Uploaded by User50986

21

advertisement
Manusia dan Lingkungan, Vol.VII. NO. 2, Agustus 2000. hal. 71--80
Pusat Penelitian Lingkunga'\ Hidup
Universitas Gadjah Mada
Yooakarta, Indonesia
STUDI PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM BERBASIS KEARIFAN
TRADISIONAL DI PULAU KECIL
Studi Kasus: Pulau Wangi-wangi Kabupaten Buton Propinsi Sulawesi Tenggara
(The Management ofNatural Resources Based on Traditional Wãsdom in
Small
Islands, A Case Study in the Wangi- Wangi Island South-East Sulawesi,
Indonesia)
Abdul Manan dan Nur Arafah
Pusat Studi Lingkungan, Lembaga Penelitian Universitas Haluoleo, Kendari
Abstrak
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dan mengangkat kembali kearifan masyarakat
yang positif di pulau kecil dan untuk mengkaji kerifan masyarakat dalam pengelolaan lingkungan
hidup di pu]au kecil. Disamping itu, penelitian dimaksudkan sebagai bahan masukan bagi
pemerintah, praktisi dan ilmuwan dalam pengelolaan lingkungan hidup di pulau-pulau kecil
maupun ditempat lain-nya dan sebagai bahan informasi bag penelitian selanjutnya. Metode yang
digunakan dalam peneliüan ini adalah metode survey dan Rapid Rural Appraisal (RRA).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (l) kearifan tradisional masih dikenal masyarakatyaitu:
Kaindea dan Motika (ekosistem darat) serta Kolo, Tondoa dan Ornpo (ekosistelll laut/pesisir); (2)
implementasi kearifan tradisional tersebut sudall memudar dan dikhawaürkan a-kan terjadi
kepunah dan kerusakan lingkungan setempat yang lebih parah kalau tidak ada upaya
penyelamatan; (3) Bekas lokasi Kaindea dan Motika masih ada dan kondisinya sudah rusak,
umumnya disebabkan oleh kebutuhan manusia untuk kepentingan ekonomi, penerapan aturan yang
tidak jalan sena fungsi Sara sebagai pemangku adat yang tidak efektif.
Abstract
The research was conducted in order to investigate and to develop the existing traditional
knowledge on environmental management at small islands- The research inlend to be a sourbe of
information for the local government, scientist in environmental management. The method used
were survey and Rapid rural appraisal (RRA).
The result of the research showed that: (l) the traditional knowledge on environmental
management were found, including: Kaindea and Molika (at terrestrial ecosystem), Kolo, tondoa
and Ompo (at aquatic ecosystem); (2) the implementation of these traditional knowledge are not
consistent and all most extinct and; (3) the area of Kainde, Motika and others are already degraded
mostly by the local community. Factors that caused the degradation are poor law enforcement as
well as poorlyfunctioned the Sara (adat) institution.
1.
PËNDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pembangunan yang telah dilaksanakan pada
saat ini telah berhasil menciptakan
Abdul Manan dan Nur Arafah
71
kemajuan-kemaiuan secara fisik, namun harus
diakui bahwa kemajuan yang telah dicapai itu
ternyata sering membawa Sisi lain yang tidak
dibayangkan, yakni Sisi yang berdampak pada
terganggunya lingkungan alam dan kelestarian
keanekaragaman hayati.
Dampak ini kemudian menyadarkan kita betapa
pentingnya pengelolaan lingkungan hidup bagi
kehidupan umat manusia.
Masajah pengelolaan lingkungan hidup bağ
bangsa indonesia adalah pencerminan dari akibat
adanya
kemiskinan
dan
keterbelakangan
pembangunan. Kedua masalah itü telah
menimbulkan
berbagai
dampak
dalam
pengelolaan lingkungan yang menyertai proses
pelaksanaan pembangunan.
Masalah lingkungan di Sulawesi tenggara,
umumnya dipengaruhi okeh kondisi kemiskinanan
dan keterbelakangan yang saat ini mendesak
untuk segera dipecahkan. Dalam beberapa kasus
terbukti akibat adanya tekanan penduduk yang
mempunyai hubungan erat dengan kemiskinan,
telah mendorong penduduk untuk menggunakan
kawasan tertentu misalnya kawasan konservasi
dan kawasan hutan iindung gına kepentingan
pemukiman, pertanian maupun sebagai sumber
mata pencaharian. Keadaan ini kemudian
mengakibatkan kemunduran kualitas lingkungan
sepetti terjadinya banjir, erosi maupun hilangnya
berbagai flora dan fauna sebagai sumber
keanekaragaman hayati.
Keterbelakangan pembangunan menimbulkan
akibat menurunnya kepedulian sosial terhadap
lingkungan- Hal ini tercernıin antara lain dari
kondisi sanitasi yang buruk, pencemaran yang
akibatnya
menimbulkan masalah sosial yang
lebih kompleks. Disamping itü terdapat pula
berbagai masalah lingkungan sebagai akibat
sampingan berbagai kegiatan pembangunan. Hal
ini berkaitan dengan adanya hubungan timbal
balik antara kegiatan pembangunan dan
keseimbangan dan daya dukung lingkungan.
Kemunduran kualitas lingkungan hidup ini,
akan membawa implikasi serius bağ kehidupan
manusia saat ini maupun yang akan datang. Oleh
72
karena itü diperlukan berbagai upaya tertentu
yang sccara alami tersedia dalam bentuk
kearifan qnasyarakat setempat.
Pemilihan
kearifan
masyarakat
didasarkan pada kenyataan bahwa saat ini
upaya pengelolaan lingkungan dengan
menggunakan berbagai insirumen dan
teknologi, tidak saja diperhadapkan pada
mahalnya instrumen dan teknologi tersebut,
akan tetapi terdapat kendala pada aplikasi
yang tidak sesuai dengan budaya
masyarakat
maupun
kemampuan
masyarakat yang sangat terbatas untuk
mengaplikasikannya.
Dilain pihak, juga dihadapkan pada
berbagai kasus bahwa teknologi bam
kadang kala membawa persoalan baru yang
berakibat lebih buruk bagi kepentingan
lingkungan hidup itü sendiri. Dalam kaitan
ini, pulau kecil yang dilatarbelakangi oleh
kemiskinan dan keterbelakangan maka
penggalian
sumber-sumber
kearifan
masyarakat
merupakan
salah
sam
pendekatan untuk pilihan alternatif dalam
pengelolaan lingkungan hidup selanjutnya.
1.2 Perumusan Masalah
Tekanan penduduk yang semakin besar,
sementara dişisi lainnya kita dihadapkan
pada kenyataan bahwa masyarakat di
pulaupulau kecil umumnya mempunyaı
masalah
dalam
bidang
ekonomi
(kemiskinan)
dan
keterbelakangan,
akibatnya adalah terancamnya kelestarian
sumberdaya alam di daerah tersebutBerbagai teknologi telah diterapkan,
akan tetapi terdapat kendala di lapangan
antara lain mahalnya teknologi tersebut,
kurang mendapat tempat di masyarakat dan
cam aplikasinya yang sangat terbaias bagi
kealian masyarakat. Disamping itil,
teknologi kadang kala menimbilkan
persoalan bam yang berdampak negatif.
Oleh karena itu, diperlukan suatu studi
pendekatan untuk menggali kearifan atau
Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam
kebiasaan masyarakat yang bersifat positif
dalam pengelolaan lingkungan hidup.
dijumpai berbagai satwa yang terancam
punah seperti burung Maleo.
1.3 Tujuan Penelitian
2.2 Pengertian Kearifan Masyarakat
Tujuan penelitian ini adalah untuk
mengetahui dan mengangkat kembali kearifan
masyarakat yang positif di pulau kecil dan untuk
mengkaji
kearifan
masyarakat
dalam
pengelolaan lingkungan hidup di pulau kecil.
Penelitian ini diharapkan dapat memberi bagi
pernerintah, praktisi dan ilmuwan serta
masyarakat dalam pengelolaan lingkungan hidup
di pulau kecil maupun ditempat lainnya dan
sebagai bahan informasi bagi penelitian
selanjutnya.
Menurut pakar Antropologi Tim G.
Babcock (1999), kearifan masyarakat adalah
kumpulan pengetahuan dan cara berpikir
yang berakar dalam kebudayaan suatu
kelompok manusia, yang merupakan hasil
pengamatan selama kurun waktu yang lama.
Kearifan
tersebut
banyak
"berisikan
gambaran atau anggapan masyarakat yang
bersangkutan tentang hal-hal yang berkaitan
dengan struktur lingkungan; bagaimana
lingkungan berfungsi; bagaimana reaksi alam
terhadap tindakan-tindakan manusia; serta
hubungan-hubungan yang sebaiknya tercipta
antara manusia (masyarakat) dan lingkungan
alamnya" (Zakaria, 1994 dalam Tim G
Babcock). Kearifan tersebut dalam banyak
kasus sangat erat kaitannya dengan agama
dan budaya yang berkembang dalam
masyarakat.
Dalam banyak masyarakats kearifan atau
pengetahuan lokal bukan satu komoditas
(seperti disipiin ilmu tertentu di universitas),
tetapi merupakan bagian integral identitas
sosiokultural kelompok masyarakat yang
mempunyai kaitan erat sekali dengan
identitas etnis (Tim G. Babcock, 1999).
Dijelaskan pula bahwa di Indonesia terdapat
banyak
kasus
penggunaan
kearifan
masyarakat
dalam kaitannya
dengan
pengelolaan lingkungan, seperti sistem
produksi ikan air tawar di ko]am-kolam di
Jawa Barat, atau cara masyarakat Bugis di
sepanjang Pantai Timur Sumatera yang
mengolah daerah pasang surut yang ditanami
padi dan kelapa jika hasil padi mulai
menurun.
Dalam penerapan kearifan masyarakat,
ada beberapa hal yang perlu ditegaskan, yaitu
pertama, bahwa kearifan masyarakat tidak
perlu dibatasi hanya pada masyarakat
tradisional, pinggiran, terasing, miskin dan
sebagainya. Kearifan tersebut terdapat
dimana-mana. Kedua, kita tidak perlu
11. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Gambaran Umum Daerah Penelitian
Pulau Wangi-Wangi merupakan salah satu
pulau di gugusan kepulauan Tukang Basi,
membentang antara 4,30 — 6 LS dan 120 125 BT.
Daerah ini secara administratif terletak di
Kabupaten Buton Propinsi Sulawesi Tenggara,
Dari ibukota kabupaten Kota Bau-Bau dapat
dijangkau dengan kapal laut dengan jarak sekitar
168 km, sedangkan dari ibukota própinsi dapat
dicapai dengan kapal laut dengan jarak 200
Pulau Wangi-Wangi merupakan kecamatan
yang sebelah utara berbatasan dengan Inut Banda
dan sebelah selatan dengan Laut Flores dan pulau
Kaledupa. Sebelah barat dengan Pulau Buton
(Lasa[imu) dan sebelah Timur dengan Laut
Banda. Kondisi perairannya menyimpan berbagai
macam potensi. Mata pencaharian utama adalah
pedagang, netayan dan petani. Jumlah penduduk
Wangi Wangi adalah
41.320 jiwa (Kantor Kecamatan Wangi Wangi,
1999).
Luas wilayah Wangi-Wangi adalah 448,00
km2 atau 6,93% dari luas Kabupaten Buton.
Sebagai salah satu pulau di sekitar Pulau banda,
pada musim-musim tertentu daerah ini banyak
73
Abdul Manan dan Nur Arafah
mempertentangkan antara ilmu yang serba logis,
rasional dan terstruktur, dengan kearifan atau
pengetahuan mereka yang tidak logis, tidak
rasional dan sebagainya (Tim G Babcock, 1999).
Karena pada dasarnya menurut Babcock, setiap
manusia mempunyai kapasitas yang sama untuk
bertindak rasional dan logis berdasarkan fakta,
asumsi-asumsi, peluang, hambatan dan nilainilai yang mereka yakini.
Namun kearifan masyarakat ini mulai hilang
seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan
masyarakat, yang disinyalir oleh Babcock (1999)
bahwa hilangnya tersebut diakibatkan secara
dominan oleh adanya paradigma sains.
Pendekatan ini sangat erat kaitannya dengan
paradigma pembangunan yang menganggap
bahwa sega]a yang bersifat kecil, sederhana,
alarni, pedesaan harus dirubah menjadi besar,
kompliks, buatan manusia, dan kekotaan.
Demikian pula dengan sistem pendidikan dan
kebijakan
pemerintah
yang
cenderung
mengabaikan hak-hak adat masyarakat.
2.3 Pengelolaan Lingkungan Hidup
Dinamika perkembangan kehidupan manusia
menunjukkan bahwa semakin modern tingkat
kehidupan manusia, semakin besar kerusakan dan
pencemaran
lingkungan
hidup
yang
ditimbulkannya (Haryadi, 1999). Disamping it",
perkembangan kehidupan tersebut j uga
menyebabkan makin berkurangnya sumberdaya
alam yang ada di bumi. Jika kegiatan kelompok
masyarakat zaman dahulu hanya menimbilkan
kerusakan dan pencemaran fingkungan hidup
sena penurunan persediaan sumberdaya alam
dalam jumlah minimal, maka kegiatan kelompok
masyarakat pada masa sekarang ternyata
menimbilkan akibat berlipat ganda dan tidak
terpulihkan. Paradigma tersebut diharapkan dapat
mengintegrasikan pertimbangan lingkungan
dalam setiap kegiatan pembangunan melalui
pengelolaan lingkungan yang berwawasan
lingkungan atau pembangunan berkelanjutan.
Pengelolaan lingkungan seperti yang telah
digariskan dalam UU nomor 23 tahun 1997
bertujuan untuk mewujudkan pembangunan yang
74
berwawasan lingkungan dalam rangka
pembangunan
masyarakat
Indonesia
seutuhnya. Pengelolaan lingkungan perlu
direncanakan,
diorganisir,
diarahkan,
dikoordinasikan
dan
dikendalikan
sebagaimana mestinya. Menurut Soedarmanto
(1999)
pengelolaan
atau
manajemen
lingkungan mencakup metode inventarisasi
dan
perencanaan
pengorganisasian,
pelaksanaan dan pengawasan yang bersifat
multidisipliner dan integrasi yang baik dalam
menyerasikan pengelolaan lingkungan beserta
komponen
sumberdaya
alarn
secara
berkesinambungan.
Oleh karena itu, dalam pengendalian
pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya
mengelola
berbagai
konflik
dalam
memaparkan
dan
mengalokasikan
lingkungan agar tercapai manfaat optimal
bagi berbagai pihak yang berkepentingan.
Dalarn pengertian ini terdapat lima
pendekatan pengelolaan Ilingkungan hidup,
yaitu pendekatan ekologis, ekonomi,
teknologis, sosiokultural dan sosio politis
(Soedarmanto, 1999).
Secara ekologis, bahwa pengelolaan
lingkungan didasarkan pada prinsip-prinsip
ekologi, terutama hubungan antar komponen
dalam satu sistem lingkungan fisik dan
biologi. Namun pendekatan ekologis ini
dianggap lemah dalam memecahkan
persoalan lingkungan, khususnya pada
proses perubahan lingkungan, dimana
manusia sangat dominan datam intervensi
terhadap lingkungan.
Pendekatan ekonomi menekankan pada
perhitungan rasional dalam pengalokasian
dan pemanfaatan sumberdaya da lam
mencapai
efisiensi
dan
optimalisasi
produksi.
Sedangkan
teknologis
memungkinkan adanya efisiensi penggunaan
sumberdaya dalam proses produksi. Secara
sosiokultural,
bahwa
pengelolaan
lingkungan
dianggap
karena
masih
dijumpainya bentuk-bentuk pengelolaan
lingkungan secara lokal oleh kelompok
masyarakat.
Dan
secara
sosiopolitis
Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam
didasarkan pada perkiraaan tentang beragamnya
kelompok-kelompok
kepentingan
dalam
mengelola lingkungan yang masing-masing
mempunyai persepsi dan rencana pengelolaan
yang berbeda.
2.4 Kondisi Lingkungan Pulau-pulau Kecil
Propinsi Sulawesi Tenggara mempunyai
banyak pulau kecil baik yang berpenghuni
maupun yang tidak, membentang di bagian
Tenggara yang dipisahkan Oleh laut dalam
seperti Laut Banda, yang tidak tertutup
kemungkinan mempunyai keanekaragarnan
hayati yang tinggi (Manan, dkk, 1999). Tetapi
sangat rentan karena ancaman kepunahan yang
sangat tinggi sebagai akibat dari cadangan
makanan yang ada di pulaupulau kecil sangat
terbatas. Walaupun belum ada kesepakatan
tentang definisi pulau kecil secara nasional,
tetapi dapat dipakai definisi pulau kecil, yaitu
pulau dengan Iuas 10.000 km2 dan mempunyai
penduduk 500.000 orang (Bell et al, 1990
dalam Dahuri, 1999).
Dalam mengelola pulau-pulau kecil
diperlukan upaya khusus, karena pulau-pulau
ini pada umumnya memiliki sumberdaya alam,
aspek lingkungan dan budaya khas. Secara
umum ada beberapa isu utama yang ada di
pulau-pulau kecil yaitu:
(a) minimnya
sarana
dan
prasarana
transportasi, pendidikan dan kesehatan•,
(b) kerusakan lingkungan pulau-pulau kecil
dan perairan sekitarnya;
(c) belum adanya penataan mang yang
mencakup pulau-pulau kecil dan perairan
sekitamya;
(d) belum optimalnya pernanfaatan potensi
pertanian, perikanan, dan pariwisata rakyat
di pulau kecil;
(e) potensi pencemaran akibat buangan minyak
kapal-kapal tradisional dan kapal nelayan.
Menurut teori keseimbangan biogeografi
dari MacArthur dan Wilson (1967), bahwa
jumlah spesies yang ada di pulau ditentukan
Oleh keseimbangan antara spesies yang
imigrasi dan punah. Apabila pemanfaatan iebih
besar dari spesies yang imigrasi maka dalam
kurun waktu tertentu akan terjadi
kelangkaan jenis. Akan tetapi apabila terjadi
pernanfaatan Yang berimbang dengan
imigrasi maka terjadi keseimbangan
dinamik, dimana spesies yang terancam
punah akan digantikan melalui prosies
imigrasi baik dari spesies yang sama
maupun yang berbeda. Selanjutnya menurut
teori tersebut bahwa semakin jauh letak
pulau-pulau kecil dari daratan utama, maka
semakin
tinggi
peluang
terjadinya
kepunahan spesies.
Seiring dengan program pernerintah untuk
mengembangkan pulau-pulau kecil, maka ada
beberapa alasan utama untuk memfokuskan
pengelolaan dan pembangunan pulau-pulau
kecil, adalah:
(l) pulau-pulau kecil merupakan aset yang
penting,
(2) ketersediaan sumberdaya alam dan jasa
lingkungan (potensi ekowisata),
(3) perencanaan
pembangunan
be[um
mengakomodasi secara proporsional dalam
mengelola sumberdaya pulaupulau kecil.
111. METODE PENELITIAN
3.1 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di pulau
Wangi-Wangi
kecamatan
Wangi-Wangi
Kabupaten Buton Sulawesi Tenggara tepatnya
di Keluruahan Mandati I dan II, Desa Longa,
Desa Kapota, Desa Lya Mawi dan Togo, Desa
Tindoi dan Kelurahan Wanci, mulai Juli
sampai dengan Oktober 2000.
3.2 Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian
ini adalah metode survey dan Rapid Rural
Appraisal (RRA) dimana data akan diambil
meliputi:
a. data primer, yaitu melakukan wawancara
dengan tokoh-tokoh masyarakat/tokoh
75
Abdul Manan dan Nur Arafah
adat, pengamatan langsung di lapangan
terhadap sumber-sumber yang mengetahui
langsung kejadian dan obyeknya.
b. Data sekunder, yaitu penelusuran informasi
melalui literatur-literatur yang relevan dengan
masalah yang diteliti, sehingga merupakan
pelengkap dari data primer.
3.3 Analisis Data
Data dianalisis dengan cara deskripsi, yaitu
dengan menjelaskan pengertian, manfaat dan
penerapannya saat ini sesuai dengan penemuan
dan pengamatan lapangan. Parameter yang
diamati adalah jenis dan tempat kearifan
masyarakat lokal dan seluruh kebiasaan
masyarakat secara umum yang behubungan
dengan kearifan lokal dalam pengelolaan
lingkungan hidup
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Jenis
dan Lokasi
Kearifan Masyarakat
Penyebaran
Berdasarkan hasil penelitian dijumpai
beberapa jenis kearifan masyarakat WangiWangi
dalam pengelolaan lingkungan hidup baik
kearifan di darat maupun di wilayah pesisir dan
lautan. Jenis-jenis kearifan masyarakat dan lokasi
penyebarannya dapat dilihat pada Tabel l .
Pembagian daerah di atas didasarkan pada
pembagian menurut adat (Sara) karena sete]ah
ada perubahan status dan pemekaran desa,
sehingga ada letak lokasi kearifan tradisional
masuk kepada I (satu) atau lebih wilayah
adminstrasi.
4.2 Arti
dan
Masyarakat
Lingkungan
Peranan
Kearifan
dalam
Pengelolaan
Menurut masyarakat, di Pulau WangiWangi
terdapat kearifan di darat yaitu Kaindea dan
Motika. Kaindea adafah hamparan hutan dengan
ciri tanah yang subur, tidak berbatu, dan pohon76
pohon yang ada di dalamnya digunakan untuk
kegiatan konservasi dan tidak boleh di rubah
peruntukannya, atau dengan kata lain Kaindea
adalah hutan lindung. Morika dicirikan
tanahnya kurang subur, berbatu, cocok untuk
kegiatan pertanian dan dapat diambil kayunya
dalam skala terbatas untuk kepentingan umum
(masyarakat setempat). Apabila dihubungkan
dengan
istilah
yang
dikembangkan
pemerintah dewasa ini, maka Motika identik
dengan hutan produksi.
Di laut terdapat kearifan di laut/pesisir
yaitu Kolo, Tondoa dan Ompo. Kolo adalah
laut yang masuk ke daratan yang digunakan
untuk tempat perlindungan ikan dan tidak
boleh diganggu dan dipancing oleh siapapun
kecuali untuk acara upacara adat. Tondoa
adalah pagar batu yang dipasang oleh
masyarakat di daerah pasang surut (pesisir)
untuk lokasi penangkapan ikan (fishing
ground. Sedangkan Ompo adalah sejenis alat
penangkap ikan tradisional yang mirip
Tondoa yang terbuat dari kayu/bambu dan
dipasang di daerah di wilayah pesisir. Selain
itu, di masyarakat Bajau yang bermukim di
wilayah pesisir Mandati mempunyai
kearifan khusus dalam menangkap ikan
yaitu dengan menggunakan alat yang disebut
ambai yaitu sejenis perangkap terapung yang
terbuat dari kayu yang diikatkan ditali ijuk,
dan pada ujungnya dibuat penampungan
yang terbuat dari tali dari sabut kelapa.
Ambai hanya digunakan oleh nelayan untuk
menangkap ikan-ikan pada ekosistem
terumbu karang. Sebagai pembanding bahwa
di kawasan DAS Tiworo Mona juga
ditemukan penggunaan kearifan yang sama
yaitu Kaindea tetapi sistcmnya berbeda.
Kaindea dimitiki oleh sekelompok keluarga
dan fungsinya terarah pada fungsi kemilikan
lahan, disamping itu dapat digunakan untuk
persediaan makanan.
Fungsi kearifan tradisional masyarakat
pulau Wangi-Wangi adalah terdiri atas 2
(dua) macam yaitu fungsi sosial dan fungsi
lingkungan.
Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam
Tabel I. Loka$ penyebaran kearifan masyarakat di Pulau Wangi-wangi
No.
1.
2.
Wilayah/
Desa
Mandati l, Il
Kapota
Kearifan
Tradisional
Motika
Motika Lagiampa
Kaindea
Kaindea Notoo e, Matarau, Totonuwa'o
Motika Batu
Motika
Keindea
Kaindea Pada, Fasi-fasi, Bongkopi,
One
Waha, Patjlansa
Kandea Wanse, Kareke
Kaindea
Kaindea Losi, Uwe Kareke, Ehelaa,
Motika
Ballalaone, Kereke
Motika La iam a, Oroho, Sabeaika
Kaindea
Tondoa
Ornpo
3.
Tindoi
4.
Nama Kearifan
5.
Wanci
Kaindea
Kaindea Teo, Foru
6.
Longa
Kaindea
Kaindea Lagiampa, Watuposunsu, Bau
• Motjka
7.
Wungka
Motika Do i-dopi
Kaindea
Kaindea Lakei, Teemongkona, Buku
Motika
Motika Watuiri
Fungsi sosial antara Iain adalah sebagai
tempat/cadangan makanan (Sawoa Nutogo)
berupa sayur-sayuran, ubi-ubian, ikan, kerangkerangan dll. Disamping itu, nira dari enau
untuk bahan minuman atau dibuat menjadi gula
merah. Bagi masyarakat yang kurang mampu
dalam memenuhi peralatan rumah tangga, atau
kebutuhan pesta serta kepentingan umum
(perkawinan dan upacara) dapat mengambil di
tempat tersebut berdasarkan aturan adat yang
berlaku. Fungsi lingkungan adalah untuk
mencegah erosi, banjir, keasinan akibat intrusi
air laut, mempertahankan keseimbangan
ekosistem, mempertahankan kelembaban tanah
(Pamonini (Jwuta) dan keanekaragaman hayati
(untuk Kaindea dan Motika), juga memclihara
ketcrsediaan ikan laut, kerangkerangan, dan
terumbu karang, mempertahankan bakau,
meme5ihara satwa dan fauna laut/pesisir (untuk
Kolo, Ompo dan Tondoa).
Pengelolaan dan pemanfaatan kearifan
tradisional dilakukan melalui musyawarah/rapat
Uwe
maj
elis
adat
gun
a
me
mba
has
jenis
dan
juml
ah
sum
berd
aya
yan
g
akan
dia
mbil
,
dan
kepe
ntin
gan
pernanfaatannya.
Sistim penebangan yang diterapkan pada
kawasan Motika adalah selektif melihat jenis,
ukuran, posisi dan umur khusus untuk kayu.
Untuk enau (kovala) biasanya digunakan
untuk minuman dan ijuknya untuk sapu.
Pemanfaatannya
harus:
memperhatikan
kemampuan regenerasi.
Melihat fungsi dan pemanfaatan serta
pengelolaannya, nampak bahwa penggunaan
sumberdaya alam sebagai bentuk dari kearifan
lokal setempat sangat mendukung upaya
pelestarian sumberdäya disatu pihak dan
memperhatikan
kernampuan
untuk
penyediaan kebutuhan yang akan datang.
Menurut Soedarmanto (1999), pengelolaan
lingkungan secara berkekanjutan adalah
mempertimbangkan pernanfaatan sumberdaya
secara
optimal
dengan
tetap
mempertahankalmya untuk kebutuhan yang
akan datang. Kearifan tradisional masyarakat
pulau Wangi-Wangi merupakan pengelolaan
77
Abdul Manan dan Nur Arafah
lingkungan secara berkelanjutan. Pemanfaatan
bagi mereka yang tidak mampu yang diatur
sedemikian rupa, menunjukkan bahwa kearifan
setempat itu juga mempunyai makna horisontal
disamping
makna
vertikal
dan
sudah
dipraktekkan secara turuntemurun.
Berdasarkan status kepemilikan, kearifan
masyarakat terbagi atas 2 (dua) yaitu:
Milik Sara/adat (togo) , yaitu kepemilikan
bersama
seluruh
masyarakat
Yang
dimanfaatkan untuk kepentingan umum
2. Milik kelompok atau keluarga yang diberikan
Oleh Sara karena jasanya mereka (pemilik)
terhadap daerah dan mereka dianggap dapat
memelihara pemberian tersebut.
Dalam hal kepemilikan oleh Sara, ada
beberapa wilayah yang dimiliki lebih dari satu
Sara seperti Kaindea Lagiampa yang dimiliki
Oleh Sara Mandati (60%) dan Sara Liya serta
Longa (40%). Pembagian status kepemilikan
lokasi Kaindea pada masyarakat pulau WangiWangi menunjukkan bahwa adat (Sara) tidak
ingin memonopoli aset atau sumberdaya demi
kepentingan masyarakat, justru Sara memberi
kesempatan yang seluas-luasnya bagi masyarakat
untuk memiliki aset tersebut pada batas-batas
tertentu dengan seleksi yang ketat dan distribusi
secara merata
Sejalan dengan perkembangan masyarakat dan
iptek serta kebutuhan yang scmakin banyak,
pernanfaatatl kearifan tradisonal seperti Kaindea
dan Motika banyak yang terancam kerusakanHal ini disebabkan oleh adanya penggunaan
chainsaw secara liar untuk kepentingan bisnis.
Hasil pengamatan dilapangan diperoleh bahwa
tingkat kerusakan Kaindea dan Motika mencapai
sekitar_30-900/oKerusakan ringan terjadi pada
hutan Mandati, Kapoa dan Tindoi, sementara
Yang parah terdapat pada hutan Longa, Liya dan
Wanci.
Kerusakan yang sama juga terjadi pada Kolo
dan Tondoa namun masih dalam skala relatif
ringan. Kerusakan pada kearifan tersebut terjadi
disamping penggunaan alat teknologi juga
karena aturan yang tidak tegas, ftngsi Sara
78
sebagai pemangku adat mulai berkurang dan
adanya anggapan bahwa dari pada
dimanfaatkan oleh orang Iain, lebih baik
dimanfaatkan sendiri biarpun melanggar
aturan.
Dari beberapa penyebab kerusakan, yang
paling menonjol disebabkan oleh adanya
keserakahan manusia untuk kepentingan
pribadi dan kelompok yang dijual untuk
kepentingan bisnis. Kemudian pada saat
bersamaan, fungsi Sara sudah mulai pudar
dan diganti Oleh aturan formal yang tidak
menjamin kepentingan dan sistem adat
Yang
berlaku
dalam
pengelolaan
sumberdaya alam. Akibatnya, banyak
tempat mengalami kerusakan yang parah,
apalagi tempatnya berada dalam jarak yang
cukup jauh dari pemukiman sehingga
dengan leluasa dapat dirambah.
Penerapan sanksi masih dibertakukan
bagi yang melanggar seperti sanksi sosial,
yaitu tidak diurus hajatnya Oleh Sara,
dikucilkan dan diberi hukuman fisik seperti
ganti rugi. Namun penerapan sangsi tersebut
mulai pudarr Sanksi pada masanya cukup
efektif, namun pada perkembangannya
mulai berkurang karena kurang pedulinya
pemerintah
dan
masyarakat
untuk
memberdayakan Sara/adat setempat.
Untuk pemanfaatan yang diputuskan
lewat Majelis Sara/adat sekarang mutai
berkurang. Akan tetapi masih ada anggapan
sebagian
masyarakat
bahwa
kalau
melanggar aturan Sara, maka akan dikenai
bencana (balao). Oleh karena itu, sejak
tahun 1998 telah dibentuk lembaga adat
Mandati yang disingkat (Leama) yang oleh
pemangku adat diberikan tanggungjawab
untuk mengelola lokasi Kaindea, Motika dan
Kolo di lokasi masing-masing desa.
Adanya kearifan di darat dan di
laut/pesisir dimungkinkan karena kondisi
pulau Wangi-Wangi telah membentuk
masyarakatnya pada berbagai macam
pekerjaan seperti nelayan, pedagang dan
petani serta sebagian pegawai dan jasa.
Jenisjenis kearifan di atas masih dijumpai,
Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam
namun pada zaman Orde Baru lokasi ini
masyarakat dalam pengelolaan kearifan
(Motika)
pengelolaannya
menjadi
tradisional.
tanggungjawab
negara
melalui
Dinas 3. Perlunya upaya rehabilitasi terhadap
Kehutanan Kabupaten Buton: Akan tetapi
kawasan hutan yang sudah rusak serta
khusus untuk lokasi
penyelamatan kondisi peraitan.
Kaindea, Kolo, Tondoa dan Ompo menjajdi
tanggungjawab masyarakat adat. hasil
interciew
dengan
tokoh
masyarakat
DAFTAR PUSTAKA
menunjukkan
bahwa
implementasi
pengelolaan Kaindea tidak dapat diaplikasikan Anonim, 1997. Undang-undang Republik
Indonesia No.23 Tahun 1997, tentang
dengan konsisten karena lembaga adat yang
pengelolaan Lingkungan Hidup
dulu dibentuk tidak berfungsi.
Abdul Manan dkk,
1999.
Status
Keanekaragaman Hayati Pulau-pulau
V. KESIMPULAN DAN SARAN
Kecil di Sulawesi Tenggara. Laporan
Hasil Penelitian Lembaga Penelitian
5.1 Kesimpulan
Unhalu Kendari,
Haryadi,
1999.
Permasalahan
Utama
Dari hasil pembahasan di. atas, maka dapat
Lingkungan. Makalah Kursus singkat
disimpuhkan bahwa:
Pengelolaan
Lingkungan
Terpadu.
Bapedal-PPLH
Unibraw,
Malang.
l . Kearifan tradisonal yang dijumpai pada
Dahuri, R., Rais, J dan Ginting S, 1996.
masyarakat pulau Wangi-Wangi yaitu
Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir
Kaindea dan Motika di darat dan Kolo,
dan Lautan Secara Terpadu. PT. Pradnya
Tondoa dan Ompo di laut/pesisir.
Paratama, Jakarta.
2 Pengelolaan kearifan tradisional tersebut
1999.
Prinsip-prinsip
pada awalnya berjalan cukup efektif dan dapat Soedarmanto,
Pengelolaan
Lingkungan
di Indonesia.
mempertahankan sumberdaya alam setempat,
Makalah
Kursus
singkat
Pengelolaan
namun dalam perkembangannya sudah mulai
Lingkungan Terpadu , Bapedal-PPLH
memudar dan dikhawatirkan bahwa kalau tidak
Unibraw, Malang.
ada upaya penyelamatan maka aka.n terjadi
1999.
Perencanaan
dan
kerušakan tingkungan setempat yang lebih parah. Soedamanto,
Pelaksanaan Pengelolaan Lingkungan
3. Kerusakan beberapa lokasi Kaindea dan
Hidup.
Makalah
Kursus
Singkat
Motika urnumnya disebabkan oleh
Pengelolaan
Lingkungan
Terpadu.
kebutuhan manusia untuk kepentingan
Bapedal-PPLH Unibraw, Malang.
ekonomi, penerapan peraturan yang tidak
Soerjani,
1997. Pembangunan dan Lingkungan.
berjalan serta fungsi Sara sebagai
IPPL,
Jakarta.
pemangku adat yang tidak efektif.
Tim G. Babcock, 1999. Keariñn Masyarakat
Dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup
5.2 Saran
Implikasi Untuk penelitian dan Praktis. Bahan
I . Agar fungsi Sara sebagai pemangku adat Kursus TOT CEPI-PSL Unhalu, Kendari.
hendaknya dikembalikan secara proposional Usman Rianse, 1999. Kearifan Tradisional
di
Bidang
Pertanian
Dalam
Oleh pemerintah.
Hubungannya
Kelestarian
2. Perlunya peraturan dan penegakan hukum
Lingkungan
Hidup
dan
terhadap aset yang merupakan kepentingan
Keanekaragaman Hayati. Makalah
Semiloka LEPPDAS-Kehati, Kendari.
79
Download