Uploaded by rusdasarah

pembahasan 2 mikoremediasi

advertisement
et al. (1980), isolat 11 termasuk dalam marga
Mucor, kelas Zygomycetes (perkembangbiakan
secara seksual dengan zygospora yakni peleburan
dua gametangium dan aseksual dengan spora yang
diproduksi oleh sporangium), ordo Mucorales,
famili Mucoraceae. Secara makroskopis jamur ini
seperti Rhizopus sp. yakni miseliumnya seperti
kapas tetapi warnanya lebih putih dibandingkan
dengan Rhizopus sp. dan secara mikroskopis jamur
ini memiliki stolon tetapi tidak memiliki rhizoid
dan sporangiofornya lebih pendek dibanding
dengan Rhizopus.
Ciri-ciri spesifik Penicillium sp. (Gambar 3) adalah mempunyai hifa
berseptat, konidia, sterigma , konidiospora (Kuraesin, 2009). Kapang Penicillium
sp. mempunyai hifa berseptat, miselium bercabang, konidiospora septat dan
muncul di atas permukaan, kepala yang membawa spora berbentuk seperti sapu
dengan sterigma muncul dalam berkelompok, dan konidia membentuk rantai
(Fardiaz, 1989).
Kapang Penicillium sp. diklasifikasikan menurut sistem nama binomial
yaitu: Kingdom Fungi; Filum Ascomycota; Kelas Eurotiomycetes; Ordo
Eurotiales; Famili Trichocomaceae; Genus Penicillium dan Spesies Penicillium
sp. Kapang Penicillium sp. banyak tersebar di alam. Penicillium juga digunakan
dalam industri untuk memproduksi antibiotik, misalnya penisilin yang diproduksi
oleh Penicillium notatum dan Penicillium chrysogenum (Fardiaz, 1989).
Pada hasil penelitian Sugoro et al. (2009) membuktikan bahwa kapang
Penicillium sp. memiliki nilai absorbansi tertinggi, artinya berarti telah melakukan
pendegradasian batubara tertinggi, mampu tumbuh menggunakan medium
batubara dan memiliki nilai pH medium yang berfluktuasi, artinya telah terjadi
proses degradasi selama proses inkubasi.
Penicillium sp.
Menurut Astriana (2010) Penicillium sp. diklasifikasikan sebagai berikut.
Kingdom : Fungi
Divisi : Ascomycota
Kelas : Eurotiomycetes
Ordo : Eorotiales
Famili : Trichocomaceae
Genus : Penicillium
Spesies : Penicillium sp.
Ciri morfologi Penicillium yaitu memiliki hifa bersepta, konidia, sterigma,
dan konidiospora (Kurasein, 2009). Kapang Penicillium sp. mempunyai hifa
bersepta, miselium bercabang, konidiospora yang muncul di atas permukaan,
spora dengan sterigma yang berkelompok, dan konidia membentuk rantai
(Fardiaz, 1989). Penicillium sp. pada beberapa spesies, miselium berkembang
menjadi sklerotium (Pelczar, 2005).
Kapang Penicillium sp. mempunyai hifa vegetative yang disebut dengan
hifa udara (aerial hyphae). Penicillium sp. berkembang biak secara aseksual
dengan membentuk spora yang dihasilkan dalam suatu kantong (askus) yang
disebut askospora dan secara aseksual dengan membentuk konidiospora, yaitu
spora yang dihasilkan secara berantai pada ujung suatu hifa (Pohan, 2009).
Bentuk sel konidiospora pada kapang Penicillium sp. adalah seperti botol dengan
leher panjang atau pendek, jamur ini berwarna hijau kebiruan. Penicillium sp.
termasuk jamur yang tidak bersifat patogen kecuali Penicillium marneffei
(Gandjar et. al., 2006).
Ada dua macam bentuk Penicillium sp. yang dapat diamati secara
makroskopis dan mikrokopis. Secara makroskopis, ciri-ciri yang dapat dilihat
adalah koloni tumbuh sekitar 4 hari pada suhu 25oC pada medium saboroud
dextrose agar dan koloni mula-mula berwarna putih kemudian akan berwarna
kehijauan, sedang secara mikroskopis dengan ciri-ciri yang sapat dilihat adalah
hifa bersepta dan konidiofor mempunyai cabang yang disebut dengan metula, di
atas metula terdapat fialid (Pohan, 2009).
Pertumbuhan kapang Penicillium sp. dipengaruhi oleh faktor-faktor yang
penting, yaitu : substrat, kelmbaban, suhu, dan pH. Penicillium sp. dapat hidup
pada kelembaban yang rendah yaitu 80%. Suhu yang optimum untuk
pertumbuhannya adalah 25oC (Gandjar e.t al., 2006). Menurut penelitian
Indahwati (2009), pH optimum yang dihasilan oleh 25oC berkisar 3,15-4,34
Aspergillus sp.
Menurut Fardiaz (1992), klasifikasi dari Aspergillus sp adalah sebagai
berikut :
Kingdom : Fungi
Divisi : Amastigomycota
Kelas : Deutromycetes
Ordo : Moniliales
Famili : Moniliaceae
Genus : Aspergillus
Spesies : Aspergillus sp.
Menurut Sukma dkk. (2010), miselia kapang Aspergillus sp. mulai tumbuh
pada hari ke dua inkubasi berupa koloni-koloni kecil yang menyebar pada
permukaan media berwarna putih kekuningan. Miselia membentuk koloni lebih
luas dan kompak serta berwarna cokelat krem pada hari ke enam. Sumanti dkk.
(2003) menyatakan spora Aspergillus sp. berukuran kecil dan ringan, tahan
terhadap keadaan kering, memiliki sel kaki yang tidak begitu jelas terlihat,
memiliki konidia spora non septa dan membesar menjadi vesikel pada ujungnya
dan membentuk sterigmata tempat tumbuhnya konidia.
Konidia dari Aspergillus sp. memiliki ukuran diameter 1,5 – 2,4 µm,
berdinding halus, berbentuk panjang hingga elips dan striate. Secara mikrokopis,
konidiofor biasanya panjang, kolumnar, tidak berwarna (hialin) dan halus
sehingga menimbulkan vesikel bulat biseriate (Balajee, 2009).
Aspergillus sp. memiliki kemampuan untuk memproduksi aksesoris konidia
(aleuroconidia) yang tumbuh tunggal dari hifa. Permukaan aleuroconidia mulus
tanpa struktur yang berbentuk batang atau tonjolan yang jelas. Percobaan in vitro
yang telah dilakukan menunjukkan bahwa aleuroconidia dapat dengan mudah
terlepas dari hifa. Kemampuan aleuroconidia untuk berkecambah dengan cepat ke
dalam jaringan hifa invasif dapat menjadi faktor yang mematikan Aspergillus sp,
selain dari konidia istirahat dan perkecambahan yang selanjutnya sangat penting
untuk pembentukan infeksi (Deak et al., 2009).
Aspergillus spp. adalah salah satu jenis mikroorganisme yang termasuk jamur dan
termasuk dalam mikroorganisme eukariotik. Aspergillus spp. secara mikroskopis
dicirikan sebagai hifa bersepta dan bercabang, konidiofora muncul dari foot cell
(miselium yang bengkak dan berdinding tebal) membawa stigmata dan akan
tumbuh konidia yang membentuk rantai berwarna hijau atau hitam (Gambar 3).
Aspergillus spp. secara makroskopis mempunyai hifa fertil yang muncul
dipermukaan dan hifa vegetatif terdapat dibawah permukaan. Jamur tumbuh
membentuk koloni mold berserabut, smoth, cembung serta koloni yang kompak
berwarna hijau kelabu, hijau coklat, hitam, putih (Gambar 4). Warna koloni dipengaruhi oleh warna
spora misalnya spora berwarna hijau yang semula
berwarna putih tidak tampak lagi (Srikandi, 1992).
Gambar 3. Aspergillus spp. secara mikroskopis Konidiofor (A);
Vesikel (B); Konidia (C). (perbesaran 400x)
Gambar 4. Koloni Aspergilllus spp.
Inokulan mikroba yang digunakan adalah Aspergillus niger (A. niger).
Aspergilus niger merupakan fungi dari filum Ascomycetes yang berfilamen,
mempunyai hifa berseptat dan dapat ditemukan melimpah di alam (Madigan dan
Martinko, 2006). Fungi ini biasanya diisolasi dari tanah, sisa tumbuhan,
dan udara di dalam ruangan. Koloninya berwarna putih pada Agar Dekstrosa
Kentang (PDA) 25 °C dan berubah menjadi hitam ketika konidia dibentuk.
Kepala konidia dari A. niger berwarna hitam, bulat, cenderung memisah menjadi
bagian-bagian yang lebih longgar seiring dengan bertambahnya umur (Baker,
2006 ; Samson et al., 2001).
Gambar 1. Aspergillus sp. (Tehnologijahrane, 2014)
Pada penggunaan herbisida Roundup, data Hambatan Pertumbuhan Relatif (HPR) dari tabel diatas,Isolat
Dimana semakin
rendah nilai HPR, maka semakin efektif kemampuan fungi
dalam meremdiasi herbisida. Berdasarkan nilai HPR tersebut Fungi yang memiliki
A memiliki HPR sebesar 41%, isolat B 23.4%, dan isolat C sebesar 40.97%.
HPR paling efektif ada pada Idolat B yaitu Aspergillus sp. Dengan HPR sebesar 23.4%.
Menurut teori Roundup adalah herbisida yang menggunakan bahan aktif glifosat yang banyak digunakan
di dunia. Glifosat (N-phosphonomethyl-glycine) digunakan untuk mengontrol gulma dan rumput liar
pada berbagai tanaman pertanian, seperti padi, jagung, dan kacang kedelai (Jasper et al, 2012). Dengan
adanya glifosat, sintesis asam amino yang penting untuk pembentukan protein akan terhambat (Djau,
2009).
Jamur dari golongan Deuteromycota (Aspergillus niger, Penicillium glabrum, P. janthinellum,
Zygomycete, Cunninghamella elegans ), Basidiomycetes (Crinipellis stipitaria) diketahui juga dapat
mendegradasi hidrokarbon polisiklik aromatik. Sistem enzim monooksigenase Sitokrom P-450 pada
jamur ini memiliki kemiripan dengan sistem yang dimiliki mamalia. Adapun langkah-langkahnya yaitu
pembentukan monofenol, difenol, dihidrodiol dan quinon dan terbentuk gugus tambahan yang larut air
(misalnya sulfat, glukuronida, ksilosida, glukosida). Senyawa ini merupakan hasil detoksikasi pada jamur
dan mamalia
Jamur Aspergillus spp. diketahui dapat menghasilkan senyawa Aspergillin dan memproduksi zat yang
dapat menghambat perkembangan jamur patogen (Venkatasubbaiah & Safeeulla, 1984). Selain sebagai
antagonis jamur P. palmivora, Aspergillus telah banyak dilaporkan dapat digunakan untuk
mengendalikan berbagai patogen tanaman seperti Fusarium moniliforme, F. oxysporum, F. Sambucinum
dan Macrophomia phaseolina (Dolar, 2001).
Kemudian pada penggunaan lindomin, data Hambatan Pertumbuhan Relatif (HPR) dari tabel
diatas,Isolat A memiliki HPR sebesar 0%, isolat B 56.6%, dan isolat C sebesar 72.02%. Berdasarkan nilai
HPR tersebut Fungi yang memiliki HPR paling efektif ada pada Idolat A yaitu Mucor sp. Dengan HPR
sebesar 0%.
Lindomin merupakan herbisida sistemik, herbisida sistemik adalah Herbisida sistemik mempunyai
bahan aktif yang dapat diserap dan ditranslokasikan ke seluruh bagian atau jaringan tumbuhan, mulai
dari daun sampai ke perakaran atau sebaliknya (Barus, 2003).
Pada hasil diatas, Mucor sp. Merupakan fungi yang memiliki nilai HPR terkecil sehinggga paling efektif
untuk meremediasi herbisida jenis lindomin.Menurut Hriday dan Pundhir (2006) menyatakan bahwa
fungisida sistemik merupakan fungisida yang bekerja dengan menghambat salah satu proses
metabolisme cendawan, misalnya hanya menghambat sintesis protein atau hanya menghambat
respirasi. Sehingga jika salah satu metabolisme cendawan di hambat akan memperlambat pertumbuhan
koloni cendawan.
Sedangkan pada konsentrasi
perlakuan 0.4 mg/ml sampai dengan konsentrasi
perlakuan 1.4 mg/ml petumbuhan
Phaeophleospora sp. lambat, hal ini dikarenakan
penambahan fungisida pada media tumbuh akan
menekan pertumbuhan koloni Phaeophleospora sp.
walaupun dengan konsentrasi rendah fungisida
Metiram 70% cukup berpengaruh negatif terhadap
pertumbuhan Phaeophleospora sp.
Hasil analisis menunjukkan konsentrasi
perlakuan 1,6 mg/ml pada setiap pengukuran
menunjukkan perbedaan pertumbuhan diameter
Phaeophleospora sp. dengan konsentrasi lainnya
kecuali pada perlakuan 1,2 mg/ml pada pengukuran
8 (HSI) dan pengukuran 12 (HSI) (Tabel 2). Hasil ini
menunjukkan bahwa semakin besar konsentrasi
yang diberikan pada media maka semakin besar
juga penekanan pertumbuhan diameter
Phaeophleospora sp. dan sebaliknya semakin kecil
konsentrasi yang di berikan pada media semakin
kecil pula penekanan pertumbuhan diameter
Phaeophleospora sp.
Hal ini juga sejalan dengan penelitian Febrian
(2015) yang menyatakan bahwa hasil dari
perlakuan yang sama pada jenis fungi
Cylindroclaudium reteaudii. diperoleh data diameter
berbeda nyata antara perlakuan kontrol dengan
perlakuan yang memiliki konsentrasi senyawa
Metiram 70% hal ini membuktikan bahwa jenis
fungisida berbahan aktif Metiram 70% cukup efektif
untuk menghambat pertumbuhan dan
perkembangan diameter fungi Phaeophleospora sp
dan Cylindroclaudium reteaudii.
Hasil anailis data diatas pada tabel 3
menunjukkan bahwa fungisida berbahan aktif
Metiram 70% berpengaruh dalam menekan
pertumbuhan fungi Phaeophleospora sp. Menurut
Hriday dan Pundhir (2006) menyatakan bahwa
fungisida sistemik merupakan fungisida yang
bekerja dengan menghambat salah satu proses
metabolisme cendawan, misalnya hanya
menghambat sintesis protein atau hanya
menghambat respirasi. Sehingga jika salah satu
metabolisme cendawan di hambat akan
memperlambat pertumbuhan koloni cendawan.
Antifungi
Menurut Pratiwi (2008) antibiotik adalah bahan kimia yang secara alami
diproduksi oleh mikroorganisme yang berguna untuk menghambat patogenisitas
mikroorganisme lain. Radji (2010) mendefinisikan, antibiotik adalah metabolit
yang dihasilkan dari berbagai mikroorganisme serta dalam konsentrasi rendah
mampu menghambat pertumbuhan mikroorganisme lain. Mikroorganisme
tersebut meliputi bakteri, arkea, fungi, protozoa, alga, dan virus. Dari pengertian
ini, dapat diartikan bahwa antifungi adalah antibiotik yang mampu menghambat
hingga mematikan pertumbuhan fungi. Antifungi mempunyai dua pengertian
yaitu fungisidal dan fungistatik. Fungisidal didefinisikan sebagai suatu senyawa
yang dapat membunuh jamur, sedangkan fungistatik dapat menghambat
pertumbuhan jamur tanpa mematikannya (Muchler, 1999).
Mekanisme kerja senyawa antifungi dibedakan atas target aksi, yaitu:
a. Merusak dinding sel
Struktur dinding sel pada fungi sangat berbeda dengan bakteri, namun
memiliki peranan yang sama bagi kelangsungan hidupnya. Pada dinding sel fungi
tidak mengandung peptidoglikan, β-laktam maupun glikopeptida yang merupakan
target aksi antibiotik. Namun demikian, dinding sel fungi merupakan struktur
multilayer yang terdiri dari tiga komponen utama yaitu kitin, glukan dan
mannoprotein. Komponen–komponen tersebut sebagai target aksi antifungi
(Franklin & Snow, 2005).
1). Menghambat biosintesis kitin
Kandungan miselium fungi 60% diantaranya adalah kitin sehingga kitin
sangat penting dalam pertumbuhan fungi. Biosintesis kitin dihambat dengan cara
memblok kerja enzim kitin sintase yang berperan dalam pembentukan kitin dari 2
molekul UDP–N–asetilglukosamin. Pada saat biosintesis kitin berlangsung,
senyawa–senyawa antifungi akan bersaing menduduki sisi aktif enzim kitin
sintase, maka kerja enzim tersebut menjadi terhambat. Oleh karena adanya
penghambatan tersebut maka pertumbuhan dinding sel fungi akan terganggu.
Contoh: Polyoxin D dan Nikkomycin Z (Franklin & Snow, 2005).
2). Menghambat biosintesis glukan
Dalam biosintesis glukan, enzim 1, 3–β–glukan sintase mengkatalisis
glukosa menjadi glukosa UDP yang tidak larut serta berperan sebagai sumber
energi. Contoh: Echinocandin B dan Caspofungin (Franklin & Snow, 2005).
b. Merusak membran sel
1). Merusak fungsi mannoprotein
Mannoprotein adalah komponen terbesar penyusun membran sel fungi,
jika terjadi perubahan akan berakibat pada permeabilitas membran sel. Contoh :
Pradimicin A (Franklin & Snow, 2005).
2). Interaksi dengan ergosterol
Pembentukan komplek–komplek dengan ergosterol dalam membran sel
fungi sehingga dapat menyebabkan kerusakan dan kebocoran membran (Jawetz
et al, 2005). Contoh : Azol – azol lain, Allylamin dan Morfolin (Franklin & Snow,
2005 ; Jawetz et al., 2005).
c. Antifungi polien
Kelompok paling besar dengan variasi molekul yang berhubungan dengan
struktur membran sel. Ada sekitar 200 polien yang dihasilkan oleh Streptomyces
spp dan tidak beracun untuk penggunaan klinis serta efektif sebagai antifungi
sistemik. Contoh: Amphotericin B, Nistatin, dan Pimaricin (Franklin & Snow,
2005).
Aspergillus niger dalam pertumbuhannya berhubungan langsung
dengan zat makanan yang terdapat dalam substrat, molekul sederhana yang
terdapat disekeliling hifa dapat langsung diserap sedangkan molekul yang
lebih kompleks harus dipecah dahulu sebelum diserap ke dalam sel, dengan
menghasilkan beberapa enzim ekstra seluler seperti protease,amilase, mananase,
dan α-glaktosidase. (Madigan and Martinko, 2006). Bahan organik dari substrat
digunakan oleh Aspergillus niger untuk aktivitas transport molekul,
pemeliharaan struktur sel, dan mobilitas sel. (Samson et al., 2001, Madigan dan
Martinko, 2006).
Penelitian Masrurin (2017) juga menjelaskan bahwa fungi
endofit Fusarium sp. dan Mucor sp. memiliki potensi sebagai antimikroba
terhadap Candida albicans, Escherichia coli, dan Staphylococcus aureus. Dalam
peneiltian ini menyebutkan bahwa metabolit sekunder isolat fungi endofit Mucor
sp. memiliki kemampuan tertinggi dalam menghambat ketiga mikroba tersebut
dengan nilai zona hambat masing-masing sebesar 19,42±3,32 mm, 9,18±0,96 mm,
dan 5,58±1,41 mm.
Fungi endofit bersifat simbiosis mutualisme dengan tanaman inangnya.
Manfaat yang diperoleh dari tanaman inang yaitu meningkatkan laju pertumbuhan
tanaman inang, tahan terhadap serangan hama, penyakit dan kekeringan. Selain
itu, fungi endofit dapat membantu proses penyerapan unsur hara yang dibutuhkan
oleh tanaman untuk proses fotosintesis dan hasil fotosintesis dapat digunakan oleh
fungi untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya. Hubungan yang erat antara
fungi endofit dari tanaman inangnya yaitu transfer materi genetik satu dengan
lainnya (Hidayahti, 2010).
Download