Uploaded by User45164

Sebuah Respon

advertisement
Sebuah Respon :
1. Proses discovery musik = Peran Media Musik
2. Fact about kritik musik di Indonesia
3. Yang terjadi hari ini? = Permasalahan media musik hari ini?
4. Siapa yang layak melabeli diri sebagai media musik?
5. Apa yang harus kita lakukan?
Menulis musik memang pada akhirnya menjadi milik sedikit orang, mereka – mereka
yang bicara dengan bahasa isyarat yang kadang tidak bisa di mengerti orang di luar
skena mereka. Mereka tentu saja terobsesi dengan bunyi, suara, gambar, artifak, dan
bahkan hal yang paling detaik tentang musik. Mereka ada para fundamentalis dan
radikal yang terjun ke dalam lubang gelap supaya anda tidak perlu melakukan ugas
berat itu sendiri. Mereka adalah penerjemah ‘nabi – nabi’ kecil dan berhala yang
bicara dengan bahasa langitan untuk kemudian menjadi mudah dimengerti oleh
khalayak. Mereka kadang mencari arti dari sesuatu yang sesungguhnya tidak punya
arti dan menemukan makna bagi hal yang sesungguhnya nir-makna. Kadang mereka
melakukan kesalahan dengan menciptakan nabi ketika mesias itu sesungguhnya
seorang kyai atau yang lebih buruk, mereka adalah seorang penipu.
Dengan tugas begitu berat, seharusnya ada tempat yang istimewa di masyarakat
untuk penulis musik. Itu tidak terjadi. Seperti air dan udara, musik adalah karya seni
yang paling sublime, sehingga upaya untuk menangkat arti menjadikannya seperti
pekerjaan pawang hujan, dianggap berhasil hanya ketika hujan absen. Atau yang
paling buruk, dengan intepretasi yang begitu spekulatif, penulis musik hanya menjadi
seorang pendongeng dan pembual yang tidak pernah diundang ke dalam festival
kebudayaan atau kongres buku nasional. Atau lebih buruk lagi, jika anda berusaha
menggunakan langsung teori – teori sosial untuk memberi makna dan arti musik, anda
akan langsung ke dalam kotak etnomusikologi dan tulisan – tulisan anda akan masuk
ke perpustakaan dan jarang dibaca orang.
Tidak pernah ada pilihan yang mudah atau pengakuan yang mudah. Dan bagi mereka
yang tetap melakukannya, mennulis tentang musik adalah jalan yang sangat sunyi.
Namun, sama seperti kebanyakan jalan sunyi yang lain, hanya disinilah bisa
ditemukan makna. Dan seperti yang para pecinta musik ketahui, musik akan terasa
kosong tanpa upaya pencarian makna yang lebih dalam di balik semua ‘sound and
fury tha could signify nothing…or something’. Mereka inilah yang membuat musik dan
kehidupan memiliki arti, sebab tidak ada yang lebih berbahaya dibandingkan
kehidupan tanpa makna.
Rolling Stone Indonesia
Salah satu majalah waralaba fenomenal lainnya adalah rolling stone indonesia. para
pecinta musik mana yang tidak mengenal yang satu ni? Di negeri asalanya, rolling
stone boleh dikatakan meruapakantonggak jurnalisme musik. Majalah ini menjadi
media yang banyak menyoroti perubahan industri musik sejak pertengahan 1970-an.
Indonesia menjadi negara pertama di Asia yang menghadirkan Rolling Stone. Roling
Stone Indonesia yang pertama kali terbit pada Mei 2005 dengan gambar sampul Bob
Marley diharapkan membawa pengaruh dan refrensi penting bagi industri musik
Indonesia. Selain di Indonesia, Rolling Stone di Asia hanya terbit di Jepang (2007),
India (2008), dan Cina (2006) –yang berhenti terbit dalam waktu setahun.
Ulasan – ulasan yang dimuat Rolling Stone panjang dan memikat. Rolling Stone
seperti menjadi panduan dalam mengarungi industri musik. Tulisannya memang tak
jauh dari ulasan abum, ulasan konser, wawancara, hingga feature profil band/musisi,
terutama musisi yang menjadi cover story, tetapi muatannya bolej diakatan seimbang
antara saduran berita musik dari luar negeri dan tulisan – tulisan perihal kondisi
industri musik dalam negeri.
Rubruk Rolling Stone yang menarik adalah ‘music biz’ asuhan Wendi Putranto, yang
banyak menyajikan tulisan –tulisan pentingmengenai kondisi industri musik. Rubric ini
dibuat karena banyak musisi yang tak mengerti tentang pola kerja industri musik.
Rubrik ‘music biz’ mengulas mulai dari fungsi – fungsi label rekaman,
manajemenband, hingga persoalan paling penting yaitu hak cipta. Pada tahun 2009,
rubric ini dibukukan dengan judul sama, music biz, dan menjadi satu buku uth yang
menjadi panduan penting untuk mengarungi industri musik.
Selain ‘music biz’, salah satu rubirk menarik lainnya adalah ‘soundwaves’ yang
menyajikan opini segar dari para pelaku industri musik. Jika selama ini para musisi ini
hanya menjadi objek tulisan jurnalis musik, maka dalam kolomo ini para musisi bisa
mencurahkan opini dan kerisauannya tentang industri musik di Indonesia. Gagasan –
gagasan para musisi ini sangat menarik diperhatikan karena mereka pelaku yang
terjun langsung di industri. Salah satu tulisan yang menarik ditulis oleh musisi dan
aktivis Kartika Jahja tentang buruknya jurnalisme musik di Indonesia.
Pada Desember 2007, Rolling Stone Indonesia menerbitkan edisi paling penting yaitu
ulasan tentang ‘150 Album Indonesia Terbaik’. Pada edisi khusus tersebut, Rolling
Stone Indonesia memberikan ruang apresiasi pada album – album legendaris
sepanjang sejarah industri musik indonesia –dan menempatkan album lagu pengisi
film badai pasti berlalu di urutan pertama. Album itu memang merupakan bagian
penting dalam lanskap musik pop Indonesia. Dua tahun kemudian, tepatnya
desember 2009, Rolling Stone Indoensia juga membuat edisi khusus ‘150 Lagu
Indonesia Terbaik’ Lagu ‘Bongkar’ milik supergroup ‘Swami’ didapuk menempati
urutan pertama karena kritis dan berani di tengah represif Orde Baru.
Hai, Trax, dan Rolling Stone Indonesia memberikan pengaruh sangat penting bagi
perkembangan jurnalisme musik di Indoensia setelah reformasi. Boleh dikatakan
ketiga media inilah yang memotret perkembangan industri musik di Indonesia,
meskipun tulisan – tulisan di dalamnya masih membahas musik mainstream atau
musik – musik industri. Lekatnya media musik dan industri musik makin menjadi pada
era ini karena industri musik membutuhkan media promosi yang besar untuk ‘jualan’.
Selain kemunculan media – media waralaba, periode pasca reformasi juga ditandai
dengan maraknya penerbitan media – media alternatif. Pada pertengahan 1990-an,
cikal bakal media alternative memang sudah muncul melalui maraknya penerbitan
zine. Media jenis ini berkembang hanya pada lingkup komunitas dan tidak terlalu
bergantung kepada industri pers. Pencabutan permnpen No. 1 Tahun 1984 tentang
SIUPP di era pasca reformasi memberikan angina segar kepada siapapun yang ingin
terjun ke industri media. Hal ini juga memudahkan komunitas untuk membuat media
– media musik alternatif, yang coraknya tentu berbeda dan lebih berani untuk
melawan industri musik mainstream.
Poros informasi pun tak hanya berada di pusat (baca : Jakarta). Di beberapa kota
besar muncul majalah – majalah musik alternatif. Sebut saja Riple Magazine dan
Trolley Magazine yang berbasis di Bandung. Ada pula Dab magazine dan Out
Magazine di Yogyakarta. Sementara di Semarang ada Mosh Magazine, dan ada
Common Ground yang lahir di Malang. Selain majalah cetak, banyak pula
bermunculan blog dan webzine yang tak terhitung lagi maraknya. Kehadiran media –
media alternative seperti ini merupakan ekspresi ideologis karena konten – kontennya
lebih banyak mengangkat musik independent dan menolak musik pasar. Kehadiran
media – media alternatif ini seiring dengan perkembangan komunitas independen
dengan budaya fanzine yang banyak mengangkat isu – isu identitas dan komunitas
(docmbe, 1997)
Sayangnya, keberadaan media – media alternatif ini juga tidak bertahan lama.
beberapa media terpaksa gulung tikar dengan berbagai alasan, terutama alasan yang
klise dan sangat mendasar : manajemen dan finansisal. Trolley t erpaksa bubar di
edisi ke-11. Salah satu yang paling lama berahan mungkin hanya ripple magazine
yang bertahan selama sepuluh tahun. Nasib sama juga menimpa media besar
semacam Trax, Hai, dan Rolling Stone Indonesia. Trax memilih bubar pada 2016,
kemudian Hai yang lebih memilih fokus di ranah digital dan menutup versi cetaknya.
Yang paling mengejutkan, pada penghujung tahun 2017, Roling Stone Indonesia
menyatakan diri untuk bubar.
Bagaimana masa depan media musik?
Kehadiran internet dan perkembangan media sosial memiliki pengaruh cukup besar
dalam praktik jurnalisme musik di Indonesia. kini media – media tak hanya ditemukan
dalam bentuk majalah. Media musik kini juga banyak ditemui melalui format blog, web
magazine (webzine), radio streaming, dan video. Selain mendorong perkembangan
format karya jurnalistik musik, kehadiran internet juga memberikan akses kepada
semua orang untuk menjadi jurnalis musik. Kini orang tidak perlu bergabung dengan
suatuu institusi persuntuk menulis dan meliput acara musik.
Arus perkembangan jurnalisme musikpun kini lebih bervariasi. Beberapa media
mainstream masih mengedepankan musik – musik pasar. Ada juga beberapa media
daring alternative yang masih konsisten menawarkan musik – musk di luar pasar
industri musik. Kehadiran berbagai media daring alternatif dan bloger – bloger musik
memicu gairah baru bagi jurnalisme musik. Para penulis musik di webzine biasanya
‘non-jurnalis’ ini seolah mengembalikan keautentikan penulisan musik oleh orang –
orang yang memang antusias dan memiliki renjana (passion) terhadap musik
Kehadiran – kehadiran webzine menjadi oase di tengah kekeringan informasi
mengenai musik, terutama musik – musik di luar arus utama. Media – media seperti
deathrockstar, Jakarta Beat, Wasted Rock, dan Gigsplay adalah diantaranya.
Sayangnya, media – media seperti ini, utamanya di Indonesia, sering kali masih di
gerakan oleh manajemen yang belum professional dan belum stabil secara finansial.
Tantangan terberat bagi media – media musik daring alternatif ini adalah persaingan
ntuk memperoleh pendapatan dari iklan. Jangankan untuk memperoleh laba, bisa
bertahan saja masih syukur, padahal pencapaian webzine semisal steregum atau
pitchfork di Amerika merupakan contoh sukses webzine yang digermari dan dibaca
oleh pecinta musik dan berhasil bertahan lama.
Namun, perlu ditekankan bahwa keberadaan media – media musik daring alternatif
ini adalah sebagai manifestasi demokrasi media. Media – media musik tumbuh
dengan jenis yang makin beragam. Perkembangannya juga tak hanya di pusar –
pusat industri seperti Bandung atau Jakarta saja, tapi hingga ke luar dua kota
tersebut.
Seperti yang sudah diuraikan di atas, jikalau dikatakan jurnalisme musik di Indonesia
itu mati, sebenarnya tidak juga. Jurnalisme musik dalam pengertian menulis dan
memberikan informasi mengenai musik dan peristiwa di sekitarnya masih hadir
menemani keseharian kita. Prinsip konvergensi rasanya dapat membuat media musik
mampu mengawinkkan antara jurnalisme musik dengan teknologi media. Informasi –
informasi musik tak hanya ditemui dalam format cetak, tetapi dalam jejaring media
sosial.
Setelah banyak media – media musik mainstream yang berguguran dan kian
demokratisnya teknologi internet, seperti apa masa depan jurnalisme musik di
Indonesia?
Anomali Media Musik
Kita bisa memulai ulasan ini dengan fakta, bahwa ‘Menari Dengan Bayangan’
merupakan sebuah album yang ‘kompleks’ nyaris sempurna namun penuh tanda
tanya. Kawan saya Fadil lebih senang mendengarkan omong kosong dosen
pembimbing-nya, daripada harus mendengarkan album itu. Bagi sebagian orang,
kecuali Fadil, album ini menjadi album paling sentimentil, penuh digdaya, menjadi selfreminder, bahkan menjadi bahan untuk menulis caption. Luar biasa hebat bukan?
Tak ada gading yang tak retak, Tirto.id menulis ulasan penuh album Hindia, tepat satu
hari setelah showcase Hindia di mBloc Space Jakarta, Album baru Hindia : Kemasan
bagus, musiknya payah. Kita semua merasa ‘tertampar’ Raka Ibrahim meracau,
FelixDass yang juga menghadiri ‘intimate concert’ pun demikian, sebagian lagi tetap
berada di poros tengah, karena memang tidak ada alasan yang kuat untuk menjadi
bagian itu.
Baskara masih tetap santai, walaupun pada akhirnya ‘ndak apa – apa lah, bebas,
namanya juga musik, dan jangan jadi pendengar yang kebakaran jenggot’, dan
kenyataannya, Hindia / Baskara tetap jadi juara, toh, sebagian orang mengamini
‘Menari Dengan Bayangan’ menjadi sebagai album yang paling estoterik. Lagipula,
bagaimana bisa mencari cela di album yang nyaris sempurna? Mungkin ada di kata
‘nyaris’.
Terus, bagaimana ulasan ini mempengaruhi selera pasar?
Perdebatan panjang ini bisa jadi tidak akan selesai, penting dan tidak penting, peduli
dan tidak peduli, bermakna atau tidak selalu jadi pilihan. Terjadi banyak peralihan
dalam peran media musik, meskipun pada akhirnya kita selalu terjebak dalam
pertanyaan yang sama, ‘bagaimana media musik memberikan impact dalam industri
musik?’
Media Musik
Kita atau siapapun anda yang memahami ini mungkin merasa kehilangan ketika
Jakartabeat atau Rolling Stones Indonesia harus berdiri dari lingkaran, secara
bersamaan kita sangat merindukan kedua media tersebut. Mereka bagaikan
mercusuar yang terus mencari apa yang seharusnya dicari, dan menenggelamkan
apa yang seharusnya di tenggelamkan. Tidak ada pamer diksi, sedikit trivia, dan yang
pastinya mereka adalah racun.
Selanjutnya, kita menemukan Pop Hari Ini, DCDC, Jurnal Ruang –belakangan juga
hilang dan mungkin beberapa media lain yang melihat musik tidak hanya nada dan
suara, dan yang lebih hebat, gairah akan zine kolektif dalam ekosistem mulai
menemui arwah-nya, ruang skena daerah, Semarang, Jogja, Malang, dan kota – kota
lainnya sadar akan publikasi yang epic atas ekosistem. Setidaknya, ada arus alternatif
didalam arus alternatif, Hebat! Walaupun pada era ini sudah terjadi bias antara kuping
kanan dan kuping kiri,
Selayaknya, media musik masih menjadi pelumas yang paling organik dalam proses
discovery dan dokumentasi musik. Review album, event report, esai personal, profil
musisi, skena musik, hingga kritik budaya menjadi point of view dalam menulis musik.
Tidak terelakan, bahwa media musik dulu dan sekarang seharusnya mempunyai
tanggung jawab dalam membentuk selera pasar yang begitu ‘liar’, atau mungkin kata
‘membentuk’ diganti dengan ‘menjembatani’(?).
Pada kenyataannya, proses discovery dari musisi ke audience, sudah sepenuhnya di
pegang oleh audience. Kenyataan ini mungkin bisa diliat dari bagaimana pelaku band
dalam hal ini musican dalam meng-utilace sebuah konten di social media masing masing, dan ini juga yang membawa kita kedalam argumen ‘oh iya yang bikin acara
juga kan audience’ ‘yang melakukan eksposure ini juga audience’ dan ‘yang
mempunyai capital juga audience kok’.
Sebagian setuju dengan hal tersebut, dan sebagian lagi menganggap ini nol besar.
Lalu timbul pertanyaan, bagaimana jika case nya adalah musisi medioker yang
mempunyai kualitas oke (Baca : meskipun subjektif), namun terhambat dalam proses
discovery?
Jawabannya adalah media musik dan semua hal yang menjadi lanskap media musik
tersebut, seperti zine (majalah), webzine, instazine, event publisher, dan apapun yang
masih berkelindan dengan media dan musik, kenapa? Iya media musik dan hal di
dalamnya, bisa menjadi pengantar yang elegant sebagai steping stone perjalanan
sebuah band/musisi, mutlak tidak bisa diperdebatkan. Selanjutnya adalah konser,
karena proses discovery yang paling agung terjadi disini. Tapi seberapa besar hal ini
memberikan impact kepada band/musisi, jelas ini masih bergantung seberapa kuat
media musik tersebut dalam menggaet pasar.
Setelah kehilangan beberapa media musik yang cukup berpengaruh di Indonesia, dan
juga perkembangan dunia digital yang semakin luas dan tidak terbatas, banyak terjadi
pergesaran antara peran media musik, musisi/band, dan juga publikasi musik.
Hari ini mungkin beberapa musisi/band sadar betul bahwa ia tidak bisa berharap
kepada media – media konvesial dan mempunyai banyak pengikut lagi perihal
publikasi. Proses kurasi yang cukup ketat, dan selera pasar bisa menjadi alasan
utama mengapa musisi/band sebisa mungkin memanfaatkan konten sosial media
sendiri sebagai kolam yang pas untuk menarik audience. Kesadaran musisi/band
terkait publikasi musik akan membawa kita kedalam argumentasi ‘oh yaudah saya
sebagai musisi/band bagaimana caranya untuk mem-present konten saya sendiri,
dan bagaimana cara meng-utilace sosial media menjadi bagian penting dalam proses
discovery ini’. Argumentasi ini memang tidak sepenuhnya benar, tapi saya percaya
bahwa, saat ini sosial media menjadi gerbang yang paling kongkrit audience dan
musisi/band untuk bertemu.
Seberapa penting media musik dalam proses dicovery musik terhadap audience, dan
juga pertumbuhan ekosistem di dalamnya mungkin menjadi sesuatu yang tidak bisa
diukur secara matematis. Posisi sekarang, dalam upaya pencarian musik baru,
audience atau saya -as a listener- romannya engga perlu bersusah payah membaca
ulasan album Naif yang di review panjang lebar oleh Harlan boer di Pop Hari Ini.
Tahapan pertama adalah saya mendengarkan albumnya dahulu via streaming dan
tahapannya selanjutnya adalah Like or Dislike, selesai. Toh jika memang ‘gak pas di
kuping’ kemudian saya membaca ulasan album-nya di media manapun engga akan
merubah keputusan saya. Dan sebaliknya, saya tidak akan pernah peduli omong
kosong jurnalis musik yang membawa ‘senapan’ dalam mengulas suatu album.
Persetan dengan itu, saya tetap suka Baskara/Hindia/Wordfangs (tidak dengan
.Feast).
Tapi ketika saya –as a worshiper- dengan segala bentuk snobisme yang aduhay.
Meskipun saya sudah mempunyai platform streaming premium kecenderungan
membeli fisik, pasti ada. Mengulik lebih dalam tentang seluk beluk sebuah karya, pasti
selalu ada. Mencari refrensi alur genre yang sesuai, pasti akan terus berjalan.
Merindukan media musik yang kredibel, ya pasti. Mengulas dan mencari ‘cela’ dalam
album yang nyaris sempurna, ya mesti! Edan pooo!
Karena pada hakikat-nya,
mereka yang mengulas album yang penuh kritik, penuh tumpahan darah dan pastinya
sarat dengan subjektifitas adalah mereka yang paling sering mendengarkan album
itu, atau setidaknya ada ekspetasi yang tidak tercapai terhadap album itu. benar
begitu baginda?
Secara umum, media musik hari ini terlihat sangat klise, ia seperti hantu terkadang
ada tapi tidak terasa, namun ketika ia muncul, malah menjadi momok yang paling
menakutkan, menyeramkan sekaligus bikin penasaran. Karena pada kenyataanya,
hari ini dan seterusnya, proses discovery sepenuhnya di tentukan oleh audience,
interaksi antara audience dan musisi/band tidak lagi memerlukan tangan ketiga.
Sedapp!
Jadi, siapakah yang seharusnya disambut pertama kali dalam sebuah pertunjukan,
media atau audience?
Kita membahas
Tapi gapapa, Baskara tidak pernah berfikir kehilangan 1 pendengar dari jutaan
peneToh, Baskara tahu betul bagaimana proses packaging yang epic, tahapan yang
kadang kali menuai pujian atau makian, ya begitu lah Bas.
Download