UNIVERSITAS INDONESIA STUDI KORELASI KADAR ALBUMIN PRARADIASI DAN HIPOKSIA TERHADAP RESPON TUMOR KARSINOMA NASOFARING STADIUM LANJUT TESIS PRINKA DIAZ ADYTA 1006769341 FAKULTAS KEDOKTERAN PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS PROGRAM STUDI ONKOLOGI RADIASI JAKARTA NOVEMBER 2013 Studi korelasi ..., Prinka Diaz Adyta, FK UI, 2013 Studi korelasi ..., Prinka Diaz Adyta, FK UI, 2013 Studi korelasi ..., Prinka Diaz Adyta, FK UI, 2013 KATA PENGANTAR Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan rahmat-Nya, saya dapat menyelesaikan tesis ini. Penulisan tesis ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Dokter Spesialis Onkologi Radiasi pada Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Saya menyadari bahwa sangatlah sulit bagi saya untuk dapat menyelesaikan tesis ini, tanpa adanya bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, dari masa perkuliahan sampai pada penyusunan, Oleh karena itu, perkenankan ssaya mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1. Dr.dr. Sri Mutya Sekarutami, SpRad (K) OnkRad, Dr.dr. Fiastuti Witjaksono, MS, Msc SpGK, Dr.dr. Joedo Prihartono, MPH, Dr. Marlinda Adham, SpTHT-KL (K), Dr.Lisnawati, SpPA (K) selaku dosen pembimbing yang telah menyediakan waktu, tenaga, dan pikiran untuk mengarahkan saya dalam penyusunan tesis ini. 2. Guru-guru yang saya hormati di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dan di Departemen Radioterapi RSCM Jakarta: Prof. Dr. dr. Soehartati Gondhowiardjo, SpRad( K) OnkRad, Prof. dr. H. M. Djakaria, SpRad (K) OnkRad, Prof. Dr. dr. R. Susworo, SpRad (K) OnkRad, dr. Nana Supriana, SpRad (K) OnkRad, Dr.dr. Sri Mutya Sekarutami, SpRad (K) OnkRad, dan dr. Irwan Ramli, SpRad (K) OnkRad yang telah membimbing dan mendidik saya dengan penuh kesabaran. 3. Orang tua (dr.Maman Daljusman Malik, SpRad dan alm dr. Semi Asti, SpA), suami (dr.Aldora S Ponto, SpAn), anak kembarku (Allanra dan Daffanra Aldora sjaflan) dan mertua (keluarga Sjaflan Syarif) saya yang telah memberikan bantuan dukungan material dan moral. 4. Para sejawat PPDS Onkologi radiasi dan karyawan Departemen Radioterapi RSCM yang banyak memberikan masukan dan dukungan kepada saya selama ini 5. Yang tidak akan terlupakan jasanya, para pasien-pasien kami di RSCM yang telah memberikan kesempmengaplikasikan ilmu pengetahuan dan ketrampilan yang kami pelajari. iv Studi korelasi ..., Prinka Diaz Adyta, FK UI, 2013 Akhir kata, semoga Allah SWT berkenan membalas segala kebaikan semua pihak yang telah membantu. Semoga tesis ini membawa manfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan. Salemba, Oktober 2013 Penulis v Studi korelasi ..., Prinka Diaz Adyta, FK UI, 2013 Studi korelasi ..., Prinka Diaz Adyta, FK UI, 2013 ABSTRAK Nama Program Studi Judul : Prinka Diaz Adyta : Onkologi Radiasi : Studi korelasi kadar albumin praradiasi dan hipoksia terhadap respon tumor karsinoma nasofaring stadium lanjut. Pendahuluan: Malnutrisi dan hipoksia merupakan faktor yang mempengaruhi kegagalan terapi pada KNF stadium lokal lanjut. Kadar albumin merupakan salah satu pemeriksaan status nutrisi. Hipoksia menyebabkan radioresistensi terhadap radiasi.Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui korelasi antara kadar albumin praradiasi, hipoksia terhadap respon radiasi. Metode penelitian: Penelitian ini merupakan studi kohort retrospektif menggunakan data sekunder terhadap 40 pasien kanker nasofaring stadium lokal lanjut yang memenuhi kriteria inklusi di Departemen Radioterapi dan Departemen Patologi Anatomi RSUP Dr Cipto Mangunkusumo dari Desember 2012 sampai Agustus 2013. Dilakukan pencatatan kadar albumin praradiasi, berat badan serta CT scan sebelum dan sesudah radiasi. Kemudian dilakukan analisa HIF1α dengan pulasan imunohistokimia. Sel yang positif hipoksia dihitung per 10 lapang pandang besar. Setelah itu, dilakukan penilaian respon radiasi berdasarkan kriteria Recist. Hasil: Rerata kadar albumin praradiasi sebesar 3,9 +/- 0,5 g/dL, dan median persentase hipoksia sel yaitu 24,7(1-100)%. Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara kadar albumin praradiasi terhadap respon radiasi (p≥0,05). Terdapat hubungan yang bermakna anatara hipoksia terhadap respon radiasi (p<0,05). Korelasi antara kadar albumin praradiasi dan hipoksia menunujukkan korelasi yang lemah dan tidak bermakna (r=-0,24, p=0,324) Kesimpulan: Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa albumin praradiasi tidak berhubungan dengan respon radiasi pada KNF stadium lokal lanjut. Terbukti bahwa hipoksia meningkatkan radioresistensi dan menurunkan respon radiasi. Tidak terdapat korelasi antara albumin praradiasi dan hipoksia. Kata kunci: kanker nasofaring stadium lokal lanjut, kadar albumin praradiasi, hipoksia dan respon radiasi. vii Studi korelasi ..., Prinka Diaz Adyta, FK UI, 2013 ABSTRACT Name Study Program Title : Prinka Diaz Adyta : Onkologi Radiasi : Study correlation of albumin preirradiation and hypoxia to radiation response in locally advanced nasopharyngeal cancer Introduction: Malnutrion and hypoxia had been shown to cause irradiation failure. Albumin is one of the nutritional status examination. Hypoxia caused radioresistance to irradiation. The purpose of this study was to evaluate the correlation of albumin, hypoxia towards radiation response in locally advanced nasopharyngeal carcinoma. Methods: This is a retrospective cohort study using secondary data from Departement of Radiotheraphy and Departement of Pathology Cipto Mangunkusomo hospital of 40 patients locally advanced nasopharyngeal cancer who meet the inclusion criteria from December 2012 to August 2013. Albumin preirradiation, body weight and CT scan before and after radiation were recorded. We examined the expression of HIF1 α by immunohistochemistry staining. Hypoxia cell was asessed by cell counting. Radiation response was determined by Recist criteria. Results: The mean of serum albumin is 3.9 + / - 0.5 g /dL, and the median percentage of hypoxia was 24,7(1-100)%. There was no statistically significant relationship between albumin and radiation response (p≥0.05). There was a statistically significant relationship between hypoxia and radiation response (p<0,05). There were no correlation between albumin and hypoxia (r=-0,24, p=0,324) . Conclusion: This study showed that there was no correlation between albumin preirradiation and response in locally advanced nasopharyngeal cancer. It was proven that hypoxia increased radioresistance in locally advanced nasopharyngeal cancer. There was no correlation between albumin preirradiation and hypoxia. Keywords: Locally advanced nasopharyngeal carcinoma, preirradiation albumin, hypoxia and radiation response. viii Studi korelasi ..., Prinka Diaz Adyta, FK UI, 2013 DAFTAR ISI Hal HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS HALAMAN PENGESAHAN KATA PENGANTAR LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI ILMIAH ABSTRAK ABSTRACT DAFTAR ISI DAFTAR GAMBAR DAFTAR TABEL DAFTAR TANDA DAN SINGKATAN DAFTAR LAMPIRAN 1. 1.1 1.2 1.3 1.4 1.5 1.6 2. 2.1. PENDAHULUAN Latar belakang masalah Masalah penelitian Pertanyaan penelitian Hipotesis penelitian Tujuan penelitian 1.5.1 Tujuan Umum 1.5.2 Tujuan Khusus Manfaat Penelitian TINJAUAN PUSTAKA Kanker nasofaring 2.1.1 Epidemiologi 2.1.2 Anatomi nasofaring dan kelenjar getah bening 2.1.3 Etiologi dan patogenesis 2.1.4 Diagnosis dan stadium 2.1.5 Histopatologi 2.1.6 Penatalaksanaan 2.1.7 Terapi radiasi 2.1.8 Tehnik radiasi 2.1.9 Kombinasi kemoterapi dan radioterapi 2.1.10 Penilaian respon terapi 2.1.11 Efek samping kemoradiasi ix Studi korelasi ..., Prinka Diaz Adyta, FK UI, 2013 ii iii iV vi vii viii ix xi xii xiii xv 1 1 3 4 4 4 5 5 6 6 6 7 7 10 12 12 13 15 16 16 2.2 Pengaruh gizi terhadap respon terapi 2.2.1 Albumin sebagai faktor prognostik 2.2.2 Gangguan metabolisme pada kanker 2.2.3 Pengaruh albumin terhadap kesintasan 2.3 Peran albumin sebagai antioksidan 2.4 Hipoksia tumor 2.4.1 Pengaruh hemoglobin terhadap respon radiasi 2.4.2 Pengaruh hipoksia terhadap respon radiasi 2.5 Kerangka teori 2.6 Kerangka konsep 3. METODE PENELITIAN 3.1 Desain Penelitian 3.2 Tempat dan Waktu Penelitian 3.3 Populasi dan Sampel 3.4 Cara Pemilihan Sampel 3.5 Besar Sampel 3.6 Kriteria Inklusi dan Eksklusi 3.6.1 Kriteria Inklusi 3.6.2 Kriteria Eksklusi 3.7 Cara Kerja 3.7.1 Prosedur pulasan imunoperoksidase untuk HIF 1 α 3.7.2 Penilaian ekspresi pulasan HIF 1 α 3.8 Variabel Penelitian 3.9 Analisa data 3.10 Alur penelitian 3.11 Definisi operasional 17 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 26 26 26 26 26 27 29 28 28 28 30 30 30 31 32 4 5 6 34 45 50 51 57 58 59 60 HASIL PENELITIAN PEMBAHASAN KESIMPULAN DAN SARAN DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN 1 LAMPIRAN 2 LAMPIRAN 3 LAMPIRAN 4 x Studi korelasi ..., Prinka Diaz Adyta, FK UI, 2013 DAFTAR GAMBAR Hal Gambar 2.1 Gambaran tipe histopatologi kanker nasofaring 11 Gambar 2.2 Tehnik klasik radiasi KNF 13 Gambar 2.3 Gangguan metabolisme kanker 19 Gambar 2.4 Albumin dan antioksidan 21 Gambar 2.5 Kerangka teori 24 Gambar 2.6 Kerangka konsep 25 Gambar 3.10 Alur penelitian 31 Gambar 4.1 Grafik sebaran KNF stadium lokal lanjut berdasarkan distribusi albumin praradiasi 36 Gambar 4.2 Grafik sebaran KNF stadium lokal lanjut berdasarkan hipoksia 36 Gambar 4.3 Grafik sebaran KNF stadium lokal lanjut berdasarkan respon radiasi 37 Gambar 4.4 Diagram korelasi albumin dan hipoksia 40 Gambar 4.5 Diagram korelasi HIF 1 α dan respon 41 xi Studi korelasi ..., Prinka Diaz Adyta, FK UI, 2013 DAFTAR TABEL Hal Tabel 2.1 Staging KNF berdasarkan TNM AJCC edisi ke 7 tahun 2010 9 Tabel 4.1 Karakteristik pasien 35 Tabel 4.2 Deskripsi variable numerik 37 Tabel 4.3 Hubungan kadar albumin praradiasi dan respon radiasi 38 Tabel 4.4 Rerata variable menurut hipoksia 38 Tabel 4.5 Hubungan antara respon radiasi terhadap hipoksia 39 Tabel 4.6 Hubungan antara albumin praradiasi terhadap hipoksia 39 Table 4.7 Subanalisis kadar albumin, hipoksia terhadap stadium 41 Tabel 4.8 Subanalisis kadar albumin, hipoksia terhadap perluasan tumor 41 Tabel 4.9 Subanalisis kadar albumin, hipoksia terhadap kelenjar getah bening 41 Tabel 4.10 Subanalisis respon dan stadium 42 Tabel 4.11 Subanalisis respon dan differensiasi 42 Tabel 4.12 Subanalisis respon dan perluasan tumor 42 Table 4.13 Subanalisis respon dan kelenjar getah bening 43 Table 4.14 Subanalisis respon dan differensiasi 43 Tabel 4.15 Subanalisis respon dan perluasan tumor 43 Tabel 4.16 Subanalisis respon dan kelenjar getah bening 44 xii Studi korelasi ..., Prinka Diaz Adyta, FK UI, 2013 DAFTAR TANDA SINGKATAN TANDA < = Lebih kecil > = Lebih besar ≤ = Sama atau lebih kecil ≥ = Sama atau lebih besar = = Sama dengan SINGKATAN KNF = Karsinoma nasofaring TNF = Tumor necrosis factor SGA = Subjective global assessment BIA = Bioelectrical impedance analysis ROS = Reactive oxygen species IL6 = Interleukin 6 HIF1α = Hypoxia inducible factor 1α HLA = Human leucocyte antigen EBV = Epstein barr virus VCA = Capsid viral antigen CT Scan = Computed tomography scan MRI = Magnetic resonance imaging USG = Ultrasonography AJCC = American joint committee on cancer WHO = World health organization CRT = Conformal radiotheraphy IMRT = Intensity modulated radiotheraphy xiii Studi korelasi ..., Prinka Diaz Adyta, FK UI, 2013 OAR = Organ at risk TMJ = Temporomandibular joint GTV = Gross tumor volume CTV = Clinical target volume PTV = Planning treatment volume Recist = Response evaluation criteria in solid tumour RTOG = Radiation theraphy oncology group IL1 = Interleukin 1 LIF = Leukemia inhibitory factor NPY = Neuropeptide Y PIF = Proteolysis inducing factor CRP = C reactive protein SOD = Superoxide dismutase VEGF = Vascular endothelial growth factor AA = Asam arachidonat OTT = Overall treatment time xiv Studi korelasi ..., Prinka Diaz Adyta, FK UI, 2013 DAFTAR LAMPIRAN Hal Keterangan lulus kaji etik 57 Surat izin penelitian 58 Data statistik 59 Pulasan HIF 1α 60 xv Studi korelasi ..., Prinka Diaz Adyta, FK UI, 2013 1 BAB I PENDAHULUAN I.1. latar Belakang masalah Di Indonesia, karsinoma nasofaring (KNF) merupakan tumor kepala leher terbanyak dengan angka kejadian 28,4%1 dan radioterapi merupakan modalitas utama dalam penanganan KNF dalam semua stadium, baik sebagai terapi definitif maupun kombinasi dengan kemoterapi. Angka bebas penyakit 5 tahun dan angka kesintasan (overall survival) KNF stadium lokal lanjut dengan radiasi saja adalah 68,7% dan 28,6%.2 Penambahan kemoterapi memberikan peningkatan angka kesintasan 5 tahun sekitar 20%2 sedangkan Platek dkk.,3 menyebutkan angka kegagalan lokal 2 tahun berkisar 50-60%. Penelitian di Departemen Radioterapi terhadap pasien KNF lokal lanjut yang mendapat kemoradiasi menunjukkan bahwa kesintasan lima tahun stadium III, IV A dan IV B yaitu 43%, 34% dan 35% dengan respon tumor yang meliputi respon komplit 73,7%, 52,5% dan 45,8% , respon partial 21%, 31,6% dan 41,7%.4,5 Malnutrisi merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi keberhasilan terapi. Malnutrisi pada pasien kanker kepala leher merupakan masalah yang signifikan karena berhubungan dengan kualitas hidup, respon terhadap pengobatan baik radioterapi, pembedahan dan kemoterapi dan kesintasan hidup pasien kanker. Salah satu parameter malnutrisi dapat tercermin dari penurunan berat badan pasien sebelum, selama dan sesudah pemberian pengobatan.6 Roezin dkk.,7 dalam penelitiannya mendapatkan 50% pasien dengan berat badan dibawah standar sebelum sakit dan setelah pengobatan meningkat menjadi 67%. Pada pasien KNF, penurunan berat badan rata-rata selesai pengobatan sebesar 4,7 kg (9%) yang terdiri dari kehilangan akibat radiasi rata-rata 4,98 kg (9,6%) dan akibat menjalani operasi adalah 4,5% (8,7%). Penelitian oleh Capuano dkk.,6 menyatakan bahwa pasien kanker kepala dan leher yang menjalani kemoradiasi mengalami kehilangan berat badan sebesar 10%. Universitas1Indonesia Studi korelasi ..., Prinka Diaz Adyta, FK UI, 2013 2 Kaheksia yang merupakan bagian dari malnutrisi mempunyai insiden yang tinggi pada pasien kanker. Penyebab kaheksia adalah multifaktor yaitu berkurangnya asupan makanan per oral, adanya faktor katabolik yang dikeluarkan tumor, seperti tumor necrosis factor (TNF) alfa, interleukin, interferon-gamma, faktor kaheksia kanker 24K dan perubahan metabolisme yang meyebabkan wasting disease. Asupan nutrisi yang kurang pada pasien kanker akan menyebabkan penurunan sintesa protein yang akan menurunkan konsentrasi protein serum seperti albumin.8 Terdapat bermacam-macam metode pengukuran status nutrisi pada pasien kanker yaitu subjective global assessment (SGA), bioelectrical impedance analysis (BIA) dan laboratorium seperti kadar albumin, prealbumin dan transferin. Parameter antropometrik mencakup berat badan, tinggi badan, ketebalan otot tricep dan lingkar lengan atas, adanya asites dan edema.9 Pemeriksaan kadar albumin yang mempunyai waktu paruh 21 hari merupakan salah satu pemeriksaan status nutrisi sederhana dapat untuk menilai fungsi protein viseral.10 Albumin dapat mengikat reactive oxygen species (ROS) dengan berikatan dengan cu2+ melalui reaksi Haber Weiss. Albumin sebagai antioksidan dapat mempengaruhi keseimbangan redox. Konsentrasi albumin yang rendah disebabkan oleh produksi sitokin interleukin 6 (IL6) yang dapat mempengaruhi sintesa albumin pada hepatosit. Pada keadaan stadium lanjut, terdapat hubungan antara malnutrisi dan inflamasi. Pada proses inflamasi terjadi pelepasan proinflamatory cytokine dan growth factor dibebaskan dan mempunyai efek katabolik terhadap metabolisme host.11 Penelitian oleh Medow dkk.,12 terhadap kanker pasien kanker kepala dan leher, menemukan adanya kadar serum albumin > 3,85 g/dl mempunyai kesintasan 625 hari, sedangkan kadar albumin < 3,85 g/dl mempunyai kesintasan 404 hari median follow up 391 hari (p<0,001). Dixon dkk.,13 menemukan hipoalbumin pada kanker colon dan rektal pada stadium lokal lanjut menurunkan angka kesintasan. Universitas1Indonesia Studi korelasi ..., Prinka Diaz Adyta, FK UI, 2013 3 Kesulitan menelan dan xerostomia sebagai efek samping radiasi dan kemoterapi sangat mempengaruhi asupan nutrisi selama radiasi berlangsung. Walaupun nasogastric tube dapat menjamin asupan makanan, namun kebanyakan pasien tidak merasa nyaman dan pasien sering menolak menggunakannya. Asupan nutrisi yang kurang akan menurunkan kadar albumin yang sangat diperlukan untuk menangkal radikal bebas yang terjadi akibat kanker.8 Selain faktor malnutrisi, terdapat faktor intrinsik yang berpengaruh terhadap kegagalan terapi baik pada radiasi maupun kemoterapi yaitu hipoksia sel tumor. Hipoksia dapat menginduksi faktor transkripsi yaitu hipoxia inducible factor 1 α (HIF1 α) yang mempunyai peran merangsang proliferasi sel dan angiogenesis. 14 Hipoksia akan berpengaruh terhadap progresifitas dan agresifitas tumor. Sel yang mengalami hipoksia 2,5-3 kali lebih radioresisten dibandingkan dengan sel normoksia.14,15 Saat ini belum terdapat penelitian yang menganalisa kadar albumin praradiasi dan hipoksia terhadap respon tumor pada KNF yang merupakan tumor kepala dan leher yang terbanyak di Indonesia. 1.2 Masalah Penelitian 1. Di Indonesia, KNF merupakan keganasan kepala dan leher yang terbanyak dengan angka kegagalan lokoregional untuk stadium lanjut masih tinggi yaitu 60% dan kesintasan lima tahun yang masih rendah yaitu 35%. 2. Malnutrisi dan hipoksia merupakan dua faktor yang mempengaruhi kegagalan terapi suatu keganasan. Malnutrisi pada kanker disebabkan oleh faktor katabolik yang dikeluarkan tumor, seperti tumor necrosis factor (TNF) alfa dan interleukin. 3. Disfagia dan xerostomia merupakan efek samping radiasi dan kemoradiasi dan keduanya dapat mempengaruhi asupan nutrisi. 4. Hingga saat ini belum ada penelitian yang menganalisis hubungan kadar albumin dan hipoksia terhadap respon radiasi pada KNF. Universitas1Indonesia Studi korelasi ..., Prinka Diaz Adyta, FK UI, 2013 4 1.3 Pertanyaan penelitian 1. Bagaimanakah distribusi kadar albumin praradiasi pasien KNF stadium lanjut lokal? 2. Bagaimanakah gambaran derajat hipoksia sel pada KNF stadium lanjut lokal? 3. Bagaimanakah korelasi kadar albumin praradiasi terhadap respon radiasi pada KNF stadium lanjut lokal? 4. Bagaimanakah korelasi antara hipoksia dan respon radiasi pada KNF stadium lanjut lokal? 5. Bagaimanakah korelasi kadar albumin praradiasi dengan hipoksia sel pada KNF stadium lanjut lokal? 1.4 Hipotesis Penelitian 1. Kadar serum albumin praradiasi berkorelasi positif terhadap respon radiasi pada KNF stadium lanjut lokal. 2. Hipoksia sel tumor berkorelasi negatif terhadap respon radiasi pada KNF stadium lanjut lokal. 3. Kadar albumin praradiasi berkorelasi negatif dengan hipoksia sel pada KNF stadium lanjut lokal. 1.5 Tujuan penelitian 1.5.1 Tujuan umum Meningkatkan keberhasilan terapi pada pasien KNF stadium lanjut yang mendapatkan terapi radiasi. Universitas1Indonesia Studi korelasi ..., Prinka Diaz Adyta, FK UI, 2013 5 1.5.2 Tujuan khusus 1. Mengetahui distribusi kadar albumin praradiasi pasien KNF stadium lanjut lokal. 2. Mengetahui gambaran hipoksia sel pada KNF stadium lanjut lokal. 3. Menganalisis korelasi kadar albumin praradiasi terhadap respon radiasi pada KNF stadium lanjut lokal. 4. Menganalisis korelasi hipoksia terhadap respon radiasi pada KNF stadium lanjut lokal. 5. Menganalisis korelasi kadar albumin praradiasi dengan hipoksia sel pada KNF stadium lanjut lokal. . 1.6. Manfaat penelitian 1.6.1 Manfaat di bidang akademik Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi keilmuan tentang hubungan antara kadar albumin praradiasi dan hipoksia terhadap respon radiasi pasien KNF stadium lanjut. 1.6.2 Manfaat dibidang penelitian Penelitian ini diharapkan menjadi masukan untuk dokter onkologi radiasi mengenai hubungan kadar albumin praradiasi dan hipoksia terhadap respon radiasi pada pasien KNF stadium lanjut dan dapat menjadi dasar untuk penelitian selanjutnya. 1.6.3 Manfaat dibidang pelayanan Penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan kualitas pelayanan radioterapi terutama respon radiasi. Universitas1Indonesia Studi korelasi ..., Prinka Diaz Adyta, FK UI, 2013 6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kanker nasofaring 2.1.1 Epidemiologi KNF di Indonesia merupakan keganasan keempat setelah kanker serviks, payudara dan kulit. KNF jarang menyerang populasi kulit putih, di Amerika Serikat, kasus baru hanya 0,8 per 100.000 laki-laki dan 0,3 per 100.000 wanita. Prevalensi KNF yang tinggi ditemukan di daratan China terutama China Selatan, mencapai 20 per 100.000 penduduk dan insidens ini tetap tinggi pada orang China Selatan yang hidup di negara lain, hal ini menunjukkan adanya predisposisi genetik pada penyakit ini . Penduduk RRC khususnya di propinsi Guang Dong mempunyai insidens KNF tertinggi didunia yaitu mencapai 40-50 kasus baru per 100.000 penduduk per tahun.16 Di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr Cipto Mangunkusumo (RSUPN-CM) terdapat 1121 pasien yang terdiagnosis KNF antara 1996 sampai dengan 2005, yang merupakan 28,4% dari keganasan kepala leher.1 2.1. 2 Anatomi Nasofaring dan Kelenjar Getah Bening Nasofaring merupakan rongga berbentuk kuboid dengan dinding yang kaku pada bagian atas, belakang dan lateral; terletak dibelakang tulang muka. Anterior nasofaring berhubungan dengan rongga hidung melalui koana. Pada dinding lateral terdapat muara tuba eustachius dan kurang lebih 1cm dibelakang ujung posterior tuba terdapat torus tubarius. Dibelakang torus tubarius terdapat resessus lateralis disebut fossa Rosenmuller, suatu cekungan dengan kedalaman yang dapat mencapai 1cm. Dibelakang dinding nasofaring merupakan bagian posteroinferior sinus sphenoidalis, ke kaudal sebagai orofaring. Disamping itu, nasofaring mempunyai saluran kelenjar getah bening yang terletak pada submukosa, berjalan ke arah anterior, posterior dan akhirnya bertemu pada Universitas1Indonesia Studi korelasi ..., Prinka Diaz Adyta, FK UI, 2013 7 garis tengah menuju ke kelompok kelenjar disekitar dasar tengkorak. Aliran limfatik lain yang penting adalah ke arah KGB leher profunda yang terletak dibawah musculus sternokleidomastiodeus pada ujung mastoid.16 2.1.3 Etiologi dan Patogenesis KNF menggambarkan interaksi yang kompleks antara onkogenik infeksi epstein bar virus (EBV) lingkungan dan genetik pada suatu proses karsinogenik.16-18 Infeksi virus EPV terutama ditemukan pada saat dini dan asimtomatik. Bila terjadi provokasi, virus akan muncul saat dewasa dan menyerang limfosit dan sel epitel saluran respirasi atas dan menjadi laten. Peningkatan titer IgA antibodi ditemukan pada EBV capsid viral antigen (VCA), yang terdapat pada pasien KNF. Pada faktor genetik, terdapat hubungan antara human leucocyte antigen (HLA)-A2 dengan terjadinya KNF. Faktor lingkungan yang berperan pada patogenesis KNF yaitu, adanya penggunaan nitrosodimetiamin yang terdapat pada makanan yang diawetkan dan mengandung banyak garam. Faktor lingkungan lain yang mempunyai peran dalam pertumbuhan tumor adalah kebiasaan merokok, meskipun faktor ini masih dalam perdebatan. 2.1.4 Diagnosis kanker nasofaring dan stadium Diagnosis KNF berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang. Diagnosis pasti ditegakkan denga biopsi pada lokasi tumor dan pemeriksaan histopatologi. Pemeriksaan nasoendoskopi saat ini berperan penting dalam membantu menegakkan diagnosis, hal ini dikarenakan lokasi nasofaring yang sulit dilihat dengan pemeriksaan konvensional terutama jika tumor masih terbatas di nasofaring.17,18 Pada umumnya tanda dan gejala-gejala yang timbul pada pasien KNF dapat dikelompokkan menjadi kelainan pada telinga, hidung, leher dan saraf kranial disamping gejala akibat adanya metastasis jauh. Kelainan pada telinga dapat berupa rasa penuh dalam telinga, tuli dan suara mendesing. Gejala ini muncul akibat infiltrasi tumor terhadap tuba eustachius. Universitas1Indonesia Studi korelasi ..., Prinka Diaz Adyta, FK UI, 2013 8 Gejala hidung dapat berupa epistaksis, sumbatan hidung satu atau kedua sisi, suara sengau atau gangguan fungsi resonansi nasofaring. Gejala ini muncul akibat ekstensi tumor ke anterior cavum nasi. Kelainan pada leher terutama pembesaran kelenjar getah bening (KGB) leher, lebih sering unilateral, tidak nyeri dan tumbuh dengan cepat. Gejala ini disebabkan perluasan tumor ke KGB parafaring,retrofaring, jugular dan rangkaian KGB aksesori spinal. Epistaksis dan pembesaran kgb leher merupakan gejala yang paling sering mendorong pasien untuk datang ke dokter. Gejala jangkitan saraf kranialis dapat berupa sefalgia, penglihatan ganda, gangguan sekresi air mata dan parestesi muka. Gangguan tersebut dapat disebabkan oleh infiltasi dasar tengkorak kemudian melalui foramen lacerum dan akhirnya menyerang saraf kranial. Hipo atau hiperestesi wajah disebabkan infiltasi oleh sarah trigeminal. Diplopia disebabkan oleh perluasan ke sinus kavernosus dan fissura orbital superior, sehingga mengenai saraf III, IV, VI. Perluasan tumor ke KGB parafaring atau mencapai leher bawah menginfiltrasi saraf IX, X, XI, XII menyebabkan gejala stridor dan kelemahan tungkai. Sedangkan gejala jika telah terjadi metastasis jauh dapat berupa ditemukannya kelainan di tulang (20%), paru (13%) dan hati (9%).17,18 Pemeriksaan penunjang diperlukan dalam menentukan perluasan dan stadium tumor. Pemeriksaan pencitraan tomografi komputer (CT Scan) nasofaring penting dalam menentukan stadium yang tepat. Selain CT Scan , perluasan tumor dapat ditemtukan dengan MRI (Magnetic resonance Imaging). Pemeriksaan MRI memberikan hasil yang lebih sensitif dalam menentukan perluasan tumor ke daerah skull based. Pemeriksaan untuk mengetahui kemungkinan adanya metastasis jauh adalah foto polos toraks, ultrasonography (USG) abdomen dan whole body scan. Pemeriksaan penunjang lainnya yang berperan dalam menegakkan diagnosis KNF yaitu pemeriksaan serologi IGA antibodi terhadap viral capsid antigen (VCA) virus Epstein-Bar.17,18 Universitas1Indonesia Studi korelasi ..., Prinka Diaz Adyta, FK UI, 2013 9 Stadium ditentukan berdasarkan status tumor, metastasis ke kelnjar regional dan metastasis jauh. Stadium penyakit yang digunakan adalah TNM dari American Joint Committe on Cancer (AJCC) edisi ke 7 tahun 2010 seperti pada tabel 2.1. dibawah ini: Tabel 2.1. Staging KNF berdasarkan TNM American Joint Committe on Cancer (AJCC) edisi ke 7 tahun 2010.18 Tumor (T) Tx T0 Tis T1 T2 T3 T4 : : : : Tumor primer tidak bisa ditentukan Tidak ada tumor primer Carcinomas insitu (karsinoma preinvasif) Karsinoma nasofaring terbatas pada nasofaring atau meluas ke orofaring dan atau cavum nasal tanpa penjalaran ke parafaring : Karsinoma nasofaring dengan penjalaran ke parafaring : Karsinoma nasofaring dengan keterlibatan tulang dan atau sinus paranasal. : Karsinoma nasofaring dengan penjalaran dan atau keterlibatan nervus kranialis, fossa infratemporalis, hipofaring, orbita atau fossa mastikator Kelenjar getah bening (N) Nx : Metastasis ke kelenjar regional tidak dapat ditentukan N0 : Tidak terbukti ada metastasis N1 Metastasis ke kelenjar unilateral ukuran ≤ 6 cm diatas fossa supraklavikula dan atau kelenjar retrofaring unilateral atau bilateral : dengan ukuran ≤ 6 cm N2 Metastasis kelenjar bilateral dengan ukuran ≤ 6 cm diatas fossa : supraklavikular N3 : Metastasis ke kelenjar leher > 6 cm dan atau fossa supraklavikula N3a : Metastasis ke kelenjar leher > 6 cm N3b : Metastasis ke kelenjar fossa supraklavikula Metastasis (M) Mx : Metastasis jauh tidak dapat ditentukan M0 : Tidak terdapat metastasis jauh M1 : Terdapat metastasis jauh Universitas1Indonesia Studi korelasi ..., Prinka Diaz Adyta, FK UI, 2013 10 2.1.5 Histopatologi Pada tahun 1979 World Health organization (WHO) mendefinisikan karsinoma nasofaring sebagai kanker sel skuamosa yang dibagi secara mikoskopik menjadi tiga jenis : a. Tipe I, yaitu karsinoma sel skuamosa berkeratin, ditandai dengan adanya jembatan intraselular pembentukan keratin, dengan penampilan mirip dengan karsinoma sel skuamosa dari saluran pernafasan lain. b. Tipe II, yaitu karsinoma sel skuamosa tidak berkeratin, didapatkan pematangan dari epitel skuamosa tidak berkeratin. Tipe II ini adalah yang paling sering dijumpai dan cenderung disamakan dengan karsinoma nasofaring tipe III pada kriteria WHO tahun 1991 (perkembangan dari WHO 1979). Insidennya sekitar 25% dari seluruh KNF dipopulasi kulit putih Amerika Utara, tapi hanya 1 sampai 2% daripopulasi KNF daerah endemik. c. Tipe III, yaitu limfoepitelioma karena sering ditemukan gumpalan benang atau gumpalan jinak sel T dalam massa tumor. Tipe III terdiri dari berbagai morfologi sel-sel yang memiliki ciri mikroskopik, termasuk inti vesikuer, nukleolus dan syncytia (leburan multinuklear sel raksasa). Umumnya tipe III KNF mengkontribusi lebih dari 95% dari semua kasus endemik, sedangkan dipopulasi kulit putih Amerika Utara, angka ini menurun menjadi sekitar 60%.17,18,19 Klasifikasi Hsu20, membagi jenis histopatologi anatomi KNF berdasarkan derajat anaplasia atau pleomorfik sel tumor sebagai berikut: 1. Karsinoma sel skuamosa berkeratin , derajat keganasan tinggi 2. Karsinoma tipe A anaplasia/ pleomorfik nyata, derajat keganasan menengah 3. Karsinoma tipe B anaplasia/ pleomorfik ringan, derajat keganasan ringan 10Indonesia Universitas Studi korelasi ..., Prinka Diaz Adyta, FK UI, 2013 11 A B C Gambar 2.1 Gambaran tipe histopatologi kanker nasofaring A. WHO tipe I: karsinoma skuamosa berkeratin B. WHO tipe II karsinoma skuamosa tidak berkeratin. C. WHO tipe III KS tidak berkeratin limfoepitelial (dikutip dari kepustakaan no. 21) Tipe histologi merupakan salah satu faktor yang berperan dalam lokal kontrol pada tumor. Seperti yang sudah diketahui bahwa tumor dengan diferensiasi buruk berhubungan dengan prognosis yang buruk, akan tetapi tergantung pada stadium pada saat diagnosis. Penyebaran lokal dari tumor jarang terjadi pada tumor yang berdiferensiasi baik dibandingkan dengan berdiferensiasi buruk atau tidak berdiferensiasi. 10Indonesia Universitas Studi korelasi ..., Prinka Diaz Adyta, FK UI, 2013 12 Tumor dengan berdiferensiasi baik mempunyai sifat radioresistan daripada tumor yang tidak berdiferensiasi, karena radiasi lebih efektif pada sel yang mempunyai aktifitas reproduksi yang tinggi. Faktor yang menyebabkan terjadinya radioresistan dari tumor yang berdiferensiasi baik yaitu korelasi kecepatan pertumbuhan tumor dan percepatan regresi tumor yang tidak seimbang. Pada tumor yang tidak berdiferensiasi regresi tumor lebih cepat sehingga lebih radiosensitif.22,61 2.1.6. Penatalaksanaan Radioterapi merupakan modalitas utama untuk KNF stidium dini (T1N0M0) . Konkuren kemoradiasi atau induksi kemoterapi dilanjutkan dengan kemoradiasi untuk T1, N1-3; T2-4, N1-3. 23 Letak nasofaring yang berada dibelakang tulang-tulang muka, sangat berdekatan dengan basis kranii, menyebabkan reseksi sempurna hampir tidak mungkin dilakukan. Terhadap kelenjar getah bening leher, dapat dilakukan diseksi bilamana pasca radiasi terdapat residu, tidak terdapat metastasis jauh dan tumor primer bersih, namun hasilnya tidak superior dibanding pemberian booster radiasi.18,19 2.1.7. Terapi Radiasi Radioterapi dapat dilakukan pada hampir semua stadium KNF, baik untuk tujuan kuratif maupun paliatif, diberikan sebagai terapi tunggal maupun kombinasi dengan modalitas lain. Untuk tujuan kuratif bentuk terapi radiasi yang diberikan berupa radiasi eksternal dengan atau tanpa kombinasi brakiterapi. Radiasi eksternal mencakup tumor primer, nasofaring, KGB retrofaring, klivus, basis cranii, fossa pterigoid, spatium parafaring, bagian inferior sinus sfenosus, sepertiga posterior kavum nasi dan sinus maksilaris, serta KGB regional di colli dan supraclavicula.19 Brakiterapi sasarannya yaitu tumor primer dengan tujuan meningkatkan kontrol lokal. 10Indonesia Universitas Studi korelasi ..., Prinka Diaz Adyta, FK UI, 2013 13 Disamping itu untuk tujuan kuratif, radioterapi dapat diberikan dalam bentuk gabungan dengan modalitas lain terutama kasus lanjut lokal berupa kombinasi radiasi dan kemoterapi baik secara sekuensial maupun konkomitan. Radioterapi paliatif diberikan pada kasus lanjut terutama untuk mengatasi nyeri akibat metastasis yang menyerang tulang. Penalaksanaan Radioterapi berdasarkan NCCN 2012.23 2.1.8. Tehnik Radiasi Prinsip radiasi konvensional 2D yaitu teknik klasik Ho,19 terdiri dari 2 fase (gambar 2.2). Fase I adalah lapangan opposing lateral yang mencakup lapangan wajah-servikal untuk tumor primer dan KGB leher yang membesar, dan diberikan bersamaan dengan lapangan anterior untuk leher bagian bawah. Lapangan anterior ini dikenal sebagai lapangan supraclavicula. Setelah mencapai 40 Gy medula spinalis dikeluarkan dari lapangan radiasi dan apabila masih terdapat residu kgb leher dapat ditambahkan elektron. Pengecilan lapangan lokal tumor sebagai booster, sebaiknya dilakukan setelah 50-60 gy pada gross tumor.19 Gambar 2.2 Tehnik klasik radiasi KNF19 Tehnik 3D conformal radioteraphy (CRT) dan intensity modulated radiotherapy (IMRT) menunjukan keunggulannya dibandingkan 2 D dalam organ at risk (OAR) yang akan masuk dalam lapangan radiasi sehingga penting untuk diidentifikasi, diantaranya adalah: chiasama optikum, kelenjar pituitari, lobus temporal, batang otak, nervus kranialis, medula spinalis, mukosa oral, kelenjar parotis, kelenjar submandibula, retina, lensa, temporomandibular joint (TMJ).19 10Indonesia Universitas Studi korelasi ..., Prinka Diaz Adyta, FK UI, 2013 14 Dalam teknik ini, target terapi didefinisikan sebagai suatu volume, dan dikenal istilah Gross Tumor Volume (GTV), Clinical Treatment Volume (CTV), serta Planning Treatment Volume (PTV). Tujuan utama menggunakan teknik 3D-CRT dan IMRT adalah untuk menghasilkan kurva isodosis dengan konformitas yang tinggi terhadap volume target sekaligus mengurangi dosis terhadap jaringan sehat sekitar, sehingga mengurangi morbiditas akut dan lambat. Jika efek samping terapi dapat dikurangi, maka dosis pada volume target pada ditingkatkan dengan harapan mencapai angka kesintasan yang lebih tinggi. Dosis per fraksi yang diberikan adalah 2 Gy perhari, diberikan dalam 5 kali dalam seminggu selama 7 minggu untuk tumor primer maupun kelenjar. Dilanjutkan pengecilan lapangan radiasi atau blok medulla spinalis. Dosis total untuk tumor primer sebanyak 66-70 Gy, sedangkan kelenjar regional yang membesar mendapat 44-64 Gy.19,23 Untuk tumor dengan stadium T1-2, N0M0 radiasi eksterna diberikan dengan total dosis 70 Gy , dengan atau tanpa brakiterapi. Untuk stadium T1N1-3 M0 dan T2-4 N1-3 M0, bila N< 10cm diberikan kemoterapi neoajuvan ditambah kemoradiasi dengan dosis 56 Gy kemudian dievaluasi dengan CT scan, terdapat residu atau tidak, kemudian dilanjutkan konformal radioterapi 20 Gy dan brakiterapi, sedangkan untuk residu KGB diberikan radiasi eksterna 14 Gy dan dievaluasi lebih lanjut. Apabila sudah terdapat metastasis, maka pilihan terapi adalah platinum base kombinasi kemoterapi atau radioterapi cito pada metastasis otak dan tulang belakang.19,23 Respon tumor terhadap radioterapi pada lokal lanjut secara keseluruhan (overall response rate) yaitu 25-65%, antara lain respon komplit sebesar 43-65%, respon parsial 24-30%, tidak ada respon 3,5-20% dan progresif tumor sebesar 0-15%.2,24 10Indonesia Universitas Studi korelasi ..., Prinka Diaz Adyta, FK UI, 2013 15 2.1.9. Kombinasi Kemoterapi dan Radioterapi Berdasarkan saat pemberiannya, kemoterapi pada kanker dibagi menjadi tiga yaitu: a. Kemoterapi Neoajuvan Kemoterapi neoajuvan pada KNF bertujuan untuk mengurangi besarnya tumor sebelum radioterapi, dan menghilangkan mikrometastasis sistemik sedini mungkin. Hal ini didasarkan karena pertimbangan vaskular bed tumor masih ada sehingga pencapaian obat menuju massa tumor masih optimal. Kerugian cara ini pada KNF adalah tumor dapat terus tumbuh makin membesar bila tidak responsif terhadap kemoterapi yang diberikan, sehingga status performans akan menurun akibat timbulnya efek samping toksisitas yang berat dan tertundanya jadwal radioterapi.25 Pemberian kemoterapi neoajuvan dilaporkan dapat meningkatkan angka respons komplit sebesar 25,4%.26 Regimen yang digunakan yaitu cisplatin 75 mg/m2, 5FU 500 mg/m2 per hari, dan docetaxel 75 mg/m2 setiap 3 minggu untuk 3 siklus dilanjutkan dengan cisplatin weekly 40 mg/m2. Efek samping setelah neoajuvan kemoterapi mencakup myelosupresi grade 3-4 (55,9%), gastrointestinal (16,9%) berdasarkan National Cancer Institute’s Common Terminology Criteria for Adverse Events (NCI CTAE versi 3.0). Efek samping setelah kemoradiasi yaitu grade 3-4 mukositis (6,8%), deskuamasi kulit (44%) dan xerostomia (27%). Neoajuvan kemoterapi dapat mengurangi kekambuhan lokoregional sebesar 94,7% (RR 0,74; 95% CI, p= 0,005) dan metastasis jauh 97,7% (RR 0,67, 95% CI, p-0,003).26 b. Kemoterapi Konkuren Kemoterapi konkuren adalah pemberian kemoterapi bersamaan dengan radioterapi. Dengan cara ini diharapkan dapat membunuh sel kanker yang sensitif terhadap kemoterapi dan mengubah sel kanker yang resisten menjadi lebih sensitif terhadap radioterapi. 10Indonesia Universitas Studi korelasi ..., Prinka Diaz Adyta, FK UI, 2013 16 Selain itu kemoterapi konkuren bekerja sinergistik yaitu mencegah resistensi, membunuh subpopulasi sel kanker yang hipoksia dan menghambat pemulihan DNA pada sel kanker yang subletal.19,25 Kelemahan cara ini yaitu meningkatnya efek samping antara lain mukositis, leukopeni dan infeksi. Untuk mengurangi efek samping tersebut, maka diberikan kemoterapi tunggal dosis rendah dengan tujuan untuk meningkatkan sensitivitas sel kanker terhadap radioterapi. Cara tersebut dikenal sebagai radiosensitizer.19 Penelitian yang dilakukan oleh Dechaphunkul dkk.,27 menunjukan bahwa kemoradiasi konkuren dengan carboplatin tiga siklus setiap tiga minggu diikuti dua siklus carboplatin dan 5 FU 1000 mg/m2 per tiga minggu dan radiasi total dosis 70 Gy dalam 35 fraksi, sebanyak 92 % menunjukan remisi sempurna dan 8% remisi sebagian. Angka kesintasan tiga tahun yaitu 89,7%. Carboplatin dapat menjadi pilihan untuk mengurangi efek samping ototoxicity dan nefrotoxicity. 2.1.10 Penilaian Respon Terapi Penilaian respon tumor terhadap pengobatan kanker berdasarkan kriteria WHO yaitu RECIST (Response Evaluation Criteria in Solid Tumours). Kriteria Recist dapat digunakan untuk evaluasi pengobatan menggunakan CT Scan.28 2.1.11 Efek Samping Kemoradiasi Komplikasi akut dari radioterapi di daerah kepala dan leher meliputi dermatitis, xerostomia dan mukositis sehingga terjadi pengurangan asupan makanan dan cairan, oleh Karena itu dibutuhkan pemberian makanan melalui nasogastrik atau percutaneous gastrostomy untuk menjaga asupan makanan.26 Komplikasi akut dari radioterapi dapat menetap 4 sampai 6 minggu setelah terapi terakhir. Tosisitas lambat radiasi terlihat pada 82% pasien dalam 5 tahun terakhir meliputi osteoradionekrosis pada mandibula, fibrosis dan disfagia. Tabel dibawah menunjukan komplikasi lambat radioterapi menurut RTOG (Radiation Theraphy Oncology Group). 10Indonesia Universitas Studi korelasi ..., Prinka Diaz Adyta, FK UI, 2013 17 Penggunaan tehnik IMRT (Intensity Modulated Radiotherapy) dapat menjaga fungsi saliva dengan mempreservasi kelenjar parotis, nervus optikus optik kiasma dan brainstem.29 2.2 Pengaruh Gizi Terhadap Respon Terapi Malnutrisi timbul akibat patofisiologi dari kanker maupun hasil pengobatan kanker tersebut. Penilaian gizi sangat penting terhadap pasien yang akan menjalani pengobatan, karena umumnya malnutrisi akan berhubungan dengan komplikasi pasca terapi dan kelangsungan hidup. Penelitian yang dilakukan oleh Mahdavi dkk.,30 mendapatkan adanya perbedaan harapan hidup pada pasien kanker kepala leher dengan malnutrisi (13,9%) dengan pasien tanpa malnutrisi (59,5%) sebesar 3,5 tahun. Dalam parameter gizi, albumin dapat menjadi parameter dari respon terapi maupun angka morbiditas dan mortalitas. Parameter malnutrisi dapat tercermin dari penurunan berat badan 5-10%. Pemeriksaan serum protein dapat menjadi informasi tidak langsung mengenai protein viseral dalam tubuh. Prealbumin dapat menjadi petanda dari protein viseral sehingga permeriksaan prealbumin merupakan tanda awal dari ketidakseimbangan protein karena waktu paruh yang pendek yaitu 2 sampai 3 hari.10 2.2.1. Albumin Sebagai Faktor Prognostik Penelitian menunjukkan bahwa serum albumin merupakan prediktor morbiditas dan mortalitas, berhubungan dengan lamanya pasien dirawat di rumah sakit dan ICU, ketergantungan terhadap ventilator dan adanya komplikasi. Terhadap pasien kanker, albumin dapat menjadi pemeriksaan awal untuk menilai resiko mortalitas dan kesintasan. Gupta dkk.,9 melakukan studi literatur terhadap 29 pasien kanker gastrointestinal, 10 pasien paru dan 6 pasien ginekologi, meunjukan bahwa serum albumin yang rendah menunjukkan rendahnya kesintasan dan kualitas hidup. 10Indonesia Universitas Studi korelasi ..., Prinka Diaz Adyta, FK UI, 2013 18 Penelitian yang dilakukan oleh Andrade dkk.,31 terhadap pasien sarkoma, ukuran tumor, stadium, status performans dan albumin menjadi salah satu faktor prognostik kesintasan. Pasien dengan albumin < 3,5 g/dL memiliki kesintasan 13 bulan. Lis dkk.,32 meneliti pada kanker payudara serum albumin > 3,5 g/dL dapat mengurangi resiko mortalitas sebesar 72%. Albumin dapat dipilih menjadi faktor prognostik karena dapat menggambarkan protein viseral dalam tubuh dan waktu paruh yang panjang yaitu 21 hari. 2.2.2 Gangguan metabolisme pada kanker Penyebab perubahan metabolisme pada kanker belum jelas. Namun beberapa mekanisme yang berperan adalah adanya respon non spesifik terhadap faktorfaktor yang dilepaskan oleh tumor dan respon inflamasi sistemik yang diperantarai oleh sitokin yang diproduksi oleh makrofag. Sitokin adalah kelompok soluble glykoprotein dan low molecular weight peptides yang mengatur interaksi antar sel serta fungsi sel dan jaringan.33-35 Beberapa sitokin yang berperan dalam gangguan metabolisme adalah TNF (tumor necrosis factor) menekan aktifitas lipoprotein lipase di jaringan lemak, sehingga menggangu klirens trigliserida dari plasma yang menyebabkan hipertrigliseridemia. Interleukin-1 (IL-1), TNF, leukimia inhibitory factor (LIF) menyebabkan anorexia melalui penghambatan neuropeptide Y (NPY). NYP adalah suatu potent feeding stimulatory peptide yang diaktivasi oleh penurunan kadar leptin. Leptin mengontrol asupan makanan dan energy expenditure melalui neuropeptic effector molecules dalam hipotalamus, leptin merangsang jalur katabolik dan menghambat jalur anabolik.42 TNF-1, IL-1 dan LIF meningkatkan kadar leptin dan menyebabkan anorexia dengan cara mencegah kompensasi normal terhadap penurunan asupan makanan.33-35 Lipid mobilizing factor menyebabkan lipolisis dan menurunkan berat badan. Proteolysis inducing factor (PIF) menyebabkan degradasi protein pada otot skeletal melalui peningaturan ubiquitin proteasome proteolytic, menurunkan sintesis dan meningkatkan sitokin dan acute phase protein. 10Indonesia Universitas Studi korelasi ..., Prinka Diaz Adyta, FK UI, 2013 19 Gambar 2.3 Gangguan metabolisme kanker45 Pada respon inflamasi sistemik terjadilah pelepasan proinflamatory sitokin, growth factor yang mempunyai efek katabolik terhadap host. Interleukin 6 yang diproduksi oleh tumor atau jaringan sekitar, menstimulasi produksi C-reactive protein (CRP)dan fibrinogen. Penurunan konsentrasi serum albumin dikarenakan oleh produksi sitokin yaitu IL 6 . Tumor necrosis factor (TNF) meningkatkan permeabilitas dari pembuluh darah menyebabkan terlewatinya albumin dalam transcapillary.42-46 2.2.3 Pengaruh albumin terhadap kesintasan Pada kanker nasofaring sering terjadi mukositis dan sulit menelan sehingga asupan nutrisi menjadi kurang dan berakibat kepada penurunan berat badan . Capuano dkk.,6 dalam penelitiannya mendapatkan 47 orang pasien kanker kepala leher khususnya nasofaring yang menjalani kemoradiasi mengalami kehilangan berat badan 10% dari berat badan sebelum terapi (p≤0,001). Penelitian yang dilakukan oleh Jager dkk.,36 mendapatkan 19% dari kanker orofaring, kanker rongga mulut, KNF dan hipofaring mengalami critical weight loss. Brady dkk.,37 pada tahun 2007 melakukan penelitian terhadap pasien kanker kepala dan leher, selama dilakukan radioterapi juga ditemukan terjadinya kehilangan berat badan. 10Indonesia Universitas Studi korelasi ..., Prinka Diaz Adyta, FK UI, 2013 20 Medow dkk.,12 melakukan penelitian pada pasien kanker kepala dan leher mendapatkan adanya kadar albumin serum < 3,85 g/dL mempunyai kesintasan 440 hari, kadar albumin ≥ 3,85 g/dL mempunyai kesintasan 625 hari (95% interval kepercayaan, 536-1032 hari). Selain dari kanker kepala leher, Andrade dkk.,31 mendapatkan 61 pasien dengan sarcoma jaringan lunak, kadar serum albumin < 3,5 g/dL (p=0,03), median follow up 20 bulan, mempunyai angka kesintasan lima dan sepuluh tahun sebesar 54% dan 46% sedangkan kadar albumin ≥ 3,5 g/dL mempunyai kesintasan lima dan sepuluh tahun sebesar 60% dan 55%. Penelitian Feliu dkk.,38 melakukan studi retrospektif terhadap 292 pasien non small cell lung cancer dan median dollow up 6 bulan, mendapatkan kesintasan 9 bulan apabila albumin > 4 g/dl. 2.3 Peran Albumin sebagai antioksidan Albumin adalah ekstraselular kompartmen dari grup sulphydryl yang ditemukan pada kelompok sistein. Grup sulphydryl membentuk suatu gugus yang dinamakan thiols yang merupakan suatu radikal bebas terutama pada kelompok hydrogen peroksida (H2O2.) H2O2 dibentuk dari reduksi langsung molekul oksigen yang dikatalisis oleh superoxide dismutase (SOD). Albumin dapat mengikat ROS dengan berikatan dengan cu2+. Ion cu2+ ini diketahui dapat mempercepat produksi radikal bebas. Albumin sebagai antioksidan dapat mempengaruhi keseimbangan redox.11 Stess oksidatif yaitu kondisi dimana mekanisme pertahanan selular antioksidan tidak berfungsi untuk menonaktifkan ROS, sehingga ROS diproduksi terus menerus. Produksi ROS yang berlebihan dapat merusak lipid, protein, karbohirat dan asam nucleus, sehingga dapat mempengaruhi fungsi viabilitas sel.39 10Indonesia Universitas Studi korelasi ..., Prinka Diaz Adyta, FK UI, 2013 21 Albumin secara langsung dan tidak langsung dapat merespons stress oksidatif dengan 2 cara, yaitu: 46 1 Secara langsung, berikatan dengan interstisial matrix dan subendotelial sel, dengan mengubah permeabilitas sel menjadi molekul yang besar dan soluble 2 Secara tidak langsung, berikatan dengan asam arachidonat (AA), sehingga meningkatkan permeabilitas kapiler. Gambar 2.4 Albumin dan antioksidan11 2.4 Hipoksia tumor Pertumbuhan dan proliferasi sel membutuhkan suplai oksigen, salah satu kondisi dimana suplai oksigen tidak memenuhi kebutuhan disebut sebagai hipoksia. Hipoksia terjadi apabila tekanan oksigen intraseluler < 20 mmHg.47 Salah satu penyebab timbulnya hipoksia sel dan jaringan tumor yaitu pertumbuhan tumor tidak dapat diimbangi oleh pertumbuhan pembuluh darah sehingga terjadi kekurangan suplai oksigen ke dalam sel tumor terutama daerah sentral. Terdapat dua cara pengukuran hipoksia, yaitu pengukuran langsung menggunakan mikroelektroda Eppendorf dengan menggunakan jarum-jarum yang ditusukkan langsung intratumor. Secara tidak langsung dengan cara penanda hipoksia.47-48 10Indonesia Universitas Studi korelasi ..., Prinka Diaz Adyta, FK UI, 2013 22 Penanda hipoksia yaitu penanda eksogen dan endogen. Pimonidazol merupakan penanda hipoksia eksogen sedangkan HIF-1, CA 9, GLUT dan VEGF merupakan penanda hipoksia endogen.48 Mekanisme hipoksia dalam mempengaruhi angiogenesis yaitu dengan terangsangnya regulator kunci terhadap respon hipoksia, yaitu hipoxia inducible factor 1 (HIF 1) yang juga merangsang proliferasi sel. HIF 1 merupakan protein DNA heterodimer yang terdiri dari HIF 1α yang ekspresinya diinduksi oleh hipoksia dan HIF 1 β yang ekspresinya tidak tergantung hipoksia. Akumulasi HIF 1 α dalam keadaan hipoksia akan cepat didegradasi dalam keadaan normoksia melalui aktivasi prolyl hidroxilase yang akan mengikat protein VHL. Dalam keadaan hipoksia HIF 1 α akan menuju ke nukleus dengan HIF 1 β dari gen regulator hipoksia antara lain vascular endotelial growth factor (VEGF), CA 9, dan glut 1. HIF 1 α akan menginduksi VEGF dan menyebabkan angiogenesis.14 Interpretasi HIF 1 α pada KNF menurut penelitian Hui dkk.,49 yaitu mengambil nilai cutt off 5%, sehingga sel yang positif <5% dikategorikan sebagai rendah dan >5% dikategorikan sebagai tinggi. Sedangkan penelitian HIF 1 α pada kanker payudara menggunakan nilai cut off 10%. 2.4.1 Pengaruh hemoglobin terhadap respon radiasi Hemoglobin (Hb) adalah pembawa oksigen ke seluruh tubuh juga kepada sel tumor. Berkurangnya hemoglobin dapat menyebabkan menurunnya oksigen di darah dan menyebabkan hipoksia, yang akan berdampak pada efektifitas radioterapi. Anemia tidak hanya dapat mempengaruhi kualitas hidup penderita kanker tetapi berdampak kepada kesintasan. Kesintasan lokoregional dalam lima tahun KNF dengan anemia sebelum radiasi yaitu 60,9% dibandingkan dengan tidak anemia 63,9%.50 Pengaruh penurunan Hb terhadap efektifitas radiasi yaitu terjadinya hipoksia yang akan meningkatkan radioresistan dan progesifitas sel tumor. Hipoksia sel tumor akan menginduksi HIF 1 melalui hypoxia responsive elements dari gen regulator hipoksia antara lain VEGF, p53 , EPO sehingga meningkatkan agresifitas tumor.51 10Indonesia Universitas Studi korelasi ..., Prinka Diaz Adyta, FK UI, 2013 23 2.4.2 Pengaruh Hipoksia terhadap respon radiasi Radioterapi merupakan salah satu contoh pengobatan anti kanker yang bergantung pada ROS. Radiasi pengion menghancurkan sel dengan efek langsung dengan target DNA strand break dan efek tidak langsung dengan hirolisis air yang dimediasi oleh ROS. Pemberian dosis radiasi terbagi (fraksinasi) dimaksudkan untuk reoksigenasi sel tumor sehingga lebih responsif.52-54 Mekanisme kematian sel tidak langsung akibat radiasi yang terbanyak adalah melalui proses kematian tidak langsung, yaitu pembentukan radikal bebas, maka oksigen penting untuk keberhasilan terapi. Oxygen enhancement ratio yaitu rasio dosis antara jaringan hipoksia dan jaringan tidak hipoksia. Dalam keadaan hipoksia diperlukan dosis radiasi 2,8-3 kali lebih tinggi dibandingkan keadaan tidak hipoksia.52-54 10Indonesia Universitas Studi korelasi ..., Prinka Diaz Adyta, FK UI, 2013 24 2.5 Kerangka teori KNF Radiasi Mitotic catasstrophe Anorexiakaheksia Pelepasan sitokin IL 1, IL 6, TNF-α Nekrosis Autophagy DNA Double Strand Break Senescence Peningkatan lipolysis dengan lipid mobilizing factor Permeability transition pore Degradasi protein melalui proteolysis inducing factor Efek tidak langsung Efek langsung Hidrolisis air oleh ROS ↑ Hypoxia Inducible Factor 1α ↑oksidatif stress (ROS). superoxide dismutase (SOD) Hidrogen peroksida (H2O2) Terganggunya permeabilitas membrane mitokondria Voltage Anion Channel STATUS NUTRISI - Asupan - Body Mass Index Albumin (thiols) menghambat H 2O 2 Aktifnya molekul proapoptosis Bcl2, Bax,Bah Cytochrome C Smac/ Diablo Caspase dependent pathway \ Ruang lingkup penelitian Apoptosis Studi korelasi ..., Prinka Diaz Adyta, FK UI, 2013 Apoptosis inducing factor ↑ Respon Radiasi Universitas Indonesia 25 2.6 Kerangka Konsep Kadar albumin praradiasi KNF 3 Hipoksia (HIF 1 α) Karakteristik pasien: - Umur - Jenis kelamin - Stadium - Jenis histopatologi - Differensiasi sel RADIASI 1 2 RESPON RADIASI Hipotesis 1 1 2 Hipotesis 2 3 Hipotesis 3 Universitas Indonesia Studi korelasi ..., Prinka Diaz Adyta, FK UI, 2013 26 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Desain Penelitian Penelitian ini merupakan studi retrospektif cohort menggunakan data sekunder dari rekam medis. 3.2 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Departemen Radioterapi dan Departemen Patologi Anatomi RSCM selama sembilan bulan mulai dari bulan Desember 2012 sampai dengan Agustus 2013. 3.3 Populasi Penelitian Populasi target adalah semua pasien KNF stadium lanjut. Populasi terjangkau adalah semua pasien KNF yang berobat dan atau mendapatkan terapi radiasi di Departemen Radioterapi RSCM mulai bulan Desember 2012 yang memenuhi kriteria. 3.4 Cara Pemilihan Sampel Sampel dikumpulkan dengan cara konsekutif sampling, dimana setiap sampel yang sudah memenuhi kriteria inklusi diikutsertakan dalam penelitian sampai besar sampel terpenuhi. 3.5 Besar sampel Besar sampel dihitung dengan rumus uji hipotesis terhadap 2 proporsi: n1=n2= ( Zα √ 2 p q+ z β√ p1Q1 + P2 Q2) 2 (p1 - p2) 2 26Indonesia Universitas Studi korelasi ..., Prinka Diaz Adyta, FK UI, 2013 27 Zα adalah deviat baku normal untuk α, nilainya 1,96. Zβ adalah deviat baku normal untuk β, nilainya 0,824. α adalah besarnya kesalahan tipe I (besarnya peluang untuk menolak H0 pada sampel padahal dalam populasi H0 benar. β adalah kesalahan tipe II (besarnya peluang untuk tidak menolak H0 yang sebenarnya harus ditolak) α = 56 Zα = 1,96 β = 206 Zβ = 0,842 P1 = 20% (kelompok albumin < 3,85 g/dL, asumsi respon tumor sebesar 20%) P2 =75% (kelompok albumin > 3,85 g/dL, asumsi respon tumor sebesar 75%) Q1= 80% Q2= 25% P= 1/2P1+1/2P2 = 20+75 = 47,4 Q = 52,5 2 Dari rumus besar sampel diatas didapatkan: n1=n2= ( 1,96 √ 2 (47,4)(52,5)+ 0,842√ (20)(80) + (75)(25)2 (20 - 75)2 n1 = n2 = 16. Perkiraan drop out sebesar 20%. Dengan power penelitian 80%dan interval kepercayaan 95%, maka jumlah sampel minimal yang dibutuhkan adalah 20 sampel untuk masing masing kelompok. 3.6 Kriteria Inklusi dan Eksklusi 3.6.1 Kriteria Inklusi KNF stadium lanjut lokal (Stadium III dan IVA-B) Tidak ada riwayat radiasi sebelumnya Karnofsky performance score (KPS) > 70 Memiliki kadar albumin praradiasi Pemeriksaan kadar albumin darah dilakukan tidak lebih dari 21 hari sebelum radiasi dimulai Memiliki CT scan sebelum dan sesudah radiasi 26Indonesia Universitas Studi korelasi ..., Prinka Diaz Adyta, FK UI, 2013 28 3.6.2 Kriteria Eksklusi Pasien yang tidak menyelesaikan radiasi Terdapat penyakit hepar dan ginjal 3.7 Cara kerja 1. Dilakukan pengumpulan data rekam medik pasien KNF stadium lokal lanjut yang berobat di Departemen Radioterapi RSUPN Dr. Cipto mangunkusumo yang memenuhi kriteria inklusi. 2. Dilakukan pencatatan kadar albumin praradiasi dan berat badan perminggu dari rekam medis 3. Dilakukan pencatatan ukuran tumor diameter terbesar berdasarkan CT scan sebelum radiasi dan 1 bulan pasca radiasi untuk melihat respon tumor berdasarkan kriteria Recist. 4. Dari blok parafin biopsi tumor, dilakukan analisa ekspresi HIF 1 α sebagai petanda hipoksia dengan teknik immunoperoksidase di bagian patologi anatomi. 5. Dilakukan analisis korelasi antara albumin praradiasi dengan hipoksia terhadap respon tumor. 3.7.1 Pemeriksaan HIF 1 α dengan teknik immunoperoksidase Tehnik pemeriksaan 1. Dilakukan pemotongan jaringan dengan mikrotom setebal 4 mikron dan diletakkan pada kaca benda yang sudah dilapisi oleh poly L lysine, kemudian keringkan 37 derajat celcius dan panaskan diatas slide warmer 60 derajat celcius selama 30 menit. 2. Dilakukan deparafinisasi dengan xylol bertingkat (xylol I,II, III) dalam waktu 5 menit. 3. Dilakukan rehidrasi dengan alkohol Abs, alkohol 96% dan alkohol 80% dalam waktu 4 menit, kemudian cuci dengan air mengalir dalam waktu 5 menit. 26Indonesia Universitas Studi korelasi ..., Prinka Diaz Adyta, FK UI, 2013 29 4. Setelah itu dilakukan blocking peroksida endogen menggunakan H2O2 dalam methanol 0.5% dalam waktu 30 menit, kemudian cuci dengan air mengalir dalam waktu 5 menit. 5. Dilakukan pretreatment dengan TE (Tris EDTA) pada microwave; cook I,power level 8 5 menit, cook II, power level I 5 menit. Kemudian dinginkan 45 menit 6. Setelah itu cuci dalam PBS pH 7.4 7. Dilakukan blocking protein non-spesifik dengan background sniper selama 5 menit 8. Inkubasi specimen dengan antibodi primer antibodi HIF 1α (Biocare Medicine) dengan konsentrasi 1/300 selama satu malam. Keesokan harinya, cuci dalam larutan PBS pH 7.4 selama 5 menit 9. Inkubasi specimen dengan antibodi sekunder biotinylated (universal link) selama 15 menit. Rendam kembali kaca benda dalam PBS pH 7.4 selama 5 menit. 10. Setelah itu inkubasi specimen dengan trekavidin –HRP label selama 15 menit. kemudian cuci dalam PBS pH 7.4 selama 5 menit 11. Campur 1 tetes diaminobenze (DAB) selama 2-5 menit, kemnudian cuci dengan air mengalir selama 10 menit 12. Dilakukan counterstain dengan hematoxylin selama 1-2 menit. Cuci dengan air mengalir 5 menit. Rendam dalam lithium carbonat selama 1 menit. Cuci kembali dalam air selama 3 menit 13. Dilakukan dehiudrasi dengan alkohol bertingkat (80%, 96%, absolut) masing-masing 5 menit dan clearing dengan xylol bertingkat (xylol I,II, III) masing-masing 5 menit sebelum ditutup dengan mounting solution dan coverslip. 14. Kontrol positif dan negatif diikutsertakan setiap kali melakukan pulasan. 15. Dilakukan pengambilan foto slide pada pembesaran 400x. 26Indonesia Universitas Studi korelasi ..., Prinka Diaz Adyta, FK UI, 2013 30 3.7.2 Penilaian ekspresi pulasan HIF 1 α Penilaian ekspresi HIF 1 α dilakukan pada massa tumor dengan perhitungan manual per 10 lapang pandang besar. Kemudian dilakukan grading dengan nilai cut off 5%, yaitu dikategorikan rendah jika < 5% dan tinggi jika > 5%. Setelah itu dilakukan perhitungan persentase sel yang positif. 3.8 Variabel penelitian Variabel bebas: kadar albumin praradiasi dan hipoksia Variabel terikat: respon radiasi 3.9 Analisa data Data yang diperoleh diedit, dikoding dan dimasukkan ke dalam komputer menggunakan program SPSS for windows 16.0. Analisa deskriptif untuk melihat karakteristik pasien berupa distribusi frekuensi. Uji hipotesis bivariat digunakan untuk melihat hubungan kadar albumin praradiasi terhadap respon radiasi dengan menggunakan uji Fisher. Korelasi kadar albumin dan hipoksia menggunakan uji pearson. Uji Fisher merupakan uji non parametrik, digunakan untuk variabel kategorik. Batas kemaknaan yang digunakan adalah 0,05, sehingga jika nilai p≤0,05 maka terdapat perbedaan yang bermakna secara statistik. 26Indonesia Universitas Studi korelasi ..., Prinka Diaz Adyta, FK UI, 2013 31 3.10 Alur Penelitian Rekam medis Pasien dengan diagnosa KNF stadium lokal lanjut Kriteria eksklusi Kriteria inklusi Mencatat: - Albumin praradiasi - Berat badan - CT scan pre dan post radiasi Analisa HIF 1 α dengan blok parafin - Pulasan IHK - Pemotretan dengan magnifikasi 400x -Hitung sel per 10 lapang pandang besar - Respon radiasi (Recist) Analisa data 26Indonesia Universitas Studi korelasi ..., Prinka Diaz Adyta, FK UI, 2013 32 3.11 Definisi Operasional KNF stadium lanjut Adalah KNF stadium lokal lanjut sesuai TNM AJCC edisi ke 7 tahun 2010 yaitu: Stadium III (T1-3 N0-2 M0) Stadium IVA (T4 N0-2 M0) Stadium IV B (T1-4 N3 M0) Indeks massa tubuh Dinyatakan dari perhitungan berat badan (kg) dibagi dengan tinggi badan ( meter) kuadrat. Overweight bila IMT >25 kg/m2. Normoweight bila IMT 18-25 kg/m2. Albumin Adalah pemeriksaan kadar serum albumin darah sebelum praradiasi radiasi dengan waktu paruh 21 hari. Nilai cut off yang dipakai adalah < 3,5g/dL dan ≥3,5 g/dL. HIF 1 Adalah faktor transkripsi gen yang terinduksi karena hipoksia (marker hipoksia).Penilaian ekspresi HIF 1 α dilakukan dari spesimen blok parafin tumor dengan teknik pemeriksaan immunohistokimia. Interpretasi HIF 1α adalah jumlah sel yang positif hipoksia per 10 lapang pandang besar, dengan nilai cut off 5%. Dikategorikan tinggi jika persentase sel yang positif >5% dan rendah jika < 5%. Respon radiasi Adalah perbandingan ukuran tumor primer dengan menggunakan CT scan sebelum dan 1 bulan sesudah radiasi sesuai dengan kriteria Recist. Hasil ukur primer menghilang berdasarkan kriteria Recist yaitu: Respons komplit: bila tumor seluruhnya setelah radiasi komplit. Respons parsial : tumor primer berkurang ≥30% pada diameter terbesarnya setelah radiasi komplit, masih terdapat penebalan pada lesi. 26Indonesia Universitas Studi korelasi ..., Prinka Diaz Adyta, FK UI, 2013 33 Penyakit menetap: tidak terdapat perubahan ukuran tumor primer sebelum dan sesudah radiasi Progresif penyakit : tumor primer berkurang ≥ 20% atau meluas setelah radiasi. Tidak menyelesaikan dan tidak kembali menyelesaikan radiasi. radiasi Respon lokal dan respon regional Apabila terdapat gap panjang selama radiasi berlangsung Adalah respon tumor di nasofaring. Respon regional adalah respon kelenjar getah bening leher yang potensial terjadi penyebaran KNF. 26Indonesia Universitas Studi korelasi ..., Prinka Diaz Adyta, FK UI, 2013 34 BAB IV HASIL PENELITIAN Sejak Desember 2012 sampai dengan Agustus 2013 didapatkan 40 pasien kanker nasofaring yang berobat di Departemen Radioterapi RSCM yang memenuhi kriteria inklusi menjadi subyek dan masuk dalam penelitian. Karakteristik pasien disajikan pada tabel 4.1. Didapatkan bahwa sebanyak 28 (70%) pasien berjenis kelamin laki-laki, dan 12 (30%) wanita. Dari kelompok usia, kelompok usia 40-50 tahun adalah yang terbanyak yaitu 19 (47,5%) pasien. Dari penyebaran tumor (T), kelompok T4 adalah yang terbanyak yaitu 23 (57,5%), 17 (42,5%) sisanya adalah T3. Dilihat dari keterlibatan kelenjar getah bening (N), ditemukan kelompok N1 mempunyai jumlah yang sama dengan kelompok N3 yaitu sebanyak 13 (32,5%) pasien, diikuti oleh kelompok N2 sebanyak 10 (25%) dan N0 sebanyak 4 (10%). Tigapuluh satu (77,5%) pasien berada dalam stadium IV dengan sebaran stadium IVA 18 (45%) merupakan kelompok terbanyak, sisanya adalah stadium IVB 13 (32,5%) dan 9 (22,5%) pasien berada dalam stadium III. Tipe histopatologi tersering adalah WHO tipe III yaitu 85% sisanya merupakan tipe WHO II yaitu 6 (15%). Jenis sel tumor dengan diferensiasi baik ditemukan pada 29 pasien (72,5%) dan sisanya 11 (27,5%) adalah berdiferensiasi buruk. Dilihat dari status gizi, 30 (75%) pasien mempunyai indeks massa tubuh >25 kg/m2 (overweight) dan hanya 10 (25%) pasien mempunyai berat badan normal 18-25 kg/m2 (normoweight). 26Indonesia Universitas Studi korelasi ..., Prinka Diaz Adyta, FK UI, 2013 35 Tabel 4.1 karakteristik pasien pasien Jenis kelamin Laki Wanita Umur < 40 tahun 40-50 tahun > 50 tahun Berat badan 40-50 kg 50-60 kg > 60 kg Indeks massa tubuh 18-25 kg/m2 >25 kg/m2 Albumin praradiasi < 3,5% ≥ 3,5% Perluasan tumor T3 T4 Kelenjar getah bening N0 N1 N2 N3 Stadium III IV A IV B Histopatologi WHO tipe II WHO Tipe III Differensiasi Baik Buruk Respon Parsial Komplit mean 40 % 28 12 70 30 11 19 10 27,5 47,5 25 13 12 15 32,5 30 37,5 10 20 25 75 11 29 27,5% 72,5% 17 23 42,5 57,5 4 13 10 13 10 32,5 25 32,5 9 18 13 22,5 45 32,5 6 34 15 85 29 11 72,5 27,5 31 9 77,5 22,5 17 3 85 15 median 45 (20-64) 57,8 29,1 3,9 11,4 6 0,5 HIF-1 α (n=20) >5% < 5% 24,7 (1-100) 26Indonesia Universitas Studi korelasi ..., Prinka Diaz Adyta, FK UI, 2013 36 Sebagai batasan kadar albumin normal adalah ≥ 3,5 g/dl. Pada penelitian ini ditemukan kelompok pasien dengan kadar albumin praradiasi normal sebanyak 29 (72,5%) dan hanya 11 (27,5%) berada dibawah kadar normal. Terdapat 20 sampel blok parafin yang memadai untuk diperiksa HIF-1 α sebagai marker hipoksia dengan menggunakan teknik immunohistokimia. Didapatkan 85% memiliki HIF-1 yang tinggi (≥ 5%) dan hanya 15% yang memiliki HIF-1 Persentase rendah (< 5%) seperti yang terlihat pada gambar 4.1. 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0 >5% < 5% HIF-1α Gambar 4.1. Bar diagram distribusi HIF-1α (n=20). Hipoksia tinggi bila HIF-1 ≥ 5%, Hipoksia rendah bila HIF-1 < 5% Seluruh pasien mendapatkan radiasi lengkap lokoregional, dengan dosis 70 Gy Gambar 4.2 memperlihatkan diagram respon tumor komplit pada 31 (77,5%) pasien dan respon komplit 9 (22,5%) pasien. 26Indonesia Universitas Studi korelasi ..., Prinka Diaz Adyta, FK UI, 2013 Persentase 37 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0 Parsial komplit Respon Gambar 4.2. Diagram respon tumor Dari uji Fisher exact didapatkan terdapat hubungan yang bermakna antara kadar albumin praradiasi terhadap respon radiasi (p <0,05). Hal ini menunjukkan bahwa kadar albumin praradiasi ≥3,5g/dL pada KNF stadium lokal lanjut dapat menentukan respon komplit (Tabel 4.2). Tabel 4.2 Hubungan kadar albumin praradiasi dan respon radiasi (n=20) Variabel Kadar albumin praradiasi <3,5 g/dL ≥3,5 g/dL *uji Fisher Respon Komplit Parsial 0 6 12 2 p 0,001 Uji Fisher exact menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara HIF-1α dan respon radiasi (p<0,05). Hal ini menunjukkan bahwa keadaan hipoksia pada KNF stadium lokal lanjut membuat respon radiasi menjadi buruk (Tabel 4.3). 26Indonesia Universitas Studi korelasi ..., Prinka Diaz Adyta, FK UI, 2013 38 Tabel 4.3 Hubungan antara respon dan terhadap HIF-1 α (n=20) Variabel Respon Parsial Komplit HIF-1 α Rendah Tinggi 14 0 0 6 p 0,001 *Uji Fisher Dari uji T tidak berpasangan didapatkan terdapat hubungan yang bermakna antara albumin praradiasi dengan HIF-1 α (p<0,05). Hal ini menunjukkan bahwa pada KNF stadium lokal lanjut kadar albumin <3,5 g/dL berhubungan dengan hipoksia tinggi dan kadar albumin ≥ 3,5 g/dL berhubungan dengan rendahnya hipoksia (Tabel 4.4). Tabel 4.4 Hubungan albumin dan HIF-1 α (n=20) Variabel Albumin <3,5 g/dL ≥ 3,5 g/dL HIF-1 α Rendah Tinggi 14 0 0 6 p 0,000 *Uji T tidak berpasangan 26Indonesia Universitas Studi korelasi ..., Prinka Diaz Adyta, FK UI, 2013 39 BAB V PEMBAHASAN Malnutrisi merupakan salah satu problem yang sering dijumpai pada pasien kanker. Berkurangnya asupan makanan per oral dan faktor katabolik yang dikeluarkan tumor menjadi faktor penyebab terjadinya hal tersebut. Asupan nutrisi yang kurang pada pasien kanker akan menurunkan sintesa protein yang akan menurunkan konsentrasi protein serum seperti albumin. Dalam keadaan normal albumin disintesa 12-25g perhari, diabsorpsi 1 g per hari, kebutuhan albumin untuk pasien kanker 1,5-2 g/kgbb dengan waktu paruh 21 hari. Kadar albumin yang rendah disebabkan oleh produksi sitokin IL6 yang dapat mempengaruhi sintesa albumin pada hepatosit.9 Albumin merupakan ekstraselular kompartmen dari grup sulphydryl yang ditemukan pada kelompok sistein. Grup sulphydryl membentuk suatu gugus yang dinamakan thiols yang merupakan suatu radikal bebas . Albumin dapat membatasi produksi ROS dengan berikatan dengan ion cu2+ bebas. Ion cu 2+ ini diketahui dapat mempercepat produksi radikal bebas.11 Pada penelitian ini distribusi albumin yaitu sebanyak 72,5% pasien mempunyai kadar albumin ≥ 3,5 g/dL, sehingga diasumsikan dapat membatasi produksi radikal bebas endogen yang akan mengurangi HIF-1α sel dan meningkatkan respon radiasi. Albumin dalam hubungannya sebagai antioksidan diperlukan untuk keseimbangan redox pada tingkat seluler. Albumin merupakan cerminan dari status nutrisi karena pasien kanker terdapat penurunan berat badan yang signifikan. Asupan peroral dan faktor katabolik yang dikeluarkan oleh tumor seperti IL1, TNF α akan menyebabkan proteolisis. Terdapat hubungan yang bermakna antara albumin praradiasi dan respon sehingga kadar albumin≥ 3,5 g/dL dapat mengurangi hipoksia sel sehingga respon radiasi menjadi baik. 26Indonesia Universitas Studi korelasi ..., Prinka Diaz Adyta, FK UI, 2013 40 Di Indonesia belum terdapat penelitian yang menghubungkan albumin sebagai antioksidan terhadap respon radiasi. Pada penelitian ini nilai cut off albumin yang dipakai yaitu 3,5 g/dL. Penelitian oleh Andrade dkk.,31 terhadap 61 pasien sarkoma menyatakan bahwa kadar albumin <3.5 g/dL mempunyai kesintasan 5 tahun yaitu 54% (p=0,03) dengan median follow up 20 bulan. Pada analisa multivariat albumin dapat digunakan sebagai faktor prognosis dihubungkan dengan stadium dan histopatologi. Pada penelitian ini belum dapat dinilai hubungan antara albumin dan kesintasan, sehingga diperlukan follow up lebih lanjut. Penilaian status nutrisi pada penelitian ini hanya mengambil data berat badan sebelum radiasi dan tidak mengambil sesudah radiasi, sehingga tidak dapat diketahui seberapa besar pengurangan berat badan pasien. Selain kadar albumin, faktor yang dianalisa terhadap respon yaitu HIF-1α. HIF-1α didefinisikan sebagai keadaan dimana tekanan parsial oksigen intrasel atau intratumor < 20 mmHg. Hipoksia sel tumor akan menginduksi regulator kunci yaitu HIF-1α yang mempunyai peran kompleks merangsang angiogenesis, proliferasi sel dan proses transpor glukosa.14 Dalam keadaan hipoksia HIF-1α akan ditranslokasi kedalam nukleus dalam bentuk dimer dengan HIF-1β sebagai hypoxia responsive elements dari gen regulator HIF-1α antara lain VEGF, p53, EPO sehingga meningkatkan progresifitas tumor.14 Dalam radioterapi respon sel tumor terhadap radiasi sangat bergantung pada oksigenisasi jaringan dalam tumor, hal ini berkaitan dengan mekanisme kematian sel akibat radiasi, terutama kematian tidak langsung melalui pembentukan radiakal bebas. Pemberian dosis radiasi terbagi (fraksinasi ) bertujuan untuk memberikan waktu pada sel tumor untuk reoksigenisasi, sehingga tumor menjadi lebih responsif. Respon radiasi dalam penelitian ini berdasarkan kriteria Recist yaitu pengukuran diameter terpanjang dari tumor primer sebelum dan 1 bulan sesudah radiasi. 26Indonesia Universitas Studi korelasi ..., Prinka Diaz Adyta, FK UI, 2013 41 HIF-1 α dalam penelitian ini dinilai dengan pemeriksaan HIF-1 α melalui metode imunohistokimia. Nilai cut off yang kami gunakan yaitu 5% sesuai dengan kriteria Hui dkk.,49 Pada penelitian ini kami menemukan sel HIF-1 α yang kurang, hal ini disebabkan oleh massa tumor yang tidak adekuat pada saat biopsi sehingga blok parafin yang dapat dipulas adalah 20 sampel dari 40 blok parafin . Pada penelitian ini terdapat hubungan yang bermakna antara albumin praradiasi dan HIF-1 α (p<0,05). Sehingga dapat menjawab pertanyaan penelitian yaitu kadar albumin yang tinggi dapat mengurangi hipoksia sel sehingga dapat meningkatkan respon radiasi. Belum terdapat penelitian sebelumnya yang menghubungkan antara albumin praradiasi dan HIF-1 α sel. Melihat respon parsial pada penelitian ini yang tinggi perlu dipertimbangkan pemberian KON sebagai terapi kombinasi dengan kemoradiasi untuk menurunkan HIF 1 α sel sehingga respon akan meningkat. Liu dkk59 meneliti 83 pasien KNF lokal lanjut mendapatkan bahwa T4 dan N3 mempunyai tiga tahun angka bebas penyakit sebesar 49% dan 58%. Penelitian oleh Ohno dkk60 mendapatkan bahwa kesintasan tiga tahun, distance metastasis free survival dan overall survival untuk T4 yaitu 87%, 73% dan 61%, N2 yaitu 91%, 74% dan 61%. Pada penelitian ini sebesar 72,5% pasien mempunyai diferensiasi baik. Tumor dengan berdifferensiasi buruk dan tidak berdiferensiasi mempunyai sifat radiosensitif dibandingkan dengan differensiasi baik. Oleh karena itu respon komplit pada penelitian ini hanya 22,5% dibandingkan dengan respon parsial yaitu 77,5%. Penelitian oleh Oh dkk.,24 pada 27 pasien KNF stadium lanjut yaitu III dan IV pemberian kemoterapi neoajuvan dan dilanjutkan dengan kemoradiasi konkuren mempunyai respon komplit sebesar 54,2% dan respon parsial sebesar 45,8% dengan angka kesintasan tiga dan lima tahun yaitu 88% dan 77%. Sedangkan pada 26Indonesia Universitas Studi korelasi ..., Prinka Diaz Adyta, FK UI, 2013 42 penelitian ini hanya 30% pasien mendapatkan kemoterapi neoajuvan dan 77,5% pasien mempunyai respon parsial. Penelitian ini bersifat retrospektif dengan menggunakan data sekunder maka keterbatasan pada penelitian ini yaitu hanya 20 dari 40 blok parafin yang dapat dipulas yang disebabkan oleh kurangnya massa tumor, potongan yang tipis dari massa tumor dan blok tidak ditemukan. 26Indonesia Universitas Studi korelasi ..., Prinka Diaz Adyta, FK UI, 2013 43 BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan 1. Gambaran kadar albumin praradiasi yaitu 27,5% pasien dengan kadar albumin < 3,5g/dL dan 72,5% pasien dengan ≥ 3,5 g/dL. 2. Pada penelitian ini gambaran derajat hipoksia pada KNF stadium lanjut lokal yaitu 17 (85%) pasien hipoksia tinggi dan 3 (15%) pasien hipoksia rendah. 3. Terdapat hubungan yang bermakna antara kadar albumin praradiasi terhadap respon radiasi pada KNF stadium lanjut lokal. 4. Terdapat hubungan yang bermakna antara hipoksia dan respon radiasi pada KNF stadium lanjut lokal sehingga semakin tinggi HIF-1 α respon radiasi akan semakin buruk. 5. Terdapat hubungan yang bermakna antara kadar albumin praradiasi dan hipoksia sehingga kadar albumin yang tinggi akan mengurangi hipoksia sel. 6.2 Saran 1. Untuk meningkatkan respon radiasi pada KNF stadium lanjut dilakukan evaluasi status gizi sebelum terapi. 2. Untuk mengatasi hipoksia dilakukan oksigenisasi tumor. 3. Perlu dilanjutkan penelitian prospektif dengan jumlah sampel yang besar untuk mengetahui korelasi albumin praradiasi dan hipoksia terhadap respon radiasi. 26Indonesia Universitas Studi korelasi ..., Prinka Diaz Adyta, FK UI, 2013 44 DAFTAR PUSTAKA 1. Adham M, kurniawan AN, Muhtadi AI, Roezin A, Hermani B, Gondhowiardjo S, Tan BT, Middeldorp JM. Nasopharyngeal carcinoma in Indonesia: epidemiology, incidence, signs and symptoms at presentation. Chinese Journal of Cancer. 2012; 31 (4): 185-196. 2. Lin JC, Jan JC. Locally advanced nasopharyngeal cancer: Long term outcomes of radiation theraphy. Radiology. 1999; 211: 513-518. 3. Platek ME, Reid ME. Pretreatment nutritional status and locoregional failure in patient with head and neck cancer undergoing definitive concurrent chemoradiation theraphy. Head and neck. 2011; 1561-1567. 4. Yuliasti R. Profil kanker nasofaring yang mendapat terapi radiasi dan atau kombinasi di Departemen Radioterapi RSCM Januari 2007- Desember 2011 dengan tinjauan khusus pada kesintasan. Tesis. 2012. 5. Rahajeng N. Respon radiasi pada karsinoma nasofaring stadium lokal lanjut di Departemen Radioterapi Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo. Tesis. 2012. 6. Capuano G, Grosso A. Influenced of Weight Loss on Outcomes in Patients with Head and Neck Cancer undergoing Concomitant Chemoradiotheraphy. Head and Neck. 2008; 30: 503-508. 7. Roezin A. Gangguan Nutrisi Penderita Kanker Kepala Leher. Majalah Kedokteran Indonesia. 2001;51: p143-148. 8. Nitenberg G, Raynard B. Nutritional support of the cancer patient: issues and dilemmas. Critical review in oncology and hematology. 2000; 34: 137-168. 9. Gupta G, Lis CG. Pretreatment Albumin as a predictor of cancer Survival: A Systematic Review of the Epidemiological Literature.Nutritional Journal. 2010; 9: 1-16. 10. Unal D, Orhan O, Eroglu C, Kaplan B. Prealbumin is more sensitive marker than albumin to assess the nutritional status in patients undergoing radiotheraphy for head and neck cancer. Wspolczesna oncol.2013; 17 (3): 276-280. 26Indonesia Universitas Studi korelasi ..., Prinka Diaz Adyta, FK UI, 2013 45 11. Evans TW. Albumin as a drug- Biological Effects of Albumin Unrelated to Oncotic Pressure. Aliment pharmacol Ther. 2002; 16 (5): 6-11. 12. Medow MA, Weed HG, Schuller DE. Simple predictor of survival in head and neck squamous cell carcinoma. Arch otolaryngol head and neck surg. 2002; 128:1282-1286. 13. Dixon MR, Haukoos JS, Udani SM. Carcinoembryonic antigen and albumin predict survival in patient with advanced colon and rectal cancer. Arch surg. 2003; 138: 962-966. 14. Vaupel P. The Role of Hypoxia-Induced Factors in Tumor Progression. The Oncologist. 2004; 9 (5): 10-17. 15. Galanis A, Pappa A, Giannakakis A. Reactive oxygen species and HIF 1 Signaling in Cancer. Cancer Letters. 2008; 266: 12-20. 16. Jeyakumar A, Brickman TM, Jeyakumar A, Doerr T. Review of nasopharyngeal carcinoma. ENT-Ear, Nose and Throat Journal. 2006; 85(3): 168-173. 17. Peters L J, Rischin D, Corry J, Harari PM. Cancer of Nasopharynx. In: Louis BH, Roy BS, Hong, Waun Ki, Merrill S, Jesus E, William M, Suresh KM, O’Malley BB, Wenig BM eds. Head and Neck Cancer. A multidisciplinary approach, 2nd eds. Lippincott Williams & Wilkins New York; 2004.p529-559. 18. Le QT, Lu JJ. Molecular Signaling Pathways in Nasopharyngeal cancer. In: J.Lu. J, Cooper JS, Lee AMW eds. Nasopharyngeal cancer: Multidisiplinary management. Berlin: Springer; 2010. p 27-40. 19. Perez CA. Nasopharynx in Principle and Practice of Radiation Oncology , Perez-Brady eds, 5th ed. Lippincott-Raven, Philadelphia; 2008. p 897-940. 20. Hsu HC, Chen CL, Hsu MM, Lynn TC, Tu SM, Huang SC. Pathology of Nasopharyngeal Carcinoma, Proposal of a New Histologic Classification Correlated with prognosis. Cancer. 1987; 59: 945-951. 21. Chan JKC, Bray F, Mccarron P. Nasopharynx. In: Barnes L, Eveson JW, Reichart P eds. WHO Pathology and Genetics of Head and Neck Tumour. Lyon: IARC Press; 2005. p 86-89. 26Indonesia Universitas Studi korelasi ..., Prinka Diaz Adyta, FK UI, 2013 46 22. Baumann M, Krause M. Tumor’s biology impact on clinical cure rate. In Molls M, Vaupel P eds. Tumour biology on cancer treatment and multidisciplinary strategies.Springer-Verlag; 2009. p 326-327. 23. National Comphrehensive Cancer Care Guidelines, Cancer of Nasopharynx, 2012, p 1-5. 24. Wei WI, Sham JST. Nasopharyngeal carcinoma..Lancet .2005; 365: 20412054. 25. Aldestein DJ, Tan EH. Treatment of head and neck: role of chemotheraphy. Critical review oncology hematology. 1996; 24:97-116. 26. Sumitsawan Y, Chaiyasate S, et al. Late Complications of Radiotheraphy for Nasopharyngeal Carcinoma. Auris Nasus Larynx. 2009; 36: 205-209. 27. Dechaphunkul T, Pruegsanusak K. Concurrent chemoradiotheraphy with carboplatin followed by carboplatin and 5-fluorouracil on locally advanced nasopharyngeal carcinoma. Head and neck oncology. 2011; 3: 30-35. 28. Nishino M, Jagannathan JP, Ramaiya NH. Revised Recist Guideline Version 1.1: What Oncologist Want to Know and What Radiologist Need to Know. American Roentgen Ray Society. 2010; 195: 281-289. 29. Barret A, Dobbs J, Morris S. Principles of Radiotheraphy Planning. In: Barret A, Dobbs J, Morris S eds. Practical Radiotheraphy Planning. 4th eds. London Hodder Arnogld; 2009. p 9-16. 30. Mahdavi R, Elnaz F, Zadeh M. Consequences of Radiotheraphy on Nutritional Status, Serum Zinc and Copper Levels in Patient with Gastrointestinal Tract and head and Neck Cancer. Saudi Med J. 2007; 28(3): 435-440. 31. Andrade JCB, Franco HM. Serum Albumin Is An Independent Prognostic Factor For Survival In Soft Tissue Sarcomas. Rev Invest clin. 2009; 61 (3): 199-204. 32. Lis, CG, Grustch JF, Vashi PG. Is Serum Albumin Is An Independent Predictor of Breast cancer?. Journal of Enteral and Parenteral Nutrition. 2003; 27: 10-15. 33. Response of albumin Synthesis to Oral Nutrients in Young and Elderly Subjects. American Journal of Clinical Nutrition. 2007; 85: 446-251. 26Indonesia Universitas Studi korelasi ..., Prinka Diaz Adyta, FK UI, 2013 47 34. Mason, Pam. Anorexia –Cahexia The Condition and Its Cause. Hospital Pharmacist. 2007; 14: 249-253. 35. Nicholson JP, Wolmarans MR, Park GR. The role of albumin in critical illness. British journal of anaesthesia. 2000; 85 (4): 599-610. 36. Jager, H., et al. Critical weight loss in Head and Neck Cancer- Prevalence and Risk Factors at diagnosis: and Explorative Study. Support Care Cancer. 2006; 15: 1045-1050. 37. Brady, JO., et al. Radiotheraphy Treatment for Head and Neck Cancer. Proceedings of the Nutrition Society. 2008; 67. 38. Feliu EE, Zamora P, Baron MG. Serum albumin and other prognostic factors related to response and survival in patient with advanced non small cell lung cancer. Lung cancer. 1995; 12: 67-76. 39. Manda G, Nechifor MT, Neagu TM. Reactive Oxygen Species, Cancer and anti-Cancer Therapies. Current Chemical Biology. 2009; 3: 342-366. 40. Oh JL, Vokes EE, Kies MS, Mittal BB, Witt ME. Induction chemotheraphy followed by concomitant chemoradiotheraphy in the treatment of locoregionally advanced nasopharyngeal cancer. Annals of oncology. 2003; 14:564-569. 41. Caglar HB, Allen AM. Intensity Modulated Radiotheraphy for Head and Neck Cancer. Clinical Advanced in Hematology Oncology. 2007; 5 (6): 425-431. 42. Inui, A. Cancer Anorexia-Cahexia Syndrome: Are Neuropeptide The Key?. Cancer research. 2000; 59: 4493-4501. 43. Tisdale, MJ. Review Biology of cahexia. J national Cancer Ins. 2008; 89: 1763-1773. 44. Inui A. Cancer Anorexia-Cahexia Syndrome: Current Issues In reseach and Management. American Cancer Society.2002; 52: 72-79. 45. Morley JE. Cachexia: pathophysiology and clinical relevance. American journal clinical nutrition. 2006; 83: 735-743. 46. Nicholson JP, Wolmarans MR, Park GR. The role of albumin in critical illness. British journal of anaesthesia. 2000; 85 (4): 599-610. 26Indonesia Universitas Studi korelasi ..., Prinka Diaz Adyta, FK UI, 2013 48 47. Dewhirst MW, Cao V, Moeller B. Cycling hypoxia and free radicals regulate angiogenesis and radiotheraphy response. Nature review cancer. 2008; 8: 425-437. 48. Vordermark D, Brown JM. Endogenous markers of tumor hypoxia. Strahlenther Onkol 2003; 179:801-1. 49. Hui, Edwin P, Chan, Anthony TC. Coexpression of Hypoxia-inducible Factor 1α and 2α, Carbonic Anhydrase IX, and Vascular Endothelial Growth Factor in Nasopharyngeal Carcinoma and Relationship to Survival. Clin cancer res.2002; 8:2595-2604. 50. Gao J, Hu J. Continuous fall in hemoglobin level is a poor prognostic factor in patients with nasopharyngeal carcinoma treated with radiotheraphy. Chinese journal of cancer. 2010; 29 (5): 561-566. 51. Hoogsteen IJ, Marres HAM, Wijffels KIEM. Colocalization of carbonic anhydrase 9 expression and cell proliferation in human head and neck squamous cell carcinoma. Clin Cancer Res. 2005; 11: 97-106. 52. Harison LB, Chada M. Impact of tumor hypoxia and anemia on radiation theraphy outcomes. The oncologist. 2002; 7 (6): 492-508. 53. Begg AC. Prediction of radiation response. In: Leibel SA, Phillips TL. Eds. Textbook of radiation oncology. 2nd Ed. Saunders Elsevier Inc, Philadelphia: 2004. p 61-67. 54. Dewhirst MW, Cao V, Moeller B. Cycling hypoxia and free radicals regulate angiogenesis and radiotheraphy response. Nature review cancer. 2008; 8: 425-437. 55. Terence P.Farias, Fernando L. Dias, Roberto A. Lima. Prognostic factors and outcome for nasopharyngeal carcinoma. Arch otolaryngol head and neck surg. 2003; 129: 794-799. 56. Gruber G, Greiner RH. Hipoxia inducible alpha 1 in high risk breast cancer : an independent prognostic parameter? Breast cancer res. 2004; 6: 191-198. 57. Dewey WC, Bedford JS. Radiobiologic principles. In: Leibel SA, Phillips TL eds. Textbook of radiation oncology, 2nd Ed. Saunders Elsevier Inc, Philadelphia; 2004.p 214-216. 26Indonesia Universitas Studi korelasi ..., Prinka Diaz Adyta, FK UI, 2013 49 58. Sekarutami, SM. Pengaruh hipoksia terhadap angiogenesis dan proliferasi sel kanker serviks uteri: hubungannya dengan respon tumor terhadap kombinasi radiasi dengan Karbogen-Nikotinamid (KON) sebagai Hypoxia Modifier. Disertasi September 2010. 59. Liu MT, Hsieh CY. Prognostic factors affecting the outcome of nasopharyngeal carcinoma. Jpn J Clin Oncol. 2003; 33 (10): 501-508. 60. Ohno T, Thinh DH, Kato S. Radiotheraphy concurrently with weekly cisplatin,followed by adjuvant chemotheraphy, for N2-3 nasopharyngeal cancer: a multicenter trial of the forum for nuclear cooperation in Asia. Journal of Radiation Research. 2013; 54: 467-473. 61. SP Reddy, WF Raslan, Gooneratne S. Prognostic significance of keratinization in nasopharyngeal carcinoma. Am J Otolaryngol. 1995; 16 (2): 103-108. 26Indonesia Universitas Studi korelasi ..., Prinka Diaz Adyta, FK UI, 2013