Uploaded by Sonhaji Pratito

Pengukuran Jarak Optis

advertisement
BAB VII
PENGUKURAN JARAK OPTIS
Pengukuran jarak optis termasuk dalam pengukuran jarak tidak Iangsung,
jarak disini didapat melalui proses hitungan. Pengukuran jarak optis
dilakukan dengan alat ukut theodolit, BTM, sipat datar dan Iainnya karena
pada alat-alat tersebut dilengkapi dengan benang-benang stadia pada
diafragma.
Gambar VII.1. Bentuk-bentuk benang silang
VII.1. Pengukuran Jarak Optis cara Stadia
Disebut cara stadia, karena pada diafragma terdapat ketiga benang
stadia, yaitu benang atas (ba), benang tengah (bt) dan benang bawah
(bb).
1. Jarak optis untuk teropong mendatar.
Gambar VII.2. Jarak optis pada teropong
mendatar. Keterangan :
ba
: bacaan benang atas pada rambu
bt
: bacaan benang tengah pada rambu
bb
: bacaan benang bawah pada rambu
Universitas Gadjah Mada
1
c
: jarak sumbu II — lensa obyektif
f
: jarak fokus lensa obyektif
: jarak ba — bb pada diafragma
s
: jarak ba — bb pada rambu
d
: jarak dari fokus rambu
DAB
: jarak datar dari A — B
Dari gambar diatas didapat hubungan :
DAB=c+f+d
Jika d:s = f:i
DAB=c+f+
Jika = = A = konstante pengali teropong harganya 100
C + f = B = konstante penambah
DAB =A.S+B
Maka didapat rumus jarak optis pada teropong mendatar/ garis bidik mendatar :
DAB=A.S+B .................................... (1)
2.Jarak optis untuk teropong miring.
Kemiringan teropong atau garis bidik sebesar sudut miring a, dapat digambarkan :
Gambar VII.3. Jarak optis pada teropong miring.
Dari gambar diatas, didapat hubungan :
DAB = TM cos a
TM=A.S1+B
DAB = (A. S1 + B) cos a
S1 = S cos a
Universitas Gadjah Mada
2
DAB = A. S cos2 a + B cos a (2)
Catatan :
 Harga koustante B karena mendekati nol, maka rumus tersebut dapat Iebih
sederhana.
 Sudut miring a dicari dari
a = 90° — Z .......................................... (3)
Z adalah sudut zenith yang dibaca pada piringan vertikal theodolit.
Contoh :
Dad gambar diatas, didapat data bacaan bt = 1000; ba = 1527; bb
= 0473; sudut zenith Z = 88°30'25"
Hitung jarak AB
Hitungan : a
= 90° — 88° 3025"
= 1°29'35"
dari rumus (2)
D
= AS Cos2 a
= 100(1527-0473)cos2 1° 29'35"
= 105.328 m
pada pengukuran jarak optis, dikenal pengukuran takhimetri atau tachymetry, yaitu
pengukuran jarak datar dan beda tinggi dengan pembacaan benang stadia pada rambu
serta sudut miring teropong.
Gambar VII.4 takhimetri
Dari gambar VII.4. didapat hubungan :
DAB = A.S Cos2  .................................... (2)
V = DAB tg  ........................................... (4)
HAB=V + ti - bt ........................................ (5)
Rumus (5) adalah rumus untuk menghitung beda tinggi antara titik A dan B.
Universitas Gadjah Mada
3
VII.2. Pengukuran Jarak cara Tangensial
Pada pengukuran tangensial, tidak dibaca benang-benang ba dan bb, tetapi hanya
benang tengah (bt) saja.
Gambar VII.5 pengukuran jarak secara tangensial
Dari gambar didapat hubungan persamaan :
DE
= DAB tg 
CE
= DAB tg h
DE-CE = DAB (tg  -tg h)
S
= DAB tg (a - h)
DAB
=

............................ (6)
Rumus (6) adalah rumus jarak optis cara tangensial
VII.3 Pengukuran Jarak Optis dengan Subtense bar
Subtanse bar/ batang ukur jarak adalah rambu khusus terbuat dari invar, panjang 2m
dan dilengkapi dengan alat pengincar.
Gambar VII.6. batang ukur jarak dari kern
Universitas Gadjah Mada
4
Dengan mengukur sudut horisontal antara ujung batang theodolit dan ujung batang
dapat ditentukan jarak mendatarnya.
Gambar VII.7. Geometri pengukuran Subtanse bar.

DAB =
DAB =

........................................ (7)
Universitas Gadjah Mada
5
BAB VIII
PENGUKURAN SUDUT HORISONTAL
Sudut horisontal adalah sudut yang diperoleh dengan mengurangkan bacaan arah
horisontal piringan mendatar suatu theodolit. Ada tiga syarat dasar menentukan sudut,
yaitu :
1. garis awal/ acuan
2. Arah putaran
3. Jarak sudut/ besar sudut
Pengukuran sudut horisontal dapat dilakukan dengan :
1. cara reiterasi
2. cara repetisi
VIII.1. Alat ukur sudut
Sudut horisontal dapat diukur dengan alat ukur sudut/ arah, seperti :
a. theodolit
b. kompas
c. theodolit kompas
ketiga alat tersebut dapat dipakai untuk mengukur sudut, karena adanya piringan
horisontal yang berpembagian skala/ skala cara pengukuran sangat terkait dengan
konstruksi sumbu I theodolit, yaitu theodolit reiterasi dari theodolit repetisi.
VIII. 2. Pengukuran Sudut cara reiterasi
Gambar VIII.1. cara reiterasi
Universitas Gadjah Mada
6
Pada pengukuran sudut cara reiterasi ini, pengukuran dimuka dengan kedudukan
teropong BIASA, diarahkan ke titik 1 dibaca arahnya selanjutnya diputar terhadap
sumbu I diarahkan ke titik 2, dibaca arahnya. Setelah arah ke 2, dilanjutkan ke titik 3
dan titik 4.
Dari arah ketitik 4, Kemudian teropong diputar balik menjadi kedudukan teropong LUAR
BIASA. Pengukuran dimulai diarahkan ke titik 4, titik 3 sampai berakhir di titik 1.
pengukuran sudut dari 1 ke titik 4 dengan teropong BIASA dan kembali dari titik 4
kembali ke titik 1 dengan teropong LUAR BIASA disebut pengukuran satu seri. Bila
akan diukur n seri, maka ada pergeseran arah sebesar 180° : n pada tiap seri. Misal
akan diukur sudut tersebut diatas sebanyak 3 seri; ini berarti ada pergeseran arah
sebesar 180° : 3 = 60°
Maka pada :
Seri I dimulai dengan 0°
Seri II dimulai dengan 60°
Seri III dimulai dengan 120°
Sudut-sudut pada gambar diatas dihitung dari selisih dua arah yang
berurutan. Cara reiterasi disebut sebagai cara pengukuran jurusan.
VIII.3. Pengukuran sudut cara repetisi
Gambar VIII.2. cara repetisi
Pengukuran sudut cara repetisi ini pada dasarnya adalah pengukuran sudut yang
berulang ditentukan besarnya kelipatan n sudut, sehingga besar sudut ada 1/n hasil
pengukuran kelipatan sudut itu. Dengan n dinamakan repetisi. Pada cara ini, yang
dicatat pembacaan arah pertama (1), pembacaan arah
Universitas Gadjah Mada
7
kedua (2) dan pembacaan arah terakhir (n+1). Besar sudut dihitug dari persamaan
:
 pendekatan = arah (2) — arah (1)
(

)
( )
Dengan P = berapa kali pembacaan arah melewati 360°
atau
(
)

Contoh : hasil pengukuran sudut cara repetisi
Titik arah
1
1X2
Pembacaan arah
Arah (2)
Arah (n+1)
0
Keterangan
Skala 360°
12 15' 05"
780 20' 25"
dilewati
480 47' 10"
6X2
satukali
VIII.4. Pengukuran sudut banyak cara Bessel dan cara Schreiber
1. Cara schreiber atau cara kombinasi
Gambar VIII.3. Cara Schreiber
Universitas Gadjah Mada
8
Pada cara screiber, dari r arah, akan diukur sudut sebanyak : 1/2r (r-1), dari gambar r = 4
maka jumlah sudut yang diukur = 1/2.4 (3) = 6 sudut. Sudut dapat diukur dengan cara
repetisi atau cara reiterasi.
2. cara bassel
Gambar VIII.4. cara Bessel
Pengukuran sudut banyak cara bessel, dilakukan dengan cara reiterasi (metode arah).
a. Pengukuran dari A menjadi B, C dan akhirnya ke A lagi (dengan kedudukan teropong
BIASA)
b. Selanjutnya teropong diputar balik menjadi kedudukan LUAR BIASA, pengukuran lebih
di mulai dari A menuju E, D dan selanjutnya berakhir di A lagi.
Universitas Gadjah Mada
9
BAB IX
PERALATAN UKUR KETINGGIAN
Beda tinggi antara dua titik dapat ditentukan dengan tiga cara:
1. Cara Barometris
2. Cara trigonametris
3. Cara menyipat datar
Ketiga cara tersebut beda dalam peralatan dan tingkat ketelitian yang dicapai.
IX.1. Alat Ukur Penyipat datar
Alat ukur penyipat datar dapat diklasifikasi dari alat penyipat datar sederhana
tanpa teropong :
a. Alat penyipat datar sederhana, terdiri atas dua tabung gelas berdiri dan
dihubungkan dengan pipa dari logam.
b. Dua tabung gelas berskala yang dihubungkan dengan slang karet.
c. Batang ukur A yang diberi nivo tabung dibuat mendatar dan mistar B yang berskala
sampai dm. Alat penyipat datar optis yang dilengkapi teropong yang disebut sipat
datar
atau waterpas. Alat ukur sipat datar hanya dapat diputar pada sumbu I:
Gambar IX.1. alat ukur penyipat datar sederhana.
Universitas Gadjah Mada
10
IX.2. macam alat ukur sipat datar.
1. Alat Sipat datar tipe semua tetap terdiri dari :
a. Tanpa skrup ungkit
b. Dengan srup ungkit
Alat-alat ini dilengkapi dengan dua macam nivo, yaitu nivo tabung dan nivo kotak
adanya skrup pengungkit, dimungkinkan untuk menggerakkan teropong sedikit ke
atas-bawah secara terbatas.
Gambar IX.2. alat sipat datar tipe semua tetap tanpa dan dengan skrup
pengungkit.
2. Alat sipat datar otomatis
Disebut otomatis, karena apabila sumbu I telah vertikal maka garis bidik teropong akan
mendatar. Hal tersebut karena pada alat tipe otomatis dilengkapi dengan peridukan atau
kompensator, yang menggantikan fungsi nivo tabung. Alat sipat datar otomatis menjadi
populer dalam pemakaiannya, karena kemudahan dan kecepatan operasinya.
3. Alat sipat datar dengan sinar laser
4. Alat sipat datar elektronik
Universitas Gadjah Mada
11
Gambar IX.3. Beberapa sipat datar otomatis
IX.3. syarat pemakaian alat ukur sipat data
Sebelum alat dipakai untuk pengukuran dilapangan, maka diperlukan syarat
pemakaian yang harus dipenuhi :
1.
Syarat utama
2.
Syarat kedu
3.
Syarat ketiga
: garis bidik teropong sejajar dengan garis arah nivo
: garis arah nivo tegak lurus sumbu I
: garis mendatar diafragma tegak lurus sumbu I
Syarat kedua : garis arah nivo tegak lurus sumbu I, pada prinsipnya sama dengan
mengatur sumbu I menjadi vertikal pada sebuah theodolit.
Universitas Gadjah Mada
12
Syarat ketiga garis mendatar diafragma tegak lurus sumbu I, oleh pembidik
pembuatannya telah dibuat tegak lurus sumbu I
Syarat utama
: garis bidik teropong sejajar dengan garis nivo
Untuk syarat utama ini dilakukan percobaan sebagai berikut:
Gambar IX.4. cek syarat utama
Keterangan
ao, bo, a2 b2
= bacaan bt dengan garis bidik mendatar
a, b, a3,b3
= bacaan bt dengan garis bidik miring
a
= kemiringan garis bidik
1.
Ditentukan titik A, I, B dan II dengan jarak antara sebesar Lm.
2.
Dari kedudukan I, dibaca pada rambu A dan B harga bt. Masingmasing a,
dan b1
3.
Alat ukur sipat datar dipindah ke II dan dibaca bt pada rambu A, a3 dan
rambu Bb3
4.
Dari kedudukan I, beda tinggi AB
Dad kedudukan II, beda tinggi AC
5.
=  H1 = al — b1
=  H11 = a3 — b3
Jika  H1=  H11 berarti syarat utama balk
A H1 # A H1I berarti syarat utama masih ada kemiringan sebesar 
kesalahan a3 a2 = C karena kemiringan garis bidik sebesar  dihitung dengan
persamaan C =
( HII-  H1)
Cara pemberian/ pelaksanaan koreksi
Dari kedudukan II, teropong diarahkan ke pembacaan a3 — c dengan cara memutar
skrup koreksi diafragma vertikal naik/turun.
Ulangi angkah 2 s/d 5 sampai dicapai  H1=  H1I.
Universitas Gadjah Mada
13
BAB X
PEMETAAN PLANIMETRIS DENGAN PITA UKUR
Xi. Pengantar
Peta planimetris adalah peta yang menggambarkan posisi planimetris dari obyek
yang diketahui. Umumnya peta ini digunakan untuk keperluan kadastral. Peta
planimetris dibuat dengan skala besar 1 : 500 sampai 1 : 2500
Jika alat yang dipakai hanya pita ukur saja, termasuk pengadaan kerangka petanya
maka luasan yang dipetakan hanya terbatas.
X.2. Prosedur Pemetaan Planimetris
Secara garis besar prosedur pemetaan planimetris adalah :
1. Pengadaan kerangka peta
2. Pengukuran detail dan pencatatannya
3. Penggambaran
Pengadaan kerangka peta dan pengukuran detail sebetulnya dapat dilakukan secara
bersamaan.
X.3. bentuk-bentuk kerangka peta dan kontrolnya. 1.
Rangkaian segitiga
Gambar X.1. kerangka peta bentuk rangkaian segitiga.
Universitas Gadjah Mada
14
2. Garis Baris
Gambar X.2. Kerangka peta bentuk garis besar.
4. Garis pangkal
Gambar X.3. Kerangka Peta bentuk garis pangkal.
X.4. Pengukuran detail
1. Cara penyikuan
Gambar X.4. pengukuran detail cara penyikuan
Universitas Gadjah Mada
15
Pojok-pojok bangunan B diproyeksikan ke garis ukur 1 2 di titik-titik a1 dan b1
2. Cara pengikatan
Gambar X.5. pengukuran detail cara pengikatan
Pojok bangunan B, diikat dari titik-titik bantu a, b dan titik 2. Titik-titik bantu bisa
ditentukan dulu pada garis ukur 1 2.
3. Cara interpolasi
Gambar X.6. Pengukuran detail cara interpolasi
Pada pengukuran detail cara interpolasi, sisi-sisi bangunan B diluruskan sampai di
garis-garis ukur. Titik-titik potong yang terjadi 11, 31, 21, dan 41.
Pengal-pengal garis yang terjadi diukur, agar dapat dipakai untuk menggambar posisi
detail. Pada pengukuran detail pada umumnya dipakai cara kombinasi/ gabungan
dari ketiga cara tersebut.
X.5. Pencatatan data ukur.
Pencatatan data ukur ditulis langsung pada sket yang dibuat dilapangan oleh karena itu
skets dibuat dengan memakai skala besar dan dibuat secara rapi dan benar. Skets yang
balk dan rapi akan sangat membantu dalam proses pengambaran. Penulisan data ukur,
ditulis search jalanya pengukuran. Ketentuan penulisan jarak terukur ada tanda (-) atau (
) yang berarti jarak
Universitas Gadjah Mada
16
masih berlanjut. Tanda (=) berarti berhenti, disamping tanda (<>) untuk kontrol
ukuran. Contoh 1:
Jarak
1 ke 2 = 30.0+21.0 m
1 ke a = 16.1 m 1 ke
b = 30.0 m
contoh 2.
Gambar X.8. penulisan angka diangsul
Jarak diagonal 4-1 = 25.16 m, didalam tanda < >
X.6. Pengambaran
Pengambaran data-data ukur, dimulai dengan tahapan :
1. penggambaran kerangka peta dilanjutkan dengan ceking dengan kontrol ukuran.
2. Setelah penggambaran kerangka peta selesai, dilanjutkan dengan penggambran
detail.
3. Pada penggambaran detail prinsipnya adalah merekontruksi kembali seperti saat
pengukuran di lapangan.
Peta yang dihasilkan di perhalus dan dilengakapi dengan legenda dan
keterangan secukupnya.
Universitas Gadjah Mada
17
Download