Uploaded by zumrotulmasruroh09

BAB I VAP

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ventilator associated pneumonia (VAP) adalah pneumonia yang
berkembang 48 jam atau lebih. VAP diakibatkan kontaminasi oral oleh
mikroorganisme pada penderitanya. Menurut Fartoukh (2003) VAP merupakan
infeksi nosokomial akibat pemasangan ventilator yang paling sering terjadi di
(Intensive Care Unit) ICU yang sampai sekarang masih menjadi masalah
perawatan kesehatan di rumah sakit seluruh dunia. Menurut Tietjen (2004) juga
menyatakan bahwa pneumonia nosokomial menjadi penyebab kematian tertinggi
mencapai 30% angka mortalitasnya. Sedangkan Kollef, (2005) mengungkapkan
pasien dengan terpasang ventilator mekanik mempunyai risiko 6-21 kali lebih
tinggi untuk terjadi pneumonia nosokomial dari pada pasien yang tidak terpasang
ventilator.
VAP memberikan komplikasi sekitar 8-28% pasien yang menggunakan
ventilasi mekanik (MV). Berbeda dengan infeksi organ lain (misalnya pada
saluran kemih dan kulit), yang memiliki angka kematian yang rendah, berkisar
antara 1-4%, tingkat kematian untuk VAP sekitar 24-50% dan mencapai 76%
dalam beberapa keadaan tertentu atau ketika infeksi paru yang disebabkan oleh
patogen yang memiliki risiko tinggi.
Faktor risiko yang mempengaruhi VAP seperti usia diatas 60 tahun karena
pasien dengan usia di atas 60 tahun memiliki resiko yang lebih besar untuk
menderita pneumonia pada penggunaan ventilator mekanik di ICU, sedangkan
pasien dewasa dengan ventilator mekanik mudah terjangkit pneumonia. Hal ini
terjadi karena pada pasien yang usia lanjut lebih dari 60 tahun terjadi penurunan
fungsi imun tubuh sehingga lebih beresiko dan rentan untuk terserang penyakit.
Jenis kelamin karena, Kadar albumin kurang atau sama 2,2 g/dl trauma karena
pasien kadar albumin yang rendah atau kurang dari 2,2 mg/dl dapat
memperpanjang hari rawatan pasien terpasang ventilator karena hipoalbumin
dapat menyebabkan oedema terutama oedema pada paru, pada pasien yang
oedema paru memerlukan ventilasi mekanik. Pasien yang kadar albumin kurang
pemberian obat-obatan yang diberikan tidak maksimal. Pasien pasca pembedahan
memiliki resiko lebih tinggi terkena VAP. Penelitian Cunnion pada pasien dewasa
di ICU menunjukkan bahwa pasien pasca pembedahan di ICU lebih banyak
terkena VAP dari pada pasien non bedah. VAP pada pasien pasca bedah dikaitkan
dengan beberapa kondisi seperti penyakit yang mendasari, kadar albumin
preoperatif yang rendah, riwayat merokok, lamanya perawatan preoperatif dan
prosedur operasi yang lama. Tidak semua pasien pasca operasi dengan ventilator
mekanik di ICU memiliki resiko yang sama untuk terkena VAP karena hal ini di
pengaruhi oleh lokasi dan indikasi operasi. Pasien yang mengalami operasi
kardiothoraks dan operasi trauma (biasanya kepala) memiliki resiko lebih besar
terkena VAP dibandingkan operasi pada lokasi tubuh lainnya (Fink, 2005).
Pemakaian sedasi dalam jangka waktu yang lama akan menambah lama rawatan
pasien terpasang ventilator karena dengan pemakaian sedasi akan mengurangi
usaha pasien untuk bernafas dan pasien akan ketergantungan terhadap ventilasi
mekanik. Pemakaian sedasi yang lama pada pasien juga akan mengganggu
mobilisasi pasien. Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) dan lama pemakaian
ventilator telah banyak diteliti.
Pada pasien yang diberikan bantuan nafas ventilator lebih mudah
mengalami infeksi nosokomial karena kondisi kesehatan dan daya tahan tubuh
yang menurun akibat penyakit yang dialami. Pemasangan selang endotrakeal
menjadikan kolonisasi pathogen dapat berkembang biak dalam rongga mulut dan
orofaring,
seperti
Staphylococcus
aureus,
Streptococcus
pneumoniae,
pseudomonas atau acinetobacter atau gram negatif. Mikroorganisme ini pada
rongga mulut akan dapat berpindah dan membentuk koloni patogen di paru. Hal
ini dapat terjadi karena koloni patogen pada orofaringeal dan mikroorganisme
yang ada pada sekret di sirkuit endotrakheal tube (ETT) akan teraspirasi pada
pernafasan klien sehingga mengakibatkan pneumonia selama pemasangan
ventilator. Selain itu pasien dengan terpasang selang endotrakeal akan berakibat
rusaknya reflek batuk, melambatnya pergerakan mucociliary escalator dan
meningkatnya sekresi mukosa. Penggunaan alat bantu pernafasan berupa
ventilator mekanik yang terlalu lama akan berdampak pada peningkatan
pertumbuhan kuman, disamping paru-paru yang membutuhkan oksigen. Kuman
yang tumbuh ini dapat mengganggu masuknya oksigen dan hal ini membutuhkan
perawatan yang lebih lama.
Pencegahan VAP dapat dilakukan dengan2 cara, yaitu secara non
farmakologi dan memakai farmakologi. Cara non farmakologi merupakan cara
rutin dan baku dilakukan di UPI meliputi kebiasaan cuci tangan sebelum dan
sesudah kontak dengan pasien, intubasi per oral, posisi kepala lebih tinggi 30 –
45°, dan menghindari volume lambung yang besar. Pencegahan non farmakologi
ini belum mampu menurunkan insiden VAP, maka kemudian ditambahkan
dengan pencegahan secara farmakologi yang lebih efektif.
Pencegahan secara farmakologi dilakukan dengan cara dekontaminasi
selektif menggunakan antibiotikpada saluran cerna (selective decontamination of
the digestive tract/ SDD) dan dekontaminasi orofaring (oropharyngeal
decontamination/OD) menggunakan antiseptik. Secara empirik terbukti bahwa
SDD cukup efektif dalam pencegahan VAP, namun karena pemakaian antibiotika
dapat meningkatkan risiko terjadinya resistensi kuman maka SDD tidak
dianjurkan secara rutin, sehingga penggunaan zat anti septik menjadi alternative
pilihan. Beberapa jenis antiseptik telah dipakai namun angka VAP masih tetap
tinggi, sampai akhirnya DeRiso menyatakan dalam penelitiannya bahwa
chlorhexidine yang digunakan dalam dekontaminasi orofaring dapat menurunkan
kejadian infeksi nosokomial saluran napas di UPI sampai dengan 69%. Kemudian
diikuti oleh Fourrier yang menyatakan bahwa chlorhexidine dapat menurunkan
kolonisasi kuman penyebab VAP sebesar 53%. Dengan menurunnya kolonisasi
kuman di orofaring, diharapkan bahwa insiden VAP juga menurun, hal ini
dibuktikan dalam penelitian yang dilakukan oleh Tantipong dan Chan (Fourrier,
2005).
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penulisan
Download