68 BAB III TANGGUNG JAWAB NOTARIS SEBAGAI PEJABAT UMUM YANG MELAKUKAN PERBUATAN MELAWAN HUKUM DALAM PEMBUATAN AKTA A. Tinjauan Tentang Notaris 1. Pengertian Notaris Notaris berasal dari kata "nota literaria" yaitu tanda tulisan atau karakter yang dipergunakan untuk menuliskan atau menggambarkan ungkapan kalimat yang disampaikan narasumber. Tanda atau karakter yang dimaksud merupakan tanda yang dipakai dalam penulisan cepat (stenografie). Awalnya jabatan Notaris hakikatnya ialah sebagai pejabat umum (private notary) yang ditugaskan oleh kekuasaan umum untuk melayani kebutuhan masyarakat akan alat bukti otentik yang memberikan kepastian hubungan Hukum Perdata, jadi sepanjang alat bukti otentik tetap diperlukan oleh sistem hukum negara maka jabatan Notaris akan tetap diperlukan eksistensinya di tengah masyarakat.128 Notaris seperti yang dikenal di zaman Belanda sebagai Republik der Verenigde Nederlanden mulai masuk di Indonesia pada permulaan abad ke-17 dengan beradanya Oost Ind. Compagnie di Indonesia.129 Pengertian Notaris dalam Pasal 1 Instructie voor De Notarissen in Indonesia, menyebutkan bahwa : “Notaris adalah pejabat umum yang harus mengetahui seluruh perundangundangan yang berlaku, yang dipanggil dan diangkat untuk membuat akta-akta dan kontrak-kontrak, dengan maksud untuk memberikan kepadanya kekuatan 128 129 G.H.S Lumban Tobing, (Notaris Reglement), 1999, Op.cit., hal. 41. Ibid., hal. 15. 68 Universitas Sumatera Utara 69 dan pengesahan, menetapkan dan memastikan tanggalnya, menyimpan asli dan minutanya atau mengeluarkan grossenya, demikian juga salinannya yang sah dan benar”.130 Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia131, “notaris mempunyai arti orang yang mendapat kuasa dari pemerintah berdasarkan penunjukan (dalam hal ini adalah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia) untuk mengesahkan dan menyaksikan berbagai surat perjanjian, surat wasiat, akta, dan sebagainya”. Pengertian Notaris menurut Pasal 1 angka 1 Undang- Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris menentukan “Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini”. Sementara dalam penjelasan atas UUJN menyatakan bahwa : “Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik sejauh pembuatan akta otentik tertentu tidak dikhususkan bagi pejabat umum lainnya”. Pengertian yang diberikan oleh UUJN tersebut merujuk pada tugas dan wewenang yang dijalankan Notaris. Artinya Notaris memiliki tugas sebagai pejabat umum dan memiliki wewenang untuk membuat akta otentik serta kewenangan lainnya yang diatur oleh Undang-Undang Jabatan Notaris.132 Dalam Peraturan Jabatan Notaris (PJN) 1860 ditegaskan bahwa pekerjaan “Notaris adalah pekerjaan resmi (ambtelijke verrichtingen) dan satu-satunya pejabat 130 Ibid., hal. 20. Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Cetakan ke-3, Jakarta: Balai Pustaka,1990), hal. 618. 132 Abdul Ghofur Anshori, 2009, Op.cit., hal. 14. 131 Universitas Sumatera Utara 70 umum yang berwenang membuat akta otentik, sepanjang tidak ada peraturan yang memberi wewenang serupa kepada pejabat lain”.133 Menurut G.H.S Lumban Tobing: “Notaris adalah pejabat umum yang satu-satunya berwenang untuk membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan penetapan yang diharuskan oleh suatu peraturan umum atau oleh yang berkepentingan dikehendaki untuk dinyatakan dalam suatu akta otentik, menjamin kepastian tanggalnya, menyimpan aktanya dan memberikan grosse, salinan dan kutipannya, semuanya sepanjang pembuatan akta itu oleh suatu peraturan umum tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat atau orang lain”.134 Mendasarkan pada nilai moral dan nilai etika Notaris, maka pengembanan jabatan Notaris adalah pelayanan kepada masyarakat (klien) secara mandiri dan tidak memihak dalam bidang kenotariatan yang pengembanannya dihayati sebagai panggilan hidup bersumber pada semangat pengabdian terhadap sesama manusia demi kepentingan umum serta berakar dalam penghormatan terhadap martabat manusia pada umumnya dan martabat Notaris pada khususnya.135 2. Notaris sebagai Pejabat Umum Istilah Pejabat Umum, merupakan terjemahan dari istilah Openbare Amtbtenaren yang terdapat dalam Pasal 1 Peraturan Jabatan Notaris dan Pasal 1868 KUHPerdata. Pasal 1 Peraturan Jabatan Notaris menyebutkan bahwa: “Notaris adalah pejabat umum yang satu-satunya berwenang untuk membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan penetapan yang 133 C.S.T Kansil dan Christine S.T. Kansil, Pokok-Pokok Etika Profesi Hukum, (Jakarta: Pradnya Paramita, 2003), hal. 87. 134 G. H. S Lumban Tobing, Op. Cit., hal. 31. 135 Herlien Budiono, Notaris dan Kode Etiknya, (Medan: Upgrading dan Refreshing Course Nasional Ikatan Notaris Indonesia, 2007), hal. 3. Universitas Sumatera Utara 71 diharuskan oleh suatu peraturan umum atau oleh yang berkepentingan dikehendaki untuk dinyatakan dalam suatu akta otentik, menjamin kepastian tanggalnya, menyimpan aktanya dan memberikan grosse, salinan dan kutipannya, semua sepanjang pembuatan akta itu oleh suatu peraturan umum tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat atau orang lain”. Pasal 1868 KUHPerdata menyebutkan: “Suatu akta otentik ialah suatu akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan undang-undang oleh atau di hadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu di tempat akta itu dibuat”. Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Jabatan Notaris menyebutkan: “Notaris adalah Pejabat Umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini”. Menurut kamus hukum, salah satu arti dari Ambtenaren adalah Pejabat. Demikian dengan Openbare Ambtenaren adalah “pejabat yang mempunyai tugas yang bertalian dengan kepentingan masyarakat, sehingga Openbare Ambtenaren diartikan sebagai Pejabat yang diserahi tugas untuk membuat akta otentik yang melayani kepentingan masyarakat, dan kualifikasi seperti itu diberikan kepada Notaris”.136 Berdasarkan ketentuan di atas, Notaris dikualifikasikan sebagai Pejabat umum, tapi kualifikasi Notaris sebagai Pejabat Umum, tidak hanya untuk Notaris saja, karena sekarang ini seperti Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) juga diberi kualifikasi sebagai Pejabat Umum dan Pejabat Lelang. Pemberian kualifikasi sebagai Pejabat umum kepada pejabat lain selain kepada Notaris, bertolak belakang dengan 136 Habib Adjie, 2014, Cetakan IV, Op. Cit., hal. 13. Universitas Sumatera Utara 72 makna dari Pejabat Umum itu sendiri, karena seperti PPAT hanya membuat akta-akta tertentu saja yang berkaitan dengan pertanahan dengan jenis akta yang sudah ditentukan, dan Pejabat Lelang untuk lelang saja. Dengan demikian Notaris berperan melaksanakan sebagian tugas negara dalam bidang hukum keperdataan, dan kepada Notaris dikualifikasikan sebagai Pejabat Umum yang berwenang untuk membuat akta otentik, dan akta merupakan formulasi keinginan atau kehendak (wilsvorming) para pihak yang dituangkan dalam akta Notaris yang dibuat di hadapan atau oleh Notaris, dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam UUJN.137 3. Tugas/ Kewenangan Notaris Kewenangan merupakan suatu tindakan hukum yang diatur dan diberikan kepada suatu jabatan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang mengatur jabatan tersebut. Wewenang Notaris memiliki batasan sebagaimana diatur dalam perundang-undangan yang mengatur jabatan pejabat yang bersangkutan. Setiap perbuatan pemerintah disyaratkan harus bertumpu pada kewenangan yang sah. Tanpa ada kewenangan yang sah seorang Pejabat ataupun Badan Tata Usaha Negara tidak dapat melaksanakan suatu perbuatan pemerintahan. Oleh karena itu kewenangan yang sah merupakan atribut bagi setiap Pejabat ataupun bagi setiap Badan.138 137 138 Pasal 1 angka 1 dan Pasal 15 ayat (1) UUJN. Lutfi Effendi, Pokok-Pokok Hukum Administrasi, (Malang: Bayumedia Publishing, 2004), hal. 77. Universitas Sumatera Utara 73 Jabatan memperoleh wewenang melalui tiga sumber yaitu atribusi, delegasi dan mandat.139 Kewenangan yang diperoleh dengan cara atribusi, apabila terjadi pemberian wewenang pemerintahan yang baru oleh suatu ketentuan perundangundangan dan perundang-undanganlah yang menciptakan suatu wewenang pemerintahan yang baru. Kewenangan secara delegasi merupakan pemindahan/ pengalihan wewenang yang ada berdasarkan suatu peraturan perundang-undangan atau aturan hukum. Kewenangan mandat sebenarnya bukan pengalihan atau pemindahan wewenang tapi karena yang berkompeten berhalangan. Berdasarkan UUJN tersebut ternyata Notaris sebagai Pejabat Umum memperoleh kewenangan secara atribusi, karena wewenang tersebut diciptakan dan diberikan oleh UUJN sendiri. Jadi, wewenang yang diperoleh Notaris bukan berasal dari lembaga lain, misalnya dari Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia.140Jadi Notaris memiliki legalitas untuk melakukan tindakan hukum dalam membuat akta otentik. Berkaitan dengan tugas seorang notaris dalam pembuatan akta, A.W. Voors membagi pekerjaan notaris menjadi 2 (dua) macam, yaitu : 1. Pekerjaan yang diperintahkan oleh undang-undang yang juga disebut pekerjaan legal, maksudnya bahwa tugas notaris sebagai pejabat untuk melaksanakan sebagian kekuasaan pemerintah, antara lain memberi kepastian tanggal, membuat grosse yang mempunyai kekuatan eksekutorial, memberi suatu keterangan dalam suatu akta yang menggantikan tanda tangan, dan memberi kepastian mengenai tanda tangan seseorang. 139 Philipus M. Hadjon dkk, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 2005), hal. 139-140. 140 Habib Adjie, 2014, Cetakan ke IV, Op. cit., hal. 78. Universitas Sumatera Utara 74 2. Pekerjaan ekstralegal, yaitu pekerjaan yang dipercayakan padanya dalam jabatan itu yaitu menjamin dan menjaga perlindungan kepastian hukum bahwa setiap warga mempunyai hak dan kewajiban yang tidak diperbolehkan secara sembrono dikurangi atau disingkirkan begitu saja, baik karena yang berkepentingan masih di bawah umur ataupun mengidap penyakit ingatan. 141 Sebagai pejabat umum, dalam menjalankan tugas yang menjadi kewenangannya notaris tidak boleh memihak, dan tidak boleh atau bukan menjadi salah satu pihak. Itulah alasan mengapa dalam menjalankan tugas dan jabatannya sebagai pejabat umum dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat, notaris tidak diperbolehkan sebagai pihak yang berkepentingan pada akta yang dibuat oleh atau dihadapannya.142 Seorang notaris tidak diperkenankan untuk menolak memberikan jasanya kepada orang yang berkepentingan yang membutuhkan jasanya, namun apabila notaris berpendapat bahwa terdapat alasan yang mendasar untuk menolaknya maka ia wajib memberitahukan secara tertulis mengenai hal tersebut kepada pihak atau pihakpihak yang meminta jasanya atau penolakan tersebut harus merupakan penolakan dalam arti hukum, artinya ada alasan atau argumentasi hukum yang jelas dan tegas sehingga pihak yang bersangkutan dapat memahaminya.143 Kewenangan Notaris dalam pembuatan akta, tecantum dalam ketentuan Pasal 15 UUJN, dimana kewenangan Notaris dibedakan menjadi 3 (tiga) macam, yaitu: 1. Kewenangan Umum Notaris 141 Tan Thong Kie, Buku I Studi Notariat dan Serba Serbi Praktek Notaris, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Houve, 2000), hal. 452. 142 Habib Adjie, Hukum Notaris Indonesia, Tafsir Tematik Terhadap UU No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, Cetakan Pertama, (Bandung : PT Refika Aditama, 2008), hal. 87. 143 Ibid., hal. 88. Universitas Sumatera Utara 75 Kewenangan umum Notaris tercantum dalam Pasal 15 ayat (1) UUJN yang menegaskan bahwa salah satu kewenangan Notaris adalah membuat akta secara umum, namun dengan batasan sepanjang tidak dikecualikan kepada Pejabat lain yang ditetapkan oleh undang-undang, menyangkut akta yang harus dibuat atau berwenang membuat akta otentikmengenai semua perbuatan, perjanjian dan ketetapan yang diharuskan oleh aturan hukum atau dikehendaki oleh yang bersangkutan, mengenai subjek hukum (orang atau badan hukum) untuk kepentingan siapa akta dibuat atau dikehendaki oleh yang berkepentingan. 2. Kewenangan Khusus Notaris Kewenangan khusus Notaris untuk melakukan tindakan hukum tertentu tercantum dalam Pasal 15 ayat (1) UUJN, seperti : 1. Mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat di bawah tangan dengan mendaftarkan ke dalam buku khusus; 2. Membukukan surat di bawah tangan dengan mendaftarkan ke dalam buku khusus; 3. Membuat copy dan asli surat di bawah tangan berupa salinan yang memuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan ke dalam surat yang bersangkutan; 4. Melakukan pengesahan kecocokan fotocopy dengan surat aslinya; 5. Memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan akta 6. Membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan, atau membuat akta risalah lelang. Adapun kewenangan khusus Notaris lainnya, yang membuat akta dalam bentuk In Original, yaitu: 1. Pembayaran uang sewa, bunga, dan pesniun; 2. Penawaran pembayaran tunai 3. Protes terhadap tidak dibayarnya atau tidak diterimanya surat berharga; Universitas Sumatera Utara 76 4. Akta kuasa; 5. Keterangan kepemilikan; 6. Akta lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan. Notaris juga mempunyai kewenangan khusus lainnya seperti yang tersebut dalam Pasal 51 UUJN, yaitu berwenang untuk membetulkan kesalahan tulisan atau kesalahan ketik yang terdapat dalam minuta akta yang telah ditandatangani, dengan cara membuat Berita Acara Pembetulan dan Salinan atas Berita Acara Pembetulan tersebut Notaris wajib menyampaikannya kepada para pihak. 3. Kewenangan Notaris yang akan ditentukan kemudian Kewenangan Notaris yang akan ditentukan kemudian tercantum dalam Pasal 15 ayat (3) UUJN. Dimana kewenangan Notaris yang akan ditentukan kemudian merupakan kewenangan yang akan muncul dan akan ditentukan berdasarkan peraturan perundang-undangan. Dalam arti bahwa, jika Notaris melakukan tindakan di luar wewenang yang telah ditentukan, maka Notaris telah melakukan tindakan di luar wewenang, maka produk atau akta Notaris tersebut tidak mengikat secara hukum atau tidak dapat dilaksanakan (nonexecutable), dan pihak atau mereka yang merasa dirugikan oleh tindakan Notaris diluar wewenang tersebut, maka Notaris dapat digugat secara Perdata ke Pengadilan Negeri.144 144 Setiap orang yang datang menghadap Notaris sudah tentu berkeinginan agar perbuatan atau tindakan hukumnya yang diterangkan dihadapan atau oleh Notaris dibuat dalam bentuk akta Notaris tapi dengan alasan yang diketahui oleh Notaris sendiri, kepada mereka, dibuatkan akta dibawah tangan yang kemudian dilegalisasi atau dibukukan oleh Notaris sendiri. Tindakan Notaris tersebut sebenanrnya tidak dapat dibenarkan untuk membuat surat semacam itu, tapi yang dibenarkan adalah melegalisasi atau membukukan surat tersebut, agar sesuai dengan kewenangan Notaris. Tindakan tersebut tidak perlu dilakukan oleh Notaris, kalau ingin dibuat dengan akta dibawah tangan Universitas Sumatera Utara 77 4. Kewajiban dan Larangan Notaris Seorang Notaris dalam menjalankan profesinya memiliki kewajiban- kewajiban sebagaimana diatur dalam Bab III bagian kedua UU Perubahan atas UUJN. Seorang Notaris wajib bertindak jujur, seksama, dan tidak memihak. Notaris perlu memperhatikan apa yang disebut perilaku profesi yang memiliki unsur-unsur yaitu perilaku Notaris harus memiliki integritas moral yang mantap, harus jujur bersikap terhadap klien maupun diri sendiri, sadar akan batas-batas kewenangannya dan tidak bertindak semata-mata berdasarkan pertimbangan uang.145 Jabatan yang dipangku Notaris adalah jabatan kepercayaan dan justru oleh karena itu seseorang bersedia mempercayakan sesuatu kepadanya. Sebagai seorang kepercayaan Notaris berkewajiban untuk merahasiakan semua apa yang diberitahukan kepadanya selaku Notaris.146 Notaris dalam menjalankan kewajibannya menganut beberapa asas yang dapat dijadikan pedoman dalam menjalankan tugas jabatan Notaris. Asas atau prinsip merupakan sesuatu yang dapat dijadikan alas, dasar, tumpuan, tempat untuk menyadarkan sesuatu, mengembalikan sesuatu hal yang hendak dijelaskan. 147 Asas-asas dalam pelaksaan tugas Jabatan Notaris yang baik adalah sebagai berikut:148 dapat dibuat sendori oleh yang bersangkutan saja, bukan dibuat oleh Notaris. (Habib Adjie, 2014, Op. Cit, hal. 82.) 145 Liliana Tedjosaputro, Etika Profesi dan Profesi Hukum, (Semarang: Aneka Ilmu, 2003), hal. 93. 146 G.H.S Lumban Tobing, Op.Cit., hal. 117. 147 Mahadi, Falsafah Suatu Pengantar, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1989), hal. 119. Universitas Sumatera Utara 78 a. Asas persamaan Sesuai dengan perkembangan zaman, institusi Notaris telah menjadi bagian dari masyarakat Indonesia dan dengan lahirnya UUJN semakin meneguhkan Institusi Notaris. Dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat, Notaris tidak boleh membeda-bedakan satu dengan lainnya berdasarkan keadaan sosial ekonomi atau alasan lainnya. Hanya alasan hukum yang dapat dijadikan dasar bahwa Notaris tidak dapat memberikan jasa kepada pihak yang menghadap. b. Asas kepercayaan Salah satu bentuk dari Notaris sebagai jabatan kepercayaan, yaitu Notaris mempunyai kewajiban untuk merahasiakan segala sesuatu mengenai akta yang dibuatnya dan segala keterangan yang diperoleh guna pembuatan akta sesuai dengan sumpah/ janji jabatan, kecuali undang-undang menentukan lain (Pasal 16 ayat (1) huruf f UUJN) (Pasal 4 ayat (2) UUJN). c. Asas kepastian hukum Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya wajib berpedoman secara normatif kepada aturan hukum yang berkaitan dengan segala tindakan yang akan diambil untuk kemudian dituangkan dalam akta. Akta yang dibuat oleh Notaris harus sesuai dengan aturan hukum yang berlaku, yang apabila terjadi permasalahan, akta Notaris dapat dijadikan pedoman bagi para pihak. 148 Habib Adjie, Sanksi Perdata dan Administratif Terhadap Notaris Sebagai Pejabat Publik, (Bandung: Refika Aditama, 2009), hal. 82-87. Universitas Sumatera Utara 79 d. Asas kecermatan Meneliti semua bukti yang diperlihatkan kepada Notaris dan mendengarkan keterangan atau pernyataan para pihak wajib dilakukan sebagai bahan dasar untuk dituangkan dalam akta. Asas kecermatan ini merupakan penerapan dari Pasal 16 ayat (1) huruf a antara lain: 1. Melakukan pengenalan terhadap penghadap, berdasarkan identitasnya yang diperlihatkan kepada Notaris. 2. Menanyakan, kemudian mendengarkan dan mencermati keinginan atau kehendak para pihak tersebut (tanya-jawab). 3. Memeriksa bukti surat yang berkaitan dengan keinginan atau kehendak para pihak tersebut. 4. Memberikan saran dan membuat kerangka akta untuk memenuhi keinginan atau kehendak para pihak tersebut. 5. Memenuhi segala teknik administratif pembuatan akta Notaris, seperti pembacaan, penandatanganan, memberikan salinan, dan pemberkasan untuk minuta. 6. Melakukan kewajiban lain yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas jabatan Notaris. e. Asas pemberian alasan Setiap akta yang dibuat dihadapan atau oleh Notaris harus sesuai dengan alasan serta fakta yang mendukung untuk akta yang bersangkutan atau ada pertimbangan hukum yang harus dijelaskan kepada para pihak/ penghadap.. f. Asas Larangan penyalahgunaan wewenang Batas kewenangan Notaris dituangkan dalam Pasal 15 UUJN, apabila Notaris melakukan tindakan di luar kewenangannya maka tindakan tersebut dapat disebut sebagai tindakan penyalahgunaan wewenang. Jika tindakan seperti itu merugikan para pihak, maka para pihak yang merasa dirugikan dapat menuntutu Notaris yang bersangkutan dengan kualifikasi sebagai suatu Universitas Sumatera Utara 80 tindakan hukum yang merugikan para pihak. Para pihak yang menderita kerugian dapat menuntut penggantian biaya, ganti rugi, dan bunga kepada Notaris. g. Asas Larangan bertindak sewenang-wenang Notaris harus mempertimbangkan dan melihat semua dokumen yang diperlihatkan kepadanya, dalam hal ini Notaris mempunyai peran untuk menentukan suatu tindakan apakah dapat dituangkan dalam bentuk akta atau tidak, dan keputusan yang diambil harus didasarkan pada alasan hukum yang harus dijelaskan kepada para penghadap. h. Asas Proposionalitas Berdasarkan Pasal 16 angka (1) huruf a UUJN, Notaris wajib menjaga kepentingan para pihak yang terkait dalam perbuatan hukum atau dalam menjalankan tugas jabatannya, wajib mengutamakan adanya keseimbangan antara hak dan kewajiban para penghadap. i. Asas Profesionalitas Dalam menjalankan tugas jabatannya mengutamakan keahlian (keilmuan) berdasarkan UUJN dan Kode Etik Notaris. Hal tersebut diwujudkan dalam melayani masyarakat dan akta yang dibuat dihadapan atau oleh Notaris. Asas-asas tersebut sangat penting bagi seorang Notaris agar Notaris dapat menjalankan tugasnya dengan baik dan tidak bertentangan dengan aturan hukum yang berlaku. Universitas Sumatera Utara 81 Notaris merupakan salah satu bagian dari masyarakat Indonesia, sehingga sesuai dengan asas persamaan maka Notaris tidak boleh membeda-bedakan masyarakat satu dengan yang lain dalam memberikan pelayanan baik dilihat dari sosial ekonomi maupun alasan lainnya. Selain itu, berdasarkan asas kepercayaan maka seorang Notaris merupakan pihak yang sangat dipercaya oleh masyarakat yang dalam hal ini adalah para pihak yang menghadap Notaris. Salah satu bentuk jabatan kepercayaan yaitu dengan melihat Notaris yang mempunyai kewajiban untuk merahasiakan segala sesuatu tentang akta yang dibuatnya sesuai dengan sumpah atau janji yang telah diucapkan sebelum diangkat sebagai Notaris kecuali undang-undang menentukan lain. Dengan demikian, batasannya hanya undang-undang saja yang dapat memerintahkan Notaris untuk membuka rahasia isi akta dan keterangan ataupun pernyataan yang diketahui Notaris yang berkaitan dengan pembuatan akta yang dimaksud. Hal ini sesuai dengan isi Pasal 16 ayat (1) huruf f UUJN yaitu: “merahasiakan segala sesuatu mengenai Akta yang dibuatnya dan segala keterangan yang diperoleh guna pembuatan Akta sesuai dengan sumpah/janji jabatan, kecuali undang-undang menentukan lain”. Notaris sebagai pejabat umum yang mempunyai kewenangan dalam membuat akta otentik tentunya memiliki kewajiban yang harus dijalankan dan tidak boleh bertentangan dengan perundangundangan yang berlaku di Indonesia. Kewajiban seorang Notaris diatur dalam Pasal 16 ayat (1) UUJN yaitu sebagai berikut: a. Bertindak amanah, jujur, saksama, mandiri, tidak berpihak, dan menjaga kepentingan pihak yang terkait dalam perbuatan hukum; Universitas Sumatera Utara 82 b. Membuat Akta dalam bentuk Minuta Akta dan menyimpannya sebagai bagian dari Protokol Notaris; c. Melekatkan surat dan dokumen serta sidik jari penghadap pada Minuta Akta; d. Mengeluarkan Grosse Akta, Salinan Akta atau Kutipan Akta berdasarkan Minuta Akta; e. Memberikan pelayanan sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang ini, kecuali ada alasan untuk menolaknya; f. Merahasiakan segala sesuatu mengenai Akta yang dibuatnya dan segala keterangan yang diperoleh guna pembuatan akta sesuai dengan sumpah/janji jabatan, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang; g. Menjilid Akta yang dibuatnya dalam 1 (satu) bulan menjadi buku yang memuat tidak lebih dari 50 (lima puluh) Akta, dan jika jumlah Akta tidak dapat dimuat dalam satu buku, Akta tersebut dapat dijilid menjadi lebih dari satu buku, dan mencatat jumlah Minuta Akta, bulan, dan tahun pembuatannya pada sampul setiap buku; h. Membuat daftar dari Akta protes terhadap tidak dibayar atau tidak diterimanya surat berharga; i. Membuat daftar Akta yang berkenaan dengan wasiat menurut urutan waktu pembuatan Akta setiap bulan; j. Mengirimkan daftar Akta sebagaimana dimaksud dalam huruf i atau daftar nihil yang berkenaan dengan wasiat ke pusat daftar wasiat pada kementrian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dibidang hukum dalam waktu 5 (lima) hari pada minggu pertama setiap bulan berikutnya; k. Mencatat dalam repertorium tanggal pengiriman daftar wasiat pada setiap akhir bulan; l. Mempunyai cap atau stempel yang memuat lambang Negara Republik Indonesia dan pada ruang yang melingkarinya dituliskan nama, jabatan, dan tempat kedudukan yang bersangkutan; m. Membacakan Akta dihadapan penghadap dengan dihadiri oleh paling sedikit 2 (dua) orang saksi, atau 4 (empat) orang saksi khusus untuk pembuatan Akta wasiat dibawah tangan, dan ditandatangani pada saat itu juga oleh penghadap, saksi, dan Notaris; n. Menerima magang calon Notaris. Dalam Pasal 4 ayat (2) UUJN, “Notaris bersumpah atau berjanji untuk merahasiakan isi akta dan keterangan yang ia peroleh dalam pelaksanaan jabatan Notaris”. Secara umum Notaris memiliki kewajiban untuk merahasiakan segala keterangan sehubungan dengan akta yang dibuat dihadapannya, dengan batasan bahwa hanya undang-undang saja yang dapat memerintahkan seorang Notaris untuk Universitas Sumatera Utara 83 membuka rahasia tersebut. Hal ini dinamakan sebagai kewajiban ingkar (verschoningsplicht). Kewajiban ingkar untuk Notaris melekat pada tugas jabatan Notaris. Notaris mempunyai kewajiban ingkar bukan untuk kepentingan diri Notaris itu sendiri melainkan kepentingan para pihak yang menghadap. Hal ini disebabkan para pihak telah mempercayakan sepenuhnya kepada Notaris tersebut. Adapun kewajiban-kewajiban Notaris yang harus dirahasiakan berdasarkan ketentuan Pasal 4 ayat (2) UUJN dan Pasal 16 ayat (1) huruf e UUJN meliputi: keseluruhan isi akta yang terdiri dari awal akta, badan akta dan akhir akta, akta-akta yang dibuat Notaris sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 54 UUJN, serta keteranganketerangan dan serangkaian fakta yang diberitahukan oleh klien kepada Notaris baik yang tercantum dalam akta maupun yang tidak tercantum di dalam akta dalam proses pembuatan akta.149 Selain kewajiban yang harus dikerjakan oleh seorang Notaris, terdapat pula larangan bagi seorang Notaris. Larangan bagi seorang Notaris diatur dalam Pasal 17 ayat (1) UUJN yaitu sebagai berikut: a. Menjalankan jabatan diluar wilayah jabatannya; b. Meninggalkan wilayah jabatannya lebih dari 7 (tujuh) hari kerja berturutturut tanpa alasan yang sah; c. Merangkap sebagai pegawai negeri; d. Merangkap jabatan sebagai pejabat negara; e. Merangkap jabatan sebagai advokat; f. Merangkap jabatan sebagai pemimpin atau pegawai badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah atau badan usaha swasta; 149 Eis Fitriyana Mahmud, “Batas-batas Kewajiban Ingkar Notaris dalam Penggunaan Hak Ingkar pada Proses Peradilan Pidana”, Jurnal, Program Studi Magister Kenotariatan, Fakultas Hukum, Universitas Brawijaya, Malang, 2013, hlm.18. Universitas Sumatera Utara 84 g. Merangkap jabatan sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah dan/atau Pejabat Lelang Kelas II diluar tempat kedudukan Notaris; h. Menjadi Notaris Pengganti; atau i. Melakukan pekerjaan lain yang bertentangan dengan norma agama, kesusilaan, atau kepatutan yang dapat mempengaruhi kehormatan dan martabat jabatan Notaris. Apabila seorang Notaris melanggar larangan yang tersebut dalam Pasal 17 ayat (1) UUJN tersebut diatas maka Notaris tersebut dapat dikenakan sanksi sebagai berikut: a. Peringatan tertulis; b. Pemberhentian sementara; c. Pemberhentian dengan hormat, atau d. Pemberhentian dengan tidak hormat. Berdasarkan Pasal 52 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, “Notaris dilarang untuk membuat akta dalam suatu keadaan tertentu seperti membuat akta untuk diri sendiri maupun keluarga sendiri”. Apabila seorang Notaris melanggar Pasal 52 ayat (1) tersebut diatas berdasarkan Pasal 52 ayat (3) maka Notaris tersebut dikenakan sanksi perdata yaitu dengan “membayar biaya, ganti rugi dan bunga kepada para penghadap dan konsekuensinya adalah akta yang dibuat hanya memiliki kekuatan pembuktian sebagai akta dibawah tangan”. Notaris dalam keadaan tertentu tidak berwenang dalam membuat akta karena alasan-alasan yang berkaitan dengan tugas jabatan Notaris, seperti150: 1. Sebelum Notaris mengangkat sumpah (Pasal 4 UUJN). 2. Selama Notaris diberhentikan sementara dari jabatannya (Pasal 9 UUJN). 150 Habib Adjie, Hukum Notaris Indonesia, Cetakan Kesatu, Op. Cit, hal. 157. Universitas Sumatera Utara 85 3. Diluar wilayah jabatannya (Pasal 17 huruf a dan Pasal 18 ayat (2) UUJN. 4. Selama Notaris cuti (Pasal 25 UUJN). B. Perbuatan Melawan Hukum Oleh Notaris Dalam Pembuatan Akta 1. Pengertian Perbuatan Melawan Hukum Istilah “perbuatan melawan hukum” ini, dalam bahasa Belanda disebut dengan istilah “onrechtmatige daad” atau dalam bahasa Inggris disebut dengan istilah “tort”. Kata tort itu sebenarnya hanya berarti “salah” (wrong). Akan tetapi khususnya dalam bidang hukum, kata tort itu berkembang sedemikian rupa sehingga berarti kesalahan perdata yang bukan berasal dari wanprestasi kontrak. 151 Jadi serupa dengan pengertian perbuatan melawan hukum (onrechtmatge daad) dalam sistem hukum Belanda atau di negara-negara Eropa Kontinental lainnya. Kata “tort” berasal dari kata latin “torquere” atau “tortus” dalam bahasa Perancis, seperti kata “wrong” berasal dari kata “wrung” yang berarti kesalahan atau kerugian (injury). Sehingga pada prinsipnya, tujuan dari dibentuknya suatu sistem hukum yang kemudian dikenal dengan perbuatan melawan hukum tersebut adalah untuk dapat tercapai seperti apa yang disebut oleh peribahasa latin, yaitu: Juris praecepta sunt haec; honeste vivere, alterum non laedere, suum cuique tribuere (Semboyan hukum adalah hidup secara jujur, tidak merugikan orang lain dan memberikan orang lain haknya).152 151 Munir Fuady, Perbuatan Melawan Hukum, Cetakan Kesatu, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2002), hal. 2. 152 Ibid., Universitas Sumatera Utara 86 Menurut pasal 1365 KUH Perdata, maka yang disebut dengan perbuatan melawan hukum adalah : “Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.” Rumusan perbuatan melawan hukum menurut Wiryono Prodjodikoro adalah: “Perbuatan yang mengakibatkan keguncangan dalam kehidupan bermasyarakat dan keguncangan ini tidak hanya terdapat dalam kehidupan bermasyarakat apabila peraturan-peraturan hukum dalam suatu masyarakat dilanggar (langsung). Oleh karena itu, tergantung dari nilai hebatnya keguncangan itu. Meskipun secara langsung hanya mengenai peraturan kesusilaan, keagamaan atau sopan santun, tetapi harus dicegah keras, seperti mencegah suatu perbuatan yang langsung melawan hukum”.153 Menurut Ter Haar, Pengertian Perbuatan Melawan Hukum adalah: “tiap-tiap gangguan dari keseimbangan, tiap-tiap gangguan pada barang-barang kelahiran dan kerohaniaan dari milik hidup seseorang atau gerombolan orang-orang”. 154 Secara klasik, yang dimaksud dengan “perbuatan” dalam istilah perbuatan melawan hukum adalah155: a. Nonfeasance, yakni merupakan tidak berbuat sesuatu yang diwajibkan oleh hukum. b. Misfeasance, yakni merupakan perbuatan yang dilakukan secara salah, perbuatan mana merupakan kewajibannya atau merupakan perbuatan yang dia mempunyai hak untuk melakukannya. 153 http://www.pengertianpakar.com/2015/01/pengertian-perbuatan-melawan-hukum-menurutpakar-hukum.html, diakses pada tanggal 1 Juli 2016. 154 Ibid., 155 Munir Fuady, Op. cit., hal. 5 Universitas Sumatera Utara 87 c. Malfeasance, yakni merupakan perbuatan yang dilakukan dimana pelakunya tidak berhak untuk melakukannya. Beberapa definisi lain terhadap perbuatan melawan hukum adalah sebagai berikut156: a. Tidak memenuhi sesuatu yang menjadi kewajibannya selain dari kewajiban kontraktual atau kewajiban quasi kontraktual yang menerbitkan hak untuk meminta ganti rugi. b. Suatu perbuatan atau tidak berbuat sesuatu yang mengakibatkan timbulnya kerugian bagi orang lain tanpa sebelumnya ada suatu hubungan hukum, dimana perbuatan atau tidak berbuat sesuatu baik merupakan suatu perbuatan biasa maupun bisa juga merupakan suatu keelakaan. c. Tidak memenuhi suatu kewajiban yang dibebankan oleh hukum, kewajiban mana ditujukan terhadap setiap orang pada umumnya, dan dengan tidak memenuhi kewajibannya tersebut dapat dimintakan suatu ganti rugi. d. Suatu kesalahan perdata (civil wrong) terhadap mana suatu ganti rugi kerugian dapat dituntut yang bukan merupakan wanprestasi terhadap kontrak, atau wanprestasi terhadap kewajiban trust, ataupun wanprestasi terhadap kewajiban lainnya. e. Suatu kerugian yang tidak disebabkan oleh wanprestasi terhadap kontrak, atau lebih tepatnya merupakan suatu perbuatan yang merugikan hak-hak orang lain yang diciptakan oleh hukum yang tidak terbit dari hubungan kontraktual. f. Sesuatu perbuatan atau tidak berbuat sesuatu yang secara bertentangan dengan hukum melanggar hak orang lain yang diciptakan oleh hukum, dan karenanya suatu ganti rugi dapat dituntut oleh pihak yang dirugikan. 2. Unsur- Unsur Perbuatan Melawan Hukum Apabila mengacu pada Pasal 1365 KUHPerdata, maka suatu perbuatan melawan hukum haruslah mengandung unsur-unsur sebagai berikut157: a. Adanya suatu perbuatan Suatu perbuatan melawan hukum diawali oleh suatu perbuatan dari si pelakunya. Perbuatan tersebut dapat berarti berbuat sesuatu (aktif) maupun tidak berbuat sesuatu (pasif). 156 157 Ibid., hal. 3 Ibid., hal. 10 Universitas Sumatera Utara 88 b. Perbuatan tersebut melawan hukum Perbuatan yang dilakukan tersebut haruslah melawan hukum, unsur melawan hukum ini diartikan dalam arti yang seluas-luasnya, yakni dalam hal: perbuatan yang melanggar undang-undang yang berlaku, melanggar hak orang lain yang dijamin oleh hukum, perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku, perbuatan yang bertentangan dengan kesusilaan, perbuatan yang bertentangan dengan sikap yang baik dalam bermasyarakat untuk memperhatikan kepentingan orang lain. c. Adanya Kesalahan dari Pihak Pelaku Pasal 1365 mensyaratkan adanya unsur “kesalahan” (schuld) dalam suatu perbuatan melawan hukum. Suatu tindakan diangap oleh hukum mengandung unsur kesalahan sehinga dapat dimintakan tanggung jawabnya secara hukum jika memenuhi unsur-unsur sebagai berikut: 1. Adanya unsur kesengajaan, atau 2. Ada unsur kelalaian (negligence, culpa), dan 3. Tidak ada alasan pembenar atau alasan pemaaf (rechtvaardigingsgrond), seperti keadaan overmacht, membela diri, tidak waras dan lain-lain. d. Perbuatan tersebut menimbulkan kerugian bagi korban Adanya kerugian (schade) bagi korban juga merupakan syarat agar gugatan berdasarkan Pasal 1365 KUH Perdata dapat dikenakan. Berbeda dengan kerugian karena wanprestasi yang hanya mengenal kerugian materiil, maka kerugian karena perbuatan melawan hukum di samping kerugian materil, Universitas Sumatera Utara 89 yuriprudensi juga mengakui konsep immateril, yang juga akan dinilai dengan uang. e. Adanya hubungan kausal antara perbuatan dengan kerugian Kerugian yang dialami oleh si korban haruslah memiliki hubungan kausal dengan perbuatan si pelaku. Seandainya tidak ada perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh si pelaku maka tidak ada kerugian yang dialami si korban. 3. Perbuatan Melawan Hukum Oleh Notaris Dalam Pembuatan Akta Perbuatan melawan hukum merupakan perbuatan yang menimbulkan kerugian, dan secara normatif perbuatan tersebut tunduk pada ketentuan Pasal 1365 KUHPerdata. Bentuk tanggung gugat yang dianut oleh Pasal 1365 KUHPerdata ini adalah tanggung gugat berdasarkan kesalahan (liability based fault). Hal ini dilihat dalam ketentuan pasal tersebut yang mensyaratkan adanya kesalahan pada pelaku untuk sampai kepada keputusan apakah perbuatan seseorang itu merupakan perbuatan melawan hukum. Selain itu, unsur kesalahan harus dibuktikan oleh pihak yang menderita kerugian sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1865 KUHPerdata dan 163 HIR.158 Perbuatan melawan hukum, yang dimaksud dalam perbuatan melawan hukum oleh Notaris, tidak hanya perbuatan yang langsung melawan hukum, melainkan juga perbuatan yang secara langsung melanggar peraturan lain, dimana yang dimaksud 158 Sjaifurrachman, Aspek Pertanggungjawaban Notaris dalam Pembuatan Akta, (Bandung: Mandar Maju, 2011), hal. 179. Universitas Sumatera Utara 90 peraturan lain adalah peraturan yang berada dalam lapangan kesusilaan, keagamaan dan sopan santun dalam masyarakat yang dilanggar.159 Notaris melakukan perbuatan melawan hukum juga dapat didasarkan pada Pasal 1365 KUHPerdata yang menyatakan tiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya mengganti kerugian tersebut. Apabila Notaris melakukan suatu pembuatan akta atas perintah dan permintaan dari para pihak dan syarat-syarat formil yang ditentukan oleh undang-undang dalam pembuatan akta telah dipenuhi oleh Notaris, maka Notaris tidak bertanggungjawab. Pertanggungjawaban atas perbuatan seseorang biasanya praktis baru ada arti apabila melakukan perbuatan yang tidak diperbolehkan oleh hukum. Sebagian besar di dalam KUHPerdata dinamakan perbuatan melawan hukum (onrechmatige daad)160. Perbuatan melawan hukum telah diartikan secara luas yakni mencakup salah satu dari perbuatan-perbuatan salah satu dari berikut161: 1. 2. 3. 4. Perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban hukumnya sendiri. Perbuatan yang bertentangan dengan hak subjektif orang lain. Perbuatan yang bertentangan dengan kaidah kesusilaan. Perbuatan yang bertentangan dengan asas kepatutan, ketelitian dan kehatihatian yang seharusnya dimiliki seseorang dalam pergaulan masyarakat. Untuk adanya suatu perbuatan melawan hukum tidak disyaratkan adanya keempat kriteria itu secara kumulatif, namun dipenuhinya salah satu kriteria secara 159 R. Wirjono Prodjodikoro, Perbuatan Melanggar Hukum Dipandang Dari Sudut Hukum Perdata, (Bandung: Mandar Maju, 2000), hal. 6-7. 160 R. Wirjono Prodjodikoro, Perbuatan Melanggar Hukum, (Bandung: Sumur Bandung, 1984), hal. 80. 161 Munir Fuady, Op. Cit., hal. 6. Universitas Sumatera Utara 91 alternatif, sudah cukup terpenuhi pula syarat untuk suatu perbuatan melawan hukum. Selanjutnya mengenai penjelasan kriteria perbuatan melawan hukum tersebut sebagai berikut: 1. Bertentangan dengan kewajiban hukum (rechtsplicht) Kewajiban hukum bagi Notaris sebagaimana tercantum dalam Pasal 15 UUJN adalah membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan /atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta. Atas dasar kewenangan yang diberikan oleh undang-undang tersebut, maka terhadap akta otentik diberikan kekuatan pembuktian, sehingga mewujudkan suatu akta otentik yang mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna. Dalam pelaksanaan wewenang tersebut berkaitan dengan kewajiban bagi Notaris untuk mewujudkan akta otentik yang berkekuatan pembuktian sempurna. Oleh karena itu, seorang Notaris harus memperhatikan ketentuan-ketentuan dalam UUJN, ketentuan-ketentuan yang ditetapkan dalam Kode Etik Notaris Indonesia, maupun ketentuan-ketentuan lainnya. Dengan dibuatnya akta yang cacat hukum, yang kemudian dinyatakan tidak otentik karena syarat-syarat formal akta otentik tidak terpenuhi, sehingga menjadi akta di bawah tangan atau bahkan dinyatakan batal, atau menjadi batal demi hukum, maka terhadap kejadian tersebut menjadi bertentangan dengan kewajiban hukum bagi notaris.162 2. Melanggar hak subjektif orang lain 162 Sjaifurrachman, Op. Cit., hal. 180-181. Universitas Sumatera Utara 92 Suatu perbuatan atau tidak berbuat merupakan perbuatan melanggar hukum apabila terjadi pelanggaran terhadap hak subjektif seseorang. Yang dimaksud dengan hak subjektif adalah suatu kewenangan khusus seseorang yang diakui oleh hukum, kewenagan itu diberikan kepadanya untuk mempertahankan kepentingannya. Hak-hak yang diakui sebagai hak subjektif, menurut yurisprudensi: a. hak-hak kebendaan serta hak-hak absolut lainnya (eigendom, erfpacht, hak oktrooi, dan lain-lain). b. hak-hak pribadi (hak atas integritas pribadi dan integritas badaniah, kehormatan, serta nama baik dan sebagainya). c. hak-hak khusus, seperti hak penghunian yang dimiliki seorang penyewa.163 Beberapa contoh dibawah ini dikatakan sebagai pelanggaran hak orang lain: 1. seseorang melakukan perbuatan yang semata-mata menjadi wewenang orang lain (pelanggaran atas hak eksklusif suatu hak). 2. Seseorang melakukan perbuatan yang menghalangi, atau mempersulit orang lain yang berhak untuk melaksanakan hak-haknya. Bentuk kesalahan yang kedua inilah yang paling tepat untuk diterapkan terhadap kasus pembuatan akta notaris, sebab perbuatan Notaris yang bersangkutan telah menghalangi atau mempersulit klien atau orang yang berhak atas akta untuk melaksanakan haknya. Hak klien yang dijamin undang-undang selaku yang berhak 163 Setiawan, Aneka Masalah Hukum dan Hukum Acara Perdata, (Bandung: Alumni, 2008), hal. 260-261. Universitas Sumatera Utara 93 atas akta adalah hak untuk mempergunakan akta tersebut sebagai alat bukti haknya yang sah, sehingga dengan alat bukti tersebut dapat meneguhkan atau mendalilkan haknya, bahkan membantah hak orang lain. Kemudian, ternyata akta tersebut dibatalkan dengan putusan pengadilan, sehingga klien Notaris tersebut tidak mendapatkan hak atas akta otentik, atau tidak dapat mempergunakan akta tersebut sebagaimana layaknya peran dan fungsi sebuah akta otentik, sehingga klien yang seharusnya sebagai pemegang hak menjadi tidak dapat melaksanakan haknya. 3. Melanggar kaidah tata susila Pelanggaran terhadap kaidah tata susila merupakan kriteria ketiga perbuatan melawan hukum. Hal ini mencerminkan kesadaran setidak-tidaknya dalam hukum perdata, bahwa pengertian hukum dan undang-undang tidak identik, dan untuk menghindari tanggung gugat keperdataan tidak cukup dengan mematuhi aturanaturan tingkah laku dalam undang-undang saja, melainkan harus pula dipatuhi normanorma sopan santun yang tidak tertulis. Pasal 1335 KUHPerdata dan 1337 KUHPerdata menentukan bahwa: “perjanjian yang bertentangan dengan kaidah tata susila tidak diperkenankan dan tidak memiliki kekuatan hukum, demikian pula ajaran tentang perbuatan melawan hukum menentukan bahwa suatu perbuatan ataupun tidak berbuat yang bertentangan dengan kesusilaan adalah suatu perbuatan melawan hukum”. Kaidah tata susila sebagai suatu pengertian hukum dimaksudkan kaidah-kaidah moral, sejauh ini diterima oleh masyarakat sebagai kaidah hukum tidak tertulis. Namun dasar putusan Universitas Sumatera Utara 94 hakim perdata untuk menilai apakah suatu perbuatan bersifat melawan hukum, jarang yang mendasarkan pertimbangannya pada pelanggaran terhadap kaidah tata susila.164 4. Bertentangan dengan asas kepatutan, ketelitian dan sikap hati-hati Kriteria keempat perbuatan melawan hukum ini berbunyi sebagai berikut: bertentangan dengan asas kepatutan, ketelitian serta sikap hati-hati yang seharusnya dimiliki seseorang dalam pergaulannya dengan sesama warga masyarakat atau terhadap barang milik orang lain, kriteria ini bersumber pada hukum tidak tertulis. Kepatutan, ketelitian dan sikap hati-hati mewajibkan setiap orang dalam memenuhi kepentingannya memperhatikan kepentingan orang lain. Pemenuhan kepentingan seseorang haruslah dilaksanakan sedemikian rupa, sehingga tidak berbahaya bagi kepentingan warga masyarakat yang lain. Dalam melaksanakan kepentingan tersebut seseorang haruslah memperhatikan norma-norma kepatutan, ketelitian, serta sikap hati-hati, sehingga tindakannya tidak boleh membahayakan atau merugikan orang lain. Dalam hal ia bertindak tanpa memperhatikan norma-norma tersebut dan tindakannya itu menimbulkan kerugian bagi orang lain, maka dapat dikatakan bahwa orang itu melakukan perbuatan melawan hukum. Kepatutan, ketelitian, serta sikap hati-hati yang dimaksud disini bertujuan agar sedapat mungkin Notaris memberikan pemecahan atas permasalahan yang dihadapi kliennya melalui nasihat dan penyuluhan hukumnya. Disamping menghasilkan suatu akta otentik yang sah menurut hukum, sehingga dapat dipergunakan di kemudian hari oleh kliennya sebagai bukti atas haknya.165 164 165 Sjaifurrachman, Op. Cit., hal. 183. Ibid., Universitas Sumatera Utara 95 Sikap kepatutan, ketelitian, serta sikap hati-hati ini dapat diwujudkan dalam bentuk memberikan bantuan atau nasihat hukumnya. Notaris diwajibkan untuk memberikan penjelasan-penjelasan dari sisi yuridis mengenai permasalahan yang dihadapi oleh klien, tidak terkecuali konsekuensi-konsekuensi hukum apa yang mungkin terjadi secara yuridis dapat diprediksikan. Sehingga sedapat mungkin upaya ini dapat menunjukkan adanya langkah antisipatif terhadap akta otentik yang akan dihasilkannya merupakan akta otentik yang sah dan dapat berperan sebagai alat bukti yang sempurna.166 Dalam kasus pembuatan akta yang cacat hukum, dalam hal ini kewajiban Notaris untuk menjelaskan dan menunjukkan kelemahan-kelemahan atau kekurangan yang terdapat dalam suatu akta otentik tidak dilakukan, sehingga tindakan notaris tersebut membahayakan atau merugikan orang lain. Dan apabila tindakan tersebut merugikan orang lain, maka dapatlah dikatakan bahwa Notaris tersebut telah melakukan perbuatan melawan hukum.167 Disamping persyaratan-persyaratan di atas, Achmad Sanusi mengemukakan syarat-syarat untuk menjalankan gugatan atas dasar perbuatan melawan hukum yaitu: Causalitas antara perbuatan melawan hukum dengan timbulnya kerugian, dalam pembuktiannya terdapat teori atau ajaran adequate yang dikemukakan oleh J. Von Kries, yaitu apabila kerugian tersebut adalah menurut kebiasaan-kebiasaan dalam pengalaman merupakan suatu akibat langsung dari perbuatan melawan hukum. 168 166 Ibid, hal. 184 Ibid., 168 Achmad Sanusi, Pengantar Ilmu Hukum dan Pengantar Tata Hukum Indonesia, (Bandung: Tarsito,1991), hal. 189. 167 Universitas Sumatera Utara 96 Lebih lanjut Moeljatno mengartikan teori J. Von Kries sebagai syarat yang pada umumnya menurut jalannya kejadian yang normal dapat menimbulkan akibat atau kejadian tersebut, dimana pengertian normal ini diartikan: a. tergantung subjek tentang pandangannya mengenai bagaimanakah yang dinamakan moral. b. sepanjang terdakwa secara persoonlijk mengetahui atau seharusnya mengetahui keadaan sekitar akibat.169 Pada intinya prinsip dari syarat causalitas, bahwa secara normal kerugian yang diderita para pihak adalah akibat dari perbuatan notaris tersebut, sehingga dapat dikatakan bahwa perbuatan notaris yang bersangkutan melawan hukum. Secara normal, perbuatan notaris yang bersangkutan mengakibatkan timbulnya kerugian, karena notaris dianggap mengetahui atau seharusnya mengetahui keadaan sekitar. Seorang Notaris yang membuat akta cacat hukum secara normal atas perbuatannya tersebut telah menimbulkan kerugian bagi kliennya mengingat seorang notaris mengetahui atau seharusnya mengetahui, bahwa pembuatan akta yang cacat hukum akan dibatalkan oleh pengadilan dan seharusnya mengetahui juga konsekuensi dari pembuatan akta tersebut. Kalimat mengetahui atau seharusnya mengetahui ditekankan, dengan alasan bahwa seorang Notaris tidak dapat mengatakan, bahwa dirinya tidak mengetahui adanya larangan tersebut berikut konsekuensinya, asal pembuatan akta tersebut disepakati para pihak, sebagai pembelaan diri. Seorang 169 Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, (Jakarta: Rineka Cipta, 1993), hal. 96. Universitas Sumatera Utara 97 Notaris dituntut untuk harus mengetahui mengingat seorang Notaris sebelum memasuki dunia praktek telah dibekali kemampuan praktis dan teoritis.170 Istilah perbuatan melawan hukum (onrechtmatig daad) sebelumnya diartikan secara sempit, yakni tiap perbuatan yang bertentangan dengan hak orang lain yang timbul karena undang-undang atau tiap perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban hukumnya sendiri yang timbul karena undang-undang, sehingga menimbulkan suatu pelanggaran. Demikian juga dalam pelanggaran terhadap UUJN yang dilakukan oleh Notaris dalam pembuatan akta, yaitu tidak terpenuhinya ketentuan sebagai berikut: 1. Pelanggaran Notaris terhadap ketentuan Pasal 16 ayat (1) huruf i, Pelanggaran yang dilakukan Notaris yaitu Notaris tidak membacakan akta di hadapan penghadap dengan dihadiri oleh paling sedikit 2 (dua) orang saksi dan ditandatangani pada saat itu juga oleh penghadap, saksi dan Notaris.171Pelanggaran seperti ini termasuk ke dalam cacat bentuk akta Notaris, karena pembacaan akta oleh Notaris di hadapan para pihak dan saksi merupakan suatu kewajiban dengan kehendak yang bersangkutan, dan telah dilakukan pembacaan tersebut wajib dicantumkan pada bagian akhir akta Notaris.172 170 Sjaifurrachman, Op.Cit., hal. 185. Penandatanganan para pihak, saksi dan Notaris merupakan suatu kewajiban. Khusus untuk para pihak yang tidak dapat membubuhkan tanda tangannya karena cacat fisik tangannya atau tidak dapat membaca-menulis, maka Notaris wajib menuliskan pada akhir akta keadaan tersebut. 172 Habib Adjie, 2011, Op. Cit., hal. 83 171 Universitas Sumatera Utara 98 2. Pelanggaran Notaris terhadap ketentuan Pasal 41 dengan menunjuk kepada Pasal 39 UUJN dan Pasal 40 UUJN Melanggar Pasal 39 dan Pasal 40 UUJN mengenai tidak dipenuhinya ketentuan dalam Pasal 39 mengenai kecakapan penghadap melakukan perbuatan melawan hukum, penghadap dikenal oleh Notaris atau diperkenalkan kepadanya 2 (dua) orang saksi. Pasal 40 mengenai akta dibacakan Notaris dengan dihadiri 2 (dua) orang saksi yang cakap melakukan perbuatan hukum. Ketentuan Pasal 39 dan Pasal 40 UUJN berkaitan dengan aspek subjektif sahnya akta Notaris, yaitu cakap bertindak untuk melakukan suatu perbuatan hukum. Pelanggaran terhadap Pasal ini termasuk ke dalam tidak mampunya pejabat umum yang bersangkutan untuk memahami batasan umum dewasa untuk melakukan suatu perbuatan hukum.173 Ketentuan-ketentuan tersebut dicantumkan secara tegas dalam pasal-pasal dalam UUJN yang menyebutkan jika dilanggar oleh Notaris, akta Notaris mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan. Selain itu terdapat juga pelanggaran yang dilakukan Notaris sehingga akta Notaris yang batal demi hukum yaitu sebagai berikut: 1. Pelanggaran Notaris terhadap Pasal 16 ayat (1) huruf l Melanggar kewajiban Notaris sebagaimana tersebut dalam Pasal 16 ayat (1) huruf l, yaitu tidak membuat daftar akta wasiat dan mengirimkan ke Daftar 173 Ibid., Universitas Sumatera Utara 99 Pusat Wasiat dalam waktu 5 (lima) hari pada minggu pertama setiap bulan (termasuk memberitahukan bilamana nihil).174 2. Pelanggaran Notaris terhadap Pasal 16 ayat (1) huruf k Melanggar kewajiban sebagaimana tersebut dalam Pasal 16 ayat (1) huruf k, yaitu tidak mempunyai cap/ stempel yang memuat lambang Negara Republik Indonesia dan pada ruang yang melingkarinya dituliskan nama, jabatan, dan tempat kedudukannya. 3. Pelanggaran Notaris terhadap Pasal 44 UUJN dirumuskan bahwa: a. Penandatanganan akta dilakukan oleh setiap penghadap, saksi-saksi dan Notaris, kecuali ada penghadap yang tidak dapat membubuhkan tanda tangannya dengan menyebutkan alasannya, yang dinyatakan secara tegas dalam akta. b. Jika akta dibuat dalam bahasa Indonesia yang tidak dimengerti oleh penghadap, Notaris wajib menterjemahkan atau menjelaskan ke dalam bahasa yang dimengerti oleh penghadap dan harus dinyatakan secara tegas pada akhir akta atau jika Notaris tidak menterjemahkan dan akta diterjemahkan dan diterjemahkan oleh penerjemah, maka akta 174 Pengiriman atau pelaporan ke Daftar Pusat Wasiat (DPW) ini berlaku untuk semua warga negara Indonesia yang membuat wasiat dengan bentuk apapun dengan akta Notaris. Tujuan pengiriman atau pelaporan tersebut untuk melindungi kehendak terakhir hak pemberi wasiat dan calon penerima wasiat. Sampai saat ini DPW hanya ada satu yaitu di Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) Republik Indonesia. Atas permintaan para pihak untuk mengetahui ada atau tidak ada wasiat. DPW masih melakukannya secara manual yang memerlukan waktu lama. Untuk mempersingkat waktu dan mempermudah pemberian pelayanan kepada masyarakat, pemerintah dalam hal ini Departemen Hukum dan HAM untuk segera melakukam perubahan dengan cara membuat permintaan ada atau tidak ada wasiat secara online. (Habib Adjie, Sanksi., 2008, Op. Cit., hal. 97.) Universitas Sumatera Utara 100 ditandatangani oleh penghadap, saksi-saksi, Notaris dan penerjemah serta harus dinyatakan secara tegas dalam akhir akta. Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 44 UUJN mengakibatkan aktanya batal demi hukum, sebab pasal 44 UUJN mengatur tentang penandatanganan dan bahasa dalam akta. Jika akta tidak ditandatangani atau alasan tidak ditandatangani dan penyebutan pada akhir akta tidak dilakukan dianggap tidak ada tanda tangan dan tidak mengikat. Bahasa dalam akta harus dipahami oleh penghadap, saksi-saksi dan Notaris.175 4. Pelanggaran Notaris terhadap ketentuan Pasal 48 UUJN Ketentuan Pasal 48 UUJN pada dasarnya mengatur mengenai larangan perubahan isi akta dengan cara penulisan tindih, penyisipan, pencoretan atau penghapusan dengan penggantian, kecuali perubahan berupa penambahan, pencoretan dan penggantian yang diparaf atau diberi tanda pengesahan lain oleh penghadap, saksi-saksi dan Notaris. Paraf berlaku sebagai tanda tangan, sehingga perubahan isi akta tanpa paraf atau tanda pengesahan lain, mengakibatkan perubahan tersebut tidak mengikat penghadap atau perubahan dianggap tidak ada atau batal demi hukum.176 5. Pelanggaran Notaris terhadap ketentuan Pasal 49 UUJN Ketentuan Pasal 49 UUJN pada dasarnya mengatur mengenai tempat perubahan isi akta dibuat di sisi kiri akta atau pada akhir akta sebelum 175 176 Sjaifurrachman, Op. Cit., hal. 148-149. Ibid., hal 149. Universitas Sumatera Utara 101 penutup akta atau dengan menyisipkan lembar tambahan dan semuanya harus dilakukan dengan menunjuk bagian yang diubah. Penambahan isi akta dalam minuta akta yang akan ditandatangani dalam praktek kenotariatan disebut renvooi. Seringkali pada saat akta dibacakan atau sedang dibacakan perlu diadakan perubahan, dan perubahan ini dapat disebabkan atas usul para penghadap atau disebabkan atas usul para penghadap atau disebabkan salah ketik yang diketahui oleh Notaris. Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 49 dalam bentuk perubahan yang dilakukan tanpa menunjuk bagian yang dirubah mengakibatkan perubahan tersebut batal.177 6. Pelanggaran Notaris terhadap ketentuan Pasal 50 UUJN Melanggar ketentuan Pasal 50 UUJN , yaitu tidak melakukan pencoretan, pemarafan dan atas perubahan berupa pencoretan kata, huruf, atau angka, hal tersebut dilakukan sedemikian rupa sehingga tetap dapat dibaca sesuai dengan yang tercantum semula. Jumlah kata, huruf, atau angka yang dicoret dinyatakan pada sisi kiri akta, juga tidak menyatakan pada akhir akta mengenai jumlah perubahan, pencoretan dan penambahan.178 7. Pelanggaran Notaris terhadap ketentuan Pasal 51 UUJN Pelanggaran ketentuan Pasal 51 UUJN yaitu tidak membetulkan kesalahan tulis dan/ atau kesalahan ketik yang terdapat pada minuta akta yang telah 177 178 Ibid., hal 150. Habib Adjie, 2011, Op. Cit., hal. 79 Universitas Sumatera Utara 102 ditandatangani, juga tidak membuat berita acara tentang pembetulan tersebut dan tidak menyampaikan berita acara pembetulan tersebut kepada pihak yang tersebut dalam akta.179 Ketentuan tersebut di atas yang dapat dikualifikasikan akta Notaris batal demi hukum sebenarnya merupakan tindakan kewajiban yang harus dilakukan oleh Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya tanpa ada objek tertentu dan sebab yang halal. Perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh seorang Notaris dapat mencakup ranah bidang pidana yaitu seorang Notaris dapat dikenakan tindakan pidana atas perbuatan yang melanggar ketentuan dari kaedah peraturan larangan yang diterbitkan oleh negara. Pelanggaran secara pidana yang dilakukan Notaris yaitu yang tercantum dalam Pasal 263 KUHPidana dalam hal melakukan pelanggaran membuat surat secara palsu. Adapun unsur-unsur yang terdapat dalam Pasal 263 KUHPidana ini adalah sebagai berikut: 1. Unsur-unsur ojektifnya adalah: a. Perbuatan yaitu memakai; b. Objeknya adalah surat palsu dan surat yang dipalsukan; c. Pemakaian surat tersebut dapat menimbulkan kerugian. 2. Unsur subjektifnya adalah dengan sengaja.180 C. Tanggung Jawab Notaris Sebagai Pejabat Umum dalam Pembuatan Akta Dalam Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, pengertian tanggung jawab adalah “keadaan wajib menanggung segala sesuatunya, apabila ada sesuatu hal, boleh 179 180 Ibid., Chazawi Adami, Kejahatan Terhadap Pemalsuan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001), hal. 99 Universitas Sumatera Utara 103 dituntut, dipersalahkan, diperbolehkan dan sebagainya”.181 Demikian pula halnya dengan tanggung jawab seorang notaris dalam melaksanakan kewenangan dan kewajibannya. Sehubungan dengan kewenangannya tersebut Notaris berkewajiban untuk bertanggung jawab atas perbuatannya/ pekerjaannya dalam membuat akta karena masyarakat mempercayakan notaris tersebut sebagai seseorang yang ahli dalam bidang kenotarisan. Besarnya tanggung jawab notaris dalam menjalankan profesinya mengharuskan notaris untuk selalu cermat dan hati-hati dalam setiap tindakannya. Namun demikian sebagai manusia biasa, tentunya seorang notaris dalam menjalankan tugas dan jabatannya terkadang tidak luput dari kesalahan baik karena kesengajaan maupun karena kelalaian yang kemudian dapat merugikan pihak lain.182 Notaris dalam menjalankan jabatannya harus berdasarkan pada ketelitian, kecermatan dan ketepatan. Tiga unsur sifat pribadi harus mendapatkan perhatian khusus yang membentuk karakter didalam menjalankan jabatan adalah183: 1. Jujur terhadap diri sendiri; 2. Baik dan benar; 3. Profesional. Salah satu perilaku seorang notaris dalam menjalankan jabatannya adalah senantiasa bersikap profesional. Menyandang jabatan selaku notaris harus jujur terhadap diri sendiri yang berlandaskan pada spiritual, moral, mental dan akhlak baik dan benar. Selain mempunyai tingkat intelektual tinggi serta yang mempunyai sifat 181 182 Wahyu Baskoro, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, (Jakarta: Setia kawan, 2005), hal. 785. Hasil wawancara dengan Notaris/ PPAT Erita Wagewati Sitohang, pada tanggal 22 Juli 2016. 183 A.A. Andi Prajitno, Pengetahuan Praktis Tentang Apa dan Siapa Notaris di Indonesia, (Surabaya: Putra Media Nusantara, 2010), hal. 92. Universitas Sumatera Utara 104 netral/tidak memihak, independen, mandiri, tidak mengejar materi, menjunjung harkat dan martabat Notaris yang profesional.184 Perilaku sehari-hari dalam menjalankan jabatannya harus profesional yang mengandung arti: 1. Sesuai dengan undang-undang, kode etik, anggaran dasar, anggaran rumah tangga; 2. Sesuai dan menguasai teknik pembuatan akta; 3. Teliti, jeli dan sikap kehati-hatian harus diperhatikan; 4. Tidak terpengaruh dan tidak memihak; 5. Merelatir atau membuat sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya; 6. Tidak menghalalkan segala cara atau memaksakan kehendak; 7. Dalam waktu yang cepat dan tepat. Tugas seorang Notaris adalah membuat suatu akta otentik yang diinginkan oleh para pihak untuk suatu perbuatan hukum tertentu. Tanpa adanya suatu permintaan dari para pihak maka notaris tidak akan membuatkan suatu akta apapun. Notaris dalam membuat suatu akta harus berdasarkan keterangan atau pernyataan dari para pihak yang hadir dihadapan notaris, kemudian notaris menuangkan keteranganketerangan/penyataan-pernyataan tersebut kedalam suatu akta, dimana akta tersebut telah memenuhi ketentuan secara ilmiah, formil dan materiil dalam pembuatan akta otentik. Serta notaris dalam membuat akta tersebut harus berpijak pada peraturan hukum atau tata cara prosedur pembuatan akta, sehingga Notaris dituntut untuk lebih jeli dan berhati-hati dalam membuat akta. 185 Akta merupakan sebuah kebutuhan bagi 184 185 Ibid., Hasil wawancara dengan Notaris/ PPAT Erita Wagewati Sitohang, pada tanggal 22 Juli 2016. Universitas Sumatera Utara 105 masyarakat (para penghadap) dan diharapkan akta tersebut dapat menjadi suatu bukti apabila terjadi suatu sengketa dikemudian hari. Apabila notaris lalai dan kurang berhati-hati dalam membuat akta sehingga mengakibatkan akta tersebut cacat hukum, maka perbuatan notaris tersebut harus dipertanggungjawabkan. Atas kesalahan notaris tersebut, menyebabkan Notaris telah melakukan perbuatan melawan hukum. Perbuatan melawan hukum merupakan suatu kumpulan dari prinsip-prinsip hukum yang bertujuan untuk mengontrol atau mengatur perilaku berbahaya, untuk memberikan tanggung jawab atas suatu kerugian yang terbit dari interaksi sosial dan untuk menyediakan ganti rugi terhadap korban dengan suatu gugatan yang tepat.186 Perbuatan harus memenuhi rumusan bahwa perbuatan itu dilarang oleh undangundang, adanya kerugian yang ditimbulkan dari perbuatan Notaris tersebut serta perbuatan tersebut harus bersifat melawan hukum, baik formil maupun materiil. Mengenai tanggung jawab Notaris selaku pejabat umum, menurut GHS Lumban Tobing, Notaris harus bertanggung jawab terhadap akta yang dibuatnya, apabila terdapat alasan-alasan sebagai berikut187: 1. Di dalam hal-hal yang secara tegas ditentukan oleh Peraturan Jabatan Notaris. 2. Jika suatu akta karena tidak memenuhi syarat-syarat mengenai bentuknya (gebrek in the vorm), dibatalkan di muka pengadilan, atau dianggap hanya berlaku sebagai akta di bawah tangan. 3. Dalam segala hal, dimana menurut ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Pasal 1365 mengenai tanggung jawab dengan unsur kesalahan (kesengajaan dan kelalaian), Pasal 1366 mengenai tanggung jawab dengan unsur kesalahan khususnya kelalaian, dan Pasal 1367 KUHPerdata mengenai tanggung jawab 186 187 Munir Fuady, Op. cit., hal. 3. G.H.S Lumban Tobing, Peraturan Jabatan Notaris, (Jakarta: Erlangga, 1992), hal. 325. Universitas Sumatera Utara 106 mutlak (tanpa kesalahan)188 terdapat kewajiban untuk membayar ganti kerugian, artinya semua hal-hal tersebut harus dilalui proses pembuktian yang seimbang. Tanggung Jawab Notaris secara Perdata Dalam lapangan hukum keperdataan, sanksi merupakan bentuk pertanggungjawaban notaris. Sanksi merupakan tindakan hukuman untuk memaksa orang menepati perjanjian atau mentaati ketentuan undang-undang. Sanksi yang ditujukan kepada notaris merupakan sebagai penyadaran, bahwa notaris dalam melakukan tugas jabatannya telah melanggar ketentuan-ketentuan mengenai pelaksanaan tugas jabatan notaris sebagaimana tercantum dalam UUJN dan untuk mengembalikan tindakan notaris dalam melaksanakan tugas jabatannya untuk tertib sesuai dengan UUJN.189 Di samping itu, sebagai bentuk tanggung jawab, pemberian sanksi terhadap notaris juga untuk melindungi masyarakat dari tindakan notaris yang dapat merugikan, misalnya membuat akta yang tidak melindungi hak-hak yang bersangkutan sebagaimana yang tersebut dalam akta Notaris. Sanksi tersebut untuk menjaga martabat lembaga notaris sebagai lembaga kepercayaan karena apabila notaris melakukan pelanggaran, dapat menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap notaris. 188 Munir Fuady , Profesi Mulia (Etika Profesi Hukum bagi Hakim, Jaksa, Advokat ,Notaris, Kurator, dan Pengurus, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2005), (selanjutnya disingkat Munir Fuady II), hal. 4 189 Sjaifurrachman, Aspek Pertanggungjawaban.., Op. Cit., hal. 194. Universitas Sumatera Utara 107 Tanggung jawab perdata atas akta yang dibuat oleh notaris dalam hal ini adalah tanggung jawab terhadap kebenaran materiil akta, maka dikenakan sanksi keperdataan terhadap kesalahan yang terjadi dalam konstruksi perbuatan melawan hukum. Perbuatan melawan hukum dalam hal ini dalam sifat aktif maupun pasif. Aktif dalam arti melakukan perbuatan yang menimbulkan kerugian pada pihak lain. Sedangkan pasif, dalam arti tidak melakukan perbuatan yang merupakan keharusan, sehingga pihak lain menderita kerugian. Jadi unsur perbuatan melawan hukum disini yaitu adanya kesalahan dan adanya kerugian yang ditimbulkan. Perbuatan melawan hukum disini diartikan luas, yaitu suatu perbuatan yang tidak saja melanggar undangundang, tetapi juga melanggar kepatutan, kesusilaan, atau hak orang lain dan menimbulkan kerugian.190 Sebagai bentuk pertanggungjawaban notaris dalam lapangan hukum keperdataan, maka dikenakan sanksi berupa penggantian biaya, ganti rugi dan bunga sebagai akibat yang akan diterima notaris dari gugatan para penghadap apabila akta bersangkutan hanya mempunyai pembuktian sebagai akta dibawah tangan atau akta batal demi hukum. 191 Penggantian biaya, ganti rugi atau bunga dapat digugat terhadap notaris harus dengan mendasarkan pada suatu hubungan hukum antara notaris dengan para pihak yang menghadap notaris. Apabila ada pihak yang merasa dirugikan sebagai akibat langsung dari suatu akta notaris, maka yang bersangkutan dapat menuntut secara 190 http://download.portalgaruda.org/article.php?article=32088&val=2282, tanggal 27 Juni 2016, pukul 22.00 WIB) 191 Sjaifurrachman, Op.Cit., hal.195 diakses pada Universitas Sumatera Utara 108 perdata terhadap notaris. Dalam hal gugatan karena perbuatan melawan hukum, maka Pasal 1365 KUHPerdata yang berlaku. Pasal 1365 KUHPerdata membuka kemungkinan pengajuan berbagai gugatan yaitu: gugatan ganti rugi, pernyataan sebagai hukum, perintah atau larangan hakim. Pada ganti rugi dalam hal perbuatan melawan hukum, terbuka kemungkinan ganti rugi dalam bentuk lain selain sejumlah uang. Syarat ganti rugi dalam bentuk lain yang bukan uang adalah: 1. Ditentukan oleh penggugat; 2. Hakim menganggapnya cocok.192 Mengenai penggantian kerugian dalam bentuk lain selain ganti rugi uang dapat dilihat dalam pertimbangan dari sebuah Hoge Raad, yang dirumuskan: “Pelaku perbuatan melawan hukum dapat dihukum untuk membayar sejumlah uang selaku pengganti kerugian yang ditimbulkannya kepada pihak yang dirugikannya, tetapi kalau pihak yang dirugikan menuntut ganti rugi dalam bentuk lain, dan hakim menganggap sebagai bentuk ganti yang sesuai, maka pelaku tersebut dapat dihukum untuk melakukan prestasi yang lain demi kepentingan pihak yang dirugikan yang cocok untuk menghapuskan kerugian yang diderita”.193 Tanggung Jawab Notaris secara Pidana Mengenai tanggung jawab Notaris atas akta yang dibuatnya dalam hal pidana, tidak diatur dalam UUJN, namun tanggung jawab Notaris secara pidana dikenakan apabila Notaris melakukan perbuatan pidana yang terdapat dalam KUHPidana, 192 193 Ibid., hal. 197 Ibid., hal. 198. Universitas Sumatera Utara 109 dengan catatan bahwa pemidanaan terhadap Notaris tersebut dapat dilakukan dengan batasan yaitu194: 1. Ada tindakan hukum dari Notaris terhadap aspek lahiriah, formal dan materiil akta yang disengaja, penuh kesadaran dan keinsyafan, serta direncanakan bahwa akta yang akan dibuat dihadapan Notaris atau oleh Notaris bersamasama atau sepakat para penghadap dijadikan dasar untuk melakukan suatu tindak pidana. 2. Ada tindakan hukum dari Notaris dalam membuat akta dihadapan atau oleh Notaris yang apabila diukur berdasarkan UUJN tidak sesuai dengan UUJN. 3. Tindakan Notaris tersebut juga tidak sesuai menurut instansi yang berwenang untuk menilai tindakan suatu Notaris, dalam hal ini Majelis Pengawas Notaris. Perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum. Larangan tersebut disertai dengan ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu seperti denda maupun kurungan bagi mereka yang melanggar ketentuan tersebut. Pidana dalam hal ini adalah perbuatan pidana yang dilakukan oleh Notaris selaku pejabat umum yang berwenang membuat akta dan tidak dalam konteks individu sebagai warga negara.195 Biasanya pasal yang sering digunakan untuk menuntut Notaris dalam pelaksanaan tugas jabatan adalah pasal yang mengatur mengenai tindak pidana pemalsuan surat, yaitu Pasal 263, Pasal 264, dan Pasal 266 KUHPidana. Notaris dituduh dengan kualifikasi membuat secara palsu atau memalsukan surat yang seolah-olah surat tersebut adalah surat yang asli dan tidak dipalsukan (Pasal 263 ayat 1 KUHPidana), melakukan pemalsuan surat dan pemalsuan tersebut telah dilakukan 194 Ibid., hal 208-209. Tesis Mahalia Nola Pohan, Suatu Tinjauan Tentang Pembatalan Akta Notaris Yang Penandatanganannya Dilakukan di Dalam Rumah Tahanan, Magister Kenotariatan, Universitas Sumatera Utara, 2011, hal. 112. 195 Universitas Sumatera Utara 110 di dalam akta-akta otentik (Pasal 264 ayat 1 angka (1) KUHPidana), mencantumkan suatu keterangan palsu di dalam suatu akta otentik (Pasal 266 ayat 1 KUHPidana). Penjatuhan sanksi pidana terhadap notaris dapat dilakukan sepanjang batasanbatasan yang dilanggar sebagaimana yang telah tersebut, artinya di samping memenuhi rumusan pelanggaran tersebut dalam UUJN dan Kode Etik Jabatan Notaris juga harus memenuhi rumusan yang tersebut dalam KUHPidana. Maka, pertanggungjawaban secara pidana terhadap Notaris yang melanggar hukum, dapat dikenakan sanksi yang dimaksud dalam Pasal 263 Jo 264 ayat (1) KUHPidana dimana ancaman pidana yang berat berupa pidana kurungan atau pidana 8 (delapan) tahun penjara.196 Tanggung jawab Notaris secara Administratif Di samping tanggung jawab keperdataan yang dijatuhkan kepada Notaris yang telah melakukan pelanggaran hukum, terhadap Notaris juga dapat dijatuhkan tanggung jawab dengan pengenaan sanksi secara administrasi. Menurut Philipus M. Hadjon dan H.D van Wijk Willem Konijnenbelt, sanksi administratif meliputi:197 a. Paksaan pemerintahan (bestuursdwang) Yaitu sebagai tindakan-tindakan yang nyata atau feitelijke handeling dari penguasa guna mengakhiri suatu keadaan yang dilarang oleh suatu kaidah hukum administrasi atau melakukan apa yang seharusnya ditinggalkan oleh para warga negara karena bertentangan dengan undang-undang. b. Penarikan kembali keputusan (ketetapan) yang menguntungkan (izin, pembayaran, subsidi) Mengenai sanksi yang digunakan dengan mencabut atau menarik kembali suatu keputusan atau ketetapan yang menguntungkan, dengan mengeluarkan 196 197 Sjaifurrachman, Op. Cit., hal. 215. Habib Adjie, Sanksi.,2008, Op. Cit., hal. 108. Universitas Sumatera Utara 111 ketetapan baru. Sanksi seperti ini diterapkan dalam hal terjadi pelanggaran terhadap peraturan atau syarat-syarat yang dilekatkan pada penetapan tertulis yang telah diberikan, juga terjadi pelanggaran undang-undang yang berkaitan dengan izin yang dipegang oleh si pelanggar.198Pencabutan atau penarikan yang menguntungkan merupakan suatu sanksi situatif yaitu sanksi yang dikeluarkan bukan dengan maksud sebagai reaksi terhadap perbuatan yang tercela dari segi moral, melainkan dimaksudkan untuk mengakhiri keadaankeadaan yang secara objektif tidak dapat dibenarkan lagi.199 c. Pengenaan denda Administratif Sanksi pengenaan denda administratif ditujukan kepada mereka yang melanggar peraturan perundang-undangan tertentu, dan kepada di pelanggar dikenakan sejumlah uang tertentu berdasarkan peraturan peundang-undangan yang bersangkutan, kepada pemerintah diberikan wewenang untuk menerapkan sanksi tersebut. d. Pengenaan Uang Paksa oleh Pemerintah (dwangsom) Sanksi pengenaan uang paksa oleh pemerintah ditujukan untuk menambah hukuman yang pasti, di samping denda yang telah disebutkan dengan tegas di dalam peraturan perundang-undangan yang bersangkutan. Tanggung jawab Administratif dikenakan kepada notaris apabila terbukti melanggar ketentuan pasal-pasal sebagai berikut:200 1. Melanggar ketentuan Pasal 7, dalam jangka waktu tiga puluh hari sejak tanggal pengambilan sumpah/ janji jabatan, Notaris tidak: a. Menjalankan jabatannya dengan nyata; b. Menyampaikan berita acara sumpah/ janji jabatan Notaris kepada Menteri, Organisasi Notaris, Majelis Pengawas Daerah. c. Menyampaikan alamat kantor, contoh tanda tangan dan paraf, serta teraan cap/ stempel jabatan Notaris berwarna merah kepada menteri, pejabat lain yang bertanggung jawab di bidang agraria/ pertanahan, organisasi notaris, ketua pengadilan negeri, majelis pengawas daerah, serta bupati atau walikota ditempat notaris diangkat. 2. Melanggar larangan sebagaimana tersebut dalam Pasal 17 yaitu: 198 Indroharto, Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Buku I, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1996), hal. 242. 199 Ibid., hal. 243. 200 Sjaifurrachman, Op. Cit., hal. 199. Universitas Sumatera Utara 112 a. Melanggar jabatan di luar wilayah jabatannya b. Meninggalkan wilayah jabatannya lebih dari tujuh hari kerja berturut-turut tanpa alasan yang sah c. Merangkap sebagai pegawai negeri d. Merangkap jabatan sebagai pejabat negara e. Merangkap jabatan sebagai advokat f. Merangkap jabatan sebagai pemimpin atau pegawai badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah g. Merangkap jabatan sebagai pejabat pembuat akta tanah di luar wilayah jabatan Notaris h. Menjadi notaris pengganti i. Melanggar pekerjaan lain yang bertentangan dengan norma agama, kesusilaan, atau kepatutan. 3. Melanggar ketentuan Pasal 20, yaitu dalam membentuk perserikatan perdata atau perserikatan notaris telah bertindak tidak mandiri dan ada keberpihakan dalam menjalankan jabatannya atau dalam menjalankan kantor bersama tersebut. 4. Melanggar ketentuan Pasal 27 yaitu mengajukan permohonan cuti, tidak memenuhi syarat bahwa cuti harus diajukan secara tertulis disertai dengan penunjukan notaris pengganti, dan permohonan diajukan kepada: a. Majelis Pengawas Daerah, apabila jangka waktu cuti tidak lebih dari enak bulan b. Majelis Pengawas Wilayah, apabila jangka waktu cuti lebih dari enam bulan sampai dengan satu tahun dengan tembusan kepada Majelis Pengawas Pusat c. Majelis Pengawas Pusat, apabila jangka waktu cuti lebih dari satu tahun dengan tembusan kepada Majelis Pengawas Daerah dan Majelis Pengawas Wilayah 5. Melanggar ketentuan Pasal 32 yaitu Notaris yang menjalankan cuti tidak menyerahkan protokol notaris kepada notaris pengganti, dan notaris pengganti menyerahkan kembali protokol kepada notaris setelah cuti berakhir, serah Universitas Sumatera Utara 113 terima terhadap hal tersebut dibuatkan berita acara dan disampaikan kepada Majelis Pengawas Wilayah. 6. Melanggar ketentuan Pasal 54 yaitu notaris telah memberikan, memperlihatkan atau memberitahukan isi akta, grosse akta, salinan akta atau kutipan akta, kepada orang yang tidak berkepentingan pada akta, ahli waris atau orang yang memperoleh hak, kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan. 7. Melanggar ketentuan Pasal 58 mengenai tidak dibuatnya daftar akta, daftar surat dibawah tangan yang disahkan, daftar surat di bawah tangan yang dibukukan, tidak mengeluarkan akta dalam bentuk in originali dalam rangkap dua. 8. Melanggar ketentuan Pasal 59, Notaris tidak membuat daftar klapper untuk daftar akta dan daftar surat di bawah tangan yang disahkan sebagai mana dimaksud dalam Pasal 58 disusun menurut abjad dan dikerjakan setiap bulan. Atas pelanggaran sebagaimana yang telah tersebut, maka dikenakan sanksi sebagaimana Pasal 85 UUJN yang merupakan sanksi internal yaitu: 201 1. 2. 3. 4. 5. Teguran lisan Teguran tertulis Pemberhentian sementara Pemberhentian dengan hormat Pemberhentian tidak hormat Sanksi-sanksi tersebut secara berjenjang mulai dari teguran lisan sampai dengan pemberhentian tidak hormat. Dalam Pasal 85 UUJN dengan menempatkan 201 Habib Adjie, Sanksi., 2008, Op. Cit., hal. 109. Universitas Sumatera Utara 114 teguran lisan pada urutan pertama dalam pemberian sanksi, merupakan suatu peringatan kepada Notaris dari Majelis Pengawas yang jika tidak dipenuhi ditindaklanjuti dengan sanksi teguran tertulis.202 Apabila sanksi seperti ini tidak dipatuhi juga oleh notaris yang bersangkutan, maka dapat dijatuhi sanksi yang berikutnya secara berjenjang. Penempatan sanksi berupa teguran lisan dan teguran tertulis sebagai awal untuk menjatuhkan sanksi yang selanjutnya bukan termasuk sanksi administratif. Dalam sanksi administratif berupa paksaan pemerintah, sebelum dijatuhkan sanksi harus didahului dengan teguran lisan dan teguran tertulis, hal ini dimasukkan sebagai prosedur paksaan nyata. Pelaksanaan teguran lisan dan tertulis bertujuan untuk menguji ketepatan dan kecermatan antara teguran lisan dan tertulis dengan pelanggaran yang dilakukan berdasarkan aturan hukum yang berlaku. Selanjutnya, kedudukan sanksi berupa pemberhentian sementara dari jabatan notaris atau skorsing merupakan masa menunggu pelaksanaan sanksi paksaan pemerintah. Sanksi seperti ini dimaksudkan agar notaris tidak melaksanakan tugas jabatannya untuk sementara waktu dan notaris yang bersangkutan tidak dapat membuat akta apapun.203 202 Berdasarkan Pasal 73 ayat (1) huruf e dan f UUJN MPW berwenang untuk menjatuhkan sanksi berupa: a. Memberikan sanksi berupa teguran lisan atau tertulis b. Mengusulkan pemberian sanksi terhadap Notaris kepada Majelis Pengawas Pusat berupa pemberhentian sementara 3 (tiga) bulan sampai dengan 6 (enam) bulan; serta pemberhentian dengan tidak hormat. 203 Habib Adjie, Sanksi., 2008, Op. Cit., hal. 115. Universitas Sumatera Utara 115 Hal ini perlu dibatasi dengan alasan untuk menunggu hasil pemeriksaan Majelis Pengawas. Untuk memberikan kepastian, maka pemberhentian sementara tersebut harus ditentukan lama waktunya, sehingga nasib notaris tidak digantung oleh keputusan pemberhentian sementara tersebut.204 Sanksi pemberhentian sementara dari jabatan notaris merupakan sanksi paksaan nyata, sedangkan sanksi yang berupa pemberhentian dengan hormat dan pemberhentian tidak hormat termasuk ke dalam jenis sanksi pencabutan keputusan yang menguntungkan. Dengan demikian ketentuan Pasal 85 UUJN yang dapat dikategorikan sebagai sanksi administratif, yaitu:205 1. Pemberhentian sementara 2. Pemberhentian dengan hormat 3. Pemberhentian tidak hormat Tanggung Jawab Notaris berdasarkan Kode Etik Notaris Hubungan profesi notaris dengan organisasi notaris diatur melalui kode etik Notaris. Keberadaan kode etik merupakan konsekuensi dari suatu pekerjaan yang disebut profesi. Terdapat hubungan antara kode etik notaris dengan UUJN, sebagaimana terdapat dalam Pasal 4 mengenai sumpah jabatan. Sebelum menjalankan jabatannya, Notaris wajib mengucapkan sumpah/janji menurut agamanya di hadapan Menteri atau 204 Pasal 73 ayat (1) huruf f angka 1 UUJN, bahwa MPW mengusulkan pemberian sanksi terhadap Notaris kepada MPP berupa pemberhentian sementara 3 (tiga) bulan sampai dengan 6 (enam) bulan. 205 Ibid., hal. 116 Universitas Sumatera Utara 116 pejabat yang ditunjuk. Sumpah/janji sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbunyi sebagai berikut: “bahwa saya akan patuh dan setia kepada Negara Republik Indonesia, Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, UndangUndang tentang Jabatan Notaris seria peraturan perundang-undangan lainnya. bahwa saya akan menjalankan jabatan saya dengan amanah, jujur, saksama, mandiri, dan tidak berpihak. bahwa saya akan menjaga sikap, tingkah laku saya, dan akan menjalankan kewajiban saya sesuai dengan kode etik profesi, kehormatan, martabat, dan tanggung jawab saya sebagai Notaris. bahwa saya akan merahasiakan isi akta dan keterangan yang diperoleh dalam pelaksanaan jabatan saya. bahwa saya untuk dapat diangkat dalam jabatan ini, baik secara langsung maupun tidak langsung, dengan nama atau dalih apa pun, tidak pernah dan tidak akan memberikan atau menjanjikan sesuatu kepada siapa pun." Notaris mengenai sumpahnya berjanji untuk menjaga sikap, tingkah lakunya dan akan menjalankan kewajibannya sesuai dengan kode etik profesi, kehormatan, martabat dan tanggung jawabnya sebagai Notaris. Adanya hubungan antara kode etik notaris dengan UUJN memberikan arti terhadap esensi profesi Notaris itu sendiri. UUJN dan kode etik Notaris menghendaki agar notaris mendapat acuan dalam menjalankan tugas jabatannya sebagai pejabat umum, selain harus tunduk kepada UUJN juga harus taat pada kode etik profesi serta harus bertanggung jawab terhadap masyarakat yang dilayani. Dengan adanya hubungan ini, maka terhadap Notaris yang mengabaikan keluhuran dari martabat jabatannya selain dapat dikenakan sanksi moril, ditegur atau dipecat dari keanggotaan profesinya, juga dapat dipecat dari jabatannya sebagai Notaris.206 206 Tesis Mahalia Nola Pohan, Suatu Tinjauan tentang Pembatalan Akta Notaris yang Penandatanganannya Dilakukan di Dalam Rumah Tahanan, Magister Kenotariatan, Universitas Sumatera Utara, 2011. Universitas Sumatera Utara 117 BAB IV PERTIMBANGAN DAN PUTUSAN HAKIM DALAM PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NO 3124 K/ PDT/ 2013 A. Duduk Perkara 1. Duduk Perkara di Pengadilan Negeri a. Alasan Mengajukan Gugatan Pewaris dalam putusan No 3124 K/ Pdt/ 2013 bernama TM (selanjutnya disebut Almarhum), meninggal dunia di Jakarta Barat pada tanggal 28 Januari 2011. Dalam putusan ini Almarhum TM memiliki 5 (lima) orang anak dimana diantaranya bernama DM (selanjutnya disebut Penggugat) yang merupakan anak kandung kedua dari Almarhum TM. Bahwa sebagai anak kandung, Penggugat memiliki hubungan yang sangat dekat dengan Almarhum semasa hidupnya. Bahkan ketika Almarhum sakit, dan terkena stroke berturut-turut, Penggugat merawat dan membawa berobat ke China hingga akhir tahun 2005. Diketahui bahwa sejak tahun 1995 Almarhum memiliki riwayat gangguan kesehatan seperti stroke, diabetes, hipertensi yang secara langsung mempengaruhi kemampuan dan kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum. Adapun beberapa keterangan Dokter yang secara medis menyatakan bahwa Almarhum TM tidak cakap untuk melakukan perbuatan hukum berdasarkan penjelasan medis sebagai berikut: 1. Surat Keterangan Medis tanggal 16 Juni 2006 yang ditandatangani dr. George Dewanto. Sp. S, menyatakan bahwa TM mengalami/ menderita stroke, diabetes, 117 Universitas Sumatera Utara 118 dan hipertensi. Sebagai akibat penyakit yang diderita oleh TM tersebut maka daya cognitive serta fungsi motorik TM berkurang atau tidak normal. 2. Surat Pengantar untuk dirawat yang dibuat oleh Dr. Melani Yustina Spesialis Saraf pada rumah sakit telah merekomendasikan Alm. TM untuk dirawat. 3. Surat Keterangan Hasil Pemeriksaan Kesehatan pada tanggal 1 April 2008 yang ditandatangani oleh dr. Armahida Kusriana. Dokter pada bidang kedokteran dan Polda Metro Jaya yang menyatakan bahwa fungsi motorik TM berkurang. 4. Surat pengantar untuk bagian keperawatan Rumah Sakit Pantai Indah Kapuk yang dibuat oleh dr. Sudarto Apit, Sp. PD tertanggal 22 Juni 2009 yang merekomendasikan agar TM dirawat di Rumah Sakit Pantai Indah Kapuk. Berdasarkan fakta-fakta dan penjelasan medis sebagaimana telah diuraikan, bahwa Almarhum TM tidak cakap untuk melakukan perbuatan hukum. Dalam Akta Wasiat tersebut, Notaris LSN mencantumkan bahwa Almarhum TM memberikan hibah wasiat (legaat) atas sejumlah bidang tanah kepada beberapa ahli warisnya yaitu kepada Turut Tergugat I sampai dengan Turut Tergugat X. Pada salah satu hibah wasiat pemberian Almarhum tersebut terdapat Sertifikat Hak Guna Bangunan No 3180/ Kapuk seluas 2.964 m² (duaribu sembilan ratus enam puluh empat meter persegi) yang diuraikan dalam surat ukur tanggal 28 Maret 2000 Nomor 52/2000, Sertifikat tanda bukti haknya tanggal 21 Desember 2000 yang tercatat atas nama DM (Penggugat), bekas Hak Pakai No 41/ Kapuk yang dikenal dengan jalan peternakan II No I.D, dihibahkan wasiatkan (legaat) kepada Turut Universitas Sumatera Utara 119 Tergugat II dan Turut Tergugat IX, dimana tanah tersebut dengan jelas menyatakan bahwa Penggugat adalah pemilik sah atas tanah tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa Almarhum TM telah menghibah wasiatkan harta benda yang bukan merupakan hak miliknya casu quo tanah milik Penggugat DM kepada Turut Tergugat II dan Turut Tergugat IX, akan tetapi Tergugat selaku notaris yang telah mengetahui dengan benar bahwa tanah tersebut bukan milik dari Almarhum TM masih tetap membuatkan akta wasiat dan mencatatkan akta wasiat tersebut Menkumham. Atas ketidakcakapan Almarhum TM dalam pembuatan akta wasiat tersebut, Penggugat memperlihatkan bukti yang diajukannya dengan memberikan beberapa surat keterangan medis beserta penjelasannya, video berupa CD yang dishooting pada bulan Januari 2010 yang menunjukkan kondisi nyata fisik maupun kesadaran Alm. TM, dan disamping keterangan surat, Penggugat mengajukan keterangan saksi dari pihak Penggugat dimana Almarhum TM sudah dalam keadaan sakit stroke dengan kondisinya yang tidak dapat melakukan aktivitas seperti orang pada umumnya, sulit berkomunikasi, tidak dapat membuat tulisan, dan dapat mengenali saksi jika diberitahu. Demikian juga SHGB No 3180 Kapuk yang merupakan milik Penggugat DM, dengan menunjukkan fotocopy sesuai asli SHGB No 3180 yang tertulis bahwa kepemilikan atas nama Penggugat DM. Atas tindakan yang dilakukan Tergugat yang telah membuat akta wasiat dengan mencantumkan harta peninggalan bukan dari pemberi wasiat casu quo Almarhum, maka perbuatan Tergugat merupakan perbuatan melawan hukum dan Universitas Sumatera Utara 120 menimbulkan potensi kerugian bagi Penggugat baik secara materiil maupun immateriil sebagai berikut: Kerugian materiil: a. Potensi kerugian hilangnya tanah seluas 2.964m² yang merupakan milik Penggugat yang mengakibatkan Penggugat menderita kerugian sejumlah @ Rp. 2.000.000,- per meter x 2.964 = Rp. 5. 928.000,- (Lima milyar sembilan ratus duapuluh delapan juta rupiah). b. Akibat tindakan Tergugat tersebut mengakibatkan Penggugat tidak bisa mengusahakan/memberdayakan tanah a quo sehingga Penggugat mengalami kerugian sebesar Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) yang mana jumlah tersebut akan dihitung dan bertambah sampai putusan berkekuatan hukum yang tetap. c. Biaya pengurusan perkara ini Penggugat telah mengeluarkan biaya konsultasi dan ongkos-ongkos sampai perkara didaftarkan sebesar Rp. 50.000.000,(Lima puluh juta rupiah). Kerugian immateriil: Akibat perbuatan melawan hukum Tergugat kepada Penggugat, mengakibatkan Penggugat jatuh sakit dan menjadi beban pikiran Penggugat, serta mengganggu kinerja dalam usaha Penggugat. Semua itu tidak dapat dinilai dengan uang, namun patut dan wajar apabila Penggugat menuntut kerugian Immateriil sebesar Rp 10.000.000.000,- (sepuluh milyar rupiah). Universitas Sumatera Utara 121 b. Pertimbangan Hakim Setelah mencermati gugatan Penggugat, Pertimbangan Majelis Hakim Tingkat Pertama berpendapat bahwa Penggugat dapat membuktikan pokok perkara gugatannya. Majelis Hakim telah menilai dan memberikan pertimbangannya bahwa dengan dinyatakannya tanah milik Penggugat DM dalam akta yang dibuat Tergugat LSN, dalam hal ini tergugat telah melakukan suatu kekeliruan yang besar (gross error) dalam pembuatan akta. Almarhum yang tidak mampu melakukan perbuatan hukum telah menghibah wasiatkan harta benda yang bukan miliknya casu quo milik Penggugat kepada Tergugat II dan Tergugat IX. Posisi Tergugat selaku profesinya sebagai notaris seharusnya berkewajiban untuk memeriksa bukti-bukti yang diajukan penghadap casu quo Alm. TM selaku pembuat testamen sebagaimana ketentuan Pasal 16 ayat 1 huruf a UUJN yang secara implisit mengandung Asas Kehati-hatian yang wajib diterapkan oleh Tergugat yaitu dengan melakukan pengenalan terhadap penghadap berdasarkan identitas yang diperlihatkan kepada notaris, menanyakan dan mencermati keinginan si penghadap, memeriksa bukti surat yang berkaitan dengan keinginan si penghadap, memenuhi segala teknik administrasi pembuatan akta notaris seperti pembacaan, penandatanganan, memberikan salinan Atas tindakan Tergugat yang mencantumkan harta peninggalan yang bukan milik Almarhum, jelas merupakan perbuatan melawan hukum dan membawa kerugian bagi Penggugat. Universitas Sumatera Utara 122 c. Putusan Hakim Dari serangkaian pertimbangan di atas, Majelis Hakim kemudian menjatuhkan putusan dengan mengabulkan gugatan penggugat untuk sebagian, menyatakan tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum, menyatakan batal dan tidak mengikat akta wasiat no 5 tertanggal 9 oktober 2009, menghukum tergugat untuk mencoret dan mencabut akta wasiat yang terdaftar dalam buku register seksi daftar wasiat. 2. Duduk Perkara di Pengadilan Tinggi a. Alasan Mengajukan Kasasi Dalam uraian Putusan Pengadilan Negeri dimana surat keterangan dokter yang dijadikan sebagai bukti, yang didalamnya menyatakan Almarhum dalam kondisi stroke, diabetes, hipertensi sehingga fungsi motorik dan daya cognitive-nya berkurang, namun tidak satu pun di dalam surat keterangan dokter menyatakan bahwa Almarhum dinyatakan Pikun. Surat keterangan tersebut hanya rekomendasi agar Almarhum dirawat di Rumah Sakit. Notaris selaku tergugat telah berpedoman kepada kebenaran formal dari syarat-syarat yang harus dipenuhi penghadap. Pada waktu Almarhum membuat akta wasiat, Almarhum datang dengan menggunakan kursi roda dan membawa serta menunjukkan sendiri seluruh dokumen yang diperlukan, dalam keadaan sadar dan tanpa paksaan dari pihak manapun. Demikian halnya dengan Akta Perjanjian dan Surat Kuasa sebagai bukti pendukung dokumen atau berkas atas SHGB No 3180 Kapuk yang semula bekas Hak Universitas Sumatera Utara 123 Pakai No 41 Kapuk atas nama Penggugat. Dalam Akta Perjanjian tersebut dinyatakan dengan tegas Penggugat sebagai Pihak Pertama dan Almarhum Tan Malaka sebagai Pihak Kedua bahwa: “bahwa dengan demikian bagian tanah/ tanah tersebut sebenarnya adalah hak dan miliknya Pihak Kedua, sehingga Pihak Pertama dengan cara apapun tanpa persetujuan tertulis terlebih dahulu dari pihak kedua tidak berhak melakukan tindakan-tindakan yang berakibat pengalihan/ pemindahan bagian tanah/ tanah tersebut.” Oleh karena kepemilikan dan kewenangan Almarhum TM yang juga ditunjukkan dengan akta-akta otentik berupa Perjanjian dan Kuasa tersebut maka, selama akta-akta itu tidak dibatalkan, maka kebenaran tentang apa yang dinyatakan Penggugat DM dan Almarhum TM bahwa persil tersebut adalah milik Almarhum Tan Malaka yang berhak atas tanah tersebut. Selain itu, alasan ini juga diperkuat dengan keterangan saksi yang menerangkan bahwa ketika Almarhum TM datang ke kantor notaris, Alm. menggunakan kursi roda dan dapat berpikir dengan baik. Pada waktu tanya jawab, Almarhum bisa menjawab. Serta Almarhum juga mengerti bahwa semua harta peninggalan yang dibagikan itu adalah untuk anak-anaknya. b. Pertimbangan Hakim Selanjutnya, dalam Pertimbangan Majelis Hakim Pengadilan Tinggi tidak sependapat dengan Pertimbangan Hakim Tingkat Pertama dimana dalam pertimbangannya menyatakan Tergugat tidak terbukti telah melakukan perbuatan melawan hukum atas pembuatan akta wasiat no 5 tanggal 9 oktober 2009, bahwa berdasarkan bukti para saksi yang menyatakan bahwa Almarhum TM datang ke Universitas Sumatera Utara 124 Kantor Notaris dengan menggunakan kursi roda dan dapat diajak berkomunikasi serta tidak terganggu jiwanya. Hal ini memberikan bukti bahwa hingga akhir pada tahun 2010, Almarhum TM masih cakap dan mampu melakukan perbuatan hukum. Mengenai SHGB No. 3180/ Kapuk atas nama Terbanding yang semula Penggugat oleh Tergugat, tidak serta merta menyebabkan Pembanding I yang semula Tergugat telah melakukan perbuatan hukum yang menyatakan bahwa Almarhum memberikan hibah wasiat kepada Turut Tergugat II dan Turut Tergugat IX berupa Sertifikat Hak Guna Bangunan No 3180/ Kapuk seluas 2.964m² (dua ribu sembilan ratus enampuluh empat) meter persegi yang diuraikan dalam Surat Ukur tanggal 28 Maret 2000 Nomor 52/2000, yang tercatat atas nama Penggugat sebagaimana ketika menuangkan harta peninggalan pewaris tersebut sebagai warisan terdapat adanya bukti berupa Akta Perjanjian tanggal 3 September 1979 Nomor 12 dan berdasarkan Akta Kuasa tanggal 3 September 1979 Nomor 13 yang keduanya dibuat oleh Notaris RS, Notaris di Jakarta. c. Putusan Hakim Pengadilan Tinggi Dari serangkaian pertimbangan di atas, majelis hakim menjatuhkan putusan sebagai berikut: Membatalkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No 53/ Pdt. G/ 2012/ PN. Jkt. Sel tanggal 12 Desember 2012 yang dimohonkan banding; dalam Pokok Perkara, menolak gugatan Penggugat seluruhnya. 3. Duduk Perkara di Tingkat Kasasi (MA) a. Alasan Kasasi Universitas Sumatera Utara 125 Pengadilan Tingkat Banding telah salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku. Mengenai bukti kondisi fisik, kesadaran, serta kemampuan motorik Almarhum sejak tahun 2006 yang menyatakan Almarhum tidak dinyatakan Pikun, demikian juga keterangan saksi bahwa Almarhum ketika datang ke kantor notaris, masih dapat berkomunikasi dengan jelas dan mengerti akan akta wasiat yang dibuatnya dalaupun datang dengan menggunakan kursi roda, merupakan pertimbangan tidak cermat yang mengabaikan prinsip kehati-hatian yang berakibat telah salah menerapkan hukum. Majelis Hakim tingkat pertama telah mengajukan bukti-bukti yang tepat yaitu mengenai Surat Keterangan Dokter yang membuktikan keadaan Almarhum TM yang sudah tidak sehat dan mengalami sakit. Berdasarkan Permenkes RI No 269/Menkes/Per/III/2008, rekam medis merupakan data terdokumentasi tentang keadaan sakit sekarang dan waktu lampau, serta pengobatan yang telah dan akan dilakukan oleh tenaga kesehatan profesional secara tertulis, yang memiliki fungsi sebagai alat bukti dalam proses penegakan hukum. Juga dalam hal bukti yang diperlihatkan berupa Video yang dishooting pada tahun 2010, hasilnya menunjukkan kondisi Alm dalam keadaan sakit dan tidak cakap melakukan perbuatan hukum. Bentuk perbuatan melawan hukum yang dilakukan Termohon Kasasi (Tergugat) dalam akta wasiat tersebut, Almarhum TM memberikan hibah wasiat (legaat) kepada Turut tergugat II dan Turut Tergugat IX berupa SHGB No 3180/ Kapuk seluas 2.964 m² (duaribu sembilan ratus enampuluh empat meter persegi) yang diuraikan dalam surat ukur tanggal 28 Maret 2000 Nomor 52/2000, Sertifikat tanda Universitas Sumatera Utara 126 bukti haknya tanggal 21 Desember 2000 yang tercatat atas nama DM (Penggugat), bekas Hak Pakai No 41/ Kapuk yang dikenal dengan jalan peternakan II No I.D. Sesuai dengan Pasal 32 PP No 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, “Sertifikat merupakan tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat mengenai data fisik dan data yuridis sesuai dengan data yang ada di dalamnya.” Berdasarkan uraian tersebut makatanah SHGB No 3180 Kapuk atas nama DM adalah milik Pemohon Kasasi (Penggugat). Majelis Hakim Tingkat Banding juga tidak melihat uraian keseluruhan proses pemohon kasasi memperoleh SHGB No 3180 Kapuk, dimana pada tanggal 9 April 1998, Penggugat telah membeli sebidang tanah milik Alm TM dimana Alm. TM membuat kwitansi pembayaran dari Penggugat DM berupa sejumlah uang sebesar Rp. 296.400.000,- (dua ratus sembulan puluh enam juta empat ratus ribu rupiah) berisi pernyataan Alm. TM yang menyatakan: 1(satu) bidang tanah berikut bangunan diatasnya seluas 2.964m² dengan harga Rp 100.000,-/m² terletak di Kapuk Peternakan II Rt.06/ Rw.07, Kel. Kapuk, Kec. Cengkareng, Jakarta Barat sesuai Sertifikat Hak Pakai No. 41 Kel. Kapuk, gambar situasi No. 978/ 2526/ 1978, tanggal 22 November 1978 a/n DM (Penggugat). Berdasarkan uraian-uraian tersebut Pengadilan Tingkat Banding telah salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku. b. Pertimbangan Hakim Mahkamah Agung memberikan pertimbangannya mengenai alasan-alasan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi (Penggugat DM). Alasan-alasan kasasi Universitas Sumatera Utara 127 dapat dibenarkan, karena Judex Facti Pengadilan Tinggi DKI Jakarta telah salah menerapkan hukum. Pemohon kasasi telah membuktikan bahwa kondisi Almarhum tidak layak atau stidak-tidaknya tidak sehat secara mental dan fisik, sehinga secara keseluruhan tidak mampu berbuat dan bertanggung jawab secara hukum. Keadaan tersebut didukung dengan Surat Keterangan Medis yang menyatakan Alm menderita stroke, hipertensi dan diabetes sehingga daya cognitive serta fungsi motorik Alm. berkurang. c. Putusan Hakim Majelis Hakim Mahkamah Agung mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi (DM) dan membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Jakarta. Majelis Hakim menyatakan batal dan tidak mengikat akta wasiat nomor 5 tanggal 9 oktober 2009 dihadapan Tergugat selaku Notaris di Jakarta. Menghukum tergugat untuk mencoret dan mencabut akta wasiat dari buku register daftar wasiat. Menyatakan batal demi hukum segala surat, baik akta otentik maupun di bawah tangan yang sifatnya mengalihkan dan atau mengurangi hak Penggugat atas objek sengketa, serta menetapkan Turut Tergugat I s/d Turut Tergugat XV untuk tunduk dan patuh terhadap putusan ini. B. Analisis Putusan No 3124 K/ Pdt/ 2013 Putusan Pengadilan merupakan sesuatu yang sangat dinanti oleh pihak yang berperkara untuk menyelesaikan sengketa. Para pihak yang bersengketa mengharapkan adanya kepastian hukum dan keadilan dalam perkara yang sedang dihadapi. Peran Hakim sangat menetukan dalam menyelesaikan perkara dan Hakim Universitas Sumatera Utara 128 memiliki kebebasan dalam memutuskan perkara sesuai dengan undang-undang yang mengatur. Terkait putusan Majelis Hakim yang menyatakan bahwa Notaris telah melakukan perbuatan melawan hukum dalam pembuatan Akta Wasiat Nomor 5 tanggal 9 Oktober 2009, apabila diperhatikan materi gugatan secara seksama, maka notaris sudah seharusnya tidak disalahkan apalagi dituntut untuk mengganti kerugian. Pada kasus diatas, Notaris sudah melaksanakan tugasnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan, khususnya Undang-Undang No 2 tahun 2014 Tentang Perubahan Atas UU No 30 tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris. Mengacu pada ketentuan Pasal 4 UUJN, Notaris dalam menjalankan jabatannya berkewajiban untuk bertindak jujur, seksama, mandiri, tidak berpihak, dan menjaga kepentingan pihak yang terkait dalam perbuatan hukum. Hal ini mengingat sumpah jabatan Notaris yang sudah diemban Notaris sebelum menjalankan jabatannya. Atas adanya sumpah jabatan Notaris, seorang Notaris dalam membuat akta sudah pasti mengingat akan tanggung jawab besar yang harus dipegang oleh Notaris.207 Kewenangan Notaris dalam membuat akta wasiat bukan berarti Notaris secara bebas sesuai kehendaknya untuk membuatkan akta tanpa adanya permintaan/ kehendak pengahadap untuk meminta Notaris membuatkan akta wasiat. Adapun hal-hal yang mendasari kurang tepatnya putusan Majelis Hakim tersebut adalah bahwa pembuatan Akta Wasiat Nomor 5 tanggal 9 Oktober 2009 207 Hasil wawancara dengan Notaris/ PPAT Deli Serdang Erita Wagewati Sitohang, pada tanggal 22 Juli. Universitas Sumatera Utara 129 tersebut, Notaris LSN telah membuat akta tersebut sesuai dengan tata cara (prosedur) yang berlaku terkait pembuatan akta Notaris berdasarkan UUJN, yaitu: 1. Memenuhi ketentuan Pasal 39 UUJN, yaitu: (1) a. Paling rendah berumur 18 tahun atau telah menikah. b. Penghadap cakap melakukan perbuatan hukum. (2) Penghadap harus dikenal oleh Notaris atau diperkenalkan kepadanya oleh 2 (dua) orang saksi pengenal. Kecakapan pewaris dinilai menurut keadaannya pada saat akta wasiat dibuat. Hal ini berdasarkan ketentuan Pasal 895 KUHPerdata, pembuat testament harus mempunyai budi akalnya, artinya tidak boleh membuat testament ialah orang sakit ingatan, dan orang yang sakitnya begitu berat, sehingga ia tidak dapat berpikir secara teratur.208 Dalam putusan MA No 3124 K/ Pdt/ 2013, Penggugat tersebut berdalil bahwa ketika pembuatan akta wasiat, Almarhum dalam keadaan tidak cakap, dimana pernyataannya tersebut dibuktikan dengan adanya Surat Keterangan Medis yang dikeluarkan pada tahun 2006. Namun, dalam surat keterangan medis tidak satupun menyatakan bahwa Almarhum berada dalam keadaan sakit pikiran yang permanen yang tidak memungkinkan yang bersangkutan untuk melakukan perbuatan hukum. Surat Keterangan Medis tidak dapat menjadi dasar untuk mengatakan seseorang tersebut tidak cakap untuk melakukan 208 Hasil wawancara dengan Notaris/ PPAT Kota Medan Rosniaty Siregar, pada tanggal 24 Agustus 2016. Universitas Sumatera Utara 130 perbuatan hukum, jika dalam hal ini si penghadap masih mampu untuk bernalar/ berpikir secara teratur. Orang yang dalam kondisi sakit, sekalipun dalam keadaan cacat fisik, apabila masih dapat berpikir, dan mampu menuangkan kehendaknya, seseorang tersebut masih mampu untuk membuat suatu wasiat.209 Dalam kasus ini, pada Surat Keterangan Medis yang dikeluarkan pada tahun 2006, Almarhum hanya dinyatakan stroke, diabetes dan hipertensi. Menurut keterangan saksi, ketika Notaris melakukan tanya jawab mengenai kehendak si penghadap, si penghadap (Almarhum) bisa menjawab. Hal ini, menyatakan bahwa penghadap (Almarhum) memiliki akal yang sehat. Berdasarkan kecakapan atau mampunya si penghadap dalam pembuatan akta, maka Notaris LSN membuatkan akta wasiat sesuai dengan kehendak si penghadap, dengan terlebih dahulu menanyakan identitas si penghadap (Almarhum). Kemudian memeriksa secara terperinci satu per satu dokumen atau berkas yang dibawa si penghadap (Almarhum) sebagai objek wasiat yang akan dituangkan ke dalam akta wasiat, dan membacakan kembali apa saja yang menjadi kehendak penghadap dengan maksud memastikan bahwa si pengahadap dalam keadaan sadar dan mampu akan apa yang diwasiatkan tersebut. Notaris membuatkan akta wasiat karena atas permintaan si penghadap dalam keadaan sadar/ mampu berpikir akan akta wasiat tersebut. Tanpa adanya permintaan si penghadap, sudah tentu akta tersebut tidak akan dibuat. 209 Hasil wawancara dengan Notaris/ PPAT Kota Medan Diana Nainggolan, pada tanggal 6 September 2016. Universitas Sumatera Utara 131 2. Memenuhi ketentuan Pasal 40 UUJN, yaitu: Akta tersebut telah dibacakan oleh Notaris LSN kepada penghadap dihadapan dua orang saksi yang merupakan pegawai di Kantor Notaris LSN, dan penghadap (Almarhum) memahami/ mengerti bahwa seluruh harta peninggalan milik penghadap diwasiatkan untuk anak-anaknya. 3. Memenuhi ketentuan Pasal 43 UUJN, yaitu Akta dibuat dalam bahasa yang dimengerti oleh si penghadap dalam hal ini bahasa Indonesia dan penghadap pun telah memahami mengenai apa yang tertuang dalam akta. 4. Memenuhi ketentuan Pasal 44 UUJN, yaitu: Setelah akta tersebut dibacakan, akta tersebut ditandatangani oleh penghadap, saksi dan Notaris. Dalam kasus, penghadap tidak dapat membubuhkan tanda tangan dikarenakan kondisi kesehatannya (stroke) sehingga sulit menggerakkan tangan, dan penghadap meminta Notaris agar membantu penghadap dalam membubuhkan cap jempol pada akta, dan dalam akta disebutkan dengan tegas keterangan-keterangan dan sebab-sebab yang menjadikan halangan tersebut. Dalam pembuatan Akta Wasiat Nomor 5 tanggal 9 Oktober 2009 tersebut, Notaris LSN telah membuatnya sesuai dengan prosedur yang dipersyaratkan dalam pembuatan suatu akta Notaris dimana para penghadap telah memenuhi persyaratan mengenai batas umur dan cakap dalam melakukan perbuatan melawan hukum, sebagaimana disyaratkan Pasal 39 UUJN, akta tersebut juga telah dibuat dalam bahasa yang dimengerti oleh penghadap serta saksi, sehingga penghadap dalam hal Universitas Sumatera Utara 132 ini telah memahami mengenai apa yang tercantum dalam akta tersebut sebagaimana dipersyaratkan dalam Pasal 43 UUJN kemudian Notaris LSN juga telah membacakan terlebih dahulu akta tersebut dihadapan penghadap tentang isi, maksud dan tujuan daripada akta tersebut dengan dihadiri oleh 2 (dua) orang saksi sebagaimana dipersyaratkan dalam Pasal 40 UUJN dimana setelah dibacakan para pihak tidak ada yang menyatakan keberatannya mengenai apa yang tertuang dalam akta tersebut dan segera setelah akta itu dibacakan para pihak menandatangani akta tersebut sebagai tanda persetujuannya sebagaimana dipersyaratkan dalam Pasal 44 UUJN, dimana secara yuridis penandatangan suatu akta dapat diartikan sebagai suatu pernyataan kemauan si penandatangan, bahwa ia dengan membubuhkan tanda tangannya di bawah suatu tulisan, berarti ia menghendaki agar tulisan itu dalam hukum dianggap sebagai tulisannya sendiri.210 Dalam kasus, selanjutnya yang menjadi dasar Penggugat menggugat Notaris LSN adalah dicantumkannya harta peninggalan yang bukan milik si pewaris. Notaris yang membuatkan akta wasiat seharusnya tidak dipersalahkan atas tindakannya itu karena pembuatan akta tersebut inisiatifnya datang dari si penghadap, dan mengenai seluruh berkas-berkas mengenai harta peninggalan, yang bersangkutan (Almarhum) membawa serta menunjukkan sendiri seluruh dokumen yang diperlukan, dalam keadaan sadar. Sebagai tugas Notaris dalam hal memeriksa berkas atau dokumen sebelum membuatkan akta, Notaris LSN telah melakukan hal tersebut, demikian juga 210 Tan Thong Kie, Studi Notariat dan Serba-Serbi Praktek Notaris, (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 2007), hal. 408. Universitas Sumatera Utara 133 terhadap memeriksa harta peninggalan berupa SHGB yang dipermasalahkan oleh si Penggugat. Mengenai SHGB No. 3180/ Kapuk atas nama DM yang dicantumkan sebagai harta peninggalan si pewasiat (Almarhum) atas dasar adanya Akta Perjanjian No 12 tanggal 3 September 1979 dan Surat Kuasa No 13 tanggal 3 September 1979 yang dibuat di Notaris X di Jakarta bahwa Penggugat (DM) sebagai Pihak Pertama dan Almarhum (TM) sebagai Pihak Kedua yang menyatakan: “bahwa tanah/ tanah tersebut sebenarnya adalah hak dan milik Pihak Kedua, sehingga dengan cara apapun juga tanpa persetujuan tertulis terlebih dahulu dari pihak kedua tidak berhak melalaikan tindakan-tindakan yang mengakibatkan peralihan/ pemindahan bagian tanah tersebut”.211 Atas adanya Akta Perjanjian dan surat kuasa tersebut, maka Notaris LSN mencantumkan SHGB No 3180/ Kapuk tersebut sebagai warisan, dengan mempertegas kembali kepada Almarhum bahwa hal tersebut sebagai harta peninggalannya. Mengenai Harta peninggalan berupa SHGB No 3180/ Kapuk yang merupakan bekas Hak Pakai yang dimaksud oleh Penggugat, Alm. TM ketika datang ke kantor notaris untuk dibuatkan akta wasiat, Notaris LSN membuatkan akta atas kehendak Alm. TM, dengan mengecek satu per satu berkas/ dokumen sebagai bukti kebenaran atas harta-harta yang diwasiatkan Alm. TM, dimana diantaranya terdapat dokumen berupa Akta Perjanjian dan Surat Kuasa yang menyatakan bahwa tanah tersebut milik 211 Hasil wawancara dengan Notaris Diana Nainggolan, pada tanggal 6 September 2016. Universitas Sumatera Utara 134 Alm. TM. Mengenai adanya kwitansi pembayaran atas tanah bekas Hak Pakai No. 41 a.n Penggugat DM, hal tersebut sudah diluar dari sepengetahuan Notaris LSN. Karena pada saat memeriksa berkas/ dokumen pewaris, Alm. hanya menunjukkan Akta Perjanjian dan Surat Kuasa dan tidak terdapat kwitansi pembayaran atas tanah yang menyatakan bahwa bekas Hak Pakai tersebut sudah dibeli oleh Penggugat DM. Namun, Akta Perjanjian dan Surat Kuasa tersebut hanya menunjukkan bahwa Penggugat dan Almarhum TM mengadakan perjanjian berkenaan dengan tanah yang bersertifikat Hak Pakai No 41 dan bukan tentang tanah dengan sertifikat Hak Guna Bangunan No 3124 milik Penggugat. Sehingga hakim mengindahkan akta perjanjian dan surat kuasa tersebut dengan menyatakan akta perjanjian dan surat kuasa tidak berlaku. Hakim dalam memutus perkara dengan melihat dari adanya sertifikat secara fisik atas nama Penggugat (DM) yang merupakan surat tanda bukti hak sebagai alat bukti yang kuat mengenai data fisik dan yuridis di dalamnya. 212 Pada hakekatnya setiap individu memiliki kebebasan untuk mendapatkan keadilan atas perkara yang diajukan di pengadilan. Namun, dalam kasus ini Penggugat hanya merasa tidak adil, karena dicantumkannya Sertifikat atas namanya sendiri ke dalam akta wasiat dan dibagikan kepada ahli waris yang lain. Tetapi, kurang tepat apabila Penggugat tersebut mengatakan Notaris LSN telah menyalahi aturan/ prosedur Jabatan Notaris yang ternyata dalam hal ini, Notaris LSN menjalankan tugasnya sesuai dengan kehendak si pewasiat dalam pembuatan akta wasiat. 212 Pasal 32 Peraturan Pemerintah No 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Universitas Sumatera Utara 135 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan 1. Akibat hukum terhadap akta wasiat yang dibuat oleh Notaris atas kelalaiannya yaitu akta tersebut mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan, dimana dari segi isinya, dalam akta tersebut terdapat kesalahan sebagai pelanggaran yang dilakukan Notaris atau cacat dalam bentuknya, selain itu akta wasiat tersebut juga dapat dibatalkan dimana dalam pembuatan akta wasiat tersebut terdapat pihak yang merasa dirugikan dan pihak yang merasa dirugikan tersebut meminta pembatalan kepada Hakim secara perdata, dengan adanya bukti lawan dari pihak yang merasa dirugikan. Sebagaimana ketentuan Pasal 84 UUJN, akta tersebut mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan, selain itu wasiat tersebut dapat dibatalkan apabila pihak yang mendalilkan dapat membuktikannya dalam persidangan di pengadilan, karna pembuatan suatu akta harus memenuhi tiga unsur yaitu lahiriah, formal, materiil atau salah satu unsur tersebut tidak benar yang dapat menimbulkan perkara perdata yang kemudian dapat dibuktikan kebenarannya. 2. Bentuk pertanggungjawaban terhadap Notaris secara perdata sebagaimana tercantum dalam Pasal 1365 KUHPerdata, berupa sanksi untuk melakukan penggantian biaya atau rugi kepada pihak yang dirugikan atas perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh Notaris. Mengenai tanggung jawab Notaris 135 Universitas Sumatera Utara 136 atas akta yang dibuatnya dalam hal pidana, tidak diatur dalam UUJN, namun jika terbukti suatu perbuatan pidana, Notaris mempertanggung jawabkan perbuatannya dengan penjatuhan sanksi pidana berupa pidana kurungan atau pidana penjara sesuai Pasal 264 KUHPidana. Tanggung jawab secara administratif juga dikenakan kepada Notaris sesuai dengan Pasal 85 UUJN berupa teguran lisan dan tertulis, pemberhentian sementara, pemberhentian dengan hormat, pemberhentian tidak hormat. Secara Kode Etik Notaris, tanggung jawab dikenakan sanksi moril, ditegur atau dipecat dari keanggotaan profesinya, juga dapat dipecat dari jabatannya sebagai Notaris. 3. Dalam kasus tersebut, Hakim Mahkamah Agung memberikan pertimbangannya bahwa alasan-alasan kasasi dapat dibenarkan. Pemohon kasasi telah membuktikan bahwa kondisi Almarhum tidak layak atau setidak-tidaknya tidak sehat secara mental dan fisik, sehinga secara keseluruhan tidak mampu berbuat dan bertanggung jawab secara hukum. Sehingga Almarhum tidak mungkin dapat melakukan pembuatan akta wasiat. Maka, hakim menyatakan dalam putusannya bahwa atas kesalahan notaris dalam pembuatan akta wasiat, maka notaris telah melakukan perbuatan melawan hukum dalam pembuatan akta wasiat dan akta wasiat tersebut batal dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Apabila diperhatikan materi gugatan secara seksama, maka notaris sudah seharusnya tidak disalahkan apalagi dituntut untuk mengganti kerugian. Notaris dalam membuat akta wasiat telah mematuhi tata cara (prosedur) sebagaimana yang ditetapkan dalam Pasal 39 UUJN mengenai kecakapan penghadap dalam Universitas Sumatera Utara 137 membuat akta. Penghadap juga cakap bertindak dalam hukum, karena masih mampu bernalar. Hal ini didasarkan pasal 895 KUHPerdata, pembuat testament harus mempunyai budi akalnya, artinya tidak boleh membuat testament adalah orang yang sakit ingatan, dan orang yang sakitnya begitu berat, sehingga ia tidak dapat berpikir secara teratur. Tergugat juga memeriksa bukti surat yang berkaitan dengan keinginan atau kehendak penghadap, akta wasiat juga dibacakan Notaris dihadapan penghadap dan dihadiri oleh saksi, serta notaris juga membuat pemahaman kepada penghadap terhadap akta yang dibuat dalam bahasa indonesia. B. Saran Berdasarkan rumusan yang terdapat dalam pembahasan dan kesimpulan, maka selanjutnya dapat disarankan hal-hal sebagai berikut: 1. Sebelum membuat akta, untuk menjamin kepastiannya, Notaris harus selalu jeli memeriksa satu per satu dokumen dengan benar dan menyesuaikannya kembali dengan berkas-berkas yang dimiliki oleh penghadap. Akta yang dibuat Notaris merupakan akta otentik yang memiliki alat bukti yang sempurna, karena apabila akta yang telah dibuat Notaris mengandung cacat hukum, maka para pihak dalam akta akan menuntut Notaris atas kesalahan dalam pembuatan akta. 2. Notaris dalam membuat akta harus harus memiliki sifat kehati-hatian, lebih teliti dan memiliki itikad baik dalam pembuatan akta otentik serta mematuhi ketentuan hukum yang berlaku dan berlandaskan pada moral dan etika serta lebih Universitas Sumatera Utara 138 mengemban tanggung jawabnya sebagai Notaris yang berwenang dalam bidang pembuatan akta. 3. Dalam memutus perkara akta wasiat yang menyatakan Notaris melakukan perbuatan hukum, sebaiknya hakim mempertimbangkan dari segi Notaris yang telah memenuhi prosedur tata cara pembuatan akta yang baik dan benar sebagaimana dalam UUJN. Atas putusan hakim yang berdampak langsung membatalkan akta wasiat, memang mendatangkan keadilan bagi si Penggugat, namun ahli waris lain menjadi tidak dapat melakukan tindakan hukum atas harta peninggalan Almarhum. Universitas Sumatera Utara