Uploaded by RAFINANDA81

JURNAL

advertisement
i
I.
PENDAHULUAN
Suatu perkawinan dimana terdapat seorang suami yang memiliki lebih
dari seorang isteri (dalam Hukum Islam maksimal 4 orang) dalam waktu yang
besamaan disebut poligami. Perkawinan poligami dapat dilakukan sesuai
dengan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 4 Ayat (1) Undang-undang Nomor
1 Tahun 1974 tentang perkawinan:
“Dalam hal seorang suami akan beristri lebih dari seorang sebagaimana
tersebut dalam Pasal 3 Ayat (2) Undang-undang ini, maka ia akan wajib
mengajukan permohonan kepada Pengadilan di daerah tempat
tinggalnya.”
Dalam perkawinan poligami, tentunya mempunyai akibat hukum
tersendiri, yaitu terhadap harta yang diperoleh selama perkawinan terjadi. Dalam
hal putusnya perkawinan karena meninggal dunia bagi suami yang berpoligami
akibat hukumnya pembagian harta warisan yang terdapat dalam harta bersama
bagi laki-laki yang berpoligami tersebut.1
Apabila putusnya perkawinan disebabkan karena salah satu dari suami
atau isteri meninggal dunia, maka yang menjadi masalah dalam perkawinan
poligami adalah tentang pembagian harta bersama yang diperoleh selama
perkawinan berlangsung. Hal ini disebabkan masing-masing pihak merasa
berhak atas harta bersama tersebut tidak berbeda dengan putusnya perkawinan
karena perceraian harta bersama juga turut andil menjadi timbulnya sengketa
dalam putusnya perkawinan karena kematian, kematian adalah faktor kewarisan
1
hlm. 107.
Satria Effendi, Problematika Hukum: Kekeluargaan Kontenporer, Kencana, Jakarta, 2010,
ii
dalam Islam. 2 Masalah harta bersama dalam perkawinan poligami merupakan
masalah yang cukup pelik dan rumit dan dapat berakibat pada kerugian bagi
setiap istri, apabila tidak dilakukan pembukuan yang rapi dan akuntabel.
Pembagian harta
bersama
dalam perkawinan poligami senantiasa
merupakan suatu hal yang krusial, karena isteri atau isteri-isteri dan ahli waris
lain yang hidup terlama akan mempersoalkan mengenai pembagian harta
bersama yang ditinggalkan oleh si peninggal (pewaris), seperti yang terjadi
dalam kasus yang akan penulis teliti sebagaimana terdapat dalam Putusan
Pengadilan Tinggi Agama Mataram Nomor: 0095/PDT.G/2015/PTA. MTR.
Putusan Pengadilan Tinggi Agama Mataram Nomor: 0095/PDT.G/ 2015/PTA.
MTR., merupakan putusan tingkat banding atas Putusan Perkara Nomor:
0475/Pdt.G/2004/PA.Mtr., yang telah dikuatkan oleh Mahkamah Agung
Republik Indonesia dan telah berkekuatan hukum tetap (inkrah). Sehingga
rumusan masalah dari penelitian ini adalah bagaimanakah pengaturan pembagian
harta bersama dalam perkawinan poligami menurut Undang-Undang Perkawinan
dan Kompilasi Hukum Islam serta apa dasar dan pertimbangan hukum dalam
Putusan Nomor: 0475/Pdt.G/ 2014/PA.Mtr., Jo Putusan PerkaRa Nomor:
0095/Pdt.G/2015/PTA.MTR.,
tentang
pembagian
harta
bersama
dalam
perkawinan poligami. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui
pengaturan pembagian harta bersama dalam perkawinan poligami menurut
2
Yawirman, Hukum Keluarga, Karakteristik dan Prospek Doktrin Islam dan Adat Dalam
Masyarakat Matrilineal Minang Kabau, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2011, hlm. 219.
iii
Undang-Undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam dan untuk
menganalisis dan mengetahui dasar dan pertimbangan hukum dalam Putusan
Nomor: 0475/Pdt.G/2014/PA. Mtr., Jo Putusan Nomor: 0095/Pdt.G/2015/PTA.
MTR., tentang pembagian harta bersama dalam perkawinan poligami.
Selanjutnya manfaat dari penelitian ini adalah penelitian ini diharapkan dapat
memberikan sumbangan pemikiran bagi pengembangan Ilmu Hukum pada
umumnya dan Hukum Keluarga pada khususnya mengenai pembagian harta
bersama dalam perkawinan poligami serta dapat meningkatkan pengetahuan dan
pemahaman bagi masyarakat yang melakukan perkawinan poligami, dan
memberi kankontribusi atau masukan bagi pemerintah serta legislatif dalam
menyusun atau
merubah peraturan perrundang-undangan yang mengatur
keudukan dan pembagian harta bersama dalam perkawinan poligami.
Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan ini adalah penelitian
hukum normatif. Metode Pendekatan yang dipakai yaitu pendekatan undangundang (statute approach) dan pendekatan konseptual (conceptual approach).
Sumber dan jenis bahan hukum yaitu terdiri dari bahan hukum primer, sekunder,
dan tersier. Bahan hukum dikumpulkan dengan teknik studi dokumen. Kemudian
bahan hukum dianalisis dengan analisis kualitatif.
iv
II. PEMBAHASAN
1.
Pengaturan Pembagian Harta Bersama Dalam Perkawinan Poligami
Menurut Undang-Undang Perkawinan Dan Kompilasi Hukum Islam
Mengenai harta bersama menurut Undang-Undang Nomor 1 tentang
perkawinan di atur dalam Pasal 35 Ayat (1), 36 Ayat (1) dan Pasal 37.
Seperti diketahui di atas bahwa Pasal 35 Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan menyatakan bahwa harta benda yang diperoleh
selama perkawinan menjadi harta bersama. Harta bawaan dari masingmasing suami dan istri dan harta benda yang diperoleh masing-masing
sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah penguasaan masing-masing
sepanjang para pihak tidak menentukan lain, sedangkan Pasal 36 UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyatakan bahwa
mengenai harta bersama, suami atau istri dapat bertindak atas persetujuan
kedua belah pihak. Mengenai harta bawaan masing-masing, suami dan istri
mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai
harta bendanya.
Khusus ketentuan harta bersama dalam perkawinan poligami diatur
dalam Peraturan Peralihan, Pasal 65 Ayat (1) dan Ayat (2) Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974. Berdasarkan pada Pasal 65 ayat (1) Huruf b UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, maka dapat dikatakan
bahwa pembagian harta bersama akibat kematian dalam perkawinan
poligami menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
v
Perkawinan adalah kedudukan istri kedua, ketiga dan seterusnya dalam
perkawinan poligami akibat kematian tidak mempunyai hak atas harta
bersama dari perkawinan suami dengan istri yang pertama, istri ketiga dan
keempat tidak mempunyai hak atas harta bersama dari perkawinan suami
dengan istri pertama dan kedua, sedangkan istri ketiga tidak mempunyai hak
atas harta bersama dari perkawinan suami dengan istri pertama dan kedua.
Kemudian Pengaturan Harta Bersama Dalam Perkawinan Menurut
Kompilasi Hukum Islam atur dalam Pasal 85, 86 Ayat (1), dan Pasal 87 Ayat
(1), (2), akan tetapi dalam Pasal 94 KHI memberikan pengaturan yang
berbeda dengan ketentuan tersebut di atas, pasal ini menyatakan:
(1) Harta bersama dari perkawinan seorang suami yang mempunyai isteri
lebih dari seorang, masing-masing terpisah dan berdiri sendiri.
(2) Pemilikan harta bersama dari perkawinan seorang suami yang
mempunyai isteri lebih dari seorang sebagaimana tersebut pada ayat (1),
dihitung pada saat berlangsungnya akad perkawinan yang kedua, ketiga
dan seterusnya.
Selanjutnya pengaturan harta bersama dalam perkawinan poligami
secara
mendetail
diatur
dalam
Pedoman
Pelaksanaan
Tugas
dan
Administrasi Peradilan Agama,3 menurut buku ini pengaturan harta bersama
sebagaimana yang dimuat pada Pasal 94 Kompilasi Hukum Islam, akan
menimbulkan ketidakadilan, karena dalam keadaan atau kasus tertentu dapat
merugikan isteri yang dinikahi lebih dahulu.
3
Keputusan Mahkamah Agung RI Nomor 032/SK/IV/2006 tanggal 04 April 2006 Tentang
Pedoman Pelaksaan Tugas Dan Administrasi Peradilan Agama, Buku II Edisi Revisi tahun 2010
halaman.140.
vi
Dari ketentuan teknis dalam Keputusan Mahkamah Agung RI Nomor
032/SK/IV/2006 tanggal 04 April 2006 Tentang Pedoman Pelaksaan Tugas
Dan Administrasi Peradilan Agama di atas pada prinsipnya sudah mengatur
secara kongkret ketentuan dalam Pasal 65 Ayat (1) huruf b dan c Undangundang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan dan Pasal 94 Kompilasi
Hukum Islam dimana isteri yang kedua dan seterusnya tidak mempunyai
hak atas harta bersama yang telah ada sebelum perkawinan dengan isteri
kedua atau berikutnya itu terjadi. Artinya dalam hal harta bersama yang
diperoleh sejak perkawinan antara suami dan isteri pertama merupakan hak
secara mutlak yang dimiliki dari pasangan suami isteri tersebut. Sedangkan
isteri kedua, ketiga, dan keempat tidak mempunyai hak dari harta bersama
tersebut. Dan pada pedoman teknis tersebut sudah mengatur secara tegas
seorang suami yang mempunyai isteri lebih dari seorang, masing-masing
terpisah dan berdiri sendiri yang terdapat dalam Pasal 94 Kompilasi Hukum
Islam dengan pengaturan secara rinci harta bersama tersebut karena dalam
pasal tersebut pada keadaan tertentu dapat merugikan isteri yang pertama
sehigga dirasa menimbulkan ketidakadilan, maka dalam pedoman pelaksaan
tugas dan administrasi peradilan agama mengatur secara konkret kedudukan
dan pembagian harta bersama tersebut.
Dapat dikatakan bahwa KHI memberikan pengaturan yang kurang
lebih serupa dengan pengaturan yang terdapat dalam Undang-Undang
Perkawinan mengenai harta benda dalam perkawinan.
vii
Berdasarkan pasal 86 Ayat (1) dan (2) KHI ini dapat pula ditafsirkan
adanya pengaturan yang memisahkan hak kepemilikan pada harta benda
dalam perkawinan sebagaimana yang ditetapkan oleh kaidah-kaidah Hukum
Islam. Penafsiran pertama: terdapat ketentuan yang mengatur adanya harta
bersama (Pasal 85 KHI). Dengan demikian adanya harta bersama ini
menimbulkan konsekuensi terjadinya percampuran harta kekayaan suami
dan istri selama perkawinan berlangsung menjadi hak kepemilikan kolektif
si suami dan si istri baik dalam hal penghasilan masing-masing menjadi
harta bersama.4 Penafsiran kedua: terdapat ketentuan yang mengatur bahwa
tidak ada penggabungan harta dalam perkawinan, melainkan tetap terjadi
pemisahan harta benda. Hal ini dapat dilihat dari pernyataan pasal 86 Ayat
(1) KHI: “Pada dasarnya tidak ada percampuran antara harta suami dan harta
istri karena perkawinan”. Dan pernyataan pasal 86 Ayat (2) KHI: “Harta istri
tetap menjadi hak istri dan dikuasai penuh olehnya, demikian juga harta
suami tetap menjadi hak suami dan dikuasai penuh olehnya”. Ayat (1) Pasal
86 KHI secara tegas memberikan dasar hukum untuk meniadakan harta
bersama sehingga secara otomatis meniadakan pula hak kepemilikan secara
kolektif suami dan istri dan Ayat (2) Pasal 86 juga secara tegas menguatkan
di Ayat 1 dengan memberikan dasar hukum bagi suami dan istri untuk tetap
mempunyai hak kepemilikan secara pribadi secara penuh. Dengan sendirinya
4
Harahap, M. Yahya, Kedudukan, Kewenangan Di Acara Peradilan Agama, Cet-Ke 3,
Pustaka Kartini, Jakarta, 2013.
viii
berdasarkan Pasal 86 ini, ketentuan Hukum Islam yang tidak mengatur
adanya harta bersama dan pada dasarnya memisahkan hak kepemilikan
secara pribadi antar suami dan istri, berlaku sepenuhnya. Pasal 87 KHI:
1) Ayat 1: harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta yang
diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah dibawah
penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain
dalam perjanjian perkawinan. 2) Ayat (2): suami dan istri mempunyai hak
sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum atas harta masing-masing
berupa hibah, hadiah, sadaqah atau lainnya.5
Jenis-jenis harta bersama (Pasal 91 KHI) sebagai berikut: 1) Harta
bersama sebagaimana tersebut dalam Pasal 85 diatas dapat berupa benda
berwujud atau tidak berwujud; 2) Harta bersama yang berwujud dapat
meliputi benda tidak bergerak, benda bergerak dan surat-surat berharga;
3) Harta bersama yang tidak berwujud dapat berupa hak maupun kewajiban;
dan 4) Harta bersama dapat dijadikan sebagai barang jaminan oleh salah satu
pihak atau persetujuan pihak lainnya.6
5
6
Lubis Haris, Hukum Perkawinan Nasional, Citra Aditya Bakti, Jakarta, 2010. hlm.50.
Ibid. hlm.58
ix
2. Dasar dan Pertimbangan Hukum Dalam Putusan Nomor: 0475/Pdt.G/
2014/PA.Mtr., Jo Putusan Perkara Nomor: 0095/Pdt.G/2015/PTA.MTR.,
Tentang Pembagian Harta Bersama Dalam Perkawinan Poligami
Dasar dan Pertimbangan Hakim Menetapkan Harta Bersama Dalam
Poligami Dalam Perkara Nomor 0475/Pdt.G/2014/PA.Mtr., Jo Putusan
Perkara Nomor: 0095/Pdt.G/2015/PTA.MTR., adalah sebagai berikut : a.
Adanya alasan yang dibenarkan oleh undang-undang. Bahwa Istri (Pemohon)
mengajukan permohonan harta bersama dengan alasan isteri (Termohon) saat
ini, terhadap obyek waris tersebut tidak pernah dilakukan pembagian waris,
akan tetapi obyek waris tersebut dikuasai dan dikelola secara sepihak oleh
Para Tergugat tanpa memperdulikan hak-hak Para Penggugat, bahkan pada
tahun 2013 tanpa sepengetahuan dan persetujuan Para Penggugat tanah obyek
sengketa 4.5 oleh Para Tergugat telah dijual kepada Turut Tergugat. Untuk itu
mohon kepada Ketua Pengadilan Agama Mataram berkenan menetapkan
bagian waris masing-masing ahli waris tersebut diatas menurut hukum,serta
menghukum/memerintahkan Para Tergugat dan Turut Tergugat untuk
menyerahkan tanah obyek sengketa kepada Para Penggugat sesuai dengan
bagiannya masing-masing. b. Pasal 4 Ayat (2) huruf a, Pasal 5 Ayat (1) huruf
a Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan jo Pasal 58 huruf
a Kompilasi Hukum Islam. c. Bahwa para Penggugat khawatir para Tergugat
dan Turut Tergugat akan menjual, atau memindahtangankan obyek waris
kepada
pihak
ketiga,
maka
untuk
itu
mohon
diletakkan
Sita
x
Jaminan(Conservatoir Beslag). d. Bahwa gugatan ini didasarkan pada buktibukti yang kuat, sehingga putusannya dapat dijalankan serta-merta meskipun
Para Tergugat dan Turut Tergugat melakukan upaya hukum dalam bentuk
apapun. e. Adanya permohonan penetapan harta bersama. Hal ini telah sesuai
dengan ketentuan yang dimaksud dalam buku II dan majelis hakim telah
menetapkan harta bersama antara pemohon dan termohon sebagai berikut:
Putusan Majelis hakim dalam perkara tersebut menetapkan harta
bersama berada pada Pemohon dan Termohon. Hal ini menurut penyusun
telah sesuai dengan ketentuan Pasal 94 Ayat (1) Kompilasi Hukum Islam
yaitu harta bersama dari perkawinan seorang suami yang mempunyai isteri
lebih dari seorang, masing-masing terpisah dan berdiri sendiri dan Majelis
hakim telah pula menerapkan tujuan hukum tersebut diatas dengan prioritas
mengedepankan kepastian hukum, kemudian keadilan dan kemanfaatan.
Setelah menerima putusan Pengadilan Agama Mataram tersebut para
Tergugat tidak puas, kemudian mereka mengajukan banding ke Pengadilan
Tinggi Agama Mataram melalui surat tanggal 26 Agustus 2015 Masehi.
Pengadilan Tinggi Agama Mataram melalui putusannya Nomor 22/Pdt.G/
2015/PTA.Mtr tanggal 2 September 2015 Masehi memutuskan menerima
permohonan banding Para Pembanding.
Bahwa
berdasarkan
pertimbangan-pertimbangan,
maka
putusan
Pengadilan Agama Mataram Nomor 0475/Pdt.G/2014/PA.Mtr., tanggal 20
Agustus 2015 Masehi, bertepatan dengan tanggal 05 Dzulqoidah 1436 Hijriah
xi
mengenai gugatan rekovensi tersebut patut dikuatkan dengan perbaikan
amarnya sebagaimana disebutkan di bawah ini.
Menimbang, bahwa Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Agama
Mataram berpendapat, bahwa harta benda yang diperoleh selama perkawinan
menjadi harta bersama (vide : Pasal 35 Ayat (1) Undang-undang Nomor 1
Tahun 1974, sedangkan harta-harta sebagaimana tersebut pada angka 1, 2,3,4
dan 5 di atas diperoleh H. Sarafudin ketika masih terikat perkawinan yang
sah dengan 2 orang isterinya yaitu Hj. Nurjanah dan Sapiah alias
Hj. Nurhasanah sampai yang bersangkutan (H. Sarafudin) meninggal dunia
pada tahun 2012.
Menimbang, bahwa obyek sengketa tersebut di atas diperoleh/dibeli
sesudah H. Sarafudin menikah dengan Sapiah alias Hj. Nurhasanah dan
H. Sarafudin masih terikat perkawinan yang sah dengan isteri pertama
(Hj. Nurjanah), namun objek sengketa tersebut di atas oleh Majelis Hakim
Pengadilan Agama Mataram dengan berpedoman pada Pasal 94 Kompilasi
Hukum Islam hanya menisbatkan sebagai harta bersama H. Sarafudin dan
Hj. Nurjanah, hal demikian merugikan isteri yang dinikahi lebih
dulu/isteri pertama, oleh karena itu ketentuan pasal 94 Kompelasi Hukum
Islam tersebut menurut Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Agama Mataram
harus ditafsirkan sebagaimana ketentuan Buku II (Pedoman Pelaksanaan
Tugas dan Administrasi Peradilan Agama) halaman 146 yang diambil alih
sebagai pendapat Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Agama Mataram yang
xii
menyebutkan bahwa harta yang diperoleh suami selama dalam ikatan
perkawinan dengan isteri pertama, merupakan harta bersama milik suami dan
isteri pertama, sedangkan harta yang diperoleh suami selama dalam ikatan
perkawinan dengan isteri kedua dan selama itu pula suami masih terikat
perkawinan dengan isteri pertama, maka harta tersebut merupakan harta
bersama milik suami, isteri pertama dan isteri ketiga (H. Sarafudin,
Hj. Nurjanah dan Sapiah alias Hj. Nurhasanah).
Menimbang, bahwa oleh karena isteri pertama H. Sarafudin
(Hj. Nurjanah) hanya sebagai ibu rumah tangga, sedang isteri ketiga bersama
suami sebagai pedagang beras dan biji-bijian yang sukses dan dari hasil/
keuntungan berdagang tersebut mampu membeli objek sengketa (harta
bersama) maka dipandang adil patut bagi Hj.Nurjanah mempunyai hak/bagian
dari obyek sengketa tersebut di atas, meskipun bagian yang menjadi hak
Hj. Nurjanah tidak sebesar yang diterima oleh H. Sarafudin (suami) maupun
yang diterima isteri ketiga (Sapiah alias Hj. Nurhasanah), oleh karena itu
dipandang adil dan patut sesuai dengan peran/andil masing-masing dalam
memperoleh objek sengketa/harta bersama tersebut, yaitu Hj. Nurhasanah
(isteri ketiga) memperoleh bagian sebesar 2/5 bagian atau 40 % dari harta
bersama, H. Sarafudin (suami) memperoleh bagian sebesar 2/5 bagian atau 40
% dari harta bersama dan Hj. Nurjanah (isteri pertama) memperoleh bagian
sebesar 1/5 bagian atau 20 % dari harta bersama.
xiii
III. PENUTUP
1. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan yang telah dikemukakan secara sistematis,
maka dapat diambil kesimpulan bahwa kedudukan harta bersama dalam
perkawinan poligami menurut Undang-Undang Perkawinan yaitu harta benda
yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama. Harta bawaan dari
masing-masing suami dan istri dan harta benda yang diperoleh masing-masing
sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah penguasaan masing-masing
sepanjang para pihak tidak menentukan lain, dan menyatakan bahwa
mengenai harta bersama, suami atau istri dapat bertindak atas persetujuan
kedua belah pihak. Mengenai harta bawaan masing-masing, suami dan istri
mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai
harta bendanya. Sedangkan kedudukan harta bersama dalam perkawinan
poligami menurut Kompilasi Hukum Islam yaitu harta bersama dalam
perkawinan poligami tetap ada, tetapi dipisahkan antara milik istri pertama,
kedua, dan seterusnya. Sehingga ditentukan Pemilikan harta bersama dari
perkawinan seorang suami yang mempunyai istri lebih dari seorang, dihitung
pada saat berlangsungnya akad perkawinan yang kedua, ketiga, atau yang
keempat. Sehingga dalam pembagiannya dipenuhi rasa keadilan. Mengenai
Yang menjadi pertimbangan Hakim dalam memutus perkara Nomor Kasus
xiv
Posisi Putusan Nomor 0475/Pdt.G/2014/PA.Mtr., Jo Putusan Nomor
0095/Pdt.G/2015/PTA.Mtr., adalah Pasal 35 Ayat (1) Undang-Undang
Perkawinan dan Pasal 96 Ayat (1) Kompilasi Hukum Islam Indonesia yang
telah menjadi hukum terapan yang berlaku bagi peradilan agama di Indonesia.
Pasal 35 ayat (1) Undang-undang Perkawinan menentukan bahwa harta benda
yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama. Sedangkan Pasal
96 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam menentukan apabila cerai mati maka
separuh harta adalah hak pasangan hidup yang lebih lama.
2. Saran
Saran dalam penelitian ini adalah agar menghindari terjadinya
sengketa harta dalam perkawinan, khususnya pada perkawinan poligami
disarankan akta nikah pasangan suami istri disertai dengan ketentuan harta
bersama dalam perjanjian perkawinan. Dan juga hendaknya dalam memutus
perkara tentang pembagian warisan, khususnya dalam perkawinan poligami
sebaiknya sesuai dengan Kompilasi Hukum Islam sebagai hukum terapan
yang dipakai dalam Peradilan Agama, yakni dengan membagi terlebih dulu
harta bersama dalam perkawinan dan membagi harta warisan sesuai dengan
porsi yang telah ditetapkan. Disarankan kepada Majelis Hakim dalam
memutuskan perkara, disamping menjadikan Kompilasi Hukum Islam
Indonesia sebagai dasar pertimbangan juga harus menjadikan hukum yang
xv
hidup ditengah-tengah masyarakat sebagai dasar pertimbangan putusan
hakim.
Download