Uploaded by print.berkah

MAKALAH LINTAS BUDAYA

advertisement
MAKALAH
“PENGEMBANGAN NILAI-NILAI KEHIDUPAN PRIBADI
KONSELOR”
Diajukan Oleh:
Kelompok 5
1. Indah Novita Sari (3022016060)
2. Roslaini (3022016078)
Semester / Unit
:7/2
JURUSAN/PRODI BIMBINGAN DAN KONSELING ISLAM
FAKULTAS USHULUDDIN ADAB DAN DAKWAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI LANGSA
TAHUN 2019
0
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT yang telah mencurahkan Rahmat-Nya
sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang diberikan oleh dosen
pembimbing. Sholawat serta salam yang selalu tercurah kepada khotimul anbiya’,
manusia yang paling baik akhlaknya yaitu Rosulullah Muhammad SAW, kepada
kelurganya,para sahabat serta para pengikutnya yang setia hingga akhir zaman.
Amiin.
Makalah ini berjudul ”Pengembangan Nilai-Nilai Kehidupan Pribadi
Konselor” yang nantinya akan memberikan pemahaman kepada pembaca tentang
hal-hal yang berkaitan dengan hal tersebut. Mungkin penulis tidak bisa membuat
makalah ini sesempurna mungkin dan oleh karena itu,kritik dan saran sangat
penulis harapkan dari para pembaca, khususnya dari Dosen pembimbing yang
telah membimbing penulis dalam mata kuliah ini.
Ucapan terima kasih juga kami sampaikan kepada dosen pembimbing
kami yang telah memberikan arahan dan juga kepada orang-orang sekitar kami
yang telah membantu kami dalam mendapatkan sumber-sumber materi yang bisa
kami jadikan pedoman untuk menyelesaikan makalah ini.
Hormat Kami
Penulis
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ..............................................................................................
i
DAFTAR ISI ............................................................................................................
ii
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang .................................................................................................
1
BAB II PEMBAHASAN
A.
Defenisi Budaya ................................................................................................
2
B.
Defenisi Psikologi Lintas Budaya .....................................................................
4
C.
Defenisi Konseling Lintas Budaya ...................................................................
5
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan .........................................................................................................
11
DAFTAR PUSTAKA ...............................................................................................
12
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi telah memicu lajunya
perkembangan peradaban manusia, yang berdampak pada mobilitas penduduk,
modal, nilai dan ideologi dsb. dari suatu tempat ke tempat yang lain. Akibatnya,
tercipta suatu pemukiman dengan beragam budaya. Keragaman budaya ini pada
kondisi normal dapat menumbuhkan keharmonisan hidup, namun dalam kondisi
bermasalah dapat menimbulkan hambatan dalam berkomunikasi dan penyesuaian
antar budaya.
Adanya keragama budaya merupakan realitas hidup, yang tidak dapat
dipungkiri mempengaruhi perilaku individu dan seluruh aktivitas manusia, yang
termasuk di dalamnya adalah aktivitas konseling. Karena itu, dalam melakukan
konseling, sangat penting untuk mempertimbangkan budaya yang ada. Namun,
dalam kenyataannya, kesadaran budaya dalam praktek konseling masih sangat
kurang. Hal ini sangat berbahaya konseling yang tidak mempertimbangkan
budaya klien yang berbeda akan merugikan klien. Menurut Freire, pendidikan
yang tidak melihat budaya klien adalah pendidikan yang menindas. Kesadaran
budaya harus menjadi tujuan pendidikan, termasuk konseling yang lebih mengena.
1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Defenisi Budaya
Istilah budaya berasal dari kata “budaya” yang berarti “pikiran, akal, budi,
adat istiadat yang sudah menjadi kebiasaan, sehingga sukar untuk diubah”.
Kebudayaan itu sendiri berarti “hasil kegiatan dan penciptaan batin (akal budi)
manusia seperti kesenian, kepercayaan dan adat istiadat” (kamus besar bahasa
Indonesia, 1998:149). Menurut Koetjaraningrat (1997: 94) menjelaskan budaya
dapat dimaknai sebagai keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya
manusia yang diperoleh dari hasil belajar dalam kehidupan masyarakat, yang
dijadikan milik manusia itu sendiri. Berkaitan dengan hal itu, tingkah laku
individu sebgai anggota masyarakat terkait dengan budaya yang diwujudkan
dalam berbagai pranata. Pranata tersebut berfungsi sebagai mekanisme kontrol
bagi tingkahlaku manusia untuk memenuhi kebutuhannya.
Manusia tidak dapat terlepas dari budaya, keduanya saling memberikan
pengaruh. Pengaruh budaya terhadap kepribadian individu akan terlihat pada
perilaku yang ditampilkan. Bagaimana hubungan manusia dengan kebudayaan
sebenarnya banyak dikaji dan dianalisis oleh ilmu antropologi. Sedangkan
bagaimana individu berperilaku akan banyak disoroti dari sudut tinjauan
psikologi. Manusia adalah miniatur kebudayaannya. Oleh karena itu, tingkah laku
manusia perlu dijelaskan bukan hanya dari sudut pandang individu itu sendiri,
melainkan juga dari sudut pandang budayanya, outside dan within him (Kneller,
1978). Manusia adalah produk dan sekaligus pencipta aktif suatu kelompok sosial,
organisasi, budaya dan masyarakat. Sebagai produk, manusia memiliki ciri-ciri
dan tingkah laku yang dipelajari dari konteks sosialnya. Sebaliknya sebagai
pencipta
yang
aktif
manusia
juga
memberikan
kontribusinya
kepada
perkembangan budayanya (Ritzer, Kammeyer, dan Yetman, 1979).
Tokoh pendidikan nasional bapak Ki Hajar Dewantara (1977) memberikan
definisi budaya sebagai berikut: Budaya berarti buah budi manusia, adalah hasil
perjuangan manusia terhadap dua pengaruh yang kuat, yakni alam dan jaman
(kodrat dan masyarakat), dalam mana terbukti kejayaan hidup manusia untuk
2
mengatasi
berbagai
bagal
rintangan
dan
kesukaran
didalam
hidup
penghidupannya, guna mencapai keselamatan dan kebahagiaan, yang pada
lahirnya bersifat tertib dan damai.
Pendapat Ki Hajar Dewantara diperkuat oleh Soekanto (1997) dan Ahmadi
(1996) yang mengarahkan budaya dari bahasa sanskerta yaitu buddhayah yang
merupakan suatu bentuk jamak kata "buddhi" yang berarti budi atau akal.
Kebudayaan diartikan sebagai hal hal yang bersangkutan dengan budi atau akal".
Lebih ringkas, Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi, mendefinisikan
kebudayaan adalah sarana hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat. Dari definisi di
atas, tampak bahwa suatu budaya tertentu akan mempengaruhi kehidupan
masyarakat tertentu (walau bagaimanapun kecilnya). Dalam pengertian budaya,
ada tiga elemen yaitu:
1.
Merupakan produk budidaya manusia,
2.
Menentukan ciri seseorang,
3.
Manusia tidak akan bisa dipisahkan dari budayanya.
Pelayanan konseling hakikatnya merupakan proses pemberian bantuan
dengan penerapkan prinsip-prinsip psikologi. Secara praktis dalam kegiatan
konseling akan terjadi hubungan antara satu dengan individu lainnya (konselor
dengan klien). Dalam hal ini individu tersebut berasal dari lingkungan yang
berbeda dan memiliki budayanya masing-masing. Oleh karena itu dalam proses
konseling tidak dapat dihindari adanya keterkaitan unsur-unsur budaya.
Lebih jelas Clemon E. Vontres mengemukakan bahwa jika konselor dan
klien merasakan persamaan budaya meskipun sebenarnya secara budaya mereka
berbeda maka interaksi tersebut tidak boleh dinamakan konseling lintas budaya.
Sebaliknya jika konselor dan klien secara budaya sama tetapi masing-masing
mereka merasa berbeda budaya maka interaksinya dapat dinamakan lintas budaya.
Jadi dalam konseling lintas budaya, yang menjadi standar adalah interaksi yang
terjadi dalam hubungan konseling dan bagaimana interaksi dirasakan serta
dihayati oleh konselor dan klien. Jika dalam interaksi itu dirasakan adanya
perbedaan-perbedaan secara budaya maka interaksi tersebut dinamakan konseling
lintas budaya. Dengan demikian dalam konseling lintas budaya perbedaan antara
3
konselor dan klien bukan hanya terletak pada adanya perbedaan bangsa saja,
tetapi juga mencakup perbedaan aspek-aspek kebudayaan yang lebih luas.
B. Defenisi Psikologi Lintas Budaya
Psikologi lintas budaya adalah kajian mengenai persamaan dan perbedaan
dalam fungsi individu secara psikologis, dalam berbagai budaya dan kelompok
etnik; mengenai hubungan-hubungan di antara ubaha psikologis dan sosiobudaya, ekologis, dan ubahan biologis; serta mengenai perubahan-perubahan yang
berlangsung dalam ubahan-ubahan tersebut.
Menurut Segall, Dasen dan Poortinga, psikologi lintas-budaya adalah
kajian
mengenai
perilaku
manusia
dan
penyebarannya,
sekaligus
memperhitungkan cara perilaku itu dibentuk dan dipengaruhi oleh kekuatankekuatan sosial dan budaya. Definisi ini mengarahkan perhatian pada dua hal
pokok: keragaman perilaku manusia di dunia dan kaitan antara perilaku terjadi.
Definisi ini relatif sederhana dan memunculkan banyak persoalan. Sejumlah
definisi lain mengungkapkan beberapa segi baru dan menekankan beberapa
kompleksitas: 1. Riset lintas-budaya dalam psikologi adalah perbandingan
sistematik dan eksplisit antara variabel psikologis di bawah kondisi-kondisi
perbedaan budaya dengan maksud mengkhususkan antesede-anteseden dan
proses-proses yang memerantarai kemunculan perbedaan perilaku.
Perkembangan psikologi lintas budaya di Indonesia dimulai pada sekitar
pertengahan tahun 1980an yang ditandai dengan munculnya penelitian disertasi
tentang stereotip etnik di dalam budaya-budaya kelompok etnik di Indonesia oleh
Prof. Dr. Soewarsih Warnaen. Kepeloporan pengembangan psikologi lintas
budaya Prof. Dr. Soewarsih Warnaen dalam bidang psikologi lintas budaya
dilanjutkan dalam pengajaran matakuliah psikologi lintas budaya pada program
S2 Psikologi Sosial di Universitas Indonesia sejak akhir tahun 1980an.
Perkembangan teori dan hasil penelitian psikologi lintas budaya ternyata
memberi implikasi yang cukup penting dalam perkembangan ilmu psikologi di
4
abad 21. Implikasi itu terutama memberi pengaruh kepada eksistensi psikologi
aliran utama (mainstream), yaitu psikologi yang berkembang di wilayah geografis
dan wilayah kebudayaan Barat secara umum dan psikologi yang berkembang di
wilayah geografis dan wilayah kebudayaan Amerika Serikat secara khusus. Pada
zaman kita yang posmodernisme ini (Gergen dkk., 1996), banyak orang semakin
memahami suatu fakta bahwa banyak teori psikologi Barat ternyata tidak dapat
secara semena-mena diberlakukan untuk wilayah geografis dan wilayah
kebudayaan yang lain.
C. Defenisi Konseling Lintas Budaya
Dalam mendefinisikan konseling lintas budaya, kita tidak akan dapat lepas
dari istilah konseling dan budaya. Pada paparan paparan terdahulu telah disajikan
secara lengkap mengenai pengertian konseling dan pengertian budaya. Dalam
pengertian konseling terdapat empat elemen pokok yaitu (adanya hubungan, (2)
adanya dua individu atau lebih, (3) adanya proses, (4) membantu individu dalam
memecahkan masalah dan membuat keputusan. Sedangkan dalam pengertian
budaya, ada tiga elemen yaitu (1) merupakan produk budidaya manusia, (2)
menentukan ciri seseorang, (3) manusia tidak akan bisa dipisahkan dari
budayanya.
Konseling lintas budaya (cross-culture counseling) mempunyai arti suatu
hubungan konseling dalam mana dua peserta atau lebih, berbeda dalam latar
belakang budaya, nilai nilai dan gaya hidup (Sue et al dalam Suzette et all 1991;
Atkinson, dalam Herr, 1939). Definisi singkat yang disampaikan oleh Sue dan
Atkinson tersebut ternyata telah memberikan definisi konseling lintas budaya
secara luas dan menyeluruh.
Dari pengertian di atas, maka konseling lintas buda¬ya akan dapat terjadi
jika antara konselor dan klien mempunyai perbedaan. Kita tahu bahwa antara
konselor dan klien pasti mempunyai perbedaan budaya yang sangat mendasar.
Perbedaan budaya itu bisa mengenai nilai nilai, keyakinan, perilaku dan lain
5
sebagainya. Perbedaan ini muncul karena antara konselor dan klien berasal dari
budaya yang berbeda. Konseling lintas budaya akan dapat terjadi jika konselor
kulit putih memberikan layanan konseling kepada klien kulit hitam atau konselor
orang Batak memberikan layanan konseling pada klien yang bera¬sal dari
Ambon.
Layanan konseling lintas budaya tidak saja terjadi, pada mereka yang berasal dari
dua suku bangsa yang berbeda. Tetapi layanan konseling lintas dapat pula muncul
pada suatu suku bangsa yang sama. Sebagai contoh, konselor yang berasal dari
jawa Timur memberikan layanan konseling pada klien yang berasal dari jawa
tengah, mereka sama sama berasal dari suku atau etnis jawa. Tetapi perlu kita
ingat, ada perbedaan mendasar antara orang jawa Timur dengan orang Jawa
Tengah. Mungkin¬ orang Jawa Timur lebih terlihat "kasar", sedangkan orang
jawa Tengah lebih "halus".
Dari contoh di atas, terlihat bahwa orang jawa Timur mempunyai nilai
nilai sendiri yang berhubungan dengan kesopanan, perilaku, pemikiran dan lain
sebagainya dan ini terbungkus dalam satu kata "kasar". Demikian pula individu
yang berasal dari jawa Tengah, tentunya dia akan membawa seperangkat nilai
nilai, ide, pikiran dan perilaku tertentu yang terbungkus dalam satu kata "halus".
Kenyataannya, antara "halus" dan "kasar" itu sulit sekali untuk disatukan dalam
kehidupan sehari. Ini akan menjadi permasalahan tersendiri dalam proses
konseling.
Dalam praktik sehari-hari, konselor pasti akan berhadapan dengan klien yang
berbeda latar belakang sosial budayanya. Dengan demikian, tidak akan mungkin
disamakan dalam penanganannya (Prayit¬no, 1994). Perbedaan perbedaan ini
memungkinkan terjadinya pertentangan, saling mencurigai, atau perasaan
perasaan negatif lainnya. Pertentangan, saling mencurigai atau perasaan yang
negatif terhadap mereka yang berlainan budaya sifatnya adalah alamiah atau
manusiawi. Sebab, individu akan selalu berusaha untuk bisa mempertahankan atau
6
melestarikan nilai nilai yang selama ini dipegangnya. Jika hal ini muncul dalam
pelaksanaan konseling, maka memungkinkan untuk timbul hambatan dalam
konseling.
Jika kita memakai pengertian tersebut di atas, maka semua proses
konseling akan dikatagorikan sebagai konseling lintas budaya (Speight et all,
1991; Atkinson, dalam Herr, 1939). Hal ini disebabkan setiap konselor dan klien
adalah pribadi yang unik. Unik dalam hal ini mempunyai pengertian adanya
perbedaan perbedaan tertentu yang sangat prinsip. Setiap manusia adalah berbeda
(indivi¬dual deferences). Pertanyaan berikutnya adalah apakah kita hanya sampai
pada definisi konseling lintas budaya saja? Apakah keadaan demikian membuat
konseling tidak perlu untuk dilaksanakan? Tidak.
Hal lain yang berhubungan dengan definisi konseling lintas budaya adalah
bagaimana konselor dapat bekerja sama dengan klien? Dalam melakukan
hubungan konseling dengan klien, maka konselor sebaiknya bisa memahami klien
seutuhnya. Memahami klien seutuhnya ini berarti konselar¬ harus dapat
memahami budaya spesifik yang mempengaruhi klien, memahami keunikan klien
dan memahami manusia secara umum/universal (Speight, 1991).
Memahami budaya spesifik mengandung pengertian bahwa konselor
sebaiknya mengerti dan memahami budaya yang dibawa oleh klien sebagai hasil
dari sosialisasi dan adaptasi klien dari lingkungannya. Hal ini sangat penting
karena setiap klien akan membawa budayanya sendiri¬-sendiri. Klien yang
berasal dari budaya barat, tentu akan berbeda dengan klien yang berbudaya timur.
Klien yang berbudaya timur jauh akan berbeda dengan klien yang berasal dari asia
tenggara dan lain lain.
Pemahaman mengenai budaya spesifik yang dimiliki oleh klien tidak akan
terjadi dengan mudah. Untuk hal ini, konselor perlu mempelajarinya dari berbagai
Sumber ¬yang menunjang seperti literatur atau pengamatan langsung terhadap
budaya klien. Konselor dituntut untuk dapat bertindak secara proaktif didalam
usahanya memahami budaya klien. Dengan demikian, sebagai individu yang
7
bersosialisasi, selayaknyalah konselor sering “turun” untuk mengetahui budaya di
sekitar klien. Kemampuan konselor untuk dapat memahami kebudayaan di
sekitarnya, secara tidak langsung akan dapat menambah khasanah ilmu
pengetahuannya yang pada akhirnya akan mempermudah konselor di dalam
memahami klien (Hunt, 1975; Herr, 1989 Lon¬ner & ibrahim,1991).
Memahami keunikan klien mengandung pengertian bahwa klien sebagai
individu yang selalu berkembang akan memba¬wa nilai nilai sendiri sesuai
dengan tugas perkembangan-nya. Klien selain membawa budaya yang berasal dari
lingkungannya, pada akhirnya klien juga membawa seperangkat nilai nilai yang
sesuai dengan tugas perkembangan. Sebagai individu yang unik, maka klien akan
menentukan sendiri nilai nilai yang akan dipergunakannya. Bahkan bisa terjadi
nilai nilai yang diyakini oleh klien ini. bertolak belakang dengan nilai nilai atau
budaya yang selama ini dikembangkan di lingkungannya. Hal ini perlu juga
dipahami oleh konselor. Karena apapun yang dibicara¬kan dalam konseling, tidak
bisa dilepaskan dari individu itu sendiri.
Memahami manusia secara universal mengandung pengertian bahwa nilai
nilai yang berlaku di masyarakat ada yang berlaku secara universal atau berlaku di
mana saja kita berada. Nilai nilai ini diterima oleh semua masyara¬kat di dunia
ini. Salah satu nilai yang sangat umum adalah penghargaan terhadap hidup.
Manusia sangat menghargai hidup dan merdeka. Nilai nilai ini mutlak dimiliki
oleh semua orang. Nilai-nilai ini akan kita temukan pada saat kita berada di
pedalaman Afrika atau pedalaman Irian, sampai dengan di kota-kota besar seperti
Los Angeles dan Jakarta.
Konselor perlu menyadari akan nilai-nilai yang berlaku secara umum.
Kesadaran akan nilai-nilai yang berlaku bagi dirinya dan masyarakat pada
umumnya akan membuat konselor mempunyai pandangan yang sama tentang
sesuatu hal. Persamaan pandangan atau persepsi ini merupakan langkah awal bagi
konselor untuk melaksanakan konseling.
8
Sebagai rangkuman dari apa yang telah dijelaskan di atas, maka ada
beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam kaitannya dengan konseling lintas
budaya. Menurut Pedersen (1980) dinyatakan bahwa konseling lintas budaya
memiliki tiga elemen yaitu:
1. konselor dan klien berasal dari latar belakang budaya yang berbeda,
dan melakukan konseling dalam latar belakang budaya (tempat) klien;
2. konselor danklien berasal dari latar belakang budaya yang berbeda,
dan melakukan konseling dalamlatar belakang budaya (tempat)
konselor;
3. dan konselor dan klien berasal dari latar belakang budaya yang
berbeda, dan melakukankonseling di tempat yang berbeda pula.
Lebih lanjut, menurut Pedersesn, Lonner dan Draguns (dalam Carter,
1991) dinyatakan bahwa beberapa aspek dalam konseling lintas budaya adalah (1)
latar belakang budaya yang dimiliki oleh konselor, (2) latar belakang budaya yang
diimiliki oleh klien, (3) asumsi-asumsi terhadap masalah yang akan dihadapi
selama konseling, dan (4) nilai-nilai yang mempengaruhi hubungan konseling,
yaitu adanya kesempatan dan hambatan yang berlatar belakang tempat di mana
konseling itu dilaksanakan.
Dalam pelaksanaan konseling, terdapat banyak faktor yang dapat
mempengaruhi lancarnya proses konseling. Kita ketahui bersama bahwa antara
konselor dan klien sudah pasti akan membawa budayanya sendiri sendiri.
Konselor akan membawa seperangkat budaya yang dibawa dari lingkup dimana
dia berasal, dan klien alcan membawa superangkat budaya yang dibawa dari,
lingkungan dimana dia berasal.
Selain lingkup (tempat) di mana konselor dan klien berasal, ada satu hal
yang penting dan tidak boleh dilupakan bahwa antara konselor dan klien
membawa tugas perkembangan masing masing masing. Dan kita ketahui bersama
bahwa masing masing tugas perkembangan yang dibawa oleh setiap individu
9
adalah tidak sama. Konselor akan membawa tugas perkembangannya sesuai
dengan usianya. Begitu pula dengan klien, dia akan membawa tugas
perkembangannya sesuai dengan umurnya.
Adapun faktor faktor lain yang secara signifikan mempengaruhi proses
konseling lintas budaya adalah a) keadaan demografi yang meliputi jenis kelamin,
umur tem¬pat tinggal, b) variabel status seperti pendidikan, poli¬tik dan ekonomi,
serta variabel etnografi seperti agama, adat, sistem nilai (Arredondo & Gonsalves,
1980; Canary & Levin dalam Chinapah, 1997; Speight dkk, 1991; Pedersens,
1991; Lipton dalam Westbrook & Sedlacek, 1991).
10
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Penerapan konseling lintas budaya hendaknya mengharuskan konselor
yang peka dan tanggap terhadap adanya keragaman budaya dan adanya perbedaan
budaya antar kelompok klien yang satu dengan kelompok klien lainnya, dan
antara konselor sendiri dengan kliennya. Konselor harus sadar akan implikasi
diversitas budaya terhadap proses konseling. Budaya yang dianut sangat mungkin
menimbulkan masalah dalam interaksi manusia dalam kehidupan sehari-hari.
Masalah bisa muncul akibat interaksi individu dengan lingkungannya. Sangat
mungkin masalah terjadi dalam kaitannya dengan unsur-unsur kebudayaan, yaitu
budaya yang dianut oleh individu, budaya yang ada di lingkungan individu, serta
tuntutan-tuntutan budaya lain yang ada di sekitar individu.
B.
Saran
Makalah ini jauh dari kesempurnaan,kritikan dan masukan dari pembaca
dapat menambah kesempurnaan dari makalah ini. Mudah-mudahan makalah ini
dapat bermanfaat bagi kita semua terutama bagi penulis.
11
DAFTAR PUSTAKA
Dewantara, KH. 1977. Pendidikan 9(cetakan kedua). Yogyakarta: Majalis Luhur
Persatuan Taman Siswa.
Koentjaraningrat. 1990. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta.
http://id.wikipedia.org/wiki/Psikologi_lintas_budaya
12
Download