Uploaded by omsaepulrh

Geologi Pulau Jawa

advertisement
BAB I
FISIOGRAFI PULAU JAWA
Banyak kenampakan roman muka bumi khas yang berada di Pulau Jawa.
Berdasarkan ciri geografisnya Pulau Jawa sendiri merupakan geosinklinal muda dan jalur
orogenik dengan pengaruh vulkanisme yang kuat. Karena hal tersebutlah sehingga Pulai
Jawa memiliki bentukan memanjang dan sempit.
Pulau Jawa sendiri merupakan pulau terluas ke-13 di dunia dengan luasan
127.000 km2.
Gambar 1.1 Fisiografi Pulau Jawa dan Madura menurut Van Bemmelen 1970
Sumber: https://hotmudflow.files.wordpress.com/2006/07/physiographicjava.jpg?w=897&h=342
Secara geografis dan struktural, Van Bemmelen (1970) mengkatogerikan Pulau
Jawa menjadi 4 bagian, yaitu:
1|Page
• Jawa Barat (Sebelah barat Cirebon)
• Jawa Tengah (Diantara Cirebon dan Semarang)
• Jawa Timur (Diantara Semarang dan Surabaya)
• Timur Pulau Jawa (Meliputi Pulau Madura dan Selat
Madura)
1.1 Jawa Barat
Secara fisiografi Van Bemmelen (1949) membagi bagian Jawa Barat menjadi 4
jalur, yaitu:

Zona Jakarta
Pada zona ini mencakup tepi Laut Jawa dengan lebar 40 km 2 yang terbentang
mulai dari Serang hingga Cirebon yang didominasi oleh endapan alluvial.

Zona Bogor
Di zona ini mencakup bagian Rangkasibitung melalui Bogor, Purwakarta, Subang,
Sumedang, Kuningan, dan Majalengka. Zona ini merupakan perbukitan lipatan yang
terbentuk dari batuan sedimen tersier yang membentuk suatu anticlinorium. Di beberapa
tempat mengalami adanya patahan pada zaman Pliosen – Plistosen.

Zona Bandung
Zona ini merupakan daerah dengan dominasi kegiatan vulkanisme dan
merupakan suatu depresi dibandingkan zona lainnya. Zona Bandung memiliki
kelimpahan endapan alluvial, vulkanik muda dan di beberapa tempat merupakan
campuran endapan tersier dan kuarter. Pegunungan Bayar, Perbukitan Kabanaran
merupakan salah satu contoh hasil bentukan di kala tersier.
2|Page

Zona Pegunungan Selatan Jawa Barat
Pada zona ini mencakup Teluk Pelabuhan Ratu hingga Pulau Nusakambangan.
Zona ini memiliki lebar 50 km2. Pada zaman Miosen terjadi pelipatan dan pengangkatan
dengan kemiringan lemah ke arah Samudera Indonesia.
Gambar 1.2 Fisiografi Daerah Jawa Barat (Van Bemmelen, 1949)
Sumber: https://4.bp.blogspot.com/-VaqXsgTZ_K8/Vl_XdrXRK3I/AAAAAAAAAo4/cufsG3CmtU/s400/Fisiografi%2BJawa%2BBarat.jpg
1.2 Jawa Tengah
Menurut penelitian Van Bemmelen (1948), secara fisiografis Jawa Tengah dibagi
menjadi 3 zona, yaitu:

Zona Jawa Tengah bagian utara yang merupakan Zona Lipatan,

Zona Jawa Tengah bagian tengah yang merupakan Zona Depresi,

Zona Jawa Tengah bagian selatan yang merupakan Zona Plato.
3|Page
Gambar 1.3 Fisiografi Jawa Tengah (Van Bemmelen, 1970)
Sumber: https://ptbudie.files.wordpress.com/2009/01/g-ungaran.jpg?w=600
1.3 Jawa Timur
Jawa Timur sendiri memiliki luas wilayah seluas 46.428 km 2. Secara umum Jawa
Timur terbagi menjadi 2 bagian besar yaitu Jawa Timur daratan yang hamper mencakup
90% dari seluruh luas wilayah Jawa Timur, dan wilayah Kepulauan Madura.
Secara fisiografi, Jawa Timur dibedakan menjadi 7 zona, yaitu:
Zona Pegunungan Selatan
Pada zona ini batuan pembentuknya terdiri atas batuan silisiklastik, volkanik,
volkaniklastik, dan batuan karbonat (Buranda, 2015). Secara garis besar, pada zona ini
terbagi menjadi 3 bagian, yaitu Gunung Sewu di bagian selatan, Cekungan Wonosari dan
Baturetno di bagian tengah, dan Pegunungan Baturagung, Panggung, Popoh di bagian
utara.
Zona Solo
Zona ini merupakan daerah depresi yang ditumbuhi oleh vulkanik – vulkanik
kuarter (Burangda, 2015). Zona Solo terbagi menjadi 3 zona, yaitu Sub-zona Bliter, Subzona Solo Sensu Stricto (kuarter), dan Sub-zona Ngawi.
Zona Kendeng
Menurut Van Bemmelen, pada zona ini telah mengalami pelipatan dan
pengangkatan sebanyak 3 kali. Batuan yang menjadi pembentuk zona ini terdiri atas
4|Page
sekuen dari volkanogenik dan pelagik. Zona ini dibagi menjadi 3 bagian, yaitu Kendeng
Barat, Kendeng Tengah, dan Kendeng Timur.
Zona Depresi Randublatung
Sesuai namanya, zona ini merupakan zona depresi yang memisahkan Zona
Kendeng dan Perbukitan Rembang. Di bagian timur zona ini terdapat lipatan yang
terbentuk akibat tekanan dari Perbukitan Rembang dan Zona Kendeng.
Zona Perbukitan Rembang
Zona ini dapat diteruskan menuju Pulau Madura, batuan pembentuknya sendiri
terdiri atas endapan laut dangkal, sedimen klastik, dan batuan karbonat. Terdapat
patahan dan banyak lipatan yang berarah dari timur ke barat.
Zona Depresi Semarang – Rembang
Merupakan zona depresi yang telah ada sejak Neogen, yang kemudian pada akhir
Kuarter berubah menjadi selat yang memisahkan Gunung Muris dari Pulau Jawa. Dalam
skala geologi, endapan pada depresi ini masih tergolong muda (150 tahun menjadi
daratan).
Kompleks Gunung Muria
Daerah ini berumur Pleitosen Awal. Pada bagian puncak membentuk graben.
Dasar dari daerah ini sendiri adalah lapisan sedimen klastik berumur Neogen.
Gambar 1.4 Fisiografi Jawa Timur
Sumber:
http://assets.kompasiana.com/statics/crawl/556201360423bd0c038b4568.jpeg?t=o&v=7
00
5|Page
BAB II
SETTING TEKTONIK DAN STRUKTUR GEOLOGI PULAU
JAWA
Secara setting tektonik, Pulau Jawa merupakan suatu komplek dengan sejarah
penurunan cekungan, pensesaran, perlipatan, dan vulkanisme dibawah regim gaya yang
berbeda tergantung waktunya. Umunya, ada 3 arah pola umum struktur yaitu arah timur
laut – barat daya (Pola Meratus), arah utara – selatan (Pola Sunda), dan arah timur –
barat.
Gambar 2.1 Tektonik Pulau Jawa
Sumber: http://2.bp.blogspot.com/-mDBOfcjyio/TfRAlNBJUZI/AAAAAAAAAj8/FIL5v9DmqKo/s1600/tektonik+p.+jawa.png
6|Page

Arah timur laut – barat daya (Pola Meratus)
Pada bagian barat, tercenmin pada Sesar Cimandiri, di bagian tengah
tercerminkan dari pola
penyebaran
singkapan batuan pra-Tersier di daerah
Karangsambung. Pada bagian timur ditunjukkan oleh sesar pembatas Cekungan Pati.

Arah utara – selatan (Pola Sunda)
Pada pola ini, dominasi ekspresi tampak di bagian barat yang berupa sesar-sesar
pembatan Cekungan Asri, Cekungan Sunda, dan Cekungan Arjuna. Pola Sunda memiliki
juga struktur berupa regangan.

Pola Jawa
Pada bagian barat pola ini terwakilkan oleh sesar-sesar naik seperti Sesar Beribis
dan sesar pada Cekungan Bogor. Pada bagian tengah tampak pola dari sesar-sesar
Zona Serayu Utara dan Serayu Selatan. Sedangkan di bagian timur terekspresikan oleh
arah Sesar Pegunungan Kendeng.
Dari data tektonostratigrafi, diketuhi bahwa Pola Meratus merupakan pola yang
paling tua dengan umur Kapur hingga Paleosen yang tersebar dalam Jalur Tinggian
Karimun Jawa dan menerus melaui Karangsambung hingga daerah Cimandiri, Jawa
Barat. Sesar ini mengalami pengaktifan kembali oleh aktifitas tektonik yang lebih muda.
Sedangkan Pola Sunda, dari data seismik-nya menunjukan bahwa pola tersebutlah yang
mengaktifkan sesar-sesar pada Pola Meratus pada Eosen Akhir hingga Oligosen Akhir.
Terakhir, Pola Jawa menunjukan hasil termuda, dan kembali mengaktifkan sesar-sesar
yang telah ada sebelumnya (Pulunggono, 1994).
7|Page
Gambar 2.2 Pola Tektonik Pulau Jawa
Sumber: http://1.bp.blogspot.com/YLC3wz111m4/UARGAUpBtrI/AAAAAAAAAPM/ZFiLOIuFF0w/s1600/Picture7.jpg
Adapun cekungan yang dihasilkan dari aktifitas tersebut. Menurut Kusumadinata,
1975 dalam Pulunggono, 1994, cekungan yang dihasilkan adalah Cekungan Jawa Utara
bagian barat dan Cekungan Jawa Utara timur yang dipisahkan oleh Tinggian Karimun
Jawa. Cekungan bagian barat memiliki geometri memanjang relative utara-selatan,
sedangkan bagian timur memiliki geometri relative timur-barat.
Secara regional, pada Pulau Jawa dibagi menjadi 3 satuan tektonik, yaitu:

Cekungan Jawa Utara yang terdiri atas Cekungan Jawa Barat laut dan Cekungan
Jawa Timur laut

Daerah Cekungan Bogor – Kendeng

Daerah Cekungan Pegunungan Selatan
8|Page
2.1 Setting Tektonik Jawa Barat
•Relatif berpola baratlaut - tenggara, timur - barat, utara - selatan (dominan)
Pola Struktur
Satuan
Tektonik
Mandala
Sedimentasi
•Batuan yang tersingkap berumur Eosen Awal berupa olisostrom. Pada satuan ini berasosiasi
tektonis dengan ofiolit pada jalur kontaknya, hal ini ditafsirkan merupakan bagian dari melange.
Satuan kedua adalah jalur magma Tersier hasil kegiatan vulkanik yang bermula dari selatan Jawa
pada Miosen Awal yang berangsur ke utara. Satuan tektonik terakhir adalah jalur magma
Kuarter.
•Menurut Soedjono (1984) berdasar ciri sedimennya, daerah Jawa Barat dibagi menjadi 3 yaitu
Mandala Paparan Kontinen Utara, Mandala Cekungan Bogor, dan Mandala Banten. MPKU
dicirikan oleh pola pengendapan paparan (batugamping, pasir, kuarsa), MCB dicirikan oleh
endapan grafitasi dengan fragmen batuan beku dan sedimen, MB dicirikan dengan gabungan
antara MPKU dan MCB.
2.2 Setting Tektonik Jawa Tengah
Pola Struktur
Satuan
Tektonik
9|Page
•Pola struktur di Jawa Tengah menunjukan 3 arah utama, yaitu arah baratlaut tenggara, timurlaut - baratdaya, dan timur - barat. Adapun di Loh Ulo (daerah
tertua - pra-Tersier) dibedakan menjadi 2 pola utama yaitu timurlaut baratdaya, dan barat-timur. Daerah tersebut diperkirakan merupakan daerah
dimana melange berkembang. Bagian utara Jawa Tengah, terendapkan
sedimen laut dalam seperti turbidit berumur Miosen.
•Batuan tertua di Jawa Tengah Sendiri tersingkap di Loh Ulo dan Bayat dengan
umur Kapur yang terdiri atas ofiolit, sedimen laut dalam, batuan maliham yang
tercampur secara tektonik.
2.3 Setting Tektonik Jawa Timur
Indentasi Jawa Timur mirip dengan indentasi Jawa Tengah, dimana dicirikan oleh
hilangnya Pegunungan Selatan Jawa dan hadirnya depresi. Depresi berikut terdapat
pada Lumajang dan merupakan wilayah pengaliran sungai yang berasal dari kedua
dataran tinggi di sebelah barat dan timur depresi.
Pegunungan Selatan di Jawa Timur sendiri berkembang fasies akibat volkanisme
dan endaan karbonatan yang berumur Miosen. Pada bagian utara dari jalur volkanik
Kuarter terdiri atas endapan Tersier yang cukup tebal (Genevraye dan Samuel, 1972). Di
dekat Cepu daerah ini terlipat dan tersesarkan secara kuat.
Di bagian barat Depresi Lumajang, ada Kompleks Iyang yang memiliki sesar besar
berarah utara – selatan yang sedikit melengkung menghadap Depresi Lumajang.
Analisa Tektonik
Secara regional, Pulau Jawa memiliki kesamaan dengan Pulau Sumatera karena
sebagian tepi daripada Lempeng Mikro Sunda yang berinteraksi secara konvergen
dengan kerak samudera dari Lempeng Hindia – Australia, namum tatanan geologi dan
struktur akibatnya menunjukan sifat yang lebih rumit. Tatanan yang rumit ini disebabkan
karena dijumpai jejak jalur subduksi pada Kapur – Paleosen yang memotong Pulau Jawa
dengan arah timurlaut – baratdaya.
Gambar 2.3 Pola Struktur dan Sesar di Pulau Jawa (Natalia, 2010)
Sumber: http://3.bp.blogspot.com/pINkWwTI4Lc/Ub3oyxVIX2I/AAAAAAAAADs/o1qplQ23S30/s640/c.png
10 | P a g e
Jaman Kapur Atas – Paleosen
Pada Jaman ini, terjadi interaksi secara konvergen antara lempeng HindiaAustralia dengan Lempeng Mikro Sunda, membentuk jalur subduksi dengan arah barat
– timur yang menghasilkan singkapan melange pada CIletuh, Loh Ulo, Bayat. Adapun
busur magma yang terletak di utara dan sekitar Laut Jawa, serta Pantai Utara Jawa.
Eosen – Oligosen Akhir
Pada waktu ini terbentuk cekungan muka busur dengan endapan didominasi oleh
volkaniklastik dan turbidit, serta terbentuk cekungan atas lereng dengan endapan
olisostrom. Terjadi pula akresi akibat jalur subduksi yang bergeser ke arah selatan pada
Oligosen Akhir. Terjadi juga pengangkatan terhadap jalur subduksi pada waktu ini.
Oligosen Akhir – Miosen Awal
Terjadi gerak rotasi sebesar 20o ke arah yang berlawanan dengan jarum jam dari
Lempeng Sunda (Davies, 1984). Wilayah-wilayah yang terletak di bagian tenggara
lempeng (sekitar Pulau Jawa dan Laut Jawa bagian timur) mengalami pergeseran lateral
yang cukup besar akibat gerak rotasi tersebut.
Di Jawa Tengah sendiri terdapat pusat kegiatan volkanisme yang seolah-olah
memisahkan cekungan belakang busur menjadi 2 yaitu Cekungan Jawa Tengah Utara
dan Selatan.
Secara berangsur, kegiatan volkanisme bergeser pada jaman Tersier hingga
sekarang ke arah utara yang merubah status cekungan belakang busur menjadi
cekungan Intra-Arch. Cekungan belakang busur yang berkembang di Jawa Barat Utara,
Cekungan Jawa Tengah Utara, dan
Madura).
11 | P a g e
Cekungan Jawa Tengah Timurlaut (termasuk
BAB III
STRATIGRAFI REGIONAL PULAU JAWA
3.1 Jawa Barat
Cekungan Jawa Barat Bagian Utara
12 | P a g e
Gambar 3.1 Kolom Stratigrafi Cekungan Jawa Barat Utara (Noble dkk, 1997)
Sumber: http://3.bp.blogspot.com/eZqHAAgCi4Y/U2d1dulWCCI/AAAAAAAAAfs/2cU_xIlaonY/s1600/nwj_strata.JPG
Proses sedimentasi Cekungan Jawa Barat bagian Utara terjadi kisaran umur dari
kala Eosen Tengah hingga Kuarter. Endapan dengan umur tertua adalah pada Eosen
Tengah, yaitu pada Formasi Jatibarang yang terendapkan secara tidak selaras di atas
Batuan Dasar. Urutan startigrafi regional dari yang paling tua sampai yang muda adalah
Batuan sasar, Formasi Jatibarang, Formasi Cibulakan Bawah (Talang Akar, Baturaja),
Formasi Cibulakan Atas (Massive, Main, Pre-Parigi), Formasi Parigi dan Formasi
Cisubuh.

Batuan Dasar (Basement)
Batuan dasar/ basement adalah batuan beku andesitik dan basaltik yang berumur
Kapur Tengah sampai Kapur Atas dan batuan metamorf yang berumur Pra-Tersier
(Sinclair dkk., 1995). Lingkungan pengendapannya merupakan suatu permukaan dengan
sisa vegetasi tropis yang lapuk (Koesoemadinata, 1980).

Formasi Jatibarang
Formasi Jatibarang tersusun oleh endapan early synrift, terutama dijumpai pada
bagian tengah dan timur dari Cekungan Jawa Barat Utara. Pada bagian barat cekungan
ini (daerah Tambun-Rengasdengklok), kenampakan Formasi Jatibarang tidak banyak
(sangat tipis) dijumpai. Pada bagian bawah Formasi ini, tersusun oleh tuff bersisipan lava
(aliran), sedangkan bagian atas tersusun oleh batupasir. Formasi ini diendapkan pada
fasies continental-fluvial. Minyak dan gas di beberapa tempat pada rekahan-rekahan tuff.
Umur Formasi ini adalah dari kala Eosen Akhir sampai Oligosen Awal. Formasi ini terletak
secara tidak selaras di atas Batuan dasar.

Formasi Talang Akar
Pada synrift berikutnya diendapkan Formasi Talang Akar. Pada awalnya Formasi
ini memiliki fasies fluvial-deltaic sampai fasies marine. Litologi Formasi ini diawali oleh
perselingan sedimen batupasir dengan serpih non-marine dan diakhiri oleh perselingan
antara batugamping, serpih dan batupasir dalam fasies marine. Ketebalan Formasi ini
sangat bervariasi dari beberapa meter di Tinggian Rengasdengklok sampai 254 m di
13 | P a g e
Tinggian Tambun-Tangerang, hingga diperkirakan lebih dari 1500 m pada pusat Dalaman
Ciputat. Pada akhir sedimentasi, Formasi Talang Akar ditandai dengan berakhirnya
sedimen synrift. Formasi ini diperkirakan berkembang cukup baik di daerah Sukamandi
dan sekitarnya. Formasi ini diendapkan pada kala Oligosen sampai dengan Miosen Awal.
Pada Formasi ini juga dijumpai lapisan batubara yang kemungkinan terbentuk pada
lingkungan delta. Batubara dan serpih tersebut merupakan batuan induk untuk
hidrokarbon.

Formasi Baturaja
Formasi ini terendapkan secara selaras di atas Formasi Talang Akar. Litologi
penyusun Formasi Baturaja terdiri dari baik yang berupa paparan maupun yang
berkembang sebagai reef build up (menandai fase post rift) yang secara regional
menutupi seluruh sedimen klastik pada Formasi Talang Akar di Cekungan Jawa Barat
Utara. Pada bagian bawah tersusun oleh batugamping masif yang semakin ke atas
semakin berpori. Perkembangan batugamping terumbu umumnya dijumpai pada daerah
tinggian. Namun, sekarang diketahui sebagai daerah dalaman. Selain itu juga ditemukan
dolomit, interkalasi serpih glaukonit, napal, chert, batubara. Formasi ini terbentuk pada
kala Miosen Awal-Miosen Tengah (terutama dari asosiasi foraminifera). Lingkungan
pembentukan Formasi ini adalah pada kondisi laut dangkal, air cukup jernih, sinar
matahari cukup (terutama dari melimpahnya foraminifera Spiroclypens Sp). Ketebalan
Formasi ini berkisar pada (50-300) m.

Formasi Cibulakan
Formasi ini terdiri dari perselingan antara serpih dengan batupasir dan
batugamping. Batugamping pada satuan ini umumnya merupakan batugamping klastik
serta batugamping terumbu yang berkembang secara setempat
- setempat.
Batugamping terumbu ini dikenal sebagai Mid Main Carbonate (MMC). Formasi ini dibagi
menjadi 2 (dua) anggota, yaitu anggota Cibulakan Atas dan anggota Cibulakan Bawah.
Pembagian anggota ini berdasarkan perbedaan lingkungan pengendapan, dimana
anggota Cibulakan Bawah merupakan endapan transisi (paralik), sedangkan anggota
Cibulakan Atas merupakan endapan neritik. Anggota Cibulakan Bawah dibedakan
menjadi dua bagian sesuai dengan korelasi Cekungan Sumatera Selatan, yaitu: Formasi
Talang Akar dan Formasi Baturaja. Secara keseluruhan Formasi Cibulakan ini berumur
14 | P a g e
Miosen Awal sampai Miosen Tengah. Formasi Cibulakan Atas terbagi menjadi tiga
anggota, yaitu :
o Massive
Anggota ini terendapkan secara tidak selaras di atas Formasi Baturaja. Litologi
anggota ini adalah perselingan batulempung dengan batupasir yang mempunyai ukuran
butir dari halus-sedang. Pada Massive ini dijumpai kandungan hidrokarbon, terutama
pada bagian atas. Selain itu terdapat fosil foraminifera planktonik seperti Globigerina
trilobus serta foraminifera bentonik seperti Amphistegina (Arpandi dan Padmosukismo,
1975).
o Main
Anggota ini terendapkan secara selaras di atas anggota Massive. Litologi
penyusunnya adalah batulempung berselingan dengan batupasir yang mempunyai
ukuran butir halus-sedang (bersifat glaukonitan). Pada awal pembentukannya,
berkembang batugamping dan juga blangketblangket pasir, dimana pada bagian ini
dibedaan dengan anggota Main itu sendiri yang disebut dengan Mid Main Carbonate.
o Pre Parigi
Pre-Parigi terendapkan secara selaras di atas anggota Main. Litologinya adalah
perselingan batugamping, dolomit, batupasir dan batulanau. Anggota ini terbentuk pada
kala Miosen Tengah-Miosen Akhir dan diendapkan pada lingkungan Neritik TengahNeritik Dalam (Arpandi dan Padmosukismo, 1975), dengan dijumpainya fauna-fauna laut
dangkal dan juga kandungan batupasir glaukonitan.

Formasi Parigi
Formasi ini terendapkan secara selaras di atas Formasi Cibulakan Atas. Litologi
penyusunnya sebagian besar adalah batugamping abu-abu terang, berfosil, berpori
dengan sedikit dolomit. Adapun litologi penyusun yang lain adalah serpih karbonatan,
napal yang dijumpai pada bagian bawah. Selain itu, kandungan koral dan alga cukup
banyak dijumpai selain juga bioherm dan biostorm. Pengendapan batugamping ini
melampar ke seluruh Cekungan Jawa Barat Utara. Lingkungan pengendapan Formasi
ini adalah laut dangkal - neritik tengah (Arpandi dan Padmosukismo, 1975). Formasi
Parigi berkembang sebagai batugamping terumbu, namun di beberapa tempat
ketebalannya menipis dan berselingan dengan napal. Batas bawah Formasi Parigi
15 | P a g e
ditandai dengan perubahan berangsur dari batuan fasies campuran klastika karbonat dari
Formasi Cibulakan Atas menjadi batuan karbonat Formasi Parigi. Kontak antara Formasi
Parigi dengan Formasi Cisubuh yang berada di atasnya sangat tegas yang merupakan
kontak antara batugamping bioklastik dengan napal yang berfungsi sebagai lapisan
penutup. Formasi ini diendapkan pada kala Miosen Akhir-Pliosen.

Formasi Cisubuh
Formasi ini diendapkan secara selaras di atas Formasi Parigi. Litologi
penyusunnya adalah batulempung berselingan dengan batupasir dan serpih gampingan.
Umur Formasi ini adalah kala Miosen Akhir sampai Pliosen - Pleistosen. Formasi ini
diendapkan pada lingkungan laut dangkal yang semakin ke atas menjadi lingkungan
litoral-paralik.
3.2 Jawa Tengah
16 | P a g e
Gambar 3.2 Stratigrafi Karangsambung
Sumber: https://3.bp.blogspot.com/Lg2JcbyJRiM/V0cvfYkIwOI/AAAAAAAAAOI/MuJoqi9xxUDrwhIIYZPHVAp4CdGQ2bxQCK4B/s400/stratigrafi.jpg
Urutan stratigrafi Jawa Tengah secara keseluruhan dapat diwakilkan oleh
stratigrafi pada daerah Karangsambung karena secara umum susunan litologi di daerah
Jawa Tengah telah mengalami beberapa fase tektonik yang menyebabkan susunan
stratigrafi manjadi tidak dapat disusun secara jelas dan stratigrafi di Karangsambung
secara regional dapat menjelaskan tentang bagaimana tatanan stratigrafi di Jawa Tengah
secara keseluruhan. Berikut adalah susunan stratigrafi di daerah Karangsambung mulai
dari batuan paing tua hingga termuda.

Batuan Pra-Tersier
Merupakan batuan tertua yang tersingkap di zona pegunungan serayu selatan,
mempunyai umur kapur tengah hingga paleosen yang dikenal sebagai kompleks
Melange Luk Ulo (Sukendar Asikin, 1974 dalam Prasetyadi 2010). Kelompok batuan ini
merupakan bagian dari kompleks melange yang terdiri dari graywacke, sekis, lava basal
berstruktur bantal, gabbro, batugamping merah, rijang, lempung hitam yang bersifat
serpihan dimana semuanya merupakan campuran yang dikontrol oleh tektonik.

Formasi Karangsambung
Merupakan kumpulan endapan olisostrom, terjadi akibat pelongsoran gaya berat
di bawah permukaan laut, melibatkan endapan sedimen yang belum terkompaksi yang
berlangsung pada lereng parit di bawah pengaruh endapan turbidit. Formasi ini
merupakan sedimen pond dan diendapkan diatas bancuh Luk Ulo, terdiri dari
konglomerat polimik, lempung abu-abu, serpih, dan beberapa lensa batugamping
foraminifera besar. Hubungan tidak selaras dengan batuan Pra-Tersier.

Formasi Totogan
Harloff (1933) dan Tjia HD (1996) menamakan sebagai tufa napal, sedangkan
Suyanto & Roksamil (1974) menyebutnya sebagai lempung breksi. Litologi berupa breksi
dengan komponen batulempung, batupasir, batugamping, napal, dan tufa. Berumur
oligosen-miosen awal, dan berkedudukan selaras diatas formasi karang sambung.
17 | P a g e

Formasi Waturanda
Fomasi ini terdiri dari batupasir vulkanik dan breksi vulkanik yang berumur miosen
awal-miosen tengah yang berkedudukan selaras diatas formasi totogan. Formasi ini
memiliki anggota Tuff, dimana Harloff (1933) menyebutnya sebagai Eerste Merger Tuff
Horizon.

Formasi Penosogan
Formasi ini terendapkan selaras diatas formasi waturanda, litologi tersusun dari
perselingan batupasir, batulempung, tufa, napal, dan kalkarenit. Ketebalan formasi ini
1000 meter, memiliki umur miosen awal-miosen tengah.

Formasi Halang
Formasi ini menindih selaras di atas formasi Penosogan dengan litologi terdiri dari
perselingan batupasir, batulempung, napal, tufa dan sisipan breksi. Merupakan kumpulan
sedimen yang dipengaruhi oleh turbidit bersifat distal sampai proksimal pada bagian
bawah dan tengah kipas bawah laut. Formasi ini memiliki umur miosen awal-pliosen.
Anggota Breksi Halang, Sukendar Asikin menamakan sebagai formasi breksi II dan
berjemari dengan formasi Penosogan. Namun Sukendar Asikin (1974) meralat
bahwasanya Anggota Breksi ini menjemari dengan Formasi Halang (dalam Prasetyadi,
2010).

Formasi Peniron
Awalnya para peneliti terdahulu menamakan formasi ini sebagai horizon breksi III.
Formasi ini menindih selaras diatas formasi haling dan merupakan sedimen turbidit
termuda yang diendapkan di Zona Pegunungan Serayu Selatan. Litologinya terdiri dari
breksi aneka bahan dengan komponen andesit, batulempung, batupasir dengan masa
dasar batupasir sisipan tufa, batupasir, napal, dan batulempung.

Batuan Vulkanik Muda
Memiliki hubungan yang tidak selaras dengan semua batuan yang lebih tua
dibawahnya. Litologi terdiri dari breksi dengan sisipan batupasir tufan, dengan komponen
andesit dan batupasir yang merupakan bentukan aliran lahar pada lingkungan darat.
Berdasarkan ukuran komponen yang membesar kearah utara menunjukkan arah sumber
di utara yaitu Gunung Sumbing yang berumur Pleistosen (Dari berbagai sumber dalam
Prasetyadi, 2010).
18 | P a g e
3.3 Jawa Timur
Gambar 3.3 Stratigrafi Jawa Timur dan Jawa Tengah
Sumber: http://2.bp.blogspot.com/oykT5hSLcow/UARKLZFGn2I/AAAAAAAAAQU/aC70lyUPFJ4/s1600/Picture16.jpg
Stratigrafi daerah Jawa Timur sendiri dibagi menjadi 3, yaitu Zona Rembang, Zona
Kendeng, dan Zona Pegunungan Selatan. Berikut penjelasan dari batuan penyusun
Jawa Timur.
Zona Rembang
Menurut Sutarso dan Suyitno (1976), secara fisiografi daerah penelitian termasuk
dalam Zona Rembang yang merupakan bagian dari cekungan sedimentasi Jawa Timur
bagian Utara (East Java Geosyncline). Cekungan ini terbentuk pada Oligosen Akhir yang
berarah Timur – Barat hampir sejajar dengan Pulau Jawa (Van Bemmelen, 1949).
Menurut Koesoemadinata (1978), cekungan Jawa Timur bagian Utara lebih merupakan
geosinklin dengan ketebalan sedimen Tersier mungkin melebihi 6000 meter. Suatu hal
yang khas dari cekungan Jawa Timur bagian Utara berarah Timur-Barat dan terlihat
merupakan gejala tektonik Tersier Muda.
19 | P a g e
Tiga tahap orogenesa telah dikenal berpengaruh terhadap pengendapan seri
batuan Kenozoikum di Indonesia (Van Bemmelen, 1949). Yang pertama terjadi di antara
interval Kapur Akhir – Eosen Tengah, kedua pada Eosen Tengah (Intramiocene Orogeny)
dan ketiga terjadi pada Plio-Pleistosen. Orogenesa yang terjadi pada Miosen Tengah
ditandai oleh peristiwa yang penting di dalam distribusi sedimen dan penyebaran flora
dan fauna, terutama di daerah Indonesia bagian Barat dan juga menyebabkan terjadinya
fase regresi (susut laut) yang terjadi dalam waktu singkat di Jawa dan daerah Laut Jawa.
Fase orogenesa Miosen Tengah ditandai juga oleh hiatus di daerah Cepu dan dicirikan
oleh perubahan fasies yaitu dari fasies transgresi menjadi fasies regresi di seluruh Zona
Rembang. Selain hal tersebut diatas, fase orogenesa ini ditandai oleh munculnya
beberapa batuan dasar Pra – Tersier di daerah pulau Jawa Utara (Van Bemmelen, 1949).
Perbedaan yang mencolok perihal sifat litologi dari endapan – endapan yang berada
pada Mandala Kendeng, Mandala Rembang, dan Paparan laut Jawa yaitu sedimen.
Mandala Kendeng pada umumnya terisi oleh endapan arus turbidit yang selalu
mengandung batuan piroklastik dengan selingan napal dan batuan karbonat serta
merupakan endapan laut dalam. Umumnya sedimen-sedimen tersebut terlipat kuat dan
tersesar sungkup ke arah Utara, sedangkan Mandala Rembang memperlihatkan batuan
dengan kadar pasir yang tinggi disamping meningkatnya kadar karbonat serta
menghilangnya endapan piroklastik. Sedimen-sedimen Mandala Rembang memberi
kesan berupa endapan laut dangkal yang tidak jauh dari pantai dengan kedalaman dasar
laut yang tidak seragam. Hal ini disebabkan oleh adanya sesar-sesar bongkah (Block
faulting) yang mengakibatkan perubahan-perubahan fasies serta membentuk daerah
tinggian atau rendahan. Daerah lepas pantai laut Jawa pada umumnya ditempati oleh
endapan paparan yang hampir seluruhnya terdiri dari endapan karbonat.
Mandala Rembang menurut sistem Tektonik dapat digolongkan ke dalam
cekungan belakang busur (retro arc back arc) (Dickinson, 1974) yang terisi oleh sedimensedimen berumur Kenozoikum yang tebal dan menerus mulai dari Eosen hingga
Pleistosen.
Endapan
berumur
Eosen
dapat
diketahui
dari
data
sumur
bor
(Pringgoprawiro, 1983).
Litostratigrafi Tersier di Cekungan Jawa Timur bagian Utara banyak diteliti oleh
para pakar geologi diantaranya adalah Trooster (1937), Van Bemmelen (1949), Marks
20 | P a g e
(1957), Koesoemadinata (1969), Kenyon (1977), dan Musliki (1989) serta telah banyak
mengalami perkembangan dalam susunan stratigrafinya. Kerancuan tatanama satuan
Litostratigrafi telah dibahas secara rinci oleh Pringgoprawiro (1983) dimana susunan
endapan sedimen di Cekungan Jawa Timur bagian Utara dimasukkan kedalam stratigrafi
Mandala Rembang dengan urutan dari tua ke muda yaitu Formasi Ngimbang, Formasi
Kujung, Formasi Prupuh, Formasi Tuban, Formasi Tawun, Formasi Bulu, Formasi Ledok,
Formasi Mundu, Formasi Lidah dan endapan yang termuda disebut sebagai endapan
Undak Solo. Anggota Ngrayong Formasi Tawun dari Pringgoprawiro (1983) statusnya
ditingkatkan menjadi Formasi Ngrayong oleh Pringgoprawiro, 1983. Anggota Selorejo
Formasi Mundu (Pringgoprawiro, 1983) statusnya ditingkatkan menjadi Formasi Selorejo
oleh Pringgoprawiro (1985) serta Djuhaeni dan Martodjojo (1990). Sedangkan Formasi
Lidah mempunyai tiga anggota yaitu Anggota Tambakromo, Anggota Malo (sepadan
dengan Anggota Dander dari Pringgoprawiro, 1983) dan Anggota Turi (Djuhaeni, 1995).
Rincian stratigrafi Cekungan Jawa Timur bagian Utara dari Zona Rembang yang disusun
oleh Harsono Pringgoprawiro (1983) terbagi menjadi 15 (lima belas) satuan yaitu Batuan
Pra – Tersier, Formasi Ngimbang, Formasi Kujung, Formasi Prupuh, Formasi Tuban,
Formasi Tawun, Formasi Ngrayong, Formasi Bulu, Formasi Wonocolo, Formasi Ledok,
Formasi Mundu, Formasi Selorejo, Formasi Paciran, Formasi Lidah dan Undak Solo.
Pembahasan masing – masing satuan dari tua ke muda adalah sebagai berikut.

Formasi Tawun
Formasi Tawun mempunyai kedudukan selaras di atas Formasi Tuban, dengan
batas Formasi Tawun yang dicirikan oleh batuan lunak (batulempung dan napal). Bagian
bawah dari Formasi Tawun, terdiri dari batulempung, batugamping pasiran, batupasir dan
lignit, sedangkan pada bagian atasnya (Anggota Ngrayong) terdiri dari batupasir yang
kaya akan moluska, lignit dan makin ke atas dijumpai pasir kuarsa yang mengandung
mika dan oksida besi. Penamaan Formasi Tawun diambil dari desa Tawun, yang dipakai
pertama kali oleh Brouwer (1957). Formasi Tawun memiliki penyebaran luas di Mandala
Rembang Barat, dari lokasi tipe hingga ke Timur sampai Tuban dan Rengel, sedangkan
ke Barat satuan batuan masih dapat ditemukan di Selatan Pati. Lingkungan
pengendapan Formasi Tawun adalah paparan dangkal yang terlindung, tidak terlalu jauh
dari pantai dengan kedalaman 0 – 50 meter di daerah tropis. Formasi Tawun merupakan
21 | P a g e
reservoir minyak utama pada Zona Rembang. Berdasarkan kandungan fosil yang ada,
Formasi Tawun diperkirakan berumur Miosen Awal bagian Atas sampai Miosen Tengah.

Formasi Ngrayong
Formasi Ngrayong mempunyai kedudukan selaras di atas Formasi Tawun.
Formasi Ngrayong disusun oleh batupasir kwarsa dengan perselingan batulempung,
lanau, lignit, dan batugamping bioklastik. Pada batupasir kwarsanya kadang-kadang
mengandung cangkang moluska laut. Lingkungan pengendapan Formasi Ngrayong di
daerah dangkal dekat pantai yang makin ke atas lingkungannya menjadi littoral, lagoon,
hingga sublittoral pinggir. Tebal dari Formasi Tawun mencapai 90 meter. Karena terdiri
dari pasir kwarsa maka Formasi Tawun merupakan batuan reservoir minyak yang
berpotensi pada cekungan Jawa Timur bagian Utara. Berdasarkan kandungan fosil yang
ada, Formasi Ngrayong diperkirakan berumur Miosen Tengah.

Formasi Bulu
Formasi Bulu secara selaras berada di atas Formasi Ngrayong. Formasi Bulu
semula dikenal dengan nama ‘Platen Complex’ dengan posisi stratigrafi terletak selaras
di atas Formasi Tawun dan Formasi Ngrayong. Ciri litologi dari Formasi Bulu terdiri dari
perselingan antara batugamping dengan kalkarenit, kadang – kadang dijumpai adanya
sisipan batulempung. Pada batugamping pasiran berlapis tipis kadang-kadang
memperlihatkan struktur silang siur skala besar dan memperlihatkan adanya sisipan
napal. Pada batugamping pasiran memperlihatkan kandungan mineral kwarsa mencapai
30 %, foraminifera besar, ganggang, bryozoa dan echinoid. Formasi ini diendapkan pada
lingkungan laut dangkal antara 50 – 100 meter. Tebal dari formasi ini mencapai 248
meter. Formasi Bulu diperkirakan berumur Miosen Tengah bagian atas.

Formasi Wonocolo
Lokasi
tipe
Formasi
Wonocolo
tidak
dinyatakan
oleh
Trooster,
1937, kemungkinan berasal dari desa Wonocolo, 20 km Timur Laut Cepu. Formasi
Wonocolo terletak selaras di atas Formasi Bulu, terdiri dari napal pasiran dengan sisipan
kalkarenit dan kadang-kadang batulempung. Pada napal pasiran sering memperlihatkan
struktur parallel laminasi. Formasi Wonocolo diendapkan pada kondisi laut terbuka
dengan kedalaman antara 100 – 500 meter. Tebal dari formasi ini antara 89 meter sampai
22 | P a g e
339 meter. Formasi Wonocolo diperkirakan berumur Miosen Akhir bagian bawah sampai
Miosen Akhir bagian tengah.

Formasi Ledok
Formasi ini terdiri dari batulempung abu-abu, napal, batulanau gampingan dengan
sisipan-sisipan tipis batugamping, kadang terdapat batupasir glaukonit. Satuan ini
terletak tidak selaras di atas Formasi Wonocolo dengan bagian bawah dicirikan oleh
batupasir glaukonit berwarna hijau. Diantara Formasi Wonocolo dan Formasi Ledok
terdapat suatu rumpang stratigrafi, yang ditandai dengan hilangnya Zona N15 dan bagian
bawah Zona N16 karena erosi atau proses ketiadaan pengendapan (non-deposition).
Lingkungan pengendapan berkisar antara neritik tengah sampai batial atasFormasi
Mundu (Tmpm), terdiri dari napal masif berwarna abu-abu keputihan, kaya akan
foraminifera plankton. Formasi Mundu terletak selaras di atas Formasi Ledok. Formasi
ini diendapkan pada laut terbuka (neritik luar sampai bathial) dan berumur Miosen Akhir
– Pliosen (N17-N21).

Anggota Selorejo Formasi Lidah
Formasi ini terdiri dari selang-seling lapisan tipis batugamping dengan kalkarenit
yang kaya akan foraminifera plankton. Batuan ini diendapkan pada Pliosen AkhirPlistosen berkaitan dengan susut laut atau bersamaan dengan perlipatan sedimen di
Cekungan Jawa Timur Utara.

Formasi Lidah
Di formasi ini terdiri dari batulempung abu-abu dan batulempung hitam dengan
sisipan batupasir yang mengandung moluska. Umur formasi ini adalah Pliosen AkhirPlistosen.

Formasi Paciran
Formasi ini terdiri dari batugamping masif dengan permukaan berbentuk karen
yang terjadi karena pengaruh pelapukan. Batugamping ini bersifat dolomitan, pada
umumnya berfasies terumbu dengan organisme pembentuk terdiri dari koral, ganggang
dan foraminifera. Umur formasi ini tidak dapat dipastikan karena tidak mengandung fosil
penunjuk. Walaupun demikian, karena dipeta geologi Lembar Jatirogo menindih Formasi
Mundu secara tidak selaras, umurnya diduga Pliosen-Plistosen.
23 | P a g e

Endapan Gunungapi Lasem
Endapan Gunungapi Lasen terdiri dari andesit, aglomerat, breksi, tuf lapili, tuf
halus, dan lahar. Satuan batuan ini diperkirakan terbentuk oleh kegiatan gunungapi
zaman Kuarter.

Endapan Gunungapi Muria
Formasi terdiri dari tuf, lahar, dan tuf pasiran. Umurnya diperkirakan Kuarter.
Zona Kendeng
Menurut Pringgoprawiro (1983), maka secara stratigrafi Zona Kendeng dapat
dibagi menjadi unit­unit stratigrafi sebagai berikut.
24 | P a g e
Gambar 3.4 Stratigrafi Zona Kendeng
Sumber: http://4.bp.blogspot.com/gYZfEFwccDg/TwXRwNhkiJI/AAAAAAAAAQw/lZJE41PEqdw/s1600/Stratigrafi%2BZon
a%2BKendeng%2B%2528Harsono%2B1983%2529.gif

Formasi Pelang
Formasi ini terdiri dari napal abu­abu yang masif sampai berlapis yang kaya fosil
dan batulempung abu­abu dengan sisipan batugamping bioklastik. Lapisan ini
diendapkan pada lingkungan neritik dan berumur Oligosen Akhir ­ Miosen Awal.

Formasi Kerek
Pada formasi ini terdiri dari endapan turbidit dengan ketebalan 800 m, sebagian
besar terbentuk oleh lapisan yang menghalus dan menipis keatas dengan tipe struktur
sedimen arus densitas. Litologinya terdiri atas batupasir tufaan, batulempung, napal, dan
batugamping. Formasi ini berumur Miosen Awal – Miosen Akhir.

Formasi Kalibeng (Kalibeng Bawah)
Kalibeng Bawah terdiri dari napal abu­abu kehijauan kaya fosil dengan sisipan tuf
berlapis tipis. Sedimen ini diendapkan pada lingkungan bathyal. Bagian atas dari Formasi
Kalibeng (Anggota Atasangin) terdiri atas perlapisan batupasir tufaan berukuran
halus­kasar, tuf putih, dan breksi volkanik. Sedimen ini diendapkan oleh mekanisme
turbidit. Formasi ini berumur Miosen Akhir – Pliosen.

Formasi Sonde (Kalibeng Atas)
Sedangkan bagian bawah dari formasi ini (Anggota Klitik) didominasi oleh
perlapisan napal pasiran, batupasir gampingan, dan tuf. Sedangkan bagian atasnya
terdiri atas batugamping mengandung balanus dan grainstone. Formasi ini diendapkan
di lingkungan laut dangkal dan berumur Pliosen.

Formasi Pucangan
Formasi ini terdiri atas batupasir kasar­konglomeratan, batupasir, batupasir
tufaan, dan lempung hitam yang mengandung moluska air tawar. Di Zona Kendeng
bagian barat dan tengah, Formasi Pucangan berkembang sebagai fasies daratan.
Sedangkan di bagian timur Zona Kendeng, Formasi Pucangan merupakan endapan laut
dangkal. Formasi ini berumur Pliosen Akhir – Pleistosen Awal.
25 | P a g e

Formasi Kabuh
Formasi ini terdiri dari perlapisan batupasir kasar dengan perlapisan silang­siur,
fosil vertebrata, lensa konglomerat, dan tuf. Di Zona Kendeng bagian barat dan tengah,
Formasi Kabuh diendapkan pada lingkungan darat, sedangkan di Zona Kendeng bagian
timur Formasi Kabuh mempunyai fasies yang berbeda­beda, fasies darat berangsur­
angsur berubah menjadi fasies laut yang makin keatas berubah ke batuan volkanik yang
diendapkan pada lingkungan pantai.

Formasi Notopuro
Formasi Notopuro terdiri dari endapan lahar, tuf, dan batu pasir tufaan berumur
Pleistosen yang diendapkan pada lingkungan darat.
Zona Pegunungan Selatan
Gambar 3.5 Stratigrafi Pegunungan Selatan
Sumber: https://duniageologi.files.wordpress.com/2015/11/stratigrafi.jpg
26 | P a g e

Formasi Kebo Butak
Formasi ini secara umum terdiri-dari konglomerat, batupasir, dan batulempung
yang menunjukkan kenampakan pengendapan arus turbid maupun pengendapan gaya
berat yang lain. Di bagian bawah oleh Bothe disebut sebagai anggota Kebo (Kebo beds)
yang tersusun antara batupasir, batulanau, dan batulempung yang khas menunjukkan
struktur turbidit dengan perselingan batupasir konglomeratan yang mengandung klastika
lempung. Bagian bawah anggota ini diterobos oleh sill batuan beku.
Bagian atas dari formasi ini termasuk anggota Butak yang tersusun oleh
perulangan batupasir konglomeratan yang bergradasi menjadi lempung atau lanau.
Ketebalan rata-rata formasi ini kurang lebih 800 meter. Urutan yang membentuk Formasi
Kebo – Butak ini ditafsirkan terbentuk pada lingkungan lower submarine fan dengan
beberapa interupsi pengandapan tipe mid fan yang terbentuk pada Oligosen Akhir (N2 –
N3).

Formasi Semilir
Secara umum formasi ini tersusun oleh batupasir dan batulanau yang bersifat
tufan, ringan, dan kadang-kadang diselingi oleh selaan breksi volkanik. Fragmen yang
menyusun breksi maupun batupasir biasanya berupa batuapung yang bersifat asam. Di
lapangan biasanya dijumpai perlapisan yang begitu baik, dan struktur yang mencirikan
turbidit banyak dijumpai. Langkanya kandungan fosil pada formasi ini menunjukkan
bahwa pengendapan berlangsung secara cepat atau berada pada daerah yang sangat
dalam, berada pada daerah ambang kompensasi karbonat (CCD), sehingga fosil
gampingan sudah mengalami korosi sebelum mencapai dasar pengendapan.
Umur dari formasi ini diduga adalah pada Miosen Awal (N4) berdasar pada
keterdapatan Globigerinoides primordius pada daerah yang bersifat lempungan dari
formasi ini, yaitu di dekat Piyungan (Van Gorsel, 1987). Formasi Semilir ini menumpang
secara selaras di atas anggota Butak dari Formasi Kebo – Butak. Formasi ini tersingkap
secara baik di wilayahnya, yaitu di tebing gawir Baturagung di bawah puncak Semilir.

Formasi Nglanggeran
Formasi ini berbeda dengan formasi-formasi sebelumnya, yang dicirikan oleh
penyusun utamanya berupa breksi dengan penyusun material volkanik, tidak
menunjukkan perlapisan yang baik dengan ketebalan yang cukup besar, bagian yang
27 | P a g e
terkasar dari breksinya hampir seluruhnya tersusun oleh bongkah-bongkah lava andesit,
sebagian besar telah mengalami breksiasi.
Formasi ini ditafsirkan sebagai pengendapan dari aliran rombakan yang berasal
dari gunungapi bawah laut, dalam lingkungan laut, dan proses pengendapan berjalan
cepat, yaitu hanya selama Miosen Awal (N4). Singkapan utama dari formasi ini adalah di
Gunung Nglanggeran pada Perbukitan Baturagung. Kontaknya dengan Formasi Semilir
di bawahnya merupakan kontak yang tajam. Hal inilah yang menyebabkan mengapa
Formasi Nglanggeran dianggap tidak searas di atas Formasi Semilir. Namun perlu diingat
bahwa kontak yang tajam itu bisa terjadi karena perbedaan mekanisme pengendapan
dari energi sedang atau rendah menjadi energi tinggi tanpa harus melewati kurun waktu
geologi yang cukup lama. Hal ini sangat biasa dalam proses pengendapan akibat gaya
berat. Van Gorsel (1987) menganggap bahwa pengendapannya diibaratkan proses
runtuhnya gunungapi seperti Krakatau yang berada di lingkungan laut.

Formasi Sambipitu
Di atas Formasi Nglanggeran kembali terdapat formasi batuan yang menunjukkan
ciri-ciri turbidit, yaitu Formasi Sambipitu. Formasi ini tersusun oleh batupasir yang
bergradasi menjadi batulanau atau batulempung. Di bagian bawah, batupasirnya masih
menunjukkan sifat volkanik, sedang ke arah atas sifat volkanik ini berubah menjadi
batupasir yang bersifat gampingan. Pada batupasir gampingan ini sering dijumpai
fragmen dari koral dan foraminifera besar yang berasal dari lingkungan terumbu laut
dangkal yang terseret masuk dalam lingkungan yang lebih dalam akibat arus turbid. Ke
arah atas, Formasi Sambipitu berubah secara gradasional menjadi Formasi Wonosari
(anggota Oyo) seperti singkapan yang terdapat di Sungai Widoro di dekat Bunder.
Formasi Sambipitu terbentuk selama zaman Miosen, yaitu kira-kira antara N4 – N8 atau
NN2 – NN5.

Formasi Oyo – Wonosari
Selaras di atas Formasi Sambipitu terdapat Formasi Oyo – Wonosari. Formasi ini
terutama terdiri-dari batugamping dan napal. Penyebarannya meluas hampir setengah
bagian dari Pegunungan Selatan memanjang ke timur, membelok ke arah utara di
sebelah Perbukitan Panggung hingga mencapai bagian barat dari daerah depresi
Wonogiri – Baturetno. Bagian terbawah dari Formasi Oyo – Wonosari terutama tersusun
28 | P a g e
dari batugamping berlapis yang menunjukkan gejala turbidit karbonat yang terendapkan
pada kondisi laut yang lebih dalam, seperti yang terlihat pada singkapan di daerah di
dekat muara Sungai Widoro masuk ke Sungai Oyo. Di lapangan batugamping ini terlihat
sebagai batugamping berlapis, menunjukkan sortasi butir dan pada bagian yang halus
banyak dijumpai fosil jejak tipe burial yang terdapat pada bidang permukaaan perlapisan
ataupun memotong sejajar perlapisan. Batugamping kelompok ini disebut sebagai
anggota Oyo dari Formasi Wonosari.
Ke arah lebih muda, anggota Oyo ini bergradasi menjadi dua fasies yang berbeda.
Di daerah Wonosari, semakin ke selatan batugamping semakin berubah menjadi
batugamping terumbu yang berupa rudstone, framestone, floatstone, bersifat lebih keras
dan dinamakan sebagai anggota Wonosari dari Formasi Oyo – Wonosari (Bothe, 1929).
Sedangkan di barat daya Kota Wonosari batugamping terumbu ini berubah menjadi
batugamping berlapis yang bergradasi menjadi napal yang disebut sebagai anggota
Kepek dari Formasi Wonosari. Anggota Kepek ini juga tersingkap di bagian timur, yaitu
di daerah depresi Wonogiri – Baturetno, di bawah endapan kuarter seperti yang terdapat
di daerah Eromoko. Secara keseluruhan, formasi ini terbentuk selama Miosen Akhir (N9
– N18).
29 | P a g e
BAB IV
SEJARAH GEOLOGI PULAU JAWA
Gambar 4.1 Pembagian Zona di Pulau Jawa Berdasarkan Umur
Sumber: http://s4.postimg.org/mr4j8yjod/553_jpg_w_960.jpg
Pulau Jawa diperkirakan mulai terbentuk lebih dari 60 juta tahun yang lalu (PraTersier). Pada saat itu Pulau Jawa masih menjadi bagian dari sebuah superbenua
Pangea.
Susunan batuan dasar yang menjadi basement Pulau Jawa memiliki umur yang
berbeda satu dengan lainnya. Di Jawa bagian barat diperkirakan mulai terbentuk pada
akhir Zaman Kapur dan menjadi bagian dari Paparan Sunda, sementara Jawa bagian
timur berasal dari pecahan benua Australia (East Java Microcontinent). Bagian timur
diperkirakan mulai bertabrakan dengan bagian barat sekitar 100 – 70 juta tahun lalu
hingga membentuk bentukan awal Pulau Jawa.
Seiring berjalannya waktu, proses geologi berlangsung tanpa henti dan menyusun
beragam wujud roman muka bumi. Pengendapan pertama sendiri diperkirakan terjadi
30 | P a g e
antara 54 hingga 36 juta tahun lalu (Eosen) akibat adanya peregangan lempeng.
Tersingkapnya konglomerat, batugamping, batupasir, serta batupara menunjukan ciri
pengendapan sungai – laut dangkal pada saat itu.
Kemudian Pulau Jawa terkena tekanan kompresif dari arah selatan yang
menyebabkan lempeng samudera Indo-Australia yang bergerak ke arah utara menabrak
lempeng benua Eurasia dari sisi selatan.
Lempeng samudera yang memiliki masa jenis yang lebih tinggi mengalami
penunjaman dan menghasilkan jalur subduksi. Karena adanya subduksi terbentuk palung
lait, pegunungan baru, serta aktifitas volkanik. Terjadi juga pelelehan material lempeng
samudera Indo-Australia yang menjadi magma dan menciptakan jalur vulkanis yang
sejajar dengan poros panjang Pulau Jawa.
Gambar 4.2 Pemodelan Terbentuknya Pulau Jawa
Sumber: http://s17.postimg.org/ygbxxxygf/image.jpg
Setelah terbentuk gugusan api purba sebagai jalur volkanik, dari kala Oligosen
Akhir – Miosen Awal terjadi rangkaian peristiwa vulkanisme yang teramat dahsyat. Hal
ini dibuktikan dengan banyaknya penemuan singkapan piroklastik dan sedimen vulkanik.
31 | P a g e
Dari singkapan tersebut setidaknya dikenali 2 hasil gunung api purba yaitu Semilir dan
Nglanggeran.
Kala Miosen Tengah hingga Pliosen Akhir, kegiatan magmatisme mulai berkurang
dan terjadi pengendapan secara menerus hingga sekarang.
Pada kala Miosen Tengah juga mulai terjadi pelandaian kemiringan penunjaman
lempeng samudera Indo-Australia, sehingga proses pelelehan yang menghasilkan
magma ikut bergeser ke utara. Proses ini berlanjut hingga Pleistosen dan masih berlanjut
hingga sekarang. Pergeseran jalur vulkanik tersebut menonaktifkan semua gunung api
purba karena suplai magma hasil pelelehan di bawah permukaan bumi bergeser ke arah
utara.
Gambar 4.3 Penjelasan Matinya Gunung Api Karena Pergeseran Subduksi
Sumber: http://s14.postimg.org/ypwo70q75/image.jpg
Setelahnya terjadi pengendapan delta, sungai, dan laut dangkal diatas Pulau
Jawa. Penurunan muka air laut terjadi secara perlahan. Pada saat yang sama lempeng
samudera Indo-Australia terus bergerak menekan Lempeng Eurasia yang menyebabkan
orogenesa dan pengangkatan lainnya.
32 | P a g e
BAB V
POTENSI HIDROKARBON DAN BAHAN GALIAN PULAU
JAWA
5.1 Prospek Hidrokarbon di Cekungan Jawa
Gambar 5.1 Cekungan Hidrokarbon di Indonesia
Sumber: https://ngsuyasa.files.wordpress.com/2014/01/peta-cekungan-2012.png
33 | P a g e
Gambar 5.2 Volume Minyak/Gas di Indonesia Berdasarkan Pemelajaran Sistem
Hidrokarbon (Howes, 2000)
Sumber: http://geomagz.geologi.esdm.go.id//wp-content/uploads/2013/09/migas9.jpg
Minyak bumi sendiri merupakan salah satu sumber daya alam yang berperan
penting dalam kemajuan suatu daerah, tidak hanya digunakan sebagai bahan bakar saja
tetapi juga digunakan untuk industri sebagai pembangkit tenaga. Seiring berjalannya
waktu, pemakaian minyak bumi mengalami peningkatan yang cukup tajam, sedangkan
cadangan minyak bumi mengalami penurunan karena belum ditemukannya daerah
dengan potensi hidrokarbon yang baru. Berikut berupakan cekungan penghasil
hidrokarbon yang sudah proofen di Pulau Jawa.
5.1.1 Potensi Hidrokarbon di Cekungan Pati
Daerah tinggian terdapat di sebelah barat dan timur daerah ini yang merupakan
daerah Tinggian Karimunjawa dan Tinggian Bawean. Kehadiran dua tinggian dengan
umur Plistosen pada daerah ini memberikan gambaran bahwa teknotik pada saat itu
memiliki potensi untuk merubah konfigurasi cekungan yang besar dan berumur lebih tua
34 | P a g e
(Pra-Tersier) dan membentuk cekungan baru yang lebih kecil seperti Cekungan Pati.
Kehadiran Tinggian Bawean menjadi bukti pembentukan Cekungan Pati yang terpisah
dari Cekungan Utara Jawa Timur di bagian barat dibatasi oleh Tinggian Karimunjawa.
Karena adanya periode tektonik dan pola struktur Jawa dan Laut Jawa sejak PraTersier sampai Pleistosen memberikan arah bagi kegiatan explorasi dan exploitasi
hidrokarbon, terutama untuk mendapatkan struktur antiklin, pusat-pusat cekungan dan
perangkap stratigrafi lainnya. Selain itu pemahaman terhadap tektonik jaman Pleistosen
akan memerikan arahan interpretasi tentang batas dari cekungan.
5.1.2 Potensi Hidrokarbon di Cekungan Jawa Barat Utara
Secara umum, stratigrafi Cekungan Jawa Barat Utara terbagi menjadi delapan
bagian, secara berturut-turut dari tua ke muda yaitu Formasi Jatibarang, Formasi Talang
Akar, Formasi Baturaja, Formasi Cibulakan Atas, Formasi Parigi, dan Formasi Cisubuh,
dan Endapan Kuarter.
Batuan yang menjadi reservoir daerah ini umumnya batupasir dari Formasi
Ekuivalen Talangakar dan Formasi Cibulakan, selain itu batugamping dari Formasi
Ekuivalen Baturaja dan Parigi juga berpotensi akan hidrokarbonnya. Kawasan daratan
dengan penyusun batuan tuffa volkanik dan breksi Formasi Jatibarang juga memiliki
potensi. Sub-Cekungan Jatibarang terletak dibagian tenggara dari Cekungan Jawa Barat
Utara dan merupakan salah satu cekungan berumur Tersier.
Sub-Cekungan sendiri merupakan salah satu bagian yang memiliki potensi
terbesar akan hidrokarbonnya di Indonesia.
35 | P a g e
Gambar 5.3 Peta Hidrokarbon di Cekungan Jawa Barat Utara
Sumber: http://smiagiitb.weebly.com/uploads/3/2/2/8/32288755/2067869_orig.jpg
5.1.3 Potensi Hidrokarbon di Cekungan Jawa Timur
Jawa Timur sendiri terbukti berpotensi untuk produksi hidrokarbon khususnya
minyak. Sejak akhir abad ke – 18, Jawa Timur telah memproduksi minyak pada daerah
Cepu, Bojonegoro, dan Surabaya. Daerah tersebut masih menjadi daerah penghasil
migas. Terdapat juga produksi gas yang bertambang di daerah lepas pantai sebelah timur
Jawa Timur. Beberapa lapangan migas baru atau penemuan lama yang berpotensi akan
dikembangkan sehingga untuk kedepannya akan menambah produksi migas di Jawa
Timur. Hingga saat ini, terdapat kurang lebih sekitar 62 titik lapangan migas di Jawa
Timur.
Salah satu yang unik dan hanya berkembang di Jawa Timur adalah penemuan
gas di reservoir berupa batugamping fosilan (Globigerina) yang porositasnya sangat
36 | P a g e
tinggi dan produktif menghasilkan migas. Reservoir ini merupakan potensi yang besar
dan tersebar sepanjang Cepu, Selat Madura, hingga sebelah utara Bali.
Selain itu, Jawa Timur juga memiliki salah satu dari dua reservoir termuda di
Indonesia, yaitu reservoir dengan batuan batupasir Pleistosen volkaniklastin Wunut yang
berasal dari endapan jalur volkanik di selatan Cekungan Jawa Timur. Pesebaran dari
reservoir inipun cukup luas.
Gambar 5.4 Stratigrafi Cekungan Jawa Timur
Sumber: http://blog.ub.ac.id/ryanthidayatnoor/files/2012/03/New-Picture-7.png
5.2 Prospek Bahan Galian Pulau Jawa
Tidak hanya potensi hidrokarbon, Pulau Jawa juga memiliki keanekaragaman
mineral ekonomis yang tersebar di penjuru daerahnya. Hal ini berkaitan dengan tatanan
tektonik yang membentuk Pulau Jawa sehingga memiliki potensi Sumber Daya Alam
yang melimpah ruah.
37 | P a g e
Gambar 5.5 Peta Sebaran Bahan Galian Indonesia, di detailkan Pulau Jawa
Sumber: http://1.bp.blogspot.com/ZFW2ZbfW5MA/TaciEGxTdFI/AAAAAAAAAK0/Dnsbrh3Wltw/s1600/persebaran%2BSD
A%2BIndonesia.jpg
5.2.1 Jawa Barat
Kehadiran mineral – mineral ekonomis sendiri cukup melimpah di Jawa Barat.
Dengan Sumber Daya Alam yang melimpah membuat Jawa Barat menjadi salah satu
daerah dengan potensi bahan galian yang bervalue.
38 | P a g e
Gambar 5.6 Peta Potensi Bahan Tambang Jawa Barat
Sumber: http://1.bp.blogspot.com/yK_q3Kblj0Q/VCUd4oxQWdI/AAAAAAAACEU/bskPr0Iv5QY/s1600/sebaran%2Btamb.j
pg
Potensi bahan galian di Jawa Barat, terutama sumber daya mineral industry dan
mineral kontruksi sangat bervariasi, baik dalam hal kualitas, kuantitas, sebaran, dan
penggunaannya. Tidak kurang dai 40 jenis tambang tersebar merata di seluruh
kabupaten di Jawa Barat, seperti mineral logam mulis (Au, Ag), logam dasar (Cu, Pb,
Zn), logam mangan (Mn), serta mineral non logam seperti pasir besi, zeolite, gamping,
dst.
39 | P a g e
Gambar 5.7 Tabel Potensi Tambang Jawa Barat ESDM
Sumber: http://3.bp.blogspot.com/mqHeQRx8BVY/VCUd4R2J1RI/AAAAAAAACEM/gqS_V_qybM8/s1600/kom2.JPG
Gambar 5.8 Contoh Potensi Tambang Jawa Barat (Google)
40 | P a g e
5.2.2 Jawa Tengah
Tidak kalah dengan Jawa Barat, Jawa Tengah-pun memiliki potensi bahan galian
yang banyak dan tersebar di kabupaten yang berada di daerahnya.
Gambar 5.9 Potensi Mineral Tambang Jawa Tengah
Sumber: http://pekalongan.dosen.unimus.ac.id/files/2016/09/img_57e340514a8bf.png
Berikut pesebaran mineral ekonomis yang terdapat pada Jawa Tengah,

Batubara

Unsur logam 7 jenis (Pasir besi, Mangan, Emas, Barit, Belerang, Pirit, Galena)

Unsur bukan logam dan batuan 32 jenis (Phospat, Asbes, Mika, Leusit, Oker,
Granit, Dasit, Diorit, Batu setengah permata, Pasir kuarsa, Kaolin, Feldspar, Gips,
Bentonit, Batuapung, Trass, Diatom, Marmer, Batugamping, Dolomit, Basal,
Andesit, Tanah liat, Pasir, Tanah urug, Andesit, Kalsit, Zeolit, Sirtu, Batu sabak,
Toseki.
41 | P a g e
5.2.3 Jawa Timur
Gambar 5.10 Tabel Potensi Tambang Jawa Timur dari ESDM
Sumber:
http://esdm.jatimprov.go.id/esdm/attachments/article/46/PERTAMBANGAN%20%20Potensi%20Mineral%20Logam.pdf
Potensi hasil tambang di Jawa Timur cukup menjanjikan. Di daerah ini memiliki
beberapa tambang dan galian seperti batubara, kaolin, marmer, timah hitam, hasil
mangan, tembaga, emas, perak, belerang, dan yodimum.
Adapun sumber daya tambang di Jawa Timur yang sudah dan belum dieksploitasi:
o Sudah dieksploitasi

Emas logam mulia di Janglot, Dawuhan, Tegalrejo, Batu Ulu.

Bijih Besi

Seng

Titan di Pantai Selat Kediri

Pospat di Pacitan

Dolomit di Tuban, Gresik, Madura

Garam Batu di Madura
42 | P a g e

Batu Pualam

Belerang, dst.
o Belum dieksploitasi

Pertambangan pasir besi di Lumajang

Lautan dan perikanan di garis pantai Madura, dst.
BAB VI
KESIMPULAN

Pulau Jawa sendiri merupakan pulau terluas ke-13 di dunia dengan luasan
127.000 km2.

Secara geografis dan struktural, Van Bemmelen (1970) mengkatogerikan Pulau
Jawa menjadi 4 bagian, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Timur Pulau
Jawa.

Secara setting tektonik, Pulau Jawa merupakan suatu komplek dengan sejarah
penurunan cekungan, pensesaran, perlipatan, dan vulkanisme dibawah regim
gaya yang berbeda tergantung waktunya.

Umunya, ada 3 arah pola umum struktur yaitu arah timur laut – barat daya (Pola
Meratus), arah utara – selatan (Pola Sunda), dan arah timur – barat.

Secara stratigrafi, Pulau Jawa dibagi menjadi 3 bagian, Jawa Barat oleh Cekungan
Barat Bagian Utara, Jawa Tengah oleh Karangsambung, dan Jawa Timur oleh
Zona Kendeng, Zona Rembang, dan Zona Pegunungan Selatan.

Pulau Jawa diperkirakan mulai terbentuk lebih dari 60 juta tahun yang lalu (PraTersier).

Berpotensi baik potensi hidrokarbon maupun bahan tambang.
43 | P a g e
DAFTAR PUSTAKA
Semua sumber diakses pada 11 Juni 2017
https://id.scribd.com/doc/78485419/FISIOGRAFI-PULAU-JAWA
https://id.scribd.com/doc/200762143/Geologi-Regional-Pulau-Jawa
http://geomahmud.blogspot.co.id/
http://lenterageosfer.blogspot.co.id/2014/06/struktur-geologi-pulau-jawa.html
http://hendraalzair.blogspot.co.id/2015/11/v-behaviorurldefaultvmlo_30.html
http://mentarigeologi.blogspot.co.id/2015/12/geologi-regional-daerah-jawa-barat.html
https://id.wikipedia.org/wiki/Jawa
http://geologitfugm.blogspot.co.id/
http://sekerasbatu.blogspot.co.id/2009/04/zonanisasi-fisiografi-jawa-bagian.html
http://ntunn.blogspot.co.id/2015/04/geologi-fisiografi-jatim.html
http://forum.viva.co.id/indeks/threads/sejarah-terbentuknya-pulau-jawa-dan-gunungpurba.1927195/
http://smiagiitb.weebly.com/home/august-25th-2014
http://www.andyyahya.com/2014/09/potensi-wisata-tambang-seputaran-jawa.html
http://temanggung.dosen.unimus.ac.id/esdm/jawa-tengah/peta-potensi-jawa-tengah/
http://www.kompasiana.com/dahlaniskan/jawa-timur-dengan-potensi-mineralberlimpah_54f7a363a333119d1c8b468c
http://mdsdid91.blogspot.co.id/2012/04/sumber-daya-alam-prov-jawa-timur.html
44 | P a g e
Download