Uploaded by nawawinathan456

RIBA dan BUNGA BANK

advertisement
1
MAKALAH
RIBA dan BUNGA BANK
Diajukan guna memenuhi salah satu tugas mata kuliah
Prinsip-Prinsip Ekonomi Islam
Disusun Oleh:
M. Jazuli Masykur
Dosen Pengampu:
Masruchin, M.E.I.
PRODI EKONOMI SYARIAH
FAKULTAS SYARIAH DAN EKONOMI ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM BANI FATTAH (IAIBAFA)
TAMBAKBERAS JOMBANG
TAHUN 2015
2
A. Pendahuluan
Sejak dahulu, Allah SWT telah mengharamkan riba. Keharamannya adalah abadi dan
tidak boleh dirubah sampai hari kiamat. Bahkan hukum ini telah ditegaskan dalam Shari’ah
Nabi Musa AS, Isa AS, sampai pada Nabi Muhammad SAW. Tentang hal tersebut, Al-Qur’an
telah mengabarkan tentang tingkah laku kaum Yahudi yang dihukum Allah SWT akibat
tindakan kejam dan amoral mereka, termasuk didalamnya perbuatan memakan harta riba.
Dalam sejarahnya, orang Yahudi adalah kaum yang sejak dahulu berusaha dengan segala cara
menghalangi manusia untuk tidak melaksanakan Shari’ah Allah SWT. Mereka membunuh
Para Nabi, berusaha mengubah bentuk isi Taurat dan Injil, serta menghalalkan apa saja yang
telah diharamkan oleh Allah SWT, misalnya menghalalkan hubungan seksual antara anak dan
ayah, membolehkan adanya praktek sihir, menghalalkan riba sehingga terkenallah dari dulu
sampai sekarang bahwa antara Yahudi dengan perbuatan riba adalah susah dipisahkan.
Dalam kehidupan kaum muslimin yang semakin sulit ini, memang ada yang tidak
memperdulikan lagi masalah halal dan haramnya bunga bank. Bahkan ada pendapat yang
terang-terangan menghalalkannya. Ini dikarenakan keterlibatan kaum muslimin dalam sistem
kehidupan sekularisme-kapitalisme barat serta sistem sosialisme-atheisme. Bagi yang masih
berpegang teguh pada hukum Shari’at Islam, maka berusaha agar kehidupannya berdiri diatas
keadaan yang bersih dan halal.
B. Riba
1. Pengertian Riba
Menurut terminologi/bahasa, riba adalah ziyadah artinya tambahan. Riba idza zada wa’alaa,
sesuatu itu riba apabila ia bertambah atau meninggi. Menurut istilah, atau Shara’ Riba adalah
tambahan terhadap modal tetapi dalam istilah hukum islam, Riba sebagai tambahan dengan
kriteria tertentu. Riba adalah kelebihan sepihak yang dilakukan oleh salah satu dari dua orang
yang bertransaksi.1
Dalam mengartikan rumusan Riba berbeda-beda tetapi intinya sama yaitu tambahan
(ziyadah). Istilah Riba yang dipakai sebagai pegangan adalah tambahan tanpa imbalan yang
El-Jurjani, Al-Ta’rifat (Mesir: Syarihal Maktabah Wa Matba’ah Musthofa Al-Babi Al-Halabi Wa Auladun,
1938) Hlm. 97
1
3
disyaratkan kepada salah satu antara kedua belah pihak yang melakukan Mu’ammalah utang
piutang atau tukar menukar barang.
Jika dikaitkan dengan utang piutang, maka Riba adalah tambahan tanpa imbalan yang
diisyaratkan oleh pihak yang meminjamkan atau berpiutang kepada pihak peminjam atau
berhutang.
Para Ulama’ berbeda-beda dalam merinci macam-macam Riba. Ibn Rusyd
menyebutkan: Riba terdapat pada dua perkara, yaitu pada jual beli dan pada jual beli
tanggungan, pinjaman atau lainnya. Satu dari dua macam riba ini telah disepakati oleh para
ulama’ tentang keharamannya yaitu Riba Jahiliyyah. Riba dalam jual beli ada dua macam yaitu
nasiah dan tafadul. Ada juga ulama’ yang membagi riba atas, riba fard, riba yad, riba nasa, riba
qard.2
Ibnu Qayyim membagi Riba atas dua bagian: jaly dan khafiy. Riba Jaly adalah Riba
Nasiah, diharamkan karena mendatangkan madhorot yang besar. Riba yang sempurna (riba
alkamil) adalah Riba Nasiah. Riba ini berlaku pada masa Jahilyyah. Riba Khafiy diharamkan
untuk menutup terjadinya Riba Jaly.3
Menurut para ulama’ fiqh, Riba dapat dibagi menjadi empat macam, masing-masing:
a. Riba Fadhl, yaitu tukar menukar dua barang yang sama jenisnya dengan tidak
sama timbangannya atau takaran nya yang diisyaratkan oleh orang yang
menukarkan. Contoh: tukar menukar dengan emas, perak dengan perak, beras
dengan beras.
b. Riba Qardh, yaitu meminjamkan sesuatu dengan syarat ada keuntungan atau
tambahan bagi yang meminjami. Contoh: Ahmad meminjam uang sebesar
25.000 kepada Adi. Adi mengharuskan agar Ahmad mengembalikan
hutangnya kepada Adi sebesar 30.000 maka tambahan 5.000 merupakan Riba
Qardh.
c. Riba Yard, yaitu berpisah dari tempat sebelum timbang diterima. Maksudnya:
orang yang membeli suatu barang, kemudian sebelumnya ia menerima barang
2
Muhammad Al-Syarbaini Al-Khathib, Mughni Al-Muhtaj (Syarh Al-Minhaj) (Mesir: Mustafa Al-Babi AlHalabi Wa Auladuh, 1958). 21.
3
Ibn Qayyim Al-Juziyyah, I’lam Al-Muaqqin II (Baerut: Dar. Al-Jail 1972) 154.
4
tersebut dari si penjual, pembeli menjualnya kepada orang lain. Jual beli seperti
itu tidak boleh, sebab jual beli masih terdapat ikatan dengan pihak pertama.
d. Riba Nasiah, yaitu tukar menukar dua barang yang sejenis maupun yang tidak
sejenis yang pembayarannya diisyaratkan lebih, dengan diakhiri oleh yang
meminjam. Contoh: Aminah membeli cincin seberat 10 gram. Oleh penjual
diisyaratkan pembayarannya tahun depan dengan cicin emas seberat 12 gram.
Dan apabila terlambat satu tahun lagi maka tambah dua gram lagi menjadi 14
gram dan seterusnya.
2. Pandangan-Pandangan Tentang Hukum Riba
Hukum Riba sebagaimana Hukum Khamr, hukum riba ditetapkan secara bertahap.
Larangan riba dalam hukum islam melalui empat tahap:
1) Riba untuk menambah harta, riba sebenarnya tidaklah menambah disisi
Allah SWT. Sebagaimana diterangakan dalam Firman Allah dalam Surah
Ar-Rum ayat 39
   



   
    
   


 
Yang artinya: “dan suatu riba atau tambahan yang kamu berikan agar dia
bertambah pada harta manusia,maka riba itu tidak menambah di sisi Allah. Dan
apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai
keridho’an Allah, maka yang berbuat demikian itulah orang-orang yang
melipatgandakan pahalanya.”
Ayat ini turun sebelum hijrah, belum menyatakan haramnya riba, tetapi Allah tidak
menyukainya.
2) Diceritakan bahwa orang-orang Yahudi melakukan riba, tetapi larangan itu
dilanggar oleh mereka sehingga Allah SWT murka dan diharamkan kepada
5
mereka sesuatu yang dihalalkan kepada mereka sebagai akibat pelarangan
yang mereka lakukan. Sebagaimana dalam Surah An-nisa’ ayat 160-161:









   
 
Yang artinya: “maka disebabkan kelaliman orang-orang Yahudi, kami
haramkan atas mereka memakan makanan yang baik-baik yang dahulu
dihalalkan bagi mereka. Dan karena mereka bahyak menghalangi manusia dari
jalan Allah,” (Q.S An-Nisa’:160) .
















Yang
artinya“dan
disebabkan
mereka
memakan
riba,
padahal
sesungguhnya mereka dilaarang daripadanya, dan karena mereka memakan
harta orang dengan jalan yang batil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang
kafir diantara mereka itu siksa yang pedih.” (Q.S An-Nisa’:161).
Ayat ini turun sesudah hijrah (Ayat Madaniyah). Menceritakan orang-orang Yahudi
yang melanggar perintah Allah yang akhirnya dikutuk. Ayat ini belum secara jelas ditunjukkan
kepada kaum muslimin tetapi secara sindiran telah menunjukkan bahwa kamu pun wahai kaum
muslimin jika berbuat demikian akan mendapat kan kutukan juga sebagaimana yang dilakukan
oleh orang-orang Yahudi.
6
3) Turunnya ayat yang melarang riba yang berliapat ganda. Firman Allah
dalam Surah Ali Imron ayat 130 menyebutkan










   
Artinya: “Hai orang-ornag yang beriman, janganlah kamu memakan riba
dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu
mendapatkan keberuntungan.”
4) Larangan sisa-sisa riba yang masih ada: Firman Allah dalam Surah AlBaqoroh ayar 278-279












 
Yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah
dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang
beriman. (Q.S Al-Baqarah : 278) .
   



   
   
   
Artinya “maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba),
maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memarangimu. Dan jika
7
kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu kamu
tidak menganiaya dan tidak pula menganiaya.” (Q.S Al-Baqoroh: 279).
Ayat ini dengan tegas melarang adanya riba yang masih ada waktu ayat ini diturunkan.
Dengan larangan yang bertahap-tahap. Tampak dalam menerapkan hukum-hukum islam
ditempat taqliq (berangsur-angsur) seperti Hadis Rasulullah dari Abu Hurairrah yang artinya:
“Suatu saat nanti manusia akan mengalami suatu masa yang ketika itu semua
orng memakan riba. Yang tidak makan secara langsung akan menerima
debunya.”
Meski secara sanad Hadist diatas merupakan hadist yang lemah namun makna yang terkandung
didalamnya adalah benar, dan zaman tersebut pun telah tiba. Betapa riba dengan berbagai
kedoknya saat ini telah menjadi konsumsi publik bahkan suatu yang mendarah daging di tengah
banyak kalangan. Padahal ancaman dari Nabitentang riba sungguh mengerikan bagi orang
yang masih memiliki iman kepada Allah dan hari Akhir.
Riba yang keharamannya disepakati oleh para Ulama’ adalah Riba Jahiliyyah yang
dalam Alqur’an jelas terlarang. Gambarannya adalah mereka meminjamkan uang atau barang,
bertanggung waktu dan ditentukan tambahan. Peminjam berkata “tangguhkan pembayaran,
aku akan tambah”. 4 Mohammad Abduh berpendapat bahwa Riba yang diharamkan dalam AlQur’an adalah Riba yang berlipat ganda. Riba ini adalah Riba Jahilyyah atau Riba Nasiah. 5
Secara garis besar pandangan tentang Riba diatas dapat dikelompokkan dalam dua
bagian yaitu: kelompok pertama mengharamkan riba, besar atau pun kecil. Kelompok kedua
mengharamkan riba yang berlipat ganda. Tambahan yang kecil menurut kelompok kedua tidak
digolongkan dalam riba. Setiap pinjaman yang disyaratkan ada tangguhan waktu
pengembalian, menurut kelompok pertama haram, sedangkan menurut kelompok kedua yang
diharamkan adalah tambahan pengembalian pinjaman yang berlipat ganda.
3. Pemanfaatan harta riba
Pembahasan tentang metode pengelolaan harta riba baik yang diperoleh dari perbankan
atau lainnya, bahwa kita berkewajiban untuk melepaskan harta riba, dan tidak dibenarkan untuk
4
5
Ahmad Sukarja, Dalam Problematika Islam Kontemporer (Jakarta: Pustaka Firdaus 1997). 35-39.
Rosyid Ridho, Tafsir Al-Manar (Beirut: Dar Al-Ma’rifat). 114.
8
menggunakannya, baik dimakan atau digunakan dalam kepentingan lainnya. Akan tetapi
mereka berbeda pendapat tentang dikemanakan harta riba yang terlanjur kita peroleh secara
gelobal, Ulama’ terbagi menjadi dua kelompok: Pertama: mereka berpendapat, harta riba yang
terlanjur kita dapatkan harus diinfakkan dalam kepentingan masyarakat umum dan yang tidak
terhormat, semacam pembangunan jalan raya, jembatan, jamban umum, atau yang serupa.
Tidak dibenarkan untuk membangun masjid, atau diberikan kepada fakir miskin.
Kedua: mereka berpendapat harta riba dapat harus kita salurkan pada kegiatan-kegiatan
sosial, baik yang kegunaannya dirasakan oleh masyarakat umum, semisal pembangunan
madrasah atau hanya dirasakan oleh sebagian orang saja. Misalnya dibagikan kepada fakir
miskin.
Pendapat kedua inilah yang lebih kuat, yang demikian itu dikarenakan beberapa alasan
berikut:
a) Tidak ada dalil yang membedakan antara amal sosial yang kegunaannya
dirasakan oleh masyaakat umum dari yang manfaatnya dirasakan oleh
sebagian orang saja.
b) Harta haram dalam islam dapat diklasifikasikan dalam dua kelompok:
a. Harta haram karena zat nya, semisal babi, anjing, bangkai,
dan khamr. Barang-barang ini diharamkan dalam segala
keadaan dan tetap saja haram walaupun diperoleh dengan
cara-cara yang halal, mislanya dengan berburu atau membeli
atau hibah.
b. Harta haram karena memperolehnya bukan karena zat nya
misalnya harta curian, penipuan dan riba. Harta-harta ini
haram karena cara memperolehnya, walaupun asal-usulnya
adalah halal.
Dengan demikian harta riba haram karena diperoleh dengan cara-cara yang diharamkan
yaitu riba akan tetapi uang itu tidak dapat dinyatakan haram. Selanjutnya bila harta riba itu
diberikan kepada fakir miskin, berarti harta itu berpindah kepada mereka dengan cara yang
dibenarkan, bukan dengan cara riba. Oleh karena itu dahulu nabi tetap berniaga dengan orangorang yahudi padahal beliau mengetahui bahwa orang yahudi mendapatkan sebagian hartanya
dengan meperjualbulikan babi, khamr, dan menjalankan riba. Yang demikian itu dikarenakan
9
nabibertransaksi dengan yahudi dengan cara-cara yang dibenarkan sehingga perbuatan yahudi
meperjual belikan babi dibelakang beliau tudak menjadi masalah.
C. Bunga Bank
1. Fungsi Bank
Bank atau Perbankan adalah Lembaga keuangan yang usaha pokokny adalah
memberikan kredit atau jasa-jasa dalam lalu linntas pembayaran dan peredaran uang dengan
tujuan memenuhi kebutuhan kredit dengan modal sendiri atau orang lain. Menurut fungsinya
Bank terdiri dari Bank Primer yaitu Bank sirkulasi dan yang menciptakan Uang. Serta Bank
Sekunder yaitu Bank yang terdiri dari Bank Umum, Bank Tabungan pembiayaan usaha dan
sebagainya. Menurut bentuk hukumnya bank di Indonesia adalah Bank-Bank Negara, BankBank Pemerintahan Daerah, Bank-Bank Swasta Nasional, Bank Asing Campuran, dan Bank
milik Koperasi.
Menurut sejarah dan kenyataannya, Bank adalah suatu perusahaan yang bertujuan
untuk mencari keuntungan yang diperoleh dari selisih bunga yang harus dibayarkan kepada
pemberi pinjaman. Atau bunga yang harus dibayarkan kepada pemberi pinjaman atau yang
menitipkan uangnya, dengan bunga yang didapat dari pemberi pinjaman kepada orang lain.
Diantara kegiatan-kegiatan Bank antara lain adalah:
A. . Menerima pinjaman dan simpanan
B. . Memberi pinjaman kepada orang atau badan yang memerlukan
C. . Mengirim uang
D. . Menukarkan mata uang
E. . Mengeluarkan uang kertas
Bagaimana pandangan islam atau hukumnya tentang pelaksanaan menerima pinjaman dan
memberikan pinjaman dengan memberikan pinjaman dengan menggunakan bunga. Apabila
seseorang menitipkan uang pada suatu bank, si penitip menandatangani blangko formulir yang
sudah disediakan oleh bank. Dalam blangko tersebut sudah dinyatakan antara lain tentang
bunga yang diterima atau dibayarkan. Dengan menandatangani blangko tersebut berarti si
10
penitip telah memperbolehkan pihak si penyimpan untuk mempergunakan uang titipannya dan
sebagai imbalannya ialah pemberian pihak penyimpan atau bank karena memakai uang tersebut
yang disebut dengan bunga.
Sebaliknya apabila bank memberikan pinjaman kepada seseorang atau badan usaha,
bank menyediakan blanko formulir yang harus ditandatangani dimana telah tercantum bunga
yang harus di bayar oleh peminjam sebagai imbalan dari pemakai pinjaman tersebut dalam
jangka waktu tertentu.6
Yang menjadi permasalahan adalah
apakah bunga bank sama dengan riba yang
dilarang dalam Islam. Salah satu pertimbangan untuk menentukan kedudukan yang dilihat dari
Hukum Islam adalah bahwa lembaga perbankan pada masa Rosulullah belum ada. Karena itu
perbankan dalam Hukum Islam termasuk masalah ijtihadiyah.
2. Pandangan-pandangan tentang hukum bunga bank
Di antara pekerjaan yang dikelola bank maka yang menjadi topik permasalahan dalam
fiqih adalah masalah bunga yang. Sebab, secara umum tujuan usaha bank adalah untuk
memperoleh keuntungan dari pedagang kredit. Bank memberikan kredit kepada orang luar
dengan memungut bunga melalui pembayaran kredit. Selisih pembayaran yang disebut bunga
itulah yang menjadi keuntungan usaha bank. Dalam masalah ini para intelektual dan ulama’
modernis mempunyai pendapat yang berbeda-beda, tergantung dari sudut pandang mereka.
Ada segolongan dari mereka yang mengharamkanya karena bunga bank tersebut di
pandang sebagai riba. Tetapi segolongan lainnya menghalalkannya.
Ke dalam kubu pertama(yang mengharamkan bunga bank), tersebutlah Muhammad
Abu Saud (mantan penasehat Bank Pakistan), berpendapat bahwa segala bentuk rante bank)
yang terkenal dalam sistem perekonomian sekarang ini adalah riba. Lalu kita mendengar
pendapat dari Muhammad Abu Zahroh, guru besar Hukum Islam pada fakultas hukum
universitas cairo yang memandang bahwa riba nasiah sudah jelas keharamannya dalam alquran. Akan tetapi banyak orang tertarik pada perekonomian orang yahudi yang saat ini
menguasai perekonomian dunia.
6
Fuad muhammad fahruddin, riba dalam bank,koperasi perseroan dan asuransi (bandung:al-ma’arif,1985), 4460
11
Mereka memandang bahwa sistem riba itu kini bersifat darurat yang tidak mungkin
dapat dielakkan. Lantas mereka menak’wilkan dengan membahas makna riba. Padahal sudah
jelas bahwa makna riba itu adalah riba yang dilakukan oleh semua bank yang ada dewasa ini
dan tidak ada keraguan tentang keharamannya. Buya Hamka secara sederhana memberikan
batasan bahwa arti riba adalah tambahan. Maka, apakah tambahan berlipat ganda atau
tambahan dari 10 menjadi 11, atau tambahan 6% atau tambahan 10% dan sebagainya tidak
dapat tidak tentu terhitung riba juga.
3. Bank bebas bunga
Perbankkan syariah atau perbankkan islam adalah suatu sitem perbankkan yang di
kembangkan berdasarkan shariah Islam. Usaha pembentukan sistem ini didasari oleh larangan
dalam Agama Islam untuk memungut maupun meminjam dengan bunga atau yang di sebut
dengan riba serta larangan investasi untuk usaha-usaha yang di kategorikan haram misal usaha
yang berkaitan dengan produksi makanan atau minuman haram usaha media yang tidak Islami
di mana hal ini tidak dapat di jamin oleh sistem perbankan konvensional7
Berdirinya bank islam tidak terlepas dari tumbuhnya kesadaran umat islam dalam
mengamalkan ajaran agama nya secara utuh tidak hanya dibidang ubbudiyyah tetapi juga dalam
praktek dalam bidang ekonomi, sosial, politik hukum dan lain lain. Bank Islam yang populer
dengan sebutan bank bebas bunga dari dimensi kesejarahan mengapa ia lahir adalah merupakan
perwujudan dari penolakan sebagian umat Islam terhadap bank konvensional yang
menjalankan praktek berdasarkan sistem ribawi atau bunga karena hal itu sangat jelas dilarang
oleh Allah.
Bank Islam merupakan lembaga keuangan yang relatif masih muda usianya Bank Islam
pertama kali dipopulerkan oleh Islamic Devolepmen Bank(IDB) yang berpusat di Arab Saudi
sebagaimana diketahui bahwa Bank Islam tidak mengenakan bunga pada pemilik uang dan
peminjam namun menurut kebiasaan di IDB tetap dikenakan pembayaran biaya pada peminjam
sebesar 2,5% pertahun di sesuaikan menurut tingkat inflasi yang berlangsung pada saat itu.
Kendati begitu, kreditur deposan dan penabung tetap mendapatkan bagian atau keuntungan
dari kegiatan usaha yang dijalankan oleh bank atau pihak lain.
Besarnya pinjaman tidak diukur dalam ukuran prosentase namun diukur dari nilai
nominal, artinya bila ada sesuatu kegagalan dalam usaha, resiko di tanggung bersama sesuai
7
Phill.sahiron syamsuddin al-Quran isu isu konteporer 2011,.454
12
proporsi bagian laba. Begitu kalau ada keuntungan dari usaha pinjaman masing-masing
medapatkan bagian sesuai akad perjanjian yang dibuat antara pemodal dengan pengusaha dari
hasil keuntungan yang diperoleh dalam investasi bank membagi keuntungan tersebut pada
penyimpanan dana. Dalam praktek di IDB pembagian keuntungan biasanya 40% untuk
pemodal 60% untuk pengusaha
Jenis jenis kredit yang diberikan Bank Islam terdiri dari 3 macam yaitu:
Mudlarabah
Adalah bank menyediakan modal berupa kredit investasi atau modal kerja atau kedua-dua nya
pengusaha menjalankan bagian usaha
Musyarakah
Adalah kongsi bank dan pengusaha sama-sama menyediakan modal dan juga memutar
usahanya
Murabahah
Adalah semacam usaha yang mirip dengan kredit pemberian barang atau sewa.
13
D.penutup
Seorang muslim siapapun orangnya hendaknya mengetahui sistem dan praktek riba
yang banar benar dilarang oleh allah. Namun demikian, allah memberikan kehalalan bagi jual
beli dan mengharamkan riba. Bahwa bunga konsumtif yang di punggut dari bank tidaklah sama
dengan riba. Karena di sana tidak ada unsur ppenganiayaan. Kecuali jika bunga konsumtif itu
di pungut oleh lintah darat, maka itu dapat di pandang riba, adapun jika dipungut dari orang
yang meminjam di pakai untuk tujuan-tujuan yang produktif seperti untuk perniagaan asalkan
saja tidak ada dalam teknis pemungutan tersebut unsur paksaan atau pemerasan maka tidak
salah dan tidak ada keharaman baginya .
Apabila kita masih terbayang –bayang dengan riba tanpa mengetahui seluk beluk nash
tentang turunya ayat tentang riba bagaimana cara operasi dan pemanfaatanya dalam konteks
kekinian maka kita akan tertinggal jauh dari dunia ekonomi yang selama ini didominasi oleh
yahudi. Padahal kita disuruh untuk kaya agar bisa bersedekah infaq dan shodaqoh. Lebih-lebih
bagaimana dengan nasib pegawai negeri golongan rendah yang hanya mengandalkan SK
sebagai bahan agunan di bank.
Oleh karena itu, sistem dan praktek riba telah menjadi sistem dunia yang dipraktek kan
dimana-mana maka untuk keluar dari hal tersebut sangatlah tidak mudah. Kiranya perlu
bersyukur bahwa para pakar ekonomi islam telah berijtihad dalam menghasilkan konsep
perbankan non romawi atau populer dengan nama bank islam(bank bebas bunga) yang
mempraktekan sistem bank bagi hasil
14
Al-Jurjani, Al-Ta’rifat (Mesir: Syarihal Maktabah Wa Matba’ah Musthofa Al-Babi Al-Halabi Wa
Auladun, 1938)
fahruddin ,Fuad muhammad, riba dalam bank,koperasi perseroan dan asuransi (bandung:alma’arif,1985)
syamsuddin, phill.sahiron al-Quran dan isu isu konteporer (uin sunan kalijogo jogjakarta 2011)
Download