Uploaded by Savira Medina

5. ANALISIS RESIKO LUMPUR LAPINDO

advertisement
Tetap Lumpur Lapindo, bukan Lumpur Sidoarjo atau Lumpur Porong"
(Hati - hati pengalihan issue)
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Tragedi semburan panas lumpur di daerah sekitar pengeboran gas PT.
Lapindo Brantas di Kelurahan Siring Kecamatan Porong Kabupaten
Sidoarjo Provinsi Jawa Timur dimulai pada tanggal 27 Mei 2006. Peristiwa
ini telah menjadi bencana nasional akibat semburan panas yang dikeluarkan
telah menggenangi areal persawahan, pemukiman penduduk dan beberapa
kawasan industri. Hal ini wajar mengingat volume lumpur diperkirakan
sekitar 5.000 hingga 50 ribu meter kubik perhari (setara dengan muatan
penuh 690 truk peti kemas berukuran besar) [1]. Bencana ini membawa
dampak yang luas bagi masyarakat disekitarnya, terlebih membawa
gangguan ekonomi bagi Provinsi Jawa Timur. Genangan lumpur mencapai
tinggi 6 meter pada pemukiman, sehingga 8.200 jiwa warga harus
dievakuasi, rumah/tempat tinggal yang rusak sebanyak 1.683 unit, areal
pertanian dan perkebunan rusak hingga lebih dari 200 Ha, lebih dari 15
pabrik yang tergenang menghentikan aktivitas produksi dan merumahkan
lebih dari 1.873 orang, tidak berfungsinya sarana pendidikan, kerusakan
lingkungan wilayah yang tergenangi, rusaknya sarana dan prasarana
infrastruktur (jaringan listrik dan telepon), terhambatnya ruas jalan tol
Malang - Surabaya yang berakibat pula terhadap aktivitas produksi di
kawasan Ngoro (Mojokerto) dan Pasuruan yang selama ini merupakan
salah satu kawasan industri utama di Jawa Timur.
Selain mengganggu perekonomian, lumpur juga berbahaya bagi
kesehatan masyarakat. Beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)
peduli lingkungan menyebutkan bahwa lumpur memiliki kandungan logam
berat seperti Merkuri (Hg) dan menimbulkan bau yang tidak sedap[2]. Bau
yang ditimbulkan lumpur lapindo dapat menyebabkan menurunnya kualitas
udara di lingkungan sekitarnya. Hal ini bisa menyebabkan infeksi saluran
pernafasan, iritasi kulit dan bahkan kanker. Lumpur juga memiliki
kandungan fenol yang bisa menyebabkan sel darah merah pecah
(hemolisis), jantung berdebar (cardiac aritmia), dan gangguan ginjal.
Kerusakan lingkungan dan gangguan kesehatan akibat menurunnya kualitas
udara terkait banjir lumpur lapindo tidak bisa dipandang sebelah mata.
Apalagi disekitar lumpur lapindo masih banyak masyarakat yang tinggal
dan memilki kemungkinan besar untuk terkena efek kesehatan akibat
penurunan kualitas udara tersebut. Sehingga diperlukan suatu studi yang
bertujuan untuk memperkirakan tingkat risiko kesehatan (Risk Quotient)
akibat pencemaran udara dari lumpur Lapindo dan manajemen
pengendaliannya.
1.2. Uraian Wilayah Studi dan Demografi
Kabupaten Sidoarjo merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Jawa
Timur yang mengalami perkembangan pesat. Kabupaten Sidoarjo memiliki
potensi di berbagai bidang seperti industri dan perdagangan, pariwisata,
serta usaha kecil dan menengah. Kabupaten ini terletak antara 112,50 dan
112,90 BT dan antara 7,30 dan 7,50 LS. Batas sebelah utara adalah
Kotamadya Surabaya dan Kabupaten Gresik, sebelah selatan adalah
Kabupaten Pasuruan, sebelah timur adalah Selat Madura dan sebelah barat
adalah Kabupaten Mojokerto. Terdiri dari 18 Kecamatan, yaitu : Sidoarjo,
Buduran, Candi, Porong, Krembung, Tulangan, Tanggulangin, Jabon,
Krian, Balongbendo, Wonoayu, Tarik, Prambon, Taman, Waru, Gedangan,
Sedati dan Sukodono. Berdasarkan topografinya, Kabupaten Sidoarjo
memiliki dataran delta dengan ketinggian antara 0 sampai dengan 25 meter,
ketinggian 0 – 3 meter dengan luas 19.006 Ha, meliputi 29,99%,
merupakan daerah pertambakkan yang berada di wilayah bagian timur.
Wilayah bagian tengah yang berair tawar dengan ketinggian 3 - 10 meter
dari permukaan laut merupakan daerah pemukiman, perdagangan dan
pemerintahan yakni meliputi 40,81 %. Wilayah bagian barat dengan
ketinggian 10 - 25 meter dari permukaan laut merupakan daerah pertanian
yang meliputi 29,20%. Kabupaten Sidoarjo terletak diantara dua aliran
sungai yaitu Kali Surabaya dan Kali Porong yang merupakan cabang dari
Kali Brantas yang berhulu di kabupaten Malang. Beriklim topis dengan dua
musim, musim kemarau pada bulan Juni sampai Bulan Oktober dan musim
hujan pada bulan Nopember sampai bulan Mei. Adapun jumlah
penduduknya disajikan dalam tabel dibawah ini :
Tabel 1.
Penduduk Menurut Umur di 3 (Tiga) Kecamatan
No
Kecamatan
0–3
1.
2.
3.
Porong
Tanggulangin
Jabon
Jumlah
6 .989
13. 407
3 .389
23.785
Tahun 2006
Penduduk Menurut Umur (tahun)
4-6
7 – 12
13 – 15
16 –
18
3 .706
6 .535
4. 723 4. 781
11. 539 15. 863 13 .776 7 .057
3 .419
4 .713
4 .858 3 .561
18.664
27.111
23.357 15.399
Jumlah
19 <
37 .285
29 .042
24 .005
90.332
64.019
90.684
43.945
198.648
Sumber : Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Sidoarjo
Tabel 2.
Penduduk Menurut Mata Pencaharian dan Kecamatan
Tahun 2006
No.
Kecamatan
PNS
TNI
POLRI
SWASTA
WIRASWASTA
PETANI
1.
Porong
1,136
756
297
7,544
2,737
2,252
2.
Tanggulangin
1,425
730
280
19,458
5,950
3,750
3.
Jabon
440
213
29
9,336
1,621
975
3,001
1,699
606
36,338
10,308
6,977
Jumlah
Sumber : Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Sidoarjo
Adapun populasi yang memiliki risiko lebih tinggi akibat pencemaran
udara (Purwana, 1997) adalah sebagai berikut :
1. Anak – anak kurang dari 13 tahun (pra remaja)
2. Orang usia lanjut
3. Kelompok umur kurang dari 18 tahun dengan asma
4. Orang dewasa yang berumur 18 tahun lebih
5. Para penderita penyakit paru – paru obstruksi menahun
Anak – anak menjadi sangat rentan, karena :
1. Anak memiliki aktivitas tinggi dan terpajan oleh partikel lebih banyak,
berhubungan dengan hygiene perorangan
2. Anak masih dalam perkembangan, kerusakan pada masa anak – anak
memiliki pengaruh pada masa dewasa
1.3. Uraian Proses Kegiatan
Menurut berbagai ahli kejadian lumpur lapindo merupakan suatu
kesalahan prosedural[3]. Terjadi karena lubang galian belum disumbat
dengan cairan beton sebagai sampul menimbulkan semburan gas Lapindo
yang memecahkan formasi sumur pengeboran. Sesuai dengan desain
awalnya, Lapindo harus sudah memasang casing 30 inchi pada kedalaman
150 kaki, casing 20 inchi pada 1195 kaki, casing (liner) 16 inchi pada 2385
kaki dan casing 13 - 3/8 inchi pada 3580 kaki. Ketika Lapindo mengebor
lapisan bumi dari kedalaman 3580 kaki sampai ke 9297 kaki, mereka belum
memasang casing 9-5/8 inci. Akhirnya, sumur menembus satu zona
bertekanan tinggi yang menyebabkan kick, yaitu masuknya fluida formasi
tersebut ke dalam sumur. Sesuai dengan prosedur standar, operasi
pemboran dihentikan, perangkap Blow Out Preventer (BOP) di rig segera
ditutup & segera dipompakan lumpur pemboran berdensitas berat ke dalam
sumur dengan tujuan mematikan kick. Namun, dari informasi di lapangan,
BOP telah pecah sebelum terjadi semburan lumpur. Jika hal itu benar maka
telah terjadi kesalahan teknis dalam pengeboran yang berarti pula telah
terjadi kesalahan pada prosedur operasional standar.
Kecerobohan prosedural yang menimbulkan bencana semburan
lumpur Lapindo mengakibatkan setiap harinya terjadi peningkatan kuantitas
risk agent seperti SO2, NO2, CO, HK, H2S, NH3 dan Debu. Apalagi
disekitar lumpur Lapindo masih terdapat banyak masyarakat yang tinggal
berdekatan dengan lokasi tersebut. Hal ini memungkinkan terjadinya
pajanan risk agent terhadap populasi yang tinggal disekitar itu. Langkah –
langkah untuk menanggulanginya perlu diupayakan segera oleh pemerintah
setempat.
1.4. Agen Risiko dan Jalur Pemajanan
Risk agent yang ditimbulkan akibat semburan lumpur Lapindo adalah
SO2, H2S, NH3, NO2 dan TSP sedangkan untuk CO dan HK tidak dibahas
pada studi ini. SO2 dapat menimbulkan gangguan sistem pernafasan,
mempengaruhi fungsi paru - paru, menimbulkan iritasi mata dan
menimbulkan bau. SO2 mempunyai pengaruh yang kuat terhadap kesehatan
yang akut dan kronis. Selain SO2, terdapat juga H2S yang menimbulkan
efek terhadap manusia adalah menimbulkan bau, mengakibatkan iritasi
mata dan mulai berair, batuk - batuk, pembengkakan mata dan rasa
kekeringan di tenggorokan, kehilangan kesadaran serta bisa mematikan.
Adapun amoniak yang merupakan senyawa kimiadenganrumusNH3,
biasanya senyawa ini didapati berupa gas dengan bau tajam yang khas
(disebut bau amoniak). Kontak dengan gas amoniak berkonsentrasi tinggi
dapat menyebabkan kerusakan paru - parudan bahkan kematian. Risk agent
lainnya adalah nitrogen dioksida dengan rumus kimia NO 2. Pada
konsentrasi tinggi, paparan NO2 dapat mengakibatkan kerusakan paru paru yang berat dan cepat. Pengaruh kesehatan mungkin juga terjadi pada
konsentrasi ambient yang jauh lebih rendah. Begitu juga dengan Debu bila
terhirup dalam jumlah banyak, dapat menimbulkan gangguan paru pula.
Debu ini mengandung partikel - partikel besi, timah putih, asbes dan
lainnya. Kemampuan debu untuk bisa masuk ke dalam paru tergantung dari
besar kecilnya partikel tersebut. Bila partikel debu yang masuk ke dalam
paru berukuran diameter 5 ¬ 10 mikron (1 mikron = 1/1000 milimeter),
maka akan tertahan dan melekat pada dinding saluran pernafasan bagian
atas. Sedangkan yang berukuran 3 - 5 mikron akan masuk lebih dalam dan
tertimbun pada saluran nafas bagian tengah. Partikel debu berukuran 1 - 3
mikron akan masuk lebih dalam lagi sampai ke alveoli dan mengendap.
Sedangkan yang ukurannya lebih kecil dari 1 mikron, tidak mengendap di
alveoli karena teramat ringan dan pengaruh adanya peredaran udara.
Adapun jalur pemajanan secara umum dari risk agent gas dan debu
dapat dilihat pada bagan dibawah sebagai berikut ini :
Pada awalnya risk agent di udara ambient berupa debu dan gas
terhirup oleh hidung, partikel yang berukuran > 2,5 μm terdeposit di
nasopharing dan tracheobronchial yang kemudian di transfer oleh
mucociliary ke esophagus utuk ditangkap. Sedangkan partikel yang
berukuran <>Risk agent yang sampai ke alveoli diabsorpsikan ke saluran
darah yang dapat terdeposit atau sampai pada setiap organ tubuh yang
ditujunya.
1.5. Kepedulian Masyarakat
Masyarakat di Porong, Sidoarjo sering mengeluhkan sesak nafas akibat bau yang
ditimbulkan semburan lumpur Lapindo menurut Muhammad Sifa, warga Permisan,
Porong, Sidoarjo. Hal itu senada dengan beberapa ahli/pakar yang melakukan kajian
lingkungan akibat lumpur Lapindo. Menurut Yuliani dalam bukunya yang berjudul
“Bahaya Industri Migas di Kawasan Huni” menyebutkan bahwa di kawasan Porong,
setelah muncul semburan lumpur Lapindo, kandungan hidrokarbon di udara mencapai
55.000 ppm. Padahal ambang batas normal keberadaan hidrokarbon di udara hanya 0,24
ppm. Sehingga mengakibatkan peningkatan penyakit ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan
Akut) yang tinggi di masyarakat sekitarnya. Pada tahun 2006, saat munculnya semburan
Lapindo, jumlah penderita ISPA mencapai 26 ribu orang, namun pada tahun 2008 telah
meningkat menjadi 46 ribu orang[4].
II. MAKSUD DAN TUJUAN
Adapun maksud dan tujuan dari studi analisis dan manajemen pencemaran
udara akibat lumpur Lapindo ini adalah sebagai berikut :
1. Memperkirakan tingkat risiko kesehatan warga di lokasi studi akibat
pencemaran udara lumpur Lapindo
2. Mengetahui apakah lokasi studi yang dilakukan aman untuk dihuni
masyarakat
3. Merumuskan pengelolaan dan pengendalian risiko kesehatan jika lokasi studi
tidak aman untuk dihuni masyarakat
III. METODE DAN CARA
Studi ini dilakukan untuk mengetahui tingkat risiko kesehatan pada warga
akibat pencemaran udara yang ditimbulkan oleh lumpur Lapindo. Karakteristik
risiko dinyatakan dengan tingkat risiko (Risk Quotient) merupakan pembagian
antara asupan inhalasi (I) dan reference concentration (RfC). Selain itu untuk
menentukan asupan inhalasi dibutuhkan juga parameter antropometri (berat
badan dan laju inhalasi), pola aktivitas (waktu, frekuensi dan durasi pemajanan)
dan sebagainya. Tingkat risiko dihitung dengan persamaan 1 dan asupan
inhalasi (I) dihitung dengan menggunakan persamaan 2 (Louvar and
Louvar,1998).
Keterangan :
I = asupan inhalasi (mg risk agent/kg berat badan individu/hari)
C = konsentrasi risk agent di udara (mg risk agent/M3 udara)
R = laju inhalasi (M3 udara/jam)
tE = lama pajanan (jam/hari)
fE = frekuensi pajanan, 350 hari/tahun untuk nilai default residensial
Dt = durasi pajanan, 30 tahun untuk default bagi populasi resdensial
Wb = berat badan individu (kg)
tavg = perioda waktu rata – rata (Dt 365 hari/tahun untuk nonkarsinogen, 70
tahun, 365 hari/tahun untuk karsinogen)
Risk agent pencemar udara akibat kejadian lumpur Lapindo didapat
berdasarkan data hasil ’Surveilans Faktor Risiko Lumpur Panas di Porong
Sidoarjo’ oleh BBTKL PPM Surabaya Ditjen PP & PL Depkes RI. Adapun
hasil pengukurannya adalah sebagai berikut :
Tabel 3. Konsentrasi gas dan debu hasil Surveilans Faktor Risiko Lumpur
Panas di Porong Sidoarjo, Jawa Timur
No Daerah/Lokasi
Konsentrasi Gas dan Debu (diolah dalam
mg/M3)
SO2
NO2
H2S
NH3
Debu
No Daerah/Lokasi
1
2
3
Konsentrasi Gas dan Debu (diolah dalam
mg/M3)
Kecamatan Porong
Kelurahan Siring
Kelurahan Jatirejo
Desa Renokenongo
Kecamatan
Tanggulangin
Desa Kedungbendo
Kecamatan Jabon
Desa Permisan
Desa Pajarakan
SO2
NO2
H2S
NH3
Debu
11,9
19,9
17
4
2,5
3,5
1,5
1,7
0,1
17,2
13,6
8,6
239
1.889
357
21,4
2,5
0,1
12,3
223
6,2
5,4
2,7
1,9
0,2
0,1
6,6
17,8
149
315
Nilai default untuk parameter antropometri dan pola aktivitasnya mengacu
terhadap tabel.4 dibawah ini :
RESEPTOR
LAJU
F. PAJANAN (JAM)
BERAT
BADAN (KG)
DURASI
PAJANAN
(THN)
FREKUENSI
(HARI/THN)
INHALASI
(M3/JAM)
ANAK – ANAK
0,5A
18 (6 JAM SEKOLAH
DILUAR LOKASI ) C
15A
2C
350A
DEWASA
(IRT)
0,83A
24C
55B
2C
350A
PEKERJA
0,83A
14 (10 JAM BEKERJA
DILUAR LOKASI ) C
70A
2C
350A
SUMBER : A U.S.EPA 1990, B NUKMAN ET AL (2005), C ASUMSI PENULIS
UNTUK MENGHITUNG RISK QUOTIENT DIBUTUHKAN NILAI DOSIS RESPONNYA (RFC, MG/KG/HARI),
ADAPUN NILAINYA TERSEBUT TERCANTUM DALAM TABEL .5 DIBAWAH INI :
NO.
AGEN
RISIKO
R FC
EFEK KRITIS DAN SUMBER DATA (REFERENSI)
1.
SO2
2,6E-2
2.
NO2
2E-2
GANGGUAN SALURAN PERNAFASAN (KOLLURU, 1996; US-EPA, 1990A)
3.
H2S
2E-3
LESI NASAL LENDIR OLFAKTORI PADA UJI HAYATI TIKUS INHALASI
SUBKRONIK (B RENNEMAN, J AMES, G ROSS, & DORMAN, 2000). REVISI
TERBARU 28 JULI 2003.
4.
NH3
1E-1
KENAIKAN KEPARAHAN RINITIS DAN PNEUMONIA DENGAN LESI
PERNAFASAN PADA UJI HAYATI TIKUS SUBKRONIK (B RODERSON, LINDSEY
GANGGUAN SALURAN PERNAFASAN (NUKMAN ET AL ., 2005; RAHMAN
ET AL ., 2008; US-EPA, 1990A)
, & CRAWFORD, 1976). BUKTI – BUKTI YANG KURANG PENURUNAN
FUNGSI PARU ATAU PERUBAHAN SINTOMOLOGI SUBJEKTIF PADA STUDI DI
LINGKUNGAN KERJA (HOLNESS, PRUDHAM , & N ETHERCOTT , 1989).
REVISI TERBARU 1 MEI 1991
5.
TSP
2,42
GANGGUAN SALURAN PERNAFASAN (NUKMAN ET AL ., 2005; RAHMAN
ET AL ., 2008; US-EPA, 1990A)
Sumber : Data on-line diperoleh dari IRIS per 2 Mei 2010.
Terdapat beberapa parameter yang tidak dihitung karakteristik risikonya,
diantaranya adalah CO (Karbonmonoksida) dan HK (Hidrokarbon). CO
(Karbonmonoksida) tidak dihitung nilai RQnya dikarenakan efeknya yang akut
yakni penghirupan konsentrasi di atas 2000 ppm akan menyebabkan hilang
kesadaran dan kematian, bahkan pada konsentrasi tertentu kematian terjadi
dalam beberapa menit. Sedangkan untuk HK (Hidrokarbon) tidak dihitung nlai
RQnya dikarenakan nilai dosis responnya belum diketahui.
Perhitungan nilai Risk Quotient, terlebih dahulu menentukan besaran gas
dan debu tersebut. Penulis menentukan bahwa besaran gas dan debu tersebut
dinyatakan dalam µg/M3. Dikarenakan menurut informasi diatas bahwa besaran
gas dan debu tersebut masih dibawah nilai ambang batas berdasarkan PP No. 41
Tahun 1999. Maka penulis membandingkannya dengan peraturan tersebut dan
hasil yang menunjukkan sesuai adalah dalam µg/M3. Misalnya diambil salah
satu parameter pencemar, yakni kandungan SO2 di Kelurahan Siring besarnya
adalah 11,9 x 1000 µg/M3 = 11,9 mg/M3 = 0,0119 mg/dm3 = 0,0119 mg/l atau
0,0119 ppm = 31,149 µg/Nm3. Hasil itu menunjukkan masih berada dibawah
ambang batas SO2 menurut peraturan adalah 365 µg/Nm3.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik risiko dihitung berdasarkan setiap segmen populasi dengan
nilai default untuk laju inhalasi, berat badan, durasi pajanan dan frekuensi
mengacu terhadap tabel.4. Sedangkan untuk perioda waktu rata – ratanya (tavg)
adalah 6 tahun (365hari/tahun) untuk subpopulasi anak – anak dan 30 tahun
(365hari.tahun) untuk subpopulasi dewasa (ibu rumah tangga) serta pekerja.
Berikut ini adalah tabel yang menyajikan nilai – nilai RQ secara keseluruhan :
Tabel 6
Tingkat Risiko (RQ) SO2, NO2, H2S, NH3 dan TSP
3 Kelompok Subpopulasi di 6 Lokasi Studi Tahun 2010
NO
LOKASI
5
6
Kel. Siring
Kel. Jatirejo
Ds. Renokenongo
Kel.
Kedungbendo
Ds. Permisan
Ds. Pajarakan
NO
LOKASI
1
2
3
4
5
6
Kel. Siring
Kel. Jatirejo
Ds. Renokenongo
Kel.
Kedungbendo
Ds. Permisan
Ds. Pajarakan
NO
LOKASI
1
2
3
4
1
2
3
4
5
6
Kel. Siring
Kel. Jatirejo
Ds. Renokenongo
Kel.
Kedungbendo
Ds. Permisan
Ds. Pajarakan
SO2
87,777
146,786
125,395
157,850
45,732
39,831
SO2
10,597
17,721
15,139
19,057
5,521
4,809
SO2
4,857
8,122
6,939
8,734
2,531
2,204
ANAK - ANAK
NO2
H2 S
38,356
143,836
23,973
163,014
33,562
9,589
23,973
9,589
25,890
18,219
19,178
9,589
NH3
32,986
26,082
16,493
23,589
TSP
18,940
149,700
28,292
17,672
12,658
34,137
11,808
24,963
DEWASA (IBU RUMAH TANGGA)
NO2
H2 S
NH3
4,631
17,365
3,982
2,894
19,680
3,149
4,052
1,158
1,991
2,894
1,158
2,848
3,126
2,200
TSP
2,287
18,073
3,416
2,134
2,315
1,158
1,528
4,121
1,426
3,014
PEKERJA
NO2
H2 S
2,122
7,959
1,326
9,020
1,857
0,531
1,326
0,531
NH3
1,825
1,433
0,913
1,305
TSP
1,408
8,283
1,565
0,978
0,700
1,889
0,653
1,381
1,433
1,008
1,061
0,531
Berdasarkan tabel 6 diatas, secara keseluruhan nilai RQ untuk setiap risk
agent di lokasi studi menurut segmentasi populasinya lebih banyak
menunjukkan diatas 1 (satu) kecuali RQ H2S pada pekerja di Desa
Renokenongo, Kelurahan Kedungbendo dan Desa Pajarakan ; RQ NH3 pada
pekerja di Desa Renokenongo dan Desa Permisan ; RQ TSP pada pekerja di
Kelurahan Kedungbendo dan Desa Permisan. Hal itu berarti beberapa gas di
udara yang berasal dari semburan lumpur Lapindo sangat berisiko dan
membutuhkan pengendalian. Kemungkinan efek toksisitasnya baru dirasakan 6
(enam) tahun kedepan bagi anak – anak dan 30 tahun bagi ibu rumah tangga
serta pekerja laki – laki. Adapun perbandingan nilai frekuensi RQ
persegmentasi populasi di seluruh wilayah jika dirinci, adalah sebagai berikut
Anak - anak > Dewasa (Ibu Rumah Tangga) > Pekerja.
Risk quotient untuk SO2 semuanya berada diatas 1 (satu), yakni berkisar
antara 2,204 – 157,850. Perbandingan nilai RQ SO2 berdasarkan wilayah adalah
Kelurahan Kedungbendo > Kelurahan Jatirejo > Desa Renokenongo >
Kelurahan Siring > Desa Permisan > Desa Pajarakan. Sedangkan untuk risk
quotient NO2 adalah berkisar diantara 1,008 – 38,356. Perbandingan nilai
RQnya untuk NO2 berdasarkan wilayahnya adalah Kelurahan Siring > Desa
Renokenongo > Desa Permisan > Kelurahan Jatirejo ≥ Kelurahan Kedungbendo
> Desa Pajarakan. Adapun nilai frekuensi RQ H2S berkisar antara 0,531 –
163,014. Terdapat 3 (tiga) lokasi yang nilai RQ H2Snya masih berada dibawah
angka 1, karena nilai konsentrasinya pun sama yakni 0,1mg/M 3. Perbandingan
nilai RQ H2S berdasarkan wilayahnya adalah Kelurahan Jatirejo > Kelurahan
Siring > Desa Permisan > Kelurahan Kedungbendo ≥ Desa Renokenongo ≥
Desa Pajarakan. Begitu juga dengan RQ NH3 masih terdapat 2 (dua) wilayah
yang berada dibawah angka 1, yakni berkisar diantara 0,700 – 34,137.
Perbandingan nilai RQnya untuk NH3 berdasarkan wilayahnya adalah Desa
Pajarakan > Kelurahan Siring > Kelurahan Jatirejo > Kelurahan Kedungbendo
> Desa Renokenongo > Desa Permisan. Selain itu terdapat juga karakteristik
risiko untuk TSP yang berkisar diantara 0,653 – 149,700. Perbandingan nilai
RQ TSP berdasarkan wilayahnya adalah Kelurahan Jatirejo > Desa
Renokenongo > Desa Pajarakan > Kelurahan Siring > Kelurahan Kedungbendo
> Desa Permisan.
Adapun perbandingan risk agent ditampilkan dalam tabel.7, sebagai
berikut :
LOKASI
PERBANDINGAN RQ RISK AGENT
Kelurahan Siring
H2S > SO2> NO2> NH3> TSP
Kelurahan Jatirejo
H2S > TSP > SO2> NH3> NO2
Desa Renokenongo
SO2> NO2> TSP > NH3> H2S
Kelurahan Kedungbendo
SO2> NO2> NH3> TSP > H2S
Desa Permisan
SO2> NO2> H2S > NH3> TSP
Desa Pajarakan
SO2> NH3> TSP > NO2> H2S
Berdasarkan tabel.7 diatas, risk agent menurut risk quotientnya yang paling
dominan atau
besar disetiap lokasi studi adalah SO2 dan yang paling tidak dominan atau kecil
adalah H2S. SO2 merupakan senyawa oksida belerang yang toksik dan dapat
menyebabkan hujan asam. Zat tersebut dianggap pencemar yang berbahaya
bagi kesehatan terutama terhadap orang tua dan penderita yang mengalami
penyakit khronis pada sistem pernafasan kadiovaskular. Hal ini karena gas SO2
yang mudah menjadi asam tersebut menyerang selaput lendir pada hidung,
tenggorokan dan saluran napas yang lain sampai ke paru - paru. Serangan gas
SO2 tersebut menyebabkan iritasi pada bagian tubuh yang terkena. Jika terjadi
iritasi pada saluran pernapasan, SO2 dan partikulat bisa menyebabkan
pembengkakan membran mukosa. Pembentukan mukosa menimbulkan
hambatan aliran udara pada saluran pemapasan. Kondisi ini akan menjadi lebih
parah bagi kelompok yang peka, seperti penderita penyakit jantung atau paru paru, dan para lanjut usia.
Manajemen Risiko
Berbagai kemungkinan untuk manajemen risiko suatu risk agent perlu
dilakukan. Hal pertama yang dilakukan adalah dengan cara menurunkan nilai
konsentrasi dari setiap risk agent. Untuk itu diperlukan besaran nilai risk agent
yang dibutuhkan supaya frekuensi RQ = 1 atau RQ<>
Tabel 8. Konsentrasi aman (mg/M3) SO2, NO2, H2S, NH3 dan TSP untuk
populasi anak – anak, dewasa (IRT) dan pekerja dengan Wb 15 kg, 55 kg
dan 70 kg dan fE 350 hari/tahun.
POPULASI
Anak – anak
SO2
0,136
NO2
0,104
H2 S
0,010
NH3
0,521
TSP
12,619
(18 jam/hari)
Dewasa
1,123
0,864
0,086
4,319
104,521
(IRT, 24jam/hari)
Pekerja
2,450
1,885
0,188
9,423
228,046
(14 jam/hari)
Langkah selanjutnya adalah menentukan pengendalian supaya risk agent hanya
berada pada konsentrasi amannya. Mengingat sumber dari risk agent tersebut
berasal dari bencana semburan lumpur panas Lapindo, sehingga pengendalian
teknis yang realistis dapat dilakukan adalah dengan pemakaian masker bagi
penduduk supaya dapat mengurangi asupan dari konsentrasi risk agent itu
sendiri. Namun hal itu merupakan pengendalian bersifat sementara, diperlukan
pengendalian yang sifatnya keberlanjutan.
Percobaan kedua untuk manajemen risiko risk agent adalah dengan cara
mengurangi waktu kontaknya, yakni memperkecil waktu pajanan harian (tE)
dan pajanan tahunan (fE). Dibawah ini disajikan informasinya dalam bentuk
tabel (konsentrasi yang dipakai adalah konsentrasi setiap risk agent terbesar) :
Tabel 9. Pengendalian risiko dengan menurunkan tE (jam/hari) dan fE
(hari/tahun) pada setiap segmentasi populasi dengan Wb (kg) 15 kg, 55 kg
dan 70 kg.
RISK
AGENT
SO2
NO2
H2 S
NH3
TSP
Anak – anak
Wb
15
15
15
15
15
tE
0,1
0,5
0,1
0,5
0,1
Dewasa (IRT)
fE
2,2
9,1
2,1
10,3
2,3
Wb
55
55
55
55
55
tE
1,3
5,9
1,2
5,8
1,3
fE
18,4
75,6
17,8
84,9
19,4
Pekerja
Wb
70
70
70
70
70
tE
1,6
7,5
1,5
7,4
1,7
fE
40,1
164,9
38,8
185,3
42,3
Berdasarkan tabel 8. diatas tidak mungkin jika harus mengurangi waktu pajanan
harian dan pajanan tahunan karena sangat kecil dan tidak realistik, misalnya
saja untuk pajanan SO2 bagi pekerja di Desa Kedungbendo hanya aman selama
1,6 jam/hari atau 40 hari/tahun.
Mengingat berbagai manajemen risiko telah diupayakan dan diskenariokan
untuk menanggulangi pajanan risk agent kepada penduduk, tetapi belum
menemukan solusi. Oleh sebab itu, upaya terakhir adalah dengan mengevakuasi
terlebih dahulu penduduk di lokasi studi ke tempat yang aman dan terhindar
dari polutan. Karena jika tidak dilakukan hal itu, kemungkinan penduduk untuk
menerima risiko kesehatan akibat pajanan risk agent dari semburan lumpur
Lapindo lebih besar.
V. KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan perhitungan risiko dan kajian terhadap beberapa risk agent di
setiap lokasi terkait semburan lumpur Lapindo, maka dapat ditarik beberapa
kesimpulan penting sebagai berikut :
1. Secara keseluruhan nilai RQ disetiap lokasi sudah berada diatas 1, kecuali
RQ H2S pada pekerja di Desa Renokenongo, Kelurahan Kedungbendo dan
Desa Pajarakan ; RQ NH3 pada pekerja di Desa Renokenongo dan Desa
Permisan ; RQ TSP pada pekerja di Kelurahan Kedungbendo dan Desa
Permisan.
2. Nilai frekuensi RQ persegmentasi populasi jika dirinci disetiap kelurahan
atau desa hampir sama, adalah sebagai berikut Anak – anak > Dewasa (ibu
rumah tangga) > Pekerja
3. Subpopulasi yang paling berisiko adalah anak - anak, sehingga diperlukan
upaya penanggulangan segera mengingat organ tubuhnya masih sangat
lemah.
4. Nilai RQ jika diurutkan berdasarkan lokasi adalah sebagai berikut :
§ SO2 (Kelurahan Kedungbendo > Kelurahan Jatirejo > Desa Renokenongo
> Kelurahan Siring > Desa Permisan > Desa Pajarakan)
§ NO2 (Kelurahan Siring > Desa Renokenongo > Desa Permisan >
Kelurahan Jatirejo ≥ Kelurahan Kedungbendo > Desa Pajarakan)
§ H2S (Kelurahan Jatirejo > Kelurahan Siring > Desa Permisan > Kelurahan
Kedungbendo ≥ Desa Renokenongo ≥ Desa Pajarakan)
§ NH3 (Desa Pajarakan > Kelurahan Siring > Kelurahan Jatirejo >
Kelurahan Kedungbendo > Desa Renokenongo > Desa Permisan)
§ TSP (Kelurahan Jatirejo > Desa Renokenongo > Desa Pajarakan >
Kelurahan Siring > Kelurahan Kedungbendo > Desa Permisan)
5. Risk agent berdasarkan nilai frekuensi karakteristik risikonya yang paling
besar rata – rata disetiap lokasi adalah zat SO2 dan terendah H2S.
6. Seluruh lokasi studi sudah tidak aman untuk dijadikan tempat tinggal
7. Pengendaliannya adalah dengan memindahkan penduduk ke tempat yang
lebih aman dari paparan risk agent karena manajemen risiko yang dilakukan
terkait pengurangan konsentrasi dan waktu pajanan (tE dan fE) sudah tidak
realistik, atau dapat juga dengan penggunaan masker, namun hanya bersifat
sementara.
Agar hasil analisis risiko dapat dilakukan secara maksimal, maka
disarankan :
1. Seluruh nilai default untuk perhitungan sebaiknya ditentukan sendiri sesuai
dengan karakteristik populasinya
2. Nilai pengukuran risk agent sebaiknya mewakili selama 24 jam
3. Penentuan dosis respon bagi risk agent yang belum diketahui
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Abdur Rahman selaku dosen
Mata Kuliah Analisis Risiko Kesehatan Lingkungan yang telah memberikan
bimbingan teknis terhadap study Analisis Risiko dan Manajemen Kesehatan
Lingkungan Pencemar Udara Akibat Lumpur Lapindo.
DAFTAR RUJUKAN
Rahman, A. (2010). Prinsip – prinsip Dasar dan Metode Analisis Risiko
Kesehatan Lingkungan : Bahan Ajar Pelatihan Teknis dan Manajemen
Analisis Dampak Kesehatan Lingkungan Bagi Petugas Kesehatan ;
Yogyakarta, 14 – 19 Juni 2010., Balai Teknik Kesehatan Lingkungan
dan Pemberantasan Penyakit Menular Yogyakarta.
IRIS. (2007). Integrated Risk Information System List of Subtance. US
Environmental Protection Agency. Retrieved 9 June 2009, from
http://www.epa.gov/iris/subst/index.html
Kolluru, R. V. (1996). Health Risk Assesment: Principles and Practies. In R. V.
Kolluru, S. Bartell, R. Pitblado & S. Stricoff (Eds.), Risk Assesment and
Management Handbook for Environmental, Health, and Safety
Professionals (pp. 4.3-4.68). New York : McGraw-Hill.
Holm, C (2006). Muckraking in Java’s gas fields. Asia Times Online.
Wibisono Yusuf (2006), “Lumpur Lapindo : Akar dan Masalahnya” Blogs
Sains in Religion.
Kertas Posisi WALHI Terhadap Kasus Lumpur Panas PT. Lapindo Brantas,
ibid.
CSRINDONESIA (2006)., BELAJAR DARI LUMPUR LAPINDO ., WWW.CSRINDONESIA.COM
Kertas Posisi WALHI Terhadap Kasus Lumpur Panas PT. Lapindo Brantas,
ibid.
[1]WIBISONO YUSUF (2006), “LUMPUR LAPINDO : AKAR DAN MASALAHNYA” BLOGS SAINS IN RELIGION.
[2]KERTAS POSISI WALHI TERHADAP KASUS LUMPUR PANAS PT. LAPINDO BRANTAS, IBID.
[3]HOLM, C (2006). MUCKRAKING IN JAVA’S GAS FIELDS. ASIA TIMES ONLINE.
[4]KERTAS POSISI WALHI TERHADAP KASUS LUMPUR PANAS PT. LAPINDO BRANTAS, IBID.
POSTED BY ENVIRONMENTAL HEALTH AT 2:26 AM
EMAIL THISBLOGTHIS!SHARE TO TWITTERSHARE TO FACEBOOK
Download