penanggulangan kejahatan narkotika : eksekusi - E

advertisement
PENANGGULANGAN KEJAHATAN NARKOTIKA : EKSEKUSI HAK
PERSPEKTIF SOSIOLOGI HUKUM1
Oleh : Dr. I Nyaman Nurjana, SH, MH2
I.
PENDAHULUAN
Kejahatan merupakan salah satu bentuk dari perilaku menyimpang (deviant behavior)
yang selalu ada dan melekat (inherent) dalam setiap bentuk masyarakat, seperti mahari
yang setiap bagi terbit dari ufuk timur, atau bak musim yang selalu berganti seiring
dengan irama dalam semesta (Schur, 1965; Goode, 1984). Karena itu kejahatan
merupakan fenomena sosial yang bersifat universal (a univerted social phenomenon)
dalam kehidupan manusia, dan bahkan dikatan telah menjadi the oldest social problem of
human kind (Sutherland & Cressey, 1960; Taft & England, 1964).
Selain memiliki demensi lokal, nasional dan regional kejahatan juga dapat menjadi
masalah internasional, karena seiring dengan kemajuan teknologi transportasi, informasi
dan komunikasi yang canggih, modus operandi kejahatan masa kini dalam waktu yang
singkat dan dengan mobilitas yang cepat dapat melintasi batas-batas negara (borderless
countries). Inilah yang dikenal sebagai kejahatan yang berdimensi transnasional
(transnational criminality).
Salah satu wujud dari kejahatan trasnasional yang krusial karena mengangkut masa
depan generasi suatu bangsa, terutama kalangan generasi muda negeri ini adalah
kejahatan dibidang penyalahgunaan narkotika (Atmasasmita, 1997). Modus operandi
sindikat peredaran narkotika dengan mudah dapat menembus batas-batas negara di dunia
melalui jaringan manajemen yang rapi dan teknologi yang canggih dan masuk ke
Indonesia sebagai negara transit (transit-state) atau bahkan sebagai negara tujuan
perdagangan narkotika secara ilegal (point of market-state).
Dalam kurun waktu dua dasa warsa terakhir ini Indonesia telah menjadi salah satu
negara yang dijadikan pasar utama dari jaringan sindikat peredaran narkotika yang
berdimensi internasional untuk tujuan-tujuan komersial.3 Untuk jaringan peredaran
narkotika di negara-negara Asia, Indonesia diperhitungakan sebagai pasar (market-state)
yang paling prospektif secara komersial bagi sindikat internasioanl yang beroperasi di
negara-negara sedang berkembang.
Pertanyaan yang muncul kemudian, mengapa Indonesia dijadikan sasaran utama
peredaran narkotika oleh sindikat perdangan narkotika internasional ?; mengapa
peredaran secara ilegal narkotika dan obat-obatan terlarang (narkoba) terus berlangsung
di negeri ini ?; Apakah instrumen hukum yang mengatur penyalahgunaan narkoba sudah
tidak efektif lagi ?; dan bagaimanakah kinerja penegak hukum untuk menanggulangi
kejahatan narkoba di negeri ini ?
Artikel ini mencoba untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas dengan
menggunakan optik sosiologi hukum dan kebijakan penanggulangan kejahatan (criminal
policy), agar diperoleh pemahaman yang holistik kinerja penegakan hukum di bidang
penyalahgunaan narkotika, dalam rangka meningkatkan kualitas kinerja penanggulangan
kejahatan dalam kerangka penegakan hukum di Indonesia.
II.
NARKOTIKA DAN DIMENSI HUKUMNYA
Secara etimologis istilah narkotika berasal dari kata marke (Bahasa Yunani) yang
berarti terbius sehingga menjadi patirasa atau tidak merasakan apa-apa lagi. Yang
dimaksud dengan narcotic adalah a drug that dulls the sense, relieves pain, induces sleep,
and can produce addiction in varying degrees (Sudarg0, 1981). Karena itu, penggunaan
karkotika di luar tujuan-tujuan pengobatan dapat menimbulkan ketergantungan
(addiction/craving) karena menimbulkan kaidah-kaidah ilmu kedokteran.
Dalam sistem hukum di Indonesia, penyalahgunaan narkotika dikualifikasi sebagai
kejahatan di bidang narkotika yang diatur dalam UU No. 22 tahun 1997 tentang
narkotika. Yang dimaksud dengan narkotika menurut undang-undang ini adalah zat atau
obat yang berasal dari tanaman atau bukan dari tanaman, baik sintetis maupum maupun
semi sintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya
rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan
ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongan-golongan sebagaimana terlampir
dalam undang-undang ini atau yang kemudian ditetapkan dengan keputusan Menteri
Kesehatan.
Yang termasuk ke dalam jenis-jenis narkotika adalah : (a) tanaman Papaver yaitu
tanaman Papaver somniferum L, termasuk biji, buah dan jeraminya; (b) Opium mentah,
yaitu getah yang membeku sendirim, yang diperoleh dari buah tanaman papaver
somniferum L, yang mengalami pengolahan sekedar untuk bungkusan dan pengangkutan
tanpa memeprhatikan kadar morfinnya; (c) Opium masak yang terdiri dari Candu, Jicing,
dan Jicingko; (d) Opium obat, yaitu mentah yang telah mengalami pengolahan sehingga
sesuai untuk pengobatan, baik dalam bentuk bubuk atau dalam bentuk lain, atau dicampur
denganzat-zat netral sesuai dengan syarat farmakops; (e) Morfina, yaitu alkloida utama
dari opium dengan rumus kimia C17 H19 NO3; (f) Tanaman Koka, yaitu tanaman dari
semua genus Erythroxylon dari keluarga Erythroxyleceace; (g). Daun Koka, yaitu daun
yang beklum belum atau sudah kering atau yang sudah bentuk serbuk dari semua genus
Erythroxylon dari keluarga Erythroxyleceacea, yang menghasilkan kokain secara
langsung atau melalui perubahan kimia; (h) Kokain mentah, yaitu semua hasil yang
diperoleh dari daun Koka yang dapat diolah secara langsung untuk mendapatkanKokaina;
(i) Kokaina, yaitu mentil ester 1 bensoil ekgonina dengan rumus kimia C9 H15 NO3 H12
NO4; (j) Ekgonina, yaitu lekgonina demgan rumus kima C9 H15 NO3 H2O dan ester
serta turunan-turunannya yang dapat diubah menjadi Ekgonina dan Kokaina; (k)
Tanaman Ganja, yaitu semua bagian dari dari semua tanaman genus cannabis termasuk
bibji dan buahnya seperti : (1) Damar Ganja, yaitu damar yang diambil dari tanaman
ganja termasuk hasil pengolahnya yang menggunakan damar sebagai bahan dasar; (2)
Garam-garam dab turunan-turunan dari Morfina dan Kokaina; (3) Bahan lain yang
bersifat alamiah maupun sintetis dan semi sintetis yang belum disebutkan, yang dapat
dipakai sebagai pengganti Morfina atau Kokaina yang ditetapkan oleh Menteri Kesehatan
sebagai narkotika, apabila penyalahgunaannya menimbulkan akibat ketergantungan yang
merugikan seperti Morfinan dan Kokaina; dan (4) Campuran-campuran san sediaansediaan yang mengaqndung bahan yang tersebut dalam angka 1,2, dan 3.
UU No. 22 Tahun 1997 tentang narkotika, selanjutnya disebut UU Narkotika 1997,
pada dasarnya mengklasifikasi pelaku tindak pidana (delict) penyalahgunaan narkotika
menjadi 2 (dua), yaitu : pelaku tindak pidana yang berstatus sebagai pengguna (Pasal 84
dan 85) dan bukan pengguna narkotika (Pasal 78, 79, 80, 81, dan 82)
Untuk status pengguna narkotika dapat dibagi lagi menjadi 2 (dua), yaitu pengguna
untuk diberikan kepada orang lain (Pasal 84) dan pengguna narkotika untuk dirinya
sendiri (Pasal 85). Yang dimaksud dengan penggunaan narkotika untuk dirinya adalah
penggunaan narkotika yang dilakukan oleh seseorang tanpa melalui pengawasan dokter.
Jika orang yang bersangkutan menderita kemudian menderita ketergantungan maka ia
harus menjalani rehabilitasi, baik secara medis maupun secara sosial, dan pengobatan
serta masa rehabilitasinya akan diperhitungkan sebagai masa menjalani pidana.
Sedangkan, pelaku tindak pidana narkotika yang berstatus sebagai bukua pengguna
diklasifikasi lagi menjadi 4 (empat), yaitu : pemilik (Pasal 78 dan 79), pengolah (Pasal
80), pembawa dan/atau pengantar (Pasal 81), dan pengedar (Pasal 82). Yang dimaksud
sebagai pemilik adalah orang yang menanam, memelihara, mempunyai dalam persediaan,
memiliki, menpimpan, atau menguasai dengan tanpa hak dan melawan hukum. Yang
dimaksud sebagai pengolah adalah orang memproduksi, mengolah mengekstrasi,
mengkonversi, merakit, atau menyediakan narkotika dengan tanpa hak dan melawan
hukum secara individual atau melakukan secara terorganisasi. Yang di kualifikasi sebagai
pembawa/pengantar (kurir) adalah orang yang membawa, mengirim, mengangkut, atau
mentransito narkotika dengan tanpa hak dan melawan hukum secara individual atau
secara teroganisasi. Sedangkan, yang dimaksud pengedar adalah orang mengimpor,
pengekspor, menawarkan untuk dijual, menyalurkan, menjadi pembeli, menyerahkan,
menerima, menjadi perantara dalam jual beli. Atau menukar narkotika dengan tanpa hak
dan melawan hukum secxara individual maupun secara terorganisasi.
Subyek hukum yang dapat dipidana kasus penyalahgunaan narkotika adalah orang
perorangan (individu) dan korporasi (badan hukum). Sedangkan, jenis pidana yang dapat
dijatuhkan kepada pelaku detik penyalahgunaan narkotika adalah pidana penjara, pidana
seumur hidup, sampai pidana mati, yang secara kumulatif ditambah dengan pidana denda.
Tindak pidana narkotika dalam sistem hukum Indonesia dikualifikasi sebagai kejahatan.
Hal ini karena tindak pidana narkotika dipandang sebagai bentuk kejahatan yang
menimbulkan akibat serius bagi masa depan bangsa ini, merusak kehidupan dan masa
depan terutama generasi muda serta pada gilirannya kemudian dapat mengancam
eksistenti bangsa dan negara ini.
III.
KINERJA PENANGGULANGAN KEJAHATAN NARKOTIKA:
PERSPEKTIF SOSIOLOGI HUKUM
Masalah penyalahgunaan narkotika dan obat-obatan terlarang (narkotika) dalam kurun
waktu tiga dasa warsa terakhir ini bukan saja menjadi masalah nasional dan regional
ASEAN tetapi juga menjadi masalah internasional karena itu, upaya penanggulangan
masalah penyalahgunaan narkotika dalam negeri harus disenergikan dan diitegrasikan
dengan kebijakan penanggulangan masalah narkotika melalui kerjasama regional maupun
internasional.
Kebijakan global penanggulangan kejahatan narkotika pada awalnya dituangkan dalam
The United Nation's Single Convention on Narcotic Drugs 1961. Konvensi ini pada
dasarnya dimaksudkan untuk :
1. Menciptakan satu konvensi internasional yang dapat diterima oleh negara-negara
di dunia dan dapat mengganti peraturan mengenai pengawasan internasional
terhadap penyalahgunaan narkotika yang terpisah-pisah di 8 bentuk perjanjian
internasional.
2. Menyempurnakan cara-cara pengawasan peredaran narkotika dan membatasi
penggunaannya khusus untuk kepentingan pengobatan dan pengembangan ilmu
pengetahuan; dan
3. Menjamin adanya kerjasama internasional dalam pengawasan peredaran narkotika
untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut diatas
Indonesia adalah salah satu negara yang turut menandatangani konvensi tersebut, dan
kemudian meratifikasinya melalui Undang-undang No. 8 Tahun 1976 Tentang
Pengesahan Konvensi Tunggal Narkotika 1961 beserta Protokol yang Mengubahnya.
Instrumen hukum yang kemudian diciptakan pemerintah untuk menmgulangi kejahatan
narkotika di dalam negeri adalah UU No. 9 Tahun 1976 tentang Narkotika. UU No. 9
Tahun 1976 menjadi pengganti dari undang-undang tentang obat bius warisan pemerintah
kolonial Belanda, yaitu Verdoovende Middelen Ordonantie 1927 (Stbl. 1927 No. 278 yo
No. 536) yang mengatur peredaran, perdagangan, dan penggunaan obat bius.
Dealam sidang khusus ke-17 pada bulan Pebruari 1990 Perserikatan Bangsa-Bangsa
(PBB) mencanangkan tahun 1991-2000 sebagai The United Nations Decade Againts
Drug Abuse dengan membentuk The United Nations Drug Control Programme
(UNDCP). Badan ini secara khusus bertugas untuk melakukan koordinasi atas semua
kegiatan internasional di bidang pengawasan peredaran narkotika di negara-negara
anggota PBB. Dalam rangka penanggulangan tindak pidana narkotika yang bersifat
transnasional, PBB menyelenggarakan Kongres VIII tentang Prevention of Crime and the
Treament of Offenders pada 27 Agustus-7 September 1990 di Hawana, Cuba. Resolosi
ketiga-belas dari kongres ini menyatakan bahwa untuk menanggulangi kejahatan
narkotika dilakukan antara lain dengan : (a) meningkatkan kesadaran keluarga dan
masyarakat terhadap bahaya narkotika melalui penyuluhan-penyuluhan dengan
mengikutsertakan pihak sekolah dan lembaga-lembaga pendidikan dalam pencegahan
bahaya narkotika; (b) program pembinaan pelaku tindak pidana narkotika dengan
memilah antara pelaku pemakai/pengguna narkotika (drug users) dan pelaku bukan
pengguna (drug-dealers) melalui pendekatan medis, psikologis, psikiatris, maupun
pendekatan hukum dalam rangka pencegahan.
Kebijakan penanggulangan penyalahgunaan narkotika di tingkat regional Asia
Tenggara disepakati dalam ESEAN Drugs Experts Meeting on the Prevention and
Control of Drug Abuse yang diselenggarakan pada tanggal 23-26 Oktober 1972 di
Manila. Tindak lanjut dari pertemuan di atas adalah ASEAN Declaration of Principles to
Combat the Abuse of Narcotic Drugs, yang ditanda tangani oleh para Menteri Luar
Negeri negara-negara onggota ASEAN pada tahun 1976. Isi dari deklarasi regional
ASEAN ini meliputi kegiatan-kegiatan bersama untuk meningkatkan :
1. Kesamaan cara pandang dan pendekatan serta strategi penanggulangan kejahatan
narkotika.
2. Keseragaman peraturan perundang-undangan di bidang narkotika
3. Membentuk badang koordinasi di tingkat nasional; dan
4. Kerja sama antar negara-negara ASEAN secara bilateral, regional, dan
internasional.
Dalam rangka ini kemudian dibentuk The ASEAN Senior Officials on Drugs dan satu
Forum Kerja Sama Kepolisian antar negara-negara ASEAN (ASEANAPOL) yang antara
lain bertugas untuk menangani tindak pidana narkotika transnasional di wilayah ASEAN.
Selain iru, di tingkat negara-negara ASEAN juga dibentuk Narcotic Boarrd dengan
membentuk kelompok kerja penegakan hukum, rehabilitasi dan pembinaan, edukasi
preventif dan informasi, dan kelompok kerja di bidang penelitian. Pada tahun 1992
dicetuskan Deklarasi Singapura dalam ASEAN Summit IV yang menegaskan kembali
peningkatan kerjasama ASEAN dalam penegakan hukum terhadap kejahatan narkotika
dan lalu-lintas perdagangan narkotika ilegal pada tingkatan nasional, regional, maupun
internasional.
Bagaimanakah upya penanggulangan penyalahgunaan narkotika di dalam negeri
indonesia melalui penegakan huku (law enforcement) di bidang narkotika ?; dan
bagimanakah kinerja penegakan hukum di bidang narkotika di Indonesia ?
Sebelum Indonesia merdekan, pada masa pemerintahan kolonial Belanda ditetapkan
Ordonansi Obat Bius yang disebut Verdoovende Middellen Ordonantie (Staatsblad 1927
No. 278 jo. No. 536). Selain itu, juga diberlakukan ketentuan mengenai pembungkusan
candu yang disebut Opium verpakkings Bepalingen (Staatsblad) 1927 No. 514). Setelah
Indonesia Merdeka, kedua intrumen hukum kolonial Belanda tersebut tetap diberlaukan
berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945.
Perkembangan kejahatan di bidang narkotika pasca masa kemerdekaan cenderung
semaking meningkat dari tahun ke tahun, sehingga intrumen hukum yang mengatur
tindak pidana narkotika warisan Belanda tersebut dirasakan sudah ketinggalan jaman.
Karena itu, pada tahun 1976 pemerintah menetapkan UU No. 8 Tahun 1976 tentang
Pengesahan Konvensi Tunggal Narkotika 1961 beserta Protokal Perubahannya.
Kemudian, menyusul diberlakukan UU No. 9 Tahun 1976 tentang Narkotika.
Aspek kelembagaan yang dibangun untuk penegakan hukum (law enforcement)
penyalahgunaan narkotika didasarkan pada Instruksi Presiden No. 6 Tahun 1971 dengan
membentuk satu badan khusus yang disebut Badan Koordinasi Pelaksana (BaKoLak)
untuk meningkatkan efektifitas penanngulangan (pencegahan maupun penindakan)
masalah-masalah keamanan negara. Tindak pidana penyalahgunaan narkotika
dimasukkan sebagai salah satu masalah nasional yang dapat mengancam ketertiban
umum dan keamanan negara selain tindak pidana uang palsu, subversi, penyelundupan,
korupsi, dan kenakalan remaja.
Kedati demikian, kenyataan memperlihatkan bahwa kuantitas kejahatan di bidang
penyalahgunaan narkotika terus meningkat dari tahun ke tahun seiring dengan semakin
meningkatnya operasi peredaran narkotika secara ilegal melalui jaringan sindikat
internasional ke negara-negara sedang berkembang. Pada awalnya Indonesia, dan
Filipina, Thailand, Malasia, dan Papua New-Guinea, hanya dijadikan sebagai negaranegara transit (tansit states) oleh jaringan sindikat internasional untuk operasi
perdagangan narkotika secara internasional. Tetapi, kemudian sejak akhir tahun 1993
wilayah Indonesia mulai dijadikan sebagai negara tujuan transit (point of transit)
perdagangan narkotika ilegal ke Australia dan Amereka Serikat dari pusat pruduksi dan
distribusi narkotika di wilayah segi tiga emas (the golden triangle) yang terlek didaerah
perbatasan antara Thailand, Laos, dan Kamboja.
Internasional Criminal Police Organization Interpol Singapora dan Australia
melaporkan bahwa antara tahun 1992-1993 dapat ditangkap pelaku pembuat dan
pengedar narkotika sindikat internasional berkebangsaan asing setelah transit di
indonesia. Mereka mengakui bahwa putugas bea cukai di bandara Soekarno-Hatta Jakarta
dan Ngurah Rai Bali dengan mudah dapat dikelabuhi sehungga lolos sampai di Australia
(dalam Atmasasimita, 1997) dalam perkembangan selanjutnya Indonesia bukan saja
dijadikan transit0-state atau point of transit perdagangan narkotika trasnasional, tetapi
juga telah menjadi market yang sangat menguntungkan di wilayah Asia Tenggara paling
tidak karena 3 alasana :
1. Intrumen hukum nasional yang mengatur penyalahgunaan narkotika, yaitu UU
No. 9 Tahun 1996 maupun UU No. 22 tahun 1997 tentang Narkotika sebagai
pengganti UU Narkotika 1976 secara khusus tidak mengatuir ketentuan mengenai
tindak pidana narkotika transnasional yang dilakukan di luar batas teritorial
Indonesia. Karena itu, instrumen hukum narkotika nasional tidak mampu
menjangkau tindak pidana narkotika yang bersifat transnasional (Atmasasmita,
1997)
2. Secara normatif ancaman sanksi pidana yang diatur dalam UU Narkotika 1976
maupun UU Narkotika 1997 sudah berat (mulai dari pidana penjara sampai
pidana mati plus pidana denda secara kumulatif),, tetapi kelemahan mendasar
justru terjadi pada tingkatan implementasi atau penegakan hukumnya (law
enforcement).
3. Ketentuan sanksi pidana penjara dan denda yang diatur dalam UU Narkotikqa
1976 dan UU Narkotika 1997 hanya mencantumkan ancaman pidana minimum
khusus dan maksimum khusus terhadap jenis tindak pidana tertentu dan pada
setiap obyek narkotika tertentu. Tetapi, tidak diatur mengenai ancaman pidana
minimum umum dan maksimum umum, sehingga menimbulkan disparitas
penjatuhan pidana (disparity of sentencing)4 dalam hal lamanya masa pidana
(strafmaat) dan jenis pidananya (strafsoort) tanpa dasar pembenar yang jelas
terhadap perkara-perkara pidana narkotika di pengadilan. Implikasi hukum dari
adanya disparitas penjatuhan pidana ini dikaitkan dengan correction
administration, karena salah tujuan penjatuhan pidana adalah agar orang
menghormati hukum; jika terpidana yang satu mengetahui ada terpidana lain
dijatuhi pidana yang lebih ringan dari dirinya, atau sebaliknya padahal perbuatan
yang dilakukan sama maka terpidana tersebut cenderung semakin tidak
menghormati hukum. Akibatnya, tujuan dari penjatuhan pidana maupun
perlindungan masyarakat untuk ketertiban dan keamanan juga menjadi tidak
tercapai (Muladi dan Arief, 1998)
4. Lemahnya kinerja penegakan hukum (law enforcement) tidak saja karena faktor
perundang-undangan narkotika (substance), tetapi juga karena kinerja aparat
penegak hukum (structure) dalam penanggulangan (pencegahan maupun
penindakan) tindak pidana narkotika. Kelemahan dari faktor UU Narkotika 1997
antara lain : (a) jarak antara ancaman pidana minimum khusus dengan maksimum
khusus (toleransi disparitas) sangat jauh dan bervariasi tanpa disertai dengan
pedoman penentuannya; (b) tidak diatur mengenai ancaman pidana minimum
umum dan maksimum umum pedoman penjatuhan pidana (sentencing standard
guidelines), sehingga memberi peluang judicial discretion yang terlalu luas bagi
hakim dalam memutus perkara narkotika; (c) terdapat inkonsistensi dalam
penggunaan prinsip pencantuman ancaman pidana, karena terdapat beberapa pasal
yang tidak mengatur ancaman pidana minimal khusus dan maksimum khusus
sedangkan pasal-pasal yang lain mengaturnya; (d) tindak pidana narkotika yang
dilakukan oleh nkorporasi hanya diancam dengan pidana dengan disertai dengan
pidana tambahan seperti pencabutan ijin atu penutupan sebagaian atau
keseluruhan korporasi; (e) ancaman pidana denda untuk korporasi jumlahnya
milyaran rupiah tanpa menegaskan ancaman minimum khususnya, sehingga
memberi peluang bagi hakim untuk menjatuhkan pidana dengan dengan minimum
umum yang jumlahnya sangat kecil bagi suatu korporasi,
Sedangkan, kelemahan dari kenerja aparat penegak hukum (polisi), jaksa maupun
hakim) dalam penanaggulangan tindak pidana narkotika dapat ditinjau dari aspekaspek seperti berikut : (a) personalitas dan moralitas aparat penegak hukum
(personality and morality), manajemen dan sarana penegakan hukum
(management and equipment/facilities), sistem rekruitmen dan promosi
(recruitment and promotion system), serta sistem penghargaan dan penghukuman
(reward and punisment system). Integritas moral menjadi fundamental ketika
seseorang memilih profesi sebagai aparat penegak hukum dan keadilan; integritas
moral dan personalitas seorang akan diuji dalam pelaksanaan wewenang dan
swadharma penegakan hukum, karena profesi penegak hukum merupakan profesi
(swadharma) yang mulai dan terhormat (honorable and respectable profession).
Agar aparat penegak hukum dapat melaksanakan tugasnya secara efesien, efektif,
dan profesional, maka harus didukung oleh sistem manajemen, sarana dan
fasilitas yang memadai, terutama yang menyangkut pemenuhan kebutuhan dasar
(basic need) penegak hukum. Hal ini harus dimulai dari penataan sistem
rekruitmen dan promosi yang konsisten dan obyektif, disertai dengan sistem
rewart bagi yang berprestasi dan penjatuhan punisment bagi yang berwanprestasi
dalam kinerja penegakan hukum.
IV.
PENUTUP
Uraian pada bagian-bagian terdahulu meberikan pemahaman bahwa masalah mendasar
yang dihadapi dalam penanggulangan tindak pidana penyalahgunaan narkotika adalah
selain karena lemahnya faktor hukum (peraturan perundang-undangan) dalam
mengantisipasi perkembangan modus operandi kejahatan narkotika, juga karena internal
system dan kinerja (performance) dari aparat penegak hukum itu sendiri.
Dari prespektif sosiologi hukum, selain karena faktor perundang-undangan dan aparat
penegak hukum seperti diuraikan di atas, maka faktor kultur hukum (legal culture)
masyarakat juga mempunyai peran yang signifikan dan menentukan apakah kinerja
penegak hukum akan menjadi efektif atau tidak dalam penanggulangan tindak pidana
narkotika. Hal ini karena faktor perundang-undangan (substance), aparat penegak hukum
(structure), dan budaya hukum masyarakat (legal culture) merupakan tiga komponen
pokok dalam sistem hukum (legal system) yang satu sama lain saling melengkapi dan
mempengaruhi efektifitas penegakan hukum dalam nasyarakat (Friedman, 1984).
Jika faktor hukumnya lemah tetapi aparat penegak hukum konsisten dan tegas serta
ditunjang dengan manajemen dan sarana yang memadai, kemudian ditunjang dengan
kultur hukum masyarakat yang kondusif, maka kinerja oenegakan hukum akan
berlangsung secara efektif. Tetapi, jika alemen hukumnya sudah baik tetapi faktor aparat
penegak hukumnya tidak tegas dan inkonsisten, sarana dan manajemen tidak
proporsional, titambah lagi dengan kultur masyarakat yang tidak kondusif, maka kinerja
penegakan hukum menjadi tidak efektif, dan demikian seterusnya.
Karena itu, untuk mengkaji kinerja penanggulangan kejahatan narkotika secara utuh
dan komprehensif, maka elemen substansi (perundang-undangan), struktur (institusi
penegak hukum), dan kultur hukum masyarakat harus menjadi variabel penting dalam
analisa kinerja penegakan hukum.
Apakah aparat penegak hukum (role occupants) sudah memainkan perannya secara
konsisten, efesian, dan profesioanl (role playing) sesuai dengan harapan yang di harapkan
mkasyarakat (role expectation) ? Jawaban itu semua dapat dicermati dari kinerja aparat
penegak hukum yang cenderung semakin tidak berdaya dan tidak profesional
menghadapi perkembangan dan peningkatan kuantitas maupun kualitas kasus-kasus
penyalahgunaan narkotika di negeri ini.
Selain itu, terdapat kecenderungan yang menarik bahwa kasus-kasus kejahatan
narkotika dalam kurun waktu satu dasa warsa ini bukan hanya melibatkan kalangan
generasi muda, tetapi telah menembah dan melibatkan kalangan generasi tua dalam
berbagai profesinya, seperti kalangan pengusaha, pegawai negeri, pimpinan/anggota
dewan perwakilan rakyat )daerah), dan juga oknum polisi maupun tentara nasional
Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Arief, Barda Nawawi (1994), Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan
Kejahatan dengan Pidana Penjara, Badan Penerbit Universitas Diponegoro,
Semarang.
Atmasasmita, Romli (1997), Tindak Pidana Narkotika Transnasional dalam
Sistem Hukum Pidana Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung.
Friedman, Lawrence M. (1984), American Law, W.W. Norton & Company, New
York.
Goode, Erich (1984), Deviant Behavior, Prentice-Hall Inc. New Jersey
Lipsky, Michael (1980), Street-Livel Bureacracy, Dilemmas of Individual in
Public Services, Russel Sage Foundation, New York.
Muladi dan Barda Nawawi Arief (1998), Teori dan Kebijakan Pidana, Alumni,
Bandung
Schur, Edwin M. (1965), Crimes Without Victims, Deviant Behavior and Public
Policy, Prentice-Hall Inc. New Jersey.
Soedarto (1981), Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung
Sutherland, Edwin H. dan Donald R. Cressey (1960), Principles of Criminology,
J.B. Lippincott Company, New York.
Taft, Donald R. dan Ralp W. England, Jr. (1964), Criminology, The Macmillan
Company, New York.
Download