Uploaded by Woody Med

albumin hipoksia pada knf (1)

advertisement
UNIVERSITAS INDONESIA
STUDI KORELASI KADAR ALBUMIN PRARADIASI DAN HIPOKSIA
TERHADAP RESPON TUMOR KARSINOMA NASOFARING STADIUM
LANJUT
TESIS
PRINKA DIAZ ADYTA
1006769341
FAKULTAS KEDOKTERAN
PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS
PROGRAM STUDI ONKOLOGI RADIASI
JAKARTA
NOVEMBER 2013
Studi korelasi ..., Prinka Diaz Adyta, FK UI, 2013
Studi korelasi ..., Prinka Diaz Adyta, FK UI, 2013
Studi korelasi ..., Prinka Diaz Adyta, FK UI, 2013
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan rahmat-Nya,
saya dapat menyelesaikan tesis ini. Penulisan tesis ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah
satu syarat untuk mencapai gelar Dokter Spesialis Onkologi Radiasi pada Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Saya menyadari bahwa sangatlah sulit bagi saya untuk dapat
menyelesaikan tesis ini, tanpa adanya bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, dari masa
perkuliahan sampai pada penyusunan, Oleh karena itu, perkenankan ssaya mengucapkan terima
kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1.
Dr.dr. Sri Mutya Sekarutami, SpRad (K) OnkRad, Dr.dr. Fiastuti Witjaksono, MS,
Msc SpGK, Dr.dr. Joedo Prihartono, MPH, Dr. Marlinda Adham, SpTHT-KL (K),
Dr.Lisnawati, SpPA (K) selaku dosen pembimbing yang telah menyediakan waktu, tenaga,
dan pikiran untuk mengarahkan saya dalam penyusunan tesis ini.
2.
Guru-guru yang saya hormati di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dan di
Departemen Radioterapi RSCM Jakarta: Prof. Dr. dr. Soehartati Gondhowiardjo,
SpRad( K) OnkRad, Prof. dr. H. M. Djakaria, SpRad (K) OnkRad, Prof. Dr. dr. R.
Susworo, SpRad (K) OnkRad, dr. Nana Supriana, SpRad (K) OnkRad, Dr.dr. Sri
Mutya Sekarutami, SpRad (K) OnkRad, dan dr. Irwan Ramli, SpRad (K) OnkRad
yang telah membimbing dan mendidik saya dengan penuh kesabaran.
3.
Orang tua (dr.Maman Daljusman Malik, SpRad dan alm dr. Semi Asti, SpA), suami
(dr.Aldora S Ponto, SpAn), anak kembarku (Allanra dan Daffanra Aldora sjaflan) dan
mertua (keluarga Sjaflan Syarif) saya yang telah memberikan bantuan dukungan material
dan moral.
4.
Para sejawat PPDS Onkologi radiasi dan karyawan Departemen Radioterapi RSCM yang
banyak memberikan masukan dan dukungan kepada saya selama ini
5.
Yang tidak akan terlupakan jasanya, para pasien-pasien kami di RSCM yang telah
memberikan kesempmengaplikasikan ilmu pengetahuan dan ketrampilan yang kami
pelajari.
iv
Studi korelasi ..., Prinka Diaz Adyta, FK UI, 2013
Akhir kata, semoga Allah SWT berkenan membalas segala kebaikan semua pihak yang telah
membantu. Semoga tesis ini membawa manfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan.
Salemba, Oktober 2013
Penulis
v
Studi korelasi ..., Prinka Diaz Adyta, FK UI, 2013
Studi korelasi ..., Prinka Diaz Adyta, FK UI, 2013
ABSTRAK
Nama
Program Studi
Judul
: Prinka Diaz Adyta
: Onkologi Radiasi
: Studi korelasi kadar albumin praradiasi dan hipoksia terhadap respon
tumor karsinoma nasofaring stadium lanjut.
Pendahuluan: Malnutrisi dan hipoksia merupakan faktor yang mempengaruhi kegagalan terapi pada
KNF stadium lokal lanjut. Kadar albumin merupakan salah satu pemeriksaan status nutrisi. Hipoksia
menyebabkan radioresistensi terhadap radiasi.Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui korelasi antara
kadar albumin praradiasi, hipoksia terhadap respon radiasi.
Metode penelitian: Penelitian ini merupakan studi kohort retrospektif menggunakan data
sekunder terhadap 40 pasien kanker nasofaring stadium lokal lanjut yang memenuhi kriteria
inklusi di Departemen Radioterapi dan Departemen Patologi Anatomi RSUP Dr Cipto
Mangunkusumo dari Desember 2012 sampai Agustus 2013. Dilakukan pencatatan kadar albumin
praradiasi, berat badan serta CT scan sebelum dan sesudah radiasi. Kemudian dilakukan analisa
HIF1α dengan pulasan imunohistokimia. Sel yang positif hipoksia dihitung per 10 lapang
pandang besar. Setelah itu, dilakukan penilaian respon radiasi berdasarkan kriteria Recist.
Hasil: Rerata kadar albumin praradiasi sebesar 3,9 +/- 0,5 g/dL, dan median persentase hipoksia
sel yaitu 24,7(1-100)%. Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara kadar albumin praradiasi
terhadap respon radiasi (p≥0,05). Terdapat hubungan yang bermakna anatara hipoksia terhadap
respon radiasi (p<0,05). Korelasi antara kadar albumin praradiasi dan hipoksia menunujukkan
korelasi yang lemah dan tidak bermakna (r=-0,24, p=0,324)
Kesimpulan: Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa albumin praradiasi tidak berhubungan
dengan respon radiasi pada KNF stadium lokal lanjut. Terbukti bahwa hipoksia meningkatkan
radioresistensi dan menurunkan respon radiasi. Tidak terdapat korelasi antara albumin praradiasi
dan hipoksia.
Kata kunci: kanker nasofaring stadium lokal lanjut, kadar albumin praradiasi, hipoksia dan
respon radiasi.
vii
Studi korelasi ..., Prinka Diaz Adyta, FK UI, 2013
ABSTRACT
Name
Study Program
Title
: Prinka Diaz Adyta
: Onkologi Radiasi
: Study correlation of albumin preirradiation and hypoxia to radiation
response in locally advanced nasopharyngeal cancer
Introduction: Malnutrion and hypoxia had been shown to cause irradiation failure. Albumin is
one of the nutritional status examination. Hypoxia caused radioresistance to irradiation. The
purpose of this study was to evaluate the correlation of albumin, hypoxia towards radiation
response in locally advanced nasopharyngeal carcinoma.
Methods: This is a retrospective cohort study using secondary data from Departement of
Radiotheraphy and Departement of Pathology Cipto Mangunkusomo hospital of 40 patients
locally advanced nasopharyngeal cancer who meet the inclusion criteria from December 2012 to
August 2013. Albumin preirradiation, body weight and CT scan before and after radiation were
recorded. We examined the expression of HIF1 α by immunohistochemistry staining. Hypoxia
cell was asessed by cell counting. Radiation response was determined by Recist criteria.
Results: The mean of serum albumin is 3.9 + / - 0.5 g /dL, and the median percentage of
hypoxia was 24,7(1-100)%. There was no statistically significant relationship between albumin
and radiation response (p≥0.05). There was a statistically significant relationship between
hypoxia and radiation response (p<0,05). There were no correlation between albumin and
hypoxia (r=-0,24, p=0,324) .
Conclusion: This study showed that there was no correlation between albumin preirradiation
and response in locally advanced nasopharyngeal cancer. It was proven that hypoxia increased
radioresistance in locally advanced nasopharyngeal cancer. There was no correlation between
albumin preirradiation and hypoxia.
Keywords: Locally advanced nasopharyngeal carcinoma, preirradiation albumin, hypoxia and
radiation response.
viii
Studi korelasi ..., Prinka Diaz Adyta, FK UI, 2013
DAFTAR ISI
Hal
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS
HALAMAN PENGESAHAN
KATA PENGANTAR
LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI ILMIAH
ABSTRAK
ABSTRACT
DAFTAR ISI
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR TABEL
DAFTAR TANDA DAN SINGKATAN
DAFTAR LAMPIRAN
1.
1.1
1.2
1.3
1.4
1.5
1.6
2.
2.1.
PENDAHULUAN
Latar belakang masalah
Masalah penelitian
Pertanyaan penelitian
Hipotesis penelitian
Tujuan penelitian
1.5.1
Tujuan Umum
1.5.2
Tujuan Khusus
Manfaat Penelitian
TINJAUAN PUSTAKA
Kanker nasofaring
2.1.1
Epidemiologi
2.1.2
Anatomi nasofaring dan kelenjar getah bening
2.1.3
Etiologi dan patogenesis
2.1.4
Diagnosis dan stadium
2.1.5
Histopatologi
2.1.6
Penatalaksanaan
2.1.7
Terapi radiasi
2.1.8
Tehnik radiasi
2.1.9
Kombinasi kemoterapi dan radioterapi
2.1.10
Penilaian respon terapi
2.1.11
Efek samping kemoradiasi
ix
Studi korelasi ..., Prinka Diaz Adyta, FK UI, 2013
ii
iii
iV
vi
vii
viii
ix
xi
xii
xiii
xv
1
1
3
4
4
4
5
5
6
6
6
7
7
10
12
12
13
15
16
16
2.2
Pengaruh gizi terhadap respon terapi
2.2.1
Albumin sebagai faktor prognostik
2.2.2
Gangguan metabolisme pada kanker
2.2.3
Pengaruh albumin terhadap kesintasan
2.3 Peran albumin sebagai antioksidan
2.4 Hipoksia tumor
2.4.1
Pengaruh hemoglobin terhadap respon radiasi
2.4.2
Pengaruh hipoksia terhadap respon radiasi
2.5 Kerangka teori
2.6 Kerangka konsep
3.
METODE PENELITIAN
3.1 Desain Penelitian
3.2 Tempat dan Waktu Penelitian
3.3 Populasi dan Sampel
3.4 Cara Pemilihan Sampel
3.5 Besar Sampel
3.6 Kriteria Inklusi dan Eksklusi
3.6.1
Kriteria Inklusi
3.6.2
Kriteria Eksklusi
3.7 Cara Kerja
3.7.1
Prosedur pulasan imunoperoksidase untuk HIF 1 α
3.7.2
Penilaian ekspresi pulasan HIF 1 α
3.8 Variabel Penelitian
3.9 Analisa data
3.10 Alur penelitian
3.11 Definisi operasional
17
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
26
26
26
26
26
27
29
28
28
28
30
30
30
31
32
4
5
6
34
45
50
51
57
58
59
60
HASIL PENELITIAN
PEMBAHASAN
KESIMPULAN DAN SARAN
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN 1
LAMPIRAN 2
LAMPIRAN 3
LAMPIRAN 4
x
Studi korelasi ..., Prinka Diaz Adyta, FK UI, 2013
DAFTAR GAMBAR
Hal
Gambar 2.1
Gambaran tipe histopatologi kanker nasofaring
11
Gambar 2.2
Tehnik klasik radiasi KNF
13
Gambar 2.3
Gangguan metabolisme kanker
19
Gambar 2.4
Albumin dan antioksidan
21
Gambar 2.5
Kerangka teori
24
Gambar 2.6
Kerangka konsep
25
Gambar 3.10
Alur penelitian
31
Gambar 4.1
Grafik sebaran KNF stadium lokal lanjut berdasarkan distribusi
albumin praradiasi
36
Gambar 4.2
Grafik sebaran KNF stadium lokal lanjut berdasarkan hipoksia
36
Gambar 4.3
Grafik sebaran KNF stadium lokal lanjut berdasarkan respon
radiasi
37
Gambar 4.4
Diagram korelasi albumin dan hipoksia
40
Gambar 4.5
Diagram korelasi HIF 1 α dan respon
41
xi
Studi korelasi ..., Prinka Diaz Adyta, FK UI, 2013
DAFTAR TABEL
Hal
Tabel 2.1
Staging KNF berdasarkan TNM AJCC edisi ke 7 tahun 2010
9
Tabel 4.1
Karakteristik pasien
35
Tabel 4.2
Deskripsi variable numerik
37
Tabel 4.3
Hubungan kadar albumin praradiasi dan respon radiasi
38
Tabel 4.4
Rerata variable menurut hipoksia
38
Tabel 4.5
Hubungan antara respon radiasi terhadap hipoksia
39
Tabel 4.6
Hubungan antara albumin praradiasi terhadap hipoksia
39
Table 4.7
Subanalisis kadar albumin, hipoksia terhadap stadium
41
Tabel 4.8
Subanalisis kadar albumin, hipoksia terhadap perluasan tumor
41
Tabel 4.9
Subanalisis kadar albumin, hipoksia terhadap kelenjar getah
bening
41
Tabel 4.10
Subanalisis respon dan stadium
42
Tabel 4.11
Subanalisis respon dan differensiasi
42
Tabel 4.12
Subanalisis respon dan perluasan tumor
42
Table 4.13
Subanalisis respon dan kelenjar getah bening
43
Table 4.14
Subanalisis respon dan differensiasi
43
Tabel 4.15
Subanalisis respon dan perluasan tumor
43
Tabel 4.16
Subanalisis respon dan kelenjar getah bening
44
xii
Studi korelasi ..., Prinka Diaz Adyta, FK UI, 2013
DAFTAR TANDA SINGKATAN
TANDA
<
= Lebih kecil
>
= Lebih besar
≤
= Sama atau lebih kecil
≥
= Sama atau lebih besar
=
= Sama dengan
SINGKATAN
KNF
= Karsinoma nasofaring
TNF
= Tumor necrosis factor
SGA
= Subjective global assessment
BIA
= Bioelectrical impedance analysis
ROS
= Reactive oxygen species
IL6
= Interleukin 6
HIF1α
= Hypoxia inducible factor 1α
HLA
= Human leucocyte antigen
EBV
= Epstein barr virus
VCA
= Capsid viral antigen
CT Scan
= Computed tomography scan
MRI
= Magnetic resonance imaging
USG
= Ultrasonography
AJCC
= American joint committee on cancer
WHO
= World health organization
CRT
= Conformal radiotheraphy
IMRT
= Intensity modulated radiotheraphy
xiii
Studi korelasi ..., Prinka Diaz Adyta, FK UI, 2013
OAR
= Organ at risk
TMJ
= Temporomandibular joint
GTV
= Gross tumor volume
CTV
= Clinical target volume
PTV
= Planning treatment volume
Recist
= Response evaluation criteria in solid tumour
RTOG
= Radiation theraphy oncology group
IL1
= Interleukin 1
LIF
= Leukemia inhibitory factor
NPY
= Neuropeptide Y
PIF
= Proteolysis inducing factor
CRP
= C reactive protein
SOD
= Superoxide dismutase
VEGF
= Vascular endothelial growth factor
AA
= Asam arachidonat
OTT
= Overall treatment time
xiv
Studi korelasi ..., Prinka Diaz Adyta, FK UI, 2013
DAFTAR LAMPIRAN
Hal
Keterangan lulus kaji etik
57
Surat izin penelitian
58
Data statistik
59
Pulasan HIF 1α
60
xv
Studi korelasi ..., Prinka Diaz Adyta, FK UI, 2013
1
BAB I
PENDAHULUAN
I.1. latar Belakang masalah
Di Indonesia, karsinoma nasofaring (KNF) merupakan tumor kepala leher
terbanyak dengan angka kejadian 28,4%1 dan radioterapi merupakan modalitas
utama dalam penanganan KNF dalam semua stadium, baik sebagai terapi definitif
maupun kombinasi dengan kemoterapi. Angka bebas penyakit 5 tahun dan angka
kesintasan (overall survival) KNF stadium lokal lanjut dengan radiasi saja adalah
68,7% dan 28,6%.2 Penambahan kemoterapi memberikan peningkatan angka
kesintasan 5 tahun sekitar 20%2 sedangkan Platek dkk.,3 menyebutkan angka
kegagalan lokal 2 tahun berkisar 50-60%.
Penelitian di Departemen Radioterapi terhadap pasien KNF lokal lanjut yang
mendapat kemoradiasi menunjukkan bahwa kesintasan lima tahun stadium III, IV
A dan IV B yaitu 43%, 34% dan 35% dengan respon tumor yang meliputi respon
komplit 73,7%, 52,5% dan 45,8% , respon partial 21%, 31,6% dan 41,7%.4,5
Malnutrisi merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi keberhasilan terapi.
Malnutrisi pada pasien kanker kepala leher merupakan masalah yang signifikan
karena berhubungan dengan kualitas hidup, respon terhadap pengobatan baik
radioterapi, pembedahan dan kemoterapi dan kesintasan hidup pasien kanker.
Salah satu parameter malnutrisi dapat tercermin dari penurunan berat badan
pasien sebelum, selama dan sesudah pemberian pengobatan.6
Roezin dkk.,7 dalam penelitiannya mendapatkan 50% pasien dengan berat badan
dibawah standar sebelum sakit dan setelah pengobatan meningkat menjadi 67%.
Pada pasien KNF, penurunan berat badan rata-rata selesai pengobatan sebesar 4,7
kg (9%) yang terdiri dari kehilangan akibat radiasi rata-rata 4,98 kg (9,6%) dan
akibat menjalani operasi adalah 4,5% (8,7%). Penelitian oleh Capuano dkk.,6
menyatakan bahwa pasien kanker kepala dan leher yang menjalani kemoradiasi
mengalami kehilangan berat badan sebesar 10%.
Universitas1Indonesia
Studi korelasi ..., Prinka Diaz Adyta, FK UI, 2013
2
Kaheksia yang merupakan bagian dari malnutrisi mempunyai insiden yang tinggi
pada pasien kanker. Penyebab kaheksia adalah multifaktor yaitu berkurangnya
asupan makanan per oral, adanya faktor katabolik yang dikeluarkan tumor,
seperti tumor necrosis factor (TNF) alfa, interleukin, interferon-gamma, faktor
kaheksia kanker 24K dan perubahan metabolisme yang meyebabkan wasting
disease. Asupan nutrisi yang kurang pada pasien kanker akan menyebabkan
penurunan sintesa protein yang akan menurunkan konsentrasi protein serum
seperti albumin.8
Terdapat bermacam-macam metode pengukuran status nutrisi pada pasien kanker
yaitu subjective global assessment (SGA), bioelectrical impedance analysis (BIA)
dan laboratorium seperti kadar albumin, prealbumin dan transferin. Parameter
antropometrik mencakup berat badan, tinggi badan, ketebalan otot tricep dan
lingkar lengan atas, adanya asites dan edema.9 Pemeriksaan kadar albumin yang
mempunyai waktu paruh 21 hari merupakan salah satu pemeriksaan status nutrisi
sederhana dapat untuk menilai fungsi protein viseral.10
Albumin dapat mengikat reactive oxygen species (ROS) dengan berikatan dengan
cu2+ melalui reaksi Haber Weiss. Albumin sebagai antioksidan dapat
mempengaruhi
keseimbangan
redox.
Konsentrasi
albumin
yang
rendah
disebabkan oleh produksi sitokin interleukin 6 (IL6) yang dapat mempengaruhi
sintesa albumin pada hepatosit. Pada keadaan stadium lanjut, terdapat hubungan
antara malnutrisi dan inflamasi. Pada proses inflamasi terjadi pelepasan
proinflamatory cytokine dan growth factor dibebaskan dan mempunyai efek
katabolik terhadap metabolisme host.11
Penelitian oleh Medow dkk.,12 terhadap kanker pasien kanker kepala dan leher,
menemukan adanya kadar serum albumin > 3,85 g/dl mempunyai kesintasan 625
hari, sedangkan kadar albumin < 3,85 g/dl mempunyai kesintasan 404 hari median
follow up 391 hari (p<0,001). Dixon dkk.,13 menemukan hipoalbumin
pada
kanker colon dan rektal pada stadium lokal lanjut menurunkan angka kesintasan.
Universitas1Indonesia
Studi korelasi ..., Prinka Diaz Adyta, FK UI, 2013
3
Kesulitan menelan dan xerostomia sebagai efek samping radiasi dan kemoterapi
sangat mempengaruhi asupan nutrisi selama radiasi berlangsung. Walaupun
nasogastric tube dapat menjamin asupan makanan, namun kebanyakan pasien
tidak merasa nyaman dan pasien sering menolak menggunakannya. Asupan nutrisi
yang kurang akan menurunkan kadar albumin yang sangat diperlukan untuk
menangkal radikal bebas yang terjadi akibat kanker.8
Selain faktor malnutrisi, terdapat faktor intrinsik yang berpengaruh terhadap
kegagalan terapi baik pada radiasi maupun kemoterapi yaitu hipoksia sel tumor.
Hipoksia dapat menginduksi faktor transkripsi yaitu hipoxia inducible factor 1 α
(HIF1 α) yang mempunyai peran merangsang proliferasi sel dan angiogenesis. 14
Hipoksia akan berpengaruh terhadap progresifitas dan agresifitas tumor. Sel yang
mengalami hipoksia 2,5-3 kali lebih radioresisten dibandingkan dengan sel
normoksia.14,15
Saat ini belum terdapat penelitian yang menganalisa kadar albumin praradiasi dan
hipoksia terhadap respon tumor pada KNF yang merupakan tumor kepala dan
leher yang terbanyak di Indonesia.
1.2 Masalah Penelitian
1. Di Indonesia, KNF merupakan keganasan kepala dan leher yang terbanyak
dengan angka kegagalan lokoregional untuk stadium lanjut masih
tinggi yaitu 60% dan kesintasan lima tahun yang masih rendah yaitu 35%.
2. Malnutrisi dan hipoksia merupakan dua faktor yang mempengaruhi
kegagalan terapi suatu keganasan. Malnutrisi pada kanker disebabkan oleh
faktor katabolik yang dikeluarkan tumor, seperti tumor necrosis factor
(TNF) alfa dan interleukin.
3. Disfagia dan xerostomia merupakan efek samping radiasi dan kemoradiasi
dan keduanya dapat mempengaruhi asupan nutrisi.
4. Hingga saat ini belum ada penelitian yang menganalisis hubungan kadar
albumin dan hipoksia terhadap respon radiasi pada KNF.
Universitas1Indonesia
Studi korelasi ..., Prinka Diaz Adyta, FK UI, 2013
4
1.3 Pertanyaan penelitian
1. Bagaimanakah distribusi kadar albumin praradiasi pasien KNF stadium
lanjut lokal?
2. Bagaimanakah gambaran derajat hipoksia sel pada KNF stadium lanjut
lokal?
3. Bagaimanakah korelasi kadar albumin praradiasi terhadap respon radiasi
pada KNF stadium lanjut lokal?
4. Bagaimanakah korelasi antara hipoksia dan respon radiasi pada KNF
stadium lanjut lokal?
5. Bagaimanakah korelasi kadar albumin praradiasi dengan hipoksia sel pada
KNF stadium lanjut lokal?
1.4 Hipotesis Penelitian
1. Kadar serum albumin praradiasi berkorelasi positif terhadap respon radiasi
pada KNF stadium lanjut lokal.
2. Hipoksia sel tumor berkorelasi negatif terhadap respon radiasi pada KNF
stadium lanjut lokal.
3. Kadar albumin praradiasi berkorelasi negatif dengan hipoksia sel pada
KNF stadium lanjut lokal.
1.5 Tujuan penelitian
1.5.1 Tujuan umum
Meningkatkan keberhasilan terapi pada pasien KNF stadium lanjut yang
mendapatkan terapi radiasi.
Universitas1Indonesia
Studi korelasi ..., Prinka Diaz Adyta, FK UI, 2013
5
1.5.2 Tujuan khusus
1. Mengetahui distribusi kadar albumin praradiasi pasien KNF stadium
lanjut lokal.
2. Mengetahui gambaran hipoksia sel pada KNF stadium lanjut lokal.
3. Menganalisis korelasi kadar albumin praradiasi terhadap respon radiasi
pada KNF stadium lanjut lokal.
4. Menganalisis korelasi hipoksia terhadap respon radiasi pada KNF stadium
lanjut lokal.
5. Menganalisis korelasi kadar albumin praradiasi dengan hipoksia sel pada
KNF stadium lanjut lokal.
.
1.6. Manfaat penelitian
1.6.1 Manfaat di bidang akademik
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi keilmuan tentang
hubungan antara kadar albumin praradiasi dan hipoksia terhadap respon radiasi
pasien KNF stadium lanjut.
1.6.2 Manfaat dibidang penelitian
Penelitian ini diharapkan menjadi masukan untuk dokter onkologi radiasi
mengenai hubungan kadar albumin praradiasi dan hipoksia terhadap respon
radiasi pada pasien KNF stadium lanjut dan dapat menjadi dasar untuk penelitian
selanjutnya.
1.6.3 Manfaat dibidang pelayanan
Penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan kualitas pelayanan radioterapi
terutama respon radiasi.
Universitas1Indonesia
Studi korelasi ..., Prinka Diaz Adyta, FK UI, 2013
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kanker nasofaring
2.1.1 Epidemiologi
KNF di Indonesia merupakan keganasan keempat setelah kanker serviks,
payudara dan kulit. KNF jarang menyerang populasi kulit putih, di Amerika
Serikat, kasus baru hanya 0,8 per 100.000 laki-laki dan 0,3 per 100.000 wanita.
Prevalensi KNF yang tinggi ditemukan di daratan China terutama China Selatan,
mencapai 20 per 100.000 penduduk dan insidens ini tetap tinggi pada orang China
Selatan yang hidup di negara lain, hal ini menunjukkan adanya predisposisi
genetik pada penyakit ini . Penduduk RRC khususnya di propinsi Guang Dong
mempunyai insidens KNF tertinggi didunia yaitu mencapai 40-50 kasus baru per
100.000 penduduk per tahun.16
Di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr Cipto Mangunkusumo (RSUPN-CM)
terdapat 1121 pasien yang terdiagnosis KNF antara 1996 sampai dengan 2005,
yang merupakan 28,4% dari keganasan kepala leher.1
2.1. 2 Anatomi Nasofaring dan Kelenjar Getah Bening
Nasofaring merupakan rongga berbentuk kuboid dengan dinding yang kaku pada
bagian atas, belakang dan lateral; terletak dibelakang tulang muka. Anterior
nasofaring berhubungan dengan rongga hidung melalui koana. Pada dinding
lateral terdapat muara tuba eustachius dan kurang lebih 1cm dibelakang ujung
posterior tuba terdapat torus tubarius. Dibelakang torus tubarius terdapat resessus
lateralis disebut fossa Rosenmuller, suatu cekungan dengan kedalaman yang dapat
mencapai 1cm. Dibelakang dinding nasofaring merupakan bagian posteroinferior
sinus sphenoidalis, ke kaudal sebagai orofaring.
Disamping itu, nasofaring mempunyai saluran kelenjar getah bening yang terletak
pada submukosa, berjalan ke arah anterior, posterior dan akhirnya bertemu pada
Universitas1Indonesia
Studi korelasi ..., Prinka Diaz Adyta, FK UI, 2013
7
garis tengah menuju ke kelompok kelenjar disekitar dasar tengkorak. Aliran
limfatik lain yang penting adalah ke arah KGB leher profunda yang terletak
dibawah musculus sternokleidomastiodeus pada ujung mastoid.16
2.1.3 Etiologi dan Patogenesis
KNF menggambarkan interaksi yang kompleks antara onkogenik infeksi epstein
bar virus (EBV) lingkungan dan genetik pada suatu proses karsinogenik.16-18
Infeksi virus EPV terutama ditemukan pada saat dini dan asimtomatik. Bila terjadi
provokasi, virus akan muncul saat dewasa dan menyerang limfosit dan sel epitel
saluran respirasi atas dan menjadi laten. Peningkatan titer IgA antibodi ditemukan
pada EBV capsid viral antigen (VCA), yang terdapat pada pasien KNF. Pada
faktor genetik, terdapat hubungan antara human leucocyte antigen (HLA)-A2
dengan terjadinya KNF. Faktor lingkungan yang berperan pada patogenesis KNF
yaitu, adanya penggunaan nitrosodimetiamin yang terdapat pada makanan yang
diawetkan dan mengandung banyak garam. Faktor lingkungan lain yang
mempunyai peran dalam pertumbuhan tumor adalah kebiasaan merokok,
meskipun faktor ini masih dalam perdebatan.
2.1.4 Diagnosis kanker nasofaring dan stadium
Diagnosis KNF berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang.
Diagnosis pasti ditegakkan denga biopsi pada lokasi tumor dan pemeriksaan
histopatologi. Pemeriksaan nasoendoskopi saat ini berperan penting dalam
membantu menegakkan diagnosis, hal ini dikarenakan lokasi nasofaring yang sulit
dilihat dengan pemeriksaan konvensional terutama jika tumor masih terbatas di
nasofaring.17,18
Pada umumnya tanda dan gejala-gejala yang timbul pada pasien KNF dapat
dikelompokkan menjadi kelainan pada telinga, hidung, leher dan saraf kranial
disamping gejala akibat adanya metastasis jauh. Kelainan pada telinga dapat
berupa rasa penuh dalam telinga, tuli dan suara mendesing. Gejala ini muncul
akibat infiltrasi tumor terhadap tuba eustachius.
Universitas1Indonesia
Studi korelasi ..., Prinka Diaz Adyta, FK UI, 2013
8
Gejala hidung dapat berupa epistaksis, sumbatan hidung satu atau kedua sisi,
suara sengau atau gangguan fungsi resonansi nasofaring. Gejala ini muncul akibat
ekstensi tumor ke anterior cavum nasi.
Kelainan pada leher terutama pembesaran kelenjar getah bening (KGB) leher,
lebih sering unilateral, tidak nyeri dan tumbuh dengan cepat. Gejala ini
disebabkan perluasan tumor ke KGB parafaring,retrofaring, jugular dan rangkaian
KGB aksesori spinal. Epistaksis dan pembesaran kgb leher merupakan gejala yang
paling sering mendorong pasien untuk datang ke dokter.
Gejala jangkitan saraf kranialis dapat berupa sefalgia, penglihatan ganda,
gangguan sekresi air mata dan parestesi muka. Gangguan tersebut dapat
disebabkan oleh infiltasi dasar tengkorak kemudian melalui foramen lacerum dan
akhirnya menyerang saraf kranial. Hipo atau hiperestesi wajah disebabkan infiltasi
oleh sarah trigeminal. Diplopia disebabkan oleh perluasan ke sinus kavernosus
dan fissura orbital superior, sehingga mengenai saraf III, IV, VI. Perluasan tumor
ke KGB parafaring atau mencapai leher bawah menginfiltrasi saraf IX, X, XI, XII
menyebabkan gejala stridor dan kelemahan tungkai. Sedangkan gejala jika telah
terjadi metastasis jauh dapat berupa ditemukannya kelainan di tulang (20%), paru
(13%) dan hati (9%).17,18
Pemeriksaan penunjang diperlukan dalam menentukan perluasan dan stadium
tumor. Pemeriksaan pencitraan tomografi komputer (CT Scan) nasofaring penting
dalam menentukan stadium yang tepat. Selain CT Scan , perluasan tumor dapat
ditemtukan dengan MRI (Magnetic resonance Imaging). Pemeriksaan MRI
memberikan hasil yang lebih sensitif dalam menentukan perluasan tumor ke
daerah skull based. Pemeriksaan untuk mengetahui kemungkinan adanya
metastasis jauh adalah foto polos toraks, ultrasonography (USG) abdomen dan
whole body scan.
Pemeriksaan penunjang lainnya yang berperan dalam menegakkan diagnosis KNF
yaitu pemeriksaan serologi IGA antibodi terhadap viral capsid antigen (VCA)
virus Epstein-Bar.17,18
Universitas1Indonesia
Studi korelasi ..., Prinka Diaz Adyta, FK UI, 2013
9
Stadium ditentukan berdasarkan status tumor, metastasis ke kelnjar regional dan
metastasis jauh. Stadium penyakit yang digunakan adalah TNM dari American
Joint Committe on Cancer (AJCC) edisi ke 7 tahun 2010 seperti pada tabel 2.1.
dibawah ini:
Tabel 2.1. Staging KNF berdasarkan TNM American Joint Committe on Cancer
(AJCC) edisi ke 7 tahun 2010.18
Tumor (T)
Tx
T0
Tis
T1
T2
T3
T4
:
:
:
:
Tumor primer tidak bisa ditentukan
Tidak ada tumor primer
Carcinomas insitu (karsinoma preinvasif)
Karsinoma nasofaring terbatas pada nasofaring atau meluas ke
orofaring dan atau cavum nasal tanpa penjalaran ke parafaring
: Karsinoma nasofaring dengan penjalaran ke parafaring
: Karsinoma nasofaring dengan keterlibatan tulang dan atau sinus
paranasal.
: Karsinoma nasofaring dengan penjalaran dan atau keterlibatan nervus
kranialis, fossa infratemporalis, hipofaring, orbita atau fossa mastikator
Kelenjar getah bening (N)
Nx
: Metastasis ke kelenjar regional tidak dapat ditentukan
N0
: Tidak terbukti ada metastasis
N1
Metastasis ke kelenjar unilateral ukuran ≤ 6 cm diatas fossa
supraklavikula dan atau kelenjar retrofaring unilateral atau bilateral
: dengan ukuran ≤ 6 cm
N2
Metastasis kelenjar bilateral dengan ukuran ≤ 6 cm diatas fossa
: supraklavikular
N3
: Metastasis ke kelenjar leher > 6 cm dan atau fossa supraklavikula
N3a
: Metastasis ke kelenjar leher > 6 cm
N3b
: Metastasis ke kelenjar fossa supraklavikula
Metastasis (M)
Mx
: Metastasis jauh tidak dapat ditentukan
M0
: Tidak terdapat metastasis jauh
M1
: Terdapat metastasis jauh
Universitas1Indonesia
Studi korelasi ..., Prinka Diaz Adyta, FK UI, 2013
10
2.1.5 Histopatologi
Pada tahun 1979 World Health organization (WHO) mendefinisikan karsinoma
nasofaring sebagai kanker sel skuamosa yang dibagi secara mikoskopik menjadi
tiga jenis :
a. Tipe I, yaitu karsinoma sel skuamosa berkeratin, ditandai dengan adanya
jembatan intraselular pembentukan keratin, dengan penampilan mirip dengan
karsinoma sel skuamosa dari saluran pernafasan lain.
b. Tipe II, yaitu karsinoma sel skuamosa tidak berkeratin, didapatkan pematangan
dari epitel skuamosa tidak berkeratin. Tipe II ini adalah yang paling sering
dijumpai dan cenderung disamakan dengan karsinoma nasofaring tipe III pada
kriteria WHO tahun 1991 (perkembangan dari WHO 1979). Insidennya sekitar
25% dari seluruh KNF dipopulasi kulit putih Amerika Utara, tapi hanya 1 sampai
2% daripopulasi KNF daerah endemik.
c. Tipe III, yaitu limfoepitelioma karena sering ditemukan gumpalan benang atau
gumpalan jinak sel T dalam massa tumor. Tipe III terdiri dari berbagai morfologi
sel-sel yang memiliki ciri mikroskopik, termasuk inti vesikuer, nukleolus dan
syncytia (leburan multinuklear sel raksasa). Umumnya tipe III KNF
mengkontribusi lebih dari 95% dari semua kasus endemik, sedangkan dipopulasi
kulit putih Amerika Utara, angka ini menurun menjadi sekitar 60%.17,18,19
Klasifikasi Hsu20, membagi jenis histopatologi anatomi KNF berdasarkan derajat
anaplasia atau pleomorfik sel tumor sebagai berikut:
1. Karsinoma sel skuamosa berkeratin , derajat keganasan tinggi
2. Karsinoma tipe A anaplasia/ pleomorfik nyata, derajat keganasan menengah
3. Karsinoma tipe B anaplasia/ pleomorfik ringan, derajat keganasan ringan
10Indonesia
Universitas
Studi korelasi ..., Prinka Diaz Adyta, FK UI, 2013
11
A
B
C
Gambar 2.1 Gambaran tipe histopatologi kanker nasofaring A. WHO tipe I: karsinoma
skuamosa berkeratin B. WHO tipe II karsinoma skuamosa tidak berkeratin. C. WHO tipe
III KS tidak berkeratin limfoepitelial (dikutip dari kepustakaan no. 21)
Tipe histologi merupakan salah satu faktor yang berperan dalam lokal kontrol
pada tumor. Seperti yang sudah diketahui bahwa tumor dengan diferensiasi buruk
berhubungan dengan prognosis yang buruk, akan tetapi tergantung pada stadium
pada saat diagnosis. Penyebaran lokal dari tumor jarang terjadi pada tumor yang
berdiferensiasi baik dibandingkan dengan berdiferensiasi buruk atau tidak
berdiferensiasi.
10Indonesia
Universitas
Studi korelasi ..., Prinka Diaz Adyta, FK UI, 2013
12
Tumor dengan berdiferensiasi baik mempunyai sifat radioresistan daripada tumor
yang tidak berdiferensiasi, karena radiasi lebih efektif pada sel yang mempunyai
aktifitas
reproduksi
yang tinggi.
Faktor
yang menyebabkan terjadinya
radioresistan dari tumor yang berdiferensiasi baik yaitu korelasi kecepatan
pertumbuhan tumor dan percepatan regresi tumor yang tidak seimbang. Pada
tumor yang tidak berdiferensiasi regresi tumor lebih cepat sehingga lebih
radiosensitif.22,61
2.1.6. Penatalaksanaan
Radioterapi merupakan modalitas utama untuk KNF stidium dini (T1N0M0) .
Konkuren kemoradiasi atau induksi kemoterapi dilanjutkan dengan kemoradiasi
untuk T1, N1-3; T2-4, N1-3. 23
Letak nasofaring yang berada dibelakang tulang-tulang muka, sangat berdekatan
dengan basis kranii, menyebabkan reseksi sempurna hampir tidak mungkin
dilakukan. Terhadap kelenjar getah bening leher, dapat dilakukan diseksi
bilamana pasca radiasi terdapat residu, tidak terdapat metastasis jauh dan tumor
primer bersih, namun hasilnya tidak superior dibanding pemberian booster
radiasi.18,19
2.1.7. Terapi Radiasi
Radioterapi dapat dilakukan pada hampir semua stadium KNF, baik untuk tujuan
kuratif maupun paliatif, diberikan sebagai terapi tunggal maupun kombinasi
dengan modalitas lain. Untuk tujuan kuratif bentuk terapi radiasi yang diberikan
berupa radiasi eksternal dengan atau tanpa kombinasi brakiterapi. Radiasi
eksternal mencakup tumor primer, nasofaring, KGB retrofaring, klivus, basis
cranii, fossa pterigoid, spatium parafaring, bagian inferior sinus sfenosus,
sepertiga posterior kavum nasi dan sinus maksilaris, serta KGB regional di colli
dan supraclavicula.19 Brakiterapi sasarannya yaitu tumor primer dengan tujuan
meningkatkan kontrol lokal.
10Indonesia
Universitas
Studi korelasi ..., Prinka Diaz Adyta, FK UI, 2013
13
Disamping itu untuk tujuan kuratif, radioterapi dapat diberikan dalam bentuk
gabungan dengan modalitas lain terutama kasus lanjut lokal berupa kombinasi
radiasi dan kemoterapi baik secara sekuensial maupun konkomitan.
Radioterapi paliatif diberikan pada kasus lanjut terutama untuk mengatasi nyeri
akibat metastasis yang menyerang tulang. Penalaksanaan Radioterapi berdasarkan
NCCN 2012.23
2.1.8. Tehnik Radiasi
Prinsip radiasi konvensional 2D yaitu teknik klasik Ho,19 terdiri dari 2 fase
(gambar 2.2). Fase I adalah lapangan opposing lateral yang mencakup lapangan
wajah-servikal untuk tumor primer dan KGB leher yang membesar, dan diberikan
bersamaan dengan lapangan anterior untuk leher bagian bawah. Lapangan anterior
ini dikenal sebagai lapangan supraclavicula. Setelah mencapai 40 Gy medula
spinalis dikeluarkan dari lapangan radiasi dan apabila masih terdapat residu kgb
leher dapat ditambahkan elektron. Pengecilan lapangan lokal tumor sebagai
booster, sebaiknya dilakukan setelah 50-60 gy pada gross tumor.19
Gambar 2.2 Tehnik klasik radiasi KNF19
Tehnik 3D conformal radioteraphy (CRT) dan intensity modulated radiotherapy
(IMRT) menunjukan keunggulannya dibandingkan 2 D dalam organ at risk
(OAR) yang akan masuk dalam lapangan radiasi sehingga penting untuk
diidentifikasi, diantaranya adalah: chiasama optikum, kelenjar pituitari, lobus
temporal, batang otak, nervus kranialis, medula spinalis, mukosa oral, kelenjar
parotis, kelenjar submandibula, retina, lensa, temporomandibular joint (TMJ).19
10Indonesia
Universitas
Studi korelasi ..., Prinka Diaz Adyta, FK UI, 2013
14
Dalam teknik ini, target terapi didefinisikan sebagai suatu volume, dan dikenal
istilah Gross Tumor Volume (GTV), Clinical Treatment Volume (CTV), serta
Planning Treatment Volume (PTV).
Tujuan utama menggunakan teknik 3D-CRT dan IMRT adalah untuk
menghasilkan kurva isodosis dengan konformitas yang tinggi terhadap volume
target sekaligus mengurangi dosis terhadap jaringan sehat sekitar, sehingga
mengurangi morbiditas akut dan lambat. Jika efek samping terapi dapat dikurangi,
maka dosis pada volume target pada ditingkatkan dengan harapan mencapai angka
kesintasan yang lebih tinggi.
Dosis per fraksi yang diberikan adalah 2 Gy perhari, diberikan dalam 5 kali dalam
seminggu selama 7 minggu untuk tumor primer maupun kelenjar. Dilanjutkan
pengecilan lapangan radiasi atau blok medulla spinalis.
Dosis total untuk tumor primer sebanyak 66-70 Gy, sedangkan kelenjar regional
yang membesar mendapat 44-64 Gy.19,23
Untuk tumor dengan stadium T1-2, N0M0 radiasi eksterna diberikan dengan total
dosis 70 Gy , dengan atau tanpa brakiterapi. Untuk stadium T1N1-3 M0 dan T2-4
N1-3 M0, bila N< 10cm diberikan kemoterapi neoajuvan ditambah kemoradiasi
dengan dosis 56 Gy kemudian dievaluasi dengan CT scan, terdapat residu atau
tidak, kemudian dilanjutkan konformal radioterapi 20 Gy dan brakiterapi,
sedangkan untuk residu KGB diberikan radiasi eksterna 14 Gy dan dievaluasi
lebih lanjut. Apabila sudah terdapat metastasis, maka pilihan terapi adalah
platinum base kombinasi kemoterapi atau radioterapi cito pada metastasis otak
dan tulang belakang.19,23
Respon tumor terhadap radioterapi pada lokal lanjut secara keseluruhan (overall
response rate) yaitu 25-65%, antara lain respon komplit sebesar 43-65%, respon
parsial 24-30%, tidak ada respon 3,5-20% dan progresif tumor sebesar 0-15%.2,24
10Indonesia
Universitas
Studi korelasi ..., Prinka Diaz Adyta, FK UI, 2013
15
2.1.9. Kombinasi Kemoterapi dan Radioterapi
Berdasarkan saat pemberiannya, kemoterapi pada kanker dibagi menjadi tiga
yaitu:
a. Kemoterapi Neoajuvan
Kemoterapi neoajuvan pada KNF bertujuan untuk mengurangi besarnya tumor
sebelum radioterapi, dan menghilangkan mikrometastasis sistemik sedini
mungkin. Hal ini didasarkan karena pertimbangan vaskular bed tumor masih ada
sehingga pencapaian obat menuju massa tumor masih optimal.
Kerugian cara ini pada KNF adalah tumor dapat terus tumbuh makin membesar
bila tidak responsif terhadap kemoterapi yang diberikan, sehingga status
performans akan menurun akibat timbulnya efek samping toksisitas yang berat
dan tertundanya jadwal radioterapi.25
Pemberian kemoterapi neoajuvan dilaporkan dapat meningkatkan angka respons
komplit sebesar 25,4%.26 Regimen yang digunakan yaitu cisplatin 75 mg/m2, 5FU 500 mg/m2 per hari, dan docetaxel 75 mg/m2 setiap 3 minggu untuk 3 siklus
dilanjutkan dengan cisplatin weekly 40 mg/m2. Efek samping setelah neoajuvan
kemoterapi mencakup myelosupresi grade 3-4 (55,9%), gastrointestinal (16,9%)
berdasarkan National Cancer Institute’s Common Terminology Criteria for
Adverse Events (NCI CTAE versi 3.0).
Efek samping setelah kemoradiasi yaitu grade 3-4 mukositis (6,8%), deskuamasi
kulit (44%) dan xerostomia (27%). Neoajuvan kemoterapi dapat mengurangi
kekambuhan lokoregional sebesar 94,7% (RR 0,74; 95% CI, p= 0,005) dan
metastasis jauh 97,7% (RR 0,67, 95% CI, p-0,003).26
b. Kemoterapi Konkuren
Kemoterapi
konkuren
adalah
pemberian
kemoterapi
bersamaan
dengan
radioterapi. Dengan cara ini diharapkan dapat membunuh sel kanker yang sensitif
terhadap kemoterapi dan mengubah sel kanker yang resisten menjadi lebih sensitif
terhadap radioterapi.
10Indonesia
Universitas
Studi korelasi ..., Prinka Diaz Adyta, FK UI, 2013
16
Selain itu kemoterapi konkuren bekerja sinergistik yaitu mencegah resistensi,
membunuh subpopulasi sel kanker yang hipoksia dan menghambat pemulihan
DNA pada sel kanker yang subletal.19,25
Kelemahan cara ini yaitu meningkatnya efek samping antara lain mukositis,
leukopeni dan infeksi. Untuk mengurangi efek samping tersebut, maka diberikan
kemoterapi tunggal dosis rendah dengan tujuan untuk meningkatkan sensitivitas
sel kanker terhadap radioterapi. Cara tersebut dikenal sebagai radiosensitizer.19
Penelitian yang dilakukan oleh Dechaphunkul dkk.,27 menunjukan bahwa
kemoradiasi konkuren dengan carboplatin tiga siklus setiap tiga minggu diikuti
dua siklus carboplatin dan 5 FU 1000 mg/m2 per tiga minggu dan radiasi total
dosis 70 Gy dalam 35 fraksi, sebanyak 92 % menunjukan remisi sempurna dan
8% remisi sebagian. Angka kesintasan tiga tahun yaitu 89,7%. Carboplatin dapat
menjadi pilihan untuk mengurangi efek samping ototoxicity dan nefrotoxicity.
2.1.10 Penilaian Respon Terapi
Penilaian respon tumor terhadap pengobatan kanker berdasarkan kriteria WHO
yaitu RECIST (Response Evaluation Criteria in Solid Tumours). Kriteria Recist
dapat digunakan untuk evaluasi pengobatan menggunakan CT Scan.28
2.1.11 Efek Samping Kemoradiasi
Komplikasi akut dari radioterapi di daerah kepala dan leher meliputi dermatitis,
xerostomia dan mukositis sehingga terjadi pengurangan asupan makanan dan
cairan, oleh Karena itu dibutuhkan pemberian makanan melalui nasogastrik atau
percutaneous gastrostomy untuk menjaga asupan makanan.26 Komplikasi akut dari
radioterapi dapat menetap 4 sampai 6 minggu setelah terapi terakhir. Tosisitas
lambat radiasi terlihat pada 82% pasien dalam 5 tahun terakhir meliputi
osteoradionekrosis pada mandibula, fibrosis dan disfagia. Tabel dibawah
menunjukan komplikasi lambat radioterapi menurut RTOG (Radiation Theraphy
Oncology Group).
10Indonesia
Universitas
Studi korelasi ..., Prinka Diaz Adyta, FK UI, 2013
17
Penggunaan tehnik IMRT (Intensity Modulated Radiotherapy) dapat menjaga
fungsi saliva dengan mempreservasi kelenjar parotis, nervus optikus optik kiasma
dan brainstem.29
2.2 Pengaruh Gizi Terhadap Respon Terapi
Malnutrisi timbul akibat patofisiologi dari kanker maupun hasil pengobatan
kanker tersebut. Penilaian gizi sangat penting terhadap pasien yang akan
menjalani pengobatan, karena umumnya malnutrisi akan berhubungan dengan
komplikasi pasca terapi dan kelangsungan hidup. Penelitian yang dilakukan oleh
Mahdavi dkk.,30 mendapatkan adanya perbedaan harapan hidup pada pasien
kanker kepala leher dengan malnutrisi (13,9%) dengan pasien tanpa malnutrisi
(59,5%) sebesar 3,5 tahun. Dalam parameter gizi, albumin dapat menjadi
parameter dari respon terapi maupun angka morbiditas dan mortalitas.
Parameter malnutrisi dapat tercermin dari penurunan berat badan 5-10%.
Pemeriksaan serum protein dapat menjadi informasi tidak langsung mengenai
protein viseral dalam tubuh. Prealbumin dapat menjadi petanda dari protein
viseral sehingga permeriksaan prealbumin merupakan tanda awal dari
ketidakseimbangan protein karena waktu paruh yang pendek yaitu 2 sampai 3
hari.10
2.2.1. Albumin Sebagai Faktor Prognostik
Penelitian menunjukkan bahwa serum albumin merupakan prediktor morbiditas
dan mortalitas, berhubungan dengan lamanya pasien dirawat di rumah sakit dan
ICU, ketergantungan terhadap ventilator dan adanya komplikasi. Terhadap pasien
kanker, albumin dapat menjadi pemeriksaan awal untuk menilai resiko mortalitas
dan kesintasan. Gupta dkk.,9 melakukan studi literatur terhadap 29 pasien kanker
gastrointestinal, 10 pasien paru dan 6 pasien ginekologi, meunjukan bahwa
serum albumin yang rendah menunjukkan rendahnya kesintasan dan kualitas
hidup.
10Indonesia
Universitas
Studi korelasi ..., Prinka Diaz Adyta, FK UI, 2013
18
Penelitian yang dilakukan oleh Andrade dkk.,31 terhadap pasien sarkoma, ukuran
tumor, stadium, status performans dan albumin menjadi salah satu faktor
prognostik kesintasan. Pasien dengan albumin < 3,5 g/dL memiliki kesintasan 13
bulan. Lis dkk.,32 meneliti pada kanker payudara serum albumin > 3,5 g/dL dapat
mengurangi resiko mortalitas sebesar 72%. Albumin dapat dipilih menjadi faktor
prognostik karena dapat menggambarkan protein viseral dalam tubuh dan waktu
paruh yang panjang yaitu 21 hari.
2.2.2 Gangguan metabolisme pada kanker
Penyebab perubahan metabolisme pada kanker belum jelas. Namun beberapa
mekanisme yang berperan adalah adanya respon non spesifik terhadap faktorfaktor yang dilepaskan oleh tumor dan respon inflamasi sistemik yang
diperantarai oleh sitokin yang diproduksi oleh makrofag. Sitokin adalah kelompok
soluble glykoprotein dan low molecular weight peptides yang mengatur interaksi
antar sel serta fungsi sel dan jaringan.33-35
Beberapa sitokin yang berperan dalam gangguan metabolisme adalah TNF (tumor
necrosis factor) menekan aktifitas lipoprotein lipase di jaringan lemak, sehingga
menggangu
klirens
trigliserida
dari
plasma
yang
menyebabkan
hipertrigliseridemia. Interleukin-1 (IL-1), TNF, leukimia inhibitory factor (LIF)
menyebabkan anorexia melalui penghambatan neuropeptide Y (NPY). NYP
adalah suatu potent feeding stimulatory peptide yang diaktivasi oleh penurunan
kadar leptin. Leptin mengontrol asupan makanan dan energy expenditure melalui
neuropeptic effector molecules dalam hipotalamus, leptin merangsang jalur
katabolik dan menghambat jalur anabolik.42 TNF-1, IL-1 dan LIF meningkatkan
kadar leptin dan menyebabkan anorexia dengan cara mencegah kompensasi
normal terhadap penurunan asupan makanan.33-35
Lipid mobilizing factor menyebabkan lipolisis dan menurunkan berat badan.
Proteolysis inducing factor (PIF) menyebabkan degradasi protein pada otot
skeletal melalui peningaturan ubiquitin proteasome proteolytic, menurunkan
sintesis dan meningkatkan sitokin dan acute phase protein.
10Indonesia
Universitas
Studi korelasi ..., Prinka Diaz Adyta, FK UI, 2013
19
Gambar 2.3 Gangguan metabolisme kanker45
Pada respon inflamasi sistemik terjadilah pelepasan proinflamatory sitokin,
growth factor yang mempunyai efek katabolik terhadap host. Interleukin 6 yang
diproduksi oleh tumor atau jaringan sekitar, menstimulasi produksi C-reactive
protein (CRP)dan fibrinogen. Penurunan konsentrasi serum albumin dikarenakan
oleh produksi sitokin yaitu IL 6 . Tumor necrosis factor (TNF) meningkatkan
permeabilitas dari pembuluh darah menyebabkan terlewatinya albumin dalam
transcapillary.42-46
2.2.3 Pengaruh albumin terhadap kesintasan
Pada kanker nasofaring sering terjadi mukositis dan sulit menelan sehingga
asupan nutrisi menjadi kurang dan berakibat kepada penurunan berat badan .
Capuano dkk.,6 dalam penelitiannya mendapatkan 47 orang pasien kanker kepala
leher khususnya nasofaring yang menjalani kemoradiasi mengalami kehilangan
berat badan 10% dari berat badan sebelum terapi (p≤0,001).
Penelitian yang dilakukan oleh Jager dkk.,36 mendapatkan 19% dari kanker
orofaring, kanker rongga mulut, KNF dan hipofaring mengalami critical weight
loss. Brady dkk.,37 pada tahun 2007 melakukan penelitian terhadap pasien kanker
kepala dan leher, selama dilakukan radioterapi juga ditemukan terjadinya
kehilangan berat badan.
10Indonesia
Universitas
Studi korelasi ..., Prinka Diaz Adyta, FK UI, 2013
20
Medow dkk.,12 melakukan penelitian pada pasien kanker kepala dan leher
mendapatkan adanya kadar albumin serum < 3,85 g/dL mempunyai kesintasan
440 hari, kadar albumin ≥ 3,85 g/dL mempunyai kesintasan 625 hari (95%
interval kepercayaan, 536-1032 hari). Selain dari kanker kepala leher, Andrade
dkk.,31 mendapatkan 61 pasien dengan sarcoma jaringan lunak, kadar serum
albumin < 3,5 g/dL (p=0,03), median follow up 20 bulan, mempunyai angka
kesintasan lima dan sepuluh tahun sebesar 54% dan 46% sedangkan kadar
albumin ≥ 3,5 g/dL mempunyai kesintasan lima dan sepuluh tahun sebesar 60%
dan 55%.
Penelitian Feliu dkk.,38 melakukan studi retrospektif terhadap 292 pasien non
small cell lung cancer dan median dollow up 6 bulan, mendapatkan kesintasan 9
bulan apabila albumin > 4 g/dl.
2.3 Peran Albumin sebagai antioksidan
Albumin adalah ekstraselular kompartmen dari grup sulphydryl yang ditemukan
pada kelompok sistein. Grup sulphydryl membentuk suatu gugus yang dinamakan
thiols yang merupakan suatu radikal bebas terutama pada kelompok hydrogen
peroksida (H2O2.) H2O2 dibentuk dari reduksi langsung molekul oksigen yang
dikatalisis oleh superoxide dismutase (SOD). Albumin dapat mengikat ROS
dengan berikatan dengan cu2+. Ion cu2+ ini diketahui dapat mempercepat produksi
radikal bebas. Albumin sebagai antioksidan dapat mempengaruhi keseimbangan
redox.11
Stess oksidatif yaitu kondisi dimana mekanisme pertahanan selular antioksidan
tidak berfungsi untuk menonaktifkan ROS, sehingga ROS diproduksi terus
menerus. Produksi ROS yang berlebihan dapat merusak lipid, protein, karbohirat
dan asam nucleus, sehingga dapat mempengaruhi fungsi viabilitas sel.39
10Indonesia
Universitas
Studi korelasi ..., Prinka Diaz Adyta, FK UI, 2013
21
Albumin secara langsung dan tidak langsung dapat merespons stress oksidatif
dengan 2 cara, yaitu: 46
1
Secara langsung, berikatan dengan interstisial matrix dan subendotelial
sel, dengan mengubah permeabilitas sel menjadi molekul yang besar
dan soluble
2
Secara tidak langsung, berikatan dengan asam arachidonat (AA),
sehingga meningkatkan permeabilitas kapiler.
Gambar 2.4 Albumin dan antioksidan11
2.4 Hipoksia tumor
Pertumbuhan dan proliferasi sel membutuhkan suplai oksigen, salah satu kondisi
dimana suplai oksigen tidak memenuhi kebutuhan disebut sebagai hipoksia.
Hipoksia terjadi apabila tekanan oksigen intraseluler < 20 mmHg.47 Salah satu
penyebab timbulnya hipoksia sel dan jaringan tumor yaitu pertumbuhan tumor
tidak dapat diimbangi oleh pertumbuhan pembuluh darah sehingga terjadi
kekurangan suplai oksigen ke dalam sel tumor terutama daerah sentral. Terdapat
dua cara pengukuran hipoksia, yaitu pengukuran langsung menggunakan
mikroelektroda Eppendorf dengan menggunakan jarum-jarum yang ditusukkan
langsung intratumor. Secara tidak langsung dengan cara penanda hipoksia.47-48
10Indonesia
Universitas
Studi korelasi ..., Prinka Diaz Adyta, FK UI, 2013
22
Penanda hipoksia yaitu penanda eksogen dan endogen. Pimonidazol merupakan
penanda hipoksia eksogen sedangkan HIF-1, CA 9, GLUT dan VEGF merupakan
penanda hipoksia endogen.48
Mekanisme
hipoksia
dalam
mempengaruhi
angiogenesis
yaitu
dengan
terangsangnya regulator kunci terhadap respon hipoksia, yaitu hipoxia inducible
factor 1 (HIF 1) yang juga merangsang proliferasi sel. HIF 1 merupakan protein
DNA heterodimer yang terdiri dari HIF 1α yang ekspresinya diinduksi oleh
hipoksia dan HIF 1 β yang ekspresinya tidak tergantung hipoksia. Akumulasi HIF
1 α dalam keadaan hipoksia akan cepat didegradasi dalam keadaan normoksia
melalui aktivasi prolyl hidroxilase yang akan mengikat protein VHL. Dalam
keadaan hipoksia HIF 1 α akan menuju ke nukleus dengan HIF 1 β dari gen
regulator hipoksia antara lain vascular endotelial growth factor (VEGF), CA 9,
dan glut 1. HIF 1 α akan menginduksi VEGF dan menyebabkan angiogenesis.14
Interpretasi HIF 1 α pada KNF menurut penelitian Hui dkk.,49 yaitu mengambil
nilai cutt off 5%, sehingga sel yang positif <5% dikategorikan sebagai rendah dan
>5% dikategorikan sebagai tinggi. Sedangkan penelitian HIF 1 α pada kanker
payudara menggunakan nilai cut off 10%.
2.4.1 Pengaruh hemoglobin terhadap respon radiasi
Hemoglobin (Hb) adalah pembawa oksigen ke seluruh tubuh juga kepada sel
tumor. Berkurangnya hemoglobin dapat menyebabkan menurunnya oksigen di
darah dan menyebabkan hipoksia, yang akan berdampak pada efektifitas
radioterapi. Anemia tidak hanya dapat mempengaruhi kualitas hidup penderita
kanker tetapi berdampak kepada kesintasan. Kesintasan lokoregional dalam lima
tahun KNF dengan anemia sebelum radiasi yaitu 60,9% dibandingkan dengan
tidak anemia 63,9%.50
Pengaruh penurunan Hb terhadap efektifitas radiasi yaitu terjadinya hipoksia yang
akan meningkatkan radioresistan dan progesifitas sel tumor. Hipoksia sel tumor
akan menginduksi HIF 1 melalui hypoxia responsive elements dari gen regulator
hipoksia antara lain VEGF, p53 , EPO sehingga meningkatkan agresifitas tumor.51
10Indonesia
Universitas
Studi korelasi ..., Prinka Diaz Adyta, FK UI, 2013
23
2.4.2 Pengaruh Hipoksia terhadap respon radiasi
Radioterapi merupakan salah satu contoh pengobatan anti kanker yang bergantung
pada ROS. Radiasi pengion menghancurkan sel dengan efek langsung dengan
target DNA strand break dan efek tidak langsung dengan hirolisis air yang
dimediasi oleh ROS. Pemberian dosis radiasi terbagi (fraksinasi) dimaksudkan
untuk reoksigenasi sel tumor sehingga lebih responsif.52-54
Mekanisme kematian sel tidak langsung akibat radiasi yang terbanyak adalah
melalui proses kematian tidak langsung, yaitu pembentukan radikal bebas, maka
oksigen penting untuk keberhasilan terapi. Oxygen enhancement ratio yaitu rasio
dosis antara jaringan hipoksia dan jaringan tidak hipoksia. Dalam keadaan
hipoksia diperlukan dosis radiasi 2,8-3 kali lebih tinggi dibandingkan keadaan
tidak hipoksia.52-54
10Indonesia
Universitas
Studi korelasi ..., Prinka Diaz Adyta, FK UI, 2013
24
2.5 Kerangka teori
KNF
Radiasi
Mitotic catasstrophe
Anorexiakaheksia
Pelepasan
sitokin IL 1,
IL 6, TNF-α
Nekrosis
Autophagy
DNA Double
Strand Break
Senescence
Peningkatan
lipolysis dengan
lipid mobilizing
factor
Permeability
transition
pore
Degradasi
protein melalui
proteolysis
inducing factor
Efek tidak
langsung
Efek langsung
Hidrolisis air
oleh ROS
↑ Hypoxia
Inducible Factor
1α
↑oksidatif stress (ROS).
superoxide dismutase (SOD)
Hidrogen peroksida (H2O2)
Terganggunya permeabilitas
membrane mitokondria


Voltage
Anion
Channel
STATUS NUTRISI
- Asupan
- Body Mass Index
Albumin
(thiols) 
menghambat
H 2O 2
Aktifnya molekul
proapoptosis Bcl2,
Bax,Bah
Cytochrome C
Smac/
Diablo
Caspase
dependent
pathway
\
Ruang
lingkup
penelitian
Apoptosis
Studi korelasi ..., Prinka Diaz Adyta, FK UI, 2013
Apoptosis
inducing
factor
↑ Respon Radiasi
Universitas Indonesia
25
2.6 Kerangka Konsep
Kadar albumin
praradiasi
KNF
3
Hipoksia
(HIF 1 α)
Karakteristik pasien:
- Umur
- Jenis kelamin
- Stadium
- Jenis histopatologi
- Differensiasi sel
RADIASI
1
2
RESPON
RADIASI
Hipotesis 1
1
2
Hipotesis 2
3
Hipotesis 3
Universitas Indonesia
Studi korelasi ..., Prinka Diaz Adyta, FK UI, 2013
26
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Desain Penelitian
Penelitian ini merupakan studi retrospektif cohort menggunakan data sekunder
dari rekam medis.
3.2 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di Departemen Radioterapi dan Departemen Patologi
Anatomi RSCM selama sembilan bulan mulai dari bulan Desember 2012 sampai
dengan Agustus 2013.
3.3 Populasi Penelitian
Populasi target adalah semua pasien KNF stadium lanjut. Populasi terjangkau
adalah semua pasien KNF yang berobat dan atau mendapatkan terapi radiasi di
Departemen Radioterapi RSCM mulai bulan Desember 2012 yang memenuhi
kriteria.
3.4 Cara Pemilihan Sampel
Sampel dikumpulkan dengan cara konsekutif sampling, dimana setiap sampel
yang sudah memenuhi kriteria inklusi diikutsertakan dalam penelitian sampai
besar sampel terpenuhi.
3.5 Besar sampel
Besar sampel dihitung dengan rumus uji hipotesis terhadap 2 proporsi:
n1=n2= ( Zα √ 2 p q+ z β√ p1Q1 + P2 Q2)
2
(p1 - p2)
2
26Indonesia
Universitas
Studi korelasi ..., Prinka Diaz Adyta, FK UI, 2013
27
Zα adalah deviat baku normal untuk α, nilainya 1,96.
Zβ adalah deviat baku normal untuk β, nilainya 0,824.
α adalah besarnya kesalahan tipe I (besarnya peluang untuk menolak H0 pada
sampel padahal dalam populasi H0 benar.
β adalah kesalahan tipe II (besarnya peluang untuk tidak menolak H0 yang
sebenarnya harus ditolak)
α = 56  Zα = 1,96
β = 206  Zβ = 0,842
P1 = 20% (kelompok albumin < 3,85 g/dL, asumsi respon tumor sebesar 20%)
P2 =75% (kelompok albumin > 3,85 g/dL, asumsi respon tumor sebesar 75%)
Q1= 80%
Q2= 25%
P= 1/2P1+1/2P2 = 20+75 = 47,4  Q = 52,5
2
Dari rumus besar sampel diatas didapatkan:
n1=n2= ( 1,96 √ 2 (47,4)(52,5)+ 0,842√ (20)(80) + (75)(25)2
(20 - 75)2
n1 = n2 = 16.
Perkiraan drop out sebesar 20%.
Dengan power penelitian 80%dan interval kepercayaan 95%, maka jumlah sampel
minimal yang dibutuhkan adalah 20 sampel untuk masing masing kelompok.
3.6 Kriteria Inklusi dan Eksklusi
3.6.1 Kriteria Inklusi
KNF stadium lanjut lokal (Stadium III dan IVA-B)
Tidak ada riwayat radiasi sebelumnya
Karnofsky performance score (KPS) > 70
Memiliki kadar albumin praradiasi
Pemeriksaan kadar albumin darah dilakukan tidak lebih dari 21 hari
sebelum radiasi dimulai
Memiliki CT scan sebelum dan sesudah radiasi
26Indonesia
Universitas
Studi korelasi ..., Prinka Diaz Adyta, FK UI, 2013
28
3.6.2 Kriteria Eksklusi
Pasien yang tidak menyelesaikan radiasi
Terdapat penyakit hepar dan ginjal
3.7 Cara kerja
1. Dilakukan pengumpulan data rekam medik pasien KNF stadium lokal
lanjut yang berobat di Departemen Radioterapi RSUPN Dr. Cipto
mangunkusumo yang memenuhi kriteria inklusi.
2. Dilakukan pencatatan kadar
albumin praradiasi dan berat badan
perminggu dari rekam medis
3. Dilakukan pencatatan ukuran tumor diameter terbesar berdasarkan CT
scan sebelum radiasi dan 1 bulan pasca radiasi untuk melihat respon tumor
berdasarkan kriteria Recist.
4.
Dari blok parafin biopsi tumor, dilakukan analisa ekspresi HIF 1 α
sebagai petanda hipoksia dengan teknik immunoperoksidase di bagian
patologi anatomi.
5. Dilakukan analisis korelasi antara albumin praradiasi dengan hipoksia
terhadap respon tumor.
3.7.1
Pemeriksaan HIF 1 α dengan teknik immunoperoksidase
Tehnik pemeriksaan
1. Dilakukan pemotongan jaringan dengan mikrotom setebal 4 mikron dan
diletakkan pada kaca benda yang sudah dilapisi oleh poly L lysine,
kemudian keringkan 37 derajat celcius dan panaskan diatas slide warmer
60 derajat celcius selama 30 menit.
2. Dilakukan deparafinisasi dengan xylol bertingkat (xylol I,II, III) dalam
waktu 5 menit.
3. Dilakukan rehidrasi dengan alkohol Abs, alkohol 96% dan alkohol 80%
dalam waktu 4 menit, kemudian cuci dengan air mengalir dalam waktu 5
menit.
26Indonesia
Universitas
Studi korelasi ..., Prinka Diaz Adyta, FK UI, 2013
29
4. Setelah itu dilakukan blocking peroksida endogen menggunakan H2O2
dalam methanol 0.5% dalam waktu 30 menit, kemudian cuci dengan air
mengalir dalam waktu 5 menit.
5. Dilakukan pretreatment dengan TE (Tris EDTA) pada microwave; cook
I,power level 8 5 menit, cook II, power level I 5 menit. Kemudian
dinginkan 45 menit
6. Setelah itu cuci dalam PBS pH 7.4
7. Dilakukan blocking protein non-spesifik dengan
background sniper
selama 5 menit
8. Inkubasi specimen dengan antibodi primer antibodi HIF 1α (Biocare
Medicine) dengan konsentrasi 1/300 selama satu malam. Keesokan
harinya, cuci dalam larutan PBS pH 7.4 selama 5 menit
9. Inkubasi specimen dengan antibodi sekunder biotinylated (universal link)
selama 15 menit. Rendam kembali kaca benda dalam PBS pH 7.4 selama 5
menit.
10. Setelah itu inkubasi specimen dengan trekavidin –HRP label selama 15
menit. kemudian cuci dalam PBS pH 7.4 selama 5 menit
11. Campur 1 tetes diaminobenze (DAB) selama 2-5 menit, kemnudian cuci
dengan air mengalir selama 10 menit
12. Dilakukan counterstain dengan hematoxylin selama 1-2 menit. Cuci
dengan air mengalir 5 menit. Rendam dalam lithium carbonat selama 1
menit. Cuci kembali dalam air selama 3 menit
13. Dilakukan dehiudrasi dengan alkohol bertingkat (80%, 96%, absolut)
masing-masing 5 menit dan clearing dengan xylol bertingkat (xylol I,II,
III) masing-masing 5 menit sebelum ditutup dengan mounting solution dan
coverslip.
14. Kontrol positif dan negatif diikutsertakan setiap kali melakukan pulasan.
15. Dilakukan pengambilan foto slide pada pembesaran 400x.
26Indonesia
Universitas
Studi korelasi ..., Prinka Diaz Adyta, FK UI, 2013
30
3.7.2 Penilaian ekspresi pulasan HIF 1 α
Penilaian ekspresi HIF 1 α dilakukan pada massa tumor dengan perhitungan
manual per 10 lapang pandang besar. Kemudian dilakukan grading dengan nilai
cut off 5%, yaitu dikategorikan rendah jika < 5% dan tinggi jika > 5%. Setelah itu
dilakukan perhitungan persentase sel yang positif.
3.8 Variabel penelitian
Variabel bebas: kadar albumin praradiasi dan hipoksia
Variabel terikat: respon radiasi
3.9 Analisa data
Data yang diperoleh diedit, dikoding dan dimasukkan ke dalam komputer
menggunakan program SPSS for windows 16.0. Analisa deskriptif untuk melihat
karakteristik pasien berupa distribusi frekuensi. Uji hipotesis bivariat digunakan
untuk melihat hubungan kadar albumin praradiasi terhadap respon radiasi dengan
menggunakan uji Fisher. Korelasi kadar albumin dan hipoksia menggunakan uji
pearson. Uji Fisher merupakan uji non parametrik, digunakan untuk variabel
kategorik. Batas kemaknaan yang digunakan adalah 0,05, sehingga jika nilai
p≤0,05 maka terdapat perbedaan yang bermakna secara statistik.
26Indonesia
Universitas
Studi korelasi ..., Prinka Diaz Adyta, FK UI, 2013
31
3.10 Alur Penelitian
Rekam medis Pasien
dengan diagnosa KNF
stadium lokal lanjut
Kriteria
eksklusi
Kriteria inklusi
Mencatat:
- Albumin
praradiasi
- Berat badan
- CT scan pre
dan post radiasi
Analisa HIF 1 α
dengan blok parafin
- Pulasan IHK
- Pemotretan
dengan
magnifikasi 400x
-Hitung sel per 10
lapang pandang
besar
-
Respon
radiasi
(Recist)
Analisa data
26Indonesia
Universitas
Studi korelasi ..., Prinka Diaz Adyta, FK UI, 2013
32
3.11 Definisi Operasional
KNF stadium
lanjut
Adalah KNF stadium lokal lanjut sesuai TNM AJCC edisi
ke 7 tahun 2010 yaitu:
Stadium III (T1-3 N0-2 M0)
Stadium IVA (T4 N0-2 M0)
Stadium IV B (T1-4 N3 M0)
Indeks massa
tubuh
Dinyatakan dari perhitungan berat badan (kg) dibagi
dengan tinggi badan ( meter) kuadrat. Overweight bila IMT
>25 kg/m2. Normoweight bila IMT 18-25 kg/m2.
Albumin
Adalah pemeriksaan kadar serum albumin darah sebelum
praradiasi
radiasi dengan waktu paruh 21 hari. Nilai cut off yang
dipakai adalah < 3,5g/dL dan ≥3,5 g/dL.
HIF 1
Adalah faktor transkripsi gen yang terinduksi karena
hipoksia (marker hipoksia).Penilaian ekspresi HIF 1 α
dilakukan dari spesimen blok parafin tumor dengan teknik
pemeriksaan immunohistokimia. Interpretasi HIF 1α
adalah jumlah sel yang positif hipoksia per 10 lapang
pandang besar, dengan nilai cut off 5%. Dikategorikan
tinggi jika persentase sel yang positif >5% dan rendah jika
< 5%.
Respon radiasi Adalah perbandingan ukuran tumor primer dengan
menggunakan CT scan sebelum dan 1 bulan sesudah
radiasi
sesuai
dengan
kriteria
Recist.
Hasil
ukur
primer
menghilang
berdasarkan kriteria Recist yaitu:
Respons
komplit:
bila
tumor
seluruhnya setelah radiasi komplit.
Respons parsial : tumor primer berkurang ≥30% pada
diameter terbesarnya setelah radiasi komplit, masih
terdapat penebalan pada lesi.
26Indonesia
Universitas
Studi korelasi ..., Prinka Diaz Adyta, FK UI, 2013
33
Penyakit menetap: tidak terdapat perubahan ukuran tumor
primer sebelum dan sesudah radiasi
Progresif penyakit : tumor primer berkurang ≥ 20% atau
meluas setelah radiasi.
Tidak
menyelesaikan
dan tidak kembali menyelesaikan radiasi.
radiasi
Respon lokal
dan respon
regional
Apabila terdapat gap panjang selama radiasi berlangsung
Adalah respon tumor di nasofaring. Respon regional
adalah respon kelenjar getah bening leher yang potensial
terjadi penyebaran KNF.
26Indonesia
Universitas
Studi korelasi ..., Prinka Diaz Adyta, FK UI, 2013
34
BAB IV
HASIL PENELITIAN
Sejak Desember 2012 sampai dengan Agustus 2013 didapatkan 40 pasien kanker
nasofaring yang berobat di Departemen Radioterapi RSCM yang memenuhi
kriteria inklusi menjadi subyek dan masuk dalam penelitian. Karakteristik pasien
disajikan pada tabel 4.1. Didapatkan bahwa sebanyak 28 (70%) pasien berjenis
kelamin laki-laki, dan 12 (30%) wanita. Dari kelompok usia, kelompok usia 40-50
tahun adalah yang terbanyak yaitu 19 (47,5%) pasien.
Dari penyebaran tumor (T), kelompok T4 adalah yang terbanyak yaitu 23
(57,5%), 17 (42,5%) sisanya adalah T3. Dilihat dari keterlibatan kelenjar getah
bening (N), ditemukan kelompok N1 mempunyai jumlah yang sama dengan
kelompok N3 yaitu sebanyak 13 (32,5%) pasien, diikuti oleh kelompok N2
sebanyak 10 (25%) dan N0 sebanyak 4 (10%).
Tigapuluh satu (77,5%) pasien berada dalam stadium IV dengan sebaran stadium
IVA 18 (45%) merupakan kelompok terbanyak, sisanya adalah stadium IVB 13
(32,5%) dan 9 (22,5%) pasien berada dalam stadium III. Tipe histopatologi
tersering adalah WHO tipe III yaitu 85% sisanya merupakan tipe WHO II yaitu 6
(15%). Jenis sel tumor dengan diferensiasi baik ditemukan pada 29 pasien
(72,5%) dan sisanya 11 (27,5%) adalah berdiferensiasi buruk.
Dilihat dari status gizi, 30 (75%) pasien mempunyai indeks massa tubuh >25
kg/m2 (overweight) dan hanya 10 (25%) pasien mempunyai berat badan normal
18-25 kg/m2 (normoweight).
26Indonesia
Universitas
Studi korelasi ..., Prinka Diaz Adyta, FK UI, 2013
35
Tabel 4.1 karakteristik pasien
pasien
Jenis kelamin
Laki
Wanita
Umur
< 40 tahun
40-50 tahun
> 50 tahun
Berat badan
40-50 kg
50-60 kg
> 60 kg
Indeks massa tubuh
18-25 kg/m2
>25 kg/m2
Albumin praradiasi
< 3,5%
≥ 3,5%
Perluasan tumor
T3
T4
Kelenjar getah bening
N0
N1
N2
N3
Stadium
III
IV A
IV B
Histopatologi
WHO tipe II
WHO Tipe III
Differensiasi
Baik
Buruk
Respon
Parsial
Komplit
mean
40
%
28
12
70
30
11
19
10
27,5
47,5
25
13
12
15
32,5
30
37,5
10
20
25
75
11
29
27,5%
72,5%
17
23
42,5
57,5
4
13
10
13
10
32,5
25
32,5
9
18
13
22,5
45
32,5
6
34
15
85
29
11
72,5
27,5
31
9
77,5
22,5
17
3
85
15
median
45 (20-64)
57,8
29,1
3,9
11,4
6
0,5
HIF-1 α (n=20)
>5%
< 5%
24,7 (1-100)
26Indonesia
Universitas
Studi korelasi ..., Prinka Diaz Adyta, FK UI, 2013
36
Sebagai batasan kadar albumin normal adalah ≥ 3,5 g/dl. Pada penelitian ini
ditemukan kelompok pasien dengan kadar albumin praradiasi normal sebanyak 29
(72,5%) dan hanya 11 (27,5%) berada dibawah kadar normal.
Terdapat 20 sampel blok parafin yang memadai untuk diperiksa HIF-1 α sebagai
marker hipoksia dengan menggunakan teknik immunohistokimia. Didapatkan
85% memiliki HIF-1
yang tinggi (≥ 5%) dan hanya 15% yang memiliki HIF-1
Persentase
rendah (< 5%) seperti yang terlihat pada gambar 4.1.
90
80
70
60
50
40
30
20
10
0
>5%
< 5%
HIF-1α
Gambar 4.1. Bar diagram distribusi HIF-1α (n=20). Hipoksia tinggi bila HIF-1
≥ 5%, Hipoksia rendah bila HIF-1 < 5%
Seluruh pasien mendapatkan radiasi lengkap lokoregional, dengan dosis 70 Gy
Gambar 4.2 memperlihatkan diagram respon tumor komplit pada 31 (77,5%)
pasien dan respon komplit 9 (22,5%) pasien.
26Indonesia
Universitas
Studi korelasi ..., Prinka Diaz Adyta, FK UI, 2013
Persentase
37
90
80
70
60
50
40
30
20
10
0
Parsial
komplit
Respon
Gambar 4.2. Diagram respon tumor
Dari uji Fisher exact didapatkan terdapat hubungan yang bermakna antara kadar
albumin praradiasi terhadap respon radiasi (p <0,05). Hal ini menunjukkan bahwa
kadar albumin praradiasi ≥3,5g/dL pada KNF stadium lokal lanjut dapat
menentukan respon komplit (Tabel 4.2).
Tabel 4.2 Hubungan kadar albumin praradiasi dan respon radiasi (n=20)
Variabel
Kadar albumin praradiasi
<3,5 g/dL
≥3,5 g/dL
*uji Fisher
Respon
Komplit
Parsial
0
6
12
2
p
0,001
Uji Fisher exact menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara
HIF-1α dan respon radiasi (p<0,05).
Hal ini menunjukkan bahwa keadaan
hipoksia pada KNF stadium lokal lanjut membuat respon radiasi menjadi buruk
(Tabel 4.3).
26Indonesia
Universitas
Studi korelasi ..., Prinka Diaz Adyta, FK UI, 2013
38
Tabel 4.3 Hubungan antara respon dan terhadap HIF-1 α (n=20)
Variabel
Respon
Parsial
Komplit
HIF-1 α
Rendah
Tinggi
14
0
0
6
p
0,001
*Uji Fisher
Dari uji T tidak berpasangan didapatkan terdapat hubungan yang bermakna antara
albumin praradiasi dengan HIF-1 α (p<0,05). Hal ini menunjukkan bahwa pada
KNF stadium lokal lanjut kadar albumin <3,5 g/dL berhubungan dengan hipoksia
tinggi dan kadar albumin ≥ 3,5 g/dL berhubungan dengan rendahnya hipoksia
(Tabel 4.4).
Tabel 4.4 Hubungan albumin dan HIF-1 α (n=20)
Variabel
Albumin
<3,5 g/dL
≥ 3,5 g/dL
HIF-1 α
Rendah
Tinggi
14
0
0
6
p
0,000
*Uji T tidak berpasangan
26Indonesia
Universitas
Studi korelasi ..., Prinka Diaz Adyta, FK UI, 2013
39
BAB V
PEMBAHASAN
Malnutrisi merupakan salah satu problem yang sering dijumpai pada pasien
kanker. Berkurangnya asupan makanan per oral dan faktor katabolik yang
dikeluarkan tumor menjadi faktor penyebab terjadinya hal tersebut. Asupan nutrisi
yang kurang pada pasien kanker akan menurunkan sintesa protein yang akan
menurunkan konsentrasi protein serum seperti albumin.
Dalam keadaan normal albumin disintesa 12-25g perhari, diabsorpsi 1 g per hari,
kebutuhan albumin untuk pasien kanker 1,5-2 g/kgbb dengan waktu paruh 21 hari.
Kadar albumin yang rendah disebabkan oleh produksi sitokin IL6 yang dapat
mempengaruhi sintesa albumin pada hepatosit.9
Albumin merupakan ekstraselular kompartmen dari grup sulphydryl yang
ditemukan pada kelompok sistein. Grup sulphydryl membentuk suatu gugus yang
dinamakan thiols yang merupakan suatu radikal bebas . Albumin dapat membatasi
produksi ROS dengan berikatan dengan ion cu2+ bebas. Ion cu 2+ ini diketahui
dapat mempercepat produksi radikal bebas.11
Pada penelitian ini distribusi albumin yaitu sebanyak 72,5% pasien mempunyai
kadar albumin ≥ 3,5 g/dL, sehingga diasumsikan dapat membatasi produksi
radikal bebas endogen yang akan mengurangi HIF-1α sel dan meningkatkan
respon
radiasi. Albumin dalam hubungannya sebagai antioksidan diperlukan
untuk keseimbangan redox pada tingkat seluler. Albumin merupakan cerminan
dari status nutrisi karena pasien kanker terdapat penurunan berat badan yang
signifikan. Asupan peroral dan faktor katabolik yang dikeluarkan oleh tumor
seperti IL1, TNF α akan menyebabkan proteolisis. Terdapat hubungan yang
bermakna antara albumin praradiasi dan respon sehingga kadar albumin≥ 3,5 g/dL
dapat mengurangi hipoksia sel sehingga respon radiasi menjadi baik.
26Indonesia
Universitas
Studi korelasi ..., Prinka Diaz Adyta, FK UI, 2013
40
Di Indonesia belum terdapat penelitian yang menghubungkan albumin sebagai
antioksidan terhadap respon radiasi. Pada penelitian ini nilai cut off albumin yang
dipakai yaitu 3,5 g/dL. Penelitian oleh Andrade dkk.,31 terhadap 61 pasien
sarkoma menyatakan bahwa kadar albumin <3.5 g/dL mempunyai kesintasan 5
tahun yaitu 54% (p=0,03) dengan median follow up 20 bulan. Pada analisa
multivariat albumin dapat digunakan sebagai faktor prognosis dihubungkan
dengan stadium dan histopatologi. Pada penelitian ini belum dapat dinilai
hubungan antara albumin dan kesintasan, sehingga diperlukan follow up lebih
lanjut. Penilaian status nutrisi pada penelitian ini hanya mengambil data berat
badan sebelum radiasi dan tidak mengambil sesudah radiasi, sehingga tidak dapat
diketahui seberapa besar pengurangan berat badan pasien.
Selain kadar albumin, faktor yang dianalisa terhadap respon yaitu HIF-1α.
HIF-1α didefinisikan sebagai keadaan dimana tekanan parsial oksigen intrasel
atau intratumor < 20 mmHg. Hipoksia sel tumor akan menginduksi regulator
kunci yaitu HIF-1α yang mempunyai peran kompleks merangsang angiogenesis,
proliferasi sel dan proses transpor glukosa.14
Dalam keadaan hipoksia HIF-1α akan ditranslokasi kedalam nukleus dalam
bentuk dimer dengan HIF-1β sebagai hypoxia responsive elements dari gen
regulator HIF-1α antara lain VEGF, p53, EPO sehingga meningkatkan
progresifitas tumor.14
Dalam radioterapi respon sel tumor terhadap radiasi sangat bergantung pada
oksigenisasi jaringan dalam tumor, hal ini berkaitan dengan mekanisme kematian
sel akibat radiasi, terutama kematian tidak langsung melalui pembentukan
radiakal bebas. Pemberian dosis radiasi terbagi (fraksinasi ) bertujuan untuk
memberikan waktu pada sel tumor untuk reoksigenisasi, sehingga tumor menjadi
lebih responsif. Respon radiasi dalam penelitian ini berdasarkan kriteria Recist
yaitu pengukuran diameter terpanjang dari tumor primer sebelum dan 1 bulan
sesudah radiasi.
26Indonesia
Universitas
Studi korelasi ..., Prinka Diaz Adyta, FK UI, 2013
41
HIF-1 α dalam penelitian ini dinilai dengan pemeriksaan HIF-1 α melalui metode
imunohistokimia. Nilai cut off yang kami gunakan yaitu 5% sesuai dengan kriteria
Hui dkk.,49 Pada penelitian ini kami menemukan sel HIF-1 α yang kurang, hal ini
disebabkan oleh massa tumor yang tidak adekuat pada saat biopsi sehingga blok
parafin yang dapat dipulas adalah 20 sampel dari 40 blok parafin .
Pada penelitian ini terdapat hubungan yang bermakna antara albumin praradiasi
dan HIF-1 α (p<0,05). Sehingga dapat menjawab pertanyaan penelitian yaitu
kadar albumin yang tinggi dapat mengurangi hipoksia sel sehingga dapat
meningkatkan respon radiasi. Belum terdapat penelitian sebelumnya yang
menghubungkan antara albumin praradiasi dan HIF-1 α sel.
Melihat respon parsial pada penelitian ini yang tinggi perlu dipertimbangkan
pemberian KON sebagai terapi kombinasi dengan kemoradiasi untuk menurunkan
HIF 1 α sel sehingga respon akan meningkat.
Liu dkk59 meneliti 83 pasien KNF lokal lanjut mendapatkan bahwa T4 dan N3
mempunyai tiga tahun angka bebas penyakit sebesar 49% dan 58%. Penelitian
oleh Ohno dkk60 mendapatkan bahwa kesintasan tiga tahun, distance metastasis
free survival dan overall survival untuk T4 yaitu 87%, 73% dan 61%, N2 yaitu
91%, 74% dan 61%.
Pada penelitian ini sebesar 72,5% pasien mempunyai diferensiasi baik. Tumor
dengan berdifferensiasi buruk dan tidak berdiferensiasi mempunyai sifat
radiosensitif dibandingkan dengan differensiasi baik. Oleh karena itu respon
komplit pada penelitian ini hanya 22,5% dibandingkan dengan respon parsial
yaitu 77,5%.
Penelitian oleh Oh dkk.,24 pada 27 pasien KNF stadium lanjut yaitu III dan IV
pemberian kemoterapi neoajuvan dan dilanjutkan dengan kemoradiasi konkuren
mempunyai respon komplit sebesar 54,2% dan respon parsial sebesar 45,8%
dengan angka kesintasan tiga dan lima tahun yaitu 88% dan 77%. Sedangkan pada
26Indonesia
Universitas
Studi korelasi ..., Prinka Diaz Adyta, FK UI, 2013
42
penelitian ini hanya 30% pasien mendapatkan kemoterapi neoajuvan dan 77,5%
pasien mempunyai respon parsial.
Penelitian ini bersifat retrospektif dengan menggunakan data sekunder maka
keterbatasan pada penelitian ini yaitu hanya 20 dari 40 blok parafin yang dapat
dipulas yang disebabkan oleh kurangnya massa tumor, potongan yang tipis dari
massa tumor dan blok tidak ditemukan.
26Indonesia
Universitas
Studi korelasi ..., Prinka Diaz Adyta, FK UI, 2013
43
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
1. Gambaran kadar albumin praradiasi yaitu 27,5% pasien dengan kadar
albumin < 3,5g/dL dan 72,5% pasien dengan ≥ 3,5 g/dL.
2. Pada penelitian ini gambaran derajat hipoksia pada KNF stadium lanjut
lokal yaitu 17 (85%) pasien hipoksia tinggi dan 3 (15%) pasien hipoksia
rendah.
3. Terdapat hubungan yang bermakna antara kadar albumin praradiasi
terhadap respon radiasi pada KNF stadium lanjut lokal.
4. Terdapat hubungan yang bermakna antara hipoksia dan respon radiasi
pada KNF stadium lanjut lokal sehingga semakin tinggi HIF-1 α respon
radiasi akan semakin buruk.
5. Terdapat hubungan yang bermakna antara kadar albumin praradiasi dan
hipoksia sehingga kadar albumin yang tinggi akan mengurangi hipoksia
sel.
6.2 Saran
1. Untuk meningkatkan respon radiasi pada KNF stadium lanjut
dilakukan evaluasi status gizi sebelum terapi.
2. Untuk mengatasi hipoksia dilakukan oksigenisasi tumor.
3. Perlu dilanjutkan penelitian prospektif dengan jumlah sampel yang
besar untuk mengetahui korelasi albumin praradiasi dan hipoksia
terhadap respon radiasi.
26Indonesia
Universitas
Studi korelasi ..., Prinka Diaz Adyta, FK UI, 2013
44
DAFTAR PUSTAKA
1. Adham M, kurniawan AN, Muhtadi AI, Roezin A, Hermani B,
Gondhowiardjo S, Tan BT, Middeldorp JM. Nasopharyngeal carcinoma in
Indonesia: epidemiology, incidence, signs and symptoms at presentation.
Chinese Journal of Cancer. 2012; 31 (4): 185-196.
2. Lin JC, Jan JC. Locally advanced nasopharyngeal cancer: Long term
outcomes of radiation theraphy. Radiology. 1999; 211: 513-518.
3. Platek ME, Reid ME. Pretreatment nutritional status and locoregional
failure in patient with head and neck cancer undergoing definitive
concurrent chemoradiation theraphy. Head and neck. 2011; 1561-1567.
4. Yuliasti R. Profil kanker nasofaring yang mendapat terapi radiasi dan atau
kombinasi di Departemen Radioterapi RSCM Januari 2007- Desember
2011 dengan tinjauan khusus pada kesintasan. Tesis. 2012.
5. Rahajeng N. Respon radiasi pada karsinoma nasofaring stadium lokal
lanjut di Departemen Radioterapi Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo.
Tesis. 2012.
6. Capuano G, Grosso A. Influenced of Weight Loss on Outcomes in Patients
with
Head
and
Neck
Cancer
undergoing
Concomitant
Chemoradiotheraphy. Head and Neck. 2008; 30: 503-508.
7. Roezin A. Gangguan Nutrisi Penderita Kanker Kepala Leher. Majalah
Kedokteran Indonesia. 2001;51: p143-148.
8. Nitenberg G, Raynard B. Nutritional support of the cancer patient: issues
and dilemmas. Critical review in oncology and hematology. 2000; 34:
137-168.
9. Gupta G, Lis CG. Pretreatment Albumin as a predictor of cancer Survival:
A Systematic Review of the Epidemiological Literature.Nutritional
Journal. 2010; 9: 1-16.
10. Unal D, Orhan O, Eroglu C, Kaplan B. Prealbumin is more sensitive
marker than albumin to assess the nutritional status in patients undergoing
radiotheraphy for head and neck cancer. Wspolczesna oncol.2013; 17 (3):
276-280.
26Indonesia
Universitas
Studi korelasi ..., Prinka Diaz Adyta, FK UI, 2013
45
11. Evans TW. Albumin as a drug- Biological Effects of Albumin Unrelated
to Oncotic Pressure. Aliment pharmacol Ther. 2002; 16 (5): 6-11.
12. Medow MA, Weed HG, Schuller DE. Simple predictor of survival in head
and neck squamous cell carcinoma. Arch otolaryngol head and neck surg.
2002; 128:1282-1286.
13. Dixon MR, Haukoos JS, Udani SM. Carcinoembryonic antigen and
albumin predict survival in patient with advanced colon and rectal cancer.
Arch surg. 2003; 138: 962-966.
14. Vaupel P. The Role of Hypoxia-Induced Factors in Tumor Progression.
The Oncologist. 2004; 9 (5): 10-17.
15. Galanis A, Pappa A, Giannakakis A. Reactive oxygen species and HIF 1
Signaling in Cancer. Cancer Letters. 2008; 266: 12-20.
16. Jeyakumar A, Brickman TM, Jeyakumar A, Doerr T. Review of
nasopharyngeal carcinoma. ENT-Ear, Nose and Throat Journal. 2006;
85(3): 168-173.
17. Peters L J, Rischin D, Corry J, Harari PM. Cancer of Nasopharynx. In:
Louis BH, Roy BS, Hong, Waun Ki, Merrill S, Jesus E, William M,
Suresh KM, O’Malley BB, Wenig BM eds. Head and Neck Cancer. A
multidisciplinary approach, 2nd eds. Lippincott Williams & Wilkins New
York; 2004.p529-559.
18. Le QT, Lu JJ. Molecular Signaling Pathways in Nasopharyngeal cancer.
In: J.Lu. J, Cooper JS, Lee AMW eds. Nasopharyngeal cancer:
Multidisiplinary management. Berlin: Springer; 2010. p 27-40.
19. Perez CA. Nasopharynx in Principle and Practice of Radiation Oncology ,
Perez-Brady eds, 5th ed. Lippincott-Raven, Philadelphia; 2008. p 897-940.
20. Hsu HC, Chen CL, Hsu MM, Lynn TC, Tu SM, Huang SC. Pathology of
Nasopharyngeal Carcinoma, Proposal of a New Histologic Classification
Correlated with prognosis. Cancer. 1987; 59: 945-951.
21. Chan JKC, Bray F, Mccarron P. Nasopharynx. In: Barnes L, Eveson JW,
Reichart P eds. WHO Pathology and Genetics of Head and Neck Tumour.
Lyon: IARC Press; 2005. p 86-89.
26Indonesia
Universitas
Studi korelasi ..., Prinka Diaz Adyta, FK UI, 2013
46
22. Baumann M, Krause M. Tumor’s biology impact on clinical cure rate. In
Molls M, Vaupel P eds. Tumour biology on cancer treatment and
multidisciplinary strategies.Springer-Verlag; 2009. p 326-327.
23. National
Comphrehensive
Cancer
Care
Guidelines,
Cancer
of
Nasopharynx, 2012, p 1-5.
24. Wei WI, Sham JST. Nasopharyngeal carcinoma..Lancet .2005; 365: 20412054.
25. Aldestein DJ, Tan EH. Treatment of head and neck: role of
chemotheraphy. Critical review oncology hematology. 1996; 24:97-116.
26. Sumitsawan Y, Chaiyasate S, et al. Late Complications of Radiotheraphy
for Nasopharyngeal Carcinoma. Auris Nasus Larynx. 2009; 36: 205-209.
27. Dechaphunkul T, Pruegsanusak K. Concurrent chemoradiotheraphy with
carboplatin followed by carboplatin and 5-fluorouracil on locally advanced
nasopharyngeal carcinoma. Head and neck oncology. 2011; 3: 30-35.
28. Nishino M, Jagannathan JP, Ramaiya NH. Revised Recist Guideline
Version 1.1: What Oncologist Want to Know and What Radiologist Need
to Know. American Roentgen Ray Society. 2010; 195: 281-289.
29. Barret A, Dobbs J, Morris S. Principles of Radiotheraphy Planning. In:
Barret A, Dobbs J, Morris S eds. Practical Radiotheraphy Planning. 4th
eds. London Hodder Arnogld; 2009. p 9-16.
30. Mahdavi R, Elnaz F, Zadeh M. Consequences of Radiotheraphy on
Nutritional Status, Serum Zinc and Copper Levels in Patient with
Gastrointestinal Tract and head and Neck Cancer. Saudi Med J. 2007;
28(3): 435-440.
31. Andrade JCB, Franco HM. Serum Albumin Is An Independent Prognostic
Factor For Survival In Soft Tissue Sarcomas. Rev Invest clin. 2009; 61
(3): 199-204.
32. Lis, CG, Grustch JF, Vashi PG. Is Serum Albumin Is An Independent
Predictor of Breast cancer?. Journal of Enteral and Parenteral Nutrition.
2003; 27: 10-15.
33. Response of albumin Synthesis to Oral Nutrients in Young and Elderly
Subjects. American Journal of Clinical Nutrition. 2007; 85: 446-251.
26Indonesia
Universitas
Studi korelasi ..., Prinka Diaz Adyta, FK UI, 2013
47
34. Mason, Pam. Anorexia –Cahexia The Condition and Its Cause. Hospital
Pharmacist. 2007; 14: 249-253.
35. Nicholson JP, Wolmarans MR, Park GR. The role of albumin in critical
illness. British journal of anaesthesia. 2000; 85 (4): 599-610.
36. Jager, H., et al. Critical weight loss in Head and Neck Cancer- Prevalence
and Risk Factors at diagnosis: and Explorative Study. Support Care
Cancer. 2006; 15: 1045-1050.
37. Brady, JO., et al. Radiotheraphy Treatment for Head and Neck Cancer.
Proceedings of the Nutrition Society. 2008; 67.
38. Feliu EE, Zamora P, Baron MG. Serum albumin and other prognostic
factors related to response and survival in patient with advanced non small
cell lung cancer. Lung cancer. 1995; 12: 67-76.
39. Manda G, Nechifor MT, Neagu TM. Reactive Oxygen Species, Cancer
and anti-Cancer Therapies. Current Chemical Biology. 2009; 3: 342-366.
40. Oh JL, Vokes EE, Kies MS, Mittal BB, Witt ME. Induction
chemotheraphy followed by concomitant chemoradiotheraphy in the
treatment of locoregionally advanced nasopharyngeal cancer. Annals of
oncology. 2003; 14:564-569.
41. Caglar HB, Allen AM. Intensity Modulated Radiotheraphy for Head and
Neck Cancer. Clinical Advanced in Hematology Oncology. 2007; 5 (6):
425-431.
42. Inui, A. Cancer Anorexia-Cahexia Syndrome: Are Neuropeptide The
Key?. Cancer research. 2000; 59: 4493-4501.
43. Tisdale, MJ. Review Biology of cahexia. J national Cancer Ins. 2008; 89:
1763-1773.
44. Inui A. Cancer Anorexia-Cahexia Syndrome: Current Issues In reseach
and Management. American Cancer Society.2002; 52: 72-79.
45. Morley JE. Cachexia: pathophysiology and clinical relevance. American
journal clinical nutrition. 2006; 83: 735-743.
46. Nicholson JP, Wolmarans MR, Park GR. The role of albumin in critical
illness. British journal of anaesthesia. 2000; 85 (4): 599-610.
26Indonesia
Universitas
Studi korelasi ..., Prinka Diaz Adyta, FK UI, 2013
48
47. Dewhirst MW, Cao V, Moeller B. Cycling hypoxia and free radicals
regulate angiogenesis and radiotheraphy response. Nature review cancer.
2008; 8: 425-437.
48. Vordermark D, Brown JM. Endogenous markers of tumor hypoxia.
Strahlenther Onkol 2003; 179:801-1.
49. Hui, Edwin P, Chan, Anthony TC. Coexpression of Hypoxia-inducible
Factor 1α and 2α, Carbonic Anhydrase IX, and Vascular Endothelial
Growth Factor in Nasopharyngeal Carcinoma and Relationship to
Survival. Clin cancer res.2002; 8:2595-2604.
50. Gao J, Hu J. Continuous fall in hemoglobin level is a poor prognostic
factor
in
patients
with
nasopharyngeal
carcinoma
treated
with
radiotheraphy. Chinese journal of cancer. 2010; 29 (5): 561-566.
51. Hoogsteen IJ, Marres HAM, Wijffels KIEM. Colocalization of carbonic
anhydrase 9 expression and cell proliferation in human head and neck
squamous cell carcinoma. Clin Cancer Res. 2005; 11: 97-106.
52. Harison LB, Chada M. Impact of tumor hypoxia and anemia on radiation
theraphy outcomes. The oncologist. 2002; 7 (6): 492-508.
53. Begg AC. Prediction of radiation response. In: Leibel SA, Phillips TL.
Eds. Textbook of radiation oncology. 2nd Ed. Saunders Elsevier Inc,
Philadelphia: 2004. p 61-67.
54. Dewhirst MW, Cao V, Moeller B. Cycling hypoxia and free radicals
regulate angiogenesis and radiotheraphy response. Nature review cancer.
2008; 8: 425-437.
55. Terence P.Farias, Fernando L. Dias, Roberto A. Lima. Prognostic factors
and outcome for nasopharyngeal carcinoma. Arch otolaryngol head and
neck surg. 2003; 129: 794-799.
56. Gruber G, Greiner RH. Hipoxia inducible alpha 1 in high risk breast
cancer : an independent prognostic parameter? Breast cancer res. 2004; 6:
191-198.
57. Dewey WC, Bedford JS. Radiobiologic principles. In: Leibel SA, Phillips
TL eds. Textbook of radiation oncology, 2nd Ed. Saunders Elsevier Inc,
Philadelphia; 2004.p 214-216.
26Indonesia
Universitas
Studi korelasi ..., Prinka Diaz Adyta, FK UI, 2013
49
58. Sekarutami, SM. Pengaruh hipoksia terhadap angiogenesis dan proliferasi
sel kanker serviks uteri: hubungannya dengan respon tumor terhadap
kombinasi radiasi dengan Karbogen-Nikotinamid (KON) sebagai Hypoxia
Modifier. Disertasi September 2010.
59. Liu MT, Hsieh CY. Prognostic factors affecting the outcome of
nasopharyngeal carcinoma. Jpn J Clin Oncol. 2003; 33 (10): 501-508.
60. Ohno T, Thinh DH, Kato S. Radiotheraphy concurrently with weekly
cisplatin,followed by adjuvant chemotheraphy, for N2-3 nasopharyngeal
cancer: a multicenter trial of the forum for nuclear cooperation in Asia.
Journal of Radiation Research. 2013; 54: 467-473.
61. SP Reddy, WF Raslan, Gooneratne S. Prognostic significance of
keratinization in nasopharyngeal carcinoma. Am J Otolaryngol. 1995; 16
(2): 103-108.
26Indonesia
Universitas
Studi korelasi ..., Prinka Diaz Adyta, FK UI, 2013
Download