tingkat analisa dalam hubungan internasional

advertisement
Hartanto, S.I.P, M.A.
 Ilmu Hubungan Internasional dituntut untuk mampu
mendeskripsikan, menjelaskan dan meramalkan
fenomena internasional yang terjadi.
 Untuk mampu melakukan hal-hal tersebut,
ilmuwan HI dituntut untuk mampu memberikan
analisa yang tajam dan tepat, dimana salah satu kunci
keberhasilannya adalah ketepatan menentukan
tingkat analisa (level of analysis) yang akan digunakan
dalam memahami fenomena sosial yang terjadi.
 Pertama, satu peristiwa dapat saja memiliki lebih dari satu
faktor penyebab.
 Kedua, membantu memilah-milah faktor yang akan menjadi
penekanan utama di dalam penganalisaan masalah. Karena tidak
semua tingkat analisa penting atau memiliki pengaruh
signifikan di dalam sebuah peristiwa.
 Ketiga, untuk meminimalisir kemungkinan terjadinya
kesalahan metodologis yang disebut sebagai,
1) fallacy of composition, yaitu kesalahan berasumsi bahwa
generalisasi tentang perilaku “bagian” bisa juga dipakai untuk
menjelaskan “keseluruhan”, dan; 2) ecological fallacy, yaitu
kesalahan akibat memakai generalisasi yang ditarik pada tingkat
“keseluruhan” untuk menjelaskan tingkat “bagian”

Mohtar Mas’oed, Ilmu Hubungan Internasional: Disiplin dan Metodologi,
(Jakarta: LP3ES, 1994).
 Unit analisa adalah
obyek yang perilakunya akan dianalisa atau
disebut jugadengan variabel dependen.
 Unit eksplanasi adalah obyek yang mempengaruhi
perilaku unit analisayang akan digunakan atau
disebut juga sebagai variabel independen.
 model korelasionis jika
tingkat unit eksplanasi dan unit analisanya sama.
 model induksionis jika
tingkat unit eksplansinya lebih tinggi dari tingkat unit
analisa
 model reduksionis jika tingkat unit eksplanasi lebih
rendah dari tingkat unit analisa.
Unit Analisa
Individu &
Kelompok
Unit Eksplanasi
Negara-Bangsa
Sistem Regional
dan Global
Individu &
Kelompok
korelasionis
reduksionis
reduksionis
Negara-Bangsa
induksionis
korelasionis
reduksionis
Sistem Regional
dan Global
induksionis
induksionis
korelasion
Sumber: Mohtar Mas’oed, Ilmu Hubungan Internasional: Disiplin dan Metodologi, Jakarta: LP3ES, 1994.
 Kenneth Waltz membaginya menjadi tiga, yaitu individu,
negara dan sistem internasional.
 John Spanier menegaskan tiga tingkat analisa, yaitu
tingkat system, tingkat negara-bangsa dan tingkat
pembuat keputusan (individu).
 Stephen Andriole mengidentifikasi lima tingkat analisa,
yaitu individu, kelompok individu, negara-bangsa, antar
negara atau multi-negara dan sistem internasional.
 Patrick Morganmengusulkan lima tingkat analisa, yaitu
individu, kelompok individu, negara-bangsa, kelompok
negara-bangsa dan sistem internasional.
 Bruce Russet dan Harvey Starr menetapkan enam
tingkat analisa, yaitu individu pembuat keputusan dan
sifat-sifat kepribadiannya, peranan yang dijalankan oleh
para pembuat keputusan tersebut, struktur pemerintah
tempat mereka melakukan kegiatan, masyarakat tempat
mereka tinggal dan yang mereka perintah, jaringan
hubungan antara para pembuat keputusan itu dengan
aktor-aktor internasional lainnya, dan tingkat sistem
dunia.
 Mohtar Mas’oed sendiri membaginya menjadi lima
tingkat analisa, yaitu perilaku individu, perilaku kelompok,
negara-bangsa, pengelompokan negara-negara dan sistem
internasional.
 Di dalam tingkat perilaku individu, fokus penelaahan
adalah sikap dan perilaku tokoh-tokoh utama
pembuat keputusan, seperti kepala pemerintahan,
menteri luar negeri, penasehat militer dan lain-lain.
 Pada tingkat perilaku kelompok, yang menjadi fokus
utama adalah mempelajari perilaku kelompokkelompok dan organisasi-organisasi yang terlibat di
dalam hubungan internasional.
 Sementara di tingkat negara-bangsa, penelaahan
difokuskan pada proses pembuatan keputusan tentang
hubungan internasional, yaitu politik luar negeri, oleh
suatu negara-bangsa sebagai satu kesatuan yang utuh.
Di tingkat ini asumsinya adalah semua pembuat
keputusan, dimana pun berada, pada dasarnya
berperilaku sama apabila menghadapi situasi yang
sama. Dengan demikian, analisa harus ditekankan
pada perilaku negara-bangsa karena hubungan
internasional pada dasarnya didominasi oleh perilaku
negara bangsa.
 Pada tingkat pengelompokan negara, asumsinya
adalah seringkali negara-bangsa tidak bertindak
sendiri-sendiri melainkan sebagai sebuah kelompok.
Karena itu fokusnya adalah pengelompokan negaranegara baik di tingkat regional maupun global, yang
berupa aliansi, persekutuan ekonomi dan
perdagangan, dan lain-lain,
 Di tingkat tertinggi, yaitu sistem internasional, fokus
kajiannya adalah sistem internasional itu sendiri.
Asumsinya adalah perubahan atau dinamika di dalam
sistem internasional menentukan perilaku aktor-aktor
HI.
 Joshua S. Goldstein yang juga berusaha menjelaskan
tingkat-tingkat analisa di dalam HI. Goldstein
membaginya menjadi empat tingkat analisa, yaitu
tingkat individu, tingkat domestik, tingkat antar
negara dan tingkat global
 Di tingkat individu fokusnya adalah persepsi, pilihan
dan tindakan yang diambil oleh seorang individu.
 Sementara di tingkat domestik, kajian diarahkan pada
pengaruh yang diberikan oleh sekelompok orang di
dalam negara terhadap tindakan atau keputusan yang
diambil negara. Kelompok-kelompok itu adalah
organisasi politik, kelompok kepentingan dan/atau
lembaga-lembaga negara (government agencies).
Selain itu, Goldstein juga memasukan, konflik etnis,
tipe sistem politik, military-industrial complex (MIC),
jender, sektor ekonomi dan industri, dan opini publik
ke dalam tingkat domestik.
 Di tingkat antar-negara atau tingkat sistem, perhatian
diberikan pada pengaruh yang diberikan oleh sistem
internasional terhadap aktor-aktor HI. Dengan demikian
fokusnya adalah interaksi antar negara itu sendiri. Salah
satunya adalah memberikan perhatian pada posisi
kekuatan/kemampuan (power) relatif negara-negara di
dalam sistem internasional. Contoh yang diberikan
Goldstein adalah balance of power, aliansi, perjanjian dan
kesepakatan, dan lain-lain.
 Di tingkat global, perhatian diberikan pada tren global dan
tekanan-tekanan yang mendorong terjadinya perubahanperubahan di dalam interaksi antar negara. Misalnya
adalah, perubahan teknologi, revolusi informasi,
imperialisme barat, dan lain-lain.
 Pertama, teori yang yang kita gunakan untuk meneliti fenomena,
menuntun kita untuk memilih tingkat analisa yang hendak
dipakai. Jika teori yang digunakan menekankan pada pengaruh sistem
dalam menentukan perilaku aktor-aktor HI maka tingkat analisa dari
unit eksplanasinya adalah tingkat atau level sistem. Begitu pula jika
penekanan teorinya pada negara-bangsa atau individu, maka unit
eksplanasinya serta-merta berada pada level negara-bangsa atau
individu.
 Kedua, begitu pula dengan tujuan analisa. Setidanya ada dua
pertimbangan dalam tujuan analisa. Pertama, tujuan akademik, yaitu
untuk memperoleh atau mengembangkan pengetahuan tentang ilmu
hubungan internaisonal. Kedua, tujuan praktis (policy-oriented).
Tujuan yang kedua ini lebih banyak digunakan oleh para pengambil
keputusan. Mereka ini akan lebih menyukai tingkat analisa yang
berkaitan atau memiliki dampak langsung terhadap kepentingan
mereka. Misalnya, para penjabat pemerintahan akan lebih menyukai
analisa di tingkat negara-bangsa karena langsung bersentuhan dengan
pekerjaan dan tugas mereka.

Sistem Internasional bersifat anarkis

Negara merupakan aktor utama dalam sistem
internasional

Politik internasional adalah perjuangan untuk
kekuasaan (struggle for power)

Hubungan antar negara ditentukan kemampuan
komparatif mereka di bidang militer dan
ekonomi
Morgenthau (Politics Amongs Nations):







politik diatur oleh hukum obyektif yang berakar dari sifat
manusia,
konsep kepentingan yang diartikan sebagai kekuasaan (power),
bentuk dan sifat kekuasaan negara akan beragam dalam hal
waktu, tempat dan konteks, tetapi konsep kepentingan tetap
konsisten,
pentingnya moral dalam tindakan politik tetapi prinsip moral
universal tidak memandu prilaku negara meskipun prilaku
negara memiliki implikasi moral dan etika tertentu,
tidak ada prinsip moral yang diakui secara universal, dan
secara intelektual, lingkup politik berbeda dengan lingkup
lainnya baik, hukum, moral maupun ekonomi.
 Morgenthau (1985: 32-33):
 Power means man’s control over the minds and actions of the other
men.
 Political power refers to mutual relations of control among holders
of public authority and between the latter and the people at large.
 Political power is a psychological relation between those who
exercise it and those over whom it is exercised. It gives the former
control over certain actions of the latter through the impact which
the former exert on the latter minds. The impact derives from three
sources: the expectation of benefit, the fear of disadvantages, the
respect or love for men or institutions. It maybe exerted through
order, threats, the authority or charisma of man or of an office, or a
combination of any these.
 Arnold Wolfers (1962:103):
 Power is the ability to move others or to get them to do
what one wants them to do and not to do what one does
not want them to do.
 K.J. Holsti (1967: 160):
 Power is general capacity of a state to control the
behavior of others.
 Power is a multidimensional concept consisting of (1) the
act by which one actor influences another actor, (2) the
capabilities utilized for this purpose, and (3) the respon
solicited.
 Tidak ada keselarasan kepentingan (harmony of
interest) antar bangsa, karena antar negara-bangsa
sering memiliki tujuan-tujuan nasional yang
berkonflik, bahkan beberapa di antaranya
mengarah pada perang. Tugas negarawan adalah
meminimalisir konflik antar manusia.
 Prospek perubahan sistem internasional secara
mendasar dan dramatis tidak besar, karena sistem
internasional dibentuk oleh sejumlah kekuatan
yang beberapa di antaranya tidak berubah dan
tidak dapat diubah.
 Sifat manusia pada dasarnya tetap atau setidaknya
tidak mudah berubah, dan sifat manusia tidak baik
dan tidak sempurna, dan tujuannya adalah mencari
kekuasaan.
 Sulitnya mencapai perdamaian melalui hukum dan
organisasi internasional, atau dengan pemerintahan
dunia, perlu ada manajemen kekuasaan, seperti
balance of power, untuk mencegah munculnya
hegemon.
 E.H. Carr
 Hans J. Morgenthau
 Reinhold Niebuhr
 Nicholas Spykman
 Frederick Schuman
 George Kenan
 Mohtar Mas’oed, Ilmu Hubungan Internasional: Disiplin dan Metodologi,






(Jakarta: LP3ES, 1994).
Kenneth Waltz, “Explaining War” di dalam Paul R. Viotti & Mark V.
Kauppi, International Relations Theory: Realism, Pluralism, Globalism,
2nd edition, (New York & Toronto: McMillan, 1993), hal. 123-142. Bacaan lebih
lanjut lihat Kenneth Waltz, Man, the State and War, (Columbia University
Press, 1954).
John Spanier, Games Nation Play: Analyzing International Politics (Holt
Rinehart & Winston, 1981).
Stephen Andriole, “The Levels of Analysis Problems and The Study Foreign
International and Global Affairs: A Review Critique, and Another Final
Solution”, (International Interaction, Vol. 5, No. 2, 1978).
Patrick Morgan, Theories and Approaches to International Politics,
(Transaction, 1982).
Bruce Russet & Harvey Starr, World Politics: The Menu for Choice,(freeman,
1985).
Joshua S. Goldstein, International Relations, 5th edition, (India: Pearson
Education, 2003).
Download