BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1.1. Defenisi

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.1. Defenisi Kanker
Kanker
adalah sekelompok
penyakit
yang
ditandai dengan
pertumbuhan tidak terkendali sel tubuh tertentu yang berakibat merusak sel
dan jaringan tubuh lain, bahkan sering berakhir dengan kematian. Karena
sifatnya demikian “ganas” (tumbuh tak terkendali dan berakibat kematian),
maka kanker juga disebut sebagai penyakit keganasan, dan sel kanker
disebut juga sel ganas. Semua sel tubuh dapat terkena kanker, kecuali
rambut, gigi dan kuku (Hendry,dkk 2007).
Kanker merupakan penyakit atau kelainan pada tubuh sebagai akibat
dari sel-sel tubuh yang tumbuh dan berkembang abnormal, diluar batas
kewajaran dan sangat liar. Keadaan kanker terjadi jika sel-sel normal
berubah dengan pertumbuhan yang sangat cepat, sehingga tidak dapat
dikendalikan oleh tubuh dan tidak berbentuk. Kanker dapat terjadi disetiap
bagian tubuh. Bila kanker terjadi di bagian permukaan tubuh, akan mudah
diketahui dan diobati. Namun bila terjadi di dalam tubuh, kanker itu akan
sulit diketahui dan kadang-kadang tidak memiliki gejala. Kalaupun timbul
gejala, biasanya sudah stadium lanjut sehingga sulit diobati (Iskandar,
2007).
Universitas Sumatera Utara
Dalam keadaan normal, sel hanya akan membelah diri bila tubuh
membutuhkannya seperti mengganti sel-sel yang rusak atau mati.
Sebaliknya, sel kanker akan membelah diri meskipun tidak dibutuhkan
sehingga terjadi kelebihan sel-sel baru. Kanker dapat tumbuh di semua sel
jaringan tubuh, seperti sel kulit, sel hati, sel darah, sel otak, sel lambung, sel
usus, sel paru, sel saluran kencing, dan berbagai macam sel tubuh lainnya.
Oleh karena itu, dikenal bermacam-macam jenis kanker menurut sel atau
jaringan asalnya. Keadaan ini yang menyebabkan adanya perbedaan
kecepatan
pertumbuhannya
maupun
reaksi
terhadap
pengobatan
(Delimartha, 2003).
2.1.2. Mekanisme terjadinya kanker
Sebagian besar bukti mengisyaratkan bahwa pembentukan kanker
merupakan suatu proses bertingkat yang membutuhkan lamanya waktu
laten, yang disebut teori inisiasi-promosi pada karsinogenesis. Sel-sel
kanker terbentuk dari sel-sel normal dalam suatu proses kompleks yang
disebut transformasi yang terdiri dari tahap inisiasi dan promosi (Iskandar,
2007).
Teori
inisiasi-promosi
menyatakan
bahwa
langkah
pertama
karsinogenesis adalah mutasi menetap dari DNA sel selama transkripsi
DNA. Agar kanker dapat terbentuk dari kejadiaan awal ini atau mutasi
menetap ini, maka harus ada interaksi yang berlangsung lama bagi sel
tersebut dengan berbagai zat promoter. Zat-zat promoter adalah zat yang
merangsang reproduksi dan pembelahan sel. Jadi, banyaknya penyebab
Universitas Sumatera Utara
inisiasi, adanya berbagai promoter, factor keturunan, umur dan lingkungan
semua itu berperan dalam pembentukan kanker (Iskandar, 2007).
Pada tahap inisiasi atau pengenalan terjadi suatu perubahan menetap
tertentu dalam bahan genetik sel yang memancing sel bakal menjadi ganas.
Perubahan dalam bahan genetik sel ini disebabkan oleh suatu agen yang
disebut karsinogen, yang bisa berupa bahan kimia, virus, radiasi
(penyinaran), atau sinar ultraviolet matahari. Namun, tidak semua sel
memiliki kepekaan yang sama terhadap suatu karsinogen (Iskandar, 2007).
Promosi merupakan proses induksi tumor pada sel yang sebelumnya
telah diinisiasi atau diinduksi oleh zat kimia. Bahkan gangguan fisik
menahun pun bisa membuat sel menjadi lebih peka untuk mengalami suatu
keganasan. Pada tahap promosi, suatu sel yang telah mengalami inisiasi
akan berubah menjadi ganas. Sel yang belum melewati tahap inisiasi tidak
akan terpengaruh oleh promosi. Karena itu diperlukan beberapa faktor
untuk terjadinya keganasan (gabungan dari sel yang peka dan suatu
karsinogen) (Iskandar, 2007).
Dalam suatu proses di mana sebuah sel normal menjadi sebuah sel
ganas, pada akhirnya gen DNA (desoksiribonukleik acid) dari sel tersebut
akan mengalami perubahan. Perubahan dalam bahan genetic sel sering sulit
ditemukan, tetapi terjadinya kanker kadang dapat diketahui dari adanya
suatu perubahan dalm ukuran atau bentuk dari satu kromosom tertentu.
Semakin sering DNA membelah dan ditranskripsi, semakin besar
Universitas Sumatera Utara
kemungkinan terjadinya suatu kesalahan, dan kesalahan yang tidak
terdeteksi akan bermutasi dan diwariskan (Iskandar, 2007).
2.1.3. Faktor-Faktor penyebab kanker
Karsinogen secara umum dapat diartikan sebagai penyebab yang
dapat merangsang pembentukan kanker. Beberapa karsinogen yang diduga
dapat meningkatkan risiko terjadinya kanker sebagai berikut.
a. Senyawa kimia (zat karsinogen), dalam hal ini adalah zat pewarna, zat
pengawet, bahan tambahan pada makanan dan minuman.
b. Faktor fisika, dalam hal ini adalah bom atom dan radioterapi agresif
(radiasi sinar pengion).
c. Virus, beberapa jenis virus berhubungan erat dengan perubahan sel
normal menjadi sel kanker. Jenis virus ini disebut virus penyebab
kanker atau virus onkogenik.
d. Hormon, dalam hal ini adalah zat yang dihasilkan oleh kelenjar tubuh
yang berfungsi mengatur kegiatan alt-alat tubuh. Pada beberapa
penelitian diketahui bahwa pemberian hormone tertentu secara
berlebihan dapat menimbulkan kanker pada organ tubuh yang
dipengaruhinya (Delimartha, 2003).
Universitas Sumatera Utara
2.1.4. Pertumbuhan dan penyebaran (Metastasis)
Kanker tumbuh dan berkembang secara bertahap. Pertumbuhannya
dimulai ketika satu sel dari sekian banyak sel normal tiba-tiba mengalami
mutasi genetik. Sel tersebut kemudian berkembang dan membelah diri.
Beberapa tahun kemudian, sel tersebut mengalami mutasi lagi yang
menyebabkan pertumbuhan dan ukuran sel menjadi abnormal. Keadaan ini
disebut fase dysplasia. Fase dysplasia terus berkembang mulai dari
dysplasia ringan, sedang, berat, dan akhirnya akan menjadi kanker in situ,
yaitu kanker yang belum menembus batas jaringan tempat kanker tersebut
tumbuh. Beberapa tahun kemudian, sel kanker dapat menembus jaringan
basal dan menyusup ke jaringan sekitarnya. Keadaan ini dinamakan kanker
invasive . Sel kanker juga dapat melepaskan diri dari tempat asalnya dan
menembus pembuluh darah atau pembuluh getah bening. Kemudian
bersama dengan aliran darah atau getah bening, sel kanker terbawa
kebagian lain dari tubuh. Ditempat yang baru, sel-sel kanker akan tumbuh
dengan sifat-sifat yang sama dengan kanker induknya. Penyebaran kanker
ke jaringan tubuh yang lainnya ini dinamakan anak sebar (metastasis)
(Delimartha, 2003).
2.1.5. Komplikasi
Komplikasi yang sering terjadi pada pasien kanker adalah infeksi,
terutama pada pengidap kanket stadium lanjut. Infeksi terjadi akibat
kekurangan protein dan zat gizi lainnya (mengingat umumnya nafsu makan
pasien kanker menurun) serta penekanan system imun yang sering terjadi
Universitas Sumatera Utara
setelah pengobatan konvensional. Infeksi juga dapat disebabkan karena
hormone-hormon yang dihasilkan akibat stress yang berkepanjangan pad
pasien kanker. Hormon yang dihasilkan akan menyebabkan terjadinya
penekanan system kekebalan yang disebut imunosupresi. Hormon-hormon
tersebut
di
antaranya
adalah
adrenokortikotropik
(ACTH),
yang
merangsang pelepasan kortisol dari kelenjar korteks adrenal. Infeksi terjadi
juga pada pembedahan (Iskandar, 2007).
2.2.1. Defenisi kemoterapi
Kemoterapi adalah cara pengobatan tumor dengan memberikan obat
pembasmi sel kanker (disebut sitostatika) yang diminum ataupun yang
diinfuskan ke pembuluh darah. Jadi, obat kemoterapi menyebar ke seluruh
jaringan tubuh, dapat membasmi sel-sel kanker yang sudah menyebar luas
di seluruh tubuh. Karena penyebaran obat kemoterapi luas, maka daya
bunuhnya luas, efek sampingnya biasanya lebih berat dibandingkan dua
modalitas pengobatan terdahulu (Hendry,dkk 2007).
Obat
kemoterapi
secara
umum
disebut
sitostatika,
berefek
menghambat atau membunuh semua sel yang sedang aktif membelah
diri.Jadi, sel normal yang aktif membelah atau berkembang biak juga
terkena dampaknya, seperti sel akar rambut, sel darah, sel selaput lendir
mulut,dll.Sel tubuh tersebut adalah yang paling parah terkena efek samping
kemoterapi, sehingga dapat timbul kebotakan, kurang darah, sariawan, dll
(Hendry,dkk 2007).
Universitas Sumatera Utara
Oleh karena itu, pemberian obat sitostatik (berupa obat medis
ataupun
obat
herbal)
harus
dibawah
pengawasan
dokter
yang
berpengalaman untuk mencegah timbulnya efek samping yang serius, dan
bila terjadi efek samping dapat segera diatasi atau diobati (Hendry, dkk
2007). Agar sel tubuh normal mempunyai kesempatan untuk memulihkan
dirinya, maka pemberian kemoterapi biasanya harus diberi jedah (selang
waktu) 2-3 minggu sebelum dimulai lagi pemberian kemoterapi berikutnya
(Hendry,dkk 2007).
2.2.2. Prinsip kerja pengobatan kemoterapi
Prinsip kerja pengobatan dengan kemoterapi adalah dengan meracuni
atau membunuh sel-sel kanker, mengontrol pertumbuhan sel kanker, dan
menghentikan
pertumbuhannya
agar
tidak
menyebar,
atau
untuk
mengurangi gejala-gejala yang disebabkan oleh kanker. Kemoterapi
kadang-kadang merupakan pilihan pertama untuk menangani kanker.
Kemoterapi bersifat sistemik, berbeda dengan radiasi atau pembedahan
yang bersifat setempat, karenanya kemoterapi dapat menjangkau sel-sel
kanker yang mungkin suddah menjalar dan menyebar ke bagian tubuh yang
lain (Iskandar, 2007).
Penggunaan kemoterapi berbeda-beda untuk setiap pasien, kadangkadang sebagai pengobatan utama, pada kasus lain dilakukan sebelum atau
setelah operasi atau radiasi. Tingkat keberhasilan kemoterapi juga berbedabeda tergantung jenis kankernya (Iskandar, 2007).
Universitas Sumatera Utara
2.2.3. Obat kemoterapi pada kanker
Dua atau lebih obat sering digunakan sebagai suatu kombinasi.
Alasan dilakukannya terapi kombinasi adalah untuk menggunakan obat
yang bekerja pada bagian yang berbeda dari proses metabolisme sel,
sehingga akan meningkatkan kemungkinan dihancurkannya jumlah sel-sel
kanker. Selain itu, efek samping yang berbahaya dari kemoterapi dapat
dikurangi jika obat dengan efek beracun yang berbeda digabungkan,
masing-masing dalam dosis yang lebih rendah dari pada dosis yang
diperlukan jika obat itu digunakan tersendiri (Iskandar, 2007 ). Obat-obat
dengan sifat yang berbeda digabungkan, misalnya obat yang membunuh
sel-sel tumor dikombinasikan dengan obat yang merangsang system
kekebalan terhadap kanker (Iskandar, 2007).
2.2.3.1 Alkylating agents
Alkylating memengaruhi molekul DNA, yaitu mengubah struktur
atau fungsinya sehingga tidak dapat berkembang biak. Contoh lain obat
golongan ini adalah busolvon dan cisplatin. Obat ini biasanya digunakan
dengan kasus leukemia, limfoma non-Hodgkin, myeloma multiple dan
melanoma malignan. Efek sampingnya adalah mual; muntah; rambut
rontok; iritasi kandung kemih (sistitis) disertai terdapatnya darah dalam
dalam air kemih; jumlah sel darah putih, sel darah merah, dan trombosit
menurun; jumlah sperma berkurang (pada pria mungkin terjadi kemandulan
yang menetap) (Indrawati, 2009).
Universitas Sumatera Utara
2.2.3.2 Obat antimetabolit
Antimetabolit adalah zat yang bisa menghambat enzim-enzim yang
diperlukan untuk memproduksi basa yang menjadi bahan penyusun DNA.
Antimetabolit dan juga asam folat dapat mencegah terjadinya pembelahan
pada sel kanker. Contoh dari obat ini antara lain adalah: Methotrexate,
Floxuridine, Plicamycin, Mercaptopurine, Cytarabine dan Flourouracil
(Indrawati, 2009).
Antimetabolit adalah sekumpulan obat yang memengaruhi sintesis
(pembuatan) DNA atau RNA dan mencegah perkembangbiakan sel. Obat
golongan ini menimbulkan efek yang sama dengan alkylating agents.
Efek samping tambahan terjadinya ruam kulit, warna kulit menjadi lebih
gelap (meningkatkan pigmentasi), atau gagal ginjal. Contoh obat ini
adalah methotrexate dan gemcitabine yang digunakan pada kanker
leukimia serta tumor payudara, ovarium dan saluran pencernaan
(Iskandar, 2009).
2.2.3.3 Antibiotik antitumor
Obat
ini juga memengaruhi DNA dan mencegah tumor
berkembang biak dan dengan cara kimiawi mencegah produksi enzimenzim serta mengubah membran sel. Contohnya adalah Pleomycin dan
Idarubicin yang digunakan untuk berbagai macam jenis kanker (Iskandar,
2007).
Universitas Sumatera Utara
Efek sampingnya sama dengan alkylating agents. Kepada penderita
leukimia limfoblastik akut dapat diberikan asparagin diperlukan oleh
leukimia untuk melangsungkan pertumbuhanny (Iskandar, 2007). Efek
sampingnya berupa reaksi alergi yang bisa berakibat fatal, hilangnya
nafsu makan, mual, muntah, demam, kadar gula darah tinggi (Iskandar,
2007).
2.2.3.4 Senyawa-senyawa Alami
Ada beberapa senyawa alami yang dapat mengikat DNA (dengan
sebuah proses yang disebut sebagai “interkalasi”) sehingga menimbulkan
kerusakan pada krosom dari sel kanker dan menghambat pembelahan sel
kanker. Contoh dari senyawa semacam ini adalah dactinomycin,
mitomycin, doxorubicin, mithromycin, daunorubicin dan bleomycin
(Indrawati, 2009).
2.2.3.5 Analog Platinum
Analog platinum adalah senyawa-senyawa yang mengandung
unsur logam platinum. Senyawa-senyawa ini bekerja dengan cara
membentuk rantai silang antara DNA dengan platinum sehingga sel
kanker tidak dapat melakukan pembelahan dengan benar dan proses
perkembangbiakannya menjadi terhambat. Contohnya adalah carboplatin,
cisplatin dan oxaliplatin (Indrawati, 2009).
Universitas Sumatera Utara
2.2.4. Efek Samping Kemoterapi
Antikanker merupakan obat yang indeks terapinya sempit. Pada
umumnya anti kanker menekan pertumbuhan atau proliferasi sel dan
menimbulkan toksisitas, karena menghambat pembelahan sel normal yang
proliferasinya cepat misalnya sumsum tulang, epitel germinativum, mukosa
saluran cerna, folikel rambut dan jaringan limfosit (Nafrialdi dan Sulistia,
2007).
Terapi dengan sitostatika menyebabkan mielosupresi sehingga dapat
menimbulkan
risiko
infeksi
(neutropenia)
dan
perdarahan
(trombositopenia). Kerusakan pada membran mukosa menyebabkan nyeri
pada mulut, diare dan stimulasi zona pemicu kemotaksis yang menimbulkan
mual dan muntah. Semua kemoterapi bersifat teratogenik. Beberapa obat
menyebabkan toksisitas yang spesifik terhadap organ, seperti ginjal
(cisplatin) dan saraf (vinkristin). Perawatan 13 suportif dengan antagonis 5HT3, 5 Hidroksitriptamin (serotonin) dan steroid lebih mengatasi rasa mual
(Davey, 2006).
2.3.1. Mual dan muntah
Penyakit sistemik banyak yang disertai mual dan muntah. Pada
penderita kanker, mual dan muntah merupakan keluhan yang sering
dijumpai, baik itu disebabkan oleh pemberian kemoterapi, radioterapi,
maupun akibat perluasan dari kankernya (Pazdur, 2003).
Universitas Sumatera Utara
Muntah atau vomite atau emesis adalah keadaan akibat kontraksi otot
perut yang kuat sehingga menyebabkan isi perut menjadi terdorong untuk
keluar melalui mulut baik dengan maupun tanpa disertai mual terlebih
dahulu Mual dan muntah sering muncul bersama dalam berbagai kondisi,
termasuk menjadi efek samping yang umum terjadi pada penggunaan obat
anti neoplastik.. Mual dan muntah yang terjadi setelah dilakukan
kemoterapi dikenal sebagai Chemotherapy Induced Nausea and Vomiting
(CINV) (Pazdur, 2003).
Nausea dan vomiting yang tidak terkontrol dapat mempengaruhi
terapi pada pasien secara keseluruhan dan mempengaruhi respon terapi
serta menurunkan tingkat kesembuhan pasien kanker. Selain itu mual
muntah yang tidak terkontrol juga dapat menyebabkan dehidrasi,
ketidakseimbangan elektrolit, penurunan berat badan, dan malnutrsisi.
Muntah yang bekepanjangan dapat menyebabkan esophageal, kerusakan
gastric dan pendarahan (Pazdur, 2003).
Demikian pula pada penderita kanker dapat disertai mual dan muntah
yang pada umumnya disebabkan efek samping dari pengobatan yang
diberikan, seperti pemberian sitostatika, analgetika opiate dan radiasi. Mual
dan muntah yang terjadi pada penderita yang mendapt sitostatika umumnya
terjadi 1-2 jam setelah pemberian sitostatika dan akan berlangsung selama
24 jam (Hood, 1995).
Universitas Sumatera Utara
Keadaan ini disebut reaksi akut, namun demikian dapat juga terjadi
reaksi lambat, yaitu mual dan muntah terjadi beberapa hari setelah
pemberian sitostatika dan akan berlangsung beberapa hari. Penderita yang
mual tidak selalu disertai dengan muntah (Hood, 1995).
Mual adalah suatu gejala penyakit yang ditandai perasaan tidak suka
terhadap makanan, rasa tidak enak pada daerah lambung dan ada keinginan
untuk muntah. Muntah adalah suatu gejala penyakit yang ditandai adanya
pengeluaran isi lambung melalui mulut. Akhir-akhir ini banyak penelitian
dilakukan untuk mengetahui mekanisme dan pengelolaan penderita mual
muntah akibat kemoterapi maupun akibat stadium akhir dari kankernya
(Hood, 1995).
Terdapat variasi individu mengenai mual dan muntah dimana factor
psikiis mempunyai peranan yang penting. Mual dan muntah merupakan
efek samping yang menakutkan bagi penderita dan keluarganya sehingga
kadang-kadang penderita menolak pengobatan lanjutan. Dengan adanya
masalah tersebut tindakan pencegahan dan pengobatan mual dan muntah
merupakan hal penting dalam pengolahan penderita kanker (Hood, 1995).
Mual dan muntah adalah efek samping yang seringkali dialami oleh
banyak orang yang menerima kemoterapi. Beberapa jenis obat juga
seringkali menimbulkan efek samping seperti ini. Ada beberapa obat
antimual (antiemetik) yang sudah tersedia untuk membantu mengurangi
gejala ini, namun demikian efek samping semacam ini adalah masalah yang
harus dicarikan solusinya agar proses kemoterapi dapat dijalani dengan
Universitas Sumatera Utara
lebih lancar bagi para pasien. Orang yang mengalami gejala ini tentu saja
harus berusaha untuk tetap makan dan sebaiknya pasien mendapatkan
semua dukungan dan pertolongan yang bisa diberikan sebisa mungkin
untuk meningkatkan nafsu makannya. Pada kemoterapi yang dilakukan
dalam siklus 21 hari, muntah dan mual akan terjadi selama beberapa hari
setelah menerima obat, tapi biasanya gejala itu akan hilang dalam waktu
seminggu setelah menerima obat (Indrawati, 2009).
2.3.1. Etiologi dan patofisiologi.
Mual dan muntah adalah manifestasi dini yang sering ditemukan dari
toksisitas obat kemoterapi. Etiologi mual dan muntah dari banyak masalah
yang berbeda, oleh karena itu pengatasannya juga berbeda, bisa sederhana
atau bisa juga kompleks (Dipiro and Thomas, 2005). Pengontrolan mual
dan muntah dibutuhkan sebagai salah satu pertimbangan penting pada
pengobatan kanker dan terapi suportif (Pazdur, 2001).
Mual berhubungan dengan pergerakan lambung, yaitu pergerakan
yang sulit pada rongga perut dan otot-otot di rongga dada. Muntah adalah
pengeluaran paksa isi dalam perut dengan kekuatan penuh, disebabkan oleh
gerakan peristaltik kembali Gastro Intestinal, gerakan ini memerlukan
koordinasi kontraksi dari otot perut, pylorus dan antrum, kenaikan
cardiagastric, menurunkan tekanan dan dilatasi esophageal (Dipiro dan
Taylor, 2005). Selain disebabkan oleh kemoterapi kanker, mual dan muntah
dapat disebabkan oleh obstruksi usus, ketidakseimbangan cairan dan
Universitas Sumatera Utara
elektrolit, uremia, obat (digitalis, opium) dan metastase otak (Anonim,
2007).
2.3.2. Mekanisme mual muntah
Refleks yang menyebabkan muntah disebabkan oleh stimulasi dari
reseptor pada CNS dan atau gastrointestinal. Area reseptor ini mengirim
pesan 14 pada pusat muntah pada medulla, yang kemudian berkoordinasi
dengan aksi muntah (Pazdur, 2001). Muntah yang diinduksi oleh berbagai
zat kimia, obat sitostatik dan radiasi diperantai melalui CTZ (Schein, 1997).
Chemoreceptors trigger zone (CTZ) juga berlokasi di medulla, berperan
sebagai chemosensor dan diarahkan pada darah dan CSF. Area ini kaya
akan berbagai reseptor neurotransmitter (Pazdur, 2001). Contoh dari
reseptor-reseptor tersebut antara lain reseptor kolinergik dan histamin,
dopaminergik, opiate, serotonin, neurokinin dan benzodiazepine. Agen
kemoterapi, metabolitnya, atau komponen emetik lain menyebabkan proses
muntah melalui salah satu atau lebih dari reseptor tersebut (Dipiro dan
Taylor, 2005).
Mual dan muntah terjadi akibat adanya kerusakan pada kantong
kemih dan ginjal sehingga kotoran-kotoran kimia sel kanker yang mati oleh
obat kemoterapui atau radiasi tidak dapat dikeluarkan.maka, penting untuk
memastikan konsumsi air minum atau cairan yang banyak setelah tindakan
kemoterapi dilakukan.
Universitas Sumatera Utara
2.3.3. Tipe mual dan muntah akibat kemoterapi empat susunan emetogenik
pada pemberian obat sitostatika antara lain:
1) Mual muntah akut, biasanya terjadi saat pemberian sitostatika tanpa
pengobatan antiemetik.
2) Mual muntah tertunda menggambarkan keterlambatan mual muntah
akibat penggunaan terapi sitostatika cisplatin. Terjadi 2-6 hari setelah
terapi.
3) Mual muntah yang berkelanjutan, biasanya untuk obat sitostatika
emetogenik sedang, dapat menyebabkan mual muntah selama 2-3 hari.
4) Antisipator mual muntah, terjadi pada pasien yang merasa mual atau
rasa tidak enak diperut dan cemas, padahal obat sitostatika belum
diberikan (Jeffery dkk., 1998).
2.3.4. Karakteristik Pasien dan Emesis
a. Riwayat emesis tidak terkontrolEmesis yang sulit dikontrol sebelum
penggunaan kemoterapi akan menyebabkanpasien lebih sulit untuk
mengontrol emesisnya saat dilakukan kemoterapi walaupunsudah
diberikan antiemesis, terutama untuk emesis yang bersifat akut.
b. Pernah mengonsumsi alcohol.Emesis akan lebih mudah muncul pada
pasien yang biasa menggunakan alcohol dalam dosis tinggi (>100 g/
hari). Semakin banyak alkohol yang dikonsumsi makan risiko kejadian
emesis akan semakin tinggi.
c. Usia. Beberapa penelitian mengemukakan lebih mudah untuk mengontrol
emesis padapasien dalam usia lanjut. Pada pasien yang lebih muda
Universitas Sumatera Utara
biasanya ada kecendrungan untuk perkembangkan kearah reaksi distonik
akut.
d. Jenis kelamin. Lebih sulit untuk mengontrol emesis pada wanita dari
pada laki–laki yang diberikan kemoterapi yang sama termasuk dalam dosis
dan frekuensi pemberiannya.
e. Motion sickness
Pasien yang mengalami motion sickness biasanya lebih mudah
mengalami mual muntah akibat kemoterapi (Solimando,2003).
2.3.5. Terapi Mual Dan Muntah
Secara garis besar terapi yang digunakan meliputi 2 macam, yaitu :
1. Terapi farmakologi dengan antiemetic. Antiemetik yang biasa
digunakan dalam terapi CINV yaitu :
A. Fenotiazin
Obat ini merupakan lini pertama yang digunakan dalam
penanganan mualdan muntah akibat kemoterapi. Mekanisme kerjanya
adalah dengan memblokade reseptor dopamin di area postrema (CTZ
dan pusat muntah) digunakan untuk mengobati mual muntah karena
kemoterapi dengan emetogenisitas ringan. Fenotiazin yang diberikan
secara IV memiliki efikasi yang lebih baik dibandingkan pemberian
secara peroral. Contoh obat golonganini misalnya : proklorperazin,
klorpromazin, perphenazine, thiethylpirazine danpromethazine. Efek
Universitas Sumatera Utara
samping yang sering timbul adalah sedasi, akathisia, hipotensi, dan
reaksi diastonik.
B. Kortikosteroid
Kortikosteroid
khususnya
deksametason
digunakan
untuk
mencegah mual muntah karena kemoterapi dengan emetogenisitas
sedang hingga berat.Mekanisme kerjanya belum diketahui pasti, namun
diduga karena mampu menyebabkan perubahan permeabilitas sel dan
mampu menghambat prostaglandin. Efek samping yang sering muncul
adalah insomnia dan perut terasa terbakar.
C. Metoklopramid
Metoklopramid merupakan antiemetik pilihan kedua dalam
penangananmual dan muntah akibat kemoterapi. Mekanisme kerjanya
adalah denganmemblokade reseptor dopaminergik di CTZ dan dapat
digunakan untuk segala macam klasifikasi dari mual muntah akibat
kemoterapi. Efek samping yang sering muncul adalah diare, reaksi
ekstrapiramidal, sedasi, dan hipotensi.
D. Antagonis reseptor neurokinin
Obat golongan ini biasanya digunakan secara kombinasi dengan
SSRI dan kortikosteroid untuk mencegah mual muntah akut dan tunda,
misalnya aprepitan.
Universitas Sumatera Utara
E. SSRI (Selective serotonin reuptake inhibitor)
Mekanisme kerjanya adalah dengan memblokade fase CINV
akut, sehingga digunakan sebagai terapi standar CINV, PONV, RINV,
dengan efek samping yang ringan, misalnya ondansentron, granisentron,
palonosentron,dolasentron. Untuk terapi pencegahan karena pemakaian
obat dengan emetogenisitas yang tinggi maka pemakaian obat ini dapat
dikombinasikan dengan kortikosteroid. Efikasi penggunaan obat ini
dapat mencapai 30–50% pada pasien yang menggunakan cisplatin,
sedangkan untuk obat-obatan kemoterapi lainnya efektivitas obat ini
dapat mencapai 70%. Efek samping yang paling sering muncul dalam
penggunaan obat golongan ini adalah pusing, konstipasi, meningkatkan
enzim di hati, dan meningkatkan interval konduksi jantung.
F. Antikolinergik
Alkaloid seperti skopolamin dan atropin memiliki efektivitas
sebagai antiemetik dengan cara menghambat reseptor kolinergik pusat.
Efek samping yang sering muncul adalah pandangan kabur, mulut
kering, sedasi, dan lain-lain. Contoh obat golongan ini adalah buclizin,
meklizin.
G. Antihistamine
Obat ini bekerja dengan memblok reseptor H di otak dan telinga
tengah. Efek samping yang paling sering timbul adalah kantuk, mulut
Universitas Sumatera Utara
kering, dan sedasi. Contoh obat golongan ini adalah difenhidramin, dan
hidroksizin.
H. Benzodiazepin.
Mekanisme antiemetik dari obat golongan ini belum dapat
diketahui secara pasti. Efek samping yang paling sering dari obat ini
adalah sedasi, pandangan kabur, dan amnesia. Lorazepam merupakan yang paling
sering digunakan dari golongan ini, walaupun midazolam dan diazepam
juga dapatdigunakan. Benzodiazepin biasanya digunakan untuk aktivitas
emetogenik yangringan atau dipilih sebagai terapi profilaksis dalam
penanganan mual dan muntah akut dan antisipatif (Dipiro, 2009).
2.3.6. Pendekatan yang perlu dilakukan dalam penanganan mual dan
muntah
1. Pencegahan lebih baik diberikan pada pasien yang mengalami mual
dan muntah yang akut. Sedangkan untuk pasien yang mengalami mual
muntah kategori menengah hingga berat dapat diberikan antiemetik.
Hal ini tergantung pada pemilihan antiemetik dan rute pemberian.
Perlakuan sebaiknya diberikan 1 jam hingga 5 menit sebelum
kemoterapi dilakukan.
2. Dosis dan frekuensi pemberian diberikan secara individual berbeda
bagi tiap kondisi pasien dengan jadwal yang tetap.
3. Jika pasien tidak mengalami mual setelah 24 jam, maka terapi
antiemetik dapatdiberikan bila diperlukan. Pasien dianjurkan untuk
Universitas Sumatera Utara
menggunakan jadwal yang tetap dimulai dari gejala mual yang pertama
kali muncul hingga 24 jam setelah pasien tidak lagi mengalami mual.
4. Dosis dapat diturunkan tergantung daya toleransi pasien.
5. Regimen kombinasi sebaiknya diberikan untuk mengoptimalkan terapi
walaupun harus menggunakan dua golongan obat yang berbeda.
6. Sedapat mungkin hindari penggunaan dua obat atau lebih yang berasal dari kategori
farmakologi yang sama.
7. Mual dan muntah antisipatif dapat diminimalisir dengan cara
menggunakan terapi profilaksis yang efektif dalam menangani mual
sejak siklus pertama kemoterapi.
8. Jika mual dan muntah antisipatif ini terus berkembang, pasien dapat
menerima obat – obat ansiolitik.
9. Untuk mual dan muntah kategori menengah, steroid dan penghambat
reseptor
dopamin
(seperti
metoklorpramid,
proklorperazin,
thiethylpirazine) dapat menjadi regimen yang paling efektif.
10. Untuk mual dan muntah kategori berat, steroid dan penghambat
reseptor serotonin (seperti: dolasetron, granisetron, ondansetron)
dapat menjadi regimen yang paling dianjurkan.
11. Penghambat reseptor dopamin dapat diberikan apabila penghambat
reseptor serotonin tidak dapat diberikan.
12. Antiemetik lainnya biasanya digunakan sebagai terapi inisiasi dan
akan lebih baik bila dikombinasikan dengan agent yang efektif dalam
Universitas Sumatera Utara
penanganan mual dan muntah sehingga bisa dilakukan sebagai terapi
lini kedua ataupun ketiga.
13. Obat –obatan golongan penghambat reseptor serotonin lebih efektif
bila digunakan sebagai terapi profilaksis dari pada pemakaian obat
yang diberikan bila perlu dalam penanganan emesis.
14. Obat – obatan golongan penghambat reseptor serotonin memiliki dosis
optimal yang apabila diberikan lebih tinggi tidak dapat memberikan
efek antiemetiko (Solimando, 2003).
2.3.7. Upaya Penanggulangan Mual & Muntah
Menurut dr. Noorwati ada beberapa cara mengatasi efek samping
kemoterapi mual dan muntah, diantaranya:
a. Makan dan minum sedikit tapi sering.
b. Minum setiap muntah.
c. Hindari makanan yang berbau, berminyak, berlemak, berbumbu, pedas,
terlalu manis, panas, dan beraroma sitrus.
d. Makan makanan yang dingin, kering dan pada temperatur ruangan.
e. Minum teh beraorama mint atau jahe.
Adapun menurut RS. Dharmais Pusat Kanker Nasional (2009)
mengemukakan beberapa cara untuk mengatasi efek samping kemoterapi,
yakni :
1. Mual dan muntah
a. Hampir 80% pasien
Universitas Sumatera Utara
b. Anti mual: Zofran, Narfos, Kytril, Primperan, Ativan dll.
c. Waspada tanda dehidrasi
2. Penurunan jumlah sel darah merah (RBC)
a.
Menyebabkan kekurangan Oksigen, kelemahan
b.
Hgb 9.5-10 gm/dl perlu supplemen zat besi
c.
Hgb ≤ 8 gm/dl perlu transfusi
d.
Epogen untuk merangsang produksi RBC
3. Penurunan jumlah sel darah putih (WBC/ Lekosit)
a.
Resiko tinggi terhadap infeksi
b.
Growth Factor (GCSF): leukokine/ granocyte untuk merangsang
pembentukan Lekosit
c.
Ruang/kamar terpisah dari orang yang menderita infeksi (FLU atau
penyakit menular lainnya)
d.
Cuci tangan dengan benar
e.
Ukur suhu tubuh tiap 4-6 jam
f.
Perhatikan: demam, tanda infeksi spt batuk/pilek dan jumlah lekosit
dalam darah
g.
Batasi pengunjung
h.
Hindari tanaman hidup
i.
Makanan:
buah
berkulit,
dimasak
matang,
hindari
makanan
mentah/lalap
Universitas Sumatera Utara
4. Penurunan jumlah trombosit
a.
Observasi adanya perdarahan di urine/kotoran
b.
Hindari penyuntikan secara secara langsung
c.
Gunakan pencukur elektrik
d.
Hindari penggunaan kateter dan termometer dubur
e.
Hindari trauma mulut dengan penggunaan sikatgigi lembut, hindari
penggunaan dental gloss dan jangan makan permen yang keras
f.
Batasi pergerakan/ aktifitas berlebihan untuk mencegah perdarahan
otak
5.
6.
g.
Jika perlu gunakan "stool softeners" untuk menghindari mengejan
h.
Tranfusi trombosit jika medis mengindikasikan
Mukositis
a.
Perlukaan pada dinding rongga mulut/saluran cerna
b.
Kumur2 dengan ½ NS dan ½ peroxide setiap 12 jam
c.
Obat Topical analgesic
d.
Hindari mouthwash yang mengandung alkohol
e.
Hindari makanan yang pedas dan keras
f.
Monitor status nutrisi pasien
Rambut Rontok
a.
2-3 minggu setelah pengobatan
b.
Semua rambut termasuk alis dan bulu mata
c.
4-8 minggu setelah pengobatan akan tumbuh kembali
Universitas Sumatera Utara
7.
d.
Pergunakan wig/ kerudung/ topi
e.
Perawatan kulit kepala tidak berlebihan
Gangguan Saraf Tepi
a.
Kebas dan kesemutan di jari tangan dan kaki
b.
Hati-hati : gangguan keseimbangan dan jatuh
c.
Alat bantu/ pendamping
Universitas Sumatera Utara
Download