Hidrokarbon adalah sumber daya energi yang penting peranannya dalam mendukung perekonomian negara. Di Indonesia terdapat lebih dari enam puluh cekungan sedimen, baik yang ada di lepas pantai maupun di darat. Enam belas di antaranya telah berproduksi. Gambar 1. Peta Cekungan di Indonesia Persebaran cekungan sedimen tersier di wilayah barat terdapat di wilayah-wilayah sebagai berikut. A. Wilayah Sumatra merupakan cekungan minyak terbesar di Indonesia karena 78% produksi minyak mentah di Indonesia berasal dari wilayah Sumatra. 1. Cekungan sedimen tersier Sumatra bagian utara meliputi Nanggroe Aceh Darussalam (Lhok Sukon dan Peureulak) dan Sumatra Utara (Telaga Said, Tangai, Tanjung Miring Barat, Sukaraja, Mambang Sebasa, Securai, Seruwai, Pakam, Rantau, dan Siantar). Hasil minyak mentah dari lokasi ini diolah lebih lanjut di Unit Pengolahan Minyak (UP)–I Kilang Minyak Pangkalan Brandan (Sumatra Utara). 2. Cekungan sedimen tersier Sumatra bagian tengah meliputi Riau Daratan (Minas, Duri, Lirik, Rengat, Ungus, dan Kuantan), dan Riau Kepulauan (Bunguran, Anambas, Tarempa, Udang, dan Laut Natuna). 1 Hasil minyak mentah dari lokasi ini diolah di Unit Pengolahan Minyak (UP)–II Kilang Minyak Dumai (Riau). 3. Cekungan sedimen tersier Sumatra bagian selatan meliputi Jambi (Meraup, Betung, Bangko, serta pantai dan lepas pantai Tanjung Jabung), Sumatra Selatan (Talang Akar, Pendopo, Limau Tengah, Berau-Berau Barat, Suban Jerigi, Babat, Kukui, Mangun Jaya, Benakat, Bentayan, Beringin-Kuang, Kayu Agung, Plaju-Sungai Gerong, timur laut Betara, lepas pantai Sungai Gelam, dan lepas pantai RamokSenabing), dan Lampung (Menggala dan lepas pantai Lampung di Laut Jawa). Hasil minyak mentah dari lokasi ini diolah di Unit Pengolahan Minyak (UP)–III Kilang Minyak Plaju (Sumatra Selatan). 4. Cekungan sedimen tersier intermountana meliputi wilayah yang memanjang di sebelah barat Pegunungan Bukit Barisan, yang meliputi ladang minyak di lepas pantai Meulaboh dan lepas pantai Tapaktuan (NAD), cekungan Mentawai terdapat di lepas pantai Sibolga, yaitu antara pantai barat Sumatra dan pulau Simeuleu, serta cekungan Ombilin terdapat di Sumatra Barat antara lain terdapat di blok Sinamar. Hasil minyak mentah dari lokasi ini diolah bersamaan dengan minyak mentah yang dihasilkan dari Sumatra bagian selatan, yaitu di Unit Pengolahan Minyak (UP)–III Kilang Minyak Plaju (Sumatra Selatan). B. Wilayah Jawa 1. Jawa Barat, mencakup lepas pantai barat laut Jawa dan cekungan Sunda (Mundu, Indramayu, Rangkas, Jatibarang, Jatinangor). 2. Jawa Tengah, meliputi cekungan Cepu (Blora), lepas pantai Pekalongan, lepas pantai Rembang, dan pantai selatan Banyumas. 3. Jawa Timur, meliputi delta sungai Brantas, lepas pantai Bawean, lepas pantai Madura, Sampang, serta di lepas pantai utara Bali. Hasil minyak mentah dari lokasi ini diolah di Unit Pengolahan Minyak (UP)–IV Kilang Minyak Balongan (Jawa Barat) dan Cilacap (Jawa Tengah). C. Wilayah Kalimantan 2 1. Cekungan sedimen tersier Ketungau dan Melawi terdapat di daerah perbatasan Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah. 2. Cekungan sedimen tersier Kalimantan Timur terdapat di Attaka, Serang, Melahin, Kerindingan, Sepinggan, Kutai, Samboja, Sangatta, SangaSanga, Nilam, Pulau Tarakan, Pulau Bunyu, Karang Besar, Tanjung, Delta Mahakam, dan Balikpapan. 3. Cekungan sedimen tersier Barito (Kalimantan Selatan). Hasil minyak mentah dari lokasi ini diolah di Unit Pengolahan Minyak (UP)–V Kilang Minyak Balikpapan (Kalimantan Timur). D. Wilayah Sulawesi 1. Cekungan sedimen tersier Sulawesi Selatan, terdapat di Subaru (lepas pantai tenggara Sulawesi Selatan). 2. Cekungan sedimen tersier Sulawesi Tenggara terdapat di Wowoni dan Buton (lepas pantai timur Sulawesi Tenggara). 3. Cekungan sedimen tersier Selat Makassar terdapat di Masalima, Popodi, Papalang, Donggala, Taritip, Jangeru, dan Tanjung Aru. E. Wilayah Maluku dan Nusa Tenggara 1. Cekungan sedimen tersier Nusa Tenggara terdapat di Laut Sawu (Nusa Tenggara Timur). 2. Cekungan sedimen tersier Maluku terdapat di Pulau Seram dengan pusatnya di Bula, Bangai-Sula, Pulau Buru, lepas pantai utara Pulau Seram, lepas pantai Barakan di Laut Arafuru, dan lepas pantai Pulau Leti. F. Wilayah Papua 1. Salawati (Sorong, Babo, Klamono, Kasim, Tamulaai, Sabaku, dan Berau). 2. Bintuni (Kaimana, Kilimana, Arguni, Babo, Roabiba, Mogoi, Wiriagar, Vorwata, Amborip, Wasan, dan Ubadari). 3. Misool (Femin, Sabuda, dan Samai). 4. Lepas pantai Jayapura dan Vlakke (lepas pantai barat daya Papua). Contoh Cekungan di pulau Jawa serta Formasi 3 1. Cekungan Sunda dan Asri (Sunda and Asri Basins) Cekungan sunda adalah perpanjangan dari cekungan jawa bagian utara atau disebut dengan asri subbasin. Cekungan sunda merupakan cekungan yang terbentuk relatif kecil pada masa kenozoikum. Cekungan sunda merupakan berasal dari back-arc deposentrum atau disebut dengan bagian belakang busur deposentrum pulau Jawa. Dari persepektif hasil eksplorasi, cekungan sunda yang matang merupakan cekungan yang teristimewa. Dari hasil eksplorasi di daerah Widuri dan lapangan lain yang serupa di bagian utara sub cekungan asri (1980-an hingga 1990-an) menunjukkan bahwa dalam reservoar didalam sub Asri bagian utara (reservoir Talang Akar) akan lebih bisa kembali ditemukan akan potensi keberadaan minyak bumi. Bagian timur sub cekungan Asri jarang untuk dilakukan ekplorasi pengebaoran secara luas. Karena semenjak awal adanya syn-rift di daerah tersebut. Dan untuk mengetahui adanya potensi yang ada didaerah tersebut maka membutuhkan evaluasi lebih lanjut dalam bidang eksplorasi. 2. Cekungan Jawa Barat Laut (Northwest Java Basin) Cekungan ini merupakan cekungan belakang busur yang sangat luas dan rumit, yang dimana bagian utara hingga selatannya terdiri dari orientasi sejumlah bentukan struktur halfgraben. Sub-cekungan ini terletak di tepi selatan dari platform Sunda (Reksalegora et al., 1996). Cekungan Jawa Barat Utara memiliki akumulasi Hidrokarbon berlimpah, dan minyak dan gas bumi yang dimana reservoarnya bertumpukan dengan volkanik klastik, karbonatan, dan lapisan coarsesiliciclastic (Noble et al., 1997). Cekungan Jawa Barat Utara sekarang telah dianggap mature, dengan pembagian untuk bagian atasnya yaitu berupa pasir dari formasi Talang Akar dan diatasnya ditambah dengan karbonat pada jaman Miosen sepenuhnya. Pertimbangan mengenai potensi yang ada didaerah tersebut cukup kecil hingga menengah dan dapat tetap berada dalam pembentukan Jatibarang synrift posisinya lebih rendah dari formasi Talang Akar, dan terletak didalam karbonat formasi Batu raja. 4 Gambar 2. NW Java Basin dan Sunda asri basin (Suryono et all,2005) Gambar 3. North West Java Stratigrafi (Noble et all,1997) 3. Cekungan Jawa Timur (East Java Basin) Cekungan Jawa Timur adalah merupakan cekungan yang paling struktural dan memiliki stratigrafi yang kompleks dari cekungan belakang busur Indonesia. Dalam hal fasies reservoar, yang berkisar dari Eosen yang berupa bentukan non-pasir laut hingga Volkaniklastik jaman Pleistosen. Cekungan Jawa Timur dalam hal sistem minyak bumi, adalah salah satu cekungan yang 5 paling beragam. Hal ini dilihat dari gambar yang dihasilkan oleh skema lithostratigrafi sangat beragam pada cekungan yang ada di Jawa Timur. Meskipun cekungan Jawa Timur telah banyak dieksplorasi, potensi minyak masih tetap signifikan dan gas ditemukan di daerah syn-rift klastik Eosen, facies laut dalam Ngrayong pasir, Kujung Rancak reefs, Pliosen Mundu globigerinid batugamping, dan Pleistosen vulkanokalstik. Dalam mengembangkan infrastruktur dengan mendekati pasar industri perminyakan di Jawa Timur maka akan menyerap setiap penemuan baru. Cekungan Jawa Timur adalah daerah yang paling dicari di Indonesia untuk penawaran areal lahan perminyakan dalam lima tahun terakhir ini, sehingga menjadikan daerah tersebut menjadi tempat "panas" dalam eksplorasi. Gambar 4. Posisi East Java Basin (Kusumastuti et all,2000) Gambar 5. Stratigrafi east java basin (courtesy of Santos Sampang) 6 4. Cekungan Jawa Barat Daya (Southwest Java Basin) Cekungan ini telah dibor pada sumur Ujung Kulon-1 (Amoco, 1970) dan Malingping -1 (British Gas, 1999). Dan hasilnya kedua lubang sumur yang dihasilkan kering. Cekungan ini memiliki sejarah yang rumit pascakeretakan tektonik pada masa jaman Neogen. Adanya Formasi Eosen Bayah dan Formasi Eosen Ciletuh arenites pada formasi jaman Eosen menunjukkan adanya reservoir yang baik (Keetley di al., 1997; Schiller et al, 1991.). Meskipun tidak terdapat pada endapan danau (lacustrine affinity), formasi Bayah terdapat pada endapan delta di daerah Barat daya (SW) dari cekungan Jawa yang memberikan bukti untuk cekungan tersebut, dalam pengembangan reservoir dan source fasies di tahap syn-rift masih termasuk dari pegembangan bagian depan busur. Adanya pasir fan turbidit di Cekungan barat daya Jawa juga menunjukkan cekungan ini memiliki potensi reservoir yang baik. Gambar 6. Stratigrafi jawa barat daya( Keetly et all, 1997) 7 Gambar 7. Letak cekungan selatan jawa ( Keetly et all, 1997) 5. Cekungan banyumas dan selatan jawa (Banyumas-South Central Java Basin) Sejumlah rembesan minyak (oil seeps) dijumpai di daerah onshore Bayah. Sebuah peningkatan pesat yang dijumpai dalam gradien geothermal di masa Piocene hingga Pleistosen (Soenandar, 1997). Hal tersebut juga sama seperti yang dijumpai di Cekungan Sunda, SubAsri, cekungan Jawa barat laut (NW java basins). Daerah Banyumas, cekungan Jawa Tengah bagian selatan dijumpai rembesan minyak. Rembesan minyak tersebut banyak yang muncul di daerah tersebut. Cekungan Banyumas telah di bor pada sumur Cipari-1 oleh BPM dan Karang Nangka-1, Gunung Wetan-1, Karang Gedang-1 oleh Pertamina. Beberapa sumur dijumpai adanya keberadaan minyak dan gas. Sumur tersebut tidak bisa menembus lebih dalam dari horison Miosen akhir akibat adanya gangguan mekanis yang dihasilkan akibat adanya tekanan yang berlebih yang dihasilkan oleh serpih (overpressured shale).n Pada sumur Jati-1 (Lundin) yang sedang melakukan drilling didaerah tersebut dapat mengatasi kesulitan operasional ini, hal terebut dilakukan dengan mencoba untuk mengevaluasi bagian lebih dalam sampai Oligosen / Eosen 8 dari dasar Gabon. Potensi reservoir akhir Miosen Halang-Rambatan dijumpai sand volkaniklastik, awal miosen dijumpai Kalipucang reefs, Oligo-Miosen Gabon dijumpai sand volkaniklastik, dan menengah Eosen pada endapan delta Nanggulan dijumpai quartzitic sand, mengalami fold dan fault dalam waktu Miosen akhir. Potensi dari source pada akhir-tengah Eosen tengah daerah Nanggulan / Karangsambung shales (TOC sampai dengan 7,5%) dan awal Miosen bituminous shale Kalipucang / formasi Pemali (TOC sampai dengan 15,6%), hal tersebut bertahan hingga pada saat ini dalam mature window awal pertengahan (Muchsin et al., 2002). Lepas pantai cekungan Selatan Jawa Tengah telah dibor oleh Alveolina-1 dan Borelis-1 (Jawa Shell, awal tahun 1970-an) daerah tersebut terletak di lepas pantai selatan Yogyakarta. Pada sumur Alveolina-1 dijumpai reservoir yang sangat baik dari Wonosari karbonat berumur tengah-akhir Miosen. Pada sumur Borelis-1 kehilangan reservoir akibat dari adanya perubahan fasies menjadi serpih. Akibatnya kedua sumur kering karena tidak adanya pengisian Hidro karbon (Bolliger dan Ruiter, 1975). Gambar 8. Daerah cekungan selatan jawa (after Bolliger dan Ruiter, 1975 ) 9 Gambar 9. Hasil coring yang menunjukkan lithologi cekungan selatan jawa 6. Cekungan Sumatra Selatan Tersusun atas Formasi 1) Formasi Talang Akar terdapat di Cekungan Sumatra Selatan, formasi ini terletak di atas Formasi Lemat dan di bawah Formasi Telisa atau Anggota Basal Batugamping Telisa. Formasi Talang Akar terdiri dari batupasir yang berasal dari delta plain, serpih, lanau, batupasir kuarsa, dengan sisipan batulempung karbonan, batubara dan di beberapa tempat konglomerat. 2) Formasi Baturaja adalah Anggota ini dikenal dengan Formasi Baturaja. Diendapkan pada bagian intermediate-shelfal dari Cekungan Sumatera Selatan, di atas dan di sekitar platform dan tinggian.Kontak pada bagian bawah dengan Formasi Talang Akar atau dengan batuan Pra Tersier. Komposisi dari Formasi Baturaja ini terdiri dari Batugamping Bank (Bank Limestone) atau platform dan reefal. 3) Formasi Telisa (Gumai), Formasi Gumai tersebar secara luas dan terjadi pada zaman Tersier, formasi ini terendapkan selama fase transgresif laut maksimum, (maximum marine transgressive) ke dalam 2 cekungan. Batuan yang ada di formasi ini terdiri dari napal yang mempunyai karakteristik fossiliferous, banyak mengandung foram plankton. Sisipan batugamping dijumpai pada bagian bawah. 10 4) Formasi Lower Palembang (Air Benakat) Formasi Lower Palembang diendapkan selama awal fase siklus regresi. Komposisi dari formasi ini terdiri dari batupasir glaukonitan, batulempung, batulanau, dan batupasir yang mengandung unsur karbonatan. 5) Formasi Middle Palembang (Muara Enim) Batuan penyusun yang ada pada formasi ini berupa batupasir, batulempung, dan lapisan batubara. Batas bawah dari Formasi Middle Palembnag di bagian selatan cekungan berupa lapisan batubara yang biasanya digunakan sebgai marker. 6) Formasi Upper Palembang (Kasai) Formasi ini merupakan formasi yang paling muda di Cekungan Sumatra Selatan. Formasi ini diendapkan selama orogenesa pada Plio-Pleistosen dan dihasilkan dari proses erosi Pegunungan Barisan dan Tigapuluh. Komposisi dari formasi ini terdiri dari batupasir tuffan, lempung, dan kerakal dan lapisan tipis batubara. Umur dari formasi ini tidak dapat dipastikan, tetapi diduga Plio-Pleistosen. Lingkungan pengendapannya darat. 7. Cekungan Timor, Nusa Tenggara Timur 247 Tataan tektonik Busur Banda terdiri atas sepasang busur kepulauan, yaitu busur-luar (nongunungapi) dan busur-dalam (gunungapi). Busur luar {Timor, Tanimbar, Seram dan pulau-pulau lainnya) saat ini merupakan batas utara lempeng benua Australia yang menunjam di bawah busur-luarBanda. Gambar 10. Peta tektonik Busur Banda dan lokasi Cekungan Timor 11 Konfigurasi litosfer yang menunjam tersebut tercerrninkan oleh pola garis kontur kedalaman zona seisrnik (zona Benioff), yang dalam hal ini ada perbedaan pendapat antara Hamilton (1979) dan Cardwell & Isacks (1978). Pendapat pertama (Hamilton, 1979) menganggap konfigurasi litosfer yang menunjam di Busur Banda berbentuk cekung seperti senduk, karena zona Benioff dari arah Timor menyambung dengan yang dari arah Seram. Sedangkan pendapat kedua ( Cardwell & Isack, 1978) menganggap litosfer yang menunjam di bawah Timor tidak berhubungan dengan litosfer yang menunjam di bawah Seram. Pulau Timor dan Seram, yang merupakan bagian dari Busur luar Banda, merupakan zona tumbukan antara lempeng benua Australia, atau tepian pasif baratdaya Australia, di bagian selatan, dan sistem subduksi yang berhubungan dengan Busur Banda di bagian utara (Gambar 1). Busur Banda melengkung setengah lingkaran yang mana Pulau Timor terletak di bagian barat daya, sementara Pulau Seram terletak di bagian timur laut. Disebelah selatan Timor dijumpai bagian luar tepi dari Paparan baratdaya Australia, suatu tepian pasif benua yang dihasilkan dari pecahnya Gondwana pada Jura (Powel, 1976; Veevers, 1982). Tumbukan yang terjadi pada Neogen antara Busur Banda dan Australia merupakan tumbukan antara busur dengan benua yang menghasilkan deformasi disertai proses pemalihan dan pensesar-naikan batuan busur-luar Banda pratumbukan ke atas batuan dari benua Australia. Timor dan Seram merupakan pulau-pulau di busur-luar Banda yang dihasilkan oleh tumbukan antara busur dengan benua tersebut. Stratigrafi Timor Bagian Barat Tektonostratigrafi Timor bagian barat serupa dengan Timor Leste, yaitu terdiri atas satuan atau runtunan paraautokton, alokton dan autokton. Di Pulau Timor bagian barat satuan paraautokton terdiri atas runtunan Kekneno yang berumur dari pra-Perem sampai Jura, sementara satuan alokton terdiri atas dua runtunan, yaitu runtunan Kolbanodan Kelompok Palelo, yang keduanya 12 memiliki kontak tektonik (sesar naik) (Sawyer drr.,1993). Sementara itu satuan autokton terdiri atas runtunan Viqueque yang berumur Miosen Akhir sampai Plistosen (Sawyer drr.,1993), serta Kompleks Bobonaro, khususnya yang bergenetik sebagai endapan olistostrom yang berumur Miosen Akhir sampai Plio-Plistosen. Satuan Paraautokton Satuan paraautokton di Timor merupakan endapan Paparan Barat daya Australia yang terbawa ke Asia bersama atau menumpang di atas batuan alasnya. Di bagian barat Timor, satuan ini terdiri atas batuan alas malihan berumur Perem yang ditutupi oleh runtunan Kekneno yang disetarakan dengan Tethys margin nappe (Sawyer drr.,1993). Batuan alas malihan tidak tersingkap di Cekungan Timor, namun tersingkap di daerah Timor Leste, dan dikenal sebagai Kompleks Lolotoi. Nama-nama formasi dalam runtunan Kekneno sebagian besar mengikuti Audley-Charles (1968). Runtunan ini berumur dari Perem Awal sampai Jura Tengah, semetara Jura Akhir terdapat ketidakselarasan (hiatus) (Gambar 2). Bagian bawah runtunan Kekneno terdiri atas batuan berumur Perem, yaitu Formasi Atahoc dan Formasi Cribas, keduanya menjemari dengan Formasi Maubisse. Formasi Atahoc berumur bagian bawah Perem Awal, sementara Formasi Cribas berumur bagian atas Perem Awal, dan Formasi Maubisse berumur dari Perem Awal sampai Perem Akhir. Di atas Formasi Maubisse dijumpai hiatus hingga akhir Trias Awal. Mulai akhir Trias Awal hingga Trias Tengah diendapkan Formasi Niof. Di atas Formasi Niof diendapkan Formasi Aitutu yang berumur bagian atas Trias Tengah hingga Trias Akhir, dan Formasi Babulu yang berumur yang berumur Trias Akhir. Di atasnya lagi diendapkan Formasi Wailuli yang berumur Jura Awal hinga Jura Tengah, dan diakhiri oleh ketidak selarasan di bagian atasnya. 13 Gambar 11. Stratigrafi runtunan Para-autokton di Timor Barat (modifikasi dari Sawyerdrr., 1993). 1) Formasi Maubisse Formasi ini berumur Perm Awal-Jura Akhir dengan litologi penyusunnya adalah biokalkarenit merahungu, packstones, dan boundstones yang kaya akan rombakan cangkang koral, crinoids, byrozoids, brachipods, cephalopods dan fusilinids serta batuan beku ekstrusif yang merupakan batuan tertua di Timor (Sawyerdrr., 1993). 2) Formasi Atahoc Formasi ini berumur Perm Awal berdasarkan umur dari fosil ammonoid. Litologi dominan yang menyusun formasi ini adalah batupasir halus arkose dengan ciri terpilah sedang, mineralogy terdiri atas kuarsa monokristalin, feldspar, plagioklas, serta terdapat fragmen filit yang berasosiasi dengan batuan dari Kompleks Mutis/Lotoloi. 3) Formasi Cribas Formasi ini diperkirakan berumur Perm Awal dan dapat dibagi menjadi beberapa fasies batuan yang kontinu secara lateral yaitu lapisan batupasir multiwarna, batulanau, batuiempung hitam, dan batugamping bioklastik. 14 Struktur sedimen seperti ripple dan sole marks menunjukkan bahwa arus turbidit berperan dalam proses pengendapan formasi ini. 4) Formasi Niof Formasi ini berumur Trias Awal-Trias Tengah yang dicirikan oleh kontak lapisan yang tajam serta menunjukkan banyak struktur sedimen. Litologi yang menyusun formasi ini adalah batu lempung berlapis tipis, batu serpih warna merah-hitam-coklat, batupasirgreywac/re, napal, dan batugamping masif. Proses pengendapan formasi ini melalui mekanisme arus turbidit. Lingkungan pengendapan dari formasi ini diperkirakan terdapat pada lingkungan laut dangkal hingga laut dalam. 5) Formasi Aitutu Formasi ini berumur Trias Awal-Trias Akhir. Litologi penyusun dari formasi ini adalah batu gamping putih merah muda dengan perselingan batu lempung karbonatan berwarna abu-abu hitam. Tebal lapisan konsisten yaitu 45-60 cm dan pada bidang perlapisan dapat ditemukan makrofauna seperti Halobia, Daonella, Monotis, Ammonit, dan fragmen fosil lainnya, Lingkungan pengendapan dari formasi ini adalah laut terbuka yaitu sekitar paparan luar. 6) Formasi Babulu Formasi ini disusun oleh litologi perselingan batu lempung-batu lanau dan batu pasir masif. Pada permukaan bidang perlapisan banyak ditemukan brachiopod, ammonit, fragmen tumbuhan, sole marks, dan fosil jejak. Lingkungan pengendapan dari formasi ini berada pada area tepi paparan. 7) Formasi Wailuli Litologi yang menyusun formasi ini adalah batu lempung gelap dengan perselingan batu gamping organik, kalsilutit, batu lanau, dan batu pasir. Umur dari formasi ini adalah Jura Awal-Jura Tengah. Lingkungan pengendapan dari formasi ini berkisar dari paparan dalam-paparan tengah. Satuan Alokton Satuan alokton di Timor bagian barat terdiri atas Runtunan Kolbano dan Runtunan Busur Banda pratumbukan yang keduanya mempunyai kontak tektonik 15 di daerah Kolbano, Timor barat bagian selatan. Runtunan Kolbano berumur dari Jura Akhir sampai Pliosen Awal, dengan satuan dari bawah mulai dari Formasi Oebaat (bagian bawah Kapur Awal), Formasi Nakfunu (Kapur Awal-Kapur Akhir), Formasi Menu (Kapur), dan Formasi Ofu (Tersier). Pada runtunan ini dijumpai beberapa ketidakselarasan, yaitu pada Kapur Tengah, Paleosen Awal, serta Oligosen yang setempat sampai Miosen Awal. Adapun Runtunan Busur Banda pra-tumbukan terdiri atas batuan alas Kompleks Mutis berumur tidak lebih tua dari Jura Akhir , yang secara tidak selaras ditutupi oleh Kelompok Palelo yang berumur Kapur Akhir hingga Miosen Awal, yang secara tak selaras pula ditutupi oleh Formasi Manamas dan batuan campur-aduk Bobonaro yang keduanya berumur akhir Miosen Akhir sampai Plio-Plistosen. Cekungan Timor, Nusa Tenggara Timur 249 Runtunan Kolbano: 1) Formasi Oebaat Formasi ini berumur Jura Akhir sampai Pliosen Awal dan dibagi menjadi dua anggota formasi yaitu: 1) Batupasir masif dengan ciri jarang memiliki kedudukan perlapisan, tapi saat diamati terdiri atas perlapisan batu lanau dan batu pasir. Bagian bawah dari unit ini terdiri dari batulanau coklathitam dan batu lempung bernodul limonit-lanau. Lingkungan pengendapan dari unit ini diperkirakan adalah laut. 2) Batupasir glaukonit berlapis dengan ciri ketebalan lapisan sekitar 40-50 cm. Fosi! ammonit dan belemnit banyak ditemukan pada unit ini. Lingkungan pengendapan dari unit ini adalah paparan dangkal. 2) Formasi Nakfunu Litologi yang menyusun formasi ini adalah radiolarite, batu lempung, kalsilutit, batu lanau, perlapisan batu lempung, kalkarenit, wackestones, dan packstones. Ciri khusus dari Formasi Nakfunu adalah tebal lapisan batuan yang konsisten sekitar 330 cm. Kehadiran fosil radiolaria sangat melimpah, sedangkan fosilforaminifera jarang ditemukan. Umur formasi ini diperkirakan 16 berumur Kapur Awal-Kapur Akhir. Lingkungan pengendapan dari formasi ini adalah laut dalam. 3) Formasi Menu Formasi ini berumur Kapur dan memiliki litologi yang mirip dengan Formasi Ofu yang berumur Tersier. Formasi ini tersusun atas batu gamping dimana terdapat lapisan tipis atau nodul rijang merah, serta menunjukkan adanya belahan yang intensif. Kemiripan litologi yang dimiliki oleh Formasi Menu dan Formasi Ofu mengindikasikan adanya kontak stratigrafi. Formasi ini diendapkan dengan mekanismeturbidit pada lingkungan lautdalam. 4) Formasi Ofu Formasi ini diendapkan setelah terjadinya hiatus pada Paleosen Awal sampai Miosen Akhir. Litologi penyusun dari formasi ini adalah batu gamping masif berwarna putih-merah muda dengan kenampakan rekahan konkoidal-sub konkoidal. Pada singkapan umumnya banyak dijumpai laminasi tipis, urat kalsit, stilolit, kekar, dan rekahan. Formasi ini diendapkan pada lingkungan lautdalam dengan mekanisme turbidit. Runtunan Busur Banda Pra-tumbukan Kelompok satuan alokton ini terdiri atas batuan yang berasal dari busur muka dan busurgunungapi Banda pra-tumbukan Neogen antara Busur Banda dengan paparan baratlaut Australia. Paparan baratlaut Australia sendiri terdiri atas batuan alas kerak benua dan sedimen yang menutupinya. Runtunan Busur Banda pratumbukan ini terdiri atas batuan alas malihan Kompleks Mutis dan batuan yang menutupinya, yaitu: Kompleks Palelo (Formasi Noni, Formasi Haaulasi, Formasi Metan), Batugamping Cablaci,dan Kompleks Bobonaro. A. Kompleks Mutis Kompleks Mutis dijumpai di bagian tengah - utara Timor bagian barat, terdiri atas batuan malihan yang berumur tidak lebih tua dari Jura Akhir (Brown dan Earle,1983; Sopaheluwakan, 1991, sementara Sawyer drr. (1993) memberikan umur Kapur Awal. Sebelumnya, Kompleks Mutis dinyatakan berumur pra-Perem ( Rosidi drr., 1996). Satuan ini disusun oleh 17 batusabak, filit, sekis, amfibolit, sekis amfibolit, kuarsit, genes amfibolit dan granulit. Kompleks Mutis ditutupi oleh runtunan yang mendangkal ke atas, dari dasar samudera sampai sampai paparan benua hingga terumbu. Tidak selaras di atas Komples* .Mutis diendapkan Kompleks Palelo yang berumur dari Kapur Akhir sampai Miosen Awal, dan di atasnya lagi secara tidak selaras diendapkan Formasi Manamas yang berumur Miosen Akhir sampai Pliosen Awal (Sawyerdrr.,1993). B. Kelompok Palelo Kompleks Palelo terdiri atas Formasi Noni, Formasi Haulasi, Formasi Metan dan Batugamping Cablaci. 1) Formasi Noni Formasi Noni berumur Kapur Akhir (Sawyer drr.,1993), terdiri atas batu rijang radiolaria, batu gamping rijangan dan rijang lempungan. 2) Formasi Haulasi Formasi ini berumur Paleosen Akhir -;Eosen Tengah. Terdiri atas grewake konglomeratan, batu pasir, serpih tufan dan napal. 3) Formasi Metan Formasi ini berumur Eosen Tengah sampai Oligosen Akhir, terdiri atas aglomerat dengan komponen menyudut dan menyudut tanggung dalam masadasartuf. C. Batugamping Cablaci Lokasi tipe satuan ini beradadi Gunung Cablaci, Timor Leste. Di lokasi tipenya satuan ini tersusun oleh batu gamping masif kristalin, sementara di tempat lain (Timor bagian barat) juga tersusun oleh batu gamping koral, batu gamping kalkarenit dan kalsirudit. Satuan ini merupakan bagian dari Kelompok Palelo, secara tidak selaras ditindih oleh Formasi Manamas. 1) Formasi Manamas Formasi ini berumur Miosen Akhir, terdiri dari breksi vulkanikyang pejal dengan sisipan lava dan tuf hablur. 18 Satuan Autokton Satuan initerutama tersusun oleh endapan-endapan pasca orogenik, sebagian terbentuk sejak orogenesis atau sin-orogenik, yaitu bersamaan dengan tunbukan antara benua Australia dengan Busur Banda pratumbukan. A. Runtunan Viqueque Runtunan Viqueque terdiri atas Anggota Batuputih dan Anggota Viqueque ( Noele), keduanya berumur Miosen Akhir sampai PIistosen AwaI. Anggota Viqueque terdiri atas batu pasir gampingan, batu pasir konglomeratan gampingan dan konglomerat, sementara anggota anggota Batuputih tersusun oleh batu gamping kalsilutit dan napal. B. Kompleks Bobonaro Kompleks Bobonaro (Rosidi drr., 1996; Suwitodirjo dan Tjokrosapoetro,1996) atau Bobonaro Scaly Clay (Audley-Charles, 1968) merupakan batuan campuraduk {chaotic rock) yang tersusun oleh matriks lempung bersisik yang mengandung bongkahan batuan yang berumur lebih tua, yaitu berkisar dari Perem sampai Miosen Awal (Audley-Charles, 1968). Nama Kompleks Bobonaro saat ini dipakai untuk seluruh batuan campuraduk yang dijumpai di Pulau Timor, menempati sekitar 40% dari luas pulau tersebut. Sampai sekarang terdapat beberapa tafsiran mengenai genesis Kompleks Bobonaro, yaitu (1) sebagai olistotrom (Audley-Charies, 1968), (2) merupakan bancuh tektonik atau melange (Hamilton, 1979), dan (3) merupakan hasil dari terobosan diapir serpih (Barber drr., 1986). Namun, menurut Bachri ( 2004), sebagian besar batuan campur-aduk di Timor diduga merupakan hasil longsoran bawah laut, atau olistotrom, yang mungkin berkaitan dengan proses tumbukan busur dan benua pada Neogen. Pada waktu terjadinya tumbukan tersebut diduga terbentuk pula bancuh tektonik yang hanya membentuk sebagian kecil dari Kompleks Bobonaro. Di beberapa barat, terutama di Timor barat, juga terjadi pembentukan batuan campur-aduk yang disebabkan oleh diapirisme serpih atau kegiatan poton. Poton-poton 19 tersebut membawa berbagai fragmen batuan yang diterobosnya, dan masih aktif sampai sekarang. Klasifikasi Cekungan di Indonesia menurut Prof.Dr.Harry Doust : No Nama Jenis Cekungan No Cekungan Nama Jenis Cekungan Cekungan 1 Meulaboh Forearc 21 Barito Forearc 2 Nias Forearc 22 Makassar S Intra-kraton 3 Bengkulu Forearc 23 Kutai Intra-kraton 4 Sumatra Utara Backarc 24 Tarakan Intra-kraton 5 Sumatra Backarc 25 Celebes Forearc Backarc 26 Gorontalo Backarc Tengah 6 Sumatra Selatan 7 Sunda Forearc 27 Taliabu Synrift 8 Jawa Selatan Forearc 28 Tomori Foreland 9 Jawa Baratlaut Backarc 29 Bone Gulf Intra-kraton 10 Biliton Forearc 30 Laut Banda Backarc 11 Bawean Forearc 31 Savu Forearc 12 Jawa Backarc 32 Laut Timor Zona tumbukan Timurlaut 13 Bali Utara Backarc 33 Arafura Zona tumbukan 14 Flores Backarc 34 New Guinea Zona tumbukan 15 Natuna Barat Intra- 35 Meervlakte Zona tumbukan 36 Bintuni Zona tumbukan 37 Seram Zona tumbukan 38 Salawati Zona tumbukan continental rift 16 Anambas Intracontinental rift 17 Sokang Intracontinental rift 18 Natuna Timur Intracontinental rift 20 19 Kapuas Backarc 39 Halmahera Zona tumbukan 20 Melawi Backarc 40 Morotai Zona tumbukan Cekungan – cekungan di atas merupakan cekungan-cekungan yang berpotensi akan hidrokarbon yang dibuat oleh Prof.Dr.Harry Doust. Selain daripada cekungan-cekungan di atas masih banyak terdapat cekungan sedimen lainnya. Berdasarkan hasil riset terbarukan total dari jumlah cekungan yang ada di Indonesia berjumlah 128 buah yang terdiri atas cekungan-cekungan tersier dan pra tersier. Keterangan pada kolom terdapat klasifikasi cekungan, berikut penjelasan tentang klasifikasi cekungan : TATANAN TIPE CEKUNGAN TEKTONIK Divergen Antar-lempeng Rift : terrestrial rift valleys; proto-oceanic rift valleys - (intraplate) Cekungan beralaskan kerak benua/peralihan : cekungan intrakraton, paparan benua, continental rises dan pematang benua. - Cekungan beralaskan kerak samudra : cekungan samudra aktif, kepulauan samudra, asesimic ridge and plateau. Konvergen - Cekungan akibat subduksi : Trenches, Trenchslope basins, fore-arc basins, intra-arc basins, back-arc basins. - Cekungan akibat tabrakan (colliding) : Retroarc foreland basins,Remnant ocean basins, Peripheral foreland basins, Piggyback basins, Foreland intermontane basins (broken foreland). Transform Cekungan akibat sesar strike-slip : cekungan transtensional, cekungan transpressional, dan cekungan transrotational. 21 Hybrid Cekungan akibat berbagai sebab : cekungan intracontinental wrench, aulacogens, impactogens, successor. Karena tatanan tektonik Indonesia di dominasi oleh pergerakan Konvergen (Zona Subduksi), maka tipe cekungan indonesia secara umum merupakan : a. Fore-arc basins, merupakan cekungan yang berposisi di depan jalur volkanik atau merupakan depresi dasar laut yang terletak antara zona subduksi dan terkait dengan busur vulkanik. b. Back-arc basins, merupakan cekungan yang berposisi di belakang jalur volkanik atau merupakan gerakan mundur dari zona subduksi terhadap gerakan lempeng yang sedang menumbuk. c. Intra-arc basins, merupakan cekungan yang berposisi di sepanjang jalur volkanik, dan mencakupi superposed and overlapping volcanoes. d. Zona tumbukan (collision zone), merupakan tempat endapan – endapan kontinen yang bertumbuk dengan kompleks subduksi. Untuk formasi cekungan sedimen di Indonesia hanya beberapa yang dapat dipaparkan yaitu sebagai berikut : a. Cekungan Barito Gambar 12.Cekungan Barito 22 Urutan stratigrafi Cekungan Barito dari tua ke muda adalah : 1. Formasi Tanjung (Eosen – Oligosen Awal) Formasi ini disusun oleh batu pasir, konglomerat, batu lempung, batubara, dan basalt. Formasi ini diendapkan pada lingkungan litoral neritik. 2. Formasi Berai (Oligosen Akhir – Miosen Awal) Formasi Berai disusun oleh batugamping berselingan dengan batu lempung / serpih di bagian bawah, di bagian tengah terdiri dari batu gamping masif dan pada bagian atas kembali berulang menjadi perselingan batu gamping, serpih, dan batupasir. Formasi ini diendapkan dalam lingkungan lagoon-neritik tengah dan menutupi secara selaras Formasi Tanjung yang terletak di bagian bawahnya. Kedua Formasi Berai, dan Tanjung memiliki ketebalan 1100 m pada dekat Tanjung. 3. Formasi Warukin (Miosen Bawah – Miosen Tengah) Formasi Warukin diendapkan di atas Formasi Berai dan ditutupi secara tidak selaras oleh Formasi Dahor. Sebagian besar sudah tersingkap, terutama sepanjang bagian barat Tinggian Meratus, malahan di daerah Tanjung dan Kambitin telah tererosi. Hanya di sebelah selatan Tanjung yang masih dibawah permukaan. Formasi ini terbagi atas dua anggota, yaitu Warukin bagian bawah (anggota klastik), dan Warukin bagian atas (anggota batubara). Kedua anggota tersebut dibedakan berdasarkan susunan litologinya. Warukin bagian bawah (anggota klastik) berupa perselingan antara napal atau lempung gampingan dengan sisipan tipis batu pasir, dan batu gamping tipis di bagian bawah, sedangkan dibagian atas merupakan selang-seling batu pasir, lempung, dan batubara. Batubaranya mempunyai ketebalan tidak lebih dari 5 m., sedangkan batupasir bias mencapai ketebalan lebih dari 30 m. Warukin bagian atas (anggota batubara) dengan ketebalan maksimum ± 500 meter, berupa perselingan batupasir, dan batulempung dengan sisipan batubara. Tebal lapisan batubara mencapai lebih dari 40 m, sedangkan batupasir tidak begitu tebal, biasanya mengandung air tawar. Formasi Warukin 23 diendapkan pada lingkungan neritik dalam (innerneritik) – deltaik dan menunjukkan fasa regresi. 4. Formasi Dahor (Miosen Atas – Pliosen) Formasi ini terdiri atas perselingan antara batupasir, batubara, konglomerat, dan serpih yang diendapkan dalam lingkungan litoral – supra litoral. b. Cekungan Kutai e Gambar 13.Cekungan Kutai Penamaan “Cekungan” atau “Basin” berdasarkan aspek geomorfologi, cekungan(basin) didefinisikan sebagai : "suatu wilayah dengan suatu bentuk bentang alam (relief) rendah atau negatif=cekung(lawannya positif=cembung) dikelilingi oleh suatu bentuk tinggian". Dan juga berdasarkan wilayah dan juga umur. Dasar Penamaan Cekungan Hidrokarbon Penamaan cekungan hidrokarbon yang ada saat ini secara umum didasarkan atas tempat atau lokasi ditemukannya hidrokarbon tersebut. Hal ini bertujuan untuk mempermudah dalam mengetahui dan juga mengingat tempat penemuan 24 cekungan tersebut. Seperti contohnya Cekungan Kutai, Cekungan Barito, Cekungan Jawa Barat Laut dan lain sebagainya. Enhanced Oil Recovery (EOR) Enhanced Oil Recovery (EOR) adalah teknik yang berkaitan dengan upaya meningkatkan perolehan minyak (oil recovery) dari suatu reservoar, dengan cara menginjeksikan fluida, atau fluida + bahan kimia, atau panas kedalam reservoir melalui sumur injeksi dan memproduksikan minyaknya melalui sumur produksi. Jadi, Enhanced Oil Recovery (EOR) adalah suatu metode yang digunakan untuk meningkatkan cadangan minyak pada suatu sumur dengan cara mengangkat volume minyak yang sebelumnya tidak dapat diproduksi atau bisa dikatakan EOR ini adalah optimisasi pada suatu sumur minyak agar minyakminyak yang kental, berat, poor permeability dan irregular faultlines bisa diangkat ke permukaan. Tujuan dilakukannya peningkatan perolehan minyak ini adalah untuk terus meningkatkan produksi minyak pada suatu sumur produksi. Dimana pada tahap awal minyak tersebut agar mengalir dengan sendirinya atau sering disebut dengan natural flow, namun setelah beberapa tahap ini akan mengalami penruran produksi maka dibutuhkan metode secondary recovery untuk kembali menigkatkan produksi minyak pada sumur produksi tersebut. Dasar-Dasar Enhanced Oil Recovery (Eor) Lapangan hidrokarbon setelah sekian lama diproduksikan akan mengalami penurunan produksi karena force/tenaga untuk mengeluarkan fluida ke dalam sumur sudah semakin berkurang. Berkurangnya tenaga pendorong bisa terlihat dengan dipasangnya pompa atau gas lift pada sumur sembur alam (natural flow) yang tidak dapat mengalir dengan sendirinya. Begitupun sumur pompa atau gas lift yang lambat laun akan menjadi kering. Untuk menambah pengurasan lapangan dan drive force, dikembangkan teknik-teknik yang kemudian disebut dengan Enhanced Oil Recovery (EOR) atau Improved Oil Recovery (IOR). Selanjutnya akan dibahas jenis-jenis teknik EOR. A. Injeksi Air (Water Flood) 25 Injeksi air merupakan salah satu metoda EOR yang paling banyak dilakukan sampai saat ini. Biasanya injeksi air digolongkan ke dalam injeksi tak tercampur. Alasan-alasan sering digunakannya injeksi air ialah: 1. Mobilitas yang cukup rendah 2. Air cukup mudah diperoleh 3. Pengadaan air cukup murah 4. Berat kolom air dalam sumur injeksi turut menekan, sehingga cukup banyak mengurangi besarnya tekanan injeksi yang perlu diberikan di permukaan; jika dibandingkan dengan injeksi gas, dari segi ini berat air sangat menolong. 5. Air biasanya mudah tersebar ke seantero reservoir, sehingga menghasilkan efisiensi penyapuan yang cukup tinggi. 6. Effisiensi pendesakan air juga cukup baik. sehingga harga Sor sesudah injeksi air = 30% cukup mudah didapat. Gambar 14. Pattren Water Flooding Pemakaian injeksi air sebagai meloda untuk menaikan peralehan minyak dimulai pada tahun 1880 setelah John F. Carll menyimpulkan bahwa air tanah dari lapisan yang lebih dangkal dapat membantu produksi minyak. Secara tidak sengaja, hal 26 telah terjadi sebelum di Pennsylvania pada tahun 1865. Tujuan Injeksi air adalah mengimbangi penurunan tekanan reservoir dengan menginjeksikan air ke dalam reservoir. B. Injeksi Air Ditambah Zat-Zat Kimia Tertentu Setelah injeksi air telah maksimum diaplikasikan, terdapat beberapa cara untuk menambah efisiensi injeksi dengan cara menambahkan zat-zat kimia tertentu kedalam air injeksi yang akan diinjeksikan. 1. Surfactant Surfactant berfungsi untuk menurunkan tegangan pcrmukaan, tekanan kapiler campuran polimer, alkohol, sulfonate), menaikkan efesiensi pendesakan dalam skala pori, mikropis. 2. Polymer Polymer berfungsi untuk memperbaiki perbandingan mobilitas minyak-air. Untuk menaikkan efesiensi pengurasan secara luas, makrokopis. Sering dipakai berselang-seling dengan surfactant. Injeksi Polymer efektif untuk reservoir dengan viskositas minyak tinggi (sampai 200 cp). Jenis-jenis polimer yang paling sering dipakai: a. Polycrylamide b. Polysaccharide Gambar 15. Sumur Injeksi Surfactant C. Injeksi Termal 27 Injeksi termal dilakukan dengan menginjeksikan fluida panas yang temperatur jauh lebih besar jika dibandingkan temperatur fluida reservoir. Injeksi Termal berfungsi menurunkan viskositas minyak atau membuat minyak berubah ke fasa uap, juga mendorong minyak ke sumur-sumur produksi. Jenis-jenis Injeksi termal antara lain: a. Stimulasi uap (steam soak, huff and puff) Yang diinjeksikan biasanya campuran uap dan air panas dengan komposisi yang berbcda-beda. Gambar 16. Thermal Oil Recovery b. Pembakaran di tempat (In-situ Combustion) Menginjeksikan udara dan membakar sebagaian minyak ini akan menurunkan viskositas, mengubah sebagian minyak menjadi uap dan mendorong dengan pendesakan gabungan uap, air panas dan gas. c. Injeksi air panas. D. INJEKSI GAS CO2 CO2 mudah larut dalam minyak bumi namun sulit larut pada air. Karena itu beberapa hal yang penting dan berguna dalam proses EOR ketika minyak bumi terjenuhi oleh CO2 adalah : 1. Menurunkan viskositas minyak dan menaikkan viskositas air. 28 2. Menaikkan volume minyak (swelling) dan menurunkan densitas minyak. 3. Memberikan efek pengasaman pada reservoir karbonat. 4. Membentuk fluida bercampur dengan minyak karena ekstraksi, penguapan, dan pemindahan kromatografi, sehingga dapat bertindak sebagai solution gas drive. Mekanisme dasar injeksi CO2 adalah bercampurnya CO2 dengan minyak dan membentuk fluida baru yang lebih mudah didesak daripada minyak pada kondisi awal di reservoir. Ada 4 jenis mekanisme pendesakan injeksi CO2 : 1. Injeksi CO2 secara kontinyu selama proses EOR. 2. Injeksi slug CO2, diikuti air. 3. Injeksi slug CO2 dan air secara bergantian. 4. Injeksi CO2 dan air secara simultan. Gambar 17. Injeksi CO2 Injeksi CO2 dan air secara simultan terbukti merupakan mekanisme pendesakan yang terbaik di antara keempat metode tersebut (oil recovery-nya sekitar 50%). Disusul kemudian injeksi slug CO2 dan air secara bergantian. Injeksi langsung CO2 dan injeksi slug CO2 diikuti sama buruknya dalam kemampuan mengambil minyak sekitar 25%). Agar tercapai pencampuran antara CO2 dengan minyak, 29 maka tekanan di reservoir harus melebihi MMP (Minimum Miscibility Pressure), harga MMP dapat diperoleh dari hasil percobaan di laboratorium atau korelasi. Sumber CO2 alami adalah yang terbaik, baik dari sumur yang memproduksi gas CO2 yang relatif murni atau dari pabrik yang mengolah gas hidrokarbon yang mengandung banyak CO2 sebagai kontaminan. Sumber yang lain adalah kumpulan gas (stack gas) dari pembakaran batubara (coal-fired). Alternatif lain adalah gas yang dilepaskan dari pabrik amoniak. Desain yang dilakukan dalam injeksi CO2 ke reservoir minyak adalah menentukan banyaknya air yang digunakan untuk menaikkan tekanan reservoir sehingga proses pencampuran CO2 dengan minyak dapat berlangsung, menentukan kebutuhan CO2 yang akan diinjeksikan ke reservoir yang didorong oleh gas N2, menentukan tekanan injeksi (dipermukaan) CO2 ke reservoir yang tidak melebihi tekanan formasi. J Pemilihan Metode Enhanced Oil Recovery (EOR) Besaran-bcsaran berikut yang harus diperhatikan dalam pemilihan metoda Enhanced Oil Recovery (EOR): a. Kebasahan (Wettability) batuan b. Sifat-sifat batuan reservoir (petrofisik), seperti permeabilitas, porositas c. Jenis batuan (satu pasir, carbonatc dan lain-lain). d. Jenis minyak (viskositas). e. Tekanan temperatur reservoir, surfactant & polimer: T < 250°F f. Kegaraman air formasi. g. Saturasi minyak yang tersisa yang dapat bergerak h. Cadangan i. Kemiringan reservoir j. Ekonomi 30