Uploaded by User70668

FILSAFAT ABAD PERTENGAHAN

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam sejarah filsafat ada saat-saat yang dianggap penting sebagai
patokan sesuatu era, karena selain punya ciri khas pada zamannya, suatu
aliran filsafat bisa meninggalkan pengaruh yang penting dalam sejarah
peradaban manusia. Abad pertengahan selalu dibahas sebagai zaman yang
khas, karena dalam abad-abad itu perkembangan alam pikiran di Eropa sangat
terkendala oleh keharusan untuk disesuaikan dengan ajaran agama. Setiap
ajaran filsafat harus diuji sejauh mana tidak bertentangan dengan ajaran
agama dan interpretasi yang dikembangkan dalam lingkungan gereja dan
biara. Dalam lingkungan ini ditegaskan pendirian, bahwa tindakan keimanan
(act of faith) harus dibedakan secara tegas dari tindakan penalaran (act of
reason). Apabila terjadi perbedaan atau pertentangan antara keduanya, maka
keimanan harus diunggulkan di atas penalaran.1
Ciri pemikiran filsafat pada zaman ini disebut teosentris. Para filsuf pada
masa ini memakai pemikiran filsafat untuk memperkuat dogma-dogma agama
Kristiani, akibatnya perkembangan alam pemikiran Eropa pada abad
pertengahan sangat terkendala oleh keharusan
untuk disesuaikan dengan
ajaran agama. Dengan demikian, pemikiran filsafat terlalu seragam, bahkan
dipandang seakan-akan tidak penting bagi sejarah pemikiran filsafat
sebelumnya.2
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah sejarah filsafat pada abad pertengahan?
2. Apa yang menjadi karakteristik dan ciri filsafat pada abad pertengahan?
3. Bagaimana periodisasi filsafat pada abad pertengahan?
4. Bagaimana perkembangan filsafat pada abad pertengahan?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui sejarah filsafat pada abad pertengahan.
1
2
Fuad Hasan, Pengantar Filsafat Barat, (Jakarta : PT Dunia Pustaka Jaya, cet.2, 2001), hlm.53
Ayi Sofyan, Kapita Selekta Filsafat, (Bandung : Pustaka Setia , 2010), hlm.61-62
1
2. Untuk mengetahui karakteristik dan ciri filsafat pada abad pertengahan.
3. Untuk mengetahui periodisasi filsafat pada abad pertengahan.
4. Untuk mengetahui perkembangan filsafat pada abad pertengahan.
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah Filsafat pada Abad Pertengahan
Filsafat abad pertengahan dimulai kira-kira pada abad ke-5 sampai awal
abad ke-17.3 Namun, ada yang mengatakan pada abad ke-2 sampai abad ke14.4 Para sejarawan umumnya menentukan tahun 476 M, yakni masa
berakhirnya kerajaan Romawi Barat yang berpusat di kota Roma, dan
munculnya kerajaan Romawi Timur yang kelak berpusat di Konstantinopel
sebagai data awal zaman abad pertengahan dan tahun 1492 sebagai data
akhirnya.5
Runtuhnya kerajaan Yunani sejak wafatnya Alexander disusul oleh
kebangkitan Romawi yang kekuasaannya meliputi kawasan lebih luas
dibandingkan dengan wilayah kekuasaan Yunani. Tidak terbayangkan
wilayah Yunani yang semula terbentang dari Laut Tengah hingga Persia
akhirnya tidak mampu bertahan menghadapi kebangkitan kekaisaran
Romawi. Mengingat begitu luasnya kekuasaan Romawi, maka pantaslah
berlaku sebutan Imperium Romanum. Wilayah yang dikuasai Imperium
Romanum meliputi benua Eropa, wilayah Timur Tengah, dan Afrika Utara.
Bersamaan dengan meluasnya wilayah Imperium Romanum itu meningkat
pula peran gereja sebagai pusat spiritual yang mengembangkan filsafat sesuai
dengan ajaran agama. Filsafat dijadikan sebagai pendukung teologi; ajaran
agama harus dijadikan tolak ukur kebanaran; kegiatan penalaran dan filsafat
tidak boleh menghasilkan kesimpulan yang menggoyahkan keimanan, apalagi
bertentangan dengan tafsiran resmi yang diajarkan berdasarkan wibawa
gereja.6
Pengembangan penalaran tidak dilarang, namun usaha tersebut harus
disesuaikan dan diabdikan pada keyakinan beragama. Meskipun dalam kurun
3
Simon Petrus L. Tjahjadi, Petualangan Intelektual, (Yogyakarta : Kanisius, 2004), hlm.102
Rizal Mustansyir, Filsafat Analitik : Sejarah, Perkembangan, dan Peranan Para Tokohnya,
(Yogyakarta : Pustaka Pelajar, cet.2, 2007), hlm.12
5
Simon Petrus L. Tjahjadi, Op.cit, hlm.102
6
Fuad Hasan, Op.cit, hlm.54
4
3
waktu itu mulai dilakukan penerjemahan karya-karya Yunani, Arab, dan
Yahudi ke dalam bahasa Latin, sehingga terjangkau khalayak pembaca yang
semakin meluas, namun kegiatan filsafat ini banyak dilakukan oleh tokohtokoh terkemuka di lingkungan gereja serta terpusat pada biara-biara, dan
baru kemudian beralih ke kalangan perguruan tinggi
yang masih amat
terbatas jumlahnya. Sejak akademi Plato dan berbagai perguruan filsafat yang
berkembang di Yunani dibubarkan atas perintah kaisar Justinianus pada tahun
529 M, banyak sekali sumber belajar filsafat yang hilang, apalagi karena
perintah penutupan pusat-pusat belajar, selain itu juga karena adanya larangan
atas beredarnya naskah-naskah peninggalannya.7
Pada saat itu, agama Kristen dijadikan sebagai agama negara dalam
kekaisaran Romawi Timur oleh Kaisar Theodosius I pada tahun 391 M.
Dengan demikian, agama Kristen mendapat dukungan yang sedemikian rupa
dan gereja sendiri menjadi kekuatan politik. Dalam perkembangan
selanjutnya, gereja memperoleh peluang besar untuk menentukan jalan hidup
manusia sebagai individu maupun sebagai warga negara.8 Sehingga pada saat
itu dalam usaha penalaran pun harus disesuaikan dan diabdikan pada
keyakinan beragama. Hal inilah yang mengawali munculnya filsafat abad
pertengahan dengan ciri khas bahwa alam pikiran harus disesuaikan dengan
ajaran agama.9
B. Karakteristik dan Ciri Filsafat pada Abad Pertengahan
Ciri yang mendasar pada filsafat abad pertengahan ialah filsafat lebih
bercorak “Theosentris”, artinya para filsuf dalam periode ini menjadikan
filsafat sebagai abdi agama atau filsafat diarahkan pada masalah ketuhanan.
Suatu karya filsafat dinilai benar jika tidak menyimpang dari ajaran agama.10
7
Ibid, hm.53
Budiono Kusumohamidjojo, Filsafat Hukum :Problematika Ketertiban yang Adil, (Bandung :
Mandar Maju, 2011), hlm.45
9
Fuad Hasan, Op.cit, hlm.53
10
Rizal Mustansyir, Opc.cit, hlm.12
8
4
Dengan kata lain, filsafat abad pertengahan ditandai dengan adanya hubungan
yang erat antara agama Kristen dan filsafat.11
Periode abad pertengahan mempunyai perbedaan yang mencolok dengan
abad sebelumnya. Perbedan itu terletak pada dominasi agama. Timbulnya
agama Kristen yang diajarkan oleh nabi Isa AS pada permulaan abad masehi
membawa perubahan besar terhadap kepercayaan keagamaan. Agama Kristen
menjadi problem kefilsafatan karena mengajarkan bahwa wahyu tuhanlah
yang merupakan kebenaran sejati. Hal ini berbeda dengan pandangan Yunani
kuno yang mengatakan bahwa kebenaran dapat dicapai oleh kemampuan
akal. Karena mereka belum mengenal adanya wahyu.12
Filsafat abad pertengahan juga dapat dikatakan sebagai abad gelap.
Berdasarkan pada pendekatan sejarah gereja, saat itu tindakan gereja sangat
membelenggu kehidupan manusia. Manusia tidak lagi memiliki kebebasan
untuk mengembangkan potensi yang terdapat dalam dirnya. Para ahli pikir
saat itu juga tidak memiliki kebebasan berpikir. Apalagi terdapat pemikiranpemikiran yang bertentangan dengan ajaran agama dan gereja. Siapapun
orang yang mengemukakannya akan mendapat hukuman yang berat. Pihak
gereja melarang diadakannya penyelidikan-penyelidikan rasio terhadap
agama. Karena itu, kajian terhadap agama (teologi) yang tidak berdasarkan
pada ketentuan gereja akan mendapat larangan yang ketat. Yang berhak
mengadakan penelitian terhadap agama adalah gereja. Walaupun demikian,
ada juga yang melanggar peraturan tersebut dan mereka dianggap orang yang
murtad dan kemudian diadakan pengejaran (inkuisisi). Pengejaran terhadap
orang-orang murtad ini mencapai puncaknya saat di bawah pimpinan Paus
Innocentius III di akhir abad XII.13
Abad pertengahan ini juga dapat dikatakan sebagai suatu masa yang
penuh dengan upaya menggiring manusia ke dalam kehidupan/sistem
11
Simon Petrus L. Tjahjadi, Op.cit, hlm.102
Surajiyo, Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia, (Jakarta : PT Bumi Aksara, cet.5,
2010), hlm.85
13
Ali Maksum, Pengantar Filsafat : Dari Masa Klasik Hingga Postmodernisme, (Ar-Ruzz Media,
2010), hlm.99
12
5
kepercayaan yang fanatik, dengan menerima ajaran gereja yang membabi
buta. Karena itulah perkembangan ilmu pengetahuan menjadi terhambat.
Masa ini penuh dengan dominasi gereja yang tujuannya membimbing umat
ke arah hidup yang baik. Tetapi di sisi lain, dominasi gereja ini dilakukan
tanpa diselaraskan dengan memikirkan martabat dan kebebasan manusia yang
mempunyai perasaan, pikiran, keinginan, dan cita-cita untuk menentukan
masa depannya sendiri.14
Adapun ciri pemikiran filsafat pada abad pertengahan ialah :
1. Cara berfilsafatnya dipimpin oleh gereja.
2. Berfilsafat dalam lingkungan ajaran Aristoteles.
3. Berfilsafat dengan pertolongan Augustinus.15
C. Periodisasi Filsafat pada Abad Pertengahan
Sejarah filsafat abad pertengahan dibagi menadi dua zaman atau periode
yakni periode patristik dan periode skolastik.
1. Periode Patristik (100-700 M)
Patristik berasal dari kata latin patres yang berarti bapak-bapak
gereja, ialah ahli-ahli agama Kristen pada abad permulaan agama
Kristen.16 Di dunia Barat, agama Katolik mulai tersebar dengan
ajarannya tentang Tuhan, manusia dan dunia, dan etikanya. Untuk
mempertahankan
dan
menyebarkannya
maka
mereka
mempergunakan filsafat Yunani dan memperkembangkannya lebih
lanjut, khususnya mengenai soal-soal tentang kebebasan manusia,
kepribadian, kesusilaan,dan sifat Tuhan.17 Pada periode ini ahli-ahli
agama Kristen itu berusaha untuk memperlihatkan bahwa iman sesuai
dengan pikiran-pikiran yang dalam dari manusia. Mereka berhasil
membela ajaran-ajaran Kristiani terhadap tuduhan dari pemikirpemikir kafir. Tulisan-tulisan bapak gereja merupakan suatu sumber
14
Ibid, hlm.99-100
Loc.cit.
16
Surajiyo, Op.cit, hlm.85
17
Burhanuddin Salam, Pengantar Filsafat, (Jakarta : Bumi Aksara, cet.3, 1995), hlm.191
15
6
yang kaya dan luas.18 Filsuf yang terkenal pada periode Patristik ini
ialah Tertualianus (160-222), Origenes (185-254), Agustinus (354430).19
2. Periode Skolastik
Istilah skolastik adalah kata sifat yang berasal dari kata school, yang
berarti sekolah. Atau dari kata schuler yang mempunyai arti kurang
lebih sama, yaitu ajaran atau sekolahan.20 Periode ini ditandai dengan
diajarkannya filsafat pada sekolah-sekolah biara dan universitasuniversitas dengan mempergunakan kurikulum yang tetap yang berisi
tentang hubungan hakikat Tuhan, antropologi, etika, dan politik.21
Secara garis besar, periode skolastik pada abad pertengahan dibagi
menjadi dua, yaitu periode skolastik Kristen dan periode skolastik
Islam.22
D. Perkembangan Filsafat pada Abad Pertengahan
Tokoh gereja yang menonjol pada awal abad pertengahan ialah Aurelius
Agustinus (354-430), yang kemudian juga terkenal sebagai Santa Agustinus.
Dialah yang meletakkan dasar untuk memperpadukan filsafat degan teologi.23
Menurutnya, dalam hal terjadinya alam semesta menganut teori penciptaan.
Artinya, Tuhan lah yang menciptakan alam semesta. Dengan tindakan
mencipta, Tuhan menghasilkan ciptaan dari ketiadaan. Tuhan mencipta dari
ketiadaan pada awal mulanya tidak terdapat dualisme antara Tuhan
(kebaikan) dengan material (keburukan). Karena segala sesuatu timbul oleh
penciptaan dari Tuhan, maka segala sesuatu juga diambil dalam bagian
kebaikan Tuhan. Dengan kata lain, alam material mempunyai bentuk
kebaikan sendiri. Tuhan menciptakan alam semesta serta waktu dari
keabadian, gagasan penciptaan tidak bertentangan dengan alam abadi. Kitab
18
Rustam E. Tamburaka, Pengantar Ilmu Sejarah, Teori Filsafat Sejarah, Sejarah Filsafat dan
Iptek, (Jakarta : Rineka Cipta, 1999), hlm.268
19
Burhanuddin Salam, Op.cit, hlm.191
20
Ahmad Sadali dan Mudzakir, Filsafat Umum, (Bandung : Pustaka Setia, 1999), hlm.81
21
Rustam E. Tamburaka, Op.cit, hlm.268
22
Ali Maksum, Op.cit, hlm.97
23
Fuad Hasan, Op.cit, hlm.54
7
suci mengajarkan bahwa alam semesta berawal mula, tetapi filsafat tidak
mampu membuktikan hal itu. Seperti halnya filsafat juga tidak bisa
membuktikan bahwa alam semesta tidak berawal mula.24 Agustinus
menghasilkan sejumlah besar karya yang selama berabad-abad membekaskan
pengaruhnya terhadap para filsuf dari lingkungan gereja, tanpa adanya
pertentangan dari lingkungan lain. Baru ketika pada awal abad ke-12
bermunculan lingkungan belajar yang bersifat pendidikan tinggi (cikal-bakal
universitas), berbagai interpretasi dan tesis yang diwariskan oleh Agustinus
menghadapi ujian. Di Paris, para cendekiawan bergabung dalam suatu
perhimpunan yang disebut Universitas Magistrorum et Scholarium. Otonomi
perhimpunan ini dikukuhkan berdasarkan dekrit pimpinan tertinggi gereja
(Paus) dan dengan demikian perguruan tinggi mendapat keleluasaan untuk
menyelenggarakan
pelajaran
dan
pengembangan
pemikiran
dalam
lingkungannya. Itu sebabnya mengapa Paris dianggap sebagai kota
universitas pertama. Paris dipandang sebagai Athena-nya abad pertengahan.
Kemudian nama Universitas Magistrorum et Scholarium diubah menjadi
Universitas Literarum, yang secara harfiah artinya perguruan tinggi
kesusastraan, namun dalam arti luasnya juga meliputi filsafat. Dalam
lingkungan ini diterapkan Studium Generale sebagai cara mengajar. Akan
tetapi karena semakin banyaknya bidang khusus yang menjadi sasaran
pembahasan, maka tersusunlah pengelompokkan yang lebih terbatas dan
terdiri atas orang-orang yang sesama berminat terhadap bidang tertentu,
sehingga terbentuklah apa yang disebut collegium. Berbeda dengan
universitas yang memiliki kurikulum untuk berbagai bidang studi dan masa
belajarnya diakhiri dengan ujian dan pemberian gelar, kurikulum collegium
terbatas pada satu bidang studi khusus dan tidak menyelenggarakan ujian
akhir maupun pemberian gelar. Collegium juga melaksanakan studi generalia
sesuai dengan bidang studi masing-masing. Bentuk inilah yang didirikan oleh
24
Rustam E. Tamburaka, Op.cit, hlm.268
8
Robert do Sorbon (1201-1274) di Paris pada tahun 1253, yang kemudian
menjadi cikal-bakal universitas terkemuka di Prancis.25
Di berbagai kota mulai bermunculan perguruan tinggi, baik yang
berbentuk universitas atau collegium. Di antara bentuk universitas yang
didirikan sejak abad ke-12 dan bertahan hingga masa kini ialah universitas
Paris, Oxford, dan Al-Azhar. Pada umumnya universitas itu semula
memusatkan perhatian pada bidang studi filsafat, teologi, hukum, dilanjutkan
kemudian dengan bidang lainnya. Dalam lingkungan perguruan tinggi ini
ditempuh cara belajar dan mengajar yang khas. Pada pagi hari disajikan
lectiones (kuliah) oleh para pengajar, kemudian di sore harinya disusul
dengan disputationes (pembahasan) antara pengajar dan murid-muridnya
maupun antara sesama murid. Dari bahan perkuliahan dan pembahasan itu
bisa saja timbul hal-hal yang harus dirumuskan sebagai quastiones, yaitu
berbagai persoalan yang masih perlu dicarikan penyelesaiannya. Dalam
suasana otonomi yang berlaku di lingkungan perguruan tinggi itu,
pembahasan berbagai persoalan berlangsung jauh lebih bebas dibandingkan
dengan dalam masa sebelumnya, tatkala ajaran agama secara a priori harus
diunggulkan di atas kesimpulan atau penafsiran yang dihasilkan berdasarkan
penalaran. Dengan berlakunya otonomi dalam lingkungan perguruan tinggi,
maka berbagai doktrin keagamaan mendapat tantangan yang tidak pernah
dialami sebelumnya. Kemantapan doktrin agama dan wibawa gereja yang
selama berabad-abad diandalkan pada karya Agustinus mulai rawan
menghadapi perkembangan alam pikiran para cendekiawan dalam lingkungan
perguruan tinggi yang memiliki otonomi dengan kebebasan mimbarnya
sendiri.26
Dalam suasana baru ini muncul tokoh gereja yang namanya terkait erat
dengan perkembangan filsafat dalam masa skolastik, yaitu Thomas Aquinas
(1225-1274), yang dijuluki sebagai ‘pangeran masa skolastik’. Jika karya
Agustinus terkesan banyak mengacu pada filsafat Plato, maka Thomas
25
26
Fuad Hasan, Op.cit, hlm.54
Ibid, hlm.55
9
Aquinas tampaknya lebih dipengaruhi oleh filsafat Aristoteles. Pada waktu itu
karya Aristoteles telah hilang selama berabad-abad. Namun, setelah
tersedianya karya-karya Aristoteles dalam bahasa Latin yang didasarkan pada
penerjemahan oleh Ibn Sina (Avicenna) dan Ibnu Rusyd (Averos) karya
Aristoteles kembali menjadi pembahasan yang meluas di lingkungan
perguruan tinggi.27
Thomas Aquinas pun tekun dalam mempelajari terjemahan karya-karya
Aristoteles. Sesuai dengan pendirian bahwa filsafat harus diabdikan pada
kepentingan doktrin agama dan keimanan, maka Thomas Aquinas berusaha
mencipta sintesis antara filsafat dan teologi seperti terurai dalam karya
utamanya yang berjudul “Summa Theologiae”. Karya yang berjumlah dua
puluh dua jilid ini oleh Paus Leo XIII dinyatakan sebagai filsafat resmi yang
berlaku dalam lingkungan gereja katolik dan hingga masa kini masih
digunakan sebagai sumber acuan pokok. Thomas Aquinas menarik garis batas
yang tegas antara teologi dan filsafat. Berbagai dogma dalam teologi tidak
perlu dibahas secara rasional oleh filsafat. Dogma adalah masalah teologi
yang harus diterima berdasarkan keimanan, karena dogma adalah kebenaran
yang diwahyukan (revealed truth) sehingga tidak memerlukan pembuktian
melalui penalaran. Thomas Aquinas menerima pemikiran Aristoteles
mengenai manusia sebagai makhluk alamiah (natural being), makhluk
penalar (rational being), makhluk kemasyarakatan (zoon politikon). Namun,
lebih dari semua itu manusia ialah makhluk spiritual (spiritual being).
Berbagai tingkat keberadaan manusia itu berpangkal pada tuhan sebagai
pencipta dan sumber kebenaran sejati. Keberhasilan Thomas Aquinas
memadukan ajaran agamanya dengan berbagai pikiran Aristoteles dapat
menjadi pendukung filsafatnya merupakan perwujudan sintesis dalam bad
pertengahan.28
Ketika Imperium Romanum menyusut kejayaannya, sebagian besar
bangsa Eropa yang tadinya dikuasai sudah menjadi penganut gereja katolik.
27
28
Ibid, hlm.56
Loc.cit.
10
Hal ini dikarenakan sejak abad ke-5 agama Kristen dinyatakan sebagai agama
resmi yang berlaku di seluruh Imperium Romanum. Sejaan dengan itu,
meluas pula kehadiran gereja sebagai pusat wibawa di samping kekuasaan
kekaisaran. Maka tatkala Imperium Romanum runtuh akibat kegagalannya
bertahan menghadapi berbagai serangan musuh dari luar serentak dengan
kemunduran kesejahteraan dalam wilayah kekuasaannya, tampillah gereja
sebagai pusat wibawa. Filsafat dan pengembangan alam pikiran harus
disesuaikan dengan ajaran agama. Berbagai karya tulis dari zaman Yunani
yang memuat ajaran bertentangan dengan pandangan gereja harus
dimusnahkan, seperti misalnya politheisme. Berbagai temuan yang dihasilkan
oleh kalangan filsafat dan ilmuwan pun harus sesuai atau mendukung
pandangan resmi yang dianut oleh gereja. Sebagai pusat wibawa, gereja
berhak melaramg beredarnya teori atau interpretasi yang berlawanan dengan
ajarannya. Ketentuan bahwa keimanan harus diunggulkan di atas penalaran
tetap berlaku sebagai pedoman untuk menguji sesuatu kebenaran. Ketentuan
ini bukan saja berlaku terhadap masalah kepercayaan, melainkan juga
mengenai dengan temuan-temuan ilmiah. Dalam kaitan ini terkenal peristiwa
pertentangan
antara
geosentrisme
dan
heleosentrisme.
Geosentrisme
beranggapan bahwa bumi merupakan pusat yang dikelilingi oleh matahari dan
benda angkasa lainnya. Sedangkan heleosentrisme berpendapat bahwa yang
menjadi pusat ialah matahari.29
Geosentrisme yang pertama kali diperkenalkan oleh Ptolomeus di masa
Yunani bertahan cukup lama, hingga seorang astronom Polandia, Nicholaus
Copernicus (1473-1543) berdasar observasi empirik dan perhitungan
matematik sampai pada kesimpulan bahwa mataharilah sebagai pusat yang
dikelilingi oleh benda-benda angkasa. Heleosentrisme Copernicus itu jelas
berlawanan dengan geosentrisme yang dipertahankan oleh kalangan gereja
sebagai ajaran resmi. Maka teori Copernicus dinyatakan sebagai ajaran
terlarang, dan hukum exkomunikasi bisa dikenakan pada mereka yang
menganutnys. Karena ketakutan terhada ancman hukuman itu, maka
29
Ibid, hlm.58
11
Copernicus tidak menerbitkan karyanya. Namun demikian naskahnya beredar
secara sembunyi dan berhasil menggalang sejumlah penganut heleosentrisme
yang diajarkannya. Kenyataan ini dianggap dapat menggoyahkan kemantapan
ajaran yang resmi berlaku, sehingga dianggap perlu untuk bertindak tegas
terhadap para penganut Copernicus. Maka seorang pendeta Dominikan yang
menganut ajaran Copernicus, Giordano Bruno (1548-1600) dijatuhi hukuman
bakar pada tiang pancang di Roma. Nasib yang sama juga menimpa filsuf
Italia yang dituduh atheis, Lucilio Vanini (1585-1619).30
Teori Copernicus ini dinilai sangat revolusioner dan hingga kini
pembalikan total terhadap suatu pandangan sering diibaratkan sebagai
‘revolusi Copernican’. Ilmuwan yang juga dijatuhi hukuman ialah Galileo
Galilei (1564-1642) yang untuk pertama kalinya berhasil menciptakan
teleskop dengan kesanggupan luar biasa guna melakukan observasi terhadap
bulan dan sistem perbintangan. Berdasarkan pengamatannya itulah ia secara
gigih mempertahankan teori Copernicus. Dia pun akhirnya dihukum.
Karyanya dinyatakan terkutuk dan dirinya dikenakan hukuman kurungan
seumur hidup.31
30
31
Loc.cit.
Loc.cit.
12
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
13
DAFTAR PUSTAKA
Hasan, Fuad, Pengantar Filsafat Barat. Jakarta : PT Dunia Pustaka Jaya, 2001.
Kusumohamidjojo, Budiono, Filsafat Hukum :Problematika Ketertiban yang Adil.
Bandung : Mandar Maju, 2011.
L. Tjahjadi, Simon Petrus Petualangan Intelektual. Yogyakarta : Kanisius, 2004.
Maksum, Ali, Pengantar Filsafat : Dari Masa Klasik Hingga Postmodernisme,
Ar-Ruzz Media, 2010.
Mustansyir, Rizal, Filsafat Analitik : Sejarah, Perkembangan, dan Peranan Para
Tokohnya. Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2007.
Sadali, Ahmad dan Mudzakir, Filsafat Umum. Bandung : Pustaka Setia, 1999.
Salam, Burhanuddin, Pengantar Filsafat. Jakarta : Bumi Aksara, 1995.
Sofyan, Ayi, Kapita Selekta Filsafat. Bandung : Pustaka Setia, 2010.
Surajiyo, Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia. Jakarta : PT Bumi
Aksara, 2010.
Tamburaka, Rustam E, Pengantar Ilmu Sejarah, Teori Filsafat Sejarah, Sejarah
Filsafat dan Iptek. Jakarta : Rineka Cipta, 1999.
14
Download