Uploaded by nonalalu

bisaayo

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hukum dalam kehidupan sangatlah diperlukan karena merupakan
kebutuhan untuk menjalankan tata cara bermasyarakat di suatu Negara, dan semua
warga Negara tentunya membutuhkan perlindungan hukum yang berasal dari
pemerintah.
Masyarakat merupakan kumpulan dari individu-individu yang senangtiasa
dalam kehidupannya saling melakuan interaksi satu sama lain mengingat manusia
merupakan mahluk sosial. Dalam hubungan yang tercipta diantara anggota
masyarakat tersebut dapat berupa hubungan hukum.
Perkembangan masyarakat yang penuh dinamika akan melahirkan berbagai
bentuk perbuatan hukum, yang terkadang untuk melakukan perbuatan hukum tidak
dapat melakukan secara langsung. Dalam kondisi ini kemudian muncul lembaga
perwakilan atau kuasa.
Perjanjian pemberi kuasa telah dikenal sejak abad pertengahan, yang dalam
hukum romawi disebut “mandatum”. Manus berati tangan dan Datum memiliki
pengertian memberikan tangan, pada mulanya mandatum dilakukan karena
pertemanan, dan dilakukan secara cuma-cuma. Baru kemudian dapat diberikan
suatu honorarium yang bersifat bukan pembayaran tapi lebih bersifat penghargaan
atas pekerjaan yang telah dilaksanakan oleh si penerima mandatum.1
1
Herlin Budiono, Perwakilan, Kuasa dan Pemberian Kuasa, Majalah Renvoi Nomor
6.42.IV, 3 November 2006, Hal. 68
1
Kuasa merupakan kewenangan mewakili melakukan tindakan hukum demi
kepentingan dan atas nama pemberi kuasa dalam bentuk tindakan hukum sepihak
dalam arti bahwa melaksanakan prestasi hanya terdapat satu pihak saja,yaitu
penerima kuasa.2
Pemberian kuasa dalam hukum positif Indonesia diatur dalam Buku III Bab
XVI mulai dari pasal 1792 sampai dengan pasal 1819 KUHPerdata. Pemberian
kuasa pada masa sekarang ini sangatlah diperlukan, mengingat dinamika dan
mobilitas anggota masyarakat yang terus berkembang. Tidak dapat dibayangkan
suatu masyarakat tanpa lembaga perwakilan yang terwujud dalam segala segi
kehidupan dibidang hukum.
Penggunan surat kuasa saat ini sangat umum di tengah masyarakat untuk
berbagi keperluan. Awalnya konsep surat kuasa hanya dikenal dalam bidang
hukum, dan digunakan untuk keperluan suatu kegiatan yang menimbulkan akibat
hukum, akan tetapi saat ini surat kuasa bahkan sudah digunakan untuk berbagai
keperluan sederhana dalam kehidupan masyarakat.
Menjadi suatu kenyataan bahwa karena jarak, sakit, tidak ada ditempat,
kesibukan dan kecakapan dapat menjadi alasan tidak dapat dilakukannya sendiri
suatu perbuatan hukumoleh yang berkepentingan. Di dalam bidang hukum, melalui
perantara dalam arti perbuatan hukum seseorang diwakili oleh orang lain
menyebabkan tetap dapat dilakukannya perbuatan hukum oleh orang yang duwakili
sekarang dianggap sudah lumrah dilakukan.
2
Badrulzaman, Mariam Darus. 2001. Kompilasi Hukum Perikatan. Citra Aditya.
Bandung, Hal. 72
2
Pemberian kuasa untuk menjual merupakan salah satu bentuk akta kuasa
yang sering dijumpai dimasyarakat. Pembuatan akta kuasa jual dalam bentuk akta
notaris merupakan suatu hal tidak sering dalam praktek notaris sehari-hari.
Pemberian kuasa yang diberikan dan ditanda tangani oleh debitor kepada kreditor
pada tanggal yang bersamaan dengan tanggal penandatanganan akta pengakuan
utang, masih dilakukan didalam praktek, Tindakan hukum semacam ini menurut
Herlien Budiono bertentangan denganasas yang bersifat “bertentangan dengan
kepentingan umum (van openbare orde) karena penjualan benda jaminan harus
dilakukan secara suka rela atau dimuka umum melalui lelang. Sehingga pemberian
kuasa jual beli semacam ini adalah batal demi hukum.3
Pemberian kuasa jual yang mengikuti suatu prjanjian utang piutang,
menurut penulis kajian yuridis lebih lanjut, mengingat kontruksi hukum dalam
perjanjian utang piutang ini adalah debitur wanprestasi, maka kreditor berdasarkan
kuasa jual yang telah diberikan kepadanya (pada saat yang bersamaan dengan
pembuatan perjanjian utang piutang) akan menjual obyek jaminan tersebut untuk
mengambil perlunasan piutangnya. Dalam konteks ini kuasa yang diberikan seperti
kuasa mutlak yang tidak dapat ditarik kembali oleh si pemberi kuasa.
Kuasa bertalian dengan adanya asas nemo plus iuris ad alium transferre
post quam ipse haberet, yang berati bahwa seseorang tidak dapat mengalihkan hak
kepada orang lain lebih daripada hak yang dimilikinya, sehingga pemberi kuasa
tidak dapat memberikan kuasa lebih daripada hak atau kewenangan yang
3
Patrik, Purwahid. Hukun Perdata II, Perikatan yang Lahir Perjanjian dan UndangUndang. Fakultas Hukum UN Semarang
3
dimilikinya. Perlu dipehatikan akan ketentuan umum bahwa suatu kuasa bersifat
privatif yang berarti, bahwa dengan adanya kuasa tidak berati pemberi kuasa sendiri
tidak dapat malakukan perbuatan hukum yang telah dikuasakannya. Suatu kuasa
bukan suatu peralihan hak. Pemberian kuasa atau lastgeving adalah suatu
persetujuan, dengan mana seseorang memberikan kekuasaan kepada seorang lain,
yang menerimanya untuk atas namanya menyelenggarakan suatu urusan.
Contoh kasus: Si A Pemilik tanah memberikan kuasa atas penjualan
tanahnya yang berada diluar kota/provinsi kepada orang yang ia percaya yaitu si B,
sehingga jika terjadi masalah atas penjualan tanah tersebut maka si B memiliki
tanggung jawab dalam perkara permasalahan itu karena sudah menerima kuasa.
Berdasarkan uraian diatas maka penulisan terkait untuk melakukan
penelitian dengan melakukan pengkajian lebih mendalam tentang “Perlindungan
Hukum Bagi Pihak Pemberi Kuasa Untuk Menjual Dalam Pelaksanaan Jual
Beli Tanah Dan Bangunan Di Kabupaten Sarolangun”
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada lataer belakang di atas, maka rumusan masalah
dalam penelitian ini adalah:
1. Bagaimana perlindungan hukum bagi pemberi kuasa dalam pelaksanan jual
beli tanah dan bangunan di Kabupaten Sarolangun?
2. Apa saja masalah-maslah yang timbul terhadap pemberian kuasa pelaksana
jual beli tanah dan bangunan di Kabupaten Sarolangun?
4
3. Upaya apa saja dalam penyelesaian masalah yang timbul terhadap pihak
pemberi kuasa dalam pelaksanan jual beli tanah dan bangunan di Kabupaten
Sarolangun.
C. Tujuan dan Kegunan Penelitian
Adapun tujuan dan kegunan penelitian adalah:
1. Untuk mengetahui perlindungan hukum bagi pihak pemberi kuasa dalam
pelaksanan jual beli tanah dan banguna di Kabupaten Sarolangun.
2. Untuk mengetahui masalah-masalah yang timbul terhadap pihak pemberi
kuasa dalam pelaksanan jual beli tanah dan bangunan di Kabupaten
Sarolangun.
3. Unuk mengetahui upaya penyelesaian masalah yang timbul terhadap pihak
pemberi kuasa dalam pelaksanan jual beli tanah dan bangunan di Kabupaten
Sarolangun.
Adapun kegunaan dari penulisan ini adalah:
1. Hasil dari penulisan ini menambah wawasan khususnya untuk mengetahui
perlindungan hukum bagi pemberi kuasa dalam pelaksanan jual beli tanah
dan bangunan di Kabupaten Sarolangun.
2. Agar dapat menjadi sumber referensi ilmu hukum dan masukan
masyarakat tentang perlindungan hukum bagi pemberi kuasa dalam
pelaksanan jual beli tanah dan bangunan di Kabupaten Sarolangun.
3. Untuk memenuhi persyaratan dalam rangka menyelesaikan studi guna
memperoleh gelar sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas
Batanghari Jambi.
5
D. Kerangka Konseptual
Untuk memberikan gambaran yang jelas dan mengetahui menghindari
penafsiran yang berbeda dalam mengartikan istilah yang di gunakan dalam
peneelitian ini tentang perlindungan hukum pagi pemberi kuasa dalam pelaksanan
jual beli tanah dan dan bangunan di Kabupaten Sarolangun, maka penulis
memberikan batasan dari konsep terkain dari pemberian definisi dari beberapa
istilah yang ada, yaitu sebagai berikut:
1. Perlindungan hukum adalah pengayoman kepada hak asasi manusia yang di
rugikan orang lain dan prlindungan tersebut diberikan kepada masyarakat
agar mereka dapat menikmati semua hak-hak yang diberikan oleh hukum
atau dengan kata lain perlindungan hukum adalah berbagai upaya hukum
harus dibrikan oleh aparat penegak hukum untuk memberikan rasa aman,
baik secara pikiran maupu fisik dari gangguan dan berbagai ancaman dari
pihak manapun.
2. Pemberi kuasa adalah suatu persetujuan dengan nama seseorang
memberikan kekuasan kepada seseorang lain yang menerimanya, untuk atas
namanya menyelengarakan suatu urusan.
3. Jual beli adalah transaksi antara satu orang dengan orang lainnya yang
berupa tukar menukar suatu barang dengan barang yang lain berdasarkan
tata cara atau akad tertentu. Pada kenyataanya dalam kehidupan sehari-hari,
pengertian jual beli adalah penukaran barang dengan uang. Sedangkan
penukaran barang dengan barang tidak lazim disebut jual beli, melainkan
disebut barter.
6
4. Tanah adalah lapisan tipis kulit bumi dan terletak paling luar. Tanah
merupakan hasil dari pelapukan atau erosi batuan induk (anorganik) yang
bercampur dengan bahan organik. Tanah mengandung partikel batuan atau
mineral, bahan organik (senyawa organik dan organisme) air dan udara.
5. Bangunan adalah struktur buatan manusia yang terdiri atas dinding dana
atap yang didirikan secar permanen disuatu tempat. Bangunan juga bisa
disebut rumah dan gedung, yaitu segala sarana, prasarana atau infrastruktur
dalam
kebudayaan
atau
kehidupan
manusia
dalam
membangun
peradabannya.
6. Kabupaten Sarolangun adalah salah satu Kabupatan di Provinsi Jambi.
E. Kerangka Teoritis
Perlindungan hukum adalah pengayoman kepada hak asasi manusia yang di
rugikan orang lain dan prlindungan tersebut diberikan kepada masyarakat agar
mereka dapat menikmati semua hak-hak yang diberikan oleh hukum atau dengan
kata lain perlindungan hukum adalah berbagai upaya hukum harus dibrikan oleh
aparat penegak hukum untuk memberikan rasa aman, baik secara pikiran maupun
fisik dari gangguan dan berbagai ancaman dari pihak manapun.4
Perlindungan hukum adalah perlindungan akan harkat dan martabat, serta
pengakuan terhadap hak-hak asasi manusia yang daimiliki oleh subyek hukum
berdasarkan ketentuan hukum dari kesewenangan atau sebagai kempulan peraturan
atau kaidah yang akan dapat melindungi suatu hal dari hal lainnya. Berkaitan
4
Setiono, Rule Of Law (Supermasi Hukum), Surakarta. Megister Ilmu Hukum Program
Pascasarjanan Universitas Sebebelas Maret. 2004. hlm. 3
7
dengan konsumen, berati hukum memberikan perlindungan tehadap hak-hak
pelanggan dari suatu yang mengakibatkan tidak terpenuhunya hak-hak tersebut.
Perlindungan hukum adalah penyempitan arti dari perlindungan, dalam hal
ini hanya berlindung oleh hukum saja. Perlindungan yang diberikan oleh hukum,
terkait pula dengan adanya hak dan kewajiban, dalam hal ini yang dimiliki oleh
manusia sebagai suyek hukum dalam interaksinya dengan sesama manusia serta
lingkungannya. Sebagai subyek hukum manusia memiliki hak dan kewjiban untuk
melakuan suatu tindakn hukum.
Muenurut seitono, perlindungan hukum adalah tindakan atau upaya untuk
mekindungi masyarakat dari perbuatan sewenag-wenang oleh penguasa yang tidak
sesuai dengan aturan hukum, untuk mewujudkan ketertiban dan ketentraman
sehingga memungkinkan manusia untuk menikmati matabatnya sebagai manusia.5
Menurut Muchsin, perlindungan hukum adalah merupakan kegiatan untuk
melindungi individu dengan menyerasikan hubungan nilai-nilai atau kaidah-kaidah
yang menjelema dalam sikap dan tindakan dalam menciptakan adanya ketertiban
dalam pergaulan hidup antara sesama manusia.6
Menurut Muchsin, perlindungan hukum merupakan suatu hal yang
melindungi subyek-subyek hukum melalui peraturan perundang-undangan yang
berlaku dan dipaksakan pelaksanannya dengan suatu sanksi perlindungan hukum
dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:
5
Kristiyanti, Celina Tri Siwi. Hukum perlindungan konsumen. Jakarta: Sinar Grafika,
2008, Hal. 54
6
Setiono Hadi, 2004, Hukum Perlindungan Konsumen. Jakarta: Raja Grafindo Prasada,
Hal. 21
8
1. Perlindungan hukum preventif perlindungan hukum yang diberikan oleh
pemerintah dengan tujuan untuk mencegah sebelum terjadinya pelanggaran.
Hal ini terdapat dalam peraturan perundang-undangan dengan maksud
untuk mencegah suatu pelnggaran serta memberikan rambu-rambu atau
batasan- batasan dalam melakukan suatu kewajiban.
2. Perlindungan hukum Represif perlindungan hukum yang merupakan
perlindungan akhir berupa sanksi seperti denda, penjara, dan hukuman
tambahan yang diberikan apabila sudah terjadi sengketa atau telah
dilakukan suatu pelanggaran.
Menurut Philipus M. Hadjon, bahwa sarana perlindungan hukum ada dua
macam, yaitu:
1. Sarana perlindungan Hukum Preventif pada perlindungan hukun preventif
ini,subyek hukum diberikan kesempatan untuk mengajukan keberatan atau
pendapatnya sebelum suatu keputusan pemeritahan mendapat bentuk yang
definitive. Tujuannya adalam mecegah terjadinya sengketa. Perlindungan
hukum preventif sangat besar artinya dalam tindak pemerintahan yang
didasarkan pada kebebasan bertindak karena adanya perlindungan hukum
yang preventif pemerintah terdorong untuk bersifat hati-hati dalam
mengambil keputusan yang didasarkan pada diskresi, di Indonesia belum
ada pengaturan khusus mengenai perlindungan hukum preventif.
2. Sarana perlindungan Hukum Represif perlindungan hukum represif
bertujuan untuk menyelesaikan sengketa. Penangan perlindungan hukum
oleh Pengadilan Umum dan Administrasi di Indonesia termasuk kategori
9
perlindungan hukum ini. Prinsip perlindungan hukum terhadap tindakan
pemerintah bertumpu dan bersumber dari konsep tentang pengakun dan
perlindungan hukum terhadap hak-hak asasi manusia karena menurut
sejarah dari barat, lahirnya konsep-konsep tentang pengakuan dan
perlindungan terhadap hak-hak asai manusia diarahkan kepada pembatasanpembatasan dan peletakan kewajiban masyarakat dan pemerintah. Perinsip
kedua yang mendasari perlindungan hukum terhadap tindak pemerintahan
adalah perinsip negara hukum. Dikaitkan dengan pengakuan dan
perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia, pengakuan dan perlindungan
hak asasi manusia mendapat tempat utama dan dapat dikaitkan dengan
tujuan dari negara hukum.
Menurut teori pernyatan, pembentukan kehendak terjadi dalam ranah kewajiban
seseorang. Sehingga pihak lawan tidak mungkin mengetahui apa yang sebenarnya
terdapat didalam benak seseorang. Dengan demikian suatu kehendak yang tudak
dapat dikenali prhak lain tidak mungkin menjadi dasar dari bentuknya suatu
perjanjian.
Agar suatu kehendak dapat menjadi perjanjian, maka kehendak tersebut
harus dinyatakan. Sehingga yang menjadi dasar dari terikatnya seseorang terhadap
suatu perjanjian adaah apa yang dinyatakan oleh orang tersebut. Lebih lanjut lanjur
menurut teori ini, jika terdapat ketidak sesuaian antara kehendak dan pernyatan,
maka hal ini tidak akan menghalangi terbentuknya perjanjin.
Teori pernyatan lahir sebagai jawaban sebagai kelemahan teori kehendak.
Namun teori ini juga memiliki keleman, karena teori pernyatan hanya berfokus
10
pada penyataan dan tidak memperhatukan kehendak seseorang. Sehingga terdapat
potensi kerugian yang terjadi apabila tidak terdapat kesesuain antara kehendak dan
pernyataan. Misalnya seseorang menjual mobil yang harga pasarannya Rp.100.
Teori pernyataan-harapan melahirkan konsep turunan, di antaranya adalah t
reori setandar-ganda dan konsep ligitimasi. Teori standar-ganda diawali oleh
temuan Carter (1993) tentang hambatan yang dialami oleh orang-orang AfrikaAmerika di AS ketika mereka berusaha menunjukan kompetensi mereka di sekolah
atau di dunua kerja. Akibat keyakinan tentan setatus yang tidak menguntungkan,
orang orang dari kelompok status rendah (low status groups) harus menunjukan
tingkat kinerjanya yang lebih tinggi di bandingkan orang-orang dari status
kelompok tinggi (high status groups) agar dianggap dan dinilai sama-sama
kompeten.7
Temuan tersebut dilanjutkan oleh Foschi (1989, 2000) ia memperkenalkan
istilah “standar” sebagai mekanisme yang digunakan oleh para pelaku untuk
mengatribusikan kinerja terhadap kemampuan. Standar dalam hal ini merupakan
fungsi karakteristik setatus difusi yang menciptakan perbedan harapan kinerja bagi
para
pelakunya,
dan
akhirnya
menghasilkan
perbedaan
standar
dalam
mengatribusikan kemampuan. Ketika seorang dari kelompok status lebig rendah
menunjukan kinerja yang baik bagi tugas kelompok, ia akan dinilai rendah karena
kinerjanya yang baik tersebut tidak sesuai dengan aapa yang diharapkan
berdasarkan posisinya dalam hierarki status kelompok. Namun ketika seorang dari
7
Nieuwenhuis, 1998, Pokok-pokok Hukum Perikatan, terjemah Djasadin Saragih,
Surabaya: Universitas Arilangga, Hal. 62
11
kelompok lebih tinggi menunjukan kinerja yang sama, ia akan dinilai lebih tinggi
dan positif karena sesuai dengan harapan yang didasarkan oleh hierarkinya (status
based expectations). Dengan demikian, kinerja tugas yang sama akan dinilai lebih
mencerminkan kemampuan ketika ditunjukan oleh anggota kelompok dengan
setatus sosial yang lebih tinggi. Inilah yang dimaksud dengan standar-ganda.
Menurut teori kehendak, faktor yang menentukan perjanjian adalah
kehendak. Meskipun demikian, terdapat hubungan yang tidak terpisahkan antara
kehendak dan pernyatan. Oleh karena itu suatu kehendak harus dinyatakan. Namun
apabila terdapat ketidak sesuaian antara kehendak dan pernyataan, maka tidak
terbentuk suatu perjanjian. 2 kelemaha dari teori ini adalah akan timbul kesulitan
apabila terdapat ketidak sesuaian antara kehendak dan pernyataan. Karena dalam
kehudupan sehari-hari seseorang harus mempercayai apa yang dinyatakan oleh
orang lain.
Simons mengatakan baahwa dengan demikian, kesenjangan itu adalah
merupakan kehendak (de will), ditujukan kepada perwujudan dari suatu tindakan
yang dialarang atau diharuskan oleh undang-undang. Ajaran ini disebut teori
kehendak (wilstheorie). Teori kehendak ini disangkal oleh para sarjana lainnya
dengan mengemukakan alasan, bahwa seseorang hanya dapat mengharapkan suatu
wujud perbuatan tertentu. Untuk suatu akibat yang (akan) timbul dari perbuatan itu,
tidak mungkin ia secara tepat menghendakinya. Paling banter ia bias mengharapkan
atau
memperkirakannya.
Teori
ini
disebut
sebagai
Teori
Perkiraan
(voorstelingstheorie).
12
Untuk memahami jalan pikiran ajaran teori kehendak dan Teori Perkiraan
kita mencermati pendapat Simons yang mengatakan tindak pidana itu terdiri dari
dua golongan unsur, yaitu unsur obyektif dan unsur subyektif. Unsur obyektif
adalah perbuatan/tindakan yang dilarang/diharuskan, akibat dan keadaan – keadaan
atau
masalah
tertentu.
Dan
unsur
subyektif
adalah
kesalahan
dan
pertanggungjawaban pidana. Jika ditujukan kepada perbuatan, maka disebut
sebagai kesenjangan formal, dan jika ditujukan kepada akibat yang timbul dari
perbuatan tersebut, disebut sebagai kesenjangan material. Dalam hal kehendak itu
ditunjukan kepada perbuatan seperti dalam halnya delik-delik formal (misalnya
perusakan barang pasal 406 KUHP), maka tidak ada perbedaan jalan pikiran dari
kedua ajaran itu. Dalam contoh diatas, memang perbuatan merusak adalah
merupakan kehendakdari pelaku. Lain halnya jika kehendak itu ditunjukan kepada
akibat yang timbul, seperti halnya delik merampas jiwa orang, mialnya dengan
mempergunakan senjata api. Matinya seseotang itu adalah sebagai akibat perbuatan
menembak. Menurut jaran yang kedua hamyalah dapat diharapkan atau dipikirkan
oleh pelaku dan tidak mungkin sebagai kehendak yang sesungguhnya. Karena ada
pula kemungkinan lain yaitu bahwa yang tertembak adalah justru orang ketiga.
Teori kehendak bilamana dibandingkan dengan teori perkiraan, akhirnya
dalam kenyataan tidak jauh berbeda, walaupun tolak pangkalnya berbeda. Kerena
teori kehendak mengajarkan bahwa apabila seseorang melakukan perbuatan, maka
bukanlah hanya perbuatan itu, tentunya tidak akan melakukannya. Justeru akibat
itulah yang dikehendakinya yang mendoronya untuk melakukan perbuatan tersebut.
Jelaslah pada akhirnya tidah terdapat perbedaan yang principal antara
13
“menghendaki akibat” dan” memperkirakan”.
Kedua ajaran itu sama-sama
menunjukan hubungan yang erat sekali antara kejiwaan pelaku dengan akibat yang
ditimbulkannya.
F. Metoologi Penelitian
Metode adalh proses, prinsip-prinsip dan tata cara memcahkan suatu
masalah, sedangkan penelitian adalah pemeriksa secara hati-hati, tekun dn tuntas
terhadap suatu gejala untuk menambah pengetahuan manusia, maka metode
penelitian dapat diartikan sebagai peroses prinsip-prinsipdan tata cara untuk
memecahkan masalah yang dihadapi dalam memlakukan penelitian.
Metode pendekatanyang dipergnakan dalam penelitian ini adalah yuridis
normative yaitu penelitian yang secara deduktif dimulai analisa terhadap pasalpasal
dalam
peraturan
perundang-undangan
yang
mengatur
terhadap
permaasalahan diatas. Penelitian hukum secara yuridis maksudnya penelitian yang
mengacu pada studi kepustakaan yang ada ataupun terhadap data sekunder yang
digunakan. Sedangkan bersifat normatif maksudnya penelitian hukum yang
bertujuan untuk memperoleh pengetahuan normatif tentang hubungan antara suatu
peraturan lain dan penerapan dalam prakteknya.8
Usaha untuk menemukan, mengembangkan dan menguji kebenaran suatu
pengetahuan, usaha mna dilakukan metode ilmiah. Dengan demikian penelitian
yang dilakukan dan dilaksanakan tidak lain untuk memperoleh data yang telah teruji
kebenaran ilmiahnya. Namun untuk mencapai kebenaran ilmiah tersebut ada dua
pola piker menurut sejarahnya, yitu berfikir secara rasional dengan berfikir secara
8
Ali, Zainuddin, 2010. Metode Penelitian Hukum, Jakarta, Sinar Grafika. hal. 45
14
empiris. Oleh karena itu untuk menemukan metote ilmiah maka digabungkanlah
metode pendekatan rasional dan metode pendekatan empiris. Disini rasionalisme
memberikan kerangka pemikiran yang logis sedangkan empirisme merupakan
kerangka penbuktian atau perjanjian untuk memastikan suatu kebenaran.
1. Pendekatan Penelitian
Pndekatan penelitian ini adalah pendakatan penelitian hukum yuridis normatif.
Metode peneitian hukum jenis ini juga bias disebut sebagai penelitian hukum
dokterin atau penelitian perpustakaan. Dinamkan penelitian hukum dokteriner
dikarenakn penelitian hukum ini hanya ditujukan pada peraturan-peraturan tertulis
sehingga penelitian ini sangat erat hubungannya pada perpustakan karena akan
membutuhkan data-data yang besifat sekunder pada perpustakan. Dalam penelitian
hukum normatif hukum yang tertulis dikaji dari berbagai aspek seperti aspek teori,
filosofi, perbandingan, struktur/ komposisi, konsistensi, penjelasan umum dan
penjelasa pada tiap pasal, formalitas dan kekuatan megikat suatu undang-undang
serta Bahasa yang digunakan adalah Bahasa hukum. Sehingga dapat kita simpulkan
pada penelitian hukum normatif mempunyai cakupan luas.
Metode penelitian hukum normatif empiris ini pada dasarnya merupakan
penggabungan antara pendekatan hukum normatif dengan adanya penambahan
berbagai
unsur
empiris.
Metode
penelitian
normatif-empiris
mengenai
implementasi ketentuan hukum normative (undang-undang) dalam aksinya pada
15
setiap peristiwa hukum tertentu yang terjadi dalam suatu masyarakat. Dalam
penelitian jenis ini terdapat tga kategori takni:
a) Non judicial case study
Merupakan pendekatan studi kasus hukum yang tanpa konflik sehingga
tidak ada campuran tangan dengan pengadilan.
b) Judicial case study
Pendekatan ini merupakan pendekatan studi kasus hukum krena konflik
sehingga akan melibatkan campur tangan dengan pengadilan untuk
memberikan keputusan penyelesaian (yurisprudensi).
c) Live case study
Pendekatan ini merupakan pendekatan pada suatu peristiwa hukum
yang perosesnya masih berlangsung atau belum berakhir.
Dalam penelitian hukum normatif yang diteliti pada awalnya data sekunder
untuk kemudian dilanjutkan dengan penelitian terhadap data primer dilapangan atau
terhadap prakteknya.
2. Spesifikasi penelitian
Spesifikasi penelitian yang dipakai dalam penelitian ini adalah deskriptif
analisis yaitu penelitian yang bertujuan untuk memberikan gambaran secara rinci,
sistematis dan menyeluruh mengenai segala suatu yang berhubungan dengan
masalah pemecahan perkara pidana (splitsing) dalam peroses pembuktian suatu
tindak pidana, dengan menggambarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku berkaitan dengan splitsing dikaitkan dengan teori-teori hukum dan praktek
pelaksanan hukum positif yang menyangkut permasalahan dalam penelitian ini
16
yakni tentang perlindungan hukum bagi pemberi kuasa dalam pelaksanan jual beli
tanah dan bangunan di Kabupaten Sarolangun.
3. Sumber Data
Dalam penelitian ini penulis menggunakan tiga bahan hukum yang terdiri
dari:
a. Bahan hukum primer yaitu bahan yang mempunyai kekuatan mengikat
secara yuridis, yaitu Kitab Undang-undang hukum perdata (KUHPerdata).
b. Bahan hukum sekunder adalah bahan yang tidak mempunyai kekuatan
mengikat secara yuridis, seperti yang berkaitan dengan judul penelitian
literature dan jurnal bahan-bahan hukum yang mengikat, baik terkodifikasi
maupun yang belum terkodifikasi yaitu peraturan perundang-undangan
dengan obyek bahan-bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai
bahan hukum primer, terdiri dari buku-buku yang berhubungan dengan
obyek penelitian artikel, berita, laporan dan tulisan lainya yang dianggap
relevan dengan obyek tertentu.
4. Metode Analisis Data
Peroses analisis data merupakan pekerjaan untuk menemukan tema-tema
dan merumuskan hipotesa-hipotesa meskipun sebenarnya tidak ada formal yang
pasti untuk merumuskan hipotesa. Data yang telah dianalisis dengan maksud untuk
mendskripsikan karakteristik smpel pada variable yang diteliti, kemudian ditarik
kesimpulan. Sedangkan teknik analisa data yang digunakan adalah analisa
kualitatif, yaitu data yang diperoleh kemudian disusun secara sistematis untuk
17
selanjutnya dianalisa secara kualitatif berdasarkan disiplin ilmu hukum
mempercayai kejelasan masalah yang akan dibahas.
G. Sistematika Penulisan
Untuk menyusun skripsi ini penulis membahas dan menguraikan masalah, yang
dibagikan dalam lima bab. Adapun maksud dari pembagian skripsi ini kedalam bab-bab
dan sub bab adalah agar untuk memperjelas dan menguraikan setiap permasalahan
dengan baik.
Bab I menjelaskan mengenai pendahuluan yang berisikan antara lain, latar belakang
masalah, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian/penulisan, kerangka,
kenseptual, landasan teoritis, metode penelitian, dan sistematika penulisan.
Bab II menguraukan Tinjauan Umum Tentang Jual Beli Tanah Dan Bangunan,
yang meliputi pengertian Jual Beli Tanah, Jual Beli Menurut Hukum Agraria, Syarat
Serta Prosedur Jual Beli Tanah Dan Bangunan.
Bab III Tinjauan Umum Tentang Kuasa, yang meliputi Tentang Pemberian Kuasa,
Pemberian Kuasa Merupakan Suatu Perjanjian, Pemberian Kuasa Untuk Melakukan
Suatu Perbuatan Hukum, Jenis Pemberian Surat Kuasa, Sifat Pemberian Kuasa,
Kewajiban Menerima Kuasa dan Kewajiban Pemberi kuasa.
Bab VI merupakan hasil penelitian tentang perlindungan hukum bagi pemberi
kuasa dalam pelaksanan jual beli tanah dan bangunan di Kabupaten Sarolangun.
Maslah-masalah yang timbul atas pemberian kuasa dalam pelaksanan jual beli tanag dan
bangunan di Kabupaten Sarolangun dan upaya penyelesaian maslah yang timbul
terhadap pemberian kuasa dalam pelaksanan jual beli tanah dan bangunan di Kabupaten
Sarolangun.
18
Bab V merupakan penutup yang menyajikan kesimpulan dan saran dari hasil
penelitiam ini, yang kemudian diakhiri dengan lampiran-lampiran yang terkait dengan
hasil yang ditemukan di lapangan yang dipergunakan sebagai pembahasan atas
penelitian.
19
DAFTAR PUSTAKA
Herlin Budiono, Perwakilan, Kuasa dan Pemberian Kuasa, Majalah Renvoi
Nomor 6.42.IV, 3 November 2006, Hal. 68
Badrulzaman, Mariam Darus. 2001. Kompilasi Hukum Perikatan. Citra Aditya.
Bandung, Hal. 72
Patrik, Purwahid. Hukun Perdata II, Perikatan yang Lahir Perjanjian dan
Undang-Undang. Fakultas Hukum UN Semarang
Setiono, Rule Of Law (Supermasi Hukum), Surakarta. Megister Ilmu Hukum
Program Pascasarjanan Universitas Sebebelas Maret. 2004. hlm. 3
Kristiyanti, Celina Tri Siwi. Hukum perlindungan konsumen. Jakarta: Sinar
Grafika, 2008, Hal. 54
Setiono Hadi, 2004, Hukum Perlindungan Konsumen. Jakarta: Raja Grafindo
Prasada, Hal. 21
Nieuwenhuis, 1998, Pokok-pokok Hukum Perikatan, terjemah Djasadin Saragih,
Surabaya: Universitas Arilangga, Hal. 62
Ali, Zainuddin, 2010. Metode Penelitian Hukum, Jakarta, Sinar Grafika. hal. 45
20
Download