Uploaded by shalihinriyadhus

TEATER SAE - Riyadhus Shalihin

advertisement
BAB II
AFRIZAL DALAM PRAKSIS DAN DISKURSUS TEATER
2.1 Posisi Afrizal dalam Praksis Teater dan Sumbangan Estetiknya.
2.1.1 Afrizal era Teater SAE – Teater sebagai persitiwa dedramatisasi
Teater pada paruh abad 1968 sampai dengan tahun 1988 disebutkan oleh Jakob
Soemardjo sebagai teater yang menamai dirinya dengan zaman emas kedua teater indonesia1.
Beberapa hal ikhwal dari kategori tersebut bertumpu pada peristiwa elitisasi di mana banyak
seniman yang bebas mengeksplorasi kegiatan kesenimanannya di dalam ruang modern yang
lebih banyak menawarkan kemungkinan-kemungkinan seniman dalam membebaskan prinsipprinsip estetika. Prinsip ini ditawarkan pertama-tama dengan maraknya penerjemahan
naskah-naskah drama asing, pada tahap ini masih ada kaidah-kaidah etis konvensional yang
menempatkan drama pada awal mula sejarah drama itu lahir. Pementasan pada tahap ini
diwakili banyak oleh Teater Populer yang mementaskan drama seperti ; Macbeth, Julius
Caesar. Pegerakan iklim teater ini lalu berjalan dengan tidak hanya sekedar diterjemahkan,
lalu dimainkan, pergerakan yang kedua selain diterjemahkan namun disadur dan dipentaskan
dengan kaidah-kaidah kultural tertentu, artinya pada dekade ini ada sebuah kesempatan yang
lebih bagi penggarap (sutradara) menyeleksi dan memaknai naskah sesuai dengan kehendakkehendak artistik dirinya. Kaidah itu lebih banyak menyeleksi keinginan budaya yang muncul
dari fase primordial penggarap, misalkan Rendra dengan bengkel teater rendra yang
1
Zaman ini disebut oleh Jakob Soemardjo berbeda dengan proses Zaman Emas Teater Pertama, yang
merengkuh publik dengan jangakauan yang lebih luas, dan masyarakat beragam yang lebih banyak, pada era
ini elitisasi mengandaikan seniman yang lebih kompleks dalam proses penciptaan teater-nya. 2004. Hlm. 202.
mementaskan naskah Antigone, Lysistrata dan juga Oedipus Berpulang2 dengan memakai
budaya jawa sebagai dasar epistemik kulturalnya.
Pasca penyaduran lalu berkembang dengan teater yang mencoba mementaskan sendiri
naskah yang lahir dari kelompok tersebut, dengan penulisan naskah yang banyak diproduksi
dari sutradara kelompok tersebut. Misalkan, Teater Kecil dengan Arifin C Noer yang
menuliskan naskah-naskah seperti Kapai-Kapai kemudian dipentaskan, yang juga disutradari
oleh dirinya, pada tahun 1970. Sumur Tanpa Dasar (1971), Tengul (1973), Orkes Madun
(1974) Kocak Kacik (1975) Orkes Madun II (1976). Kemudian Sandek (1979) dan pada
akhirnya Interogasi (1984).3 Drama sebagai permainan semantik bahasa, jalan cerita dan
konvensi konflik berdasarkan alur plot masih fasih dimainkan oleh Arifin C Noer, bahkan
bahasa adalah sebuah dunia yang melintas antara kultur timur dan kultur barat dalam
permenungan bahasa milik Arifin, artinya bahasa dan cerita masih menempati rumah yang
berjalan di dalam wilayah teater.
Pergerakan ketiga hingga akhirnya melepaskan bahasa dari wilayah drama sebagai
permainan bahasa diretas oleh Putu Wijaya dengan pementasan-pementasan visual nonverbal yang mengandalkan peritstiwa piktografik dari sensasi layar, dan juga teatrikalitas
aktor-aktor non-tokoh yang lalu lalang dalam pementasannya4, nomor-nomor teater seperti
Edan (1977) Awas (1978) Dor (1981) Los (1980) adalah pelucutan bahasa sebagai tuan dari
teater. Pada wilayah pementasan Putu Wijaya kita dihadapkan pada sebuah dunia enigmatik
piktoral yang berdebar-debar dan mencengangkan, dimana keterombang-ambingan pentas
membawa kita pada sebuah kondisi mental pementasan yang pengang sekaligus rusak. Hanya
2
Jakob Someardjo, Pekembangan Teater Modern. 2004, Hlm 212
Rendra memakai kain surjan dalam pementasan-pementasannya menandakan sebuah saduran dalam
kategori yang lebih spesifik jawa. Jakob Someradjo, 2004, Hlm 210
4
Jakob Soemardjo, 2004, Hlm 208
3
saja dalam pementasan Teater Mandiri kita masih dapat merasakan lalu lintas cerita, ada
sebuah alur drama dengan kondisi dasar bercerita yang diwujudkan tanpa bahasa literal,
namun bahasa dobrak dari potensi-potensi visual, audial teater.
Skema perubahan paradigma bahasa drama
Naskah Asing
Teater Emas Zaman Kedua
Bahasa Sebagai Kuasa
Etis Pementasan
Diterjemahkan
Disadur
Wilayah transformatif kultural
Fase Kelahiran Teks
Individu
Dramawan
Kelompok Teater
Dramawan sekaligus
sutradara
Fase Kuasa Sutradara
Teks
performens dari
bahasa estetik
individual
Pelucutan cerita dan bahasa ini lalu hadir dalam sebuah kelompok yang mulai
meninggalkan sisa-sisa cerita dan bangunan bahasa sebagai drama, kelompok ini dikenal
dengan nama Teater SAE yang lahir pada paruh tahun 1980, Agus R Sarjono mengatakan
“Gaya teater dwitunggal Afrizal Malna-Boedi S Otong ini menjadi fenomena utama dalam
perteateran sepanjang tahun 1990-an dan banyak ditiru di mana-mana” ( Sarjono, 2007 : 10 ).
Dalam logika drama yang konvensional kita mengenal keteraturan dan hubungan yang saling
terkait antara biografi tokoh, lingkungan di sekitarnya dan benda-benda yang hidup,
menyertai dirinya namun dalam pentas Teater SAE kita akan terhenyak dengan keheningan
yang tercipta akibat dialog berlangusng nyaris tanpa cerita yang melandasi hubungan antara
satu kalimat aktor dan aktor yang menimpalinya, seluruhnya nyaris berbicara sendiri dan
menghasilkan kebisingannya sendiri-sendiri, kebisingan yang sekaligus hening5.
Dedramatisasi yang dimaksudkan ini adalah sebuah sikap yang konsekuen akan
pilihan Teater SAE akan diksi-diksi teks yang dihasilkan oleh Afrizal. Tercatat beberapa teks
drama yang dihasilkan oleh Afrizal, seperti Konstruksi Keterasingan (1983) Ekstase
kematian orang-orang (1984), Pertumbuhan Di Atas Meja Makan (1991) Biografi Yanti
Setelah 12 Menit (1992) dan Migrasi Dari Ruang Tamu (1993)6. Diksi teks yang terlahir dari
tangannya ini, muncul dengan kesadaran akan pelompatan drama sebagai tata aturan
pementasan dengan sintagmatik dan paradigmatik bahasa, sebab diksi yang terlahir darinya
adalah ruang-ruang kosong, non-tokoh, tidak ada timpal menimpal dialog, drama-nya lebih
dapat kita kategorikan dengan cerita pendek yang dibumbui prosa dan sedikit sentuhan
fenomena berita-berita. Drama tidak lagi menyetujui bahasa dan cerita sebagai tuan rumah
pementasan, bahasa dalam drama (yang juga) dihasilkan oleh Afrizal pun bukan keputusan
5
6
Nirwan Dewanto, Senjakala Kebudayaan, Kecemasan dalam kolase ruang 1996, hlm 206.
Agus R Sarjono dalam majalah sastra horisn, 2007. Hlm, 12.
final pementasan, di tangan Boedi S Otong yang menyutradarai teks-teks yang dihasilkan
oleh Afrizal, ada pendobrakan yang juga akan menyeleksi satu persatu bahasa tersebut agar
muncul dan hadir di atas pentas, sebagai bahasa yang mandiri dari wilayah estetik
pertunjukan.
Pada fase ini ada kehendak editing, dimana aliran teks terus berjalan bersama
peristiwa teater. Afrizal sebagai dramawan lalu tidak hanya berhenti di sana, sebab pada
tahap ini dirinya bekerja, mengedit bersama-sama dengan bahasa yang dihasilkan dan
diproduksi dari dirinya untuk tumbuh menjadi bahasa pertunjukan. Peran dramawan sebagai
pengagas teks pun beralih menjadi editor dari teks-nya sendiri, dengan tangan sutradara
sebagai energi peng-edit sekaligus penghancur teks, peran dramawan beralih menjadi
dramaturg, menjadi penyelia, sebagai ‘mata ketiga’, yang berada di luar sekaligus di dalam
proses bangunan artistik teater.
Bagan seleksi karya Afrizal Malna
Dramawan untuk
Teater SAE
Tahun
Dramaturg /
Penerjemah untuk
Teater SAE
Karya
Konstruksi
1983
Rumah Yang
1988
Keterasingan
Ekstase kematian
Dikuburkan
1984
orang-orang
Pertumbuhan Di Atas
1991
Meja Makan
Biografi Yanti
Setelah 12 Menit
1992
Migrasi Dari Ruang
1993
Tamu
Perubahan posisi Afrizal dalam proses artistik Teater SAE
I
SUTRADARA
Dramawan
Afrizal Malna
II
Boedi S Otong
Dramaturg
Afrizal Malna
DEKONSTRUKTOR TEKS
INISIATOR TEKS
REDAKTUR GAGASAN
Dekosntruksi
Dekonstruksi teks
Qua
III
Rekonstruksi
__________________
PERTUNJUKAN TEATER SAE
Rekosntruksi Teks
IV
2.1.1.1 Transfromasi cerita menuju berita - keheningan ruang dalam Teater SAE.
Gagasan naratif sastra yang berawal dari intuisi imajinatif adalah metode yang lazim
digunakan dalam bahasa cerita, di mana drama diperlakukan sebagai bangunan imajinasi
bercerita, artinya ada kesepakatan yang berlangsung atas idea imajiner diri seseorang. Teater
SAE melakukan pembalikan dengan metode pembocoran antara yang ada di dalam teater dan
yang ada di luar teater, di mana keberadaan yang ada di luar teater terus melakukan resepsi
dan diinteriorisasi oleh yang ada di dalam teater. jika yang ada di dalam teater terwakili oleh
logika cerita maka yang berada di luar teater terwakili oleh berita, prinsip-prinsip ini
dilanggar oleh Teater SAE.
Sastra lakon yang mengandalkan kekuatan cerita merupakan tolak ukur utama dalam
sebuah pementasan drama konvensional, di sana cerita menjadi dasar berperan, dasar
pertunjukan dan seluruh desain pementasan bersumber dari cerita. Pada era ini selain banyak
sekali sutradara yang juga menulis naskahnya sendiri, seperti W.S Rendra yang menulis
untuk Bengkel Teater Rendra, Arifin C Noer yang menulis untuk Teater Ketjil, dan Putu
Wijaya yang menulis untuk Teater Mandiri di era-era penulisan realisme dirinya7, Orientasi
ini lalu berubah, ketika muncul era di mana sutradara teater bukanlah orang yang menuliskan
naskah. Lalu pertanyaannya, bisakah sutradara melakukan kerja pernyutradraan jika dirinya
tidak memiliki landasan cerita, baik yang dituliskan dirinya atau yang dituliskan orang lain.
Paradigma ini pun berkembang di era 1970 hingga 1990, di mana kelompok-kelompok teater
ini menghasilkan sutradara sebagai sumber epistemik pertunjukan, gagasan menjadi peran
yang penting. Cerita tidak lagi menjadi begitu penting, sebab gagasan adalah sumber utama
7
Goenawan Mohammad dalam sebuah pembelaan untuk teater indonesia mutakhir. Kecederungan naskah
yang lahir dari kelompok yang ditulis serta disutradari oleh pemimpin kelompok tersebut. 1980. Hlm, 91
penciptaan, dan gagasan adalah pencarian tersendiri sutradara atas kondisi di luar teater.
Realitas sosial, kondisi keretakan publik, puisi, penelitian, adalah sumber penemuan sutradara
untuk bertemu dengan gagasan pementasan, sutradara tidak memerlukan cerita atau
menuliskan cerita, namun sutradara haruslah orang yang mempunyai gagasan, dan tanggung
jawab akan ejawantah gagasan tersebut menjadi sebuah bangunan dramaturgi.
Fenomena ini dituliskan oleh Afrizal sebagai berikut ‘naskah yang diturunkan tidak
lagi sebagai representasi cerita berarti sama dengan pembebesan teater dari tradisi penulisan
sastra tertentu. Karena ketika naskah tidak lagi representasi dari sastra, dan peran dari
sutradara pun bukan lagi individu yang menulis naskah, yang tidak lagi menempatkan dirinya
sebagai pengarang, namun sebagai landasan gagasan, di mana ibu dari pertunjukan bukan lagi
naskah, namun seluruh elemen pertunjukan adalah naskah yang sedang menciptakan dirinya’
( Afrizal 2010 : 102 ).
Dalam sastra lakon yang menjadi sumber produksi pementasan drama, kita melihat
bahwa terjadi sebuah korespondensi pemeranan, antara tokoh satu dan tokoh lainnya, sebuah
perubahan cerita yang bertahap, dramaturgi yang tersusun rapih dari awal hingga akhir, dan
seluruh jalinan pementasan adalah representasi naskah, teater dipahami sebagai seni
menyampaikan bukanlah seni menyatakan8. Pentas Teater SAE tidak menjadikan teater-nya
sebagai representasi naskah, dengan tradisi Sutradara yang tidak memiliki kemampuan
menulis naskah, Teater SAE adalah representasi kelompok teater dari tradisi sutradara
sebagai inisiator teks, bukan penyampai teks. Meskipun Teater SAE memiliki Afrizal sebagai
penulis teks, namun teks yang dihasilkannya bukanlah teks final, teks yang terbuka, teks yang
dihasilkan oleh Afrizal adalah teks yang begitu penuh dengan kerapuhan-kerapuhan, sangat
8
Benny Yohanes dalam Diktat Kritik Teater. 2006. BAB II. Hlm 8 – 10.
longgar dan tidak ketat, tidak ada cerita yang berlangsung di dalamnya, hanya ada serpihan
idea, fragmen imaji, retakan-retakan kalimat yang tidak tuntas, di mana seluruh muatan yang
tersimpan di dalamnya mustahil dapat dinyatakan ke dalam pertunjukan. Afrizal sendiri
dalam posisi penulisan yang ada di dalam Teater SAE, kerap menulis bukan untuk tujuan
penciptaan cerita atau plot, namun ejawantah dari pikiran akan gambar-gambar9, dimana acap
kali dia berupaya menyusun benda-benda temuan dan menyusunya menjadi sebuah kata yang
instalatif. Dalam hal ini Boedi S Otong adalah editor sekaligus redaktur dari pertunjukan, di
mana dia mengedit dan menyeleksi teks-teks tersebut untuk tumbuh menjadi teks tersendiri di
dalam pertunjukan.
Kondisi ini sendiri berdasar dari kenyataan peralihan paradigma masyarakat yang
memperlihatkan kekakuan akan kondisi drama yang masih saja steril dari lingkungan publik
yang ada di luar dirinya. Kenyataan publik terwakili oleh media jurnalistik yang dikenali
dengan berita sebagai citra utama representasi akan faktualitas dan fenomena yang terjadi.
Peralihan cerita menjadi berita, ini terwakili oleh kian menyurutnya fenomena sastra sebagai
induk gagasan pementasan, dan di mana berita menjadi salah satu alternatif untuk
menemukan logika pertunjukan yang baru.
9
Agus R Sarjono dalam majalah sastra horisn, 2007. Hlm, 12.
Paradigma perubahan teks dalam teater :
1930-1970 : Teater Sebagai Seni Menyampaikan
Sastra lakon sebagai sumber penciptaan drama
The Representation Of Art
Sutradara menjadi penyampai cerita
1970 – 1990 : Teater sebagai Seni Menyatakan
Apapun dapat menjadi alternatif gagasan
The Presentation Of Art
Sutaradara menjadi pencipta peristiwa
Televisi
Penelitian
n
Jurnal
Berita
Puisi
Sutradara :
Realitas Di Luar Teater
Penyeleksi Sumber
Gagasan
Wilayah Performens
Akting / benda-benda / lampu / layar / penonton / property / hand – property
Bahasa Peristiwa / bahasa pernyataan
2.1.1.2 Endapan Biografis benda-benda dalam Teater SAE.
Diksi-diksi yang dihasilkan oleh Afrizal sebagai seorang dramawan adalah pilihan
konsisten akan sikap estetik-nya, yang perduli terhadap benda sederhana sehari-hari seperti
kalung, setrika, semangka, kaleng coca-cola, dan sebagainya sembari mencari biografi dan
menafsirkan hubungan-hubungan antara manusia dan benda-benda yang berada di
seklilingnya10. Sistem proses pertunjukan yang dihasilkan oleh Teater SAE berusaha
mendesakralisasi manusia, di mana manusia ditempatkan pada posisi yang unggul, di mana
hubungan manusia dengan benda-benda sama pentingnya seperti hubungan manusia dengan
manusia lainnya. Mengikuti arus budaya pasca-modern, bahwa manusia diidentifikasi bukan
saja oleh keutuhan dirinya namun juga apa yang berada di sekitarnya, maka Afrizal berusaha
menampilkan intekstualitas tubuh dan benda, jika tubuh memilki biografi dan sejarah-nya,
maka benda pun ditempatkan sejajar dengan tubuh, di mana Afrizal mencoba memberikan
biografi terhadap benda tersebut untuk secara eksistensial hadir mewujudkan sejarahnya.
Afrizal memiliki beberapa syarat untuk pemenuhan puitika tersebut ;
1. Endapan biografis pada benda-benda itu sendiri.
Benda-benda tersebut memiliki sejarahnya, sepatu tentara di zaman perang
memiliki sejarah traumatiknya, kaleng susu yang sudah kering memiliki
sejarahnya, setrika yang sudah rusak memiliki sejarahnya, dan mereka adalah
entitas yang sama pentingnya dengan kehadiran manusia di dalam sejarah
peradaban.
10
Agus R Sarjono dalam majalah sastra horison, 2007. Hlm, 12.
2. Susunan yang memikat dan mampu membuka endapan biografi benda-benda
tersebut terhadap hubungannya dengan kehidupan masa kini masyarakat
Bagaimana manusia membutuhkan wajan untuk memenuhi kebutuhan primer-nya
akan makanan, manusia membutuhkan ember untuk menampung air, di mana
manusia membutuhkan setrika untuk merapihkan baju, maka benda-benda telah
menjadi teman seperjalanan yang baru di dalam sejarah peradaban manusia, dan
manusia tidak mampu berdiri sendiri tanpa benda-benda tersebut.
Skema perubahan hubungan benda dan manusia :
Paradigma Modernitas
Manusia
Aku-Descartes
Pergeseran Paradigma
Menguasai
Benda sebagai yang lain
Paradigma Post-Modernitas
Manusia
Benda-benda
Intertekstualitas Biografi
Negativitas Subjek
2.1.1.3 Desakralisasi hubungan pria-wanita dalam Teater SAE.
Dalam sebuah pementasan drama biasanya kita mengenal kausalitas jenis kelamin,
hubungan antara pria dan pria ditempatkan sebagaimana mestinya, hubungan antara wanita
dan wanita, serta hubungan pria dan wanita, diciptakan untuk mendukung jalinan cerita yang
hadir di dalamnya. Namun dalam logika yang dihasilkan oleh Teater SAE cenderung
menghindari normalitas antara pria dan wanita, yang ditempatkan sesuai dengan apa adanya.
Wanita adalah pria, pria adalah wanita, masing-masing memiliki kemungkinan berdiam dan
mengalami kelamin yang lain. Ada kesempatan bagi lelaki merasakan pengalaman
kewanitaan, dan bagi wanita memiliki ruang untuk mengalami pengalaman akan kelelakian.
Pertunjukan Teater SAE mempunyai kecenderungan mengacaukan masalah gender dengan
memunculkan sisi androgini pada lelaki, maupun pada wanita.
Hubungan pria yang biasanya ditandai dengan keperkasaan dan kejantanan didistorsi
oleh Teater SAE misalnya dengan penggunaan BH perempuan atau korset, namun dengan
tujuan bukan untuk melucu atau menyampaikan maksud kebanci-bancian, namun efek dari
penggunana ini untuk selalu waspada bahwa di dalam diri manusia ada sesuatu yang sensitif,
penuh rahasia dan tidak terduga11. Sesuatu yang sensitif juga dimiliki oleh pria, distorsi
identitas ini bertujuan untuk mengingatkan hal tersebut, untuk menunjukan adanya sebuah
dimensi mistik dari tubuh manusia, dan jika pada adegan-adegan tertentu lalu sejumlah aktor
lelaki maupun aktor perempuan melepaskan seluruh baju yang dikenakannya justru untuk
memperlihatkan momen kemurnian dan kesunyiannya sekaligus. Nirwan Dewant
menyebutkan bahwa pementasan Teater SAE. Misalkan, Nirwan Dewanto menyebutkan
bahwa pementasan Teater SAE, Biografi Yanti Setelah 12 Menit yang paling tegas
11
Afrizal Malna dalam Perjalanan Teater Kedua, Antologi Tubuh Dan Kata. 2010. Hlm 154.
menjelaskan tematik mengenai pengenduran binerik akan kondisi lelaki dan wanita adalah
‘sebuah puisi tentang sebuah kultur yang menindas kaun perempuan dan karena itu
menggerogoti kaum lelaki’.
Skema perubahan orientasi antara pria dan wanita :
Pelanggaran batas binerik
Androgini sensitifitas
Pria adalah
wanita
Wanita adalah
pria
Anrogini seksualitas
Pengalaman atas ruang sunyi
2.1.2
Afrizal
pasca
Teater
SAE
–
Pengamatan
teater
secara
sosiologis-
antropologis.
2.1.2.1 Tubuh sebagai modal kultural yang ganjil.
Afrizal menaruh perhatian khusus terhadap fenomena tubuh, di mana tubuh adaah
konstruksi dari realitas antropologis yang sudah terjadi di luar panggung, dan bagaimana
pemaknaan terhadap apa yang terjadi di dalam panggung tidak bisa membersihkannya secara
tuntas, sehingga kemurnian tubuh aktor untuk mendalami perannya tidak sepenuhnya dapat
hidup, sebab sudah ada kode-kode agama, kode-kode pekerjaan yang tertera di dalam
tubuhnya, terus bekerja dan membentuk identitas dirinya.
Perhatian Afrizal pada tahap ini adalah kontinyuitas yang memberikan pemahaman
akan pengalamannya dalam membedakan antara tubuh teater dalam kepemimpinan sastra
dengan tubuh dalam teater yang cenderung melakukan intensifikasi terhadap tubuh itu
sendiri, berusaha mencari narasi yang tumbuh dalam tubuhnya, tubuh yang sudah memiliki
biografinya tersendiri. Afrizal mengkritik banyak sekali teater yang lahir dari tradisi
kepemimpinan kata, di mana cerita menjadi tuan rumah dalam teater seringkali membuat
aktor kehilangan tubuhnya sendiri, kritik Afrizal mengenai hal ini karena teater justru harus
menjadi peritiwa penyampaian cerita yang seakan-akan harus logis dan hanya ada di dalam
cerita, seakan-akan di luar cerita tida ditempatkan, antropologi aktor terbelenggu di dalam
kesusastraan12. Afrizal menempati proses pengamatannya melalui hubungan dialektis bahwa
12
Marianne Koenig memperlihatkan bahwa aktor seharusnya bukan hanya perangkat teknis dalam
menyampaikan narasi. Tetapi juga sebuah refleksi bagimana manusia menghadapai ruang dan waktu dalam
wacana aktor yang menonton dirinya sendiri. Marianne Koenig. Antropologi dan teater. 1990.
tubuh harus menjadi tubuh itu sendiri, tidak menjadi alat dari bahasa, atau dari narasi, bahkan
tubuh haruslah dapat menceritakan dirinya sendiri.
Afrizal menerangkan bahwa Teater seharusnya ‘Tubuh dalam teater tidak lagi sematamata merupaka tubuh aktor yang diperankan, tetapi juga tubuh situasi, tubuh sejarah, tubuh
massa atau tubuh kebudayaan yang diangkat keluar dari rutinitas sehari-hari. Refleksi ini
memberikan kejelasan bahwa Afrizal cenderung tidak melandasi cara mengamati dengan
telaah cartesian, namun cenderung melihat tubuh harus melahirkan kata-nya sendiri, kata
yang dilahirkan dari tubuh harus mampu menjelaskan lata belakang proses kelahiran tubuh.
TUBUH TEATER CARTESIAN
Dalam Kepemimpinan Kata
TUBUH SEBAGAI TUBUH
Dalam Kepemimpinan Pengalaman
BAHASA
LOGIKA
SISTEMATIKA
Luka
Non
epistemik
Trauma
REPRESI
Area Kesadaran
Area Ketidak Sadaran
Sejarah, Masa Lalu, Trauma, Luka
Diferensiasi diri, keluarga, lingkungan
Beban
Ketakutan
TUBUH YANG
PENUH AKAN
CERITA TUBUH
Download