Uploaded by User49357

ris.001103.16 ok

advertisement
: PUT-001103.16/2018/PP/M.XVA Tahun 2019
Jenis Pajak
: PPN
Tahun Pajak
: 2018
Pokok Sengketa
: bahwa yang menjadi nilai sengketa dalam sengketa banding ini
PA
JA
K
Putusan Nomor
adalah Koreksi Pajak Masukan yang Dapat Diperhitungkan Masa
Pajak November 2011 sebesar Rp441.999.029,00 yang tidak
disetujui oleh Pemohon Banding;
Menurut Terbanding :
DI
LA
N
bahwa berdasarkan Surat Keputusan Bupati Kapuas Hulu Nomor 140 Tahun 2009 tanggal 12
Mei 2009 tentang Perubahan Atas Keputusan Bupati Kapuas Hulu Nomor 16 Tahun 2007
tentang izin pemberian lokasi Pemohon Banding untuk keperluan perkebunan kelapa sawit di
Kecamatan Semitau, Suhaid, dan Selimbau Kabupaten Kapuas Hulu, memperoleh izin
perkebunan seluas 19.200 Ha;
GA
bahwa berdasarkan Keputusan Bupati Kapuas Hulu Nomor 235 Tahun 2010 tentang Revisi dan
Perpanjangan izin usaha Perkebunan Kelapa Sawit kepada Pemohon Banding dengan luas
areal 19.200 Ha yang berlokasi di Kecamatan Semitau, Kecamatan Suhaid, dan Kecamatan
Selimbau Kabupaten Kapuas Hulu Provinsi Kalimantan Barat;
PE
N
bahwa berdasarkan Keputusan Bupati Kapuas Hulu Nomor 290 Tahun 2006 Tentang Kelayakan
Lingkungan Kegiatan Perkebunan Kelapa Sawit oleh Pemohon Banding di Kecamatan Semitau,
Suhaid dan Selimbau Kabupaten Kapuas Hulu;
bahwa Pemohon Banding bergerak dalam bidang usaha pengelolaan perkebunan kelapa sawit
yang telah menghasilkan TBS. Pemohon Banding tidak melakukan penjualan TBS. Pemohon
Banding tidak memiliki unit produksi/pabrik kelapa sawit sendiri. Pemohon Banding
bekerjasama dengan pihak pengolah TBS, untuk memproses TBS menjadi CPO (yang
penyerahannya terutang PPN 10%) yang kemudian dijual oleh Pemohon Banding;
IA
T
bahwa Biaya Jasa pengolahan yang akan diterima PT MAUsebesar Rp400,00/kg CPO dan PK,
menurut Terbanding dianggap tidak wajar karena biaya tersebut termasuk biaya penyimpanan
dan biaya lainnya;
PT MAUMenagih biaya jasa pengolahan setiap satu bulan sekali;
ET
AR
bahwa Pajak Masukan dari hasil perkebunan kelapa sawit berupa tandan buah segar (TBS)
yang merupakan barang strategis yang dibebaskan dari PPN dengan demikian Pajak Masukan
sebagaimana tercantum dalam faktur pajak dalam rangka untuk kegiatan perkebunan kelapa
sawit tidak dapat dikreditkan;
bahwa Pajak Masukan yang dibayar untuk perolehan barang kena pajak dan atau jasa kena
pajak yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan PPN tidak dapat dikreditkan;
SE
KR
bahwa atas pengeluaran untuk pembelian pupuk, land clearing, Herbisida Pestisida dan
Sejenisnya, Service Alat Berat dan Jenisnya, Bibit Kelapa Sawit, Konstruksi Perumahan Kebun
dan lain-lain, namun pada hakikatnya adalah berkaitan dengan perkebunan kelapa sawit
sehingga hal ini jelas merupakan satu kesatuan dengan perkebunan tersebut;
bahwa Pajak Masukan yang dikoreksi oleh pemeriksa adalah Pajak Masukan yang diperoleh
dari pembelian pupuk, Service Material, Konstruksi terkait dengan kegiatan pengelolaan kebun
sawit Pemohon Banding;
bahwa atas Tandan Buah Segar (TBS) yang dititip olahkan oleh Pemohon Banding kepada
pihak pengolah, menurut Terbanding merupakan penyerahan Barang Kena Pajak (BKP)
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1A ayat (1) huruf a Undang-Undang PPN beserta
penjelasannya, yaitu:
PA
JA
K
bahwa sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2001 sebagaimana telah diubah
dengan Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2007, Tandan Buah Segar (TBS) adalah
merupakan Barang Kena Pajak (BKP) Tertentu yang bersifat strategis yang atas impor dan/atau
penyerahannya dibebaskan dari pengenaan PPN;
bahwa menimbang beberapa penjelasan dan ketentuan sebagaimana telah diuraikan di atas,
Terbanding berkesimpulan bahwa:
Penyerahan TBS kepada pihak ketiga untuk dititip olahkan menjadi CPO memenuhi kriteria
sebagai penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1A ayat
(1) huruf a Undang-Undang PPN;
DI
LA
N
bahwa terkait dengan penyerahan CPO (BKP yang terutang PPN) yang merupakan hasil titip
olah TBS yang dimiliki Pemohon Banding kepada pihak pengolah dengan memperhatikan Pasal
9 ayat (5) Undang-Undang PPN yang menyatakan bahwa Apabila dalam suatu Masa Pajak
Pengusaha Kena Pajak selain melakukan penyerahan yang terutang pajak juga melakukan
penyerahan yang tidak terutang pajak, sepanjang bagian penyerahan yang terutang pajak
dapat diketahui dengan pasti dari pembukuannya, jumlah Pajak Masukan yang dapat
dikreditkan adalah Pajak Masukan yang berkenaan dengan penyerahan yang terutang pajak,
maka Terbanding berpendapat hanya Pajak Masukan terkait dengan jasa pengolahan TBS
menjadi CPO saja yang dapat dikreditkan Pemohon Banding dalam penghitungan besaran PPN
yang terutang;
GA
bahwa dalam persidangan, Terbanding menyampaikan Kesimpulan Akhir Nomor
S-7802/PJ.07/2018 tanggal 22 Oktober 2018 yang pada pokoknya mengemukakan hal-hal
sebagai berikut:
PE
N
Pokok Sengketa
bahwa Pemohon Banding mengajukan banding atas Keputusan Terbanding Nomor
KEP-00058/KEB/WPJ.13/2017 tanggal 28 November 2017 tentang Keputusan Keberatan Wajib
Pajak atas koreksi positif Pajak Masukan yang Dapat Dikreditkan;
IA
T
bahwa pokok sengketa atas koreksi positif Pajak Masukan yang Dapat Diperhitungkan sebesar
Rp441.999.029,00 yaitu Koreksi Positif Pajak Masukan atas perolehan BKP dan/atau JKP yang
nyata-nyata digunakan untuk menghasilkan Barang Kena Pajak yang atas penyerahannya
mendapat fasilitas dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai;
ET
AR
Koreksi Pajak Masukan atas perolehan BKP dan/atau JKP yang tidak mempunyai hubungan
Iangsung dengan kegiatan usaha sebesar Rp441.999.029,00
Dasar Hukum
bahwa Terbanding melakukan koreksi positif atas Pajak Masukan yang Dapat Dikreditkan
berdasarkan ketentuan sebagai berikut:
KR
1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa
dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009
SE
- Penjelasan Umum
- Pasal 1 angka 2
- Pasal 1 angka 3
- Pasal 1 angka 4
- Pasal 1 angka 14
- Pasal 1A huruf d dan penjelasannya
- Pasal 4A ayat (2)
- Pasal 4 Ayat (1) huruf a dan penjelasannya
- Pasal 9 Ayat (2) dan penjelasannya
- Pasal 9 Ayat (8) huruf c dan penjelasannya
- Pasal 16 B ayat (1) huruf c dan penjelasannya, ayat (3) dan penjelasannya
2. Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2001 Tentang Impor dan/atau Penyerahan Barang
Kena Pajak Tertentu Yang Bersifat Strategis Yang Dibebaskan Dari Pengenaan Pajak
Pertambahan Nilai sebagaimana telah diubah Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2007
Pasal 1
PA
JA
K
-
Lampiran: Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2001 Tentang Impor dan/atau Penyerahan
Barang Kena Pajak Tertentu Yang Bersifat Strategis Yang Dibebaskan Dari
Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana telah diubah Peraturan
Pemerintah Nomor 31 Tahun 2007
Barang Hasil Pertanian yang Bersifat Strategis yang Atas Impor dan/atau Penyerahannya
Dibebaskan dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai
NO
JENIS BARANG
PROSES
KOMODITI
I.
PERKEBUNAN
- Dipetik, diperam, dikupas,
1 . Kakao
- Buah
fermentasi/tanpa fermentasi,
dikeringkan
3 . Kelapa Sawit -
-
- Kulit, sekam, selaput dan sisanya dan
komposnya serta limbah untuk pakan ternak
Dipetik, dibrondol
Dipetik, direbus, dirontokkan,
dicacah, dipress, dikeringkan,
dipecah, dipisahkan (cangkang dan
inti sawit)
- Tandan Buah Segar (TBS)
- Cangkang, ampas, daun dan
komposnya serta limbah untuk pakan
ternak
- Tempurung basah/kering
PE
N
Buah
- Cangkang
DI
LA
N
- Dipetik, diperam, dikupas,
fermentasi/tanpa fermentasi,
dikeringkan
- Dipetik, diperam, dikupas,
fermentasi/tanpa fermentasi,
dikeringkan, disangrai
GA
2 . Kopi
- Buah
- Biji Kakao kering fermentasi/non
fermentasi
- Kulit, sekam, selaput dan sisa lainnya
dan komposnya, serta limbah untuk pakan
ternak
- Biji Kopi Kering
- Biji Kopi sangrai
-
IA
T
3. Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2012 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1983 Tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas
Barang Mewah Sebagaimana Telah Beberapa Kali Diubah Terakhir dengan Undang-Undang
Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang
Mewah
Pasal 5 ayat (1), (2), (3), (4) dan penjelasannya
ET
AR
4. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 155/KMK.03/2001 tentang Pelaksanaan Pajak
Pertambahan Nilai Yang Dibebaskan Atas Impor dan/atau Penyerahan Barang Kena Pajak
Tertentu Yang Bersifat Strategis sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 31/PMK.03/2008
- Pasal 7
KR
5. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 78/PMK.03/2010 tentang Pedoman Penghitungan
Pengkreditan Pajak Masukan Bagi Pengusaha Kena Pajak Yang Melakukan Penyerahan
Yang Terutang Pajak Dan Penyerahan Yang Tidak Terutang Pajak
SE
Pengertian Umum
Untuk Pengusaha Kena Pajak yang melakukan Penyerahan yang Terutang Pajak dan
Penyerahan yang Tidak Terutang Pajak sebagaimana tersebut di atas, perlakuan
pengkreditan Pajak Masukan adalah sebagai berikut:
b. Pajak Masukan atas perolehan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yangnyatanyata hanya digunakan untuk kegiatan yang atas penyerahannya tidak terutang Pajak
Pertambahan Nilai atau mendapatkan fasilitas dibebaskan dari pengenaan Pajak
Pertambahan Nilai, tidak dapat dikreditkan seluruhnya....
6. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-90/PJ/2011 tentang Pengkreditan Pajak
Masukan pada Perusahaan Terpadu (Integrated) Kelapa Sawit
- angka 6 huruf b
Penjelasan Terbanding
PA
JA
K
a) Koreksi atas Pajak Masukan yang Dapat Dikreditkan
bahwa koreksi dilakukan atas Pajak Masukan atas perolehan BKP dan/atau JKP yang
digunakan untuk menghasilkan Barang Kena Pajak yang atas penyerahannya mendapat
fasilitas dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai;
bahwa Tandan Buah Segar merupakan Barang Kena Pajak tertentu yang bersifat strategis yang
telah ditentukan mendapat fasilitas dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai;
Contoh Penjelasan Pasal 16 B Ayat (3)
Pengusaha Kena Pajak B memproduksi
Barang Kena Pajak yang mendapat fasilitas
dari negara, yaitu atas penyerahan Barang
Kena Pajak tersebut dibebaskan
dari
pengenaan Pajak Pertambahan Nilai.
DI
LA
N
bahwa berdasarkan penjelasan Pasal 16B Ayat (3) UU PPN dapat diberikan contoh aplikasi
pada sengketa sebagai berikut:
Aplikasi Contoh
PT SSM (PT SSM) memproduksi
Tandan Buah Segar (TBS) yang
mendapat fasilitas dari negara, yaitu
atas penyerahan
TBS tersebut
dibebaskan
dari
pengenaan
Pajak
PertambahanNilai.
PE
N
GA
Untuk memproduksi Barang Kena Pajak
Untuk memproduksi TBS tersebut, PT
tersebut,
Pengusaha
Kena Pajak B SSM menggunakan pupuk, racun
menggunakan Barang Kena Pajak lain hama, peralatan kebun dll sebagai
dan/atau Jasa Kena Pajak sebagai bahan
bahan
baku, bahan
pembantu,
baku, bahan pembantu, barang modal barang modal ataupun
sebagaikomponen biaya lain.
ataupun sebagai komponen biaya lain.
IA
T
waktu membeli
pupuk,
Pada waktu membeli Barang Kena Pajak lain Pada
dan/atau
Jasa Kena
Pajak
tersebut, racun hama, peralatan kebun dll, PT
Pengusaha Kena Pajak B membayar Pajak
SSM membayar Pajak Pertambahan
Pertambahan Nilai kepada
Pengusaha Nilai kepada Pengusaha Kena Pajak
Kena
Pajak
yang
menjual
atau yang menjual atau menyerahkanpupuk, racun hama, peralatan kebun dll
menyerahkan Barang Kena Pajak atau Jasa
Kena Pajak tersebut.
ET
AR
Meskipun Pajak Pertambahan Nilai yang
dibayar oleh
Pengusaha Kena
Pajak B
kepada Pengusaha Kena Pajak pemasok
tersebut merupakan Pajak Masukan yang
dapat dikreditkan, karena tidak ada Pajak
Keluaran berhubung diberikannya fasilitas
dibebaskan
dari
pengenaan
pajak
sebagaimana
dimaksud
pada
ayat
(1), Pajak Masukan tersebut menjadi tidak
dapat dikreditkan.
Meskipun Pajak Pertambahan Nilai
yang dibayar oleh PT SSM kepada
Pengusaha Kena Pajak pemasok
tersebut merupakan Pajak Masukan
yang dapat dikreditkan, karena tidak
ada Pajak Keluaran
berhubung
diberikannya fasilitas
dibebaskan
dari pengenaan pajak sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Pajak
Masukan
tersebut menjadi tidak
dapat dikreditkan.
SE
KR
bahwa sesuai dengan Keputusan Menteri Keuangan No. 155/KMK.03/2001 tentang
Pelaksanaan Pajak Pertambahan Nilai Yang Dibebaskan Atas Impor dan/atau Penyerahan
Barang Kena Pajak Tertentu Yang Bersifat Strategis sebagaimana telah beberapa kali diubah
terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 31/PMK.03/2008 menyatakan bahwa
Pajak Masukan atas atas perolehan pupuk, racun hama, peralatan kebun dil yang digunakan
untuk menghasilkan Tandan Buah Segar tidak dapat dikreditkan. Hal ini sejalan dengan Pasal
16B UU PPN dan penjeiasannya;
b) Penyerahan Tandan Buah Segar dari Unit Kebun ke Unit Pabrik Pengolahan Minyak
(CPO/PK) Merupakan Penyerahan Kena Pajak
bahwa perubahan konsep dasar pengenaan Pajak Pertambahan Nilai sesuai dengan
penjelasan umum Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai adalah sebagai berikut:
UU No. 42 Tahun 2009
Pajak Pertambahan Nilai dikenakan
hanya terhadap pertambahan nilainya
saja dan dipungut beberapa kali pada
berbagai mata rantai jalur perusahaan.
Pajak Pertambahan Nilai adalah
pajak atas konsumsi barang dan jasa
di Daerah Pabean yang dikenakan
secara bertingkat di setiap jalur
produksi dan distribusi.
PA
JA
K
UU No. 11 Tahun 1994
bahwa pengertian jalur produksi menurut Jeff Madura dalam bukunya Introduction to Business
(2007:317) dinyatakan bahwa jalur produksi adalah urutan pos kerja (work station) dimana
setiap pos dirancang untuk mengerjakan tahap khusus dari proses produksi itu. Sedangkan pos
kerja (work station) adalah bagian pekerjaan dimana satu karyawan atau lebih diberi tugas
khusus;
DI
LA
N
bahwa dengan adanya perubahan konsep dasar PPN yang semula Pajak Pertambahan Nilai
dikenakan hanya terhadap pertambahan nilainya saja dan dipungut beberapa kali pada
berbagai mata rantai jalur perusahaan menurut UU PPN No. 11 Tahun 1994 menjadi PPN
adalah pajak atas konsumsi barang dan jasa di Daerah Pabean yang dikenakan secara
bertingkat di setiap jalur produksi dan distribusi menurut UU PPN No. 42 Tahun 2009, maka
PPN dapat dikenakan bukan hanya pada berbagai mata rantai perusahaan, namun dapat
dikenakan pada setiap jalur produksi dan distribusi meskipun masih dalam satu entitas;
GA
bahwa penyerahan Tandan Buah Segar memenuhi syarat untuk dapat dikenakan pajak
berdasarkan Pasal 4 Ayat (1) huruf a UU PPN, yaitu:
PE
N
a. Tandan Buah Segar merupakan Barang Kena Pajak, yaitu sesuai dengan Pasal 4A Ayat (2)
yang menyatakan bahwa Tandan Buah Segar tidak termasuk dalam kelompok barang yang
tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai.
b. bahwa penyerahan Tandan Buah Segar oleh Pemohon Banding dilakukan di dalam daerah
pabean.
c. bahwa penyerahan Tandan Buah Segar oleh Pemohon Banding dilakukan dalam bidang
usahanya.
IA
T
bahwa persyaratan penyerahan berdasarkan penjelasan Pasal 4 Ayat (1) huruf a UU PPN
tersebut tidak mengharuskan penyerahan Tandan Buah Segar dilakukan ke pelanggan saja,
namun diserahkan kepada siapa pun dapat dikenakan pajak termasuk penyerahan kepada diri
sendiri sesuai dengan prinsip bahwa PPN dapat dikenakan secara bertingkat pada setiap jalur
distribusi;
ET
AR
bahwa berdasarkan Pasal 1A huruf d UU PPN penyerahan Tandan Buah Segar dari unit kebun
ke unit pengolahan untuk diolah sendiri menjadi CPO/PK termasuk dalam kriteria pemakaian
sendiri Barang Kena Pajak;
bahwa berdasarkan PP 1 Tahun 2012 penyerahan Tandan Buah Segar ke unit pengolaha
CPO/PK merupakan pemakaian sendiri bersifat produktif yaitu pemakaian Tandan Buah Segar
yang nyata-nyata digunakan untuk kegiatan produksi selanjutnya;
KR
bahwa pemakaian sendiri untuk tujuan produktif atas Tandan Buah Segar untuk diolah Iebih
lanjut menjadi CPO/PK mendapatkan fasilitas dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan
Nilai, sehingga Pajak Masukan yang dibayar atas perolehan pupuk, pembuatan dan
pemeliharaan jalan kebun, racun hama, peralatan kebun, dan semua yang berhubungan
dengan kegiatan kebun untuk menghasilkan Tandan Buah Segar tidak dapat dikreditkan;
SE
c) Penyerahan Tandan Buah Segar dari Unit Kebun ke Unit Pabrik Pengolahan Minyak
(CPO/PK) untuk dititipolahkan Merupakan Penyerahan Kena Pajak
bahwa perubahan konsep dasar pengenaan Pajak Pertambahan Nilai sesuai dengan
penjelasan umum Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai adalah sebagai berikut:
UU No. 42 Tahun 2009
Pajak Pertambahan
Nilai dikenakan
hanya terhadap pertambahan nilainyasaja
dan dipungut beberapa kali pada berbagai
mata rantai jalur perusahaan.
Pajak Pertambahan Nilai adalah
pajak atas konsumsi barang dan
jasa di Daerah
Pabean yang
dikenakan secara bertingkat di
setiap jalur
produksi
dan
distribusi.
PA
JA
K
UU No. 11 Tahun 1994
DI
LA
N
bahwa pengertian jalur produksi menurut Jeff Madura dalam bukunya Introduction to Business
(2007:317) dinyatakan bahwa jalur produksi adalah urutan pos kerja (work station) dimana
setiap pos dirancang untuk mengerjakan tahap khusus dari proses produksi itu. Sedangkan pos
kerja (work station) adalah bagian pekerjaan dimana satu karyawan atau Iebih diberi tugas
khusus;
bahwa dengan adanya perubahan konsep dasar PPN yang semula Pajak Pertambahan Nilai
dikenakan hanya terhadap pertambahan nilainya saja dan dipungut beberapa kali pada
berbagai mata rantai jalur perusahaan menurut UU PPN No. 11 Tahun 1994 menjadi PPN
adalah pajak atas konsumsi barang dan jasa di Daerah Pabean yang dikenakan secara
bertingkat di setiap jalur produksi dan distribusi menurut UU PPN No. 42 Tahun 2009, maka
PPN dapat dikenakan bukan hanya pada berbagai mata rantai perusahaan, namun dapat
dikenakan pada setiap jalur produksi dan distribusi meskipun masih dalam satu entitas;
GA
bahwa penyerahan Barang Kena Pajak pada setiap jalur produksi antar entitas yang berlainan
dikenakan PPN pula;
PE
N
bahwa penyerahan Tandan Buah Segar memenuhi syarat untuk dapat dikenakan pajak
berdasarkan Pasal 4 Ayat (1) huruf a UU PPN, yaitu:
a. Tandan Buah Segar merupakan Barang Kena Pajak, yaitu sesuai dengan Pasal 4A Ayat (2)
yang menyatakan bahwa Tandan Buah Segar tidak termasuk dalam kelompok barang yang
tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai;
b. bahwa penyerahan Tandan Buah Segar oleh Pemohon Banding dilakukan di dalam daerah
pabean;
c. bahwa penyerahan Tandan Buah Segar oleh Pemohon Banding dilakukan dalam bidang
usahanya;
IA
T
bahwa persyaratan penyerahan berdasarkan penjelasan Pasal 4 Ayat (1) huruf a UU PPN
tersebut tidak mengharuskan penyerahan Tandan Buah Segar dilakukan ke pelanggan saja,
namun diserahkan kepada siapa pun dapat dikenakan pajak termasuk penyerahan kepada diri
sendiri, penyerahan untuk dititipolahkan sesuai dengan prinsip bahwa PPN dapat dikenakan
secara bertingkat pada setiap jalur produksi dan jalur distribusi;
ET
AR
bahwa berdasarkan Pasal 1A huruf d UU PPN penyerahan Tandan Buah Segar dari entitas
kebun ke entitas pengolahan untuk dititipolahkan menjadi CPO/PK termasuk dalam kriteria
penyerahan Barang Kena Pajak;
bahwa berdasarkan PP 1 Tahun 2012 penyerahan Tandan Buah Segar ke entitas pengolahan
CPO/PK untuk dititipolahkan merupakan penyerahan BKP bersifat produktif yaitu pemakaian
Tandan Buah Segar yang nyata-nyata digunakan untuk kegiatan produksi selanjutnya;
SE
KR
bahwa penyerahan BKP untuk tujuan produktif atas Tandan Buah Segar untuk diolah lebih
lanjut menjadi CPO/PK mendapatkan fasilitas dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan
Nilai, sehingga Pajak Masukan yang dibayar atas perolehan pupuk, pembuatan dan
pemeliharaan jalan kebun, racun hama, peralatan kebun, dan semua yang berhubungan
dengan kegiatan kebun untuk menghasilkan Tandan Buah Segar tidak dapat dikreditkan;
d) Prinsip Keadilan dan Netralitas atas Koreksi Pajak Masukan berdasarkan Pasal 16B UU PPN
bahwa dapat dilihat secara tersurat bahwa pasal 16B ayat (1) menganut prinsip equal
treatment. Bahwa prinsip perlakuan yang sama atau adil (equal treatment) sudah sesuai
dengan standar yang harus dipenuhi agar sebuah sistem pajak dapat dikatakan baik (good tax);
bahwa Sally M. Jones dan Shelley C. Rhoades-Catanach dalam bukunya Priciples of Taxation
for Business and Investment Planning 2010 Edition, McGraw Hill/Irwin halaman 22 menulis:
a) Pajak yang baik seharusnya memadai sebagai penerimaan pemerintah;
PA
JA
K
b) Pajak yang baik seharusnya mudah untuk diadministrasikan Pemerintah maupun bagi
rakyat untuk membayar;
c) Pajak yang baik seharusnya efisien bagi perekonomian negara;
d) Pajak yang baik seharusnya adil;
DI
LA
N
bahwa selanjutnya dalam halaman 32-37 menyebutkan beberapa kriteria pajak yang adil adalah
sebagai berikut:
a) Kemampuan untuk membayar, pajak yang dibayarkan seharusnya mencerminkan sumber
daya ekonomis yang berada pada penguasaan Wajib Pajak tersebut;
b) Keadilan horisontal, Wajib Pajak yang memiliki basis pajak yang sama seharusnya mendapat
perlakuan pajak yang sama;
c) Keadilan vertikal, Wajib Pajak A yang sebelum pengenaan pajak memiliki kesejahteraan
yang lebih baik daripada Wajib Pajak B, maka setelah pengenaan pajak tingkat
kesejahteraan Wajib Pajak A seharusnya tetap lebih balk daripada Wajib Pajak;
d) Keadilan distributif, pajak sebagai mekanisme redistribusi kesejahteraan di dalam suatu
masyarakat;
bahwa dengan menerapkan equal treatment ini Terbanding telah melaksanakan Azas¬Azas
Umum Pemerintahan yang baik yakni azas persamaan perlakuan;
bahwa sesuai dengan prinsip Pasal 16B menekankan kepada aspek keadilan dan pendapat ahli
juga menekankan adanya keadilan dalam pungutan pajak;
GA
bahwa berdasarkan Pasal 16B ayat (1) bahwa penyerahan TBS dibebaskan dari pengenaan
PPN dan Pasal 16B ayat (3) bahwa Pajak Masukan untuk perolehan BKP dan/atau JKP yang
atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan PPN, tidak dapat dikreditkan;
PE
N
bahwa ketika Pemohon Banding yang hanya melakukan penyerahan/penjualan TBS saja maka
Pajak Masukan tidak dapat dikreditkan, namun apabila penyerahan/penjualan CPO dan PK
maka Pajak Masukan yang sehubungan dengan perolehan TBS dapat dikreditkan menurut
Pemohon Banding;
bahwa Terbanding telah mengeluarkan Surat Edaran Nomor : SE-90/PJ/2011 untuk mengatur
pengkreditan Pajak Masukan pada perusahaan terpadu kelapa sawit;
IA
T
bahwa nyata-nyata dengan jelas di butir 6 huruf b bahwa "Pajak Masukan atas perolehan
Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang nyata-nyata digunakan untuk kegiatan
menghasilkan barang hasil pertanian yang atas penyerahannya dibebaskan dan pengenaan
PPN (TBS), tidak dapat dikreditkan”
ET
AR
bahwa PP No. 31 Tahun 2007 merupakan aturan pelaksanaan ketentuan Pasal 16B UU PPN
(atribusi). Bahwa Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2001 sebagaimana telah diubah
terakhir dengan PP No. 31 Tahun 2007, merupakan aturan pelaksanaan yang diamanatkan
dalam Pasal 16B UU PPN yang keberadaanya secara sah dapat dijadikan dasar hukum;
KR
bahwa ketentuan ini menjelaskan antara lain, bahwa salah satu prinsip yang harus dipegang
teguh di dalam Undang-Undang Perpajakan adalah diberlakukan dan diterapkannya perlakuan
yang sama terhadap semua Wajib Pajak atau terhadap kasus-kasus dalam bidang perpajakan
yang pada hakikatnya sama dengan perpegang teguh pada ketentuan peraturan perundangundangan;
SE
bahwa oleh karena itu, setiap kemudahan dalam bidang perpajakan, jika benar-benar
diperlukan harus mengacu pada kaidah di atas dan perlu dijaga agar di dalam penerapannya
tidak menyimpang dari maksud dan tujuan diberikannya kemudahan tersebut;
bahwa penerapan Koreksi Pajak Masukan yang dilakukan Terbanding telah sesuai dengan
maksud dan tujuan diberikannya fasilitas: meningkatkan daya saing dan memberi perlakuan
yang sama;
bahwa dalam kasus ini, mengenai perlakuan yang sama atas Pajak Keluaran dan Pajak
Masukan, dapat dijelaskan sebagai berikut:
 Dalam hal usaha Wajib Pajak adalah Kebun Sawit saja:
- Tidak ada PPN Keluaran atas penyerahan TBS;
-
Pajak Masukan kebun tidak dapat dikreditkan;
Pajak Masukan kebun dibiayakan dan menjadi unsur Harga Pokok Penjualan (HPP)
bagi TBS, dan kelak menjadi unsur HPP bagi CPO;
Dalam hal usaha Wajib Pajak adalah Pabrik CPO saja:
- Atas penyerahan CPO terutang PPN;
- Tidak ada Pajak Masukan atas Pembelian TBS;
- Pajak Masukan kebun menjadi unsur HPP dari TBS yang dibeli, selanjutnya menjadi
unsur HPP bagi CPO;

Dalam hal usaha Wajib Pajak terintegrasi Kebun Sawit dan Pabrik CPO:
- Tidak ada PPN atas TBS;
- PPN hanya atas CPO;
- Pajak Masukan kebun dibiayakan dan akan menjadi unsur HPP bagi CPO;
PA
JA
K

PE
N
GA
DI
LA
N
bahwa apabila pada perusahaan yang terintegrasi antara kebun sawit dan pabrik CPO, Pajak
Masukan kebun dapat dikreditkan, maka terdapat perlakuan yang berbeda pada:
 Pajak Masukan kebun, antara Perusahaan Sawit saja yang mengkapitalisasi Pajak
Masukan kebun ke dalam HPP dan perusahaan Integrated yang mengkreditkan Pajak
Masukan kebun, perbedaan tersebut menyebabkan unsur pembentuk harga TBS berbeda
dan berpotensi memunculkan praktek tidak sehat dengan tujuan mengkreditkan Pajak
Masukan kebun;
 Harga jual CPO dan Pajak Keluaran atas CPO, yang berpotensi memunculkan persaingan
yang tidak sehat. Harga jual dan PPN CPO bagi perusahaan yang hanya pabrikan CPO
mengandung unsur Pajak Masukan kebun, sehingga cenderung lebih tinggi, sedangkan
untuk perusahaan integrated tidak mengandung unsur Pajak Masukan Kebun, sehingga
harga cenderung lebih rendah;
 Oleh karena itu, demi terciptanya persaingan bisnis yang sehat dan menghindari perlakuan
diskriminatif, perlakuan PPN Keluaran dan Masukan harus sama, yaitu tidak ada Pajak
Keluaran baik atas penyerahan konsumtif, produktif, maupun tidak ada penyerahan (TBS
busuk), dan tidak ada Pajak Masukan yang dikreditkan, baik atas penyerahan konsumtif,
produktif, maupun ketika tidak ada penyerahan (TBS busuk);
IA
T
bahwa prinsip netralitas dalam Pajak Pertambahan Nilai perlu dikedepankan dan tidak boleh
ditinggalkan, karena PPN tidak menghendaki adanya kondisi yang mempengaruhi kompetisi
dalam dunia bisnis, Jika Pajak Masukan untuk menghasilkan TBS pada usaha terintegrasi
dapat dikreditkan, Pengusaha yang memiliki modal kecil yang tidak mampu memiliki unit
pengolahan (termasuk didalamnya adalah para petani), akan kesulitan berkompetisi harga
dengan pengusaha besar (karena PM menjadi HPP). Hal tersebut bertentangan dengan
netralitas PPN yang menghendaki PPN tidak mempengaruhi kompetisi dalam bisnis;
bahwa sebagai ilustrasi dapat Terbanding sampaikan sebagai berikut:
ET
AR
PT. A bergerak di bidang perkebunan kelapa sawit dan melakukan titip olah kepada PT B serta
PT A menjual CPO. PT C bergerak di bidang perkebunan kelapa sawit yang hanya menjual
TBS kepada PT D yang melakukan pengolahan kelapa sawit dan menjual CPO;
Sesuai alasan Pemohon Banding pada Surat Banding yaitu Pajak Masukan atas perolehan
BKP dan atau JKP untuk kebun sawit dapat dikreditkan, maka diilustrasikan sebagai berikut:
PT D
PTA
100
0
100
105
25
25
0
0
0
0
0
25
100
0
0
100
0
0
5
0
225
25
105
230
TBS
Titip Olah
Biaya Pabrikasi
SE
Biaya Lainnya
PPN Masukan Pupuk
Harga Jual
PT B
PT C
Uraian
KR
Tabel 1
bahwa sesuai dengan koreksi Terbanding bahwa Pajak Masukan atas perolehan BKP dan atau
JKP untuk kebun sawit dapat dikreditkan, maka diilustrasikan sebagai berikut:
Tabel 2
PTA
TBS
Titip Olah
Biaya Pabrikasi
Biaya Lainnya
PPN Masukan Pupuk
Harga Jual
PT B
PT C
PT D
100
0
100
105
25
25
0
0
0
0
0
25
100
0
0
100
5
0
5
0
230
25
105
230
PA
JA
K
Uraian
DI
LA
N
bahwa berdasarkan ilustrasi pada Tabel 1, dapat diketahui apabila Pajak Masukan atas
perolehan BKP dan/atau JKP untuk kebun sawit dapat dikreditkan sebagaimana pendapat
Pemohon Banding maka akan terjadi perbedaan harga jual antara PT. A dan PT. D yaitu antara
pihak yang melakukan titip olah (Pemohon Banding) dengan pihak yang melakukan transaksi
secara terpisah;
bahwa berdasarkan ilustrasi pada Tabel 2, dapat diketahui apabila Pajak Masukan atas
perolehan BKP dan/atau JKP untuk kebun sawit tidak dapat dikreditkan sebagaimana pendapat
Terbanding, maka tidak terjadi perbedaan harga jual antara PT. A dan PT. D yaitu antara pihak
yang melakukan titip olah (Pemohon Banding) dengan pihak yang melakukan transaksi secara
terpisah, sehingga pengenaan PPN menurut Terbanding yang dikenakan atas transaksi
tersebut memenuhi unsur netralitas;
GA
bahwa perlakuan perpajakan sebagaimana diuraikan di atas merupakan perwujudan keadilan
pembebanan pajak sebagaimana dinyatakan dalam penjelasan umum UU PPN;
bahwa sebagai ilustrasi dapat disampaikan sebagai berikut:
Rp100
Rp400
Rp 50
Rp900
PE
N
- DPP pupuk
-DPP TBS
-DPP Jasa Titip Olah
- DPP CPO
Uraian
PT KPC
Perkebunan Kelapa Sawit
TBS
JTO
Neto
PPN
400 Dibebaskan
50
50
PT X Pengolahan Kelapa Sawit
DPP PM
DPP PK
Tidak dapat
dikreditkan
90
900
85
Tidak dapat
dikreditkan
400
50
(5)
900
Beban
Pajak
PPN
Tidak dapat
dikreditkan
100
KR
CPO
DPP PK
ET
AR
DPP PM
Pupuk
IA
T
1) Dalam hal peran unit perkebunan dilakukan oleh PT KPCyang mandiri dan peran unit
Pengolahan dilakukan oleh PT X yang mandiri, dan mengingat penyerahan DPP TBS oleh
PT KPC(perkebunan kelapa sawit) dibebaskan, maka penghitungan PPN adalah sebagai
berikut:
5
90
50
5
90
SE
2) Dalam hal peran unit perkebunan dilakukan oleh PT KPCyang mandiri dan peran unit
Pengolahan dilakukan oleh PT X yang mandiri, dan Pajak Masukan atas pupuk (yang
digunakan untuk perolehan TBS) dapat dikreditkan sebagaimana alasan banding Pemohon
Banding dalam surat banding, maka penghitungan PPN adalah sebagai berikut:
Uraian
PT KPC
Perkebunan Kelapa Sawit
DPP PM
Pupuk
100
DPP PK
PT X Pengolahan Kelapa Sawit
PPN
(10)
DPP PM
DPP PK
PPN
Beban
Pajak
(10)
TBS
Tidak ada
penyerahan
50
CPO
Neto
50
(5)
900
5
90
150
90
75
50
5
PA
JA
K
JTO
80
bahwa membandingkan perlakuan PPN pada butir 1) dan butir 2) di atas, maka:
a) Pengkreditan Pajak Masukan pupuk atas penyerahan TBS yang dibebaskan dari pengenaan
PPN, melanggar ketentuan Pasal 16B ayat (3) Undang-Undang PPN;
b) Terjadi ketidaksamaan perlakuan yang menciptakan ketidakadilan;
DI
LA
N
3) Dalam hal peran unit perkebunan dan peran unit pengolahan dilakukan oleh perusahaan
yang sama (PT KPC), dan Pajak Masukan atas pupuk (yang digunakan untuk perolehan
TBS) dapat dikreditkan sebagaimana alasan banding Pemohon Banding dalam surat
banding, maka penghitungan PPN adalah sebagai berikut:
PT KPC
Uraian
Unit Pengolahan
Unit Perkebunan
DPP PM
Pupuk
DPP PK
(10)
100
400
Dibebaskan
400
DPP PK
PPN
900
CPO
Neto
(10)
Tidak dapat dikreditkan
GA
TBS
DPP PM
PPN
Beban
Pajak
90
90
90
80
PE
N
3) Dalam hal peran unit perkebunan dan peran unit pengolahan dilakukan oleh perusahaan
yang sama (PT KPC), dan Pajak Masukan atas pupuk (yang digunakan untuk perolehan
TBS) tidak dapat dikreditkan sebagaimana pendapat Terbanding, maka penghitungan PPN
adalah sebagai berikut:
PT KPC
Uraian
DPP PM
TBS
CPO
Neto
100
DPP PK
PPN
DPP PM
DPP PK
Beban
Pajak
PPN
Tidak dapat
dikreditkan
Tidak dapat
dikreditkan
400 Dibebaskan
ET
AR
Pupuk
Unit Pengolahan
IA
T
Unit Perkebunan
Tidak dapat
dikreditkan
400
900
90
90
90
90
KR
bahwa membandingkan perlakuan PPN pada butir 1) dan butir 4) di atas, maka terdapat
kesamaan perlakuan yang menciptakan keadilan;
SE
bahwa Tandan Buah Segar merupakan BKP yang atas penyerahannya dibebaskan dari
pengenaan PPN berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 12 Tahun 2001 tentang Impor
dan/atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu Yang Bersifat Strategis Yang Dibebaskan
dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana telah diubah dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 31 Tahun 2007;
bahwa pembelian pembelian pupuk maupun pembangunan infrastruktur dan lain-lain ditujukan
untuk menghasilkan Barang Kena Pajak berupa Tandan Buah Segar yang atas penyerahannya
dibebaskan dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai;
bahwa Pajak Masukan atas pembelian pupuk maupun pembangunan infrastruktur dan lain-lain
tidak berkaitan dengan penyerahan yang terutang Pajak Pertambahan Nilai yaitu penyerahan
RDB Palm Oil dan Crude Palm Kernel Oil (CPKO);
PA
JA
K
e) Tanggapan Terbanding atas Perlakuan PPN atas penyerahan TBS tidak lagi mendapatkan
fasilitas dibebaskan dari pengenaan PPN
GA
DI
LA
N
bahwa telah diterbitkan Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 70P/HUM/2013
yang telah diputus pada tanggal 25 Februari 2014 yang dalam amar putusannya memuat:
a. Mengabulkan permohonan uji materiil dari Pemohon; Kamar Dagang dan Industri Indonesia
(Indonesian Chamber of Commerce and Industry);
b. Menyatakan Pasal 1 ayat (1) huruf c, Pasal 1 ayat (2) huruf a, Pasal 2 ayat (1) huruf f, dan
Pasal 2 ayat (2) huruf c Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2007 tentang Perubahan
Keempat atas Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2001 tentang Impor dan atau
Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu yang Bersifat Strategis yang Dibebaskan dari
Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang
Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42
Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang
Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, dan
karenanya tidak sah dan tidak berlaku umum;
c. Memerintahkan kepada Presiden Republik Indonesia untuk mencabut Pasal 1 ayat (1) huruf
c, Pasal 1 ayat (2) huruf a, Pasal 2 ayat (1) huruf f, dan Pasal 2 ayat (2) huruf c Peraturan
Pemerintah Nomor 31 Tahun 2007 tentang Perubahan Keempat atas Peraturan Pemerintah
Nomor 12 Tahun 2001 tentang Impor dan atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu
yang Bersifat Strategis yang Dibebaskan dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai;
IA
T
PE
N
bahwa Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2001 sebagaimana telah diubah beberapa kali
terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2007, mengatur antara lain:
a. Pasal 1 angka 1 huruf c, bahwa Barang Kena Pajak Tertentu yang bersifat strategis adalah
barang hasil pertanian;
b. Pasal 1 angka 2 huruf a, bahwa barang hasil pertanian adalah barang yang dihasilkan dari
kegiatan usaha di bidang perkebunan yang dipetik langsung, diambil langsung atau disadap
langsung dari sumbernya termasuk yang diproses awal dengan tujuan untuk memperpanjang
usia simpan atau mempermudah proses lebih lanjut;
c. Pasal 2 ayat (2) huruf c, bahwa atas penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu yang bersifat
strategis berupa barang hasil pertanian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 huruf
c dibebaskan dari pengenaan PPN;
ET
AR
bahwa berdasarkan Putusan Mahkamah Agung tersebut, maka implikasi perpajakannya adalah
Barang hasil pertanian yang merupakan hasil perkebunan, tanaman hias dan obat, tanaman
pangan, dan hasil hutan sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran Peraturan Pemerintah
Nomor 31 Tahun 2007 yang semula dibebaskan dari pengenaan PPN berubah menjadi
dikenakan PPN sehingga atas penyerahan dan impornya dikenai PPN dengan tarif 10%,
sedangkan atas ekspornya dikenai PPN dengan tarif 0% ;
KR
bahwa sebagai ilustrasi dapat disampaikan sebagai berikut:
- DPP pupuk
Rp100
- DPP TBS
Rp400
- DPP Jasa Titip Olah
Rp 50
- DPP CPO
Rp900
SE
bahwa dalam hal peran unit perkebunan dilakukan oleh PT KPCyang mandiri dan peran unit
Pengolahan dilakukan oleh PT Y yang mandiri, maka penghitungan PPN adalah sebagai
berikut:
Uraian
Pupuk
PT KPC
Perkebunan Kelapa Sawit
DPP PM
100
TBS
JTO
DPP PK
PPN
DPP PM
DPP PK
PPN
400
(5)
Beban
Pajak
(10)
(10)
400
50
PT Y Pengolahan Kelapa Sawit
50
5
CPO
Neto
150
900
90
900
75
90
50
5
80
PA
JA
K
bahwa berdasarkan data pada Sistem Informasi Administrasi Perkara Mahkamah Agung
Republik Indonesia, Putusan Mahkamah Agung Nomor 70P/HUM/2013 telah dikirim pada
tanggal tanggal 23 April 2014. Dengan demikian apabila Pemerintah sampai dengan tanggal 21
Juli 2014 belum mencabut Pasal 1 ayat (1) huruf c, Pasal 1 ayat (2) huruf a, Pasal 2 ayat (1)
huruf f, dan Pasal 2 ayat (2) huruf c Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2007, maka sejak
tanggal 22 Juli 2014 ketentuan tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum;
bahwa dengan demikian Putusan Mahkamah Agung Nomor 70P/HUM/2013 belum dapat
diaplikasikan pada sengketa ini, mengingat ketentuan pada Peraturan Pemerintah Nomor 31
Tahun 2007 yang dibatalkan tidak mempunyai kekuatan hukum sejak tanggal 22 Juli 2014,
sementara sengketa masa pajak Desember 2011;
DI
LA
N
Simpulan
bahwa Terbanding berpendapat unit kebun Pemohon Banding merupakan jalur produksi
tersendiri yang menghasilkan Tandan Buah Segar;
bahwa Terbanding berpendapat penyerahan Tandan Buah Segar dari unit kebun ke unit pabrik
pengolahan minyak Pemohon Banding merupakan penyerahan Barang Kena Pajak;
GA
bahwa Tandan Buah Segar merupakan BKP yang atas penyerahannya dibebaskan dari
pengenaan PPN berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 12 Tahun 2001 tentang Impor
dan/atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu Yang Bersifat Strategis Yang Dibebaskan
dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana telah diubah dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 31 Tahun 2007;
PE
N
bahwa pembelian pupuk ditujukan untuk menghasilkan Barang Kena Pajak berupa Tandan
Buah Segar yang atas penyerahannya dibebaskan dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai;
IA
T
bahwa Putusan Mahkamah Agung Nomor 70P/HUM/2013 belum dapat diaplikasikan pada
sengketa ini, mengingat ketentuan pada Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2007 yang
dibatalkan tidak mempunyai kekuatan hukum sejak tanggal 22 Juli 2014, sementara sengketa
masa pajak Desember 2011;
bahwa koreksi yang dilakukan Terbanding telah sesuai dengan ketentuan peraturan perpajakan
yang berlaku;
ET
AR
Menurut Pemohon Banding :
bahwa Pemohon Banding merupakan Wajib Pajak yang bergerak dalam bidang industri minyak
kasar (minyak makan) dari Nabati dan Hewani. Produk yang dijual oleh Pemohon Banding
adalah Minyak Kelapa Sawit (CPO) dan Inti Sawit (PK) yang seluruhnya merupakan Barang
Kena Pajak (BKP) yang atas penyerahannya terutang PPN sebesar 10%;
KR
bahwa yang menjadi sengketa dalam banding ini adalah karena Terbanding menganggap
bahwa Pemohon Banding melakukan penyerahan berupa Tandan Buah Segar (TBS) yang
mana atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan PPN dan oleh sebab itu pengeluaran
yang berkaitan dengan penyerahan TBS ini dikoreksi positif;
SE
bahwa produk yang dijual oleh Pemohon Banding bukanlah TBS seperti anggapan Terbanding.
TBS yang dihasilkan oleh perkebunan kelapa sawit Pemohon Banding tidak dimaksudkan untuk
dijual, melainkan untuk diolah lebih lanjut menjadi produk akhir berupa CPO dan PK. Produk
akhir inilah yang kemudian dijual oleh Pemohon Banding kepada pihak eksternal. Dengan
demikian tidak ada penyerahan yang dibebaskan dari pengenaan PPN atas penjualan TBS
dalam kegiatan usaha Pemohon Banding;
bahwa berdasarkan Laporan Keuangan yang telah diaudit oleh Kantor Akuntan Publik (Audit
Report), penjualan (penyerahan) yang dilakukan oleh Pemohon Banding adalah penjualan CPO
dan PK, dimana atas penjualan ini terutang PPN sebesar 10%. Faktur Pajak Keluaran atas
penjualan CPO dan PK tersebut telah Pemohon Banding laporkan dalam SPT Masa PPN ke
KPP Pratama Sintang;
PA
JA
K
bahwa oleh karena itu, pendapat Terbanding yang menyatakan bahwa Pemohon Banding
melakukan penyerahan TBS, yang mana atas penyerahan tersebut dibebaskan dari pengenaan
PPN adalah tidak tepat dan tidak berdasar;
bahwa Pasal 9 ayat (2) dan ayat (9) Undang-Undang PPN berbunyi sebagai berikut:
(2) Pajak Masukan dalam suatu Masa Pajak dikreditkan dengan Pajak Keluaran dalam Masa
Pajak yang sama;
DI
LA
N
(9) Pajak Masukan yang dapat dikreditkan, tetapi belum dikreditkan dengan Pajak Keluaran
pada Masa Pajak yang sama, dapat dikreditkan pada Masa Pajak berikutnya paling lama 3
(tiga) bulan setelah berakhirnya Masa Pajak yang bersangkutan sepanjang belum
dibebankan sebagai biaya dan belum dilakukan pemeriksaan;
bahwa dalam persidangan, Pemohon Banding menyampaikan penjelasan tertulis nomor
022/KPC-PP/X/2018 tanggal 17 Oktober 2018 yang pada pokoknya mengemukakan hal-hal
sebagai berikut:
GA
bahwa Perusahaan bergerak di bidang industri minyak makan kelapa sawit dengan produk
akhir yang diserahkan berupa minyak kelapa sawit/ crude palm oil (CPO) dan inti sawit/palm
kernel (PK) dengan KLU 10431 - Industri Minyak Makan Kelapa Sawit (Crude Palm Oil); dengan
lokasi usaha yang terletak di Desa Nanga Suhaid, Nanga Suhaid, Suhaid, Kabupaten Kapuas
Hulu;
Dasar Koreksi Terbanding
PE
N
bahwa adapun seluruh TBS yang dihasilkan oleh perkebunan Pemohon Banding, dikirim untuk
dititip-olah di pabrik pengolahan kelapa sawit PT. MAUdan PT. SKIP dan basil dari pengolahan
pabrik kelapa sawit tersebut berupa Minyak Kelapa Sawit (CPO) dan Inti Sawit (PK) yang
kemudian dijual oleh Pemohon Banding kepada PT. SMART, Tbk dan PT. SIP;
bahwa Terbanding melakukan koreksi atas Pajak Masukan yang dapat diperhitungkan sebesar
Rp441.999.029,00 dengan alasan sebagai berikut:
IA
T
bahwa Pajak Masukan dari hasil perkebunan kelapa sawit berupa tandan buah segar (TBS)
yang merupakan barang strategis yang dibebaskan dari PPN, Pajak Masukan sebagaimana
tercantum dalam faktur pajak dalam rangka untuk kegiatan perkebunan kelapa sawit tidak dapat
dikreditkan;
ET
AR
bahwa Pajak Masukan yang dibayar untuk perolehan barang kena pajak dan atau jasa kena
pajak yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan PPN tidak dapat dikreditkan;
bahwa usaha Pemohon Banding adalah perkebunan kelapa sawit yang menghasilkan TBS,
sedangkan TBS merupakan Barang Strategis berupa hasil pertanian yang penyerahannya
dibebaskan dari pengenaan PPN;
KR
bahwa atas pengeluaran untuk pembelian pupuk maupun pembangunan infrastruktur dan lainlain, namun pada hakikatnya adalah berkaitan dengan perkebunan kelapa sawit sehingga hal
ini jelas merupakan satu kesatuan dengan perkebunan tersebut;
Penjelasan Pemohon Banding
SE
bahwa Pemohon Banding adalah Perusahaan yang bergerak di bidang industri minyak kelapa
sawit dimana produk yang dijual/diserahkan oleh Pemohon Banding bukanlah hasil dari
perkebunan yang berupa Tandan Buah Segar (TBS), akan tetapi produk berupa minyak kelapa
sawit (CPO) dan inti sawit (PK) yang mana atas penjualan produk-produk tersebut oleh
Pemohon Banding dipungut PPN dengan tarif 10%;
bahwa Pemohon Banding mengelola Perkebunan Kelapa Sawit dalam melakukan kegiatan
usahanya, dimana hasil dari perkebunan tersebut berupa Tandan Buah Segar (TBS). Akan
tetapi, hasil berupa TBS ini tidak dimaksudkan untuk dijual, melainkan seluruhnya diolah lebih
lanjut menjadi produk minyak kelapa sawit (CPO) dan inti sawit (PK). CPO dan PK yang
dihasilkan inilah yang kemudian dijual oleh Pemohon Banding;
PA
JA
K
Terbanding dalam SPHP tidak melakukan koreksi apapun atas penyerahan Pemohon Banding
karena faktanya Pemohon Banding tidak pernah melakukan penyerahan TBS, yang berarti
Terbanding setuju bahwa Penyerahan Pemohon Banding adalah penyerahan yang PPN-nya
harus dipungut sendiri dan tidak terdapat penyerahan yang dibebaskan dari pengenaan PPN;
bahwa lebih lanjut, Pemohon Banding informasikan juga bahwa berdasarkan Laporan
Keuangan yang telah diaudit oleh Kantor Akuntan Publik (Audit Report), penjualan
(penyerahan) yang dilakukan oleh Pemohon Banding adalah penjualan CPO dan PK, dimana
atas penjualan ini terutang PPN sebesar 10%. Faktur Pajak Keluaran atas penjualan CPO dan
PK tersebut telah Pemohon Banding laporkan dalam SPT Masa PPN ke KPP Pratama Sintang;
DI
LA
N
bahwa oleh karena itu, pendapat Terbanding yang menyatakan bahwa Pemohon Banding
melakukan penyerahan TBS, yang mana atas penyerahan tersebut dibebaskan dari pengenaan
PPN adalah tidak tepat dan tidak berdasar;
bahwa sebagaimana diatur dalam UU PPN dan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 31
Tahun 2007 tanggal 1 Mei 2007 tentang perubahan keempat atas Peraturan Pemerintah Nomor
12 Tahun 2001 tentang Impor dan/atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu yang bersifat
strategis yang dibebaskan dari pengenaan PPN, produk CPO dan PK tidak termasuk sebagai
barang yang dibebaskan dart pengenaan PPN, sehingga atas penyerahan CPO dan PK yang
dilakukan oleh Pemohon Banding hams dikenakan PPN sebesar 10%;
PE
N
GA
bahwa karena Pemohon Banding tidak melakukan penyerahan/penjualan TBS (yang
dibebaskan dari PPN) dan TBS tersebut masih merupakan barang dalam proses yang harus
diolah lebih lanjut menjadi CPO dan PK sebagai produk akhir yang merupakan BKP, maka
seluruh pajak masukan Pemohon Banding berkaitan dengan kegiatan usaha penyerahan
Barang Kena Pajak yang atas penyerahannya terutang PPN 10% seharusnya dapat dikreditkan
oleh Pemohon Banding;
bahwa pemohon Banding tidak setuju dengan Terbanding karena dengan tidak adanya pabrik
tidak berarti Pemohon Banding tidak dapat memproduksi CPO dan PK. Pada kenyataannya
Pemohon Banding dapat memproduksi CPO dan PK melalui jasa titip olah seperti yang sudah
diakui oleh Terbanding;
IA
T
bahwa sesuai dengan dasar hukum Pasal 2 ayat (4) Peraturan Menteri Keuangan Nomor
244/PMK.03/2008 tanggal 31 Desember 2008, menyebutkan bahwa:
ET
AR
“Jasa maklon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2) huruf t adalah pemberian jasa
dalam rangka proses penyelesaian suatu barang tertentu yang proses pengerjaannya dilakukan
oleh pihak pemberi jasa (disubkontrakkan), yang spesifikasi, bahan baku dan atau barang
setengah jadi dan atau bahan penolong/pembantu yang akan diproses sebagian atau
seluruhnya disediakan oleh pengguna jasa, dan kepemilikan atas barang jadi berada pada
pengguna jasa."
SE
KR
bahwa sesuai dengan definisi jasa maklon yang disebutkan dalam Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 244/PMK.03/2008 tersebut, dengan demikian jelas bahwa tidak terdapat penyerahan
TBS (yang dititip olahkan / maklon) karena kepemilikan atas barang hasil titip olah tersebut
yaitu CPO dan PK masih merupakan milik pengguna jasa maklon tersebut atau dalam hal ini
masih milik Pemohon Banding);
bahwa karena produk TBS ataupun hasil olahannya (CPO dan PK) tersebut masih merupakan
milik dari Pemohon Banding sendiri maka tidak terdapat penyerahan hak atas produk tersebut
dari Pemohon Banding kepada pihak lain. Adapun penyerahan hak tersebut terjadi pada saat
produk hasil olahan tersebut yaitu CPO dan PK dijual kepada pihak lain dengan berdasarkan
suatu perjanjian tertulis antara Pemohon Banding dengan pihak pembeli;
bahwa menurut Pemohon Banding, penentuan dapat dikreditkannya suatu Pajak Masukan
haruslah dikaitkan dengan bidang usaha dan penyerahan yang dilakukan oleh Pemohon
Banding, bukan dikaitkan dengan jenis barang yang dihasilkan oleh Pemohon Banding, hal ini
secara implisit sesuai dengan Pasal 9 ayat (2) Undang-Undang PPN Nomor 42 tahun 2009
yang
menyatakan "...Pajak Masukan dalam suatu Masa Pajak dikreditkan dengan Pajak Keluaran
untuk Masa Pajak yang sama";
PA
JA
K
bahwa kemudian di Pasal 9 ayat (5) UU PPN Nomor 42 tahun 2009 mengatur bahwa:
"Apabila dalam suatu Masa Pajak Pengusaha Kena Pajak selain melakukan penyerahan yang
terutang pajak juga melakukan penyerahan yang tidak terutang pajak, sepanjang bagian
penyerahan yang terutang pajak dapat diketahui dengan pasti dari pembukuannya, jumlah
Pajak Masukan yang dapat dikreditkan adalah Pajak Masukan yang berkenaan dengan
penyerahan yang terutang pajak";
bahwa lebih lanjut, di Pasal 16B ayat (3) UU PPN Nomor 42 Tahun 2009 juga menyebutkan
bahwa:
"Pajak Masukan yang dibayar untuk perolehan Barang Kena Pajak dan/ atau perolehan Jasa
Kena Pajak yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai
tidak dapat dikreditkan";
DI
LA
N
bahwa menurut Pemohon Banding, kalimat "atas penyerahan" dalam Pasal 16B ayat (3) UU
PPN Nomor 42 Tahun 2009 merujuk pada penyerahan akhir dari Pemohon Banding;
bahwa untuk mendukung pernyataan Pemohon Banding, memori penjelasan Pasal 16B ayat (3)
UU PPN Nomor 42 Tahun 2009 menyebutkan bahwa:
"Berbeda dengan ketentuan pada ayat (2), adanya perlakuan khusus berupa pembebasan dari
pengenaan Pajak Pertambahan Nilai mengakibatkan tidak adanya Pajak Keluaran sehingga
Pajak Masukan yang berkaitan denqan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena
Pajak yang memperoleh pembebasan tersebut tidak dapat dikreditkan.
GA
Contoh:
Pengusaha Kena Pajak B memproduksi Barang Kena Pajak yang mendapat fasilitas dari
negara, yaitu atas penyerahan Barang Kena Pajak tersebut dibebaskan dari pengenaan Pajak
Pertambahan Nilai.
PE
N
Untuk memproduksi Barang Kena Pajak tersebut, Pengusaha Kena Pajak B menggunakan
Barang Kena Pajak lain dan/ atau Jasa Kena Pajak sebagai bahan palm, bahan pembantu,
barang modal, ataupun sebagai komponen biaya lain.
Pada waktu membeli Barang Kena Pajak lain dan/ atau Jasa Kena Pajak tersebut, Pengusaha
Kena Pajak B membayar Pajak Pertambahan Nilai kepada Pengusaha Kena Pajak yang
menjual atau menyerahkan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak tersebut.
ET
AR
IA
T
Meskipun Pajak Pertambahan Nilai yang dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak B kepada
Pengusaha Kena Pajak pemasok tersebut merupakan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan,
karena tidak ada Pajak Keluaran berhubung diberikannya fasilitas dibebaskan dari pengenaan
pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pajak Masukan tersebut menjadi tidak dapat
dikreditkan."
bahwa dari memori penjelasan tersebut, sangatlah dapat dilihat bahwa yang menyebabkan
pajak masukan atas perolehan BKP strategis tersebut menjadi tidak dapat dikreditkan adalah
karena BKP yang diberikan fasilitas dibebaskan tersebut diserahkan, sehingga tidak ada pajak
keluaran atas BKP strategis tersebut;
KR
bahwa dalam hal ini, menurut Pemohon Banding, Terbanding telah jelas-jelas keliru dalam
menafsirkan arti dari penyerahan sebagaimana dimaksud dalam pasal 16B ayat (3) UU PPN;
SE
bahwa hal tersebut hanyalah asumsi semata dari Terbanding dimana tidak bisa disamakan
ataupun diinterpretasikan bahwa frase "yang atas penyerahannya" sama dengan "yang apabila
diserahkan" karena frase "yang atas penyerahannya" mengacu kepada kejadian sesungguhnya
atau sungguh-sungguh terjadi, sedangkan frase "yang apabila diserahkan" mengacu kepada
kejadian yang belum terjadi ataupun pengandaian;
bahwa berdasarkan peraturan perundang-undangan perpaj akan jelas disebutkan bahwa PKP
harus melakukan penyerahan dan bukan hanya "yang apabila diserahkan". Hal ini jelas
disebutkan dalam:
a. Judul dari Keputusan Menteri Keuangan Nomor 575/KMK.04/2000 yang berbunyi: "Pedoman
Penghitungan Pengkreditan Pajak Masukan Bagi Pengusaha Kena Pajak Yang Melakukan
PA
JA
K
Pengerahan Yang Terutang Pajak Dan Penyerahan Yang Tidak Terutang Pajak";
b. Selain itu, Keputusan Menteri Keuangan Nomor 575/KMK.04/2000 merupakan pelaksanaan
dari Pasal 9 ayat (6) Undang-Undang PPN Nomor 18 Tahun 2000 yang berbunyi: "Apabila
dalam suatu Masa Pajak, Pengusaha Kena Pajak selain melakukan penyerahan yang
terutang pajak juga melakukan penyerahan yang tidak terutang pajak, sedangkan Pajak
Masukan untuk penyerahan yang terutang pajak tidak dapat diketahui dengan pasti, maka
jumlah Pajak masukan yang dapat dikreditkan untuk penyerahan yang terutang pajak
dihitung dengan menggunakan pedoman yang diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan".
bahwa berdasarkan penjelasan diatas jelas bahwa kedua peraturan tersebut berlaku hanya
bagi PKP yang melakukan penyerahan sehingga apabila menurut Terbanding, Pemohon
Banding tidak harus melakukan penyerahan maka kedua peraturan tersebut menjadi tidak
berlaku dan tidak dapat dijadikan dasar koreksi bagi Terbanding;
DI
LA
N
bahwa berdasarkan Pasal 9 ayat (6) UU PPN Nomor 42 Tahun 2009, menyebutkan bahwa:
"Apabila dalam suatu Masa Pajak Pengusaha Kena Pajak selain melakukan penyerahan yang
terutang pajak juga melakukan penyerahan yang tidak terutang pajak, sedangkan Pajak
Masukan untuk penyerahan yang terutang pajak tidak dapat diketahui dengan pasti, jumlah
Pajak Masukan yang dapat dikreditkan untuk penyerahan yang terutang pajak dihitung dengan
menggunakan pedoman yang diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan."
bahwa jelas terlihat berdasarkan ketentuan tersebut, bahwa harus ada penyerahan yang tidak
terutang pajak terlebih dahulu, baru dilakukan penghitungan pengkreditan pajak masukan yang
tidak dapat dikreditkan;
PE
N
GA
bahwa ketentuan tersebut sama sekali tidak mengatur bahwa pajak masukan atas perolehan
BKP/JKP yang digunakan untuk kegiatan menghasilkan BKP/JKP yang dibebaskan dari PPN,
pajak masukannya tidak dapat dikreditkan. Konteks dari ketentuan tersebut adalah harus
adanya "Penyerahan";
bahwa dapat Pemohon Banding sampaikan ilustrasi penghitungan PPN terkait Perusahaan
yang hanya menjual TBS (dibebaskan PPN) dengan Perusahaan yang menjual CPO 86 PK
(dipungut PPN) sebagai berikut:
PT A (Dual TBS)
0
100
0
300
0
30
0
50
0
100
10
ET
AR
Perolehan:
Pupuk dll
PPN
IA
T
DPP
Penyeraha
n:
CPO/PK
TBS
Net
PT B (Dual
CPO/PK)
DPP
PPN
0
0
20
SE
KR
bahwa menurut Pemohon Banding, bahwa dalam memahami prinsip keadilan, yaitu adil bukan
berarti harus selalu diperlakukan sama. Terdapat perbedaan kondisi yang sangat signifikan
antara Pemohon Banding dengan pengusaha lain yang hanya melakukan penyerahan TBS.
Dimana Pemohon Banding mengolah TBS menjadi produk minyak kelapa sawit (CPO dan PK).
Hal ini sejalan dengan program hilirisasi Pemerintah terutama hilirisasi industri kelapa sawit
Indonesia untuk menciptakan swasembada pangan di Indonesia. Selain itu sesuai juga dengan
tujuan diberlakukannya Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2001 tentang barang strategis
yaitu pemberian insentif bagi pengusaha untuk mendorong pembangunan nasional. Sehingga
apabila Pemohon Banding diperlakukan sama dengan pengusaha lain yang hanya melakukan
penyerahan TBS maka akan terjadi dis-insentif yang tidak sesuai dengan tujuan PP No. 12
Tahun 2001 dan Program Hilirisasi Pemerintah;
bahwa hukum harus selalu menjadi acuan bagi setiap penyusunan kebijakan pemerintah, oleh
karenanya tidak dapat dengan alasan kesetaraan/keadilan maka peraturan perpajakan yang
ada ditafsirkan secara semena-mena;
bahwa hal ini juga sejalan dalam bagian menimbang pada UU PPN yang menyebutkan bahwa:
"bahwa dalam rangka lebih meningkatkan kepastian hukum dan keadilan, menciptakan sistem
perpajakan yang lebih sederhana, serta mengamankan penerimaan negara agar pembangunan
nasional dapat dilaksanakan secara mandiri";
PA
JA
K
bahwa dengan Pemohon Banding dapat menjual produk akhir berupa CPO dan PK yang
terutang PPN 10% dan mempunyai nilai lebih apabila dibandingkan dengan jual TBS, maka
menciptakan sistem perpajakan yang dapat membantu negara dalam mengamankan
penerimaan negara;
bahwa perlu Pemohon Banding informasikan juga bahwa Terbanding telah menerbitkan Surat
Edaran Nomor SE-24/PJ/2014 tentang Pelaksanaan Putusan Mahkamah Agung Republik
Indonesia Nomor 70P/HUM/2013 Mengenai Pajak Pertambahan Nilai Atas Barang Hasil
Pertanian yang Dihasilkan Dari Kegiatan Usaha di Bidang Pertanian, Perkebunan, dan
Kehutanan sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2007;
DI
LA
N
bahwa SE-24/PJ/2014 tersebut menyatakan bahwa barang hasil pertanian yang merupakan
hasil perkebunan, tanaman hias dan obat, tanaman pangan, dan hasil hutan sebagaimana
ditetapkan dalam Lampiran Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2007 yang semula
dibebaskan dari pengenaan PPN berubah menjadi dikenakan PPN sehingga atas penyerahan
dan impornya dikenai PPN;
GA
bahwa dengan adanya Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 70P/HUM/2013
dan Surat Edaran DJP Nomor SE-24/PJ/2014 tersebut semakin menegaskan bahwa barang
hasil pertanian dan perkebunan yang ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun
2007 yaitu Tandan Buah Segar (TBS) bukan merupakan barang strategis dan merupakan BKP
yang atas penyerahannya dikenakan PPN;
PE
N
bahwa karena Pemohon Banding tidak pernah melakukan penyerahan/penjualan TBS (yang
dibebaskan dari pengenaan PPN) akan tetapi hanya melakukan penyerahan/penjualan Barang
Kena Pajak berupa CPO dan PK yang mana atas seluruh penyerahannya terutang PPN 10%
maka seluruh Pajak Masukan yang dikreditkan Pemohon Banding jelas berkenaan dengan
kegiatan usaha penyerahan Barang Kena Pajak yang atas penyerahannya terutang PPN 10%.
Dengan demikian seluruh Pajak Masukan termasuk PPN untuk kegiatan perkebunan
seharusnya memang dapat dikreditkan oleh Pemohon Banding sesuai dengan ketentuan yang
diatur dalam Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai;
ET
AR
IA
T
bahwa sebagai tambahan informasi lain, tanpa mengurangi rasa hormat dan menjunjung tinggi
asas independensi Majelis Hakim Yang Mulia dalam memutuskan setiap perkara sengketa,
namun sebagai bahan pertimbangan Majelis, dapat Pemohon Banding informasikan tentang
beberapa Putusan Pengadilan Pajak yang mengabulkan seluruhnya atas permohonan banding
terkait sengketa PPN yang menurut Pemohon Banding memiliki relevansi yang tinggi atau
serupa dengan kasus sengketa banding ini yaitu:
• Nomor: Put.60175/PP/M.XIIB/16/2015 atas nama PT. SMART, Tbk;
• Nomor: Put.60176/PP/M.XIIB/16/2015 atas nama PT. SMART, Tbk;
• Nomor: Put.60177/PP/M.XIIB/16/2015 atas nama PT. SMART, Tbk;
bahwa dengan demikian, sesuai dengan butir-butir penjelasan tersebut di atas, maka koreksi
Terbanding atas Pajak Masukan yang dikreditkan oleh Pemohon Banding harus dibatalkan;
Menurut Majelis :
KR
bahwa yang terbukti menjadi nilai sengketa banding ini adalah Koreksi Pajak Masukan yang
dapat diperhitungkan Masa Pajak November 2011 sebesar Rp441.999.029,00;
SE
Menimbang, bahwa berdasarkan pokok sengketa sebagaimana diuraikan di atas,
Majelis berpendapat sengketa a quo adalah sengketa yuridis fiskal;
Menimbang, bahwa untuk membuktikan dalilnya, Para Pihak mengajukan alat bukti
surat/ tulisan yang diberi tanda bukti T-4 sampai dengan T-7 dan Pemohon Banding
mengajukan alat bukti surat/tulisan yang diberi tanda bukti P-20 sampai dengan P-24;
Menimbang, bahwa berdasarkan pemeriksaan atas bukti-bukti dan keterangan yang
disampaikan Para Pihak di persidangan serta peraturan perundang-undangan perpajakan yang
berlaku, Majelis memberikan pertimbangan dan pendapat sebagai berikut:
PA
JA
K
Menimbang, bahwa yang menjadi sengketa adalah koreksi Terbanding atas Pajak
Masukan yang berhubungan dengan kebun yang menghasilkan TBS berdasarkan Pasal 16B
ayat (3) UU PPN, PP No. 31 tahun 2007, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 78/PMK.03/2010
dan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor : SE - 90/PJ/2011
bahwa Pemohon Banding tidak setuju dengan koreksi Terbanding karena Pemohon Banding
bukan hanya perusahaan perkebunan saja, tetapi juga memiliki Pabrik CPO dan PK yang
merupakan Perseroan Terbatas yang menyatu dan terintegrasi oleh sebab itu kebun dan pabrik
merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan sehingga tidak seharusnya dilakukan
koreksi positif atas pajak masukan yang berasal dari kebun;
DI
LA
N
bahwa berdasarkan uraian di atas permasalah pokok sengketa a quo adalah sengketa yuridis
dimana Majelis akan mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut :
Menimbang, bahwa menurut Pemohon Banding TBS yang dihasilkan oleh Unit
Perkebunan Pemohon Banding yang selanjutnya dipergunakan/dipakai sebagai bahan baku di
Unit Pengolahan Pemohon Banding, pada dasarnya bukanlah merupakan penyerahan BKP
tertentu yang bersifat strategis berupa TBS;
GA
bahwa pengertian PENYERAHAN BARANG KENA PAJAK sebagaimana diatur dalam UU PPN,
Pasal 1A ayat (1), menyatakan :
Yang termasuk dalam pengertian penyerahan Barang Kena Pajak adalah pemakaian sendiri
dan/atau pemberian cuma-cuma atas Barang Kena Pajak;
PE
N
dalam memori Penjelasan Pasal 1A ayat (1) huruf d dari UU PPN, dijelaskan bahwa :
"Yang dimaksud dengan "pemakaian sendiri" adalah pemakaian untuk kepentingan
pengusaha sendiri, pengurus, atau karyawan, baik barang produksi sendiri maupun bukan
produksi sendiri"
bahwa berdasarkan penjelasan bagian Umum UU No 42 Tahun 2009, Alinea pertama dengan
susunan kalimat berbeda menegaskan bahwa PPN adalah pajak atas konsumsi barang dan
jasa di Daerah Pabean yang dikenakan secara bertingkat di setiap jalur produksi dan distribusi;
ET
AR
IA
T
bahwa berdasarkan ketentuan sebagaimana diuraikan diatas, Majelis berpendapat pengertian
“pemakaian untuk kepentingan sendiri” adalah pemakaian untuk tujuan diolah lebih lanjut oleh
pengusaha sendiri sehingga TBS yang diolah lebih lanjut secara bertingkat dalam jalur
produksi untuk menghasilkan CPO, termasuk pengertian penyerahan berupa pemakaian sendiri
TBS sebagaimana diatur dalam Pasal 1A ayat (1) huruf d beserta penjelasannya dan
penjelasan bagian Umum UU PPN;
Menimbang, bahwa pengertian “pemakaian sendiri” sebagaimana diatur dalam Pasal 1A
ayat (1) huruf d dari UU PPN menimbulkan banyak perdebatan, sehingga diatur lebih lanjut
dalam PP No.1 Tahun 2012 tentang pelaksanaan UU PPN yang menyatakan sebagai berikut:
SE
KR
Pasal 5 PP No.1 Tahun 2012
(1) Pemakaian sendiri Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak merupakan penyerahan
Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang terutang Pajak Pertambahan Nilai atau
Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.
(2) Pemakaian sendiri Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) meliputi pemakaian sendiri untuk:
a. tujuan produktif; atau
b. tujuan konsumtif.
Penjelasan Pasal 5 ayat (2) PP No.1 Tahun 2012
Transaksi pemakaian sendiri untuk tujuan produktif terutang Pajak Pertambahan Nilai atau
Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah. Dalam rangka
memberikan kemudahan administrasi kepada Pengusaha Kena Pajak, pemakaian sendiri
untuk tujuan produktif tidak dilakukan pemungutan Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak
Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah. Kemudahan administrasi
tersebut diberikan karena Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut oleh Pengusaha Kena
Pajak atas pemakaian sendiri untuk tujuan produktif merupakan Pajak Masukan yang dapat
dikreditkan.
DI
LA
N
PA
JA
K
Ketentuan ini tidak berlaku dalam hal pemakaian sendiri digunakan untuk kegiatan yang atas
penyerahannya tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai atau mendapat fasilitas dibebaskan
dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai. Perlakuan ini diberikan karena Pajak
Pertambahan Nilai yang dipungut oleh Pengusaha Kena Pajak atas pemakaian sendiri
merupakan Pajak Masukan yang tidak dapat dikreditkan.
(3) Pemakaian sendiri Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak untuk tujuan produktif
tidak dilakukan pemungutan PPN atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas
Barang Mewah kecuali pemakaian sendiri yang digunakan untuk melakukan penyerahan
yang:
a. Tidak terutang PPN; atau,
b. Mendapat fasilitas dibebaskan dari pengenaan PPN.
(4) Pajak Pertambahan Nilai yang dibayar atas perolehan Barang Kena Pajak dan/ atau Jasa
Kena Pajak dalam rangka pemakaian sendiri Barang Kena Pajak dan/ atau Jasa Kena
Pajak dapat dikreditkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang
perpajakan.
PE
N
GA
bahwa untuk memberikan kemudahan administrasi kepada Pengusaha Kena Pajak lebih lanjut
dalam Pasal 19 ayat (2) dan (2) PP No.1 Tahun 2012 diatur:
(1) Faktur Pajak wajib diterbitkan oleh Pengusaha Kena Pajak pada saat penyerahan atau
ekspor Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak sesuai dengan ketentuan yang diatur
dalam Pasal 17 ayat (3), ayat (5), ayat (8), ayat (9), dan ayat (10).
(2) Ketentuan mengenai kewajiban penerbitan Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) tidak berlaku untuk pemakaian sendiri Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak
untuk tujuan produktif yang tidak dipungut Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5 ayat (3);
IA
T
bahwa berdasarkan ketentuan di atas, Majelis berpendapat bahwa pemakaian sendiri untuk
tujuan produktif termasuk dalam pengertian penyerahan yang terutang PPN akan tetapi untuk
kemudahan administrasi tidak dilakukan pemungutan PPN dan tidak wajib menerbitkan faktur
pajak, karena pada akhirnya pajak keluaran atas pemakaian sendiri akan dikreditkan oleh
pengusaha itu sendiri sebesar pajak keluaran yang dipungut oleh pengusaha itu sendiri. Akan
berbeda apabila pemakaian sendiri atas BKP yang mendapat fasilitas dibebaskan dari
pengenaan Pajak Pertambahan Nilai, Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut oleh Pengusaha
Kena Pajak atas pemakaian sendiri merupakan Pajak Masukan yang tidak dapat dikreditkan;
ET
AR
Menimbang, bahwa selain pertimbangan tentang pemakaian sendiri sebagaimana telah
diuraikan di atas, Majelis juga akan mempertimbangkan tentang hubungan pengkreditan Pajak
masukan dan penyerahan dengan melakukan penafsiran gramatikal Pasal 16B ayat (3) UU
PPN dengan Pasal 9 ayat (5) dan 9 ayat (6) UU PPN;
bahwa Pasal 16B ayat (3) menggunakan frase yang atas penyerahannya, sebagai berikut:
Pajak Masukan yang dibayar untuk perolehan Barang Kena Pajak dan atau perolehan
Jasa Kena Pajak yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan Pajak
Pertambahan Nilai, tidak dapat dikreditkan tidak dapat dikreditkan.
KR
bahwa dalam memori penjelasannya ditegaskan sebagai berikut:
"Pengusaha Kena Pajak "B" memproduksi Barang Kena Pajak yang mendapat fasilitas
dari Negara, yaitu atas penyerahan Barang Kena Pajak tersebut dibebaskan dari
pengenaan Pajak Pertambahan Nilai."
SE
bahwa frase yang atas penyerahannya pada Pasal 16B ayat (3) UU PPN mengandung makna
yang apabila diserahkan, oleh sebab itu pilihan kata pada bagian penjelasan Pasal 16B ayat (3)
UU PPN adalah "memproduksi" bukan "melakukan Penyerahan BKP”;
bahwa berdasarkan ketentuan di atas, Majelis berpendapat ketika PKP memproduksi BKP yang
mendapat fasilitas dibebaskan dari pengenaan PPN, ketika itu pulalah ketentuan yang
menyatakan bahwa Pajak Masukan tidak dapat dikreditkan berlaku tanpa menunggu kepastian
adanya penyerahan BKP tersebut;
PA
JA
K
Menimbang, bahwa secara umum, filosofi PPN sebagaimana tersirat dalam penjelasan
umum UU Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak
Penjualan atas Barang Mewah antara lain menyatakan bahwa:
1. PPN merupakan pajak tidak langsung,
2. PPN dikenakan atas penyerahan dalam lingkungan kegiatan usaha,
3. PPN adalah pajak atas konsumsi barang dan jasa di Daerah Pabean yang dikenakan
secara bertingkat di setiap jalur produksi dan distribusi;
4. Jika atas suatu BKP yang atas penyerahannya terutang PPN, maka seluruh Pajak
Masukan atas faktor-faktor produksi untuk menghasilkan BKP tersebut dapat dikreditkan;
bahwa berdasarkan Pasal 4 ayat (1) huruf a UU PPN, Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas
penyerahan Barang Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha, jadi
PPN tidak dikenakan atas penjualan;
DI
LA
N
bahwa PPN dikenakan atas penyerahan (bukan penjualan), dimaksudkan bahwa PPN
dikenakan tidak hanya atas transaksi jual-beli yaitu terjadinya proses penyerahan BKP dari
pihak penjual kepada pembeli dan penerimaan pembayaran dari pihak pembeli kepada penjual,
akan tetapi termasuk juga penyerahan tidak dalam rangka jual-beli yaitu dalam rangka
pemakaian sendiri untuk proses produksi lebih lanjut (Pasal 1A ayat (1) huruf d UU PPN) dan
penyerahan antar cabang (Pasal 1A ayat (1) huruf f UU PPN);
PE
N
GA
bahwa sesuai dengan penjelasan umum UU PPN dan penjelasan Pasal 16B ayat (1) UU PPN,
Majelis berpendapat bahwa Pasal 16B UU PPN dilandasi oleh filosofi yang menyatakan bahwa
salah satu prinsip yang harus dipegang teguh di dalam Undang-undang Perpajakan adalah
diberlakukan dan diterapkannya perlakuan yang sama terhadap semua Wajib Pajak atau
terhadap kasus-kasus dalam bidang perpajakan yang pada hakekatnya sama dengan
berpegang teguh pada ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Karena itu setiap
kemudahan dalam bidang perpajakan jika benar-benar diperlukan harus mengacu pada kaidah
di atas dan perlu dijaga agar didalam penerapannya tidak menyimpang dari maksud dan tujuan
diberikannya kemudahan tersebut;
IA
T
bahwa transaksi penjualan TBS kepada pembeli (pihak ketiga) dengan penyerahan TBS
pemakaian sendiri untuk diolah pada unit pengolahan merupakan suatu kasus perpajakan yang
hakikatnya sama yaitu adanya proses penyerahan BKP yang mendapat fasilitas dibebaskan,
oleh karena itu Majelis berpendapat atas transaksi penjualan dan pemakaian sendiri untuk
diolah bertingkat di jalur produksi harus diberlakukan dan diterapkan perlakuan perpajakan
yang sama;
ET
AR
Menimbang, bahwa maksud dan tujuan pengaturan dalam Pasal 16B ayat (1) UU PPN
adalah memberikan fasilitas dengan tujuan dan maksud diberikannya kemudahan pada
hakikatnya untuk memberikan fasilitas perpajakan yang benar-benar diperlukan terutama untuk
berhasilnya sektor kegiatan ekonomi yang berprioritas tinggi dalam skala nasional, mendorong
perkembangan dunia usaha dan meningkatkan daya saing, mendukung pertahanan nasional,
serta memperlancar pembangunan nasional;
bahwa berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2007 penyerahan TBS diberi
fasilitas dibebaskan dari pengenaan PPN, salah satu tujuan fasilitas tersebut adalah
meningkatkan daya saing pengusaha yang melakukan penyerahan TBS tersebut;
SE
KR
bahwa praktik di dalam masyarakat, Pengusaha yang melakukan penyerahan TBS adalah para
petani atau pengusaha lain yang secara umum memiliki kapasitas modal terbatas sehingga
tidak mempunyai modal yang cukup untuk membangun Pabrik Kelapa Sawit (PKS). Tujuan
yang ingin dicapai dari pemberian fasilitas dibebaskan dari pengenaan PPN adalah untuk
meningkatkan daya saing bagi para Pengusaha tersebut;
bahwa penjelasan Pasai 16B ayat (1) UU PPN menegaskan bahwa:
Karena itu setiap kemudahan dalam bidang perpajakan jika benar-benar diperlukan
harus mengacu pada kaidah di atas dan perlu dijaga agar didalam penerapannya tidak
menyimpang dari maksud dan tujuan diberikannya kemudahan tersebut.
bahwa berdasarkan uraian di atas, jika pengusaha yang melakukan usaha terpadu dapat
PA
JA
K
mengkreditkan Pajak Masukan atas perolehan TBS sementara bagi para petani dan pengusaha
TBS tidak boleh mengkreditkan Pajak Masukannya, maka tujuan diberikannya kemudahan
(fasilitas) berupa peningkatan daya saing tidak akan tercapai karena sebagai konsekuensi
adanya fasilitas pembebasan yang diberikan oleh pemerintah, Petani/ pengusaha TBS tidak
dapat mengkreditkan Pajak Masukannya dan membebankan PPN kedalam unsur Harga Pokok
Penjualannya yang pada akhirnya meningkatkan harga jual sehingga tidak dapat bersaing
dengan pengusaha yang melakukan usaha terpadu, sehingga Majelis berpendapat Pajak
Masukan yang berhubungan dengan kebun yang menghasilkan TBStidak dapat dikreditkan;
DI
LA
N
Menimbang, bahwa prinsip netralitas dalam Pajak Pertambahan Nilai perlu
dikedepankan dan tidak boleh ditinggalkan karena PPN tidak menghendaki adanya kondisi
yang mempengaruhi kompetisi dalam dunia bisnis. Jika Pajak Masukan untuk menghasilkan
Tandan Buah Segar (TBS) pada usaha terintegrasi dapat dikreditkan, Pengusaha yang memiliki
modal kecil yang tidak mampu memiliki unit pengolahan (di dalamnya termasuk petani), akan
kesulitan berkompetisi harga dengan pengusaha besar (karena Pajak Masukan akan menjadi
unsur Harga Pokok Penjualan). Hal tersebut bertentangan dengan prinsip netralitas PPN yang
menghendaki PPN tidak mempengaruhi kompetisi dalam bisnis;
bahwa dalam menerapkan prinsip netralitas dalam Pajak Pertambahan Nilai, Majelis
mengilustrasi sebagai berikut:
-
DPP Pupuk
DPP TBS
DPP CPO
Rp100,00
Rp400,00
Rp900,00
Pupuk
TBS
PT X Perkebunan Kelapa Sawit
DPP PM DPP PK
PPN
100
Tidak dapat
Dikreditkan
400
Dibebaskan
PT Y Pengolahan Kelapa Sawit
DPP PM DPP PK
PPN
PE
N
Uraian
GA
(1) Unit perkebunan dilakukan oleh PT X yang mandiri dan peran unit Pengolahan/Pabrik
dilakukan oleh PT Y yang mandiri, dan mengingat penyerahan DPP TBS oleh PT X
(perkebunan kelapa sawit) dibebaskan, maka penghitungan PPN adalah sebagai berikut:
CPO
Neto
400
900
Beban Pajak
Tidak dapat
Dikreditkan
Tidak dapat
Dikreditkan
90
90
90
90
PT X Perkebunan Kelapa Sawit
DPP PM DPP PK
PPN
100
(10)
Dibebaskan
400
ET
AR
Uraian
IA
T
(2) Unit perkebunan dan peran unit pengolahan dilakukan oleh perusahaan yang sama
(Pemohon Banding), dan Pajak Masukan atas pembangunan infastruktur, (yang digunakan
untuk perolehan TBS) dapat dikreditkan sebagaimana alasan keberatan Pemohon Banding
dalam surat keberatan, maka penghitungan PPN adalah sebagai berikut:
Pupuk
TBS
PT Y Pengolahan Kelapa Sawit
DPP PM DPP PK
PPN
Beban Pajak
(10)
400
CPO
Neto
900
Tidak dapat
Dikreditkan
90
90
90
80
KR
bahwa berdasarkan butir (1) dan butir (2) di atas, Majelis berpendapat pengkreditan
Pajak Masukan yang terkait dengan proses menghasilkan BKP Strategis (TBS) yang
dibebaskan dari pengenaan PPN, melanggar ketentuan Pasal 16B ayat (3) UndangUndang PPN karena menyebabkan ketidaksamaan perlakuan yang menciptakan
ketidakadilan dan prinsip netralitas PPN;
SE
(3) Unit perkebunan dan peran unit pengolahan dilakukan oleh perusahaan yang sama
(Pemohon Banding) dan Pajak Masukan atas pembangunan infastruktur, (yang digunakan
untuk perolehan TBS) tidak dapat dikreditkan sebagaimana pendapat Terbanding, maka
penghitungan PPN adalah sebagai berikut:
Uraian
Pupuk
TBS
PT X Perkebunan Kelapa Sawit
DPP PM DPP PK
PPN
100
Tidak dapat
Dikreditkan
400
Dibebaskan
PT Y. Pengolahan Kelapa Sawit
DPP PM DPP PK
PPN
Beban Pajak
Tidak dapat
Dikreditkan
400
Tidak dapat
CPO
Neto
900
Dikreditkan
90
90
90
90
PA
JA
K
bahwa dengan membandingkan perlakuan PPN pada butir (1) dan butir (3) di atas, Majelis
berpendapat terdapat kesamaan perlakuan yang menciptakan keadilan dan prinsip netralitas
apabila dibandingkan dengan butir b) dimana Pemohon Banding menanggung biaya pajak yang
lebih kecil ;
bahwa berdasarkan uraian tersebut di atas dan mengingat bahwa pokok pikiran dalam UU PPN
dan memori penjelasan Pasal 16B UU PPN menghendaki keadilan pembebanan pajak dan
adanya netralitas dalam penerapan PPN terhadap kasus-kasus dalam bidang perpajakan yang
pada hakekatnya sama, Majelis berpendapat koreksi Pajak Masukan yang dilakukan oleh
Terbanding sudah tepat, karena telah memenuhi prinsip keadilan dan netralitas;
DI
LA
N
Menimbang, bahwa kebijakan pengkreditan pajak masukan pada perusahaan kelapa
sawit terpadu jika ditinjau dari konsep exemption akan menimbulkan isu yang tidak senada
dengan prinsip pengkreditan pajak masukan pada sistem PPN. Pajak masukan yang telah
dibayar untuk hal yang berkaitan dengan kegiatan usaha seharusnya dapat dikreditkan, tetapi
karena terdapat penyerahan TBS yang dibebaskan dari pengenaan kena pajak pada proses
menghasilkan CPO yang merupakan barang kena pajak maka terdapat sejumlah Pajak
Masukan yang tidak bisa dikreditkan oleh pengusaha kelapa sawit terpadu;
PE
N
GA
bahwa dampak yang muncul dari penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang
mendapat fasilitas yaitu dibebaskan dari PPN adalah sebagai berikut:
a) Tidak bisa mengenakan Pajak Keluaran pada penyerahan yang dibebaskan,
b) Pengusaha yang hanya melakukan penyerahan yang dibebaskan PPN tidak bisa
mendaftarkan diri untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena pajak sehingga tidak bisa
memungut pajak keluaran, dan yang paling penting adalah tidak dapat mengklaim pajak
masukannya,
c) Pengusaha Kena Pajak yang hanya melakukan penyerahan yang dibebaskan dari PPN
berada dalam posisi yang sama dengan konsumen akhir pada ujung mata rantai distribusi;
IA
T
bahwa berdasarkan dampak tersebut di atas, menunjukkan jika petani yang hanya melakukan
penyerahan barang yang dibebaskan dari pengenaan pajak maka petani tidak dapat
mendaftarkan diri sebagai Pengusaha kena Pajak. Dengan demikian petani tidak perlu
memungut Pajak Keluaran atas penyerahan TBS, sehingga petani tidak dapat mengklaim pajak
masukan untuk mengkreditkannya;
ET
AR
bahwa Crude Palm Oil merupakan final product dari perusahaan kelapa sawit terpadu. Proses
menghasilkan CPO pada perusahaan kelapa sawit terpadu dimulai dari pembudidayaan TBS
dan mengeluarkan biaya-biaya seperti biaya pembukaan lahan, pemupukan dan biaya lainnya.
Tandan Buah Segar yang telah dihasilkan oleh perusahaan kelapa sawit terpadu tersebut
digunakan sebagai input untuk menghasilkan CPO yang merupakan Barang Kena pajak;
KR
bahwa berdasarkan proses yang telah dijelaskan diatas, maka jika pedagang barang yang
dibebaskan dari PPN menjual barang yang bukan produk akhir, tetapi digunakan sebagai input
di produksi selanjutnya maka Pajak Masukannya terbentuk di dalam harga dan bagian dari
biaya yang dilakukan dalam hal pembelian barang-barang untuk produksi selanjutnya. Jika ada
barang yang termasuk dalam sistem PPN dan diproduksi dengan menggunakan barang yang
bersifat dibebaskan dari PPN sebagai input, pengusaha tidak bisa mengklaim Pajak Masukan
atas perolehan barang yang dibebaskan dari pengenaan pajak tersebut untuk dikreditkan;
SE
bahwa berdasarkan uraian di atas, Majelis berpendapat perusahaan kelapa sawit terpadu yang
melakukan penyerahan barang yang dibebaskan dari pengenaan PPN berupa TBS telah
membayar PPN pada beberapa tahap dari pembuatan barang tersebut, Pajak Pertambahan
Nilai tersebut bisa dikreditkan jika penyerahan barang tersebut merupakan objek yang dapat
dikenakan PPN, akan tetapi apabila penyerahan tersebut dibebaskan dari pengenaan PPN
(Pajak Keluaran) maka PPN (PPN Masukan) yang telah dibayar pada beberapa tahap dari
pembuatan barang tersebut tidak dapat dikreditkan;
Menimbang, bahwa Pasal 78 Undang-undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang
Pengadilan Pajak menyatakan :
“Putusan Pengadilan Pajak diambil berdasarkan hasil penilaian pembuktian, dan berdasarkan
peraturan perundang-undangan perpajakan yang bersangkutan, serta berdasarkan keyakinan
Hakim”;
PA
JA
K
bahwa penjelasan Pasal 78 Undang-undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak
menyatakan :
“Keyakinan Hakim didasarkan pada penilaian pembuktian dan sesuai dengan peraturan
perundang-perundangan perpajakan”;
Menimbang, bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan tersebut di atas, Majelis
berkesimpulan sebagai berikut:
DI
LA
N
a. Koreksi Pajak Masukan yang dapat Diperhitungkan PPN Barang dan Jasa Masa Pajak
November 2011 sebesar Rp441.999.029,00, tetap dipertahankan karena Pajak Masukan
atas perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang nyata-nyata digunakan
untuk kegiatan menghasilkanTBS Sawit (Barang Strategis), tidak dapat dikreditkan sesuai
dengan Pasal 1A, Pasal 9 dan Pasal 16B UU PPN; Pasal 19 dan Pasal 5 Peraturan
Pemerintah Nomor 1 Tahun 2012, Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2007, Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 78/PMK.03/2010 dan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak
Nomor SE - 90/PJ/2011.
b. bahwa perhitungan jumlah koreksi setelah pemeriksaan di persidangan menjadi sebagai
berikut:
Rp
Rp
Rp
441.999.029
441.999.029
PE
N
Pendapat Berbeda (Dissenting Opinions) :
GA
Koreksi menurut Terbanding
Koreksi Dibatalkan Majelis
Koreksi menurut Majelis
Menimbang, bahwa Hakim Anggota Anwar Syahdat, S.H., M.E. mempunyai pendapat
berbeda (dissenting opinion) dengan pendapat sebagai berikut :
IA
T
bahwa berdasarkan hasil pemeriksaan dari berkas banding dan dalam persidangan, diketahui
bahwa yang menjadi pokok sengketa adalah koreksi Terbanding berupa koreksi positif Pajak
Masukan yang Dapat Diperhitungkan sebesar Rp441.999.029,00, yaitu atas perolehan BKP
dan/atau JKP yang digunakan untuk menghasilkan BKP yang atas penyerahannya mendapat
fasilitas dibebaskan dari pengenaan PPN;
KR
ET
AR
bahwa menurut Hakim Anggota Anwar Syahdat, S.H., M.E., sengketa a quo terjadi karena ada
perbedaan pendapat antara Terbanding dengan Pemohon Banding terkait dengan penyerahan
BKP dimana menurut Terbanding penyerahan TBS (yang penyerahannya mendapatkan fasilitas
tidak dikenakan PPN) oleh Pemohon Banding kepada perusahaan pengolah melalui perjanjian
titip olah termasuk dalam pengertian penyerahan BKP sebagaimana diatur dalam Pasal 1A ayat
(1) huruf a UU PPN beserta penjelasannya, sedangkan menurut Pemohon Banding penyerahan
TBS kepada perusahaan pengolah, dalam hal ini PT MAU, melalui perjanjian titip olah dengan
menerima biaya jasa pengolahan sebesar Rp400,00/kg CPO dan PK bukanlah merupakan
penyerahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1A ayat (1) huruf a UU PPN beserta
penjelasannya;
SE
bahwa menurut Hakim Anggota Anwar Syahdat, S.H., M.E., penyerahan TBS oleh Pemohon
Banding kepada perusahaan pengolah dengan perjanjian titip olah tidak termasuk dalam
pengertian penyerahan BKP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1A ayat (1) huruf a UU PPN
karena hak atas TBS tidak beralih kepada perusahaan pengolah melainkan tetap menjadi milik
Pemohon Banding karena TBS hanya dititipkan untuk diolah;
bahwa menurut Hakim Anggota Anwar Syahdat, S.H., M.E., Pemohon Banding yang bergerak
di bidang industri minyak kasar (minyak makan) dari nabati dan hewani, meskipun juga memiliki
kebun kelapa sawit tetapi tidak melakukan penjualan atau penyerahan atas TBS a quo;
bahwa menurut Hakim Anggota Anwar Syahdat, S.H., M.E., berdasarkan penjelasan para pihak
dan bukti-bukti yang diserahkan di persidangan, termasuk laporan keuangan Pemohon Banding
(audited), terbukti bahwa penyerahan atau penjualan yang dilakukan oleh Pemohon Banding
adalah produk berupa CPO dan PK, bukan TBS;
PA
JA
K
bahwa menurut Hakim Anggota Anwar Syahdat, S.H., M.E., mengingat CPO dan PK
merupakan BKP yang dikenakan (subject to) PPN, maka Pajak Masukan, termasuk dalam
rangka kegiatan perkebunan, antara lain, pengeluaran untuk pembelian pupuk, land clearing,
herbisida pestisida dan sejenisnya, service alat berat dan sejenisnya, bibit kelapa sawit,
konstruksi perumahan kebun seharusnya dapat dikreditkan;
bahwa berdasarkan pendapat a quo, Hakim Anggota Anwar Syahdat, S.H., M.E meyakini
bahwa koreksi Terbading berupa koreksi positif Pajak Masukan yang Dapat Diperhitungkan
sebesar Rp441.999.029,00 adalah tidak tepat dan tidak dapat dipertahankan dan Keputusan
Terbanding Nomor KEP-00058/KEB/ WPJ.13/2017 tanggal 28 November 2017 harus
dibatalkan;
DI
LA
N
bahwa berdasarkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak
dinyatakan, sebagai berikut:
Pasal 69 ayat (1) huruf e:
Alat bukti dapat berupa “pengetahuan hakim”, yang dalam Pasal 75 disebutkan adalah “hal
yang olehnya diketahui dan diyakini kebenarannya”.
GA
Pasal 78:
“Putusan Pengadilan Pajak diambil berdasarkan hasil penilaian pembuktian, dan berdasarkan
peraturan perundang-undangan perpajakan yang bersangkutan, serta berdasarkan keyakinan
Hakim”;
PE
N
bahwa sesuai memori penjelasan Pasal 78 a quo dijelaskan sebagai berikut:
“Keyakinan Hakim didasarkan pada penilaian pembuktian dan sesuai dengan peraturan
perundang-perundangan perpajakan”;
Menimbang :
IA
T
bahwa berdasarkan hasil pemeriksaan dan penilaian Hakim Anggota Anwar Syahdat, S.H., M.E
atas bukti-bukti dan keterangan para pihak yang terungkap dalam persidangan serta peraturan
perundang-undangan perpajakan, Hakim Anggota Anwar Syahdat, S.H., M.E berkeyakinan
untuk mengabulkan seluruhnya permohonan banding Pemohon Banding;
ET
AR
bahwa Pasal 79 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak menyatakan
:
(1)Dalam hal pemeriksaan dilakukan oleh Majelis, putusan Pengadilan Pajak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 78 diambil berdasarkan musyawarah yang dipimpin oleh Hakim
Ketua dan apabila dalam musyawarah tidak dapat dicapai kesepakatan, putusan diambil
dengan suara terbanyak.
(2)Apabila Majelis di dalam mengambil putusan dengan cara musyawarah tidak dapat dicapai
kesepakatan sehingga putusan diambil dengan suara terbanyak, pendapat Hakim Anggota
yang tidak sepakat dengan putusan tersebut dinyatakan dalam putusan Pengadilan Pajak.
Menimbang :
KR
bahwa dalam sengketa banding ini tidak terdapat sengketa mengenai Tarif Pajak;
Menimbang :
SE
bahwa dalam sengketa banding ini tidak terdapat sengketa mengenai Sanksi Administrasi
kecuali besarnya sanksi administrasi tergantung pada penyelesaian sengketa lainnya;
Menimbang :
bahwa atas hasil pemeriksaan dalam persidangan, Majelis berketetapan untuk menggunakan
kuasa Pasal 80 ayat (1) huruf a Undang-undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan
Pajak, untuk menolak banding Pemohon Banding;
Mengingat :
PA
JA
K
Undang-undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak dan ketentuan perundangundangan lainnya serta peraturan hukum yang berlaku dan yang berkaitan dengan sengketa ini;
Memutuskan :
DI
LA
N
Menolak banding Pemohon Banding terhadap Keputusan Terbanding Nomor
KEP-00058/KEB/WPJ.13/2017 tanggal 28 November 2017 tentang Keberatan Wajib Pajak atas
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Pajak Pertambahan Nilai Nomor 00005/207/11/706/16
tanggal 6 September 2016 Masa Pajak November 2011, atas nama Pemohon Banding dan
menetapkan penghitungan pajak menjadi sebagai berikut:
Uraian
PE
N
GA
Dasar Pengenaan Pajak :
Atas penyerahan barang dan jasa yang terutang PPN :
- Ekspor
- Penyerahan yang PPN-nya harus dipungut sendiri
- Penyerahan yang PPN-nya dipungut oleh pemungut PPN
Jumlah seluruh penyerahan
Atas penyerahan barang dan jasa yang tidak terutang PPN
Jumlah seluruh penyerahan
Pajak Keluaran yang harus dipungut/ dibayar sendiri
Dikurangi :
- Pajak Masukan yang dapat diperhitungkan
Jumlah PPN yang dapat diperhitungkan
Jumlah penghitungan PPN kurang bayar
Kelebihan pajak yang sudah dikompensasikan ke masa pajak berikutnya
PPN yang kurang bayar
Sanksi administrasi kenaikan Pasal 13 (3) KUP
Jumlah PPN yang masih harus dibayar
(Rp)
253.208.692,00
0,00
0,00
253.208.692,00
0,00
253.208.692,00
25.320.869,00
6.304.736.413,00
6.304.736.413,00
(6.279.415.544,00)
6.721.414.573,00
441.999.029,00
441.999.029,00
883.998.058,00
IA
T
Demikian diputus di Jakarta berdasarkan suara terbanyak setelah pemeriksaan dalam
persidangan yang dicukupkan pada hari Senin, tanggal 22 Oktober 2018, oleh Hakim Majelis
XVA Pengadilan Pajak dengan susunan Majelis dan Panitera Pengganti sebagai berikut:
ET
AR
Dr. Triyono Martanto, SE, Ak., M.M., M.Hum.
Redno Sri Rezeki, S.E., MAFIS,
Anwar Syahdat, S.H, M.E,
Yang dibantu oleh:
Ida Farida
sebagai Hakim Ketua
sebagai Hakim Anggota
sebagai Hakim anggota
sebagai Panitera Pengganti
SE
KR
dan diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada hari Senin, tanggal 11 Maret 2019 oleh
Hakim Ketua Majelis XVA Pengadilan Pajak yang dihadiri oleh para Hakim Anggota, Panitera
Pengganti, tidak dihadiri oleh Terbanding dan Pemohon Banding.
Download