Uploaded by User60514

REFERAT BEDAH TUBERKULOSIS EKSTRAPARU

advertisement
REFERAT
TUBERKULOSIS EKSTRAPARU
Disusun oleh:
Della Septa
030.15.053
Pembimbing:
dr. Santi Andiani, Sp.B
KEPANITERAAN KLINIK ILMU BEDAH
PERIODE 15 JULI – 20 SEPTEMBER 2019
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH BUDHI ASIH
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
JAKARTA 2019
LEMBAR PENGESAHAN
REFERAT
TUBERKULOSIS EKSTRAPARU
Diajukan untuk memenuhi syarat
Kepanitraan Klinik Ilmu Bedah di RSUD Budhi Asih
Periode 15 Juli - 20 September 2019
Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti
Disusun oleh :
Della Septa
030.15.053
Pembimbing,
RSUD Budhi Asih
dr. Santi Andiani, Sp.B
KATA PENGANTAR
Puji syukur panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas berkat rahmat, karunia,
taufik dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan referat yang berjudul
"Tuberkulosis Ekstraparu". Penulisan referat ini dilakukan dalam rangka memenuhi
salah satu syarat Kepanitiaan Klinik Ilmu Bedah di RSUD Budhi Asih.
Saya sangat berharap referat ini dapat berguna dalam rangka menambah
wawasan ilmu pengetahuan kita mengenai tuberkulosis ekstraparu (TBEP). Saya juga
menyadari sepenuhnya bahwa di dalam referat ini terdapat kekurangan dan masih jauh
dari kata sempurna. Saya berharap adanya kritik, saran dan masukan demi perbaikan
referat telah saya buat di masa yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang
sempurna tanpa saran serta masukkannya yang membangun.
Semoga referat ini dapat dipahami dan berguna bagi yang membacanya.
Sebelumnya saya mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata baik yang disengaja
maupun yang tidak disengaja dalam pengejaan kalimat serta penyebutan nama tempat,
istilah serta nama orang. Wasalammuallaikum, wr.wb.
Penulis
Della Septa, S.Ked
030.15.053
iii
DAFTAR ISI
HALAMAN
HALAMAN JUDUL ......................................................................................
i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ..............................................
ii
KATA PENGANTAR .....................................................................................
iii
DAFTAR ISI....................................................................................................
iv
BAB I PENDAHULUAN...........................................................................
BAB II PEMBAHASAN ..............................................................................
2.1 Definisi Tuberkulosis Ekstraparu (TBEP) ................................
2.2 Epidemiologi .............................................................................
2.3 Etiologi ......................................................................................
2.4 Faktor Risiko .............................................................................
2.5 Patogenesis ................................................................................
2.6 Limfadenitis Tuberkulosis .........................................................
2.6.1 Definisi ..............................................................................
2.6.2 Gejala Klinis ......................................................................
2.6.3 Diagnosis ...........................................................................
2.6.4 Diagnosis Banding .............................................................
2.6.5 Komplikasi.........................................................................
2.7 Tuberkulosis Abdominal ...........................................................
2.7.1 Definisi ..............................................................................
2.7.2 Patofisiologi .......................................................................
2.7.3 Manifestasi Klinis ..............................................................
2.7.4 Klasifikasi ..........................................................................
2.7.5 Diagnosis ...........................................................................
2.7.6 Pemeriksaan Penunjang .....................................................
2.7.7 Diagnosis Banding .............................................................
2.7.8 Pembedahan .......................................................................
2.8 Tatalaksana ................................................................................
1
2
2
2
2
3
5
7
7
8
9
14
19
20
20
20
20
21
24
24
26
26
28
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................
29
iv
BAB I
PENDAHULUAN
Tuberkulosis adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri
Mycobacterium tuberculosis yang berbentuk batang, tidak membentuk spora, bersifat
aerob dan tahan asam. Penyakit ini umumnya terjadi pada paru, tetapi dapat pula
menyerang organ lain selain paru.(1) Berdasarkan lokasi, tuberkulosis dikelompokkan
menjadi tuberkulosis paru dan ekstraparu. Tuberkulosis ekstraparu dapat terjadi di
berbagai organ seperti kelenjar getah bening, pleura, abdomen, kulit, tulang, sendi,
saluran kencing, dan sebagainya. Manifestasi ekstraparu yang sering dijumpai adalah
limfadenitis TB yang merupakan proses peradangan pada kelenjar limfe akibat bakteri
M. tuberculosis.(2)
Indonesia menduduki peringkat kedua dari daftar tujuh negara teratas dengan
kasus TB terbanyak di dunia setelah India. Diikuti oleh Tiongkok, Filipina, Pakistan,
Nigeria dan Afrika. Kasus TB di India merupakan 64% dari 10 juta kasus baru TB di
seluruh dunia pada tahun 2016.(3) Sepertiga dari peningkatan jumlah kasus baru
disebabkan oleh epidemi human immunodeficiency virus (HIV), dimana limfadenitis
TB merupakan manifestasi utama pada 5% pasien immunocompromised dengan lokasi
yang paling banyak mengalami infeksi yaitu pada kelenjar limfe servikal.(4)
Limfadenitis merupakan peradangan pada kelenjar limfe atau getah bening,
sedangkan limfadenitis tuberculosis (TB) merupakan peradangan pada kelenjar limfe
atau getah bening yang disebabkan oleh basil tuberculosis. Apabila peradangan terjadi
pada kelenjar limfe di leher disebut dengan scrofula.(2,4)
Tuberkulosis abdomen adalah bentuk dari TBEP yang menyerang traktus
gastrointestinal dari esofagus hingga anus, peritoneum, mesentrium, KGB abdomen,
hepar, limpa dan pankreas. Hasil penelitian di Singapura tahun 2008, manifestasi TB
abdomen yang paling sering terjadi adalah pada illeum (63.6%) dan caecum (48.5%),
diikuti oleh KGB mesentrika (42.1%) dan peritoneum (22.8%).
1
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi Tuberkulosis Ekstraparu (TBEP)
Tuberkulosis ekstraparu (TBEP) adalah tuberkulosis (TB) yang menyerang
organ tubuh lain selain paru, misalnya kelenjar getah bening (KGB), pleura,
abdomen, kulit, selaput otak, tulang, sendi, ginjal, saluran kencing dan lain-lain.(1)
2.2 Epiedemiologi
Indonesia menduduki peringkat kedua dari daftar tujuh negara teratas dengan
kasus TB terbanyak di dunia setelah India. Diikuti oleh Tiongkok, Filipina,
Pakistan, Nigeria dan Afrika. Kasus TB di India merupakan 64% dari 10 juta kasus
baru TB di seluruh dunia pada tahun 2016.(3) Tahun 2017, Indonesia kembali
menduduki peringkat ketiga dengan persentase sebanyak 8% dari seluruh kasus TB
di dunia.(3) Sepertiga dari peningkatan jumlah kasus baru disebabkan oleh epidemi
human immunodeficiency virus (HIV), dimana limfadenitis TB merupakan
manifestasi utama pada 5% pasien immunocompromised.(4)
World Health Organization (WHO) melaporkan bahwa terdapat 15-20% kasus
TBEP baru dan kambuh yang meliputi seluruh kasus TB pada tahun 2017.(3) Kasus
TBEP terbanyak menyerang KGB, pleura dan abdomen. Penelitian di pusat TB di
India tahun 2016 menyatakan bahwa 80% kasus TB ekstrapulmonal yang paling
sering terjadi adalah limfadenitis TB dan 11% kasus adalah TB abdomen.
Sebanyak 204 kasus limfadenitis TB, 92.6% kasus diantaranya terjadi pembesaran
KGB servikal terutama kelenjar suprascapular, 10.8% KGB axilla, dan 2.5% KGB
inguinal.(8)
2.3 Etiologi
Tuberkulosis ekstraparu umumnya disebabkan oleh infeksi Mycobacterium
tuberculosis. Spesies patogen lain yang termasuk dalam Mycobacterium complex
antara lain adalah M.tuberculosae, M. bovis, M. caprae, M. africanum, M. microti,
M. pinnipedii, dan M. canetti.(1)
2
Mycobacterium tuberculosis menular melalui droplet. Berbentuk batang lurus
atau sedikit melengkung, tidak berspora dan tidak berkapsul. Bakteri ini berukuran
lebar 0,3 – 0,6 mm dan panjang 1 – 4 mm. Bakteri ini bersifat aerob gram positif,
yang senang hidup di daerah dengan kandungan oksigen tinggi, terutama di apeks
paru atau di berbagai organ tubuh lainnya yang mempunyai tekanan parsial oksigen
yang tinggi.(1) Bakteri ini tidak tahan terhadap paparan langsung terhadap sinar
ultraviolet yang akan mematikan sebagian besar kuman dalam waktu beberapa
menit.(1,2)
Gambar 2.1 (A) basil tahan asam - Ziehl Neelsen (B) penyebarab kuman TB
Dinding M. tuberculosis sangat kompleks, terdiri dari lapisan lemak cukup
tinggi (60%).Penyusun utama dinding sel M. tuberculosis adalah asam mikolat,
lilin kompleks (complex-waxes), trehalosa dimikolat yang disebutcord factor,
dan mycobacterial sulfolipids yang berperan dalam virulensi. Struktur dinding sel
yang kompleks tersebut menyebabkan bakteri M. tuberculosis bersifat tahan asam,
yaitu apabila sekali diwarnai akan tetap tahan terhadap upaya penghilangan zat
warna tersebut dengan larutan asam – alkohol pada metode Ziehl Neelsen.(2,4)
2.4 Faktor risiko
Penyakit tuberkulosis dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain usia,
jenis kelamin, kondisi sosial ekonomi, status gizi, kebiasaan merokok,
komorbiditas, dan kontak erat dengan penderita TB.(1,3,4)
2.4.1 Riwayat kontak erat dengan penderita TB
Kontak erat dengan penderita TB merupakan salah satu faktor
penularan utama untuk terjadinya TB karena kontak dengan penderita
memungkinkan risiko penularan TB melalui droplet.(1)
3
2.4.2 Usia
Berdasarkan data Riskesdas tahun 2013, penderita TB paru sekitar
75% ditemukan pada usia produktif secara ekonomi (15-49 tahun) namun
tidak dicantumkan penyebabnya.(4)
2.4.3 Jenis kelamin
Data Riskesdas 2013 menunjukkan bahwa ditemukan 10% lebih
banyak kasus TB pada kelompok laki-laki dibandingkan dengan perempuan.
Hal ini kemungkinan disebabkan oleh faktor lain seperti perbedaan perilaku
dimana lebih banyak laki laki yang merokok (96,3%) dibandingkan dengan
perempuan (3,7%).(4,5)
2.4.4 Sosial ekonomi
Sosial ekonomi sangat erat kaitannya dengan keadaan rumah,
kepadatan hunian, lingkungan perumahan padat penduduk, lingkungan dan
sanitasi tempat kerja yang buruk yang dapat memudahkan penularan TB.
Pendapatan keluarga sangat erat juga dengan penularan TB, karena dengan
pendapatan minimum dapat menyebabkan seseorang sulit untuk memenuhi
kecukupan gizi dan rendahnya akses dalam pelayanan fasilitas kesehatan.(4)
2.4.5 Status gizi
Keadaan
malnutrisi
seperti
kurangnya
asupan
makronutrien,
mikronutrien, vitamin dan mineral akan mempengaruhi daya tahan tubuh
seseorang sehingga rentan terhadap penyakit termasuk TB paru.(4)
2.4.6 Merokok
Asap rokok mengandung lebih dari 4.500 bahan kimia yang bersifat
mutagenik dan karsinogenik, antara lain tar dan nikotin yang terdapat dalam
kandungan rokok telah terbukti imunosupresif dengan mempengaruhi
respons kekebalan tubuh, mengurangi kemampuan fagosit alveolus,
penurunan motilitas silia yang membersihkan mukus pada saluran
pernapasan serta meningkatkan kerentanan terhadap infeksi termasuk infeksi
paru pada penderita TB. (4)
4
2.4.7 Komorbiditas
Koinfeksi HIV juga merupakan faktor risiko imunosupresif yang
paling kuat untuk mengembangkan penyakit TB aktif.(1) Serta DM yang tidak
terkontrol juga dapat mengakibatkan gangguan pada sistem kekebalan tubuh,
sehingga penderita DM lebih rentan terserang infeksi.(3)
2.5 Patogenesis
Secara umum penyakit TB dapat diklasifikasikan menjadi TB pulmoner dan TB
ekstrapulmoner. Tuberkulosis pulmoner dapat diklasifikasikan menjadi TB
pulmoner primer dan TB pulmoner post-primer (sekunder). Tuberkulosis primer
terjadi pada saat seseorang pertama kali terpapar terhadap basil tuberkulosis. Basil
TB masuk ke paru dengan cara inhalasi droplet. Sampai di paru, basil TB ini akan
difagosit oleh makrofag dan akan mengalami dua kemungkinan. Pertama, basil TB
akan mati difagosit oleh makrofag. Kedua, basil TB akan dapat bertahan hidup dan
bermultiplikasi dalam makrofag sehingga basil TB akan dapat menyebar secara
limfogen, perkontinuitatum, bronkogen, bahkan hematogen. Penyebaran basil TB
ini pertama sekali secara limfogen menuju kelenjar limfe regional di hilus, di mana
penyebaran basil TB tersebut akan menimbulkan reaksi inflamasi di sepanjang
saluran limfe (limfangitis) dan kelenjar limfe regional (limfadenitis). Pada orang
yang mempunyai imunitas baik, dalam waktu 3-4 minggu setelah infeksi akan
terbentuk imunitas seluler. Imunitas seluler ini akan membatasi penyebaran basil
TB dengan cara menginaktivasi basil TB dalam makrofag membentuk suatu focus
primer yang disebut fokus Ghon. Fokus Ghon bersama-sama dengan limfnagitis
dan limfadenitis regional disebut dengan komplek Ghon. Terbentuknya fokus
Ghon mengimplikasikan dua hal penting. Pertama, fokus Ghon berarti dalam tubuh
seseorang sudah terdapat imunitas seluler yang spesifik terhadap basil TB. Kedua,
fokus Ghon merupakan suatu lesi penyembuhan yang didalamnya berisi basil TB
dalam keadaan laten yang dapat bertahan hidup dalam beberapa tahun dan bisa
tereaktivasi kembali menimbulkan penyakit.(2,4,8)
5
Jika terjadi reaktivasi atau reinfeksi basil TB pada orang yang sudah memiliki
imunitas seluler, hal ini disebut dengan TB post primer. Imunitas seluler akan
membatasi peneybaran basil TB lebih cepat daripada TB primer disertai dengan
pembentukan jaringan keju (kaseosa). Sama seperti TB primer, TB post-primer
dapat menyebar terutama melalui aliran limfe menuju kelenjar limfe lalu ke semua
organ, mediastinal, dan paratrakeal merupakan tempat penyebaran pertama dari
infeksi TB pada parenkim paru.(2,4,8)
Gambar 2.2 Patofisiolog TB Paru dan TBEP
6
2.6 Limfadenitis Tuberkulosis
Kelenjar getah bening (KGB) terbungkus kapsul fibrosa yg berisi kumpulan sel
pembentuk sistem pertahanan tubuh dan tempat penyaringan antigen dari
pembuluh getah bening yang melewatinya. Manusia memiliki 600 KGB dalam
tubuh dan dalam keadaan normal, KGB tidak dapat diraba kecuali pada KGB
submandibular, axilla dan inguinal. Apabila KGB dapat teraba, maka KGB
mengalami pembesaran yang dapat disebabkan oleh infeksi, proses autoimun,
pengaruh obat-obatan, tumor primer ataupun metastasis dan idiopatik. Istilah
"limfadenopati" digunakan untuk pembersaran dan perubahan konsistensi KGB
yang belum diketahui penyebabnya, sedangkan istilah "limfadenitis" digunakan
untuk pembesaran KGB yang disebabkan oleh agen infeksi yang menyebabkan
suatu reaksi inflamasi.(7,8)
Gambar 2.3 Kelenjar getah bening dan pembuluh limfatik tubuh
Sistem limfatik mempunyai tiga fungsi utama yaitu; 1) Mempertahankan
konsentrasi protein yang rendah dalam cairan interstisial sehingga protein-protein
darah yang difiltrasi oleh kapiler akan tertahan dalam jaringan, memperbesar
volume cairan jaringan dan meninggikan tekanan cairan interstitial, 2) Absorpsi
asam lemak, transpor lemak dan kilus (chyle) ke sistem sirkulasi, 3) Memproduksi
sel-sel imun (seperti limfosit, monosit, dan sel-sel penghasil antibodi yang disebut
sel plasma).(4)
7
2.6.1 Definisi
Limfadenitis merupakan peradangan pada kelenjar limfe atau getah bening,
sedangkan limfadenitis tuberculosis (TB) merupakan peradangan pada kelenjar
limfe atau getah bening yang disebabkan oleh basil tuberculosis. Apabila
peradangan terjadi pada kelenjar limfe di leher disebut dengan scrofula. Scrofula
diambil dari bahasa latin yang berarti pembengkakan kelenjar.(4,5)
Gambar 2.4 (A) pembesaran KGB servikal (B) aksila (C) inguinal
2.6.2 Gejala Klinis
Berdasarkan penelitian terbaru di India tahun 2016, dari 204 sampel pasien
limfadenitis TB, keluhan yang paling sering dijumpai adalah berupa:
• Teraba benjolan, satu atau lebih (100%)
• Nafsu makan menurun (32.4%)
• Penurunan berat badan >3 kg selama 3 bulan (27.9%)
• Keringat malam (23%)
• Demam (13.7%)
• Batuk lebih dari 2 minggu (12.2%)
Gejala klinis limfadenitis TB memiliki banyak variasi dari beberapa penelitian–
penelitian lain. Tidak dapat dikatakan dengan pasti apabila dengan memiliki
gejala klinis seperti yang disebutkan sebelumnya dapat ditegakkannya diagnosis
sebagai limfadenitis TB. Secara umum sedikit susah untuk menentukan sindroma
klinis dari pasien secara pasti, hal ini dikarenakan karena subjektivitas atau
persepsi dari masing–masing pasien sangat bervariasi dan juga terkadang pasien
lupa atau tidak mengetahui bahwa mereka memiliki sindroma klinis tersebut.
Selain itu, melalui anamnesis tentang faktor risiko TB yang dapat mengarahkan
ke diagnosis TB juga harus ditanyakan.(6)
8
2.6.3 Diagnosis
2.6.3.1 Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan status lokalis berupa inspeksi dan palpasi pada
benjolan/massa yang dikeluhkan pasien, menurut lokasi, jumlah, bentuk,
warna, batas tegas/tidak, konsistensi, mobil/imobil dan nyeri tekan.
Gambar 2.5 (A) palpasi KGB servikal (B) inguinal (C) aksila
Karakteristik massa yang dicurigai disebabkan oleh infeksi:
• Lokasi yang paling sering adalah di KGB servikal, axilla dan inguinal(8)
• Single atau multipel
• Pertumbuhan lambat atau konstan
• Dapat berwarna kemerahan
• Batas tegas
• Konsistensi kenyal-kistik
• Umumnya mobil
• Nyeri tekan +/• Fluktuasi +/Karakteristik massa yang dicurigai disebabkan oleh keganasan:
•
Lokasi dapat diseluruh KGB, apabila metastasis maka umumnya akan
ipsilateral dengan tumor primer
•
Single atau multipel
•
Pertumbuhan relatif cepat
•
Batas difus
•
Konsistensi padat
•
Umumnya terfiksir
•
Nyeri tekan +/-
•
Fluktuasi 9
2.6.3.2 Pemeriksaan Penunjang
Limfadenitis TB tidak dapat ditegakkan hanya dengan anamnesis dan
pemeriksaan fisik, namun harus dilakukan pemeriksaan penunjang seperti
pemeriksan hematologi, tuberculin skin test, radiologi, fine-needle aspiration
biopsy (FNAB), kultur, polymerase chain reaction (PCR), dan pemeriksaan
histopatologi (biopsi). Gold standard penegakkan diagnosis limfadenitis TB
adalah dengan cara kultur dan excisional biopsy.(10)
• Pemeriksaan hematologi
Meski tidak ada pemeriksaan darah yang spesifik untuk limfadenitis TB,
leukositosis, trombositosis, anemia, hiponatremia, peningkatan laju endap
darah (LED), dan peningkatan enzim alkali phospatase (ALP) dapat
menandakan terjadinya suatu inflamasi kronik dalam tubuh seperti infeksi TB.
• Tuberculin skin test (TST)
Tuberkulin adalah komponen antigen kelompok bakteri mycobacterium
yang jika disuntikkan secara intrakutan kepada seseorang yang dicurigai TB.
Positif apabila timbul suatu reaksi delayed-type-hypersensitivity berupa
indurasi di lokasi suntikan ≥ 10 mm setelah 48-72 jam pasca penyuntikan.
Positif pada
1. Infeksi TB alamiah
Negatif pada
1. Tidak ada infeksi TB
•
Infeksi TB tanpa sakit TB
2. Masa inkubasi infeksi TB
•
Infeksi TB dan sakit TB
3. Anergi
•
Tuberkulosis yang telah
sembuh
2. Imunisasi Bacille Calmette-Guerin
3. Infeksi mycobacterium atipik
10
•
Radiologi
Pemeriksaan radiologi berupa foto thorax, ultrasonografi (USG),
computed tomography scan (CT scan) dan magnetic resonance imaging
(MRI) dapat dilakukan apabila terdapat suatu limfadenopati. Foto thorax
dapat menggambarkan suatu gambaran TB pada 10-40% pasien dengan
diagnosis limfadenitis TB.(10)
Gambar 2.6 USG KGB servikal
Ultrasonografi soft-tissue tidak dapat menggambarkan suatu gambaran
spesifik limfadenitis TB, namun dapat digunakan untuk membedakan suatu
keganasan dan untuk guided aspirasi. Apabila USG dikombinasi dengan
FNAB maka akan meningkatkan sensitifitas dan spesifisitas limfadenitis
TB.(10)
•
Fine Needle Aspiration Biopsy (FNAB)
Biopsi aspirasi jarum halus (BAJAH) atau FNAB dilakukan dengan cara
memasukkan jarum halus pada area yang membengkak atau terinfeksi dan
dilakukan aspirasi jaringan melalui jarum tersebut. Jaringan yang telah
diaspirasi dapat dilakukan pemeriksaan sitologi, pewarnaan Ziehl-Neelsen
(ZN) untuk bakteri tahan asam, kultur dan PCR.
Gambar 2.7 Sitologi limfadenitis TB
11
•
Kultur
Diagnosis definitif limfadenitis TB ditentukan oleh ditemukannya
bakteri M. tuberculosis pada saat kultur jaringan KGB yang terinfeksi.
Namun, hasil kultur juga dapat negatif karena angka keberhasilan kultur
isolasi mycobacterium yang hanya 10-69% kasus. Kultur memakan proses
yang cukup lama dan harga yang lebih mahal.
•
Histopatologi (Biopsi Diagnostik)
Diagnosis definitif limfadenitis TB selain dapat ditentukan oleh kultur,
dapat ditentukan oleh pemeriksaan histopatologi dari jaringan eksisional
pasien yang telah dilakukan pembedahan. Ditemukan Langerhan's giant
cells, nekrosis kaseosa, inflamasi granulomatosa dan kalsifikasi.
Biopsi adalah pengambilan sejumlah kecil jaringan dari tubuh manusia
untuk pemeriksaan patologis mikroskopik. Dari bahasa latin bios:hidup dan
opsi: tampilan. Ada dua macam bentuk biopsi bedah, yaitu
biopsi
insisional dan biopsi eksisional.
Gambar 2.8 Histopatologi limfadenitis TB
•
Biopsi insisional adalah pengambilan sebagian tumor atau jaringan
yang sakit. Biopsi ini dilakukan bila tumor memiliki ukuran yang
terlalu besar (lebih dari 2 atau 3 cm), sehingga tidak dapat dilakukan
pengangkatan seluruh jaringan yang sakit tanpa tindakan rekonstruksi
untuk menutup defek.
12
Gambar 2.9 Biopsi insisiolnal
• Biopsi eksisional adalah pengangkatan seluruh tumor atau
jaringan yang sakit sampai tepi yang sehat. Biopsi ini dapat
dilakukan apabila tumor kecil (kurang dari 2 atau 3 cm)
sehingga defek masih dapat ditutup secara primer.
Gambar 2.10 Biopsi eksisional
Syarat dilakukan biopsi adalah tidak boleh dilakukan
undermining
atau
pembuatan
flap,
karena
berpotensi
menyebabkan penyebaran jaringan yang ganas. Eksisi jaringan
melalui pembedahan sangat direkomendasikan untuk KGB yang
terinfeksi dibandingkan insisi, karena akan menimbulkan
pembentukan fistula dan merupakan kontra indikasi operasi
apabila tumor berukuran kecil yang dapat diangkat secara
keseluruhan.
13
Jaringan yang diperoleh dari hasil biopsi difiksasi dan dikirim
untuk pemeriksaan patologi dan atau imunohistokimia. Tujuannya
adalah untuk menentukan apakah lesi tersebut jinak atau ganas dan
membedakan jenis histologisnya. Biopsi dari KGB juga dapat
menentukan staging dari keganasan. Tepi dari spesimen biopsi
eksisional juga diperiksa untuk mengetahui apakah seluruh lesi
sudah terangkat (tepi bebas dari infiltrat tumor).
•
Polymerase Chain Reaction
Polymerase Chain Reaction atau PCR adalah tes amplifikasi asam
nukleat spesifik dari bakteri M. tuberculosis yang memiliki spesifisitas
dan sensitivitas yang tinggi menggunakan sampel jaringan yang diaspirasi
dati KGB yang terinfeksi.(10)
2.6.4 Diagnosis Banding
Limfadenopati dapat disebabkan oleh berbagai macam penyebab, dan dapat
timbul secara generalisata ataupun lokal. Sehingga pada pemeriksaan fisik
harus dipikirkan kemungkinan beberapa diagnosis banding. Limfadenopati
generalisata hampir selalu mengindikasikan terjadinya suatu penyakit
sistemik. Limfadenopati lokal dapat dipikirkan diagnosis banding sesuai
lokasi.
14
2.6.4.1 Berdasarkan gejala klinis
15
Gambar 2.10 Diagnosis banding limfadenitis TB berdasarkan gejala klinis
2.6.4.2 Berdasarkan lokasi
• Limfadenopati daerah kepala dan leher
Penyebab utama limfadenopati servikal adalah infeksi; pada anak,
umumnya berupa infeksi virus akut. Pada infeksi mikobakterium atipikal, catscratch disease, toksoplasmosis, limfadenitis Kikuchi, sarkoidosis, dan penyakit
Kawasaki,
limfadenopati
dapat
berlangsung
selama
beberapa
bulan.
Limfadenopati supraklavikula kemungkinan besar (54%- 85%) disebabkan oleh
keganasan. Kelenjar getah bening servikal yang berfluktuasi dalam beberapa
minggu sampai beberapa bulan tanpa tanda-tanda inflamasi atau nyeri yang
signifikan merupakan petunjuk infeksi mycobacterium, atau mycobacterium
atipikal.(5,6)
16
Kelenjar getah bening servikal yang keras, terutama pada orang usia
lanjut dapat menunjukkan metastasis keganasan kepala dan leher (orofaring,
nasofaring, laring, tiroid, dan esofagus). Limfadenopati servikal merupakan
manifestasi limfadenitis tuberkulosa yang paling sering (63-77% kasus).(5,6)
Gambar 2.11 Diagnosis banding limfadenopati kepala dan leher
• Limfadenopati aksila dan epitroklear
Sebagian besar limfadenopati aksila disebabkan oleh infeksi atau jejas
pada ekstremitas atas. Adenokarsinoma payudara sering bermetastasis ke KGB
aksila anterior dan sentral yang dapat teraba sebelum ditemukannya tumor
primer. Limfadenopati antekubital atau epitroklear dapat disebabkan oleh
limfoma atau melanoma di ekstremitas, yang bermetastasis ke kelenjar getah
bening ipsilateral.(5,6,7)
Gambar 2.12 Diagnosis banding limfadenopati aksila dan epitroklear
17
• Limfadenopati inguinal
Limfadenopati inguinal sering ditemukan dengan ukuran 1-2 cm pada
orang normal, terutama yang bekerja tanpa alas kaki. Limfadenopati reaktif
yang jinak dan infeksi merupakan penyebab tersering limfadenopati inguinal.
Limfadenopati inguinal jarang disebabkan oleh keganasan. Karsinoma sel
skuamosa pada penis dan vulva, limfoma, serta melanoma dapat disertai
limfadenopati inguinal. Limfadenopati inguinal ditemukan pada 58% penderita
karsinoma penis atau uretra.(5,6,7)
Gambar 2.13 Diagnosis banding limfadenopati inguinal
• Limfadenopati generalisata
Limfadenopati generalisata lebih sering disebabkan oleh infeksi serius,
penyakit autoimun, dan keganasan, dibandingkan dengan limfadenopati
lokalisata. Penyebab jinak pada anak adalah infeksi adenovirus. Limfadenopati
generalisata dapat disebabkan oleh leukemia, limfoma, atau penyebaran kanker
padat stadium lanjut. Limfadenopati generalisata pada penderita luluh imun
(immunocompromised) dan AIDS dapat terjadi karena tahap awal infeksi HIV,
tuberkulosis, kriptokokosis, sitomegalovirus, dan toksoplasmosis.(5,6)
18
2.6.4.3 Berdasarkan riwayat pengobatan
Konsumsi jenis obat-obatan seperti dibawah ini dapat mengakibatkan
timbulnya pembesaran KGB.(10)
Allopurinol
Phenytoin
Atenolol
Primidone
Captopril
Pyrimethamine
Carbamazepine
Quinidine
Cephalosporins
Sulfonamides
Hydralazine
Penicillin
Gambar 2.14 Limfadenopati oleh karena obat-obatan
2.6.5 Komplikasi
• Scrofuloderma
Scrofuloderma
adalah
infeksi
yang
terjadi
akibat
penjalaran
perkontinuitatum dari organ di bawah kulit yang telah diserang mycobacterium,
paling sering berasal dari KGB, namun dapat juga berasal dari sendi, tendon,
cairan sinovial dan tulang.(10)
Gambar 2.15 Scrofuloderma aksila dan servikal
Gambaran klinik berupa limfadenitis berkelompok maupun soliter tanpa
disertai rasa sakit. Dasar massa pada kulit mengalami perlunakan,
konsistensinya kenyal sehingga terbentuk cold abcess (abses dingin;
berkembang secara perlahan tanpa rasa sakit, nyeri tekan positif pada daerah
disekitarnya), kemudian abses mengalami supurasi, pecah dan membentuk
ulkus linier dan tidak teratur, di sekitarnya berwarna merah kebirubiruan
(livide).(10)
19
2.7 Tuberkulosis Abdominal
2.7.1 Definisi
Tuberkulosis abdomen adalah bentuk dari TBEP yang menyerang
traktus gastrointestinal dari esofagus hingga anus, peritoneum, mesentrium,
KGB abdomen, hepar, limpa dan pankreas. Hasil penelitian di Singapura
tahun 2008, manifestasi TB abdomen yang paling sering terjadi adalah pada
illeum (63.6%) dan caecum (48.5%), diikuti oleh KGB mesentrika (42.1%)
dan peritoneum (22.8%).(11-13)
2.7.2 Patofisiologi
Terdapat beberapa cara bagaimana bakteri TB dapat masuk dan
berkembang di abdomen. Pertama, basil TB masuk ke traktus gastrointestinal
akibat teringesti dari makanan atau sputum yang tertelan. Lapisan mukosa
dari traktus gastrointestinal dapat terinfeksi oleh basil tuberkulosis melalui
pembentukan tuberkel epiteloid di jaringan limfoid pada lapisan submukosa.
Setelah 2 sampai 4 minggu, terjadi nekrosis kaseosa dari tuberkel epiteloid
yang mengakibatkan proses ulserasi pada lapisan mukosa sehingga dapat
menyebar ke lapisan yang lebih dalam, ke KGB sekitar, apabila mengalami
ruptur atau perforasi dapat masuk ke dalam rongga peritoneum. Meskipun
jarang, basil TB dapat masuk ke dalam sirkulasi vena porta dan menyerang
hepar, pankreas dan limpa.(11,13,16)
Kedua, penyebaran secara hematogen dari fokus basil TB dan
menyebar ke organ-organ abdomen seperti ginjal, KGB, peritoneum. Ketiga,
dapat menyebar secara percontinuitatum pada organ-organ sekitar dari
tempat pertumbuhan utama fokus basil TB dan yang terakhir menyebar
secara limfogen dari KGB yang terinfeksi.(11,13,16)
2.7.3 Manifestasi Klinis
Tuberkulosis abdominal dapat menimbulkan gejala akut, kronik, dan
kronik eksaserbasi akut. Gejala TB abdominalis kronik yang sering
dikeluhkan pasien adalah nyeri perut, demam, mual, muntah, diare, atau
konstipasi, berkurangnya nafsu makan, penurunan berat badan yang
signifikan dan perut terasa melebar (distensi). Gejala akut berupa nyeri perut
yang hebat, mual, muntah yang dapat disebabkan oleh peritonitis, perforasi
usus, dab ileus obstruktif.(12,13,14)
20
2.7.4 Klasifikasi
2.7.4.1 Limfadenitis TB abdominal
Limfadenitis TB abdominal sering ditemukan pada kasus TB
abdominal, KGB yang paling sering terinfeksi adalah KGB
mesentrika, omental, vena porta dan peripankreas. Disebabkan
transmisi basil TB dari ingesti dari makanan/minuman yang terinfeksi
atau oleh karena penyebaran hematogen dan limfogen dari organ atau
KGB sekitar. Tidak terdapat gejala klinis yang khas namun dapat
terlihat pada USG, lesi hipoekoik akibat nekrosis kaseosa dengan
peripheral enhancement.(11)
Gambar 2.16 USG abdomen, lesi hipoekoik pada limfadenitis KGB mesentrika
2.7.4.2 Peritonitis TB
Peritonitis TB dapat dibagi menjadi 3 tipe yaitu: (1) wet ascitic,
yaitu tipe peritonitis TB yang tersering, terdapat jumlah cairan bebas
yang banyak pada rongga peritoneum, ascites tersebut berhubungan
dengan peningkatan jumlah protein eksudat berwarna kuning seperti
jerami; (2) fixed fibrotic type, terdapat keterlibatan omentum dan
mesentrium serta penampakan "matted" bowel loops dan localized
abdomen swelling pada imaging. Ascites juga dapat dijumpai; (3) dry
plastic, ditandai oleh reaksi fibrosa peritoneal dimana terdapat nodul
dan adhesi/perlengketan dari dinding abdomen dengan usus, sehingga
didapatkan pemeriksaan fisik berupa "chess-board phenomenon"
yaitu apabila dilakukan perkusi pada regio abdomen akan ditemukan
bunyi timpani dan redup yang disebabkan oleh adhesi dari usus
dengan dinding abdomen. Dapat ditemukan tanda tanda ascites
seperti shifting dullness.(11,15,16)
21
C
Gambar 2.17 (A) laparaskopi - tuberkel pada dinding peritoneum; (B) adhesi
pada peritoneum; (C) CT scan abdomen polos - ascites
2.7.4.4 Tuberkulosis Traktus Gastrointestinal
Tuberkulosis abdomen dapat menyerang seluruh bagian dari
traktus gastrointestinal dari esofagus hingga anus, namun gastroduodenal sangat jarang terinfeksi (1%) karena terdapat asam
lambung, sedikit jaringan limfoid mukosa, dan waktu pengosongan
lambung yang cepat. Berbeda dengan ileocaecal, lokasi yang paling
sering terjadi infeksi pada TB abdominal. Hal ini terjadi karena terjadi
statis yang cukup lama pada illeum, aktivitas digesti yang minimal,
dan banyaknya jaringan limfoid (Peyer's patches). Hasil penelitian di
Singapura tahun 2008, manifestasi TB abdomen yang paling sering
terjadi adalah pada illeum (63.6%) dan caecum (48.5%) sedangkan
yang paling jarang terjadi adalah TB pada organ viscera, limpa
(12.5%), hepar (3.5%) dan pankreas (3.5%).(11,12,16)
•
Jejunum dan illeocaecal TB
Illeum terminal merupakan lokasi yang tersering dari TB
abdominal dan illeum terminal yang terinfeksi oleh basil TB biasanya
juga melibatkan caecum ataupun jejunum. Gejala klinis yang paling
sering ditimbulkan adalah nyeri abdomen. Komplikasi yang tersering
adalah illeus obstruktif akibat dari hiperplasia mukosa, dan adhesi
usus dan perforasi usus. Tuberkulosis adalah penyebab perforasi usus
halus terbanyak di India (5-9%).(11,15,16)
Gambar 2.18 (A) matting of small bowel loops; (B) penyempitan lumen pada
ileum terminal dan ileocaecal junction dengan kontraksi caecum; (C)
nekrosis kaseosa pada illeum
22
Secaara morfologi, lesi TB usus dibagi menjadi dua yaitu tipe
ulseratif dan ulsero-hipertrofik yang dapat dibedakan melalui
gambaran endoskopi. Pada pemeriksaan endoskopi dapat ditemukan
granuloma konfluens, nekrosis kaseosa dan lesi granulamatosa pada
jaringan limfoid dan usus halus, Nekrosis kaseosa sangat penting
untuk diagnosis histologik dari TB usus. Pada pemeriksaan foto
abdomen polos, dapat ditemukan gambaran illeus obstruktif dengan
air fluid level multipel, dilatasi usus dan enterolit. Apabila terdapat
gambaran udara dibawah diafragma maka telah terjadi perforasi.
Pada pemeriksaan dengan barium dapat ditemkan penyempitan
lumen usus dengan gambaran usus yang "matting", dan striktur
multipel.(11,13)
•
Tuberkulosis kolorectal
Infeksi basil TB pada colorectal terjadi sebanyak 10.8% kasus
TB gastrointestinal. Tubrkulosis kolorektal berhubungan dengan
peningkatan insiden kasus HIV dengan lokasi yang sering dijumpai
adalah pada caecum dan kolon transversum. Gejala klinis yang paling
sering timbul adalah nyeri perut, penurunan berat badan yang
signifikan, konstipasi atau diare dan penurunan nafsu makan. Pada
kolonoskopi
akan
transversal/sirkumferensial
didapatkan
dengan
ulserasi
eksudat
berwarna
linear/
putih
kekuningan. Pada foto abdomen dengan barium enema dapat
ditemukan multipel striktur dan gambaran mukosa yang ireguler.(11)
Gambar 2.19 (A) TB colitis - striktur konsentrik pada flexura colon transversum
sinistra; (B) TB colitis mukosa ireguler
23
2.7.5 Diagnosis
Diagnosis dari TB abdominal dapat ditegakkan dengan satu dari dua
kriteria ini terpenuhi: 1) diagnosis definitif, yaitu dengan pemeriksaan
histologi dan mikrobiologi dari M. tuberculosis, dengan gambaran nekrosis
kaseosa, hasil kultur yang positif dari M. tuberculosis, atau ditemukan
gambaran TB abdominal saat operasi; 2) diagnosis klinis dan radiologi yang
mendukung serta respon terapi yang baik pada obat anti-tuberkulosis (OAT)
tanpa diagnosis definitif.(11,12,16)
2.7.6 Pemeriksaan Penunjang
•
Hematologi
Tidak ada pemeriksaan darah yang spesifik, namun pada TB abdominalis
dapat ditemukan peningkatan LED pada 79% kasus, anemia, leukositosis
dan hipoalbuminemia pada penelitian tahun 2016.(16)
•
Foto thorax
Untuk mengetahui apakah terdapat fokus infeksi primer paru.(11)
•
Foto polos abdomen
Dapat deitemukan enterolit, gambaran ileus obstruktif dengan dilatasi
usus dan air fluid level multipel, ascites, gambaran perforasi atau
intususepsi.(11)
Gambar 2.20 (A) supine (B) erect air fluid level multipel
•
Small bowel barium meal dan barium enema
Dapat ditemukan multipel striktur dengan dilatasi segmental pada usus
halus, gambaran matting, hipersegmentasi usus halus seperti chicken
intestine, penebalan katup illeocaecal, illeum yang irreguler.(11)
24
•
USG abdomen
Sangat berguna untuk menilai peritonitis TB, akan ditemukan cairan intraabdomen bebas atau terlokalisir, clear atau kompleks (dengan debris dan
septa). Pada limfadenitis abdomen juga dapat terlihat gambaran hipoekoik
jaringan limfoid. Jaringan yang anekoid menggambarkan terjadinya area
yang mengalami nekrosis kaseosa.(11,14)
•
CT scan abdomen
Pada penelitian Tan dkk di Singapura, ditemukan penebalan usus pada
sebanyak 66% kasus, limfadenopati mesentrik 48%, ascites 40%, udara
bebas suspek perforasi 4% pada hasil pemerisksaan CT scan abdomen
pasien dengan diagnosis TB abdominal. CT scan juga berguna untuk
mendeteksi abses intraperitoneal yang disebabkan oleh TB.(11)
•
Kolonoskopi
Dapat
dilakukan
kolonoskopi
pada
pengambilan
ileum
spesimen
terminal
dan
biopsi
katup
saat
dilakukan
ileocaecal
yang
memperlihatkan gambaran ulserasi, tuberkel dan formasi granulasi.(11,13)
•
Pemeriksaan analisis cairan peritoneum
Cairan ascites pada TB abdominalis akan berwarna kuning seperti jerami
(straw coloured) dengan protein >3 g/dL dengan total cell count 1504000/ µl, dengan limfosit dominan (> 70%) dan gradien serum albumin
ascites < 1.1 g/dL. Pemeriksaan kadar enzim adenosine deaminase (ADA)
dapat dilakukan dengan sampel cairan ascites, ADA akan meningkat pada
ascites TB karena stimulasi sel T oleh mycobacterium. Penelitian oleh
Bhargava et al bahwa serum ADA diatas 54U/I, ADA pada cairan ascites
> 36U/I dapat diduga infeksi TB. Apabila terdapat koinfeksi dengan HIV,
nilai ADA dapat rendah ataupun normal.(16)
•
Laparaskopi
Laparaskopi sangat minimal-invasif untuk mendiagnosis TB abdominalis,
dapat mengambil sampel dari tuberkel yang berada di peritoneum dan
organ lain untuk pemeriksaan histopatologi.(14)
25
•
Histopatologi
Gambar 2.21 (A) biopsi peritoneal (HE) - nekrosis kaseosa; (B) jaringan granuloma
dengan sel epiteloid
2.7.7 Diagnosis Banding
Tuberkulosis abdominal tidak mempunyai gejala klinis maupun
pemeriksaan laboratorium yang spesifik sehingga dapat menyerupai gejala
dari penyakit lain. Diagnosis banding yang pertama kali perlu
dipertimbangkan untuk TB usus adalah Crohn's disease, yaitu inflamatory
bowel disease yang tidak diketahui penyebabnya, limfoma intestinal, dan
malignancy. Diagnosis dari peritonitis TB yaitu peritonitis yang disebabkan
oleh bakteri lainnya, perforasi appendicitis, malignancy dan penyakit liver
kronik.(14,16)
2.7.8 Pembedahan
Indikasi pembedahan yang paling sering ditemukan pada penelitian
Singh dkk, 2018 adalah ileus obstruksi (66%), perforasi usus (29%) dan
perdarahan (6%). Hasil penelitian tersebut melampirkan temuan intraoperatif
yang paling banyak ditemukan adalah striktura (80%), limfadenopati
mesentrika (80%), tuberkel pada peritoneal dan usus (54%) dan massa pada
ileosekal (11%). Berbeda pada penelitian Rajandeep, 2017 temuan
intraoperatif yang terbanyak adalah perforasi illeum (30.3%), perforasi usus
halus multipel (18.4%), striktura intestinal (11.8%), massa illeocaecal
(11.8%) dan adhesi intestinal (9.2%).(14,15)
26
Gambar 2.22 Penemuan intraoperatif: jaringan granulomatosa + tuberkel pada
omentum, colon dan intestinum saat laparatomi eksploratif
Pembedahan juga dilakukan apabila terjadi perforasi dengan atau tanpa
abses dan fistula, massa abdominal yang belum diketahui penyebabnya,
perdarahan masif, obstruksi total pada usus halus dan obstruksi yang tidak
respon terhadap pengobatan. Obstruksi sering terjadi pada pasien TB
abdominal dengan striktur multiple dengan manifestasi klinis akut abdomen
yang membutuhkan tindakan pembedahan secepatnya. Apabila terjadi
peritonitis TB akut dapat dilakukan laparatomi dan mengambil sampel
jaringan untuk dilakukan biopsi dan kultur.(14,15)
Gambar 2.23 (A) perforasi illeum; (B) adhesi usus besar
Terdapat tiga tipe pembedahan secara garis besar untuk TB abdominal:
(1) dilakukan untuk bypass segmen usus halus dengan enterostom/ileostomy
atau ileotransversal colonostomy; (2) reseksi radikal seperti hemikolektomi
dikombinasi dengan OAT untuk eradikasi basil TB seluruhnya; (3)
konservatif seperti strictureplasty.(14-16)
27
Pembedahan yang seringkali dilakukan pada kasus TB abdominalis
dalam penelitian Rajandeep, 2017 adalah ileostomy yaitu sebanyak 32
pasien. Reseksi dan anastomosis sebanyak 12 pasien, repair perforasi 10
pasien, hemikolektomi dextra 8 pasien, adhesiolisis 6 orang, dan
strikturoplasty 4 pasien.(15)
2.8 Tatalaksana
Pedoman internasional dan nasional menurut WHO menggolongkan TBEP
dalam kategori III dan merekomendasikan pengobatan selama 6 bulan dengan
regimen 2HRZ/4RH atau 2HRZ/4H3R3 atau 2HRZ/6HE. American Thoracic
Society (ATS) merekomendasikan pengobatan selama 6 bulan sampai 9 bulan
dengan paduan obat 2RHZE/10RH, British Thoracic Society Research Committee
and Compbell (BTSRCC) merekomendasikan pengobatan selama 9 bulan dalam
regimen 2RHE/7RH, sedangkan Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI)
mengklasifikasikan TB ekstraparu dengan paduan obat 2RHZE/7-10 RH.(1)
Gambar 2.24 Panduan OAT PDPI Indonesia
Evaluasi klinik, pasien dievaluasi setiap 2 minggu pada 1 bulan pertama
pengobatan selanjutnya setiap 1 bulan. Evaluasi respons pengobatan dan ada
tidaknya efek samping obat serta ada tidaknya komplikasi penyakit. Evaluasi klinik
meliputi keluhan, berat badan, pemeriksaan fisik dan penunjang dan kepatuhan
minum obat.(1)
28
DAFTAR PUSTAKA
1. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI). Tuberkulosis: Pedoman diagnosis
dan penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta: Indah Citra Grafika 2011;2-8.
2. Harrison’s Principles of Internal Medicine19th Edition [Internet]. Available
from: 015-Harrison’s Principles of Internal Medicine-19th Edition 2017.
3. World Health Organization. Global Tuberculosis Report. Geneva: World Health
Organization 2017 & 2018;1-10.
4. Amaylia O. Pendekatan Diagnosis Limfadenopati. Jakarta: Cermin Dunia
Kedokteran 2009;15-8.
5. Bruzgielewicz A, Rzepakowska A, Osuch-Wojcikewicz E, et al. Tuberculosis
of the head and neck - epidemiological and clinical presentation. Arch Med Sci.
2014 Dec 22. 10(6):1160-6.
6. Ferrer R. Lymphadenitis: Differential diagnosis and evaluation. Am Fam
Physician. 2013;58:1315.
7. Singh SK, Tiwari KK. Tuberculous lymphadenopathy: Experience from the
referral center of Northern India. Niger Med J. 2016;57(2):134–138.
8. Zeppa P, Cozzolino I: Lymph Node FNC. Cytopathology of Lymph Nodes and
Extranodal Lymphoproliferative Processes. Monogr Clin Cytol. Basel, Karger,
2018(23):19-33 https://doi.org/10.1159/000478879
9. Salvador F, Los-Arcos I, Sánchez-Montalvá A, et al. Epidemiology and
diagnosis of tuberculous lymphadenitis in a tuberculosis low-burden country.
Medicine (Baltimore). 2015;94(4):e509. doi:10.1097/MD.0000000000000509
10. Deveci HS, Kule M, Kule ZA, Habesoglu TE. Diagnostic challenges in cervical
tuberculous lymphadenitis: A review. North Clin Istanb. 2016;3(2):150–155.
Published 2016 Sep 28. doi:10.14744/nci.2016.20982
11. Debi U, Ravisankar V, Prasad KK, Sinha SK, Sharma AK. Abdominal
tuberculosis of the gastrointestinal tract: revisited. World J Gastroenterol.
2014;20(40):14831–14840. doi:10.3748/wjg.v20.i40.14831
12. Tan, K.-K., Chen, K., & Sim, R. The Spectrum of Abdominal Tuberculosis in a
Developed Country: A Single Institution’s Experience Over 7 Years. Journal of
Gastrointestinal Surgery 2008;13(1), 142–147. doi:10.1007/s11605-008-0669
29
13. Singh H, Krishnamurthy G, Rajendran J, Sharma V, Mandavdhare H, Kumar H,
Singh R. Surgery for Abdominal Tuberculosis in the Present Era: Experience
from
a
Tertiary-Care
Center.
Surgical
Infections.
2018
doi:10.1089/sur.2018.077
14. Zhang, R., Xu, Z., Yao, J., Shi, R., Zhang, D., Mei, Y., Zhong, Y., Lai, M.,
Wang, L."Tuberculous peritonitis diagnosed using laparoscopy with assistance
of a central venous catheter". Experimental and Therapeutic Medicine 2018(16)
5265-71.
15. Bali RS et al. Abdominal tuberculosis: a surgical emergency. Int J Res Med Sci
2017;5(9):3847-50.
16. Weledji EP, Pokam BT. Abdominal tuberculosis: Is there a role for surgery?.
World J Gastrointest Surg. 2017;9(8):174–181. doi:10.4240/wjgs.v9.i8.174
30
Download