Uploaded by mauliainka18

uas pemol

advertisement
Nama: Maulia Inka Vira F
NPM: 1706053040
Mata Kuliah: Polisi dan Pemolisian
Dosen: Drs. Dadang Sudiadi
Hubungan Antara Democratic Policing dengan Community Policing dan
Penerapannya di Indonesia
Polisi yang ideal di mana pun adalah polisi yang cocok dengan masyarakat.
Berubah dari brawn menjadi brain. Dari polisi yang antagonis menjadi polisi yang
protagonis (Satjipto Rahardjo : 2000) Polisi yang modern dan demokratis adalah polisi
sipil dengan birokrasi yang modern dengan sistem yang impersonal. Untuk menjadi
profesionl adalah dengan memahami corak masyarakat dan kebudayaannya (Parsudi
Suparlan: 1999). Pada masa orde baru, polisi merupakan agen pemerintahan yang
subjektif dengan kepentingan pemerintah, polri masih bersikap otoritatif dan bersifat
top-down. Lalu berubah setelah reformasi, dimana polri bersifat bottom-up, dan relasi
dengan masyarakat menjadi vital karena masyarakat merupakan sumber legitimasi Polri
pada masa demokratis. Sistem ini merupakan salah satu tuntutan demokrasi yang
menginginkan Polri mengikuti arus demokratisasi. Salah satu upaya Polri yaitu dengan
pembukaan alur informasi dan komunikasi dua arah antara pihak yang direpresentasikan
dengan pihak yang merepresentasikan, yaitu Polri dan masyarakat (SSW, 2018).
Dalam democratic policing terdapat prinsip-prinsip yang secara umum
mengikuti kaidah umum sistem demokrasi, seperti partisipasi masyarakat, kesetaraan,
toleransi politik, akuntabilitas,
transparansi, kebebasan ekonomi, pengendalian
penyalahgunaan kekuasaan, HAM, aturan hukum, dan profesionalisme. Dalam
Handbook of Democratic Policing yang dikeluarkan oleh Organization for Security and
Cooperation in Europe (OSCE) tahun 2008, disebutkan bahwa tujuan democratic
policing dalam kegiatan kepolisian adalah untuk melayani masyarakat, bertingkah laku,
dan bersikap sesuai etika kepolisian, untuk memastikan bekerja dengan kualitas kinerja
1
terbaik, berusaha untuk transparan dalam semua tindakan dan perbuatan, memastikan
akuntabilitas publik dijalankan dengan baik.
Pemolisian di negara-negara yang modern dan demokratis adalah pemolisian
yang proaktif dan problem solving yang dilaksanakan melalui pemolisian komuniti
(community policing). Polisi demokratik memiliki makna sebagai polisi yang
menghargai hak-hak sipil, tunduk pada prinsip-prinsip demokrasi dan good governance
serta melakukan pemolisian komuniti (community policing). Agar kepolisian dapat
menjadi kepolisian yang demokratik, maka tindakan polisi perlu mengacu pada empat
norma, yakni: memberi prioritas pada pelayanan; dapat dipertanggungjawabkan
menurut hukum; melindungi HAM, terutama untuk jenis kegiatan politik; dan
transparan. Oleh karena itu, democratic policing dapat dimaknai sebagai konsep
pemolisian yang mengacu pada orientasi utama penegakan hukum (rule of law)
sekaligus penghormatan terhadap hak asasi manusia (HAM) (Karnavian, Tito &
Sulistyo, H; 2017).
Selanjutnya, dalam konteks pelayanan publik, Polri sebagai aparat penegak
hukum secara konsisten mengacu kepada segala peraturan pemerintah, yakni salah
satunya Keputusan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara tentang Standar
Pelayanan Publik. Dengan demikian, profesionalisme institusi Polri merupakan bagian
dari upaya tercapainya good governance dalam tugas dan fungsi policing di Indonesia.
Standar pelayanan publik dalam penegakan hukum terhadap fungsi policing, antara lain
partisipasi keterlibatan masyarakat, transparansi terhadap tingkat aksesibilitas informasi,
hingga akuntabilitas yang berupa tanggung jawab kepada public (Karnavian, Tito &
Sulistyo, H; 2017). Dalam konteks democratic policing, polisi sebagai alat negara,
merupakan institusi yang lahir dari masyarakat, sehingga harus bertanggungjawab
terhadap masyarakat, bukan kepada penguasa.
Konsep democratic policing ini sejalan dengan konsep community policing. Jika
community policing dipergunakan sebagai filosofi dari kinerja polisi, maka democratic
policing lebih pada tataran manajemen atau pengelolaan kinerja polisi. Paradigm
democratic policing sejalan dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 menegaskan
bahwa salah satu tugas polisi adalah memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat,
sehingga logis apabila dalam menjalankan tugasnya polisi harus berada di tengah2
tengah masyarakat. Democratic policing menyangkut kesiapan Polri dalam memberikan
rasa aman dan jaminan keamanan bagi warga negara. Dan ini dapat diwujudkan juga
dengan membangun hubungan antara polri dengan masyarakat dan dapat diwujudkan
dalam bentuk community policing, dimana community policing adalah upaya kolaborasi
antara polisi dan komunitas untuk mengidentifikasikan masalah-masalah kejahatan dan
ketidak-tertiban dan untuk mengembangkan pemolisian komunitas, baik sebagai filosofi
dan sebuah strategi organisasional, membawa polisi dan penduduk komunitas untuk
bekerja bersama secara erat dalam sebuah cara baru untuk menyelesaikan masalahmasalah kejahatan, ketakutan terhadap kejahatan, ketidaktertiban fisik dan sosial, serta
pembusukan lingkungan ketetanggaan. (Mohammad Kemal, 2011).
Sebagaimana terdapat prinsip-prinsip demokrasi di dalam democratic policing,
begitu juga dalam community policing, dimana menurut Leonardo Morino (2002)
terdapat lima prinsip demokrasi dalam community policing, yakni kepastian hukum
(rule of law), akuntabilitas, penekanan pada ketanggapan (responsiveness), keterkaitan
sistem dengan keinginan warga atau masyarakat sipil secara umum, penghargaan penuh
terhadap hak asasi yang mencakup berbagai hal yang berhubungan dengan kebebasan,
dan implementasi progresif pada persamaan politik, sosial, dan ekonomi (Mohammad
Kemal, 2011). Maka dari itu, polri dalam menjalankan tugasnya harus mengacu pada
prinsip-prinsip ini. Implementasi tugas maupun fungsi pemolisian yang sejalan dengan
iklim demokrasi ini mengarah pada konsep polisi yang profesional, modern, dan
terpercaya (Promoter).
Pengimplementasian community policing ini tertuang dalam Peraturan Kepala
Kepolisian Negara Republik Indonesia, nomor 7 tahun 2008 tentang Pedoman Dasar
Strategi dan Implementasi Pemolisian Masyarakat dalam Penyelenggaraan Tugas Polri,
pasal 7 ayat 1 dicantumkan bahwa tujuan polmas adalah terwujudnya kemitraan polisi
dan masyarakat yang didasari kesadaran bersama dalam rangka menanggulangi
permasalahan yang dapat mengganggu keamanan dan ketertiban masyarakat guna
menciptakan rasa aman, tertib, dan tentram serta meningkatkan kualitas kehidupan
masyarakat. Kemitraan dalam konteks pemolisian masyarakat di Indonesia adalah
segala upaya membangun sinergi dengan potensi masyarakat yang meliputi komunikasi
berbasis kepedulian, konsultasi, pemberian informasi, dan berbagai kegiatan lainnya
3
demi tercapainya tujuan masyarakat yang aman, tertib, dan tentram (M. Kemal, 2011).
Penerapan community policing di Indonesia ini telah ditindaklanjuti dengan perintah
implementasi Polmas mulai dari tingkat Mabes Polri, Polda, Polres, sampai dengan
Polsek dan Pospol. Dalam menjalankan fungsinya, polisi di tingkat Polsek akan lebih
berhadapan langsung dengan masyarakat yang dilayaninya. Bentuk dari community
policing ini diatur dalam Surat Keputusan Kapolri no. pol SKEP/737/X/2005, tentang
kebijakan dan srategi penerapan pemolisian masyarakat dalam penyelenggaraan tugas
polri. Surat keputusan kapolri tersebut menjelaskan bahwa implementasi kemitraan
antara polisi dan masyarakat ini adalah FKPM (Forum Kemitraan Polisi dan
Masyarakat). Forum Kemitraan Polisi Masyarakat adalah wahana komunikasi antara
polisi dan warga yang dilaksanakan atas dasar kesepakatan bersama dalam rangka
pembahasan masalah Kamtibmas dan masalah-masalah sosial yang perlu diepecahkan
bersama oleh masyarakat dan petugas polri dalam rangka menciptakan kondisi yang
menunjang kelancaran penyelenggaraan fungsi kepolisian dan peningkatan kualitas
hidup masyarakat. Forum Kemitraan Polisi Masyarakat ini dibentuk sebagai wadah
komunikasi antara polisi dengan masyarakat untuk memahami kebutuhan warga
masyarakat maupun untuk mencari solusi atau pemecahan masalah yang terjadi
(Sutanto, 2006). Forum Kemitraan Polisi-Masyarakat disingkat FKPM dibentuk pada
tingkat desa/kelurahan, Polsek dan tingkat organisasi Polri lainnya sesuai kebutuhan
(Sutanto, 2006). Kegitan pembentukan FKPM adalah dengan mengundang berbagai
macam kalangan warga dan dipilih perwakilan untuk menjadi anggota FKPM.
Selanjutnya akan dipilih perwakilan yang akan menjadi pengurus FKPM. Ketua FKPM
bukan dari polisi, tetapi wakil dan sekretarisnya adalah polisi.
Upaya lain dalam mewujudkan community policing ini yaitu melalui media
online yaitu e-policing atau yang disebut sebagai e-polmas. E-Policing adalah
pemolisian secara elektronik yang dapat diartikan sebagai pemolisian secara online
sehingga hubungan antara polisi dengan masyarakat bisa terjalin dalam 24 jam tanpa
batas ruang dan waktu (Chryshnanda DL, 2015). Dengan demikian E-Policing
merupakan model pemolisian di era digital sehingga pelayanan dapat terselenggara
dengan cepat, tepat, akurat, transparan, akuntabel, informatif , dan mudah diakses. Epolicing juga dikatakan sebagai reformasi birokrasi, karena dapat menerobos sekat-sekat
4
birokrasi yang rumit yang mampu menembus ruang dan waktu misalnya tentang
pelayanan informasi dan komunikasi melalui internet (SSW, 2018).
Selanjutnya, program community policing ini dapat dinyatakan berhasil melalui
beberapa indikator, yakni:
Indikator dari aspek pengemban polisi masyarakat diantaranya:
1. kesadaran bahwa masyarakat sebagai pemangku kepentingan yang harus
dilayani
2. meningkatnya rasa tanggung jawab tugas kepada masyarakat
3. meningkatnya semangat melayani dan melindungi masyarakat sebagai
kewajiban profesi
4. meningkatnya kesiapan dan kesediaan menerima keluhan/pengaduan
masyarakat
5. meningkatnya kecepatan merespons pengaduan/keluhan/laporan masyarakat
6. meningkatnya kecepatan mendatangi TKP
7. meningkatnya kesiapan memberikan bantuan yang sangat dibutuhkan
masyarakat
8. meningkatnya kemampuan menyelesaikan masalah, konflik/pertikaian
antarwarga
9. meningkatnya intensitas kunjungan petugas terhadap warga.
Sedangkan indikator dari aspek masyarakat, dinilai dari:
1. Pengemban Polmas dan Bhabinkamtibmas mudah dihubungi oleh masyarakat
2. pos/loket pengaduan/laporan mudah ditemukan masyarakat
3. mekanisme pengaduan mudah, cepat dan tidak berbelit-belit;
4. respon/jawaban atas pengaduan cepat/segera diperoleh masyarakat;
5
5. meningkatnya kepercayaan masyarakat terhadap Polri;
6. meningkatnya kemampuan FKPM dalam menemukan, mengidentifikasi akar
masalah, dan penyelesaiannya;
7. meningkatnya kemandirian masyarakat dalam mengatasi permasalahan di
lingkungannya;
8. berkurangnya ketergantungan masyarakat kepada Polri; dan
9. meningkatnya dukungan masyarakat dalam memberikan informasi dan pemikiran.
Daftar Referensi
Dermawan, Muhammad Kemal. (2011). Pemolisian Komunitas. Jakarta : PT Galaxy
Puspa Mega.
Karnavan, Tito & Sulistyo, Hermawan. (2017). Democratic Policing. Jakarta: Pensil
324
Sanyata Sumanasa Wira. (2018). Democratic Policing: Sebuah Keniscayaan. Majalah
Kepolisian dan Hukum no.52
Sutanto. (2006). Polmas Paradigma Baru Polri. Jakarta: YPKIK.
6
Download