Uploaded by User70239

ALTERNATIF KENDALIKAN KECEMASAN DAN DEPRESI DENGAN PENGOBATAN NON FARMAKOLOGI

advertisement
ALTERNATIF KENDALIKAN KECEMASAN DAN DEPRESI DENGAN
PENGOBATAN NON FARMAKOLOGI
Oleh:
Sigit Yudhistira (Nutrisionis)
Disampaikan dalam Diskusi Publik Komunitas SEPAKAT, 14 Maret 2020 di Gdg. MTQ Kab. Bombana
Latar Belakang
Untuk mengukur derajat kesehatan dan kesejahteraan masyarakat secara
menyeluruh adalah dengan mengukur kesehatan mental. 1 Kesehatan mental adalah
suatu keadaan emosional dan psikologis yang baik, dimana individu dapat
memanfaatkan kemampuan kognisi dan emosi, dapat bermanfaat dalam
komunitasnya dan dapat memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Sedangkan
World Health Organization (WHO) mendefinisikan sehat adalah suatu kondisi yang
terbebas dari segala jenis penyakit, baik fisik, mental dan sosial. 2 Ansietas
(kecemasan) dan depresi yang sering timbul bersamaan, merupakan gangguan
mental yang paling sering terjadi pada masyarakat.3 Saat ini gangguan kesehatan
mental menjadi penyebab ke 3 (tiga) dari beban penyakit di seluruh dunia dan
diprediksi menjadi beban penyakit utama pada tahun 2030 yang memberi dampak
mendalam terhadap kesehatan dan kesejahteraan masyarakat. 4
Kecemasan dan Depresi
1. Kecemasan
Kecemasan adalah ketidaknyamanan pikiran yang berkaitan dengan
ketakutan untuk menghadapi masa depan.5 Kecemasan berkaitan dengan
kekhawatiran yang tidak jelas dan menyebar yang berkaitan dengan perasaan
tidak pasti dan tidak berdaya.6 Kecemasan adalah rasa tegang, khawatir dan
perasaan tidak aman yang muncul karena dirasakan menjadi sesuatu yang tidak
menyenangkan.7
Etiologi (penyebab) kecemasan: 1) Genetik: gangguan kecemasan 60%
lebih tinggi terjadi pada perempuan dibandingkan dengan pria.8 Hormon estrogen
telah terbukti secara positif mengatur ekspresi gen corticotropin-releasing factor
(CRF) yang tidak hanya mengatur aktivitas sumbu hipotalamus pituitary adrenal
(HPA), namun juga diekspresikan dalam rangkaian otak yang terkait dengan
kegelisahan.9,10 2) Biologis: adanya pelepasan epinefrin dari adrenal melalui
mekanisme ancaman yang dipersepsi oleh panca indera, kemudian diteruskan ke
corteks serebri, selanjutnya ke sistem limbik dan Reticual Activating System
(RAS), kemudian ke hipotalamus dan hipolis, selanjutnya kelenjar adrenal
mensekresikan katekolami, sehingga terjadilah stimulasi saraf otonom. Adanya
hiperaktifitas sistem saraf otonom akan menyebabkan gejala tertentu seperti
takikardi (detak jantung cepat), diare, nyeri kepala dan nafas cepat.11
3) Psikologis: mengenai persepsi bahwa berbagai kejadian mungkin tidak dapat
kita kontrol atau kendalikan, keyakinan yang dipenuhi bahaya, dapat membuat
kita menjadi sangat rentan terhadap kecemasan di kehidupan selanjutnya atau
yang akan datang.12 4) Sosial: seperti perkawinan, perceraian, masalah di tempat
kerja, kematian orang yang dicintai, mengalami cedera atau penyakit fisik dan
tekanan sosial tentang keberlangsung hidup karena keterbatasan ekonomi. 13
2. Depresi
Depresi adalah suatu kondisi kesehatan emosional yang ditandai dengan
kesedihan yang berlebih, perasaan bersalah dan tidak berarti, menarik diri dari
orang lain, kehilangan nafsu makan, penurunan hasrat seksual, gangguan tidur,
penurunan konsentrasi dan kehilangan minat terhadap kesenangan dalam
aktivitas yang biasa dilakukan.4,14
Etiologi (penyebab) depresi: 1) Genetik: sebanyak 29% depresi terjadi
pada laki-laki dan sebanyak 42% depresi terjadi pada perempuan. 15 2) Biologis:
neurotransmitter yang sering dihubungan dengan depresi adalah serotonin.
Serotonin berfungsi mengatur inhibisi (hambatan) perilaku seperti mengatur nafsu
makan, irama sirkadian, agresi dan mood.16 Norepinefrin adalah neurotransmitter
yang berperan terhadap respon stres.17 Difungsi dari reseptor norepinefrin dapat
menyebabkan terjadinya depresi dan penurunan respon sebagai
antidepresan.16,18 Dopamin juga merupakan neurotransmitter sebagai mediator
utama dalam rasa senang dengan stimulasi pada nucleus accumbens. Pada
pasien dengan depresi berat terjadi penurunan atau pengurangan kadar
dopamin.19 3) Psikososial: seperti pola asuh atau abainya orang tua berdampak
terhadap kemungkinan timbulnya depresi di waktu dewasa, yang sebagian
disebabkan oleh faktor sosial dan peristiwa kehidupan yang penuh tekanan.
Pengalaman di waktu kecil tentang penganiayaan anak-anak, misalnya pelecehan
seksual, fisik, kelalaian dan emosional, telah menunjukkan hubungan yang jelas
dengan tingkat depresi yang lebih tinggi pada orang dewasa. 20 Status sosial
ekonomi memiliki keterkaitan terhadap gangguan kejiwaan. Status individu kelas
bawah atau individu dengan pendapatan ekonomi kelas bawah (dengan berbagai
definisi) menunjukkan bahwa tingkat gangguan jiwa yang lebih tinggi.13 4) Gaya
Hidup: gangguan depresi mayor memiliki tingkat ketergantungan nikotin, alkohol
dan obat yang lebih tinggi.21,22 Orang-orang dengan kecemasan dan/atau
gangguan depresi memiliki partisipasi olahraga dan aktivitas fisik yang lebih
rendah dibandingkan dengan kontrol yang sehat.23
Kasus Gangguan Mental di Indonesia
Data gangguan mental emosional di Indonesia tahun 2013 pada penduduk
umur ≥15 tahun sebesar 6%, terjadi peningkatan pada tahun 2018 sebesar 9,8%,
pada laki-laki sebesar 7,6% dan tertinggi pada perempuan sebesar 12,1%.
Sedangkan data nasional untuk depresi tahun 2018 pada penduduk umur ≥15 tahun
sebesar 6,1%. Penderita depresi yang tidak minum obat atau tidak menjalani
pengobatan medis sebesar 91%.24,25
Antara Pengobatan Farmakologi dan Non Farmakologi dalam Mengatasi
Gangguan Mental
Pengobatan farmakologi adalah penanganan penyakit melalui penggunaan
obat-obatan. Penggunaan obat-obatan antidepresan atau terapi farmakologis dapat
mengobati gangguan kecemasan dan depresi, namun efek samping terapi yang tidak
diinginkan sering muncul, seperti gangguan tidur, peningkatan berat badan, sedasi,
apatis, kelelahan, gangguan kognitif dan disfungsi seksual.26,27
Pengobatan non farmakologi adalah penanganan penyakit tanpa melalui
penggunaan obat-obatan, melainkan melalui cara-cara yang alamiah. Pengobatan
atau terapi non farmakologis (seperti perilaku mengonsumsi sayur dan buah serta
olahraga atau latihan fisik) bisa menjadi pilihan alternatif pengobatan dalam upaya
preventif, kuratif, ataupun rehabilitatif yang murah dan tidak memiliki efek samping
dalam jangka panjang untuk memperbaiki derajat intensitas kecemasan dan depresi.
Seseorang yang sering mengonsumsi sayuran dan buah-buahan memiliki
kemungkinan lebih rendah mengalami gangguan kecemasan dan depresi. 28 Olahraga
atau latihan fisik dapat menjadi penyembuh untuk berbagai gejala kejiwaan, dapat
mengurangi kekhawatiran, depresi, keletihan dan kebingungan. 29
Potensi Sayur dan Buah dalam Mengendalikan Kecemasan dan Depresi
Salah satu alternatif mengatasi kecemasan dan depresi yaitu dengan
mengonsumsi sayuran yang mengandung senyawa berefek ansiolitik (anti
kecemasan) seperti kuersetin (flavonoid), misalnya Kangkung.30 Kandungan senyawa
flavonoid pada kangkung sebagai ansiolitik dan sedatif (penenang) telah digunakan
untuk menghasilkan obat depresi dengan aktivitas di sistem saraf pusat, melibatkan
penghambat sistem GABAergic.31 Kandungan zat gizi pada sayur kangkung seperti
karbohidrat, vitamin B dan C, kalsium, zink, Fe, kalium dan natrium, flavonoid, alkaloid
dan steroid memiliki manfaat fisiologis dalam metabolisme beberapa hormon di otak
seperti BDNF, GABA, serotonin, dopamin dan norepinefrin yang berkaitan dengan
gangguan kecemasan dan depresi.32-34 Sebuah riset terbaru menyatakan bahwa
setelah 14 hari intervensi dengan pemberian sayur kangkung darat sebanyak 125
gram (diberikan 2 porsi sehari/total 250 gram selama 14 hari), terjadi penurunan skor
intensitas depresi dan kecemasan pada remaja laki-laki.35
Buah-buahan dianggap sebagai komponen penting dari diet sehat yang rendah
energi, kaya akan vitamin, mineral dan senyawa bioaktif dengan efek potensial untuk
otak dan kesehatan secara keseluruhan.36 Pada buah pisang memiliki kandungan gizi
yang potensial untuk otak terutama berkaitan dengan kecemasan dan depresi.
Kandungan antioksidan pada buah pisang seperti vitamin A, C dan E dapat
mencegah sitotoksisitas (rusaknya zat pada sel) yang dihasilkan dari radikal bebas
karena meningkatnya stres oksidatif.37 Sebuah riset terbaru menyatakan bahwa
setelah 14 hari intervensi dengan pemberian buah pisang ambon kuning sebanyak
130 gram (diberikan 2 kali dalam sehari selama 14 hari), terjadi penurunan skor
intensitas depresi dan kecemasan pada remaja perempuan.38
Namun di Indonesia sendiri, konsumsi sayur dan buah masih sangat rendah.
Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) pada tahun 2018 melaporkan bahwa data
konsumsi buah/sayur kurang pada penduduk umur ≥5 tahun sebesar 95,5%.25
Potensi Latihan Fisik atau Olahraga dalam Mengendalikan Kecemasan dan
Depresi
Latihan fisik atau olahraga dapat menjadi penyembuh untuk berbagai gejala
kejiwaan, dapat mengurangi kekhawatiran, depresi, keletihan dan kebingungan. 29
Latihan fisik adalah semua bentuk aktivitas fisik yang di lakukan secara terstruktur dan
terencana dengan untuk meningkatkan kesegeran jasmani. Beberapa latihan fisik
yang dapat dilakukan antar lain berjalan kaki, yoga, berenang dan bersepeda.39
Olahraga renang dapat mengatasi masalah psikis misalnya, stres, depresi dan
meningkatkan kemampuan otak (intelegential).40 Terapi berenang memiliki faktor
yang bersifat psikologis berupa rekreasi dan hiburan sehingga tidak merasa jenuh dan
bosan, sehingga membuat orang tetap rileks serta badanpun tetap fit. 41,42 Berenang
dapat melepaskan dan meningkatkan sekresi hormon kortisol yang menimbulkan rasa
“kegembiraan” bagi seseorang, dapat menyebabkan efek sopartifik (efek ingin tidur)
dan menghilangkan stres, serta menimbulkan relaksasi.43-45 Sebuah riset terbaru
menyatakan bahwa setelah 14 hari intervensi dengan pemberian olahraga renang
sebanyak 2 kali per pekan selama 2 pekan (kedalaman kolam 120 cm dan durasi
renang selama 60 menit per latihan), terjadi penurunan skor intensitas depresi dan
kecemasan pada remaja laki-laki.35
Berjalan kaki selama 40 menit per hari dalam 3 hari seminggu selama 12
minggu mampu menurunkan tingkat kecemasan dan depresi pada pasien kanker paru
(Chen et al., 2015).46 Sebuah riset terbaru menyatakan bahwa setelah 14 hari
intervensi dengan pemberian olahraga berjalan kaki sebanyak 3 kali per pekan
dengan jarak tempuh 1.6 km dengan waktu tempuh 23 menit dan kecepatan 3.8 kmh
setiap 1 kali olahraga berjalan kaki dengan bantuan alat treadmil precor USA 956i di
tempat pusat kebugaran selama 2 pekan, terjadi penurunan skor intensitas depresi
dan kecemasan pada remaja perempuan.38
Namun di Indonesia sendiri, aktivitas fisik masih sangat rendah. Hasil
Riskesdas pada tahun 2018 melaporkan bahwa data aktivitas fisik kurang pada
penduduk umur ≥10 tahun sebesar 33,5%.25
Kesimpulan
Pengobatan atau terapi non farmakologis (seperti perilaku mengonsumsi sayur
dan buah serta olahraga atau latihan fisik) bisa menjadi pilihan alternatif pengobatan
dalam upaya preventif, kuratif, ataupun rehabilitatif yang murah dan tidak memiliki efek
samping dalam jangka panjang untuk memperbaiki derajat intensitas kecemasan dan
depresi.
Sumber:
1. Prince M., Patel V. dan Saxena S. 2007. No health without mental health. Lancet, 370: 859877.
2. Dewi K. S. 2012. Buku Ajar Kesehatan Mental. Semarang: Lembaga Pengembangan dan
Penjaminan Mutu Pendidikan Universitas Diponegoro.
3. Angraini D. I. 2014. Hubungan Depresi dengan Status Gizi. Medula, 2(2): 39-46.
4. World Health Organization. 2017. The Global Burden of Disease: 2004 Update. Geneva: WHO.
5. Isnaini N. S. N. dan Rini L. 2015. Kecemasan pada Pengangguran Terdidik Lulusan
Universitas. Jurnal indigenous, 13(1): pp. 41.
6. Dariah E. D. dan Okatiranti. 2015. Hubungan Kecemasan dengan Kualitas Tidur Lansia Di
Posbindu Anyelir Kecamatan Cisarua Kabupaten Bandung Barat. Jurnal Ilmu Keperawatan,
3(2): pp. 88.
7. Maramis W. F dan Marmis A. A. 2009. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Edisi 2. Surabaya:
Airlangga University Press.
8. McLean C. P dan Anderson E. R. 2009. Brave men and timid women? A review of the gender
differences in fear and anxiety. Clinical Psychology Review, 29: 496-505.
9. Valentino R. J., Reyes B., Van Bockstaele E., et al. 2012. Molecular and cellular sex differences
at the intersection of stress and arousal. Neuropharmacology, 62: 13-20.
10. Sink K. S., Walker D. L., Freeman S. M., et al. 2013. Effects of continuously enhanced
corticotropin releasing factor expression within the bed nucleus of the stria terminalis on
conditioned and unconditioned anxiety. Molecular Psychiatry, 18: 308-319.
11. Mudjaddid E. 2006. Pemahaman dan penangangan psikosomatik gangguan anxietas dan
depresi dalam ilmu penyakit dalam, edisi IV jilid 2. Jakarta: FKUI.
12. Durand V. M. dan Barlow D. H. 2006. Psikologi Abnormal. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
13. Kosidou K., Dalman C., Lundberg M., et al. 2011. Socioeconomic status and risk of
psychological distress and depression in the Stockholm Public Health Cohort: A populationbased study. Journal of affective disorders, 134: 160-167.
14. Davison G. C., Neale J. M. dan Kring A. M. 2006. Psikologi Abnormal (9th ed). Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada.
15. Kendler K. S., Gardner C. O. dan Lichtenstein P. 2008. A developmental twin study of
symptoms of anxiety and depression: evidence for genetic innovation and attenuation.
Psychological Medicine, 38: 1567-1575.
16. Hecimovic H. 2012. Neurobiological aspects of depression: How do they affect neurologic
disorders? Depression in neurologic disorder: Diagnosis and Managemen 1st ed. Oxford:
Blackwell Publishing Ltd.
17. Thase M. E. 2009. Molecules That Mediate Mood. New England Journal of Medicine, 357:
2400-2402.
18. Sadock B. J., Sadock V. A. dan Raiz P. 2015. Kaplan dan Sadock’ synopsis of psychiatry 11th
ed. Philidelphia: Wolters Kluwer.
19. Gold P. W., Machado-Viera dan Pavlatou M. G. 2015. Clinical and biochemical manifestations
of depression: Relation to the neurobiology of stress. Neural Plasticity, 7-9.
20. Brown G. W., Craig T. K. dan Harris T. O. 2008. Parental maltreatment and proximal risk factors
using the Childhood Experience of Care and Abuse (CECA) instrument: a life-course study of
adult chronic depression - 5. Journal of Affective Disorders, 110: 222-233.
21. Levanthal A. M., Kahler C. W., Ray L. A., et al. 2008. Anhedonia and a motivation in psychiatric
outpatients with fully remited stimulant use disorders. The American Journal on Addictions, 17:
218-223.
22. Mason W. A., Kosterman R., Haggerty K. P., et al. 2008. Dimensions of Adolescent Alcohol
Involvement as Predictors of Young-Adult Major Depression. Journal Studies on Alcoho and
Drugs, 69: 275-285.
23. Hiles S. A., Lamers F., Milaneschi Y., et al. 2017. Sit, step, sweat: longitudinal associations
between physical activity patterns, anxiety and depression. Psycological Medicine, 1-12.
24. Riskesdas. 2013. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013. Jakarta: Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia.
25. Riskesdas. 2018. Hasil Utama Riskesdas 2018. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia.
26. Morehouse R., MacQueen G. dan Kennedy S. H. 2011. Barriers to achieving treatment goals:
a focus on sleep disturbance and sexual dysfunction. Journal Affective Disorders, 132: 14-20.
27. Kennedy S. H. 2006. A review of antidepressant treatments today. European
neuropsychopharmacology, 16: S619-S623.
28. Akbaraly T. N., Brunner E. J., Ferrie J. E., et al. 2009. Dietary pattern and depressive symptoms
in middle age. The British Journal of Psychiatry, 195: 408-413.
29. Agustin D. dan Ulliya S. 2008. Perbedaan tingkat Depresi pada Lansia sebelum dan sesudah
dilakukan Senam Bugar Lansia di Panti Wredha Wening Wardoyo Ungaran. Media Ners, 2(1):
37-44.
30. Rahangga D. G. O., Hair L., Sasmita W. O. I., et al. 2018. Efek Ansiolitik Ekstrak Etanol
Kangkung Air (Ipomea aquatica) dalam Mengurangi Perasaan Cemas. Pharmauho, 4(1): 3438.
31. Hernandez E. A. M., Eva G. T., Teresa T., et al. 2016. Anxiolytic and sedative-like effects of
flavonoids from Tilia americana var. Mexicana: GABAergic and serotonergic participation. Salut
Mental, 39(1): pp. 44.
32. Scapagnini G., Davinelli S., Drago F., et al. 2012. Antioxidants as antidepressants: fact or
fiction? CNS Drugs, 26(6): 477-490.
33. Mlyniec K., Davies C. L., Sanchez I. G. D. A., et al. 2014. Essential elements in depression and
anxiety. Part I. Pharmacological Reports, 60: 11.
34. Setiawan I., Evacuasiany E., dan Suherman J. 2012. Efek Hipnotik Ekstrak Etanol Kangkung
(Ipomoea aquatica Forsk.) Pada Mencit Swiss Webster Jantan yang Diinduksi Fenobarbital.
Jurnal Medika Planta, 2(1): 93-100.
35. Yudistira S. 2019. Pengaruh Asupan Sayur Kangkung dan Olahraga Renang terhadap
Intensitas Kecemasan dan Depresi pada Remaja Laki-laki. Tesis. Surakarta: Universitas
Sebelas Maret.
36. Biswajit G., O’Leary D. P., dan Ghosh S. 2017. Association between depression and fruit and
vegetable consumption among adults in South Asia. BMC Psychiatry, 17: 15.
37. Parletta N., Milte C. M., dan Meyer B. J. 2013. Nutrition modulation of cognitive function and
mental health. Journal of Nutritinal Biochemistry, 24: 725-743.
38. Putra E. S. 2018. Pengaruh Asupan Buah Pisang dan Latihan Fisik terhadap Intensitas
Kecemasan dan Depresi pada Remaja Putri. Tesis. Surakarta: Universitas Sebelas Maret.
39. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2014. Pedoman Gizi Seimbang. Jakarta:
Kementerian Kesehatan RI.
40. Susanto E. 2008. Olahraga Renang sebagai Hidrotherapy dalam Mengatasi Masalah-Masalah
Kesehatan. Jurnal Ilmiah Kesehatan Olahraga Medikora, 4(2): 50-74.
41. Chaiton L. 2002. Terapi Air untuk Kesehatan dan Kecantikan. Jakarta: Prestasi Pustaka
Publisher.
42. Susanto E. 2010. Manfaat Olahraga Renang bagi Lanjut Usia. Jurnal Ilmiah Kesehatan
Olahraga Medikora, 6(1): 53-64.
43. Amirta Y. 2007. Sehat Murah dengan Air. Jakarta: Keluarga Dokter.
44. Ningrum D. A. 2012. Perbandingan Metode Hydrotherapy Massage dan Massage Manual
terhadap Pemulihan Kelelahan Pasca Olahraga Anaerobic Lactacid. Bandung: Repository UPI
Edu.
45. Ebben M. R. dan Spielman A. J. 2006. The Effect of Distal Limb Warming on Sleep Latency.
USA: Lawrence Erlbaum Associaties.
46. Chen H. M., Tsai C. M., Wu Y. C., et al. 2015. Randomised controlled trial on the effectiveness
of home-based walking exercise on anxiety, depression and cancer-related symptoms in
patients with lung cancer. British Journal of Cancer, 112: 238-445.
Download