,
mengenai ganti rugi terhadap tanah
warga, serta mengenai dampakdampak yang akan ditimbulkan oleh
kegiatan penambangan nantinya dan
bagaimana AMDAL-nya.
Sementara diantara masyarakat
terdapat pro dan kontra dengan
aktivitas
pertambangan
tersebut.
Mereka yang pro adalah mereka yang
terlibat di dalam proses ekplorasi
maupun
eksploitasi
tambang,
sehingga
mereka
mendapat
keuntungan dengan adanya aktivitas
pertambangan. Sementara pihak
yang
kontra
adalah
warga
masyarakat yang tidak punya
kepentingan perusahaan tambang
tersebut, mereka jauh berpikir
kedepan untuk kepentingan anak
cucu mereka sehingga mereka tidak
setuju dengan perusakan legal yang
dilakukan perusahaan. Selain itu
pihak yang kontra adalah pihak yang
terkena dampak negative dari adanya
aktivitas pertambangan tersebut.
3. Bentuk Konflik Sosial
Aktivitas
penambangan
pasir
bangunan yang dilakukan oleh CV
Cahaya Mandiri Abadi dan CV
Kembar Rezeki Bersama di Dusun
Sungai Samak, Desa Sungai Samak,
Kecamatan
Badau,
Kabupaten
Belitung juga berampak negatif
terhadap kondisi sosial masyarakat.
Aktivitas
pertambangan
pasir
bangunan tersebut mengakibatkan
terjadi
konflik
vertikal
antara
masyarakat dengan pemerintah desa
dan perusahaan penambang, serta
konflik horizontal dalam masyarakat
Dusun Sungai Samak dimana terjadi
4. Resolusi Konflik
Resolusi konflik merupakan suatu
upaya perumusan suatu solusi atas
konflik yang terjadi untuk mencapi
kesepakatan bersama yang bisa
39
JISPO VOL. 7 No. 2 Edisi: Juli-Desember Tahun 2017
diterima oleh pihak-pihak yang
berkonflik.
Resolusi
konflik
difokuskan pada sumber konflik
antara dua pihak, agar mereka
bersama-sama mengidentifikasikan
isu-isu yang lebih nyata.
Adapun usaha-usaha penyelesaian
atau Resolusi Konflik antara
Masyarakat,
Pemerintah,
dan
Perusahaan Tambang dalam kasus
esploitasi tambang di Dusun Sungai
Samak, Desa Sungai Samak,
Kecamatan
Badau,
Kabupaten
Belitung ini antara lain:
a. Negosiasi
Menurut
Nasikun
(1993),
Negosiasi adalah proses tawarmenawar dengan jalan berunding
guna
mencapai
kesepakatan
bersamaantara satu pihak dengan
pihak lain. Negosiasi juga merupakan
komunikasi dua arah yang dirancang
untuk mencapai kesepakatan pada
saat kedua belah pihak yang
memiliki berbagai kepentingan yang
sama maupun berbeda. Pemerintah
desa dan perusahaan tambang
melakukan tahap negosiasi dengan
masyarakat pada hari Selasa tanggal
20 Juli 2016, negosiasi tersebut di
Kantor Desa Sungai Samak, yang
dihadiri oleh 8 orang perwakilan dari
masyarakat, Ketua BPD, Kepala Desa,
Kapolsek, Babinsa, serta perwakilan
pihak tambang.
Negosiasi baru dilakukan setelah
konflik telah berlangsung cukup
lama sejak masyarakat merasa
terganggu
dengan
kehadiran
Perusahaan Tambang tersebut serta
dampak
yang
ditimbulkannya.
Negosiasi dilakukan setelah eskalasi
konflik cukup meluas, selain itu
negosiasi yang dilakukan tidak
menghasilkan
titik
temu
atau
kesepakatan bersama antara masingmasing pihak, baik dari Pemerintah
Desa,
perusahaan
maupun
masyarakat, masing-masing tetap
pada pendiriannya, disatu pihak.
Akhirnya negosiasi sebagai resolusi
konflik pertama yang dilakukan
tersebut tidak memberikan hasil yang
berarti terhadap penyelesaian konflik
yang ada, justru yang terjadi adalah
sebaliknya, akibat negosiasi tersebut
tidak berhasil sebagai mana mestinya
sehingga eskalasi konflik kian
meluas, masyarakat semakin kecewa
dengan hasil negosiasi tersebut.
b. Konsiliasi
Resolusi Konflik yang dilakukan
selanjutnya
adalah
Konsiliasi.
Pengendalian konflik dengan cara
konsiliasi terwujud melalui lembagalembaga
tertentu
yang
memungkinkan tumbuhnya pola
diskusi dan pengambilan keputusan
diantara
pihak-pihak
yang
berkonflik.
Sejumlah
warga
mendatangi anggota komisi I dan II
DPRD
Kabupaten
Belitung
melakukan konsiliasi pada hari
Selasa tanggal 20 Desember 2016,
mereka melakukan rapat dengar
pendapat
antara
masyarakat,
pemerintah
desa
dan
pihak
perusahaan
untuk
mendengar
tuntutan warga tersebut, namun
pihak perusahaan urung hadir pada
rapat tersebut. Akibatnya upaya
konsiliasi tersebut lagi-lagi tidak
berhasil karena pihak-pihak yang
berkonflik masih pada pendirian
masing-masing.
40
JISPO VOL. 7 No. 2 Edisi: Juli-Desember Tahun 2017
c. Mediasi
Selain negosiasi dan konsiliasi
proses mediasi juga telah dilakukan
oleh
aparat
penegak
hukum
(Pengadilan negeri Tanjung pandan).
Pihak Pengadilan telah memfasilitasi
untuk memediasikan ketiga belah
pihak
untuk
berdiskusi
menyelesaikan masalah yang terjadi.
Mediasi yaitu dimana pihak-pihak
yang berkonflik bersepakat untuk
menunjuk pihak ketiga yang akan
memberikan
nasehat-nasehat,
berkaitan
dengan
penyelesaian
terbaik terhadap konflik yang mereka
alami. Pihak pengadilan terus
melakukan proses mediasi dengan
menunjuk hakim mediator setelah
warga mengajukan gugatan perdata
kepada pemerintah dan perusahaan
tambang,
untuk
melakukan
perundingan atau negosiasi, namun
hasilnya tetap sama sehingga harus
melalui putusan pengadilan.
d. Arbitrasi
Arbitrasi merupakan salah satu
resolusi konflik, dimana pihak-pihak
yang berkonflik bersepakat untuk
menerima pihak yang ketiga, yang
akan berperan untuk memberikan
keputusan-keputusan yang harus
diterima oleh pihak yang berkonflik.
Berbeda dengan mediasi, cara
arbitrasi mengharuskan pihak-pihak
yang berkonflik untuk menerima
keputusan yang diambil oleh pihak
arbiter. Dari hasil proses arbitrasi itu,
pihak arbiter memutuskan menolak
gugatan dari masyarakat dengan
alasan bukan ranah mereka untuk
mengadili perkara tersebut karena
ranah PTUN. Pasca konflik tersebut,
komunikasi politik antara masyarakat
dengan
pemerintah
desa
dan
perusahaan tambang masih belum
berjalan normal hingga saat ini.
E. SIMPULAN
Konflik yang terjadi di Dusun
Sungai Samak, Desa Sungai Samak
Kecamata Badau, Kabupaten Belitung
dilatar belakangi oleh berbagai faktor,
mulai dari tidak adanya
sosialisasi,
kurang
terbukanya
pemerintah desa kepada masyarakat,
perbedaan kepentingan dampak yang
ditimbulkan
dari
aktivitas
penambangan. Bentuk konflik yang
terjadi di Dusun Sungai Samak, Desa
Sungai Samak Kecamata Badau,
Kabupaten Belitung adalah konflik
vertikal dan konflik horisontal.
Konflik
vertikal
terjadi
antara
masyarakat, pemerintah desa dan
perusahaan penambang. Sementara
konflik horizontal terjadi di dalam
msyarakat
itu
sendiri
antara
kelompok yang pro dan kelompok
yang kontra. Upaya resolusi konflik
yang dilakukan oleh masyarakat,
pemerintah dan perusahaan tambang
antara lain melakukan Negosiasi;
Kosuliasi; Mediasi; dan terakhir
Arbitrasi. Pada tahap arbitrasi
gugatan masyarakat ditolak oleh
Pengadilan Negeri Tanjung Pandan,
begitupula keputusan di tingkat
banding. Namun demikian setelah
keputusan banding keluar, tiba-tiba
perusahaan menghentikan aktivitas
pertambangan mereka di Dusun
Sungai Samak.
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, S. 2005. Manajeman
Penelitian. Jakarta: Rineka
Cipta.
Diana,Francis. 2006. Teori Dasar
Transformasi Konflik Sosial.
Yogyakarta: Quills.
Fisher, Simon, dkk. 2001. Mengelola
Konflik:
Keterampilan
dan
Strategi Untuk Bertindak, Alih
Bahasa S. N. Kartikasari, dkk.
Jakarta: The British Counsil,
Indonesia.
Noor, Juliansyah. 2011. Metode
Penelitian. Jakarta: PT. Bhuana
Ilmu Populer.
Nasikun. 1993. Sistem Sosial
Indonesia, Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada.
Prastowo, Andi. 2011.
Metode
Penelitian Kualitatif
Dalam
Perspektif Rancangan Penelitian.
Jakarta: Ar-Ruzz Media.
Soerjono Soekanto (2006). Sosiologi
Suatu Pengantar. Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada.
Soetopo. 1999. Teori Konflik. Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada.
Sugiyono. 2008. Metode Penelitian
Kuantitatif Kualitatif dan R&D.
Bandung: Alfabeta.
Winardi.
2000.
Manajer
dan
Manajemen. Bandung: Citra
Aditya Bakti.
Wirawan.
2010.
Konflik dan
Manajemen
Konflik:
Teori,
Aplikasi, dan Penelitian. Jakarta:
Salemba Humanika.
Skipsi:
Sahlan.
2015.
Konflik
Antara
Masyarakat dengan Pemerintah
(Studi Kasus pada Eksplorasi
Tambang di Kecamatan Lambu
Kabupaten Bima Nusa Tenggara
Barat). Makassar: FISIP
Universitas Hasanuddin.
Internet:
http://www.repository.usu.ac.id/bit
stream/123456789/39659/5/C
hapter%20I.pdf. Diakses 10
Oktober 2017
http://www.digilib.uinsby.ac.id/314
/4/Bab%201.pdf. Diakses 10
Oktober 2017
http://www.eprints.uny.ac.id/8869/2/
BAB%201%20%2008413244025.pdf. Diakses
10 Oktober 2017
https://jamilkusuka.wordpress.com/tag/k
onflik/.Diakses 10 Oktober 2017
http://id.wikipedia.org/wiki/Teori_
konflik.Diakses 10 Oktober
2017
Jurnal
Danial, R. (2017). Meningkatkan
Keunggulan Bersaing Usaha Kecil
Dan Menengah (Umkm). JISPO :
Jurnal Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik,
7(1),
13
21.
doi:http://dx.doi.org/10.15575/j
p.v7i1.1732
anggara, s. (2016). Teori Keadilan John
Rawls
Kritik
Terhadap
Demokrasi Liberal. JISPO : Jurnal
Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik, 1(1),
1-11.
doi:http://dx.doi.org/10.15575/ji
spo.v1i1.710
mufti, m. (2016). Analisis Kritis Terhadap
Sektor Pertanian Di Indonesia
Dalam Negara
Kesejahteraan. JISPO : Jurnal Ilmu
Sosial Dan Ilmu Politik, 1(1), 38-50.
doi:http://dx.doi.org/10.15575/ji
spo.v1i1.713
42
KETIMPANGAN PEMBANGUNAN DI SULAWESI BARAT
Endriady Edy Abidin*
Ahmad Amiruddin*
* Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sulawesi Barat
Corresponding Email: [email protected]
ABSTRAK:
Sulawesi Barat merupakan sebuah daerah pemekaran pasca-reformasi dari Sulawesi Selatan. Tujuan
pemekaran adalah akselerasi pembangunan. Namun dalam perkembangan sebuah daerah pemekaran,
ketimpangan antar-kabupaten dalam provinsi merupakan sangat sering ditemukan. Perbedaan kondisi
geografis, alokasi dana, sumberdaya alam, sumberdaya manusia, infrastruktur, dinamika politik dan
kebijakan daerah, serta konsentrasi ekonomi yang berbeda mengakibatkan satu daerah lebih maju
dibandingkan daerah lainnya. Penelitian ini menggukan metode campuran dalam membangun analisis
ketimpangan kabupaten di Sulawesi Barat. Hasil penelitian menunjukkan ketimpangan kabupaten di
Sulawesi Barat masuk dalam kategori sedang, yaitu berada pada kisaran di atas 0,35 namun di bawah
0,5. Perbedaan jumlah penduduk, infrastruktur, kondisi geografis, dan sumberdaya alam, serta
sumberdaya manusia menjadikan pembangunan antar-kabupaten berbeda satu dengan yang lain.
Untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, pemusatan ekonomi berdasar pada potensi daerah dapat
dilakukan.
KATA KUNCI:
Ketimpangan Kabupaten, Pembangunan Daerah, Sulawesi Barat.
A. PENDAHULUAN
Kesenjangan atau ketimpangan wilayah (regional inequality) menjadi masalah besar bagi
Indonesia sejak lama. Problematika yang merupakan warisan kolonial ini (Agusta, 2014:33;
Kurniawan, 2017: 64), yang kemudian diteruskan oleh pemerintah pusat setelah revolusi
kemerdekaan 1945 (Kahin & Kahin, 1997:45-46; Kurniawan, 2017: 64), masih menjadi wajah
spasial banyak daerah di Nusantara, yang berpengaruh terhadap ruang-ruang kehidupan
masyarakatnya. Di masa lalu, letak dan kondisi geografis tidak jarang menjadi kambing
hitam. Pola relasi pusat-pinggiran (center-periphery), yang lahir akibat sentralisasi, diskrimasi
spasial, dan kebijakan menjadi warna pemerintahan. Setelah kejatuhan Orde Baru, ancaman
disintegrasi wilayah menyeruak. Para elit di pusat kekuasaan beralih kepada desentralisasi.
Dan Indonesia berubah, dari salah negara paling sentralis di dunia menjadi negara “hampirfederal” (Mietzner, 2014: 45-46).
Desentralisasi pasca-reformasi diharapkan menjadi oase di padang pasir ketimpangan
wilayah. Pemekaran wilayah dan penyerahan otoritas yang lebih besar kepada daerah di era
reformasi dianggap menjadi solusi bagi ketimpangan ini. Daerah lebih mengetahui apa yang
mereka butuhkan, demikian logika Jakarta. Dengan alokasi dana dan otonomi yang besar
(Mietzner, 2014:54-55), daerah dapat berkembang lebih jauh menurut kebutuhannya sendiri.
Desentralisasi juga dianggap akan memberikan reformasi yang lebih luas, termasuk
peningkatan kualitas pelayanan publik yang dapat menjangkau lebih banyak masyarakat,
meningkatkan respon pemerintah untuk memenuhi aspirasi publik, dan memberdayakan
pemerintah sub-nasional agar lebih terlibat dan mengontrol jalannya pelayanan tersebut
(Asante & Ayee, 2007: 327). Lebih jauh, di beberapa ranah kebijakan dan daerah tertentu,
desentralisasi meningkatkan performa kebijakan dengan memberikan pemerintah lokal
otoritas menyesuaikan tujuan nasional sesuai dengan konteks lokal, dengan menggunakan
pengetahuan lokal, keahlian, dan input demokratis dari masyarakat untuk meningkatkan
respon tanggap pemerintah (Holzhacker, dkk., 2016: 4).
Terlepas dari tujuan awal yang hendak memberikan ruang pembangunan bagi daerah
sesuai dengan konteks lokal, desentralisasi dalam banyak kasus belum mampu memberikan
angin perubahan bagi daerah. Beberapa problematika yang inheren dalam konteks daerah
semisal perbedaan sumberdaya manusia (SDM), sumberdaya alam (SDM), dan letak
geografis serta kemampuan daerah dalam mengelola potensi yang mereka miliki juga
menjadi salah satu faktor yang senantiasa menghantui (Brodjonegoro, 2018). Namun tidak
jarang prioritas pembangunan yang dilakukan pemerintah provinsi dan pusat turut
memberikan andil bagi ketertinggalan satu daerah dibandingkan daerah lainnya. Termasuk
ke dalam konteks ini adalah pemerataan pembangunan infrastruktur yang menunjang
pertumbuhan ekonomi daerah dan prioritas pembangunan zona-zona ekonomi.
Sulawesi Barat, yang menjadi fokus kajian dalam riset ini, merupakan sebuah daerah
pemekaran setelah reformasi dari Sulawesi Selatan. Resmi berdiri pada 2004, provinsi ini,
memiliki 6 kabupaten dengan luas wilayah 16.787,18 km2 dan total populasi 1.282.162 orang
(BPS Provinsi Sulbar, 2017). Untuk jangka waktu yang cukup lama, daerah-daerah yang kini
berada berada di bawah Provinsi Sulawesi Barat merupakan daerah tertinggal jika
dibandingkan dengan kabupaten lain yang ada di Sulawesi Selatan. Kesenjangan ekonomi
dan pembangunan ini yang menjadi alasan utama perjuangan masyarakat di Mamuju,
Majene, dan Polewali Mandar untuk membentuk provinsi sendiri setelah jatuhnya kekuasaan
sentralistis orde baru yang memungkinkan munculnya reformasi dan desentralisasi yang
disahkan melalui Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999.
Dalam perkembangan sebuah daerah pemekaran, ketimpangan antar-kabupaten
dalam provinsi merupakan sangat sering ditemukan. Perbedaan kondisi geografis, alokasi
dana, sumberdaya alam, sumberdaya manusia, infrastruktur, dinamika politik dan kebijakan
daerah, serta konsentrasi ekonomi yang berbeda mengakibatkan satu daerah lebih maju
dibandingkan daerah lainnya. Berdasarkan pada konteks demikian, artikel hendak ini
mengangkat tentang ketimpangan pembangunan yang terjadi di provinsi Sulawesi Barat.
Artikel ini akan memaparkan ketimpangan seperti apa yang terjadi dalam kaitannya dengan
pembangunan di Sulawesi Barat. Pertanyaan penelitian yang hendak dijawab oleh artikel ini
adalah “Ketimpangan kabupaten seperti apa yang terdapat di Provinsi Sulawesi Barat?”.
B. STUDI KEPUSTAKAAN
Konsep Ketimpangan Wilayah
Secara
umum,
pembangunan
dimaknai
sebagai
upaya
berkesinambungan
menciptakan keadaan yang dapat menyediakan lebih banyak alternatif yang valid bagi setiap
warga negara untuk mencapai aspirasinya yang paling humanistik (Kabul & Trigunarso,
2017: 29). Lebih jauh, pembangunan bertujuan untuk mewujudkan bangsa yang maju,
mandiri, dan sejahtera lahir batin dan masyarakat yang adil dan makmur. Untuk sampai
kesana, titik fokus dalam pembangunan diletakkan pada bidang ekonomi yang menjadi
motor penggerak. Seiring dengan meningkatnya pembangunan, maka pengelompokan
penduduk dan kegiatan perekonomian tercipta. Seiring berjalannya waktu dan tingkat
produktivitas yang berbeda antara satu wilayah dengan wilayah yang lain maka terciptalah
ketimpangan antar-wilayah (Kabul & Trigunarso, 2017: 29-30).
Ketimpangan atau kesenjangan wilayah dapat dipahami sebagai kondisi dimana
terdapat perbedaan tingkat kesejahteraan dan perkembangan ekonomi antar wilayah
(Ratnasari & Santoso, 2014: 125). Ketimpangan terjadi didominasi oleh perbedaan
pertumbuhan ekonomi, kemiskinan, pendidikan, kesehatan, serta rendahnya akses
masyarakat terhadap sarana prasarana sosial ekonomi (Basri dalam Ratnasari & Santoso,
2014: 125). Jika kita mengacu pada teori pembangunan wilayah, maka faktor lain yang juga
dominan dalam terciptanya kesenjangan wilayah adalah faktor geografi, sejarah, politik,
kebijakan pemerintah, administrasi, sosial dan ekonomi (Murti & Rustiadi dalam
(Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan
Nasional, 2017: 32). Lebih jauh menurut Syafrizal (dalam Hamid, dkk., 2017) terdapat lima
faktor yang menjadi penyebab kesenjangan wilayah, yaitu: a. Perbedaan kandungan sumber
daya alam; b. Perbedaan kondisi geografis; c. Kurang lancarnya mobilitas barang dan jasa; d.
Konsentrasi kegiatan ekonomi wilayah; e. Alokasi dana pembangunan antarwilayah.
Usaha dalam menanggulangi kesenjangan antar-wilayah (kabupaten) secara umum
dapat dilakukan oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah (provinsi dan
kabupaten). Dari kacamata pemerintah pusat (Agusta, 2014: viii-ix), perumusan strategi,
kebijakan dan program pengurangan ketimpangan pembangunan wilayah perlu didasarkan
pada konteks yang tepat, karena kebijakan yang positif di suatu wilayah belum tentu cocok
untuk wilayah lainnya. Terdapat beberapa konteks yang ditemukan memengaruhi kebijakan
ini. Konteks tersebut berupa ketimpangan global yang terus meningkat sejak Revolusi
Industri (1750-1850), diskursus donor untuk pembangunan nasional, kondisi Indonesia
sebagai wilayah pasca kolonial, wilayah Indonesia tergolong luas dan berupa kepulauan.
Konteks lainnya ialah pandangan statis terhadap suku, agama, ras dan golongan. Konteks
lainnya ialah krisis moneter yang masih dirasakan hingga kini, serta perkembangan otonomi
daerah.
Sementara dari sudut pandang daerah, keberadaan undang-undang otonomi daerah
memberikan berbagai kewenangan yang dapat dieksekusi oleh daerah, termasuk ke
dalamnya adalah kreativitas daerah dalam memaksimalkan pengelolaan sumberdaya yang
terdapat di daerahnya untuk pembangunan yang sesuai dengan karakteristik daerahnya.
Lebih jauh, pelimpahan wewenang ke daerah (desentralisasi) juga memberikan kewenangan
bagi pemerintah daerah untuk dapat mengelola wilayah adminitratifnya sesuai dengan
potensi yang mereka miliki dan kebutuhan daerah masing-masing. Di sini, daerah juga
dituntut agar memiliki inovasi-inovasi yang dapat berkontribusi terhadap pengurangan
kesenjangan (Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan
Pembangunan Nasional, 2017: 32-33).
C. METODE PENELITIAN
Penelitian merupakan penelitian yang menggabung metode kuantitatif dan kualitatif.
Metode kuantitatif digunakan untuk memandang tingkah laku manusia dapat diramal dan
realitas sosial; objektif dan dapat diukur. Oleh karena itu, penggunaan penelitian kuantitatif
dengan instrumen yang valid dan reliabel serta analisis statistik yang sesuai dan tepat
menyebabkan hasil penelitian yang dicapai tidak menyimpang dari kondisi yang
sesungguhnya (Yusuf, 2017: 65). Riset kualitatif bertujuan untuk mencari jawaban dengan
cara mengeksplorasi dan memahami berbagai macam konteks sosial dan individu atau
kelompok yang berlindung di bawah konteks tersebut. Penelitian kualitatif menitikberatkan
perhatian pada bagaimana manusia mengatur diri dan konteks di mana ia eksis dan
bagaimana mereka, dari konteks tersebut, memahami sekelilingnya melalui simbol, ritual,
struktur sosial, peranan sosial, dan sebagainya. Hasil penelitian kualitatif bersifat fleksibel
dan menggunakan model induktif, berfokus pada pemaknaan individu, dan deskripsi atas
kerumitan dari sebuah situasi (Creswell, 2014: 4; Berg, 2001: 4).
Untuk mengukur ketimpangan pembangunan di Sulawesi Barat metode yang
digunakan metode indeks Williamson. Pada saat ini ukuran ketimpangan wilayah banyak
menggunakan ide-ide dari Jeffrey Williamson yang mendasarkan diri pada teori Kuznet.
Williamson menggunakan kaidah statistika tentang nilai tengah, yaitu koefisien variasi (CV).
Untuk mengaitkannya dengan kewilayahan, maka koefisiensi variasi tersebut dikaitkan
dengan jumlah penduduk (CVs). Perhitungan ini menggunakan model persamaan umum
(Agusta, 2014: 196).
Williamson memandang masalah pembangunan wilayah di negara sedang
berkembang ialah peningkatan jumlah penduduk yang sangat besar, sehingga hasil-hasil
pertumbuhan ekonomi bisa "digerogoti". Analisis diarahkan untuk mengisolasi faktor-faktor
penyebab pertumbuhan ekonomi tersebut. Diyakini, setelah pola pertumbuhan tersebut
diketahui, maka kebijakan yang sesuai dengan realitas kewilayahan bisa dikembangkan
(Agusta, 2014: 196).
Pembangunan perkotaan dalam jangka panjang tergantung dari produktivitas yang
dikembangkan. Namun dalam jangka pendek produktivitas tersebut akan ditahan oleh
peningkatan kebutuhan perumahan, keterampilan tenaga kerja, lahan perkotaan.
Pertumbuhan perkotaan dipengaruhi oleh sembilan faktor, yaitu perubahan harga dalam
industri, perubahan produktivitas industri, perubahan harga dalam pertanian, perubahan
produktivitas pertanian, pertumbuhan angkatan kerja, akumulasi kapital dalam industri
manufaktur, akumulasi kesediaan rumah di perkotaan untuk orang miskin, akumulasi
kesediaan rumah di perdesaan untuk orang miskin, dan keterampilan (Agusta, 2014: 196)197.
Selanjutnya
Williamson
mengemukakan
teorinya,
bahwa
kecenderungan
ketimpangan wilayah berbentuk kurva U. Pada awal pembangunan, ketimpangan wilayah
cenderung meningkat. Pada perkembangan pembangunan berikutnya mulailah terjadi
penurunan ketimpangan wilayah (Agusta, 2014: 197).
Indeks Williamson mengukur derajat ketimpangan antar wilayah yang didasarkan
pada PDRB per kapita dalam kaitannya dengan jumlah penduduk per daerah. Apabila Indeks
Williamson mendekati nol, maka ketimpangan pendapatan antar kabupaten/kota rendah
juga pertumbuhan ekonomi antar daerah merata. Namun, apabila Indeks Williamson bernilai
mendekati satu, maka ketimpangan distribusi pendapatan antar kabupaten/kota tinggi dan
mengindikasikan pertumbuhan ekonomi antar daerah tidak merata (Kementerian
Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, 2017).
Adapun rumus dari Indeks Williamson sebagai berikut.
Teori kedua yang digunakan adalah teori cumulative causation berasal dari Gunnar
Myrdal. Teori ini memahami kemungkinan tertariknya sumberdaya wilayah tertinggal ke
wilayah maju. Oleh karena meyakini potensi kemampuan di wilayah (yang dinamakan
tertinggal), maka teori ini menyarankan pendirian kota atau industri di wilayah yang lebih
tertinggal (Agusta, 2014: 238). Lebih jauh, menurut Fujita (Fujita, 2007) fokus teori Myrdal
adalah pada pembangunan yang berfokus untuk meningkatkan produksi tanpa mengabaikan
analisis ekonomi dan non-ekonomi serta memberikan penekanan pada kemungkinan
reformasi sosial dengan memperkenalkan kebijakan ekonomi.
D. PEMBAHASAN
Di masa lalu, sentralisasi kekuasaan dan ekonomi, diskriminasi spasial, serta
kebijakan yang tidak adil menjadi penyebab terjadinya ketimpangan wilayah. Reformasi
tahun 1998 memberikan angin segar perubahan bagi daerah dengan memberikan
kewenangan bagi daerah untuk mengatur dirinya sendiri termasuk dalam merencanakan
pembangunannya sendiri. Cara pandang desentralisasi ini didorong oleh cara pandang neoinstitusional (Lihat Hadiz 2004), sebagai bentuk reorganisasi administrasi dan kewenangan
untuk akselerasi pembangunan di tingkat kabupaten/kota. Cara ini dipandang sebagai jalan
tengah devolusi otoritas ekonomi dan politik dan ditujukan untuk memunculkan berbagai
inisiatif kebijakan yang kreatif dan kontekstual bagi daerah serta mendorong partisipasi
publik (Rasyid 2004: 63).
Model baru ini sangat berbeda dengan sebelumnya, yang sangat sentralistik dan
senantiasa mengontrol ketat berbagai sumberdaya, ekonomi dan politik, di semua daerah,
dan membawa harapan besar bagi banyak orang di Indonesia terutama orang-orang yang
berada di luar Jawa. Bagi orang-orang ini, banyak dari mereka yang tidak benar-benar
merasakan masa pembangunan Orde Baru, kecuali korupsi, kolusi dan nepotisme yang
diturunkan dari pusat (Sulistiyanto dan Erb dalam Erb dan Sulistiyanto 2005: 1). Undangundang Otonomi Daerah no. 22/1999, yang menjadi aturan main baru tersebut, membatasi
banyak dari otoritas pemerintah pusat sebelumnya dan memindahkannya ke tangan
pemerintah kabupaten/kota. Otoritas politik lokal yang tadinya dikontrol secara ketat oleh
Jakarta, kini berpindah ke tangan orang-orang lokal. Posisi politik orang lokal di Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah juga meningkat dan kemudian mengontrol eksekutif lokal
(Pratikno 2005: 20).
Salah satu wilayah yang mendapat blessing reformasi adalah Sulawesi Barat. Provinsi
ini berdiri pada tahun 2004 dan merupakan pemekaran dari Sulawesi Selatan. Untuk jangka
waktu yang cukup lama, daerah-daerah yang kini berada berada di bawah Provinsi Sulawesi
Barat merupakan daerah tertinggal jika dibandingkan dengan kabupaten lain yang ada di
Sulawesi Selatan. Kesenjangan ekonomi dan pembangunan ini yang menjadi alasan utama
perjuangan masyarakat di Mamuju, Majene, dan Polewali Mandar untuk membentuk
provinsi sendiri setelah jatuhnya kekuasaan sentralistis orde baru yang memungkinkan
munculnya reformasi dan desentralisasi yang disahkan melalui Undang Undang Nomor 22
Tahun 1999.
Namun terlepas dari tujuan awalnya, sesuai dengan tujuan reformasi Indonesia,
Sulawesi Barat yang kini berjumlah enam kabupaten, tentunya memiliki kemajuan
pembangunan yang berbeda-beda sesuai dengan dinamika politik lokal, kebijakan
pemerintah daerah, sumberdaya alam dan manusia serta potensi ekonomi lainnya yang
dimiliki oleh masing-masing kabupaten. Berbagai faktor ini yang menentukan pertumbuhan
ekonomi dan kemajuan sebuah daerah. Namun dalam perkembangannya, sesuai dengan
kondisi yang telah disebutkan sebelumnya, pembangunan ekonomi tiap daerah bervariasi
dan menyebabkan ketimpangan pembangunan di antara kabupaten. Terdapat kabupaten
dengan pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi sementara kabupaten lain jauh tertinggal
di belakang. Umumnya yang berperan dalam satu pertumbuhan yang tinggi adalah adanya
sektor unggulan yang berkontribusi besar terhadap pertumbuhan ekonomi dan
pembangunan.
Dampak yang mungkin timbul dari dari perbedaan kemampuan satu daerah dengan
daerah lainnya adalah kapabilitas dalam melaksanakan pembangunan menjadi berbeda satu
dengan yang lain. Daerah yang yang dapat memaksimalkan potensi unggulannya akan
menjadi daerah maju sedangkan daerah yang tidak memiliki sektor unggulan atau kebijakan
ekonominya keliru akan menjadi daerah tertinggal. Perbedaan pembangunan tentu saja akan
berdampak langsung kepada masyarakat. Daerah maju memiliki tingkat kesejahteraan yang
jauh lebih baik dibandingkan daerah tertinggal. Ketimpangan pembangunan juga akan
berdampak pada strategi pembangunan yang dilakukan masing-masing daerah.
Indeks Williamson Ketimpangan Sulawesi Barat
Untuk
mengevaluasi
perkembangan
pembangunan
di
Sulawesi
Barat
penelitian
menggunakan ini indeks Williamson. Sebelum melakukan kalkulasi, terlebih dahulu
dijabarkan produk domestik regional bruto (PDRB) yang datanya berasal dari Biro Pusat
Statistik (BPS). Selanjutnya dijabarkan jumlah populasi dalan rentang waktu antara 2005 dan
2019.
Tabel 1
PDRB Per Kapita berdasarkan harga konstan Kabupaten di Sulawesi Barat
tahun 2005 – 2019
Tabel 2
Jumlah Populasi Kabupaten di Sulawesi Barat
tahun 2005 – 2019
Berdasarkan pada produk domestik regional bruto berbasis harga konstan di atas dan
populasi di atas maka diperoleh indeks Williamson ketimpangan di Sulawesi Barat adalah
sebagai berikut:
Tabel 3
Indeks Williamson Ketimpangan Sulawesi Barat
No.
Tahun
Indeks Williamson
1
2005
-
2
2006
0,139
3
2007
0,151
4
2008
0,154
5
2009
-
6
2010
-
7
2011
0,320
8
2012
0,335
9
2013
0,342
10
2014
0,375
11
2015
0,376
12
2016
0,361
13
2017
0,359
14
2018
0,355
Sumber: Data diolah dari berbagai sumber.
Pada tabel olahan di atas, tidak tersedia data yang secara spesifik membahas tahun
2005, 2009, dan 2010. Untuk data tahun 2006 hingga 2008 menggunakan harga konstan tahun
2000. Untuk 2011-2018 menggunakan harga konstan 2010. Perhitungan 2011 dan 2012 tidak
menyertakan kabupaten Mamuju Tengah yang baru terbentuk pada akhir 2012. Mamuju
Tengah tampil dalam data 2013 dan setelahnya.
Kondisi dalam satu sewindu terakhir, dari analisis williamson ditemukan bahwa
terdapat fluktuasi dalam indeks ketimpangan pembangunan. Tahun 2011 indeks williamson
Sulawesi Barat adalah 0,320. Kondisi demikian terus bertambah hingga tahun 2015 dengan
indeks 3,76. Namun tahun 2016, indeks ketimpangan menurun dan tren demikian terus
berlanjut hingga 2018.
Berdasarkan pada data di atas, kriteria untuk menentukan tingkat kesenjangan adalah
sebagai berikut (Anggraeni dalam Iskandar dan Saragih, 2018: 43):
IW < 0,35
Kesenjangan ekonomi taraf rendah
0,35 < IW < 0,5
Kesenjangan ekonomi taraf sedang
IW > 0,5
Kesenjangan ekonomi taraf tinggi
Berdasarkan pada kategorisasi di atas, maka pertambahan tingkat ketimpangan dan
penurunannya setelah 2015 termasuk dalam kategori taraf sedang. Adapun yang tertinggi
adalah pada tahun 2015 dengan indeks 0,376 yang mana juga masuk kategori sedang karena
di bawah 0,5 dan di atas dari 0,35.
Meskipun terdapat penurunan dalam indeks ketimpangan, ketimpangan merupakan
sebuah akumulasi dari konsentrasi kegiatan ekonomi yang tidak setara antara satu daerah
dengan daerah lainnya. Terdapat daerah yang memiliki pertumbuhan ekonomi yang sangat
tinggi seperti di Mamuju Utara, dikarenakan produksi perkebunan sawitnya, namun terdapat
pula daerah seperti Majene yang pertumbuhan ekonomi lebih tertinggal dari daerah lainnya
di Sulawesi Barat. Faktor yang terakhir ini disebabkan kondisi geografis yang tidak sesubur
kabupaten lainnya, sehingga tidak menunjang untamanya kegiatan pertanian yang masih
menjadi primadona di Sulawesi Barat.
Hal yang patut diperhatikan selanjutnya oleh pemerintah Provinsi Sulawesi Barat
adalah pembangunan sumberdaya manusia dan bidang kesehatan. Masih kurangnya tenaga
kesehatan di Provinsi ini tentunya berpengaruh besar terhadap sumberdaya manusia.
Demikian juga dengan pendidikan. Kedua faktor ini banyak berperan penting dalam
menunjang pertumbuhan ekonomi yang nantinya akan membantu mengatasi ketimpangan
pembangunan antar-kabupaten di Sulawesi Barat.
Pembagian Fokus Pembangunan
Sulawesi Barat, hingga saat ini, masih bergantung pada sektor yang mengandalkan
sumberdaya alam semisal pertanian, perkebunan, kehutanan, perburuan, dan perikanan.
Data BPS (2019) menyebutkan sektor ini, mempekerjakan 323.280 orang yang merupakan
sektor penyerap tenaga kerja terbesar di Sulawesi Barat. Sektor yang lain semisal jasa
mempekerjakan 205.574 tenaga kerja. Sektor industri merupakan sektor yang memiliki tenaga
kerja paling rendah dengan jumlah 90.541. Yang kemudian menjadi masalah bagi sektor yang
pertama adalah kebanyakan dari pekerja sektor ini berpendidikan sekolah dasar (sebanyak
217.586 jiwa). Dan hanya 5.539 yang berpendidikan perguruan tinggi. Pendidikan yang
rendah tidak jarang merupakan batu sandungan bagi produktivitas ekonomi.
Rendahnya pendidikan di sektor primadona Sulbar ini, menjadikan banyak potensi
tidak termasimalkan. Salah satu yang mungkin tergambar jelas adalah sektor perikanan.
Sulawesi Barat memiliki luas laut 22.012 km2 dan panjang garis pantai mencapai 617,5 km
dengan potensi kelautan dan perikanan yang sangat besar. Potensi perikanan tangkap
mencapai 1,02 juta ton per tahun dengan pemanfaatan baru sekitar 64,3 ribu ton. Sedangkan
potensi perikanan budidaya mencapai 74.300 hektare, dengan pemanfaatan baru sekitar 24,8
ribu hektare dengan volume produksi tahun 2016 mencapai 121.650 ton (MedanBisnis, 2017).
Rendahnya tingkat pendidikan merupakan kendala dalam pembangunan sektor perikanan
yang mengakibatkan keterbatasan dalam proses adopsi teknologi, penerimaan dan
penyebaran informasi, kesadaran menjaga kelestarian lingkungan dan kualitas kesehatan,
dan kemampuan mengakses permodalan (Zainal, 2013:51).
Kendala terbesar di Sulawesi Barat bagi pembangunan dan pertumbuhan ekonomi
adalah rendah indeks pembangunan manusia (IPM). Dari enam kabupaten, IPM tertinggi
terdapat di kabupaten Mamuju. Mamuju, yang juga merupakan ibukota Sulawesi Barat lebih
cepat kemajuannya dibandingkan daerah lain karena faktor ibukota yang menjadikannya
tumbuh lebih cepat, dengan dukungan infrastruktur yang cukup memadai. Faktor lainnya
adalah Mamuju juga salah satu penghasil kelapa sawit terbesar di Sulawesi Barat, walaupun
belakangan ini mengalami kendala diakibatkan oleh larangan impor Uni-Eropa. IPM
terendah di Sulawesi Barat terdapat di kabupaten Polewali Mandar. IPM Polewali Mandar
hanya 62,35 di bawah level Papua Barat dan di atas Papua yang merupakan Provinsi dengan
IPM terendah di Indonesia. Dibandingkan level nasional, 71,39, IPM menjadi pekerjaan
rumah besar bagi kabupaten ini. Polewali Mandar yang juga merupakan kabupaten dengan
penduduk terbanyak di Sulbar sekaligus juga kabupaten yang most improved IPM-nya antara
tahun 2013 – 2017 (BPS, 2019). Kabupaten dengan IPM terendah kedua adalah kabupaten
Mamasa yang juga paling sedikit peningkatan IPMnya dalam rentang waktu 2013 – 2017. Dari
6 kabupaten Sulbar, tiga berada di bawah rerata provinsi (64,30), tiga lainnya berperforma
lebih dari rerata provinsi meski masih jauh di bawah rerata nasional.
Rendahnya IPM Polewali Mandar dan Mamasa, cenderung diakibatkan karena kedua
kabupaten ini masih relatif lebih tertinggal dibandingkan kabupaten-kabupaten yang tinggi
pertumbuhan ekonominya seperti Mamuju dan Mamuju Utara. Terlepas dari adanya sentra
ekonomi besar seperti yang terdapat di kecamatan Wonomulyo, driver ekonomi Polewali
Mandar utamanya terdapat di sektor pertanian, perkebunan, dan perikanan yang belum
cukup mampu mempercepat pertumbuhan ekonomi kabupaten ini. Salah satu primadona
sektor perkebunan Polewali yaitu kakao juga menurun. Hal ini disebabkan oleh masih
tingginya tingkat serangan hama dan penyakit serta produktivitas tanaman yang semakin
turun akibat tanaman berumur tua.
Kabupaten lain yang juga relatif tertinggal adalah Mamasa. Rendahnya produk
domestrik regional bruto yang dimiliki oleh Mamasa karena terbatasnya aktivitas yang dapat
merangsang pertumbuhan ekonomi lebih cepat. Sektor ekonomi utama di Mamasa adalah
pertanian dan perkebunan serta sektor jasa. Faktor infrastruktur juga menjadi kendala besar
di kabupaten ini di samping sumberdaya manusia yang jauh lebih sedikit dibandingkan
beberapa kabupaten tetangganya. Penduduk Mamasa hanya berjumlah 159.200, dan tercatat
sebagai ketiga terendah di Sulawesi Barat. Dengan kondisi alam yang indah, Mamasa
sebenarnya dapat berkembang menjadi sebuah daerah wisata seperti halnya Tana Toraja di
Sulawesi Selatan. Kondisi geografisnya juga memungkinkan perkebunan kopi yang lebih
luas. Mamasa dikenal sebagai penghasil kopi namun selama ini produksi kopinya belum
seterkenal kopi Enrekang atau Toraja. Potensi ini yang belum tergarap secara maksimal,
padahal fokus konsentrasi ekonomi ini dapat mendorong peningkatan PDRB daerah.
Kabupaten Majene juga termasuk salah satu yang relatif tertinggal dibandingkan
Kabupaten tetangganya di utara. Kabupaten ini merupakan kabupaten yang luas wilayahnya
paling kecil di Sulbar (total hanya 5,64 persen atau 947,84 km2), wilayahnya juga tidak sesubur
daerah lain. Sektor ekonomi utama di Majene adalah sektor pertanian, Kehutanan, Perburuan,
dan Perikanan. Sektor ini mempekerjakan 30.492 orang tenaga kerja. Sumberdaya manusia
adalah salah satu masalah besar di kabupaten ini. Data BPS (2017) menyebutkan dari total
166.397 penduduk pada tahun 2016, terdapat 33.634 jiwa yang tidak bersekolah atau tamat
SD, yang merupakan kategori terbesar dari dalam klasifikasi pendidikan populasi Majene.
Luas daerah yang kecil dan kondisi alamnya serta kualitas sumberdaya manusia yang
tergolong rendah menjadikan PDRB kabupaten juga rendah. Namun konsensus pendirian
provinsi Sulawesi Barat pada tahun 2004, salah satunya adalah menjadikan Majene sebagai
kota pendidikan untuk Sulbar. Berdirinya berbagai institusi pendidikan di kabupaten ini
diharapkan menjadi salah pendukung perkembangan daerah ini ke depannya.
Kabupaten termuda di Sulbar adalah kabupaten Mamuju Tengah. Kabupaten ini
merupakan pemekaran dari kabupaten Mamuju pada tahun 2012. Kabupaten ini masih
tertinggal dibandingkan yang lain dikarena usianya yang tergolong muda selain jumlah
sumberdaya manusia yang paling sedikit (130.830 jiwa). Namun kabupaten ini memiliki
kesempatan yang besar untuk menjadi sentra perkebunan mengingat jumlah wilayah yang
cukup memberi peluang untuk pengembangan sektor perkebunan ke depannya.
Pertumbuhan ekonomi Sulawesi Barat yang cukup tinggi (6,23 persen) serta perhatian
pemerintah pusat kepada daerah ini, mengingat akan menjadi pintu gerbang ke ibukota baru
Indonesia di Kalimantan Timur, menjadikan Sulawesi Barat daerah yang akan terus
berkembang. Yang penting menjadi perhatian di provinsi ini khususnya adalah indeks
pembangunan manusia yang masih rendah. Pembangunan infrastuktur yang menunjang
pertumbuhan ekonomi terus didorong. Dan yang terpenting adalah adalah pengembangan
sektor-sektor yang seharusnya menjadi primadora konsentrasi ekonomi semisal sektor
kelautan, perkebunan kopi, dan revitalisasi perkebunan dapat membantu pertumbuhan
ekonomi kabupaten-kabupaten di Sulawesi Barat.
E. DAFTAR PUSTAKA
Acemoglu, D. & Robinson, J., 2017. Mengapa Negara Gagal. Jakarta: Elex Media.
Agusta, I., 2014. Ketimpangan Wilayah dan Kebijakan Pembangunan di Indonesia. Jakarta: Yayasan
Pustaka Obor Indonesia.
Asante, F. & Ayee, J., 2007. Decentralization and Poverty Reduction. In: E. Isser & R. Kanbur,
eds. The Economy of Ghana: Analytical Perspectives on Stability, Growth, & Poverty. Oxford:
James Currey Ltd, pp. 325-347.
Bakri, Syafrizal & Aimon, H., 2015. Analisis Ketimpangan Pembangunan Antar
Kabupaten/Kota Di Sumatera Barat Dan Kebijakan Penanggulannya. Jurnal Kajian
Ekonomi, 04(07).
Berg, B., 2001. Qualitative Research Methods for the Social Sciences. .. Needham Heights, MA:
Allyn and Bacon.
BPS Sulawesi Barat, 2006. Sulawesi Barat dalam Angka 2005/2006. Mamuju: BPS Provinsi
Sulawesi Barat.
BPS Sulawesi Barat, 2007. Sulawesi Barat dalam Angka 2007. Mamuju: BPS Provinsi Sulawesi
Barat.
BPS Sulawesi Barat, 2008. Sulawesi Barat dalam Angka 2008. Mamuju: BPS Provinsi Sulawesi
Barat.
BPS Sulawesi Barat, 2009. Sulawesi Barat dalam Angka 2009. Mamuju: BPS Provinsi Sulawesi
Barat.
BPS Sulawesi Barat, 2010. Sulawesi Barat dalam Angka 2010. Mamuju: BPS Provinsi Sulawesi
Barat.
BPS Sulawesi Barat, 2012. Sulawesi Barat dalam Angka 2012. Mamuju: BPS Provinsi Sulawesi
Barat.
BPS Sulawesi Barat, 2013. Sulawesi Barat dalam Angka 2013. Mamuju: BPS Provinsi Sulawesi
Barat.
BPS Sulawesi Barat, 2014. Sulawesi Barat dalam Angka 2014. Mamuju: BPS Provinsi Sulawesi
Barat.
BPS Sulawesi Barat, 2015. Sulawesi Barat dalam Angka 2015. Mamuju: BPS Provinsi Sulawesi
Barat.
BPS Sulawesi Barat, 2016. Provinsi Sulawesi Barat Dalam Angka 2016. Mamuju: BPS Provinsi
Sulawesi Barat.
BPS Sulawesi Barat, 2017. Provinsi Sulawesi Barat dalam Angka 2017. Mamuju: BPS Provinsi
Sulawesi Barat.
BPS Sulawesi Barat, 2018. Provinsi Sulawesi Barat dalam Angka 2018. Mamuju: BPS Sulawesi
Barat.
BPS Sulawesi Barat, 2019. Provinsi Sulawesi Barat dalam Angka 2019, Mamuju: BPS Sulawesi
Barat.
Brodjonegoro,
Available
B.,
at:
2018.
Media
Indonesia.
[Online]
http://mediaindonesia.com/read/detail/158797-memangkas-
kesenjangan-antarwilayah-untuk-pembangunan-indonesia
[Diakses 21 April 2019].
Creswell, J., 2014. Research Design. Thousand Oaks, California: Sage.
Dewi, I. A. I. U., Budhi , M. K. S. & Sudirman, W., 2014. VOLUME.03.N0.02.TAHUN 2014 /
Articles. E-Jurnal Ekonomi dan Bisnis Universitas Udayana, 03(02), pp. 68-80.
Fujita, N., September 2007. Myrdal’s Theory of Cumulative Causation. Evolutionary and
Institutional Economics Review, 03(02), p. 275–284.
Hamid, M., Siradjudin & Rusydi, B. U., 2017. Analisis Pertumbuhan Ekonomi Dan
Ketimpangan Pendapatan Antar Kabupaten Di Provinsi Sulawesi Barat. Ecces, 04(02).
Haryono, E. & Ilkodar, S., 2005. Menulis Skripsi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Iskandara, A. & Saragih, R., 2018. Analisis Kondisi Kesenjangan Ekonomi Daerah: Studi Kasus
Kabupaten/Kota Di Sulawesi Selatan. Jurnal Info Artha , 02(01), pp. 37-52.
Hadiz, V. R., 2004. Decentralization and Democracy in Indonesia: A Critique of NeoInstitutionalist Perspectives. Development and Change, 35(4), p. 697–718.
___________, 2010. Localizaing Power in Post-Authoritarian Indonesia. Stanford,CA: Stanford
University Press.
Holzhacker, R., Wittek, R. & Woltjer, J., 2016. Decentralization and Governance in Indonesia.
Heidelberg: Springer.
Jonathan , M., 2014. People-Centred Development. In: M. Steger, P. Battersby & J. Sira, eds.
The SAGE Handbook of Globalization. Thousand Oaks, CA: Sage, pp. 902-918.
Kabul, M. A. & Trigunarso, S. I., 2017. Perencanaan Pembangunan Daerah. Depok: Kencana.
Kahin, G. & Kahin, A., 1997. Subversi Sebagai Politik Luar Negeri. Jakarta: Pustaka Grafiti.
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan
Nasional, 2017. Prakarsa Pemerintah Daerah Dalam Upaya Pengurangan Kesenjangan
Wilayah Dan Pembangunan Daerah. Jakarta: Kementerian Perencanaan Pembangunan
Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional.
Kompas.com,
Available
2017.
at:
KKP
Dorong
Ekonomi
Berbasis
Perikanan
di
Sulbar.
[Online]
https://ekonomi.kompas.com/read/2017/08/03/103225626/kkp-
dorong-ekonomi-berbasis-perikanan-di-sulbar?page=all
[Diakses 15 12 2019].
Kominfo
Available
Sulbar,
at:
2017.
Sulawesi
Barat.
[Online]
berita.sulbarprov.go.id/index.php/blog/sulawesi-barat
[Diakses 15 12 2019].
Kurniawan, E. B., 2017. Kesenjangan Wilayah di Indonesia Kontemporer. In: R. Madinier, ed.
Revolusi Tak Kunjung Selesai: Potret Indonesia Masa Kini. Jakarta: Irasec & KPG, pp. 63-79.
Mietzner, M., 2014. Indonesia's Decentralization: The Rise of Local Identities and Survival of
the Nation States. In: H. Hill, ed. Regional Dynamics in Decentralized Indonesia. Singapura:
ISEAS, pp. 45-67.
MedanBisnisDaily, 2017. Potensi Perikanan Sulawesi Barat Luar Biasa Besar. [Online]
Available
at:
http://www.medanbisnisdaily.com/news/read/2017/08/03/313395/potensi_perika
nan_sulawesi_barat_luar_biasa_besar/
[Diakses 14 12 2019].
Pratikno, 2001. Exercising Freedom: Local Autonomy and Democracy in Indonesia, 1999–
2001. In: M. Erb & P. Sulistiyanto, eds. Regionalism in Post-Suharto Indonesia. London:
RoutledgeCurzon.
Rasyid, M. R., 2004. Regional Autonomy and Local Politics in Indonesia. In: E. Aspinall & G.
Fealy, eds. Local Power and Local Politics in Indonesia: Decentralisation and Democratisation.
Singapura: ISEAS.
Ratnasari, Y. & Santoso, E. B., 2014. Penentuan Tipologi Kesenjangan Wilayah di Kabupaten
Lamongan Berdasarkan Aspek Ekonomi dan Sosial. Jurnal Teknik Pomits, 03(02), pp. 125130.
Samuelson, P. & Nordhaus, W., 2010. Economics. New York: McGraw-Hill.
Yusuf, M., 2017. Metode Penelitian. Jakarta: Kencana.
Zainal, A., 2013. Model Pengelolaan Perikanan Tangkap Berkelanjutan di Sulawesi Selatan, Bogor:
Sekolah Pascasarjana IPB.
Download