Uploaded by Muhammad AL Qarni

DuchenneMuscularDystrophy

advertisement
Laporan Kasus
Duchenne Muscular Dystrophy
Sigit Wedhanto, Ucok Paruhum Siregar
Divisi Orthopaedi & Traumatologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/
Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta
Abstrak: Duchenne muscular dystrophy adalah penyakit X-linked otot yang bersifat progresif
akibat tidak terbentuknya protein distropin. Penyakit ini mengenai anak laki-laki dan proses
distrofi otot sudah dimulai sejak lahir, munculnya kelemahan berjalan pada awal dekade kedua,
dan biasanya akan meninggal pada usia 20 tahun. Diagnosis pasti dari penyakit ini dapat
dilakukan melalui pemeriksaan analisis DNA atau pemeriksaan distrofin. Tindakan pembedahan
dan rehabilitasi, dapat membantu pasien untuk mampu lebih lama berjalan dan duduk.
Kata kunci: Duchenne muscular dystrophy, X-linked, distrofin.
Duchenne Muscular Dystrophy
Sigit Wedhanto, Ucok Paruhum Siregar
Division of Orthopaedic and Traumatology Faculty of Medicine, University of Indonesia/
Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta
Abstract: Duchenne muscular dystrophy is a progressive X-linked muscle disease that caused by
the absence of dystrophin protein. This disease affects male and starting early in life. THe patients
will cease walking at the beginning of the second decade, and usually die at the age of 20. The
diagnosis is established by DNA or dystrophin analysis. Surgery and rehabilitation will prolong
ambulation and sitting as long as possible.
Keywords: Duchenne muscular dystrophy, X-linked, dystrophin
312
Maj Kedokt Indon, Volum: 57, Nomor: 9, September 2007
Duchenne Muscular Dystrophy
Pendahuluan
Duchenne muscular dystrophy (DMD) merupakan
penyakit distrofi muskular progresif, bersifat herediter, dan
mengenai anak laki-laki. Insidensi penyakit itu relatif jarang,
hanya sebesar satu dari 3500 kelahiran bayi laki-laki.1
Penyakit tersebut diturunkan melalui X-linked resesif, dan
hanya mengenai pria, sedangkan perempuan hanya sebagai
karier. Pada DMD terdapat kelainan genetik yang terletak
pada kromosom X, lokus Xp21.22-4 yang bertanggung jawab
terhadap pembentukan protein distrofin. Perubahan patologi
pada otot yang mengalami distrofi terjadi secara primer dan
bukan disebabkan oleh penyakit sekunder akibat kelainan
sistem saraf pusat atau saraf perifer.1
Distrofin merupakan protein yang sangat panjang
dengan berat molekul 427 kDa2,4,dan terdiri dari 3685 asam
amino.2 Penyebab utama proses degeneratif pada DMD kebanyakan akibat delesi pada segmen gen yang bertanggung
jawab terhadap pembentukan protein distrofin pada membran
sel otot, sehingga menyebabkan ketiadaan protein tersebut
dalam jaringan otot. 2
Erb2,5 pada tahun 1884 untuk pertama kali memakai
istilah dystrophia muscularis progressiva. Pada tahun
1855, Duchenne2,5 memberikan deskripsi lebih lengkap
mengenai atrofi muskular progresif pada anak-anak. Becker 2
mendeskripsikan penyakit muscular dystrophy yang dapat
diturunkan secara autosomal resesif, autosomal dominant
atau X-linked resesif.2,6 Hoffman et al2,5 menjelaskan bahwa
kelainan protein distrofin merupakan penyebab utama DMD
dan Becker Muscular Dystrophy (BMD).2,7
Laporan Kasus
Seorang anak laki-laki berusia 13 tahun, datang ke Divisi
Orthopedi dan Traumatologi FKUI/RSCM, dengan keluhan
keempat anggota gerak bagian atas dan bagian bawah tidak
dapat digerakkan.
Riwayat Perjalanan Penyakit
Sejak 3 tahun yang lalu pasien merasa kedua tungkai
semakin bertambah lemah dan lambat untuk berjalan. Bila
berjalan jinjit dan sering terjatuh. Pasien mengeluh sulit untuk
berdiri karena kedua tungkai terasa lemah. Bagian bokong
dan paha lebih lemah daripada kaki dan berjalan harus
dituntun. Sejak dua tahun yang lalu, pasien hanya dapat
berbaring dan duduk di lantai, dan kedua lututnya sulit untuk
diluruskan. Pasien perlu dibantu bila akan ke kamar mandi.
Sejak satu tahun yang lalu, kedua bahu dan lengan atas
mulai lemah. Lengan atas terasa lebih lemah dibandingkan
dengan lengan bawah. Sejak delapan bulan yang lalu kedua
siku mulai terasa lemah untuk digerakkan. Kedua tangan saat
itu masih mampu memegang gelas dan jika bangun harus
dibantu. Sejak enam bulan yang lalu punggung mulai bengkok, dan mengesot bila akan berpindah tempat. Sebelumnya
pasien tidak mengalami demam, kecelakaan dan minum obatobatan. Buang air besar dan buang air kecil normal.
Maj Kedokt Indon, Volum: 57, Nomor: 9, September 2007
Riwayat Keluarga
Pasien adalah anak ke empat dari lima bersaudara.
Keempat saudaranya perempuan dan sehat. Tidak didapatkan
riwayat penyakit yang sama pada jalur keturunan dari kedua
orang tua (Gambar 1).
Gambar 1. Silsilah Keluarga Pasien
Riwayat Tumbuh Kembang
Pasien lahir spontan, aterm, dan langsung menangis.
Pasien mulai tengkurap umur empat bulan, duduk usia tujuh
bulan, dan tidak disertai merangkak terlebih dahulu, pasien
langsung berjalan pada usia 18 bulan, berlari pada usia dua
tahun, namun sering berhenti. Pada usia sekitar lima tahun
kedua betis membesar, tampak kekar, dan teraba keras. Bila
pasien ingin berdiri dari posisi duduk atau bangun tidur terasa
berat, dan mengalami kesulitan untuk langsung berdiri,
sehingga selalu mengambil posisi merangkak terlebih dahulu.
Setelah itu kedua pantat diangkat tinggi-tinggi dalam waktu
agak lama dan dilanjutkan dengan kedua tangan memegang
lutut seperti harus memanjat tungkainya sendiri. Saat berdiri
posisi kedua tungkai melebar dan disertai dada yang
membusung.
Pada usia tujuh tahun bila berjalan jinjit, pasien tidak
mampu mengangkat paha, serta tidak mampu untuk melompat.
Pasien mudah terjatuh, bila berlari lambat, dan sering berhenti
karena mudah lelah. Sampai usia 10 tahun, pasien masih
mampu bermain bola dan layang-layang. Status mental dan
komunikasi baik.
Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum baik,
tanda vital dalam batas normal dengan gizi cukup. Pada
ekstremitas atas tampak atrofi otot bahu kanan dan kiri,
kontraktur fleksi pada siku lengan kanan dan kiri, sensibilitas
normal, refleks tendon biseps dan triseps kanan dan kiri
negatif, dan kekuatan otot motorik kanan dan kiri 4/3/2/1.
Pada ekstremitas bawah tampak atrofi otot panggul kanan
dan kiri, kontraktur fleksi lutut kanan dan kiri, ekuinovarus
regio pedis kanan, sensibilitas normal, dan kekuatan otot
motorik kanan dan kiri 4/4/3/2 (Gambar 2).
313
Duchenne Muscular Dystrophy
Gambar 2. Foto Klinis Pasien
Pemeriksaan radiologi menunjukkan kifoskoliosis
thorakolumbal, dengan kesan penyempitan celah sendi genu
bilateral, serta disuse osteoporotic pedis dan kruris bilateral
(Gambar 3).
Pemeriksaan laboratorium darah tepi tidak terdapat
kelainan. Pemeriksaan kimia darah menunjukkan kadar serum kreatinin fosfokinase (CPK) sebesar 3993 µ/L (N: 0-190)
dan aldolase sebesar 15 µ/L (N:<8).
Pemeriksaan histopatologis otot (muscle belly) vastus
lateralis, menunjukkan distrofinopati, sesuai dengan
duchenne muscular dystrophy (Gambar 4). Biopsi juga dapat
diambil dari otot rectus femoris, deltoid, gastrocnimeus dan
biceps brachii.3
Gambar 4. Gambaran Histopatologi Menunjukkan Gambaran Otot dengan Variasi Serabut yang Besar,
Tampak Degenerasi Otot, Serta Internal Nuclei
Bertambah. Jaringan Ikat Perimisium dan Endomisium Meningkat.
Gambar 3. Radiologi Tulang Belakang Memperlihatkan
Skoliosis Torakolumbal
314
Hasil pemeriksaan EMG memberi kesan bahwa kecepatan
hantar saraf dalam batas normal. EMG jarum memperlihatkan
fibrilasi (+), polifasik (+), dengan amplitudo kecil dan
gelombang F normal. Hasil pemeriksaan EMG tersebut sesuai
dengan miopati.
Analisis DNA darah menggunakan metode Polymerase
Chain Reaction (PCR) yang dilakukan menurut cara Chamberlain, Beggs dan Kunkell.8 Dari ketiga cara tersebut di
atas, cara Chamberlain adalah cara yang berhasil menun-
Maj Kedokt Indon, Volum: 57, Nomor: 9, September 2007
Duchenne Muscular Dystrophy
jukkan delesi pada ekson 45 gen distrofin, sedangkan kedua
cara lain tidak dapat mendeteksi delesi (Gambar 5)
1
2
M
Gambar 5. 1. Darah Orang Normal, 2. Darah Pasien: Tampak Delesi Ekson 45 pada Gen Distropin (tanda
panah), 3. Marker
Diskusi
Pada kasus ini, didapatkan riwayat bahwa pasien mulai
berdiri dan berjalan secara bersamaan, yaitu saat mencapai
usia 18 bulan. Hal itu umum terjadi pada pasien DMD. Saat
usia lima tahun terjadi pseudohypertrophy pada kedua betis
serta muncul Gowers’ sign pada saat pasien berusaha untuk
berdiri. Pseudohypertrophy disebabkan akumulasi lemak
dalam jaringan otot-otot skeletal yang mengalami degenerasi.3,5 Gowers’ sign adalah suatu gerakan tubuh saat
pasien berusaha berdiri akibat proses degenerasi otot skeletal yang berjalan secara progresif sehinga menyebabkan
kelemahan otot. Pasien memulai untuk berdiri dengan cara
kedua lengan dan kedua lutut menyangga badan (prone
position), kemudian kedua lutut diluruskan (bear position),
selanjutnya tubuh ditegakkan dengan bantuan kedua lengan
yang berpegangan pada ke dua lutut dan paha untuk
kemudian berdiri tegak (upright position).2,3
Pada usia 10 tahun, pasien mulai mengalami kesulitan
untuk berjalan karena terjadi proses kelemahan dan
degenerasi otot skeletal yang terus berlangsung dengan
cepat. Pada mulanya muncul deformitas equinus pada ankle
yang diikuti dengan kontraktur fleksi pada kedua panggul,
lutut, dan siku lengan yang berjalan progresif. Pada usia
sekitar 12 tahun, pasien sudah tidak dapat berjalan sehingga
memerlukan alat ortotik dan kursi roda. Lemahnya otot-otot
tubuh dan otot perut menyebabkan tulang belakang kolaps
dan timbul skoliosis yang progresif akibat gaya gravitasi.
Selain itu, kolaps tulang belakang juga mengakibatkan
Maj Kedokt Indon, Volum: 57, Nomor: 9, September 2007
thoracolumbal kyphosis. 1,2 Pada usia 16 tahun, pasien
kehilangan kemampuan untuk duduk dan hanya berbaring di
tempat tidur. Pasien hanya mampu melakukan gerakan fleksi
dan ekstensi pada jari-jari tangan dan jempol kaki. Pada usia
sekitar 19 sampai 20 tahun pasien meninggal karena kegagalan
bernafas, serta paru kolaps dan mengalami infeksi.1,2
Refleks tendon lutut pada pasien dengan DMD akan
berkurang dan menghilang akibat progresivitas kontraktur
otot, sehingga sendi pada alat gerak menjadi kaku dan sulit
digerakkan. Pada kelainan neuropati, tidak terdapat refleks
tendon profunda sejak awal.3
Distrofin bersama dengan beberapa protein lain yaitu
dystrophin associated protein (DAPs), yang meliputi
sarcoglycan, dystroglycan, dan syntrophin4 memberikan
stabilitas terhadap membran sel otot secara fisik dan
fisiologis. Akibat ketiadaan distropin pada pasien DMD,
terjadi gangguan permeabilitas membran sel otot
(sarkolemma), sehingga terjadi kebocoran enzim kreatinin
fosfokinase (CPK) yang menyebabkan kadar CPK dalam serum menjadi sangat tinggi.1,2 Ketiadaan distrofin akan
bermanifestasi pada masalah fisiologis otot berupa kesulitan
gerak secara progresif akibat adanya fragilitas membran
miofibril, sehingga terjadi siklus degenerasi dan regenerasi
kronis yang disertai hilangnya potensi regenerasi.2,9 Pada
pasien ini terjadi peningkatan enzim serum CPK yang sangat
tinggi (3993 µ/L) dan aldolase (15 µ/L). Pada penyakit otot
lurik, peningkatan kadar CPK bersifat lebih sensitif
dibandingkan dengan peningkatan kadar aldolase, karena
peningkatan kadar aldolase juga terjadi pada disfungsi hepar.3
Pemeriksaan histopatologi otot vastus lateralis pada
pasien tersebut menunjukkan gambaran otot dengan variasi
serabut yang besar, degenerasi otot, internal nuclei bertambah dan jaringan ikat perimisium dan endomisium
meningkat. Pada pasien DMD terjadi proses degenerasi
serabut otot yang digantikan oleh jaringan fibrofatty akibat
ketiadaan distrofin.
Pemeriksaan elektromyografi (EMG) digunakan untuk
membedakan antara kelainan miopati dengan neuropati. Hasil
EMG sesuai dengan kelainan miopati, yaitu terlihat peningkatan frekuensi, penurunan amplitudo dan penurunan aksi
potensial motorik, sedangkan kecepatan hantar saraf adalah
normal.1,3,10 DMD merupakan suatu kelainan miopati, bukan
neuropati.
Pada silsilah keluarga tidak ditemukan anggota keluarga
lain yang menderita penyakit ini. Dari hasil analisis DNA
dengan metode PCR dari Chamberlain pada pasien ini,
ditemukan adanya delesi pada ekson 45 gen distrofin. Adanya
defek pada ekson 45 menyebabkan ekspresi tidak normal pada
produksi protein distrofin.11 Terjadinya mutasi gen pada
lengan pendek di kromosom X yang bertanggung jawab
terhadap penyandian distrofin akan menyebabkan penyakit
DMD dan BMD.4,11
Pemeriksaan distrofin secara immunohistokimia digunakan untuk membedakan DMD dengan BMD. Pada DMD,
315
Duchenne Muscular Dystrophy
tidak terdapat protein distrofin intraselular, sedangkan pada
BMD masih terdapat protein distrofin meskipun dalam jumlah
rendah atau kurang dari normal.1 Pada pasien ini tidak dapat
lagi dilakukan pemeriksaan distrofin karena sediaan jaringan
otot yang diambil untuk biopsi seluruhnya sudah mengalami
kerusakan/degenerasi.
Pada pasien DMD, biasanya didapatkan retardasi mental dengan derajat ringan yang bersifat non progresif.
Beberapa dari mereka memiliki skor IQ yang normal atau lebih dari normal.2,5 Pada pasien ini tidak didapatkan retardasi
mental.
Penatalaksanaan
Pemberian kortikosteroid, seperti prednisolon pada
pasien DMD dapat mempertahankan fungsi dan kekuatan
otot, serta memperlambat proses degenerasi penyakit.2,12
Mekanisme kortikosteroid dalam memperlambat proses
degenerasi otot masih belum jelas. Efek samping pemberian
kortikosteroid adalah peningkatan berat badan, retardasi
pertumbuhan, hirsutisme dan osteoporosis.2,12 Pada pasien
tersebut tidak diberikan kortikosteroid karena sudah terjadi
proses degenerasi otot-otot skeletal yang berat serta mempertimbangkan adanya efek samping pemakaian kortikosteroid.
Latihan fisik berupa fisioterapi dan pemakaian alat bantu
dapat diberikan. Untuk mencegah kontraktur plantar fleksi
yang berpengaruh pada keseimbangan dan cara berjalan,
dapat diberikan latihan stretching heel-cord dan pemakaian
ankle foot orthosis (AFO) pada waktu malam. Tetapi
pemakaian alat ortosis atau stretching tidak dapat mencegah
terjadinya kontraktur. Ketika kontraktur tendo achilles
bertambah berat dan mempengaruhi ambulasi, maka dapat
dilakukan lengthening tendon achilles.2
Pemakaian knee ankle foot orthosis (KAFO) digunakan
saat otot quadriceps mulai lemah yang disertai berkembangnya fleksi kontraktur lutut sehingga membantu pasien
untuk dapat berdiri dan berjalan. Alat tersebut dapat
digunakan pada pasien dengan knee flexion contracture
<30°. 1,2 Pada fleksi kontraktur lutut yang melebihi 30° sampai
40°, tindakan pembedahan tidak bermanfaat karena tidak akan
tercapai koreksi fungsional yang berarti.2 Masalah paling
penting di bidang ortopedi pada pasien dengan DMD adalah
terjadinya deformitas tulang belakang, yang biasanya mulai
timbul pada usia 11 sampai 13 tahun. Deformitas tersebut
akan menyebabkan restriksi fungsi paru yang makin lama
makin menurun, dan diperburuk dengan kelemahan otot yang
progresif. Pada 90%-95% pasien dengan DMD yang
mengalami skoliosis, terapi terbaik adalah melakukan fusi
spinal dengan fiksasi internal secara dini. Bila kurvatur telah
mencapai sudut Cobb sebesar 20°-30° maka tindakan fusi
spinal1,2 harus segera dilakukan tanpa ditunda.2
Pada pasien DMD biasanya terdapat hipotonia saluran
cerna, yang menyebabkan pengosongan lambung menjadi
sulit sehingga memerlukan pemasangan nasogastric tube
316
untuk aspirasi cairan lambung.13
Dengan berjalannya waktu, maka proses degenerasi otot
skeletal terus berlangsung, sehingga pasien akan mengalami
masalah multisistem. Fungsi paru akan terus memburuk
setelah fusi spinal karena proses distrofi progresif otot
pernafasan, termasuk otot diafragma. Selain itu dapat terjadi
gangguan fungsi jantung.5 Dalam hal ini latihan respirasi tidak
memberikan keuntungan yang berarti. Bantuan ventilasi
dengan menggunakan nasal mask pada malam hari dengan
end-expiratory pressure akan membantu mencegah pneumonia dan dekompensasi pulmonal.14 Tanpa dukungan ventilator, pasien biasanya meninggal dalam usia 20 tahun.2
Kesimpulan
Duchenne muscular dystrophy merupakan penyakit
kelainan distrofik yang diwariskan secara X-linked dan hanya
mengenai laki-laki, sementara perempuan hanya sebagai
pembawa sifat. Biasanya penderita meninggal dalam dekade
ke dua akibat komplikasi infeksi paru atau payah jantung.
Secara klinis pasien DMD tidak mampu berjalan pada usia
sekitar 10 tahun. Tindakan pembedahan dan rehabilitasi, dapat
membantu pasien untuk memperlama fungsi ambulasi serta
memberikan rasa nyaman.
Perlu pemberian informasi yang jelas dan konseling
genetika mengenai perjalanan penyakit terhadap pasien dan
keluarganya. Diagnosis DMD dapat ditegakkan dengan
analisis DNA untuk mendeteksi delesi gen yang bertanggung
jawab terhadap penyandian protein distrofin. Pemeriksaan
immunohistokimia protein distrofin, juga dapat digunakan
untuk menegakkan diagnosis pasti. Penanganan pasien
dengan DMD harus dilakukan secara multidisiplin.
Daftar Pustaka
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
Tachjian MO. Clinical pediatric orthopedic the art of diagnosis
and principles of management. Generalized affection of the muscular skeletal system. Stamfort, CT, Appleton & Lange;
1997.p.401-3
Sussman M. Duchenne Muscular Dystrophy. J Am Acad Orthop
Surg 2002;10:138-51
Chapman W. Chapman’s Orthopaedic Surgery (CD ROM), 3rd Ed.
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins 2001.p.4506-19
Muntoni F, Torelli Silvia, Ferlini A. Dystrophin and mutations:
one gene, several proteins, multiple phenotypes. Lancet Neurol
2003;2:731-40
Ropper AH, Brown, RH. Adams and Victors Principles of Neurology, 8th Ed. New York: Mc Graw-Hill 2005:1214-7. (Ovid: Adams
& victors’ Principles of Neurology. Copyright C 2005 McGrawHil. Available from: htttp://gateway.ut.ovid.com/gw 1/ovidweb.cgi
(1 of 47)12/5/2005.
Kuhn E. From dystrophia muscularis progressive to dystrophin:
On the 150th anniversary of Wilhelm Erb’s birthday. J Neurol
1990;237:333-5
Hoffman EP, Fischbeck KH, Brown RH, Johnson M, Medori R et
al . Characterization of dystrophin in muscle-biopsy specimens
from patients with Duchenne’s or Becker muscular dystrophy. N
Engl J Med 1988;318:1363-8
Dracopoli NC, Haines JL, Korf BR, Morton CC, Seidman EC, et
al. Current Protocols in Human Genetics: Multiplex PCR for
Maj Kedokt Indon, Volum: 57, Nomor: 9, September 2007
Duchenne Muscular Dystrophy
identifying dystrophin gene deletions,Volume 2. New York: John
Wiley and Sons Inc 2004:34:9.3.1-9.3.19.
9. Pasternak C, Wong S, Elson EL. Mechanical function of
dystrophin in muscle cells. J Cell Biol 1995;128:355-61
10. Canale ST. Campbell’s operative orthopaedics, 10th Eds. St Louis:
Mosby Inc, 2003:1363-73
11. Ülgenalp A, Giray Ö, Bora E, Hizli T, Kurul S, Saðin-Saylam G et
al. Deletion analysis and clinical correlations in patients with
Xp21 linked muscular dystrophy. Turkish J Pediatr 2004;46:
333-8
12. Wehling Henricks M, Lee JJ, Tidball JG. Prednisolone decrease
cellular adhesion molecules required for inflammatory cell infil-
Maj Kedokt Indon, Volum: 57, Nomor: 9, September 2007
tration in dystrophin-deficient skeletal muscle. Neuromuscul Disorders 2004;14:483-90
13. Barohn RJ, Levine EJ, Olson JO, Mendell JR. Gastric hipomotility
in Duchenne’s muscular dystrophy. N Engl J Med 1988;319:158
14. Vianello A, Bevilacqua M, Salvador V, Cardaoli C, Vincenti E.
Long-term nasal intermittent positive pressure ventilation in
advance Duchenne’s muscular dystrophy. Chest 1994;105:445-8
RTN
317
Download