Uploaded by User16230

Makalah Biosistematika - Satwa Endemik Indonesia (Arie Ardiansyah Nugarah-183112620120106)

advertisement
TUGAS BIOSISTEMATIKA
SATWA ENDEMIK INDONESIA
DISUSUN OLEH :
ARIE ARDIANSYAH NUGRAHA
183112620120106
FAKULTAS BIOLOGI
UNIVERSITAS NASIONAL JAKARTA
2019
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia merupakan negara kepulauan yang mempunyai lebih dari 17.000 pulau, yang
terletak diantara dua benua dengan panjang garis pantainya sekitar 95.181 km. Kondisi
geografis tersebut menyebabkan negara Indonesia memiliki peranan penting dalam
membentuk karakter satwa unik yang hanya bisa ditemukan di Indonesia tidak ditempat
lain (endemik). Menurut pengertiannya endemisme sendiri adalah gejala yang dialami
oleh organisme untuk menjadi unik pada satu lokasi geografi tertentu, seperti pulau,
lungkang (niche), negara, atau zona ekologi tertentu. Untuk bisa disebut endemik suatu
organisme harus ditemukan hanya di suatu tempat dan tidak ditemukan di tempat lain.
Di Indonesia terdapat 816 jenis satwa endemik, dari jumlah tersebut 71 jenis satwa
sudah masuk dalam Red List IUCN (International Union for the Conservation of Nature
and Natural Resource), atau dengan kata lain 71 jenis satwa tersebut sudah masuk dalam
kategori kritis. Satwa-satwa tersebut tersebar di beberapa kepulauan di Indonesia.
Faktor paling tinggi yang mempengaruhi menurunnya jumlah populasi satwa ini adalah
karena adanya faktor konflik dengan manusia seperti pembangunan yang membabat
habis hutan, penangkapan satwa liar untuk peliharaan, perburuan satwa liar untuk
kebutuhan produk fashion, sampai pembuangan limbah hasil produksi dan konsumsi
yang mencemari lingkungan. Minimnya pendidikan tentang pentingnya keberadaan
satwa-satwa ini untuk kelangsungan ekosistem.
Indonesia menganut asas pemanfaatan kekayaan alam yang berupa keanekaragaman
hayati secara lestari, seperti disebutkan dalan UU No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi
Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Pada pasal 2 dinyatakan bahwa:
konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya berasaskan pelestarian
kemampuan dan pemanfaatan sumber daya alam hayati dan ekosistemnya secara serasi
dan seimbang. Di Indonesia peraturan perundangundangan yang berkaitan dengan
pelestarian keanekaragaman hayati telah mencukupi, namun implementasinya masih
lemah dan kurang efektif.
Dalam rangka mencegah kepunahan fauna yang saat ini sudah sangat sulit ditemukan di
habitat alaminya. Upaya konservasi yang didasarkan pada tiga pilar Convention on
Biological Diversity (CBD) yaitu perlindungan, pengawetan palsma nutfah dan
pemanfaatan sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya berdasarkan prinsip kelestarian,
perlu mendapatkan dukungan tidak hanya oleh pemerintah pusat namun juga pemerintah
daerah dan masyarakat setempat. Kegiatan konservasi ini pada dasarnya bertujuan untuk
mencegah kepunahan keanekaragaman genetik, jenis dan ekosistem.
Berdasarkan latar belakang tersebut maka dalam makalah ini akan membahas tentang
satwa-satwa endemik di Indonesia.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, rumusan masalahnya adalah:
Satwa-satwa yang termasuk endemik di Indonesia, bagaimana klasifikasi dan
distribusinya?
1.3 Tujuan
Berdasarkan permasalahan yang telah dirumuskan, maka penelitian ini bertujuan untuk:
Untuk mengetahui satwa-satwa endemik Indonesia, klasifikasi dan distribusinya.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Anoa (Babulus depressicornis)
Gambar 1: Anoa (Babulus depressicornis) (sumber gambar:
https://zt2downloadlibrary.fandom.com/wiki/Lowland_Anoa_(ZTABC_Team)
Anoa merupakan satwa yang mirip dengan sapi atau kerbau (ruminansia liar) yang
berukuran lebih kecil (cebol). Secara umum, anoa mempunyai warna kulit mirip kerbau
(warna terang hingga gelap kecoklatan). Anoa juga memiliki bentuk kepala menyerupai
kepala sapi (Bos), kaki dan kuku menyerupai banteng (Bos sondaicus). Pada kaki
bagian depan (metacarpal) berwarna putih atau mirip sapi bali namun mempunyai garis
hitam ke bawah.
Tanduk mengarah ke belakang menyerupai penampang yang bagian dasarnya tidak
bulat seperti tanduk sapi melainkan menyerupai bangun segitiga seperti tanduk kerbau.
Fungsi dari tanduk tersebut adalah untuk untuk menyibak semak-semak atau menggali
tanah, serta menunjukkan dominasi untuk bertahan hidup dari lawannya.
Populasi satwa khas Sulawesi, anoa (Bubalus depressicornis), di kawasan hutan dan
pegunungan di seluruh Sulawesi terus mengalami penyusutan karena perburuan
maupun alih fungsi lahan menjadi tambang atau kebun sawit.
A. Klasifikasi Anoa
Klasifikasi taksonomi anoa (Bubalus spp.) adalah sebagai berikut:
Kingdom
: Animalia
Filum
: Chordata
Kelas
: Mamalia
Ordo
: Artiodactyla
Famili
: Bovidae
Subfamili
: Bovinae
Genus
: Babulus
Spesies
: Babulus depressicornis, Bubalus quarlessi
B. Distribusi Anoa
Perkembangan distribusi anoa di wilayah daratan Sulawesi dan Pulau Buton,
digambarkan dalam peta distribusi dibawah ini.
Gambar 2. Peta Distribusi Anos di Pulau Sulawesi (Cristita, 2018)
C. Status Konservasi
Sejak zaman pemerintah kolonial Belanda, anoa termasuk satwa liar endemik
Sulawesi yang dilindungi oleh Undang-Undang yaitu berdasarkan Ordonansi
Perlindungan Binatang-binatang Liar (Dierenbeschermings Ordonnantie 1931
Staatsblad 1931 Nummer 134). Di dalamnya anoa dinyatakan sebagai satwa langka
dan wajib dilindungi karena sebarannya sangat terbatas yaitu hanya di daratan
Sulawesi dan Pulau Buton. Selain itu, satwa ini juga dilindungi oleh UndangUndang No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan
Ekosistemnya. Bahkan dalam IUCN Red List of Threatened Animal (The
International Union for the Conservation of Nature and Natural Resources) 2009,
anoa dikategorikan sebagai satwa langka yang dikhawatirkan akan punah dan
menurut CITES 2008 (The Convention on International Trade in Endangered
Species of Wild Flora and Fauna) anoa masuk dalam Appendix I yang berarti satwa
tersebut dilindungi dan tidak diperjualbelikan.
Perkembangan perlindungan dan pelestarian terhadap satwa ini, tidak berhenti hanya
sampai di sini. Baru-baru ini, Dirjen PHKA bersama-sama dengan institusi terkait
yang peduli dengan satwa anoa dan babi rusa mengadakan kesepakatan bersama
dengan mengeluarkan sebuah dokumen tentang “Strategi dan Rencana Aksi
Konservasi Anoa dan Babi Rusa 2010-2020”. Dalam keputusan yang dikeluarkan
oleh Direktur Jendral Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam tahun 2011
menjelaskan adanya 14 spesies prioritas satwa yang menjadi ukuran kinerja bagi
Unit Pelaksana Teknis di daerah melalui peningkatan populasinya di alam sebesar
3% pada tahun 2010 – 2014, dan anoa termasuk dalam spesies satwa yang
diprioritaskan.
2.2 Komodo (Varanus komodoensis)
Gambar 3: Komodo (Varanus komodoensis) (sumber gambar:
http://psychologyarticles.info/?e=komodo)
Komodo (Varanus komodoensis) merupakan reptil endemik yang dapat ditemukan di
lima pulau di Indonesia bagian timur, empat diantaranya berada di dalam kawasan
Taman Nasional Komodo (TNK). Keunikan komodo yang dianggap sebagai sisa reptil
purba yang masih bertahan hidup sampai sekarang mendapatkan perhatian dari para
peneliti dari dalam maupun luar negeri. Berbagai penelitian tentang komodo telah bayak
dilakukan untuk melindungi kelestariannya, akan tetapi masih terdapat banyak ancaman
yang secara langsung maupun tidak langsung mengancam populasi komodo di habitat
alami. Ancaman tersebut antara lain perburuan satwa mangsa dan perusakan habitat asli.
A. Klasifikasi
Klasifikasi komodo dalam San Diego Zoo Library mengklasifikasikan komodo
dalam klasifikasi satwa sebagai berikut:
Kingdom
: Animalia
Filum
: Chordata
Kelas
: Reptilia
Ordo
: Squamata
Family
: Varanidae
Genus
: Varanus
Species
: Varanus komodoensis
B. Distribusi
Penyebaran komodo meliputi Pulau Flores bagian barat, Pulau Komodo, Pulau
Rinca, Pulau Padar, Gilimotang dan Pulau Mada Sumbi. Penyebaran di Pulau Flores
ada 2 bagian yaitu di bagian barat Pulau Flores mulai dari Labuan Bajo hingga
Nanggili, di bagian Pantai Utara mulai dari Dampek sampai sebelah barat Riung.
Survey komodo pada tahun 2000 mencatat jumlah sebanyak 1.009 komodo di Pulau
Komodo dan 1.001 komodo di Pulau Rinca. Jumlah tersebut lebih rendah
dibandingkan survei yang diadakan tahun sebelumnya dimana populasi yang tercatat
berkisar dari 1.062 - 1.772 komodo di Pulau Komodo dan 1.110 - 1.344 komodo di
Pulau Rinca
C. Status Konservasi
Komodo ditetapkan sebagai satwa nasional yang menjadi kebanggaan bangsa
Indonesia melalui Keputusan Presiden No. 4 tahun 1992. Keberadaan komodo
sangat dilindungi baik secara nasional maupun internasional karena dianggap
penting dalam ilmu pegetahuan. Berdasarkan Peraturan Pemerintah No.7 tahun 1999
Komodo masuk dalam daftar satwa yang dilindungi. Secara internasional, komodo
oleh IUCN dikategorikan sebagai jenis yang berstatus Vurnerable dan masuk dalam
Appendix I CITES.
2.3 Badak Jawa (Rhinoceros sondaicus)
Gambar 4: Badak Jawa (Rhinoceros sondaicus) (sumber gambar:
http://pluspng.com/badak-png-9091.html)
Badak jawa (Rhinoceros sondaicus) merupakan spesies paling langka diantara 5 spesies
badak yang ada di dunia. Badak jawa merupakan spesies paling terancam. Populasinya
di alam liar hanya tinggal 50-an ekor dan hanya ditemukan di kawasan Taman Nasional
Ujung Kulon, ujung paling barat pulau Jawa.
Populasi badak jawa pernah mengalami titik kritis pada tahun 1960-an, dimana hanya
ditemukan
sekitar
20
ekor.
Sejak
tahun
1980-an
hingga
saat
ini
perkembangan populasinya cukup stabil pada kisaran 40 - 60 ekor. Jumlah ini masih
riskan dari kepunahan. Untuk menghindar dari bahaya kepunahan idealnya ada lebih
dari 500 ekor badak jawa yang hidup di alam liar dengan sebaran habitat yang lebih
luas. Saat ini habitat hidup badak jawa terbatas hanya di Taman Nasional Ujung Kulon.
Di masa lampau badak jawa tidak hanya ada di pulau Jawa, melainkan tersebar
hingga ke Asia daratan mulai dari Vietnam sampai ke Benggal, India. Perburuan besarbesaran disinyalir menjadi penyebab utama penyusutan populasinya. Di Indonesia
sendiri pada abad ke-18 badak jawa pernah dianggap sebagai hama yang mengganggu
tanaman perkebunan. Bahkan pemerintah kolonial Belanda yang berkuasa saat itu
pernah mengadakan sayembara dengan hadiah sebesar 10 gulden bagi siapa saja yang
berhasil membunuhnya.
Secara umum Badak Jawa memiliki ciri-ciri fisik sebagai berikut:
1. Bobot tubuhnya sekitar 900 - 2300 kg dengan tinggi tubuh 1,5 - 1,7 meter dan
panjang tubuh dari moncong mulut hingga ekor bisa mencapai 4 meter.
2. Memiliki satu cula yang menyembul di atas hidungnya. Panjang cula sekitar 20 - 25
cm. Hanya badak jantan yang memiliki cula yang panjang, pada badak betina ukuran
cula sangat kecil nyaris tidak tampak bahkan pada betina tertentu tidak memiliki
cula.
3. Warna tubuh abu-abu gelap hingga hitam, semakin tua warna tubuhnya semakin
gelap. Sedikit berambut di bagian telinga dan ekornya sedangkan tubuhnya tidak
ditumbuhi rambut.
A. Klasifikasi
Nama ilmiah Badak Jawa adalah Rhinoceros sondaicus. Penamaan itu diambil dari
bahasaYunani, “rhino” yang
berarti
hidung, “ceros”berarti
cula.
Sedangkan
“sondaicus” merujuk pada kata “Sunda” yang berada di pulau Jawa. Dalam bahasa
Inggris disebut Javan Rhino.
Kingdom
: Animalia
Filum
: Chordata
Kelas
: Mammalia
Ordo
: Perissodactyla
Famili
: Rhinocerotidae
Genus
: Rhinoceros
Spesies
: Rhinoceros sondaicus
B. Distribusi
Sebelum memasuki abad ke-19, selain di Pulau Jawa, Badak Jawa ditemukan
ditemukan hidup di daratan Asia. Beberapa penelitian melaporkan keberadaan satwa
ini di Bengal, India, Banglades, Indocina, Cina Tenggara, semenanjung Malaya dan
Sumatera. Di awal abad ke-20 masih dilaporkan terdapat Badak Jawa di Burma,
Laos, Kamboja dan Vietnam. Badak jawa terakhir yang ada di luar Pulau Jawa
terdapat di Taman Nasional Cat Tien Vietnam dan diketahui telah punah pada tahun
2011.
Di Indonesia, sebelum abad ke-19 Badak Jawa dipastikan pernah hidup di Pulau
Sumatera dari Aceh hingga ke Lampung. Sedangkan keberadaannya di Pulau Jawa
tersebar hingga ke Jawa Tengah. Pada tahun 1833 masih ditemukan di Wonosobo.
Titik lain yang diketahui pernah menjadi habitat Badak Jawa antara lain Gunung
Tangkuban Perahu, Gunung Papandayan, Gunung Ciremai dan Gunung Gede
Pangrango. Bahkan dilaporkan juga satwa ini pernah ditemukan di Karawang.
Keberadaan Badak Jawa di luar Ujung Kulon, terakhir tercatat ada di
Karangnunggal Tasikmalaya, kala itu tahun 1834 seorang Belanda menembak badak
tersebut dan hingga kini spesimennya tersimpan di Museum Zoologi, Bogor.
Saat ini, Badak Jawa hanya ditemukan di Taman Nasional Ujung Kulon. Tidak
semua kawasan taman nasional menjadi habitat badak. Satwa ini hanya hidup di
beberapa titik tertentu saja. Beberapa daerah yang menjadi habitat badak antara lain
di daerah selatan taman nasional seperti Cibandawoh, Cikeusik, Citadahan dan
Cibunar. Serta di semenanjung Ujung Kulon bagian utara seperti Cigenter, Cikarang,
Nyiur, Nyawaan, Cimayang, Citerjun, dan Cijengkol.
Gambar 5: Sebaran distribusi Badak Jawa (Rhinoceros sondaicus) (Risnandar, 2018)
C. Status Konservasi
IUCN telah menetapkan status badak jawa sebagai critically endangered dan
kemudian CITES (Convention on International Trade in Endangered Species)
menempatkan badak jawa dalam Appendix 1 yang berarti berdasarkan peraturan
internasional tidak diperbolehkan adanya perdagangan produk ataupun turunannya.
Populasi badak jawa saat ini hanya terdapat di kawasan TNUK yang diperkirakan
hanya tinggal 47 ekor.
2.4 Orangutan Sumatera (Pongo abelii)
Gambar 6: Orangutan Sumatera (Pongo abelii) (sumber gambar:
http://pngimg.com/imgs/animals/orangutan/)
Orangutan merupakan satu-satunya kera besar yang hidup di Asia, sementara tiga
kerabatnya, yaitu; gorila, simpanse, dan bonobo hidup di Afrika. Kurang dari 20.000
tahun yang lalu orangutan dapat dijumpai di seluruh Asia Tenggara, dari Pulau Jawa di
ujung selatan sampai ujung utara Pegunungan Himalaya dan Cina bagian selatan. Akan
tetapi, kini orangutan hanya ditemukan di Sumatera dan Borneo (Kalimantan).
Populasi Orangutan Sumatera (Pongo abelii) di alam menghadapi ancaman kepunahan,
hingga menyebabkan spesies ini dimasukkan ke dalam status sebagai Critically
Endangered oleh International Union for Conservation of the Nature. Sejak tahun 1931,
orangutan sumatera telah dilindungi oleh Peraturan Perlindungan Binatang Liar 1931
No. 233, Undang-Undang nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam
Hayati dan Ekosistemnya, lalu terbit Surat Keputusan Menteri Kehutanan 10 Juni 1991
No. 301/KptsII/1991 dan Peraturan Pemerintah nomor 7 tahun 1999 tentang Pengawetan
Jenis Tumbuhan dan Satwa menyatakan bahwa orangutan sumatera masuk ke dalam
daftar satwa yang dilindungi di Indonesia. CITES (2014) sebagai konvensi atau
perjanjian internasional di bidang perdagangan flora dan fauna liar menggolongkan
orangutan sumatera ke dalam golongan Appendix I yang artinya satwa tersebut dilarang
diperdagangkan oleh manusia mengingat keterancaman terhadap satwa tersebut sangat
tinggi.
Saat ini hampir semua orangutan sumatera hanya ditemukan di Provinsi Sumatera Utara
dan Provinsi Aceh, dengan Danau Toba sebagai batas paling selatan sebarannya.
Populasi orangutan terbesar di Sumatera dijumpai di Leuser Barat (2.508 individu) dan
Leuser Timur (1.052 individu), serta Rawa Singkil (1.500 individu). Populasi lain yang
diperkirakan potensial untuk bertahan dalam jangka panjang terdapat di Batang Toru.
Diperkirakan jumlah total populasi orangutan sumatera kini tinggal 6000 ekor.
Orangutan sumatera memiliki rambut berwarna coklat kemerahan cerah yang panjang,
lebat, dan tebal di seluruh permukaan tubuhnya kecuali muka, telapak tangan, dan
telapak kaki. Rambut orangutan sumatera tipis, berbentuk membulat, dan secara
mikroskopis mempunyai kolom pigmen gelap yang halus, serta sering patah di bagian
tengahnya. Kantung tenggorokan orangutan sumatera berukuran kecil. Orangutan
sumatera jantan memiliki pinggiran muka mendatar. Tungkai depan satwa ini lebih
panjang daripada tungkai belakang.
A. Klasifikasi Orangutan Sumatera
Indonesia memiliki dua jenis orangutan, salah satunya adalah orangutan sumatera.
Klasifikasi orangutan sumatera:
Kingdom
: Animalia
Phylum
: Chordata
Class
: Mammalia
Ordo
: Primata
Family
: Hominidae
Genus
: Pongo
Species
: Pongo abelii
B. Distribusi
Orangutan sumatera hidup di hutan tropik dataran rendah, rawa-rawa, hingga
perbukitan yang mencapai ketinggian 1.500 mdpl, dengan batas-batas alam yang
tidak dapat dilalui seperti sungai dan gunung dengan ketinggian lebih dari 2.000
mdpl. Direktorat Jenderal PHKA Departemen Kehutanan Republik Indonesia (2007)
menyatakan bahwa tidak semua kawasan hutan di Sumatera didiami oleh orangutan
sumatera. Orangutan sumatera ditemukan di kawasan Taman Nasional Gunung
Leuser yang terbentang dari Provinsi Daerah Istimewa Aceh sampai Sumatera Utara.
2.5 Tarsius (Tarsius fuscus)
Gambar 7: Perbedaan morfologi jenis-jenis tarsius yang terdapat di Sulawesi
(Mansyur, 2012)
Tarsius merupakan salah satu primata terkecil dan beberapa di antara anggota spesiesnya
merupakan satwa endemik Sulawesi yang terancam punah dan dilindungi. Tarsius
memiliki rambut tebal dan halus yang menutupi tubuhnya. Warna rambut bervariasi,
tergantung dari jenis, yaitu merah tua, coklat hingga keabuabuan. Tarsius yang berasal
dari Sulawesi memiliki ciri khas bila dibandingkan dengan jenis lain yaitu adanya
rambut warna putih di belakang telinga dan rambut penutupnya berwarna abu-abu.
Panjang tubuh 85 - 160 mm, dan panjang ekornya 135 - 275 mm. Berat tubuh tarsius
jantan dewasa sekitar 75 - 165 g. Panjang kaki jauh lebih panjang bila dibandingkan
dengan panjang tangan bahkan panjang tubuh secara total. Hal ini berkaitan dengan cara
bergeraknya, yaitu meloncat. Di Sulawesi terdapat 11 jenis tarsius, yaitu T. tarsier, T.
fuscus, T. sangirensis, T. pumilus, T. dentatus, T. pelengensis, T. lariang, T. tumpara, T.
wallacei dan 2 jenis yang diketahui dari jenis berbeda.
A. Klasifikasi
Klasifikasi Tarsius fuscus adalah sebagai berikut:
Kingdom
: Animalia
Filum
: Chordata
Kelas
: Mammalia
Ordo
: Primata
Famili
: Tarsiidae
Genus
: Tarsius
Species
: Tarsius fuscus
B. Distribusi
Tarsius banyak ditemukan di luar hutan lindung atau area perbatasan hutan
antara hutan primer dengan hutan sekunder, hutan sekunder dengan perkebunan
masyarakat serta areal perladangan atau pertanian. Sedangkan pohon tidur atau
sarang tarsius umumnya ditemukan di sekitar hutan sekunder dan perladangan
dengan vegetasi yang rapat. Pohon tidur atau sarang tarsius lebih banyak
menempati jenis-jenis pohon Bambusa sp., Ficus sp., Imperata cylindrica,
Arenga pinnata dan Hibiscus tiliaceus, kelompok tarsius di hutan primer lebih
sering memilih tempat tidur di rongga-rongga pohon yang berlubang terutama
pohon Ficus sp., pandan hutan, bambu, dan umumnya jenis berongga,
terlindung dari sinar matahari dan agak gelap.
Kawasan hutan Pattunuang (dahulunya merupakan Taman Wisata Alam
sebelum diintegrasikan menjadi taman nasional) di sepanjang hutan riparian
Bisseang Labboro (Bislab) dan Gua Pattunuang, mulai dari HM 1000 sampai
HM 2500 termasuk lokasi yang bagus untuk pengamatan tarsius.
Gambar 8: Peta distribusi genus dan spesies Tarsiidae (Mansyur, 2012)
C. Status Konservasi
Sejak tahun 1931, tarsius sudah dilindungi berdasarkan Peraturan Perlindungan
Binatang Liar No. 266 tahun 1931, diperkuat dengan Undangundang No. 5
tahun 1990, serta Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 301/Kpts-II/1991
yang dikeluarkan tanggal 10 Juni 1991. Tarsius juga termasuk dalam daftar
satwa yang dilarang untuk diperdagangkan dalam daftar Appendix II CITES.
Kategori terbaru IUCN Red List of Threatened Species 2008 telah memasukkan
tarsius dalam kategori Critically Endangered (kritis) untuk spesies tarsius yang
baru diidentifikasi, yaitu T. tumpara di Pulau Siau. Hal ini disebabkan karena
spesies ini berada di suatu pulau yang memiliki kepadatan penduduk yang
tinggi dan mempunyai kebiasaan untuk mengkonsumsi tarsius.
Status T. fusucus sampai saat ini masih tergolong dalam vulnerable dalam Red
List yang dikeluarkan oleh IUCN 2011. Akan tetapi status ini dapat berubah
apabila penelitian mengenai tarsius terus dilakukan dan populasi jenis ini dapat
diperkirakan maka tidak menutup kemungkinan statusnya akan meningkat
menjadi Endangered.
2.6 Jalak Bali (Leucopsar rothschildi)
Gambar 9: Jalak Bali (Leucopsar rothschildi), (sumber gambar:
https://unsurimba.blogspot.com/2018/09/suara-burung-jalak-bali.html)
Jalak Bali (Leucopsar rothschildi) adalah burung endemik Pulau Bali, dan distribusinya
sampai tahun 2005 hanya ada di Taman Nasional Bali Barat (TNBB). Jalak Bali
menghadapi risiko kepunahan yang sangat tinggi di TNBB, karena banyak terjadi
pencurian.Burung jalak Bali memiliki beberapa ciri seperti warna bulu yang putih di
hampir semua tubuhnya, kecuali pada kali dan juga pipi muka. Sedangkan untuk mata
burung jalak Bali memiliki warna cokelat tua. Kemudian burung ini juga memiliki
jambul pada kepalanya sehingga akan membuat burung ini menjadi terlihat cantik.
Untuk paruh pada burung ini juga berbentuk runcing dan juga memiliki panjang kurang
lebih 2 sampai dengan 5 cm.
A. Klasifikasi
Kingdom
: Animalia
Filum
: Chordata
Kelas
: Aves
Ordo
: Passeriformes
Famili
: Sturnidae
Genus
: Leucopsar
Spesies
: Leucopsar rothschildi
B. Distribusi
Penyebaran Jalak Bali mencapai daerah Bubunan sekitar 50 km sebelah timur
kawasan TNBB dan Desa Manistutu sebelah selatan kecamatan Negara. Kondisi
iklim dan musim berbuah dari tanamantanaman tertentu yang ada di sekitar TNBB
sangat menentukan daerah jelajah Jalak Bali. Pada kondisi iklim normal dan curah
hujan cukup, Jalak Bali cenderung menetap di bagian barat dan utara kawasan
TNBB antara lain di daerah Batu Licin, Lampu Merah sampai Teluk Kelor dan
Lembah Batu Gondang. Pada musim kering Jalak Bali sering ditemui mencari
makan di lembah-lembah sempit Teluk Brumbun atau disekitar pemukiman Tegal
Bunder
C. Status Konservasi
Sejak tahun 1966 Jalak Bali dimasukkan ke dalam kategori kritis (Critically
endangered) oleh IUCN Red List of Threatened Species. Selain itu, CITES
memasukkan burung tersebut ke dalam Appendix I. Jalak Bali dilindungi Pemerintah
Indonesia dengan Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 421/Kpts/Um/8/1970,
kemudian juga Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 7 tahun 1999
tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa.
Konservasi Jalak Bali di TNBB telah dilakukan oleh Kementerian Kehutanan,
BirdLife International, dan American Association of Zoological Park and Aquarias
(AAZA), sejak tahun 1987-2000. Usaha yang dilakukan adalah peningkatan
pengamanan di TNBB, penyuluhan pentingnya masyarakat mendukung pelestarian
Jalak Bali dan pelepasliaran Jalak Bali di TNBB.
BAB III
KESIMPULAN
Di Indonesia terdapat 816 jenis satwa endemik, dari jumlah tersebut 71 jenis satwa sudah
masuk dalam Red List IUCN (International Union for the Conservation of Nature and
Natural Resource). Berikut 6 jenis satwa endemik Indonesia diantaranya:
No.
Spesies
1
Babulus depressicornis
Status Konservasi
Distribusi
Oleh IUCN dimasukkan kedalam
Distribusi anoa di
kategori terancam punah (EN).
wilayah daratan Sulawesi
Terdaftar dalam Appendix I CITES. dan Pulau Buton.
2
Varanus komodoensis
Oleh IUCN dikategorikan sebagai
Penyebaran
komodo
jenis yang berstatus Vurnerable
meliputi
Pulau
Flores
(VU) dan masuk dalam Appendix I
bagian
barat,
Pulau
CITES
Komodo, Pulau Rinca,
Pulau Padar, Gilimotang
dan Pulau Mada Sumbi.
3
Rhinoceros sondaicus
Oleh IUCN dikategorikan sebagai Saat ini, Badak Jawa
jenis
yang
berstatus
Critically hanya
ditemukan
di
Endangered (CR) dan Terdaftar Taman Nasional Ujung
dalam Appendix I CITES.
4
Pongo abelii
Kulon.
Oleh IUCN dikategorikan sebagai Orangutan
jenis
yang
berstatus
sumatera
Critically ditemukan di kawasan
Endangered (CR) dan Terdaftar Taman Nasional Gunung
dalam Appendix I CITES.
Leuser yang terbentang
dari
Provinsi
Daerah
Istimewa Aceh sampai
Sumatera Utara.
5
Tarsius fuscus
Oleh IUCN dikategorikan sebagai Hutan - hutan Sulawesi
jenis
yang
berstatus
Critically Utara hingga Sulawesi
Endangered (CR) dan Terdaftar Selatan
dalam Appendix I CITES.
6
L. rothschildi
Oleh IUCN dikategorikan sebagai Taman
jenis
yang
berstatus
Critically Barat (TNBB)
Endangered (CR) dan Terdaftar
dalam Appendix I CITES.
Nasional
Bali
DAFTAR PUSTAKA
1. Astirin, O. P. (2000). Problems of Biodiversity Management in Indonesia.
Biodiversitas, Journal of Biological Diversity, 1 (1); 36–40
2. Christita, Margaretta & Mayasari, Anita & Suryaningsih, Rahma & Arini, Diah &
Tri Joy Simamora, Adven & , Jafred.D.Halawane & Kinho, Julianus & Suryawan,
Ady yes. (2018). Pendidikan Konservasi Satwa Endemik Sulawesi Anoa (Bubalus
spp.) Melalui Anoa School Outreach di Sulawesi Utara.
3. Arini, D. I. D. 2013. Anoa dan Habitatnya di Sulawesi Utara. Balai Penelitian
Kehutanan Manado. Manado, Indonesia. 61 hal.
4. Chrismiawati, Marliana. (2008). Identifikasi Karakteristik Sarang Berbiak Komodo
(Varanus komodoensis) Di Loh Buaya Pulau Rinca Taman Nasional Komodo, Nusa
Tenggara Timur.
5. Risnandar C. 2018. Badak Jawa. Ensiklopedi Jurnal Bumi
6. Mansyur F. I,. 2012. Karakteristik Habitat Dan Populasi Tarsius (Tarsius fuscus) Di
Resort Balocci Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung Sulawesi Selatan.
https://repository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/60892/9/E12fim.pdf
Download