Uploaded by User77853

Studi Kasus

advertisement
Nama
: Ajeng Maret Tania
NIM
: 190721637655
Prodi
: Pendidikan Geografi
Mata Kuliah
: Pendidikan Kewarganegaraan
Tugas
1. Cari kasus di media social, berupa video dari televisi yang menunjukkan aktualisasi nilainilai Pancasila
2. Paling tidak 3 kasus / berita
3. Deskripsikan isi dari kasus tersebut
4. Berikan analisis terhadap masing-masing kasus tersebut berasaskan aktualisasi nilai-nilai
Pancasila
5. Berikan rekomendasi sikap kita terhadap masing-masing kasus tersebut
Paparan Jawaban
Kasus 1
Judul
: Komisi X Soroti Kemerosotan Peringkat PISA Indonesia
Sumber :
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20191205095309-25-454332/komisi-x-soroti-
kemerosotan-peringkat-pisa-indonesia
Deskripsi
Kemerosotan peringkat Indonesia dalam Programme for International Student Assessment
(PISA) 2018 disebut Komisi X DPR RI jadi petunjuk masih banyak hal yang harus dilakukan
pemangku kepentingan pendidikan di tanah air. Pemerintah pun diminta membuat langkah
terobosan untuk meningkatkan kemampuan siswa dalam bidang matematika, ilmu alam, dan
pemahaman bacaan. "Peringkat Indonesia yang menempati posisi 75 dari 80 negara menjadi
indikator jika kemampuan rata-rata siswa kita dalam bidang matematika, ilmu alam, dan cara
memahami bahan bacaan masih jauh tertinggal dibandingkan para siswa di banyak negara
lain," ujar Ketua Komisi X DPR RI Syaiful Huda, di kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta,
Rabu (4/12). Untuk diketahui PISA merupakan test standar global yang diselenggarakan oleh
The Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD). Sepuluh besar
negara yang mempunyai siswa dengan kemampuan rata-rata terbaik adalah China, Singapura,
Macau, Hongkong, Estonia, Kanada, Finlandia, Irlandia, Korea Selatan, dan Polandia.
Indonesia secara global berada di peringkat 75 dari 80 negara yang berpartisipasi dalam tes
tersebut. Di Asia Tenggara peringkat Indonesia ada di bawah Singapura, Malaysia, Brunei
Darussalam, dan Thailand. Huda menjelaskan persoalan Pendidikan di Indonesia memang
kompleks. Baik pada aspek pemerataan akses Pendidikan, kompetensi guru, distribusi
anggaran, hingga keterbatasan sarana dan prasana. Kendati demikian berbagai persoalan
tersebut tidak boleh menjadi penghalang upaya untuk menghadirkan Pendidikan berkualitas.
"Di sini dibutuhkan terobosan apakah dalam metode Pendidikan melalui perubahan kurikulum,
penyederhanaan regulasi, atau penambahan alokasi anggaran," ujarnya. Politisi PKB ini
mengingatkan jika Indonesia akan menghadapi bonus demografi dalam beberapa tahun
mendatang. Kondisi tersebut akan menimbulkan masalah besar, jika ternyata tidak dibarengi
dengan perbaikan kualitas sumber daya manusianya. "Bonus demografi bisa menjadi bencana,
jika ternyata SDM yang kita hasilkan dari Lembaga Pendidikan kita tidak mampu membekali
mereka untuk bersaing di dunia kerja," katanya. Huda kembali mengingatkan agar ada evaluasi
distribusi anggaran Pendidikan yang mencapai Rp 500 triliun dalam setiap tahun. Anggaran
tersebut relatif besar jika distribusinya fokus dan terkontrol dalam satu kementerian. "Selama
ini anggaran tersebut terdistribusi dalam banyak pintu Kementerian/Lembaga (K/L) atau
pemerintah daerah yang terkadang fokus penggunanya tidak sama satu dengan yang lainnya.
Kondisi ini harus diperbaiki ke depan," pungkasnya.
Analisis Kasus
Berita pada laman CNN Indonesia pada hari kamis 5 Desember 2019 pukul 09.56 WIB
mempublis artikel mengenai kemerosotan peringkat PISA Indonesia yaitu di peringkat 75 dari
80 negara, DPR RI Komisi X Syaiful Huda menyoroti hal tersebut hingga mendiskusikan
bagaimana untuk meningkatkan daya saing bagi siswa baik berupa perbaikan kurikulum.
Karena adanya bonus demogradi akan menjadi ancaman bagi Indonesia karena dari sdm yang
belum mampu bersaing dengan negara lain. Akhir-akhir ini anggaran didistribusikan ke
berbagai pintu hingga khusus pendidikan kurang begitu optimal. Untuk mencapai tujuan yang
tertuang dalam Pancasila yaitu mecerdaskan kehidupan bangsa dan memajukan kesejahteraan
umum diperlukan skill sdm yang mumpuni dalam mengolah segala apapun, baik itu sumber
daya alam maupun fasilitas lainnya. Pada era sekarang pendidikan mulai sedikit diperhatikan
lebih, karena Pancasila benar-benar mengutamakan akhlak, karakter dari sdm, pembentukan
sdm melalu berbagai strategi baik dalam pendidikan perlu adanya evaluasi untuk bersaing
dengan negara lain supaya tidak tertindas dan dijadikan lahan ekonomi bagi negara lain.
Rekomendasi / Solusi Kasus
Evaluasi bagi kita sebagai masyarakat dan bagi pemangku kepentingan untuk mengutamakan
karakter, akhlak, karena karakter sdm yang tangguh pasti akan mudah untuk memoles
kemampuan intelktual. Karena dalam diri masuia Indonesi terdapat karakter yang mendjadi
patokan dalam membuat segala perubahan yaitu Pancasila jika kita meninggalkan nilai dasat
itu pasti kita tidak memiliki pegangan untuk bersaing dengan negara lain. Bahkan kita tidak
percaya akan kemampuan kita sendiri, maka dari itu untuk mewujudkan tujuan yang telah
dicantumkan dalam Pancasila yaitu mencerdesakan kehidupan bangsa dan memajukan
kesejahteraan umum diperlukan kerja sama antara masyarakat dan pemerintah dalam
mengevaluasi dan membentuk perubahan nyata mulai dari karakter yang kuat yaitu dari nilai
religious tau akan hak dan kewajiban bagi diri sendiri otomati yang lain akan mengikuti
perubahan tersebut.
Kasus 2
Judul
: Kewarganegaraan Ganda Bagi Warga Negara Indonesia
Sumber :
http://news.unair.ac.id/2020/02/17/kewarganegaraan-ganda-bagi-warga-negara-indonesia/
https://www.kompasiana.com/pradinelaorente/5e64e391097f3649731fb212/masalahkewarganegaraan-ganda
https://republika.co.id/berita/qd5je3428/ini-beragam-permasalahan-anakberkewarganegaraan-ganda
Deskripsi
Pada tahun 2016, publik dihebohkan dengan adanya dua kasus yang berkaitan dengan status
kewarganegaraan seorang menteri dan seorang pelajar SMA. Menteri Archandra Tahar, yang
dilantik Presiden Joko Widodo sebagai Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral pada 27 Juli
2016 dicopot dari jabatannya pada tanggal 15 Agustus 2016 karena ternyata memiliki
kewarganegaraan ganda. Sedangkan di kasus lain, seorang pelajar SMA di Depok, Jawa Barat,
bernama Gloria Natapradja Hamel dinyatakan gugur hanya beberapa hari menjelang Upacara
Kemerdekaan RI pada tanggal 17 Agustus 2016 setelah dinyatakan lolos seleksi sebagai
Pasukan Pengibar Bendera Pusaka (Paskibraka) di Istana Merdeka. Hal tersebut karena
ternyata Gloria memiliki paspor Prancis, seperti ayahnya, walaupun ibu Gloria adalah seorang
Warga Negara Indonesia. Kedua kasus tersebut walaupun berbeda namun keduanya terkait
dengan isu kewarganegaraan ganda. Undang-Undang No. 12 Tahun 2006 tentang
Kewarganegaraan
Republik
Indonesia
pada
prinsipnya
tidak
mengenal
adanya
kewarganegaraan ganda. Namun, seiring dengan perkembangan dalam dunia modern, tuntutan
diaspora Indonesia terhadap Pemerintah RI untuk memberikan status kewarganegaraan ganda
bagi orang dewasa terus bergulir.
Warga negara merupakan salah satu unsur yang esensial bagi berdirinya suatu negara.
Dengan memiliki status kewarganegaran, seorang individu diakui sebagai salah satu anggota
dari negara yang mengakuinya, dimana pengakuan negara tersebut merupakan sebuah
hubungan hukum antara dua pihak tersebut, yaitu individu dan negara yang mengakuinya.
Sehingga bisa dikatakan bahwa melalui status kewarganegaraan tersebut individu bisa
menikmati banyak manfaat baik dari hukum nasional maupun internasional. Untuk dapat
menikmati apa yang disebut sebagai hak asasi manusia yang universal, seorang individu harus
menikmati hak atas kewarganegaraan terlebih dahulu, yaitu status kewarganegaraan yang
formal dan komplit setidaknya di satu negara. Jika seseorang mempunyai kewarganegaraan
di suatu negara, orang tersebut mempunyai hak untuk tinggal, bekerja, memilih dan melakukan
perjalanan di negara tersebut. Namun di sisi lain, adalah merupakan hak suatu negara untuk
menentukan siapa saja yang menjadi warga negaranya selama tidak melanggar prinsip-prinsip
umum hukum internasional. Pengaturan mengenai kewarganegaraan menjadi hal yang sangat
penting dalam kehidupan bernegara. Di Indonesia, pengaturan mengenai Kewarganegaraan
Indonesia selain terdapat dalam konstitusi juga diatur di peraturan perundang-undangan di
bawahnya. Pasal 28D ayat (4) UUD NRI Tahun 1945 menyatakan bahwa: “Setiap orang berhak
atas status kewarganegaraan.” Pasal ini merupakan hasil perubahan kedua UUD NRI Tahun
1945. Sedangkan menurut Pasal 26 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, “Yang menjadi warga
negara ialah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan
dengan undang-undang sebagai warga negara.” Dari pasal tersebut terlihat bahwa UUD NRI
Tahun 1945 memberikan sebuah pengakuan bahwa status kewarganegaraan adalah merupakan
hak setiap orang. Hak atas status kewarganegaraan mengandung makna tidak hanya hak untuk
memperoleh status kewarganegaraan, tetapi juga termasuk hak untuk merubah serta hak untuk
mempertahankan status kewarganegaraan. UUD NRI Tahun 1945 tidak secara eksplisit
menjamin apakah seseorang berhak atas satu atau dua status kewarganegaraan. Bagi UUD NRI
Tahun 1945, yang penting adalah bahwa tidak boleh adanya keadaan seseorang tanpa
kewarganegaraan karena UUD NRI Tahun 1945 sudah memberikan jaminan bahwa setiap
orang berhak atas status kewarganegaraan.
Sedangkan untuk kemungkinan terjadinya kewarganegaraan ganda, UUD NRI Tahun 1945
tidak mengharuskan dan tidak juga melarang. Dalam hal ini, kebijakan lebih lanjut diberikan
kepada pembentuk undang- undang untuk mengaturnya sesuai dengan ketentuan Pasal 26 ayat
(3) UUD NRI Tahun 1945, yaitu bahwa “Hal-hal mengenai warga negara dan penduduk diatur
dengan undang- undang”. Saat ini, Undang-Undang yang mengatur tentang kewarganegaraan
Indonesia adalah UU No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia. Pada
dasarnya UU No. 12 Tahun 2006 tidak mengenal kewarganegaraan ganda dengan dianutnya
asas kewarganegaraan tunggal oleh undang-undang ini. Namun, UU No. 12 Tahun 2006 juga
menganut
Asas
kewarganegaraan
ganda
terbatas,
yaitu
asas
yang
menentukan
kewarganegaraan ganda bagi anak-anak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam UndangUndang ini, di antaranya adalah anak-anak yang memiliki orangtua dengan status
kewarganegaraan berbeda dan salah satunya adalah WNI. Asas tersebut merupakan
pengecualian dalam rangka perlindungan terhadap anak. Setelah berusia 18 (delapan belas)
tahun atau sudah kawin anak tersebut harus menyatakan memilih salah satu
kewarganegaraannya.
Beberapa pasal yang membuktikan bahwa UU No. 12 Tahun 2006 tidak menganut
kewarganegaraan ganda untuk orang dewasa adalah Pasal 6 ayat (1), Pasal 7, Pasal 9 huruf (f),
Pasal 19, Pasal 20, Pasal 21, Pasal 23 huruf (a,b,h), Pasal 25, Pasal 26, dan Pasal 42. UUD NRI
Tahun 1945 tidak secara eksplisit menjamin apakah seseorang berhak atas satu atau dua status
kewarganegaraan. Bagi UUD NRI Tahun 1945, yang penting adalah bahwa tidak boleh adanya
keadaan seseorang tanpa kewarganegaraan karena UUD NRI Tahun 1945 sudah memberikan
jaminan bahwa setiap orang berhak atas status kewarganegaraan. Sedangkan untuk
kemungkinan terjadinya kewarganegaraan ganda, UUD NRI Tahun 1945 tidak mengharuskan
dan tidak juga melarang. Sedangkan UU No. 12 Tahun 2006 tidak mengenal kewarganegaraan
ganda dengan dianutnya asas kewarganegaraan tunggal oleh undang-undang ini. Namun, UU
No. 12 Tahun 2006 juga menganut Asas kewarganegaraan ganda terbatas sebagai pengecualian
dalam rangka perlindungan terhadap anak bagi anak-anak sesuai dengan ketentuan yang diatur
dalam Undang-Undang ini. Setelah berusia 18 (delapan belas) tahun atau sudah kawin anak
tersebut harus menyatakan memilih salah satu kewarganegaraannya. (UNAIR.NEWS) .
Kewarganegaraan adalah sebuah keanggotaan yang memiliki hak untuk berpartisipasi dalam
kegiatan politik di dalam sebuah kesatuan politik atau Negara yang diberikan kepada orang
terebut, kewarganegaraan itu diatur dalam sebuah undang-undang No. 12 tahun 2006 yang
ditetapkan tanggal
1 Agustus 2006. Undang-undang tersebut menerangkan asas
kewarganegaraan. Sedangkan asas kewarganegaraan memiliki pengertian asas yang dimana
mendasari kepemilikian kewarganegaraan seseorang. Dari asas kewarganegaraan tersebut kita
dapat mengenal asas ius soli yang dimana kewarganegaraan masyarakat tersebut ditentukan
karena berdasarkan tempat lahir, ada juga ius sanguinis yang menentukan kedudukan
masyarakat tersebut ditinjau dari keturunan, dan yang terakhir yaitu naturalisasi kedudukan
masyarakat tersebut didasari karena permohonan izin atau pemberian. Akan tetapi masih
banyak sekali warga negara Indonesia yang melanggar ketentuan tersebut sebagai masyarakat
berkedudukan ganda. Di Indonesia hal seperti ini beberapa kali terjadi pada masyarakat, public
figure, sampai pejabat. Adapun contoh salah satu contoh kewarganegaraan ganda di Indonesia.
Kasus kewarganegaraan ganda Manohara Odelia Pinot beberapa tahun lalu terdapat berita yang
viral yang menghebohkan yaitu cerita seorang gadis belia yang berkedudukan di Indonesia
yang menikah dengan bangsawan negeri Jiran Malaysia yang hidup bersama dengan suaminya
di negara Malaysia. Yang kita ketahui tidak ada yang salah dengan cerita di atas. Akan tetapi
cerita tersebut berubah menjadi cerita penculikan dan penganiayaan dari kejadian tersebut
Manohara Odelia Pinot mengkritik pemerintah Indonesia karena baginya pemerintah tidak
memberikan perlindungan kepada warga negara Indonesia yang berada di luar negeri yang
tercantum di UU No 12 tahun 2006.
Akan tetapi jika ditelusuri seluk beluk dari riwayat Manohara sendiri kasus yang terjadi ini
berkaitan dengan masalah kewarganegaraan yang di miliki oleh Manohara. Manohara
diketahui ternyata memiliki kewarganegaraan ganda dari pernikahan kedua orang tuanya,
ibunya yang merupakan WNI dan ayahnya yang berwarga negara asing. Jika mengunakan asas
ius soli, Manohara lahir dan dibesarkan di negara Indonesia. Seharusnya Mohana menjadi
warga negara Indonesia saat berusia 18 tahun atau sudah menikah. Akan tetapi saat masalah
itu terjadi Manohara berusia 17 tahun dan pada saat itu masih memiliki dua kewarganegaran
dan memohon perlindungan dari Indonesia. Hal ini melanggar hukum di Indonesia,
dikarenakan Indonesia sendiri tidak menerima sistem kewarganegaraan ganda bagi warga
negara yang sudah memenuhi syarat. Dan Indonesia memiliki sistem perlindungan warga
negara yang berada di luar negeri hanya diberikan kepada warga negara Indonesia yang bekerja
dan menempuh pendidikan diluar negeri. Bukan untuk seseorang yang diperistri oleh warga
negara asing dan tinggal menetap diluar. Juga diketahui bahwa ayah biologi Manohara adalah
seorang warga Prancis yang memilliki kewarganegaraan Amerikat Serikat.
Sedangkan ayah tiri Manohara yang memberikan tambahan nama belakang Pinot di nama
Manohara adalah seorang berwarganegara Jerman. Dengan kondisi seperti ini, maka masalah
Manohara dapat di ambil dari kependudukan ganda berdasarkan keturunan ayahnya. Ayah
Manohara juga meminta bantuan kepada negra Amerika Serikat untuk menanganai kaus
tersebut karena Manohara juha memiliki kewarganegaraan Amerika Serikat. Jadi
kewarganegaraan seseorang yang memiliki kewarganegaraan ganda harus memutuskan
kewarganegaraan apa yang akan dipilih dari salah satu kewarganegaraan saat ia berusia 18
tahun atau sudah menikah, Manohara pada saat itu berumur 17 akan tetapi ia sudah menikah
jadi Manohara pada saat itu sebenarnya sudah bisa memilih kewarganegaraan. Jadi
kewarganegaraan Manohara juga bisa menjadi kewarganegaraan Malaysia karena suaminya
memiliki kewarganegaraan Malaysia. Status kewarganegaraan ini menghambat pihak yang
berwenang untuk mengambil langkah hukum. Dikarenakan juga kasus ini juga menyangkut 2
negara, sehingga penanganan masalah ini tidak bisa dilakukan secara sepihak.
(Kompasian.com)
Kewarganegaraan ganda anak yang lahir dari perkawinan campur antara Warga Negara
Indonesia (WNI) dan Warga Negara Asing (WNA) masih menimbulkan berbagai masalah.
Undang-Undang (UU) Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia
dinilai belum mengakomodasi persoalan secara keseluruhan. Masih terdapat beberapa
permasalahan yang ternyata tidak terakomodasi secara baik di dalam UU dimaksud sehingga
sering
menimbulkan
interpretasi
yang
beragam
dalam
menangani
permasalahan
kewarganegaraan ini. UU Nomor 12 Tahun 2006 sebenarnya sudah cukup revolusioner.
Peraturan tersebut telah mengatur berbagai permasalahan kewarganegaraan yang berkembang
secara lebih komprehensif. Ada banyak perubahan dan perbaikan yang merupakan
penyempurnaan dari UU sebelumnya. Namun, sejalan dengan dinamika yang berkembang di
dalam masyarakat, masih terdapat beberapa permasalahan. Beberapa permasalahan yang
ternyata tidak terakomodasi secara baik di dalam UU tersebut. Ada beberapa permasalahan
yang dialami anak berkewarganegaraan ganda. Salah satu contohnya, ada anak dari perkawinan
campur yang lahir sebelum sebelum diundangkannya UU Nomor 12 tahun 2006 yang tidak
didaftarkan oleh orang tua atau walinya sebagai anak berkewarganegaraan ganda. Berdasarkan
ketentuan Pasal 41 UU tersebut, batas waktu pendaftaran tersebut berakhir empat tahun setelah
UU diundangkan. UU Nomor 12 Tahun 2006 diundangkan pada 1 Agustus 2010 lalu. Contoh
berikutnya, permasalahan kerap muncul pada anak yang dilahirkan dari perkawinan antara
ayah dan ibu WNI yang lahir di luar wilayah negara Indonesia.
Dimana di negara tempat melahirkan terdapat ketentuan memberikan kewarganegaraan kepada
anak-anak tersebut. Kemudian, permasalahan juga muncul terhadap anak yang dilahirkan dari
perkawinan yang sah sebelum UU tersebut diundangkan dari ayah WNA dan ibu WNI ataupun
sebaliknya. Anak tersebut atau walinya terlambat untuk menyatakan memilih kewarganegaraan
Indonesia. Batas waktu yang ditentukan untuk itu ialah berakhir pada usia 21 tahun.
Permasalahan terkait kewarganegaraan memang tidak bisa dipecahkan oleh satu pihak saja,
dalam hal ini Indonesia saja. Indonesia bisa membangun hubungan kerja sama bilateral dengan
negara lain dalam menyelesaikan persoalaan kewarganegaraan tersebut. Namun dalam
membangun hubungan bilateral dengan negara lain nantinya dalam masalah kewarganegaraan
harus mengedepankan prinsip kepentingan Indonesia dalam status kewarganegaraan warganya.
Permasalahan anak berkewarganegaraan ganda untuk memilih kewarganegaraan Indonesia
juga mengalami kendala dari negara salah satu orang tuanya yang WNA. Beberapa masalah
yang ada, yakni perbedaan hukum status kewarganegaraan antara Indonesia dengan negara
lain, kesadaran dan pemahaman warga Indonesia, ketersediaan data dan dokumen, dan
verifikasi status kewarganegaraan. Hal -hal tersebut yang juga menjadi permasalahan anak
berkewarganegaraan ganda dalam memilih Indonesia sebagai status kewarganegaraannya.
(Republika.com).
Analisis Kasus
Berita pada laman UNAIR NEWS pada hari Minggu, 2 Februari 2020 mempublis artikel
mengenai adanya dua kasus yang berkaitan dengan status kewarganegaraan seorang menteri
dan seorang pelajar SMA. Menteri Archandra Tahar, yang dilantik Presiden Joko Widodo
sebagai Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral pada 27 Juli 2016 dicopot dari jabatannya
pada tanggal 15 Agustus 2016 karena ternyata memiliki kewarganegaraan ganda. Sedangkan
di kasus lain, seorang pelajar SMA di Depok, Jawa Barat, bernama Gloria Natapradja Hamel
dinyatakan gugur hanya beberapa hari menjelang Upacara Kemerdekaan RI pada tanggal 17
Agustus 2016 setelah dinyatakan lolos seleksi sebagai Pasukan Pengibar Bendera Pusaka
(Paskibraka) di Istana Merdeka tepat pada tahun 2016. Hal tersebut berkaitan dengan
permasalahan kewarganegaraan dimana jika dikaitkan dengan Undang-Undang No. 12 Tahun
2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia pada prinsipnya tidak mengenal adanya
kewarganegaraan ganda.
Namun, seiring dengan perkembangan dalam dunia modern, tuntutan diaspora Indonesia
terhadap Pemerintah RI untuk memberikan status kewarganegaraan ganda bagi orang dewasa
terus bergulir. Kasus diatas menyangkut permasalahan yang berkenaan dengan status
kewarganegaraan yang diterima setiap warga negara terutama yang memiliki kewarganegaraan
ganda. Warga negara merupakan salah satu unsur yang esensial bagi berdirinya suatu
negara. Dengan memiliki status kewarganegaran, seorang individu diakui sebagai salah satu
anggota dari negara yang mengakuinya, dimana pengakuan negara tersebut merupakan sebuah
hubungan hukum antara dua pihak tersebut, yaitu individu dan negara yang mengakuinya.
Sehingga bisa dikatakan bahwa melalui status kewarganegaraan tersebut individu bisa
menikmati banyak manfaat baik dari hukum nasional maupun internasional. Untuk dapat
menikmati apa yang disebut sebagai hak asasi manusia yang universal, seorang individu harus
menikmati hak atas kewarganegaraan terlebih dahulu, yaitu status kewarganegaraan yang
formal dan komplit setidaknya di satu negara. Jika seseorang mempunyai kewarganegaraan
di suatu negara, orang tersebut mempunyai hak untuk tinggal, bekerja, memilih dan melakukan
perjalanan di negara tersebut. Namun di sisi lain, adalah merupakan hak suatu negara untuk
menentukan siapa saja yang menjadi warga negaranya selama tidak melanggar prinsip-prinsip
umum hukum internasional. Pengaturan mengenai kewarganegaraan menjadi hal yang sangat
penting dalam kehidupan bernegara. Di Indonesia, pengaturan mengenai Kewarganegaraan
Indonesia selain terdapat dalam konstitusi juga diatur di peraturan perundang-undangan di
bawahnya.
Pasal 28D ayat (4) UUD NRI Tahun 1945 menyatakan bahwa: “Setiap orang berhak atas status
kewarganegaraan.” Pasal ini merupakan hasil perubahan kedua UUD NRI Tahun 1945.
Sedangkan menurut Pasal 26 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, “Yang menjadi warga negara
ialah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan
undang-undang sebagai warga negara.” Dari pasal tersebut terlihat bahwa UUD NRI Tahun
1945 memberikan sebuah pengakuan bahwa status kewarganegaraan adalah merupakan hak
setiap orang. Hak atas status kewarganegaraan mengandung makna tidak hanya hak untuk
memperoleh status kewarganegaraan, tetapi juga termasuk hak untuk merubah serta hak untuk
mempertahankan status kewarganegaraan. UUD NRI Tahun 1945 tidak secara eksplisit
menjamin apakah seseorang berhak atas satu atau dua status kewarganegaraan.
Bagi UUD NRI Tahun 1945, yang penting adalah bahwa tidak boleh adanya keadaan seseorang
tanpa kewarganegaraan karena UUD NRI Tahun 1945 sudah memberikan jaminan bahwa
setiap orang berhak atas status kewarganegaraan. Sedangkan untuk kemungkinan terjadinya
kewarganegaraan ganda, UUD NRI Tahun 1945 tidak mengharuskan dan tidak juga melarang.
Dalam hal ini, kebijakan lebih lanjut diberikan kepada pembentuk undang- undang untuk
mengaturnya sesuai dengan ketentuan Pasal 26 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945, yaitu bahwa
“Hal-hal mengenai warga negara dan penduduk diatur dengan undang- undang”. Saat ini,
Undang-Undang yang mengatur tentang kewarganegaraan Indonesia adalah UU No. 12 Tahun
2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia. Pada dasarnya UU No. 12 Tahun 2006
tidak mengenal kewarganegaraan ganda dengan dianutnya asas kewarganegaraan tunggal oleh
undang-undang ini. Namun, UU No. 12 Tahun 2006 juga menganut Asas kewarganegaraan
ganda terbatas, yaitu asas yang menentukan kewarganegaraan ganda bagi anak-anak sesuai
dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini, di antaranya adalah anak-anak yang
memiliki orangtua dengan status kewarganegaraan berbeda dan salah satunya adalah WNI.
Asas tersebut merupakan pengecualian dalam rangka perlindungan terhadap anak. Setelah
berusia 18 (delapan belas) tahun atau sudah kawin anak tersebut harus menyatakan memilih
salah satu kewarganegaraannya. Beberapa pasal yang membuktikan bahwa UU No. 12 Tahun
2006 tidak menganut kewarganegaraan ganda untuk orang dewasa adalah Pasal 6 ayat (1),
Pasal 7, Pasal 9 huruf (f), Pasal 19, Pasal 20, Pasal 21, Pasal 23 huruf (a,b,h), Pasal 25, Pasal
26, dan Pasal 42. UUD NRI Tahun 1945 tidak secara eksplisit menjamin apakah seseorang
berhak atas satu atau dua status kewarganegaraan. Bagi UUD NRI Tahun 1945, yang penting
adalah bahwa tidak boleh adanya keadaan seseorang tanpa kewarganegaraan karena UUD NRI
Tahun 1945 sudah memberikan jaminan bahwa setiap orang berhak atas status
kewarganegaraan. Sedangkan untuk kemungkinan terjadinya kewarganegaraan ganda, UUD
NRI Tahun 1945 tidak mengharuskan dan tidak juga melarang. Sedangkan UU No. 12 Tahun
2006 tidak mengenal kewarganegaraan ganda dengan dianutnya asas kewarganegaraan tunggal
oleh undang-undang ini. Namun, UU No. 12 Tahun 2006 juga menganut Asas
kewarganegaraan ganda terbatas sebagai pengecualian dalam rangka perlindungan terhadap
anak bagi anak-anak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini. Setelah
berusia 18 (delapan belas) tahun atau sudah kawin anak tersebut harus menyatakan memilih
salah satu kewarganegaraannya.
Sedangkan pada artikel dari sumber lain, yaitu kompasiana.com pada Minggu, 8 Maret 2020
pukul 19.16 WIB juga membahas persoalan dan kasus yang hampir sama berkaitan dengan
status kewarganegaraan yang menimpa seorang gadis bernama Manohara. Kewarganegaraan
itu sendiri telah diatur dalam sebuah undang-undang No. 12 tahun 2006 yang ditetapkan
tanggal 1 Agustus 2006. Undang-undang tersebut menerangkan asas kewarganegaraan.
Sementara, asas kewarganegaraan memiliki pengertian asas yang dimana mendasari
kepemilikian kewarganegaraan seseorang. Dari asas kewarganegaraan tersebut kita dapat
mengenal asas ius soli yang dimana kewarganegaraan masyarakat tersebut ditentukan karena
berdasarkan tempat lahir, ada juga ius sanguinis yang menentukan kedudukan masyarakat
tersebut ditinjau dari keturunan, dan yang terakhir yaitu naturalisasi kedudukan masyarakat
tersebut didasari karena permohonan izin atau pemberian. Dalam hal ini, definisi
kewarganegaraan sendiri adalah sebuah keanggotaan yang memiliki hak untuk berpartisipasi
dalam kegiatan politik di dalam sebuah kesatuan politik atau Negara yang diberikan kepada
orang tersebut. Tetapi dalam realita sekarang banyak ditemukan pelanggaran berkaitan dengan
kewarganegaraan dimana masyarakat yang memiliki kewarganegaraan ganda melanggar
ketentuan tersebut.
Kasus yang berkaitan dengan kewarganegaraan yang telah disebutkan sebelumnya mengenai
kasus kewarganegaraan ganda Manohara Odelia Pinot beberapa tahun lalu terdapat berita yang
viral yang menghebohkan yaitu cerita seorang gadis belia yang berkedudukan di Indonesia
yang menikah dengan bangsawan negeri Jiran Malaysia yang hidup bersama dengan suaminya
di negara Malaysia dimana Manohara setelah menikah mendapat penganiayaan dan terdapat
pula kasus penculikan didalamnya. Karena hal tersebut, Manohara selaku korban mengkritik
pemerintah Indonesia sebab tidak melakukan tindakan atas kasus yang dialaminya padahal di
dalam UU No 12 tahun 2006 Pemerintah Indonesia wajib memberikan perlindungan terhadap
warga negara meskipun diluar negeri. Tetapi, setelah diusut terdapat permasalahan yang
membuat kasus Manohara menjadi sulit ditangani disebabkan adanya Manohara diketahui
ternyata memiliki kewarganegaraan ganda dari pernikahan kedua orang tuanya, ibunya yang
merupakan WNI dan ayahnya yang berwarga negara asing. Jika mengunakan asas iou soli,
Manohara lahir dan dibesarkan di negara Indonesia. Seharusnya Mohana menjadi warga negara
Indonesia saat berusia 18 tahun atau sudah menikah. Akan tetapi saat masalah itu terjadi
Manohara berusia 17 tahun dan pada saat itu masih memiliki dua kewarganegaran dan
memohon perlindungan dari Indonesia.hal ini melanggar hukum di Indonesia, dikarenakan
Indonesia sendiri tidak menerima sistem kewarganegaraan ganda bagi warga negara yang
sudah memenuhi syarat. Dan Indonesia memiliki sistem perlindungan warga negara yang
berada di luar negeri hanya diberikan kepada warga negara Indonesia yang bekerja dan
menempuh pendidikan diluar negeri. Bukan untuk seseorang yang diperistri oleh warga negara
asing dan tinggal menetap diluar. Juga diketahui bahwa ayah biologi Manohara adalah seorang
warga Prancis yang memilliki kewarganegaraan Amerikat Serikat.
Kerumitan pun semakin bertambah dengan ayah tiri Manohara yang memberikan tambahan
nama belakang Pinot di nama Manohara adalah seorang berwarganegara Jerman. Dengan
kondisi seperti ini, maka masalah Manohara dapat di ambil dari kependudukan ganda
berdasarkan keturunan ayahnya. Ayah Manohara juga meminta bantuan kepada negara
Amerika Serikat untuk menanganai kaus tersebut karena Manohara juha memiliki
kewarganegaraan Amerika Serikat. Jadi, kewarganegaraan seseorang yang memiliki
kewarganegaraan ganda harus memutuskan kewarganegaraan apa yang akan dipilih dari salah
satu kewarganegaraan saat ia berusia 18 tahun atau sudah menikah, Manohara pada saat itu
berumur 17 akan tetapi ia sudah menikah jadi Manohara pada saat itu sebenarnya sudah bisa
memilih kewarganegaraan dan mengambil keputusan yang terbaik untuknya. Jadi
kewarganegaraan Manohara juga bisa menjadi kewarganegaraan Malaysia karena suaminya
memiliki kewarganegaraan Malaysia. Status kewarganegaraan ini menghambat pihak yang
berwenang untuk mengambil langkah hukum. Dikarenakan juga kasus ini juga menyangkut 2
negara, sehingga penanganan masalah ini tidak bisa dilakukan secara sepihak.
Pada artikel sumber yang lainnya, Republik.com yang pada Rabu, 8 Juli 2020 pukul 20.13 WIB
mempublikasi artikel mengenai kewarganegaraan ganda anak yang lahir dari perkawinan
campur antara Warga Negara Indonesia (WNI) dan Warga Negara Asing (WNA) yang masih
menimbulkan berbagai masalah. Berkaitan dengan masalah tersebut, Undang-Undang (UU)
Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia belum mengakomodasi
dan menjadi solusi permasalahan. Masalah tersebut muncul karena timbul banyak interpretasi
yang beragam yang tidak terakomodasi secara baik dalam UU terutama untuk menangani kasus
kewarganegaraan. UU Nomor 12 Tahun 2006 sebenarnya sudah cukup revolusioner. Peraturan
tersebut telah mengatur berbagai permasalahan kewarganegaraan yang berkembang secara
lebih komprehensif. Didalamnya ada banyak perubahan dan perbaikan yang merupakan
penyempurnaan dari UU sebelumnya. Tetapi, seiring berjalannya waktu dan perkembangan
zaman terjadi, masih terdapat banyak masalah yang muncul. Dan dari beberapa permasalahan
tersebut yang ternyata tidak terakomodasi secara baik di dalam UU tersebut. Ada beberapa
permasalahan yang dialami anak berkewarganegaraan ganda. Salah satu contohnya, ada anak
dari perkawinan campur yang lahir sebelum sebelum diundangkannya UU Nomor 12 tahun
2006 yang tidak didaftarkan oleh orang tua atau walinya sebagai anak berkewarganegaraan
ganda. Berdasarkan ketentuan Pasal 41 UU tersebut, batas waktu pendaftaran tersebut berakhir
empat tahun setelah UU diundangkan. UU Nomor 12 Tahun 2006 diundangkan pada 1 Agustus
2010 lalu. Contoh berikutnya, permasalahan kerap muncul pada anak yang dilahirkan dari
perkawinan antara ayah dan ibu WNI yang lahir di luar wilayah negara Indonesia.
Dimana di negara tempat melahirkan terdapat ketentuan memberikan kewarganegaraan kepada
anak-anak tersebut. Kemudian, permasalahan juga muncul terhadap anak yang dilahirkan dari
perkawinan yang sah sebelum UU tersebut diundangkan dari ayah WNA dan ibu WNI ataupun
sebaliknya. Anak tersebut atau walinya terlambat untuk menyatakan memilih kewarganegaraan
Indonesia. Batas waktu yang ditentukan untuk itu ialah berakhir pada usia 21 tahun. Pakar
hukum tata negara, Jimly Asshiddiqie, menyampaikan bahwa permasalahan terkait
kewarganegaraan memang tidak bisa dipecahkan oleh satu pihak saja, dalam hal ini Indonesia
saja. Indonesia bisa membangun hubungan kerja sama bilateral dengan negara lain dalam
menyelesaikan persoalaan kewarganegaraan tersebut. Jimly Asshiddiqie juga menyampaikan
namun dalam membangun hubungan bilateral dengan negara lain nantinya dalam masalah
kewarganegaraan harus mengedepankan prinsip kepentingan Indonesia dalam status
kewarganegaraan warganya. Direktur Jenderal Protokol dan Konsuler Kementerian Luar
Negeri, Andy Rachmianto, mengatakan bahwa permasalahan anak berkewarganegaraan ganda
untuk memilih kewarganegaraan Indonesia juga mengalami kendala dari negara salah satu
orang tuanya yang WNA. Beberapa masalah yang ada, yakni perbedaan hukum status
kewarganegaraan antara Indonesia dengan negara lain, kesadaran dan pemahaman warga
Indonesia, ketersediaan data dan dokumen, dan verifikasi status kewarganegaraan. Andy
Rachmianto juga mengatakan hal -hal tersebut yang juga menjadi permasalahan anak
berkewarganegaraan ganda dalam memilih Indonesia sebagai status kewarganegaraannya.
Rekomendasi / Solusi Kasus
Solusinya kesadaran sebagai warga negara yang baik sudah sepatutnya mematuhi peraturan
dan ketentuan yang berlaku dinegara masing – masing termasuk terkhusus juga Indonesia.
Setiap warga negara yang ada dan tinggal di Indonesia harus mematuhi aturan yang berlaku
termasuk untuk menuntaskan masalah kewarganegaraan. Kelalaian yang kurang diperhatikan
justru berimbas dikemudian hari sehingga sudah seharusnya itu diselesaikan sejak dini dan
diperhatikan dampak dan akibatnya. Pemeritah pun juga harus jeli betul dalam mengungkap
kasus berkaitan dengan kewarganegaraan ganda sejak dini agar masalahnya tidak membesar
dikemudian hari nanti. Warga negara sendiri merupakan salah satu unsur yang esensial bagi
berdirinya suatu negara. Dengan memiliki status kewarganegaran, seorang individu diakui
sebagai salah satu anggota dari negara yang mengakuinya, dimana pengakuan negara tersebut
merupakan sebuah hubungan hukum antara dua pihak tersebut, yaitu individu dan negara yang
mengakuinya. Sehingga bisa dikatakan bahwa melalui status kewarganegaraan tersebut
individu bisa menikmati banyak manfaat baik dari hukum nasional maupun internasional.
Untuk dapat menikmati apa yang disebut sebagai hak asasi manusia yang universal, seorang
individu harus menikmati hak atas kewarganegaraan terlebih dahulu, yaitu status
kewarganegaraan yang formal dan komplit setidaknya di satu negara.
Jika seseorang mempunyai kewarganegaraan di suatu negara, orang tersebut mempunyai hak
untuk tinggal, bekerja, memilih dan melakukan perjalanan di negara tersebut. Namun di sisi
lain, adalah merupakan hak suatu negara untuk menentukan siapa saja yang menjadi warga
negaranya selama tidak melanggar prinsip-prinsip umum hukum internasional. Pengaturan
mengenai kewarganegaraan menjadi hal yang sangat penting dalam kehidupan bernegara. Di
Indonesia, pengaturan mengenai Kewarganegaraan Indonesia selain terdapat dalam konstitusi
juga diatur di peraturan perundang-undangan di bawahnya. Pasal 28D ayat (4) UUD NRI
Tahun 1945 menyatakan bahwa: “Setiap orang berhak atas status kewarganegaraan.” Pasal ini
merupakan hasil perubahan kedua UUD NRI Tahun 1945. Sedangkan menurut Pasal 26 ayat
(1) UUD NRI Tahun 1945, “Yang menjadi warga negara ialah orang-orang bangsa Indonesia
asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai warga negara.”
Dari pasal tersebut terlihat bahwa UUD NRI Tahun 1945 memberikan sebuah pengakuan
bahwa status kewarganegaraan adalah merupakan hak setiap orang. Hak atas status
kewarganegaraan mengandung makna tidak hanya hak untuk memperoleh status
kewarganegaraan, tetapi juga termasuk hak untuk merubah serta hak untuk mempertahankan
status kewarganegaraan. UUD NRI Tahun 1945 tidak secara eksplisit menjamin apakah
seseorang berhak atas satu atau dua status kewarganegaraan. Bagi UUD NRI Tahun 1945, yang
penting adalah bahwa tidak boleh adanya keadaan seseorang tanpa kewarganegaraan karena
UUD NRI Tahun 1945 sudah memberikan jaminan bahwa setiap orang berhak atas status
kewarganegaraan.
Sedangkan untuk kemungkinan terjadinya kewarganegaraan ganda, UUD NRI Tahun 1945
tidak mengharuskan dan tidak juga melarang. Dalam hal ini, kebijakan lebih lanjut diberikan
kepada pembentuk undang- undang untuk mengaturnya sesuai dengan ketentuan Pasal 26 ayat
(3) UUD NRI Tahun 1945, yaitu bahwa “Hal-hal mengenai warga negara dan penduduk diatur
dengan undang- undang”. Saat ini, Undang-Undang yang mengatur tentang kewarganegaraan
Indonesia adalah UU No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia. Pada
dasarnya UU No. 12 Tahun 2006 tidak mengenal kewarganegaraan ganda dengan dianutnya
asas kewarganegaraan tunggal oleh undang-undang ini. Namun, UU No. 12 Tahun 2006 juga
menganut
Asas
kewarganegaraan
ganda
terbatas,
yaitu
asas
yang
menentukan
kewarganegaraan ganda bagi anak-anak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam UndangUndang ini, di antaranya adalah anak-anak yang memiliki orangtua dengan status
kewarganegaraan berbeda dan salah satunya adalah WNI. Asas tersebut merupakan
pengecualian dalam rangka perlindungan terhadap anak. Setelah berusia 18 (delapan belas)
tahun atau sudah kawin anak tersebut harus menyatakan memilih salah satu
kewarganegaraannya.
Beberapa pasal yang membuktikan bahwa UU No. 12 Tahun 2006 tidak menganut
kewarganegaraan ganda untuk orang dewasa adalah Pasal 6 ayat (1), Pasal 7, Pasal 9 huruf (f),
Pasal 19, Pasal 20, Pasal 21, Pasal 23 huruf (a,b,h), Pasal 25, Pasal 26, dan Pasal 42. UUD NRI
Tahun 1945 tidak secara eksplisit menjamin apakah seseorang berhak atas satu atau dua status
kewarganegaraan. Bagi UUD NRI Tahun 1945, yang penting adalah bahwa tidak boleh adanya
keadaan seseorang tanpa kewarganegaraan karena UUD NRI Tahun 1945 sudah memberikan
jaminan bahwa setiap orang berhak atas status kewarganegaraan. Sedangkan untuk
kemungkinan terjadinya kewarganegaraan ganda, UUD NRI Tahun 1945 tidak mengharuskan
dan tidak juga melarang. Sedangkan UU No. 12 Tahun 2006 tidak mengenal kewarganegaraan
ganda dengan dianutnya asas kewarganegaraan tunggal oleh undang-undang ini. Namun, UU
No. 12 Tahun 2006 juga menganut Asas kewarganegaraan ganda terbatas sebagai pengecualian
dalam rangka perlindungan terhadap anak bagi anak-anak sesuai dengan ketentuan yang diatur
dalam Undang-Undang ini. Setelah berusia 18 (delapan belas) tahun atau sudah kawin anak
tersebut harus menyatakan memilih salah satu kewarganegaraannya.
Permasalahan terkait kewarganegaraan memang tidak bisa dipecahkan oleh satu pihak saja,
dalam hal ini Indonesia saja. Indonesia bisa membangun hubungan kerja sama bilateral dengan
negara lain dalam menyelesaikan persoalaan kewarganegaraan tersebut yang harus
mengedepankan prinsip kepentingan Indonesia dalam status kewarganegaraan warganya.
Kasus 3
Judul
: Pelanggaran HAM Belum Selesai, Negara Berdosa
Sumber :
https://kontras.org/2020/09/01/september-hitam-2020-pelanggaran-ham-belum-tuntasnegara-berdosa/
Deskripsi
Sejumlah peristiwa kelam hak asasi manusia di Bulan September dari masa ke masa senantiasa
hadir dalam mengingatkan negara memenuhi tanggung jawabnya. Tragedi pembantaian 19651966, tragedi Tanjung Priok 1984, tragedi Semanggi II 1999, Pembunuhan Munir 2004, hingga
brutalitas aparat dalam aksi Reformasi Dikorupsi 2019 menunjukkan rantai kekerasan terus
berlanjut tanpa ada satupun mata rantai yang diselesaikan secara tuntas dan secara berkeadilan.
Dari rangkaian peristiwa yang berlangsung hingga kini, Komisi untuk Orang Hilang dan
Korban Tindak Kekerasan mengenangnya sebagai September Hitam.
Pertama, tragedi pembantaian ’65- ‘66 Negara belum juga mampu memenuhi tanggung
jawabnya untuk memberikan keadilan terhadap para korban. Kedua, tragedi Tanjung Priok ’84
negara tidak memiliki arah kebijakan yang berpihak kepada koran untuk memberikan rasa
keadilan dalam bentuk kompensasi, restitusi dan rehabilitasi. Ketiga, Tragedi Semanggi II ’99,
Kejaksaan Agung hingga kini masih belum melanjutkan proses hukum atas hasil penyelidikan
Komnas HAM. Alih-alih mengalami kejelasan perkembangan kasus, Februari lalu Jaksa
Agung justru sempat mengemukakan bahwa Tragedi Semanggi I dan II bukan termassuk
pelanggaran HAM Berat. Keempat, kasus pembunuhan aktivis HAM, Munir Said Thalib, tidak
juga menyentuh aktor utama peristiwa ini justru negara menunjukkan hal yang kontradiktif
dengan tidak menyampaikan kepada publik hasil temuan Tim Pencari Fakta. Kelima, brutalitas
aparat kepolisian dalam aksi Reformasi Dikorupsi 2019 yang menjadi catatan kelam
penanganan aksi pascareformasi. Atas kemandekan pada proses hukum, Ketiadaan mekanisme
yang adil, transparan, dan akuntabel serta keberpihakan kepada korban dan keluarga korban
atas rangkaian peristiwa yang terjadi pada Bulan September menggambarkan Negara Berdosa.
KontraS melihat bahwa negara semakin menjauh untuk menuntaskan deretan peristiwa di atas.
Negara semakin tidak punya malu menunjukkan langkahnya dalam menyelesaikan kasus
pelanggaran HAM tersebut. Hal ini terlihat dari aktor-aktor yang terlibat dalam peristiwa
pelanggaran HAM tersebut masih bisa menduduki posisi atau jabatan penting dalam
pemerintahan, pernyataan pejabat publik yang kontradiktif dengan arah penyelesaian kasus,
hingga ketidakjelasan dalam merevisi UU Pengadilan HAM.
Pada momentum September Hitam 2020, KontraS terus mendesak negara untuk menyelesaikan
daftar hitam kasus pelanggaran HAM secara berkeadilan dalam kerangka hak asasi manusia
yang melingkupi keseluruhan aspek kebenaran, keadilan, reparasi, dan jaminan
ketidakberulangan guna menghapus impunitas dan menebus dosa negara di masa lalu.
Atas dasar tersebut, KontraS mendesak agar:
Jaksa Agung melakukan penyidikan terhadap seluruh kasus-kasus pelanggaran HAM berat
yang telah selesai diselidiki oleh Komnas HAM agar keseluruhan kasus tersebut dapat segera
ditindaklanjuti sesuai dengan mandat UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM melalui
proses yudisial;
Komnas HAM dan LPSK berkoordinasi untuk memberikan upaya pemulihan yang menyeluruh
kepada seluruh korban pelanggaran HAM sebagai bentuk reparasi yang dilakukan secara
beriringan dengan proses yudisial terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM berat;
Pemerintah dan DPR RI segera melakukan revisi terhadap UU No. 26 Tahun 2000 tentang
Pengadilan HAM agar dapat secara lebih efektif menjadi landasan hukum baik bagi
penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM berat secara yudisial maupun pemenuhan hak
reparasi bagi korban.
Analisis Kasus
Berita pada laman KontraS pada hari Selasa, 1 September 2020 mempublis artikel mengenai
kasus hilang dan pembunuhan serta perbuatan kejam lain maupun cara penanganan terhadap
korban sejumlah peristiwa kelam hak asasi manusia di Bulan September dari masa ke masa
senantiasa hadir dalam mengingatkan negara memenuhi tanggung jawabnya. Tragedi
pembantaian 1965-1966, tragedi Tanjung Priok 1984, tragedi Semanggi II 1999, Pembunuhan
Munir 2004, hingga brutalitas aparat dalam aksi Reformasi Dikorupsi 2019 menunjukkan
rantai kekerasan terus berlanjut tanpa ada satupun mata rantai yang diselesaikan secara tuntas
dan secara berkeadilan. Dari rangkaian peristiwa yang berlangsung hingga kini, Komisi untuk
Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan mengenangnya sebagai September Hitam.
Banyak kejanggalan dalam penanganan dan pemecahan kasus yang diruntut saru persatu.
Pertama, tragedi pembantaian ’65- ‘66 Negara belum juga mampu memenuhi tanggung
jawabnya untuk memberikan keadilan terhadap para korban.
Kedua, tragedi Tanjung Priok ’84 negara tidak memiliki arah kebijakan yang berpihak kepada
koran untuk memberikan rasa keadilan dalam bentuk kompensasi, restitusi dan rehabilitasi.
Ketiga, Tragedi Semanggi II ’99, Kejaksaan Agung hingga kini masih belum melanjutkan
proses hukum atas hasil penyelidikan Komnas HAM. Alih-alih mengalami kejelasan
perkembangan kasus, Februari lalu Jaksa Agung justru sempat mengemukakan bahwa Tragedi
Semanggi I dan II bukan termassuk pelanggaran HAM Berat. Keempat, kasus pembunuhan
aktivis HAM, Munir Said Thalib, tidak juga menyentuh aktor utama peristiwa ini justru negara
menunjukkan hal yang kontradiktif dengan tidak menyampaikan kepada publik hasil temuan
Tim Pencari Fakta. Kelima, brutalitas aparat kepolisian dalam aksi Reformasi Dikorupsi 2019
yang menjadi catatan kelam penanganan aksi pascareformasi. Atas kemandekan pada proses
hukum, Ketiadaan mekanisme yang adil, transparan, dan akuntabel serta keberpihakan kepada
korban dan keluarga korban atas rangkaian peristiwa yang terjadi pada Bulan September
menggambarkan Negara Berdosa.
KontraS juga berpendapat jika negara seolah semakin mempersulit perkembangan kasus dan
semakin menjauh dalam menuntaskan kasus yang sudah lama bergulir tersebut. Negara
menunjukkan itikad ingin menghambat penyelesaian kasus dan justru mendukung aktor yang
berkaitan dengan permasalahan tersebut sekaligus menutupinya dengan tetap membiarkan
aktor tersebut bebas dan berkuasa dalam beberapa kekuasaan dinegara. Pernyataan pejabat
publik juga yang kontradiktif dengan arah penyelesaian kasus, hingga ketidakjelasan dalam
merevisi UU Pengadilan HAM. Pada momentum September Hitam 2020, KontraS terus
mendesak negara untuk menyelesaikan daftar hitam kasus pelanggaran HAM secara
berkeadilan dalam kerangka hak asasi manusia yang melingkupi keseluruhan aspek kebenaran,
keadilan, reparasi, dan jaminan ketidakberulangan guna menghapus impunitas dan menebus
dosa negara di masa lalu.
Disini KontraS melakukan berbagai upaya atas dasar tersebut, KontraS mendesak agar : Jaksa
Agung melakukan penyidikan terhadap seluruh kasus-kasus pelanggaran HAM berat yang
telah selesai diselidiki oleh Komnas HAM agar keseluruhan kasus tersebut dapat segera
ditindaklanjuti sesuai dengan mandat UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM melalui
proses yudisial; Komnas HAM dan LPSK berkoordinasi untuk memberikan upaya pemulihan
yang menyeluruh kepada seluruh korban pelanggaran HAM sebagai bentuk reparasi yang
dilakukan secara beriringan dengan proses yudisial terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM
berat; Pemerintah dan DPR RI segera melakukan revisi terhadap UU No. 26 Tahun 2000
tentang Pengadilan HAM agar dapat secara lebih efektif menjadi landasan hukum baik bagi
penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM berat secara yudisial maupun pemenuhan hak
reparasi bagi korban.
Rekomendasi / Solusi Kasus
Solusi yang diberikan adalah turut mendukung langkah yang diberikan oleh KontraS sebab
mereka yang menjadi korban berhak untuk dibela menyangkut dengan keadilan dan
bagaimanapun merekalah pahlawan era 1980-an yang membantu menyuarakan dan membela
rakyat kecil. Disini KontraS sendiri melakukan berbagai upaya atas dasar tersebut, KontraS
mendesak agar : Jaksa Agung melakukan penyidikan terhadap seluruh kasus-kasus
pelanggaran HAM berat yang telah selesai diselidiki oleh Komnas HAM agar keseluruhan
kasus tersebut dapat segera ditindaklanjuti sesuai dengan mandat UU No. 26 Tahun 2000
tentang Pengadilan HAM melalui proses yudisial; Komnas HAM dan LPSK berkoordinasi
untuk memberikan upaya pemulihan yang menyeluruh kepada seluruh korban pelanggaran
HAM sebagai bentuk reparasi yang dilakukan secara beriringan dengan proses yudisial
terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM berat; Pemerintah dan DPR RI segera melakukan
revisi terhadap UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM agar dapat secara lebih efektif
menjadi landasan hukum baik bagi penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM berat secara
yudisial maupun pemenuhan hak reparasi bagi korban.
Download