Uploaded by rozaqfebrian04

MAKALAH METODOLOGI STUDI FIQIH

advertisement
MAKALAH
HUKUM-HUKUM SYAR’IYYAH II
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Metodologi Studi Fiqih
Dosen Pengampu : Muhammad Bahauddin, S.Hum, M.Pd
Disusun Oleh Kelompok 7 :
1. Muhammad Riza Afthoni
(2011010044)
2. Ika Ariyani Mualifah
(2011010045)
3. Ab Rozak Febriansyah
(2011010046)
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
FAKULTAS TARBIYAH
PROGRAM STUDI BIMBINGAN & KONSELING PENDIDIKAN ISLAM
TAHUN 2020
1
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
hidayah-Nya
sehingga
saya
dapat
menyelesaikan tugas
makalah
yang
berjudul Hukum-Hukum Syar’iyah II ini tepat pada waktunya.
Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi
tugas Muhammad Bahauddin, S.Hum, M.Pd. Pada Mata Kuliah Metodologi Studi
Fiqih. Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan
tentang Hukum-Hukum Syar’iyah II bagi para pembaca dan juga bagi penulis.
Saya mengucapkan terima kasih kepada Muhammad Bahauddin, S.Hum,
M.Pd. Selaku Dosen Mata Kuliah Metodologi Studi Fiqih. Yang telah
memberikan tugas ini sehingga dapat menambah pengetahuan dan wawasan
sesuai dengan bidang studi yang saya tekuni.
Saya juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membagi sebagian pengetahuannya sehingga saya dapat menyelesaikan makalah
ini.
Saya menyadari, makalah yang saya tulis ini masih jauh dari kata
sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun akan saya nantikan
demi kesempurnaan makalah ini.
Kudus, 27 September 2020
2
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ................................................................................... 1
KATA PENGANTAR ................................................................................. 2
DAFTAR ISI ................................................................................................ 3
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................ 4
A. Latar Belakang ................................................................................ 4
B. Rumusan Masalah ........................................................................... 4
C. Tujuan Penulisan ............................................................................. 4
BAB II PEMBAHASAN ............................................................................. 5
A. Pengertian Hukum Wadh’i ............................................................. 5
B. Macam-Macam Hukum Wadh’i ..................................................... 6
C. Pengertian Mahkum Fih ................................................................ 12
D. Pengertian Mahkum Alaih ............................................................ 15
BAB III PENUTUP ................................................................................... 19
A. Kesimpulan ................................................................................... 19
B. Saran ............................................................................................. 19
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 21
3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sebagaimana kita ketahui bahwa dalam kehidupan sehari-hari tidak
dapat terlepas dari aturan dan norma-norma yang berlaku menurut hukum
syara’.
Hukum syara’ itu ada dua macam yaitu hukum syara’ yang
berhubungan dengan perbuatan mukallaf yang mengandung tuntutan dan
kebolehan yang dinamakan “hukum taklifi” dan yang berhubungan dengan
perbuatan mukallaf yang mengandung persyaratan, sebab atau mani’
dinamakan ‘hukum wadh’i”.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian Hukum wadh’i?
2. Apa macam-macam hukum wadh’i ?
3. Apa pengertian Mahkum Fih ?
4. Apa pengertian Mahkum Alaih ?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui pengertian Hukum wadh’i
2. Untuk mengetahui macam-macam hukum wadh’i
3. Untuk mengetahui pengertian Mahkum Fih
4. Untuk mengetahui pengertian Mahkum Alaih
4
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Hukum Wadh’i
Hukum wadh’i adalah hukum yang bertujuan menjadikan sesuatu
adalah sebab untuk sesuatu atau syarat baginya atau penghalang terhadap
sesuatu. 1
Bila firman Allah menunjukkan atas kaitan sesuatu dengan hukum
taklifi, baik bersifat sebagai sebab, atau syarat, atau penghalang maka ia
disebut hukum wadh’i. Di dalam ilmu hukum Ia disebut pertimbangan
hukum. 2
Adapun contohnya yaitu :
1. Firman Allah yang menjadikan sesuatu sebagai sebab:
)6:‫(المائدة‬....‫ق‬
َّ ‫ َيآاَيُّ َهاالَّ ِذيْنَ ا َمنُ ْوآاِذَا قُ ْمت ُ ْم اِلَى ال‬.
ِ ِ‫صلو ِة فَا ْغ ِسلُ ْوا ُو ُج ْو َه ُك ْم َوا َ ْي ِد َي ُك ْم اِلَى ْال َم َراف‬
Artinya :”Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu berdiri
untuk mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu
sampai kepada suku.”(QS. Al-Ma’idah:6).
Ayat di atas dapat dipahami bahwa mendirikan shalat menjadi
sebab untuk mewajibkan wudhu atau menjadikan sesuatu adalah sebab
terhadap sesuatu. 3
2. Firman Allah yang menjadikan sesuatu sebagai syarat:
)‫ى َعدْ ٍل(روه احمد‬
ْ َ‫ََل نِكَا َح ا ََِّل بِ َو ِلي ٍ َوشَا ِهد‬
Artinya :”Tidak syah nikah kecuali dengan wali dan dua orang saksi
yang adil.” (HR. Ahmad)
Dua orang saksi menjadi syarat untuk sahnya pernikahan itulah yang
dimaksud dengan menentukan sesuatu menjadi sahnya sesuatu. 4
A. Syafi’i Karim, FIQIH USHUL FIQIH, Cet.I, (Bandung:Pustaka Setia, 1997)
hlm. 107
2
Rachmat Syafe’i, Ilmu USHUL FIQIH, Cet.IV, (Bandung: Pustaka Setia, 2010)
1
hlm. 312
A. Syafi’i Karim, FIQIH USHUL FIQIH, Cet.I, (Bandung:Pustaka Setia, 1997)
hlm. 107
4
Ibid, hlm.108
3
5
3. Contoh mani’ atau penghalang seperti tercantum dalam hadist yang
berbunyi :
)‫ش ْيء (رواه النسائ والدا رقطنى‬
َ ‫ث‬
ِ ‫المي َْرا‬
ِ َ‫ْس ِل ْلقَاتِ ِل ِمن‬
َ ‫لَي‬
Artinya:”Tidak sedikitpun bagian orang yang membunuh dari harta
warisan (yang terbunuh)”. (HR. Nasa’i dan Daraquthi dari Amrin bin
Suaib dari ayahnya dan dari anaknya).
Hadist tersebut menunjukkan bahwa membunuh sebagai penghalang untuk
mendapatkan warisan. 5
B. Macam-Macam Hukum Wadh’i
Para ulama fiqih menyatakan bahwa hukum wadh’i itu ada lima macam,
yaitu :
1. Sebab
a. Pengertian Sebab
Sebab menurut bahasa adalah sesuatu
yang dapat
menyampaikan kepada sesuatu yang lain. 6
Sedangkan menurut istilah adalah sesuatu yang dijadikan
oleh syar’i sebagai tanda atas musababnya dan mengkaitkan
keberadaan musabab, dengan ketiadaannya. 7
Hukum syara’ kadang-kadang diketahui melalui tanda yang
menunjukkan
bahwa
perbuatan
mukallaf. Misalnya: Perbuatan
zina
itu
menjadi
menyebabkan
kewajiban
seseorang
dikenai hukuman dera 100 kali, tergelincirnya matahari menjadi
sebab wajibnya sholat dhuhur, dan terbenamnya matahari menjadi
sebab wajibnya shalat magrib. Apabila perzinaan tidak dilakukan,
maka hukuman dera tidak dikenakan. Apabila matahari belum
tergelincir, maka shalat dhuhur belum wajib. Dan apabila matahari
belum terbenam, maka shalat mahgrib belum wajib. 8
Rachmat Syafe’i, Ilmu USHUL FIQIH, Cet.IV, (Bandung: Pustaka Setia, 2010)
hlm. 313
6
Dikutip oleh Abd. Rahman Dahlan dari kitab al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam juz III,
Al-Amidi, hlm.89
7
Abdul Wahab Khallaf, Ilmu USHUL FIQIH, Terj. Moh. Zuhri, cet. I, (Semarang:
Dina Utama, 1994) hlm. 171
8
Nasrun Haroen, USHUL FIQH 1, Cet.I, (Jakarta: Logos,1996), hlm.260
5
6
Dengan demikian terlihat hukum wadh’i dalam hal ini
adalah sebab, dengan hukum taklifi, keberadaan hukum wadh’i
itu tidak menyentuh esensi hukum taklifi. Hukum wadh’I hanya
sebagai petunjuk atau indikator untuk pelaksanaan hukum taklifi.
Akan tetapi, para ulama’ ushul fiqih menetapkan bahwa sebab itu
harus muncul dari nash, bukan buatan manusia.
b. Pembagian sebab
Secara garis besar sebab ada dua macam, yaitu:
1) Sebab yang tidak termasuk perbuatan mukallaf.
Seperti dalam contoh tibanya waktu shalat dan menimbulkan
wajibnya shalat. 9 Dalam firman Allah SWT.:
َّ ‫ص َل ة َ ِلدُلُ ْو ِك ال‬
...‫ش ْم ِس‬
َّ ‫ا َ ِق ِم ال‬
Artinya:”
dirikanlah
shalat
dari
sesudah
matahari
tergelincir….( Q.S. Al-isra’ : 78 )
2) Sebab yang berasal dari perbuatan mukallaf.
Seperti pembunuhan yang dilakukan dengan sengaja yang
menyebabkan adanya qishas. Dalam firman Allah SWT. :
.....‫اص ِفى القَتْلَى‬
ُ ‫ص‬
َ ‫َيآ أ َ ُّي َهاالَّ ِذيْنَ َءا َمنُ ْوا ُك ِت‬
َ ‫ب َعلَ ْي ُك ْم ْال ِث‬
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas
kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang
dibunuhHai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas
kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang
dibunuh….”( al-Baqarah:178)
2. Syarat
a. Pengertian syarat
Syarat ialah sesuatu yang berada di luar hukum syara’,
tetapi keberadaannya hukum syara’ bergantung kepadanya.
Apabila syarat tidak ada, hukum pun tidak ada, tetapi, adanya
syarat tidak mengharuskan adanya hukum syara’. 10
9
Abdul Wahab Khallaf, Ilmu USHUL FIQIH, Terj. Moh. Zuhri, cet. I, (Semarang:
Dina Utama, 1994) hlm. 171
Rachmat Syafe’i, Ilmu USHUL FIQIH, Cet.IV, (Bandung: Pustaka Setia, 2010)
hlm. 313
10
7
Misalnya: Wudlu adalah salah satu syarat sahnya shalat.
Sholat tidak dapat dilaksanakan, tanpa berwudlu terlebuh dahulu.
Akan tetapi
apabila seseorang berwudlu, ia tidak harus
melaksanakan shalat.
b. Pembagian syarat
Para ulama’ memberi uraian tentang pembagian syarat dengan
berbagai tinjauan, akan tetapi yang terpenting ialah bahwa ditunjau
dari segi penetapannya sebagai hukum syara’, syarat dibagi
menjadi dua bagian yaitu :
1) Syarat Asy-syar’iyyah
Ialah syarat yang menyempurnakan sebab dan menjadikan
efeknya yang timbul padanya yang ditentukan oleh syara’. 11
Misalnya: akad nikah dijadikan syarat halalnya pergaulan
suami istri namun agar akad nikah itu sah disyaratkan dihadiri
oleh dua orang saksi. Dengan demikian apabila akad atau
tindakan hukum tidak akan menimbulkan efekya kecuali
apabila syarat-syaratnya telah terpenuhi. 12
2) Syarat Al-Ja’liyyah
Ialah syarat yang menyempurnakan sebab dan menjadikan
efeknya
yang
timbul
padanya
yang
ditentukan
oleh
mukallaf. Contohnya , seorang suami yang menjatuhkan talak
kepada istrinya dengan mengatakan: “ jika engkau mengulangi
perkataan dusta itu, maka talakmu jatuh satu”. Dengan
demikian talak tidak akan menimbulkan efeknya kecuali tidak
terpenuhi syarat talak.
3. Ash-Shihah, Al-Buthlan dan Al-Fasad
a. Pengertian Ash-Shihah, Al-Buthlan dan Al-Fasad
11
Abdul Wahab Khallaf, Ilmu USHUL FIQIH, Terj. Moh. Zuhri, cet. I,
(Semarang: Dina Utama, 1994) hlm. 173
12
Ibid, hlm. 173
8
1) Ash-Shihah secara bahasa Sah atau Shihah (‫ ) الصححة‬atau shahih
( ‫ ) الصحيح‬lawan dari ( ‫ ) المريضة‬yang artinya sakit. Secara istilah,
para ahli ushul fiqih merumuskan definisi sah dengan : 13
ْ ‫ت ََرتُّبُ ثَ ْم َرتِ ِه ْال َم‬
ُ ‫ش ْر‬
َّ ‫ار ال‬
َّ ‫سبَبُ َوت ََوفَّ َر ال‬
‫ش ْر‬
ِ ‫ط َوا ْنتَفَى ال َمانِ ُع ت ََرت َّ َب‬
َّ ‫ص َل ال‬
ُ َ‫ت اْآلث‬
َ ‫ فَإِذَا َح‬.‫طلُ ْوبَ ِة ِم ْنهُ ش َْرعًا َعلَ ْي ِه‬
‫ِعيْةة ُ َعلَى ال ِف ْع ِل‬
“ Tercapainya sesuatu yang diharapkan secara syara’,
apabila sebabnya ada, syarat terpenuhi, halangan tidak ada, dan
berhasil memenuhi kehendak syara’ pada perbuatan itu.
Maksudnya, sesuatu perbuatan dikatakan sah apabila
terpenuhi sebab dan syaratnya, tidak ada halangan dalam
melaksanakannya, serta apa yang diinginkan syara’ dari perbuatan
itu berhasil dicapai. Misalnya: seseorang melaksanakan shalat
dengan memenuhi rukun, syarat, dan sebab, serta orang yang shalat
itu terhindar dari mani’ atau terhalang. Apabila shalat dhuhur akan
dilakdanakan, sebab wajibnya shalat itu telah ada yaitu matahari
telah tergelincir, orang yang akan shalat itu telah berwudlu, dan
tidak ada mani’ dalam mengerjakan shalat tersebut maka shalat
yang dikerjakan tersebut sah. 14
2) Al-Bathl secara etimologi batal yang dalam bahasa arabnya albuthlan ( ‫ ) البطلن‬yang berarti rusak dan gugur hukumnya. Secara
terminologi
menurut
Mushthafa
Ahmad
al-Zarqa’,
yang
mengatakan batal adalah : 15
َ َ‫ار ِه فِى ن‬
َّ ‫ف ال‬
‫ع‬
ِ ‫تر‬
ُّ ‫ص‬
َ ‫ش ْر ِعي ِ َع ْن اِ ْعت َ َب‬
َ َّ ‫ت َ َج ُّزد ُ الت‬
ِ َ ‫ار ِه َوآث‬
ِ ‫ظ ِر ال ٍش ْر‬
“ Tindakan hukum yang bersifat syar’i terlepas dari
sasarannya, menurut pandangan syara’.”
Maksudnya, tindakan hukum yang bersifat syar’i tidak
memenuhui ketentuan yang ditetapkan oleh syara’, sehingga apa
yang dikehendaki syara’ dari perbuatan tersebut lepas sama sekali
(tidak tercapai). Misalnya suatu perbuatan tidak memenuhi rukun
13
14
Ibid, hlm.270
Ibid, hlm.27
15
Dikutip oleh Nasrun Haroen dari kitab al Makhal al-Fiqhi al-‘Am jilid I,
Mushthafa Ahmad al-Zarqa, hlm.687
9
atau tidak memenuhi syarat, atau suatu perbuatan dilaksanakan
ketika ada mani’ (penghalang). Perbuatan seperti itu dalam
pandangan syara’ tidak sah (bathl). Misalnya, dalam persoalan
ibadah yaitu orang yang melaksanakan ibadah sholat harus
memenuhi rukun dan syaratnya, apabila ada penghalang seperti
haid atau nifas maka sholatnya tidak sah atau batal.
Sedangkan dalam bidang muamalah, misalnya dalam
transaksi jual beli apabila yang melakukannya adalah orang yang
belum atau tidak cakap bertindak hukum (seperti anak kecil atau
orang gila) maka hukum jual beli tersebut tidak sah.
Dengan demikian baik dalam bidang ibadah maupun dalam
bidang muamalah, keabsahan suatu perbuatan ditentukan oleh
terpenuhi atau tidaknya rukun, syarat, dan penyebab perbuatan itu,
dan tidak mani’ untuk melaksanakan perbuatan itu. Tetapi apabila
perbuatan itu tidak memenuhi syarat, rukun, dan sebabnya belum
ada, atau ada mani’, maka perbuatan itu menjadi batal. 16
Disamping istilah sah dan batal, dalam fiqih islam juga
dikenal dengan istilah fasad, yang posisinya diantara sah dan batal.
3) Al-Fasad Secara etimologi, fasad (‫ ) الفساد‬berarti ”perubahan
sesuatu dari keadaan yang semestinya (sehat).” Dalam bahasa
indonesia berarti “rusak”. Dalam pengertian terminologi menurut
jumhur ulama bahwa antara batal dan fasad mengandung esensi
yang sama, yang berakibat kepada tidak sahnya perbuatan itu.
Apabila sesuatu perbuatan tidak memenuhi syarat, rukun, dan tidak
ada sebabnya, atau ada mani’ terhadap perbuatan tersebut, maka
perbuatan itu disebut fasad atau batal. 17
Menurut ulama Hanafiyyah juga mengemukakan hukum
lain yang berdekatan dengan batal, yaitu fasad. Menurut mereka
fasad adalah “terjadinya suatu kerusakan dalam unsur-unsur akad.”
Artinya, akad itu pada dasarnya adalah sah, tetapi sifat akad itu
tidak sah. Misalnya, melakukan jual beli ketika panggilan shalat
16
17
Nasrun Haroen, USHUL FIQH 1, Cet.I, (Jakarta:Logos, 1996), hlm.273
Ibid, hlm.273
10
jum’at berkumandang. Jual beli dan shalat jum’at sama-sama
memiliki dasar hukum. Akan tetapi jual beli itu dilaksanakan pada
waktu yang sifatnya terlarang untuk melakukan jual beli, maka
hukumnya menjadi fasad atau rusak. 18
4) ‘Azimah dan Rukhshah
‘Azimah adalah hukum-hukum yang disyari’atkan oleh
Allah kepada seluruh hambanya sejak semula. Maksudnya belum
ada hukum sebelum hukum itu disyari’atkan oleh Allah. Misalnya,
jumlah shalat dhuhur adalah empat reka’at. Jumlah reka’at ini
ditetapkan Allah sejak semula, dimana tidak ada hukum lain yang
menetapkan jumlah reka’at shalat dhuhur. Hukum tentang shalat
dhuhur tersebut adalah empat reka’at, disebut dengan ‘Azimah. 19
Adapun yang dimaksud al-Rukhshah sebagian ulama’ ushul
fiqih ialah : 20
ُ ‫َما‬
‫صة‬
ِ ‫ع ِمنَ األَحْ ك َِام ِل ْلت َْخ ِفي‬
َ ‫ش ِر‬
َ ‫ْف َع ِن ال ِعبَا ِد فِي أَحْ َوا ِل خَا‬
“Hukum-hukum
yang disyari’atkan untuk keringanan bagi
mukallaf dalam keadaan tertentu.”
Adapun contonya yaitu :
a. Rukhshah untuk melakukan perbuatan yang menurut ketentuan
syari’at
yang umum
diharamkan, karena
darurat
atau
kebutuhan. Contohnya, boleh memakan daging babi jika
keadaan darurat, diman tidak terdapat makanan selain itu yang
jika tidak dimakan maka jiwa seseorang akan terancam.
Berdasarkan firman Allah : 21
....‫وقد فصا ل لكم ما حرمعليكماَل مااضطر رتماليه‬
18
Ibid, hlm.273
Rachmat Syafe’i, Ilmu USHUL FIQIH, Cet.IV, (Bandung: Pustaka Setia, 2010)
hlm. 315
20
Nasrun Haroen, USHUL FIQH, Cet.I, (Jakarta: Logos, 1996) hlm.276
19
21
Abdul Wahab Khallaf, Ilmu USHUL FIQIH, Terj. Moh. Zuhri, cet. I,
(Semarang: Dina Utama, 1994) hlm. 176
11
Artinya:…”padahal sesungguhnya Allah yelah menjelaskan
kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa
yang terpaksa kamu memakannya…” (QS. Al-An’am:119)
b. Rukhshah untuk meninggalkan yang menurut aturan syri’at
yang
umum
diwajibkan,
karena
kesulitan
melaksanakannya. Contohnya, barang siapa dalam keadaan
sakit atau berpergian pada bulan ramadhan, maka ia
diperbolehkan untuk buka puasa. Sebagaimana firman Allah :
22
‫شفَ ٍر فَ ِعدَّة ِم ْن اَي ٍَّام اُخ ََر‬
َ ‫فَ َم ْن َكانَ ِم ْن ُك ْم َم ِر ْيضًا ا َ ْو َعلى‬
Artinya: “…Maka barang siapa di antara kamu ada
yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka puasa), maka
(wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan
itu pada hari-hari yang lain…” (QS. Al- Baqarah: 184).
C. Mahkum Fiih
Mahkum Fiih adalah perbuatan-perbuatan orang mukallaf yang
dibebani suatu hukum (perbuatan hukum). 23
Para ulama ushul fiqih menyatakan bahwa yang dimaksud
dengan mahkum fih ) ‫) فِ ْي ِها َ ْل َمحْ ُك ْو ُم‬adalah objek hukum, yaitu perbuatan
orang mukallaf yang terkait dengan titah syari’ (Allah dan Rasul-Nya),
yang bersifat tuntutan mengerjakan, tuntunan meninggalkan suatu
pekerjaan, memilih suatu pekerjaan, dan bersifat syarat, sebab, halangan,
azimah, rukhshah, sah, serta batal.
Jadi, mahkum
fih itu
merupakan
hasil
perbuatan
manusia
yang mukallaf erat hubungannya atau bersangkutan dengan hukum syara’
agama Islam. Misalnya perbuatan manusia yang mukallaf berhubungan
dan berkaitan dengan aturan agama Islam, antara lain:
1. Masalah
menyempurnakan
janji
bagi mukallaf, adalah mahkum
fih, sebab bertalian dengan ijab, maka hukumnya adalah wajib.
22
23
Ibid, hlm.177
Op.cit., Hasbiyallah, hal. 41.
12
2. Menyangkut
masalah
tidak
dilaksanakan
terhadap
manusia,
adalah mahkum fih, dan bertalian dengan ketentuan Allah dalam
firman-Nya:
‫س‬
َ ‫َوَلَ ت َ ْقتُلُو النَّ ْف‬
Artinya:
“Janganlah kamu membunuh manusia.”
3. Menyangkut perbuatan manusia, mengenai mengerjakan puasa atau
tidak melaksanakan puasa pada bulan Ramadhan bagi orang yang sakit
atau orang musafir/dalam prerjalanan jauh, maka masalah itu
adalah mahkum fih, bertalian dengan masalah ibadah.
Dengan uraian-uraian di atas, jelaslah bahwa apabila diperhatikan
semua perbuatan manusia itu ada hubungannya dengan hukum syara’.
Berarti semua perbuatan manusia yang mukallaf erat kaitannya dengan
hukum syara’, dan semua itu disebut Mahkum Fih dalam hukum Islam.
Para kalangan madzab Hanafi yang berpendapat tidak akan terjadi
takhlif sebelum tercapai syarat sahnya takhlif mengemukakan alasan :
a. Kalau terjadi takhlif sebelum tercapai syarat sah takhlif berarti
takhlif tidak dapat dilaksanakan, sedangkan takhlif yang tidak
dilaksanakan adalah batal.
b. Dalam ucapan Rasulullah ketika mengangkat Muadz bin Jabal
menjadi Gubernur Yaman beliau berkata:
“Ajaklah mereka (menuturkan) syahadat bahwa tiada
Tuhan selain Allah dan aku adalah rasul Allah. Jika mereka telah
menerimanya beri tahukan kepada mereka bahwa Allah telah
mewajibkan kepada mereka shalat lima waktu sehari semalam.
Kalau mereka telah mnerimanya beri tahukan Allah mewajibkan
zakat atas harta kekayaan dari orang yang kaya untuk diserahkan
kepada yang miskin dari mereka.” (HR. Bukhari dan Muslim dari
Ibnu Abbas)
Hadits ini menunjukkan bahwa kewajiban shalat dan zakat
bergantung kepada penerimaan terhadap ajakan dan kalau mereka
tidak menerima berarti tidak wajib bagi mereka. Alasan ini
dijawab bahwa yang dimaksud menerima kewajiban shalat dan
13
zakat, tetapi kewajiban menerima iman karena tidak mungkin
menerima kewajiban tanpa menerima iman.
c. Semua ibadah orang yang kafir tidk diterima karena ibadah
memerlukan niat, sedangkan niat dari orang yang kafir tidak sah
kecuali terlebih dahulu beriman.
d. Perintah melaksanakan ibadah untuk memperoleh pahala,
sedangkan orang kafir tidak berhak menerima pahala.
e. Kalau orang yang kafir dibebankan melaksanakan shalat tentunya
mereka dikenakan hukuman di dunia sebagaimana seorang
muslim yang meninggalkan sholat.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa pendapat pertama
adalah yang terkuat dalilnya karena didukung oleh dalil Al-Quran yang
menunjukkan bahwa orang yang kafir masih dibebani ibadah. Karena itu,
mereka mendapat hukuman tambahan di akhirat yang berati kebolehan
takhlif sekalipun syarat belum tercapai seperti yang dikemukakan oleh
madzab Syafi’i.
Kalau dilihat dari segi pelaksanaan hukuman di dunia, orang yang
kafir itu tidak dituntut hukuman, tetapi hukumannya hanya di akhirat.
Keduanya dilihat dari segi pelaksanaan hukuman dunia dan akhirat hanya
berbeda tenntang hukuman akhirat.24
Telah menjadi ijma’ seluruh ulama bahwa tidak ada pembebanan
selain
pada
pembuatan
orang mukallaf. Oleh
karena
itu,
apabila syar’i mewajibkan atau mensunnahkan suata perbuatan kepada
seorang mukallaf, maka beban itu merupakan perbuatan yang harus
dikerjakan.
Demikian
juga
apabila syar,i mengharamkan
atau
memakruhkan sesuatu, maka beban tersebut juga merupakan perbutan
yang harus ditinggalkan.
Perbuatan
yang
dibebankan
(mahkum
bih)
kepada
orang mukallaf itu mempunyai tiga syarat sebagai berikut:
a. Perbutan itu diketahui oleh orang mukallaf secara sempurna, sehingga
ia dapat mengerjakannya sesuai dengan tuntutan,
24
Khairul Umam, dkk, Ushul Fiqih 1, (Bandung: Pustaka Setia, 2000), cet. 2, hal.
327-333.
14
b. Hendaklah diketahui bahwa pembebanan itu berasal dari yang
mempunyai kekuasaan memberi beban dan dari pihak yang wajib
diikuti segala hukum-hukum yang dibuatnya,
c. Perbuatan itu adalah perbuatan yang mampu dikerjakan atau
ditinggalkan, sehingga tidak dibenarkan memberi beban yang mustahil
untuk dilaksanakan.
Manusia tidak diperintahkan mengerjakan perbuatan yang tidak
mungkin (mustahil) dapat dilakukan, sebagaimana firman Allah SWT:
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan
kesanggupanya”. (QS.Al-Baqarah: 286).
Namun demikian, didalam al-Qur’an dan al-Hadits terdapat
keterangan yang menuntut suatu perbuatan diluar kemampuan manusia,
seperti berjihat dengan jiwa dan harta, atau bersabar dan tidak suka marah.
Bahkan seluruh ibadah yang diperintahkan oleh Allah akan teras berat
dan beban bagi manusia yang tidak mengenal hakikat hidup ini.
Sebagaimana Rasullullah bersabda:
Artinya:
“surga diliputi oleh hal-hal yang dibenci, sedang neraka diliputi oleh
hal-hal yang menyenangkan.” 25
D. Mahkum ‘Alaih
Mahkum ‘alaih ialah orang-orang mukallaf yang dibebani hukum.
Adapun syarat-syarat sahnya seorang mukallaf menerima beban hukum itu
ada dua macam, yakni:
1. Sanggup
memahami
khitab-khitab
pembebanan
atau
tuntutan syara’ yang terkandung dalam al-Qur’an dan as-Sunnah, baik
secara langsung maupun melalui orang lain. Oleh karena itu, orang
yang tidak memiliki kemampuan untuk memahami khitab syar’i tidak
mungkin untuk melaksanakan suatu taklif (pembebanan),
2. Mempunyai kemampuan menerima beban. Dasar pembebanan hukum
bagi seorang mukallaf adalah akal dan pemahaman.
Kemampuan seseorang untuk menerima kwajiban dan mnerima hak
oleh para ulama ushuliyyun dibagi kepada dua macam, yaitu:
25
Op.Cit., Hasbiyallah, Hal. 41-42.
15
a. Ahliyatul wujub, yaitu kepantasan seseorang untuk memberi hak
dan kewajiban. Kepantasan ini ada pada setiap manusia, baik lakilaki maupun perempuan, kanak-kanan maupun dewasa, sehat
maupun sakit.
Semua orang mempunyai kepantasan diberi hak dan kewajiban,
sebab dasar dari kepantasan ini adalah kemanusiaan. Artinya,
selama manusia itu masih hidup, kepantasan tersebut tetap
dimiliknya,
b. Ahliyatul ada’ (kemampuan berbuat)ialah kepantasan seseorang
untuk dippandang sah segala perkataan dan perbuatannya.
Misalnya, bila mengadakan suatu perjanjian atau perikatan,
tindakan itu adalah sah dan dapat menimbulkan akibat hukum,
sehingga
bersamaan
masa
datangnya aliyatul
dengan
tibanya
ada’ menurut syara’ adalah
usia taqlif yang
dibatasi
dengan aqil dan baligh.
Ahliyatul ada’ terbagi atas dua macam, yaitu:
1. Ahliyatul ada’ sempurna (tam) adalah ketika seorang yang
telah berakal mencapai umur dewasa (baligh) dinisbahkan
untuk hukum syara’, dan balighnya orang yang cakap
dinisbahkan untuk muamallah harta (perdata),
2. Ahliyatul ada’ tidak sempurna (naqish) yaitu anak yang
cakap atau semisalnya dinisbahkan untuk muamallah dan
perikatan. Adapun taklif syara’ bagi anak yang cakap sama
dengan anak yang tidak cakap. Seperti shalatnya anak kecil
dianggap seperti orang yang tidak cakap (gila). Sedangkan
dalam masalah muamallah dianggap sah jual belinya.
Namun demikian, ada beberapa orang yang sudah dewasa
dan pantas untuk melaksakan hak dan kewajiban tetapi kondisi
mereka tidak memungkinkan untuk melaksanakan semua itu,
dikarenakan ada hal-hal yang menghalangi.kondisi tersebut disebut
dengan awaridh ahliyah.
Ahwaridh
ahliyah ada
yakni samawiyah dan kasabiyah.
16
dua
macam,
Samawiyah adalah hal-hal yang berada diluar usaha dan ikhtiar
manusia. Halangan samawiyah ada sepuluh macam, yaitu:
Keadaan belum dewasa;
a. Sakit gila
b. Kurang akal
c. Keadaan tidur
d. Pingsan
e. Lupa
f. Sakit
g. Menstruasi
h. Nifas
i. Meninggal dunia.
Kasabiyah adalah perbuatan-perbuatann yang diusahakan
manusia yang menghilangkan atau mengurangi kemampuan
bertindak. Halangan kasabiyah itu ada tujuh macam, yaitu:
a. Boros,
b. Mabuk
c. Bepergian
d. Lalai
e. Bergurau (main-main)
f. Bodoh (tidak mengetahui)
g. Terpaksa (ikrah). 26
Memperhatikan akibat ahliyatul ada’. Maka gangguangangguan itu terbagi kepada beberapa jenis antara lain:
a. Gugur ahliyatul ada’, khusus bagi manusia gila dan sedang
tidur.
b. Kurang ahliyatul
ada’ (tidak
gugur
seluruhnya),
seperti
manusia makhluk (orang yang lemah pikirannya) dan juga
anak-anak yang mumayiz.
c. Tidak menghilangkan dan tidak pula mengurangi ahliyatul
ada’,
tatpi
hanya
mengubah
kemaslahatan.
26
Ibid., hal. 43-44.
17
sebagian
hukum
untuk
Maka terhadap poin a dan b diatas, tidak dibenarkan
memelihara harta, demi untuk memelihara hartanya sedangkan
ahliyatnya tetap tidak hilang dan tidak pula berkurang. Dan yang
ketiga ahliyatul ada’ nya penuh, hanya tidak dibolehkan
mengendalikan hartyanya karena menjaga haknya. 27
Syafi’i Karim, Fiqih-Ushul Fiqih, (Bandung: Pustaka Setia, 2001), cet. 2, hal.
136.
27
18
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
a. Hukum wadh’i adalah hukum yang bertujuan menjadikan sesuatu
adalah sebab untuk sesuatu atau syarat baginya atau penghalang
terhadap sesuatu. Adapun yang menjadi bagian dari hukum wadh’i ada
5 yaitu, sebab, syarat, mani’, Ash-Shihah, Al-Buthlan dan Al-Fasad,
‘Azimah dan rukhsah.
b. Mahkum
Fiih adalah
perbuatan-perbuatan
orang mukallaf yang
dibebani suatu hukum (perbuatan hukum).
c. Mahkum ‘alaih ialah orang-orang mukallaf yang dibebani hukum.
Adapun syarat-syarat sahnya seorang mukallaf menerima beban hukum
itu ada dua macam, yakni:
1. Sanggup
memahami
khitab-khitab
pembebanan
atau
tuntutan syara’ yang terkandung dalam al-Qur’an dan as-Sunnah,
baik secara langsung maupun melalui orang lain. Oleh karena itu,
orang yang tidak memiliki kemampuan untuk memahami khitab
syar’i tidak
mungkin
untuk
melaksanakan
suatu taklif (pembebanan),
2. Mempunyai kemampuan menerima beban. Dasar pembebanan
hukum bagi seorang mukallaf adalah akal dan pemahaman.
B. SARAN
Dalam era islam masa kini, masih banyak orang yang melanggar
dan tidak mengikuti aturan atau hukum yang dibuat Hakim. Padahal
hukum sudah jelas tercantum dalam Al-qur’an dan Sunnah Nabi. Manusia
sebagai subjek hukum seharusnya dapat mampu menjalankan perbuatan
dalam Al-qur’an dan sunnah yang sebagai ojek hukum. Jika Subjek dan
Objek hukum tidak berjalan dengan baik, telah dijelaskan dalam hukum
akan ada beban hukum yang dibebankan pada manusia itu sendiri.
Demikianlah akhir makalah ini. Jika ada penulisan makalah yang
kurang tepat kami mohon maaf. Terimakasih kepada pembaca yang telah
19
menyempatkan membaca makalah tentang Hukum Wadh’i, Mahkum Fih,
dan Mahkum ‘alaih yang kami buat. Semoga bermanfaat.
20
DAFTAR PUSTAKA
A Syafe’i Karim, 1997, Fiqih Ushul Fiqih, Bandung: Pustaka Setia
Nasrun Haroen, 1996, Ushul Fiqih I, Jakarta: Pustaka Setia
Wahhab Kallaf, Abdul,1994, Ilmu Ushul Fiqih, Semarang: Dina Utama
Rachmat Syafe’i, 2010, Ilmu Ushul Fiqih, Bandung: Pustaka Setia
Abd.
Rahman
Dahlan,
2011, Ushul
Fiqih, Jakarta:
AMZAH
http://nalarbumi.blogspot.co.id/2016/01/hukum-wadhi-dan-macam-macamhukum-wadhi.html
Hasbiyallah. 2014. Fiqh dan Ushul Fiqh (metode istinbath dan istidlal). Bandung:
Remaja Rosdakarya. Cet. Kedua.
Umar Muin. Dkk. 1986. ushul fiqh 1. Jakarta: proyek Pembinaan dan Sarana
Perguruan
Tinggi Agama/IAIN.
Umam Khairul. dkk. 2000. Ushul Fiqih 1. Bandung: Pustaka Setia. Cet. Kedua.
Karim Syafi’i. 2001. Fiqih-Ushul Fiqih. Bandung: Pustaka Setia. cet. Kedua.
21
Download