Sebagaimana dikemukakan de Beaugrande dan Dressier menggunakan istilah teks sama dengan istilah wacana. Keduanya berpendapat bahwa teks dapat dianggap sebagai peristiwa komunikasi (wacana) apabila mengandung tujuh ciri tekstualitas. Ketujuh ciri itu sebagai berikut: 1. Koherensi/ Keutuhan Wacana Koherensi adalah keterkaitan unsur-unsur dunia teks, misalnya susunan konsep atau gagasan, dan berkat hubungan-hubungan yang menggaris bawahi hal tersebut isi teks dapat dipahami dan relevan. Konsep dapat didefenisikan sebagai susunan, juga sebagai pengetahuan yang dapat diperoleh atau digerakkan sedikit banyak oleh kesatuan dan konsisten pikiran. Jadi, konsep-konsep yang muncul bersama dalam dunia teks berkaitan satu sama lain sesuai dengan kesatuan dan konsistensi pikiran. Contoh : a. Bu Mira pergi ke pasar bersama putrinya tadi pagi. Di sana, ia kehilangan dompetnya. b. Bu Mira pergi kepasar membeli buah-buahan. Pemain bulu tangkisnya hebat pula. Contoh a merupakan teks yang koheren karena tampak hubungan antarkonsep dan gagasan yang terdapat di dalamnya konsisten, sehingga dunia teks dapat dipahami. Sebaliknya di dalam teks b tidak tampak adanya konsisten pikiran, tidak ada hubungan antara gagasan yang satu dan yang lain. Dengan demikian teks itu tidak koheren. 2. Kohesi/Keterpaduan Wacana Kohesi adalah keterkaitan unsur-unsur lahiriah suatu teks misalnya kata-kata yang kita lihat atau dengar saling berkaitan dalam suatu sekuen. Unsur – unsur tersebut saling tergantung sesuai dengan bentuk dan konvensi gramatikalnya sedemikian rupa sehingga teks menjadi padu. Kohesi merupakan ketergantungan gramatikal. Contoh: a. Hari ini, Pak Umar berpakaian parlente. Ia baru membeli sepatu. Bajunya juga baru dan dasinya melambai-lambai. b. Hari ini, Pak Umar berpakaian parlente. Mereka baru membeli sepatu. Baju kami juga baru dan dasi itu melambai-lambai. Contoh a menampilkan teks yang padu (mengandung kohesi): lata ganti ia dan nya yang dicetak miring mengacu pada Pak Umar. Lain halnya dengan conth b. Teks ini tidak mengandung kohesi karena kata ganti mereka dan kami yang dicetak miring, juga kata penunjuk itu, tidak jelas mengacu ke mana. Teks ini tidak padu dan dengan demikian teks b tidak dapat dipahami dengan baik. 3. Maksud Pengirim (Intentionality) Dapat dikemukakan bahwa tergantung dari sikap pengirimlah maka suatu rangkaian peristiwa-peristiwa pengujaran membentuk suatu teks. Koherensi dan kehesi merupakan alat pembantu untuk melaksanakan maksud si pengirim, misalnya menyebarkan pengetahuan, mempengaruhi orang lain, atau untuk mencapai suatu tujuan lain. 4. Keberterimaan (Acceptability) Di sini kita lihat bahwa tergantung dari sikap penerimalah maka suatu rangkaian peristiwa pengujaran dianggap sebagai suatu teks yang koheren dan kohesif, serta berguna atau relevan bagi penerima, misalnya untuk mendapat ilmu pengetahuan atau bekerjasama dengan pengirim untuk tujuan tertentu. Merujuk pada sikap pembaca dalam menerima atau memahami informasi dalam wacana. Kejelasan suatu informasi wacana sangat tergantung pada aspek-aspek keterpaduan, keruntutan dan kelengkapan, wacana yang padu, runtut dan lengkap lebih memperjelas informasi. 5. Memberikan Informasi (Informativity) Teks dapat sesuai dengan harapan penerima, dapat juga tidak, isi teks telah diketahui oleh penerima, jadi tidak memberikan informasi baru bagi penerima, bisa juga belum diketahui atau belum seluruhnya diketahui. Dalam hal yang terakhir, teks memberi informasi bagi penerima. Apabila informasi terlalu banyak diberikan pada saat yang sama dapat mengganggu jalannya komunikasi. Apabila informasi terlalu rendah (sedikit) bagi penerima, padahal peristiwa pengujaran berlangsung lama, maka peristiwa pengujaran dapat membosankan penerima. 6. Situasi Pengujaran (Situationality) Hal ini berkaitan dengan faktor-faktor yang menjadikan suatu teks relevan atau tidak untuk suatu peristiwa pengujaran. Di suatu jalan, misalnya ada papan bertulisan: Perlahanlahan, ada sekolah. Teks ini akan sangat relevan bagi para pengendara mobil atau motor yang melalui jalan itu, namun bagi pejalan kaki kurang relevan. Untuk memahami teks ini, si penerima memonitor situasi pengujaran, sedangkan si pengirim dapat memanfaatkan situasi pengujaran untuk mencapai tujuannya. Contoh lain: seorang yang berkunjung ke rumah temannya berkata “aduh, panas benar hari ini, ya!” langsung mendapat suguhan minuman segar. Di sini si pengirim mengatur strategi pengujaran sesuai dengan situasi, sedangkan si penerima dapat memahami kalimat itu berkat kejeliannya memonitor situasi pengujaran. Merujuk pada relevansi aspek keterpaduan, keruntutan, dan kelengkapan wacana dengan situasi yang melatarbelakangi peristiwa atau kejadian. Pembaca mampu memahami informasi wacana berdasarkan situasi yang melatarbelakangi informasi tersebut mellaui aspek-aspek keterpaduan, keruntutan dan kelengkapan wacana. 7. Intertekstualitas (Intertextuality) Teks tidak lahir dalam kekosongan, artinya baik langsung maupun tidak langsung suatu teks mempunyai kaitan dengan teks lain. Intertekstualitas berkaitan dengan faktor-faktor yang menyebabkan pemahaman suatu teks bergantung dari pengetahuan tentang suatu atau beberapa teks lain yang telah didengar atau dibaca sebelumnya. Pada dasarnya informasi dalam setiap wacana, memerlukan informasi sebelumnya. Dengan perkataan lain, untuk membentuk wacana setiap informasi memerlukan informasi sebelumnya sebagai konteks. Dressler (1986) menjelaskan wacana seperti kritik atau resensi, sangat memerlukan informasi wacana sebelumnya, setidaknya informasi wacana yang dikritik.