Uploaded by User81720

Draft BAB 1 psikologi budaya feby satya 190120190001 Rev1

advertisement
GAMBARAN NILAI-NILAI BUDAYA SUNDA DALAM MEMBENTUK
POLA ASUH ANAK DALAM KELUARGA
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Psikologi Budaya
Disusun oleh :
Feby Satya Wirawati
NPM : 190120190001
FAKULTAS PSIKOLOGI
PROGRAM STUDI MAGISTER PSIKOLOGI SAINS
UNIVERSITAS PADJADJARAN
SUMEDANG
2020
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pengasuhan adalah faktor yang tidak dapat dilepaskan dari perkembangan dan
kehidupan anak-anak. Topik mengenai pengasuhan atau parenting menjadi topik
yang sering menjadi obrolan sehari-hari para orang tua atau di media sosial, dan
menjadi topik yang paling diminati dalam penyuluhan atau seminar-seminar untuk
para orang tua. Para peneliti pun tampaknya tidak dapat mengabaikan pentingnya
faktor pengasuhan sebagai salah satu determinan yang berpengaruh pada
perkembangan atau kesehatan mental anak-anak.
Pengasuhan mencakup berbagai sikap dan perilaku orang tua terhadap anak,
namun seringkali konsep dan pengukurannya hanya digambarkan menggunakan
konsep pola asuh yang biasanya menggunakan konsep pola asuh tradisional dan
berasal dari paradigma psikologi mainstream. Salah satu contoh konsep pola asuh
mainstream yang sering digunakan saat ini adalah konsep pola asuh oleh
Baumrind (1966) yang dikenal dengan model tipologi tripartit yang membedakan
pengasuhan menjadi tiga tipe yaitu pola asuh autoritarian, autoritatif dan permisif.
Tipologi tripartit kemudian dilengkapi oleh Maccoby & Martin (1983) menjadi
empat tipe pengasuhan yaitu pola asuh authoritarian, authoritative, permissive dan
uninvolved.
Pengukuran dengan konsep pengasuhan dari Baumrind sebenarnya tidak
dapat digunakan di semua budaya terlebih di negara-negara dengan budaya
kolektivis (García & Gracia, 2009; Maccoby & Martin, 1983). Alat ukur tipologi
pola asuh dari Baumrind maupun alat ukur dari ahli-ahli lain sesudahnya
(Maccoby & Martin, 1983; Skinner, Johnson, & Snyder, 2005) dikembangkan
dalam budaya barat, yang ditandai dengan adanya dorongan otonom (autonomy
support) terhadap anak di dalam dimensi kehangatan (warmth). Dimensi kendali
(control) dan kehangatan (warmth) dalam konsep pola asuh dari Baumrind
memiliki makna yang berbeda atau bahkan tidak bermakna bagi budaya lain.
Perbedaan makna dimensi pengasuhan menjadi salah satu sebab ditemukannya
perbedaan hasil penelitian antara budaya-budaya yang berbeda. Sebagai contoh,
pola asuh autoritatif berhubungan dengan prestasi akademik remaja di Amerika,
namun menjadi kurang berpengaruh di kalangan remaja Asia dan Afrika di
Amerika (Darling & Steinberg, 1993).
Quoss & Zhao (1995) juga menemukan bahwa orang tua Cina lebih otoriter
dibanding orang tua Amerika, namun demikian anak-anak di Cina merasa puas
terhadap pengasuhan orang tua. Kedudukan pengasuhan dalam kehidupan anak
dapat dilihat dengan jelas dalam perspektif ekologi. Dalam perspektif ekologi,
pengasuhan dari orang tua merupakan sistem di lingkungan terdekat atau
microsystem anak. Sebagai microsystem anak, pengasuhan berada di bawah
pengaruh sistem lingkungan yang lebih luas (macrosystem) yaitu budaya atau
nilai-nilai yang dihidupi oleh masyarakat setempat. Dalam perspektif ekologi,
keseluruhan sistem yang melingkupi kehidupan anak akan berubah seiring dengan
perkembangan
zaman.
Perubahan
zaman
inilah
yang
disebut
sebagai
chronosystem (Bronfenbrenner, 1994). Perspektif ekologi menempatkan konsep
pengasuhan secara kontekstual, baik secara kultural maupun waktu. Dengan
demikian pengukuran pengasuhan semestinya sesuai dengan budaya setempat dan
perkembangan zaman.
Salah satu konteks yang sering digunakan dalam mengembangkan konsep
pengasuhan adalah konteks budaya. Keyakinan dan tujuan orang tua seringkali
dilandasi oleh nilai-nilai atau prescription kultural (Chao, 2000). Dalam studistudi psikologi, budaya sering dibedakan atas budaya individualis dan budaya
kolektivis. Budaya individualis seperti yang banyak ditunjukkan masyakarat di
Amerika dan Eropa, lebih menekankan nilai kebebasan pribadi dan cenderung
untuk menempatkan tujuan pribadi di atas tujuan kelompok. Di sisi lain, budaya
kolektivis seperti di Asia, Afrika dan Amerika Selatan, menekankan harmoni
sosial dan cenderung mengorbankan tujuan pribadi untuk tujuan kelompok
(Biswas-Diener, Diener & Tamir, 2004; Markus & Kitayama, 1991). Di kalangan
masyarakat individualis orang tua mendorong kemandirian, self-assertion, dan
rasa mampu (self-agency), sedangkan di masyarakat kolektivis orang tua lebih
mendorong anak untuk menghargai otoritas, memiliki rasa tanggung jawab sosial
atau rasa keterikatan sosial dan selaras dengan lingkungannya (Kagitcibasi, 2005;
Keller & McDade, 2000; Triandis, 2007; Wise & da Silva, 2007).
Gambaran pengasuhan yang berbasis pada nilai-nilai budaya setempat juga
tampak di beberapa penelitian yang lain seperti Jepang, Filipina dan India.
Pengasuhan di Jepang sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai harmoni sosial seperti
kepekaan sosial, kebaikan (kindness) dan kehalusan (gentleness). Orang tua
Jepang juga sangat menekankan kepatuhan dan kesopanan pada orang dewasa atas
dasar prinsip sunao (patuh-kooperatif) dalam budaya Jepang (White & LeVine,
1986). Pengasuhan di Filipina dipengaruhi oleh nilai-nilai kebersamaan, rasa malu
atas kegagalan memenuhi harapan lingkungan dan relasi timbal balik (pakikisama,
hiya, and utang na loob). Budaya yang dipegang oleh masyarakat Filipina
membuat anggota keluarga Filipina saling mendukung satu sama lain dengan pola
asuh yang bersifat resiprokal (Van Campen & Russell, 2010). Pengasuhan di India
sangat dipengaruhi oleh budaya hidup bersama keluarga besar (mitakshara), di
mana interdependensi di antara keluarga-keluarga yang tinggal dalam satu tempat
tinggal sangat kuat. Sejak dini orang tua India mengajarkan anak-anak tentang
kedudukan kekerabatan, jenis kelamin, dan urutan kelahiran mereka (Gupta;
Seymour, dalam Chao, 2002).
Dalam sepanjang riwayat penelitian tentang pengasuhan, Darling &
Steinberg, (1993) menyimpulkan bahwa pengasuhan dikonseptualisasikan dalam
cara yang berbeda di waktu yang berbeda. Dengan pertimbangan tersebut, Darling
& Steinberg mengajukan suatu konsep pengasuhan yang memuat tiga elemen
yang terintegrasi satu sama lain yaitu tujuan pengasuhan, pola asuh dan praktik
pengasuhan. Tujuan pengasuhan adalah hasil perkembangan pada anak yang
diharapkan orang tua dapat tercapai melalui pengasuhan. Tujuan pengasuhan
berpengaruh pada anak melalui pola asuh dan praktik pengasuhan. Pola asuh
merupakan konstelasi sikap orang tua terhadap anak yang membentuk iklim
emosional orang tua-anak, sedangkan praktik pengasuhan adalah cara-cara yang
digunakan
orang
tua
untuk
mencapai
tujuan
pengasuhan.
Pola
asuh
menggambarkan konstelasi sikap orang tua atau iklim emosional orang tua-anak
dalam berbagai situasi, sedangkan praktik pengasuhan lebih menggambarkan
caracara yang digunakan orang tua untuk mencapai tujuan sosialisasi tertentu
(Darling & Steinberg, 1993).
Tujuan pengasuhan meliputi sejumlah keterampilan, regulasi diri, dan nilainilai. Tujuan pengasuhan terkait dengan keyakinan atau prinsip orang tua yang
dipengaruhi oleh harapan masyarakat dan faktor budaya. Selanjutnya tujuan
pengasuhan akan mempengaruhi anak melalui pola asuh dan praktik pengasuhan
yang dilakukan orang tua. Dengan model pengasuhan integratif dari Darling &
Steinberg (1993) memungkinkan konsep pengasuhan dapat dikonseptualisasikan
sesuai dengan prinsip-prinsip dan karakteristik khas budaya setempat.
Budaya dipahami sebagai seperangkat pola keyakinan dan perilaku yang
berbeda yang dimiliki oleh sekelompok orang dan yang berfungsi untuk mengatur
kehidupan sehari-hari mereka. Keyakinan dan perilaku ini membentuk cara orang
tua merawat anak mereka. Dengan demikian, pola pengasuhan yang dipengaruhi
oleh budaya sehingga setiap pola pengasuhan dalam keluarga berbeda antara satu
dengan yang lainnya. Budaya membantu untuk membangun orangtua dan
mengasuh anak, dan budaya dipertahankan dan mempengaruhi kognisi orangtua
yang pada gilirannya dianggap membentuk praktik pengasuhan anak serta pola
asuh (Bornstein & Lansford, 2010; Harkness et al., 2007). Pengalaman anak-anak
dengan orang tuanya yang dipengaruhi oleh budaya membentuk mereka menjadi
anggota dari masyarakatnya.
Budaya adalah pengalaman unik dari kelompok etnis yang menggunakan
bahasa, simbol, kepercayaan, nilai, ideologi, dan objek material untuk
menghadapi masalah kehidupan nyata. Budaya bertindak untuk membentuk nilainilai keluarga, pemikiran, reaksi dan tujuan sosialisasi. Oleh karena itu, gaya
komunikasi antara orang tua dan anak-anak dapat sangat berbeda di antara
berbagai budaya, yang berarti apa yang dianggap sebagai cara interaksi yang
dapat diterima dalam satu budaya bisa sangat ofensif dalam konteks budaya lain.
“Ketika orang tua terpapar pada budaya tertentu yang dominan dengan frekuensi
tinggi, mereka dipengaruhi oleh norma-norma dan nilai-nilai budaya itu”.
Akibatnya, norma-norma dan nilai-nilai yang dipengaruhi budaya dapat dengan
mudah berfungsi sebagai pedoman bagi orang tua untuk berinteraksi dengan anakanak mereka. Dalam pengertian ini, "memahami konteks budaya masyarakat
dapat berpotensi membantu memprediksi perbedaan gaya pengasuhan yang
mendominasi dalam masyarakat itu dan untuk memahami mengapa perbedaan ini
terjadi”. Trawick-Smith menyatakan, “Hanya melalui pemahaman penuh tentang
kepercayaan orang tua, praktik sosialisasi, dan hubungan keluarga, dapat
kebutuhan individu anak-anak individu terpenuhi dengan baik.
Salah satu budaya yang mempunyai ciri khas tersendiri dalam pengasuhan
adalah budaya Sunda yang tercermin dalam pameo silih asih (saling mengasihi),
silih asah (saling memperbaiki diri), dan silih asah (saling melindungi). Selain itu,
budaya Sunda juga memiliki sejumlah budaya lain yang khas seperti kesopanan
(handap asor), rendah hati terhadap sesama, penghormatan terhadap orang tua
atau kepada orang yang lebih tua, serta menyayangi orang yang lebih kecil
(hormat ka nu luhur, nyaah ka nu leutik), membantu orang lain yang
membutuhkan dan yang dalam kesusahan (nulung ka nu butuh na lang ka nu
susah).
Konsep silih asah, silih asih, silih asuh harus sama dengan kedudukan dan
kewajiban seseorang. Silih asah berarti harus saling memberi pengalaman dan
pengetahuan, kekurangan seseorang harus dilengkapi atau ditambah oleh orang
lain, kesalahan seseorang harus diperbaiki oleh sesama anggota masyarakatnya.
Silih asih artinya harus saling mencintai, dan silih asuh artinya harus saling
membimbing atau mengasuh (Warnaen, dalam Soemardjan, 1988).
Pola asuh anak yang dilakukan oleh orang tua akan berbeda-beda dengan pola
asuh keluarga lainnya. hal ini dikarenakan masing-masing dari orang tua
mempunyai cara masing-masing sesuai dengan persepsi maupun waktu yang
dimiliki orang tua. Sehingga apabila pola asuh yang dilakukan orang tua itu baik,
maka karakter yang dimiliki oleh anak akan baik pula dan akan berpengaruh
kepada perilaku sosial anak tersebut. Penerapan nilai-nilai budaya sunda pada
pengasuhan orang tua terhadap anak dapat membentuk karakter anak menjadi
manusia terdidik yang memiliki kompetensi intelektual atau silih asuh, memiliki
kompentensi empati, rasa belas kasihan, tenggang rasa, simpati terhadap
kehidupan sekelilingnya dan memiliki rasa sosial yang tinggi atau silih asuh, dan
mampu saling menyayangi, melindungi serta saling toleran atau silih asih.
1.2 Rumusan Masalah
Dari permasalahan yang dikemukakan, maka rumusan masalah yang ditarik
pada penelitian ini sebagai berikut:
1. Bagaimana gambaran nilai- nilai budaya sunda dapat membentuk pola
asuh dalam keluarga?
2. Bagaimana gambaran karakteristik anak yang dibesarkan dengan pola
asuh yang mempunyai nilai falsafah sunda?
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian
A. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran bagaimana
nilai-nilai budaya sunda dapat membentuk pola asuh didalam suatu keluarga serta
membentuk karakteristik anak yang dibesarkan dengan pola asuh yang
mempunyai nilai-nilai falsafah sunda.
B. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan memberi manfaat secara teoritis maupun secara
praktis. Berikut ini dipaparkan manfaat yang diharapkan terbukti muncul setelah
penelitian ini dapat direalisasikan
1) Manfaat Teoritis
a. Mendapatkan kejelasan terkait nilai-nilai budaya sunda yang
membentuk pola asuh dalam keluarga serta karakteristik anak
yang dibesarkan dengan gaya pola asuh tersebut.
b. Memberikan masukan bagi peneliti lain yang berminat
melakukan penelitian lanjutan mengenai pengaruh nilai-nilai
budaya sunda pada pola asuh orang tua serta karakteristik anak
yang dibesarkan dengan gaya pola asuh tersebut.
b) Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini dapat memberikan informasi kepada para orang
tua mengenai pentingnya nilai-nilai budaya sunda dalam pembentukan
pola asuh dalam keluarga serta manfaatnya dalam pembentukan karakter
anak.
DAFTAR PUSTAKA
Baumrind, D. (1966). Effects of authoritative parental control on child behavior.
Child Development, 22(2), 345–347. doi: 10.2307/1126611
Biswas-Diener, R., Diener, E., & Tamir, M. (2004). The psychology of subjective
well-being. Daedalus, 133(2), 18–25. doi: 10.1162/001152604323049352
Bronfenbrenner, U. (1994). Ecological models of human development. In T.
Husten & T. N. Postlethwaite (Ed.), International encyclopedia of
education(2nd ed., pp. 1643–1647). New York: Elsevier Science.
Chao, R. K. (2000). The parenting of immigrant Chinese and European American
mothers: relations between parenting styles, socialization goals, and parental
practices. Journal of Applied Developmental Psychology, 21(2), 233–248.
doi: 10.1016/S0193-3973(99)00037-4
Darling, N., & Steinberg, L. (1993). Parenting style as context: An integrative
model. Psychological Bulletin, 113(3), 487–496. doi: 10.1037/00332909.113.3.487
García, F., & Gracia, E. (2009). Is always authoritative the optimum parenting
style? Evidence from Spanish families. Adolescence, 44(173), 101–131.
Retrieved from https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubme d/19435170
Kagitcibasi, C. (2005). Autonomy and relatedness in cultural context implications
for self and family. Journal of Cross-Cultural Psychology, 36(4), 403–422.
doi: 10.1177/0022022105275959
Keller, J. D., & McDade, K. (2000). Attitudes of low-income parents toward
seeking help with parenting: Implications for practice. Child Welfare, 79(3),
285–312.
Maccoby, E. E., & Martin, J. A. (1983). Socialization in the context of the family:
Parent-child interaction. In & E. M. H. P. H. Mussen (Ed.), Handbook of
child psychology: Vol. 4. Socialization, personality, and social development
(Eds, pp. 1–101). New York: Wiley.
Markus, H. R. & Kitayama, S. (1991). Culture and the self: Implications for
cognition, emotion, and motivation. Psychological Review, 98(2), 224–253.
doi: 10.1037/0033-295x.98.2.224
Quoss, B. & Zhao, W. (1995). Parenting styles and children’s satisfaction with
parenting in China and the United States. Journal of Comparative Family
Studies.
Retrieved
from
https://www.jstor.org/stable/41602383?
seq=1#metadata_info_tab_contents
Skinner, E., Johnson, S., & Snyder, T. (2005). Six dimensions of parenting: A
motivational
model.
Parenting,
5(2),
175–235.
doi:
10.1207/s15327922par0502_3
Soemardjan, S. (1988). Masyarakat dan kebudayaan. Jakarta: Jambatan.
Triandis, H. (2007). Culture and psychology: A history of their relationship. In D.
Kitayama, S., & Cohen (Ed.), Handbook of Cultural Psychology (Eds), pp.
59–76). New York: Guilford.
Van Campen, K. S., & Russell, S. T. (2010). Cultural differences in parenting
practices: What Asian American families can teach us. Frances McClelland
Institute for Children, Youth, and Families ResearchLink, 2(1), 1–4.
Wise, S., & da Silva, L. (2007). Differential parenting of children from diverse
cultural backgrounds attending child care. Melbourne.\
Deater-Deckard, K., Lansford, J. E., Malone, P. S., Alampay, L. P., Sorbring, E.,
Bacchini, D., ... & Dodge, K. A. (2011). The association between parental
warmth and control in thirteen cultural groups. Journal of Family Psychology,
25(5), 790.
Download