Uploaded by User6966

Modul Pa Bagus

advertisement
Seorang laki-laki berusia 30 tahun mengalami kecelakaan mobil di jalan raya dibawa ke UGD. Pada
saat pemeriksaan diperoleh data : pasien gelisah dan hanya mengerang kesakitan, frekuensi nafas:
20 */mnt (irreguler), nadi: 100*/mnt, TD: 100/70 mmhg, tampak raccon eye dan ekimosis. Terdapat
bloddy otorhea dan rhinorrhea. Pasien sudah terpasang ICP: 30 mmHg. Di UGD pasien muntah
proyektil
a. Berapa nilai Central Perfusion Pressure pasien tersebut?
b. Apakah pasien mengalami hipoksia? Apa Alasannya?
c. Apa menanganan awal yang bisa dilakukan di UGD?
d. Buatlah Clinical pathway pada kasus tersebut
e. Buatlah Laporan Pendahuluan beserta Asuhan Keperawatan Gawat Darurat pada pasien
tersebut?
A. Nilai Central Perfusion Pressure pasien tersebut
Jawab: 50 mmHg
B. Pasien tidak mengalami hipoksia
Jawab:
Dikarenakan tidak ada tanda-tanda hipoksia yang signifikan seperti sesak nafas, batuk mengi,
denyut jantung yang cepat, sakit kepala dan kebingungan, perubahan warna kulit dari biru ke
merah ceri,gelisah dan berkeringat
C. Penanganan awal ketika pasien di UGD
Jawab :
a) Airway : Dengan cara dilakukannya pembersihan jalan nafas, pengawasan vertebra servikal
hingga diyakini tidak ada cidera yang berarti.
b) Breathing : Penilaian ventilasi dan gerakan dada, Gas Darah Arteri.
c) Circulation : Penilaian kemungkinan kehilangan darah, pengawasan secara rutin tekanan
darah, pulsasi nadi, pemasangan IV line
d) Penilaian GCS secara rutin
e) Exposure : Identifikasi seluruh cidera dari ujung kepala hingga ujung kaki dari depan dan
belakang
Setelah menyelesaikan resusitasi kardiovaskuler awal, dilakukan pemeriksaan fisik
menyeluruh pada pasien. Alat monitor tambahan dapat dipasang dan dilakukan
pemeriksaan laboratorium. Tingkat kesadaran dinilai berdasarkan GCS, fungsi pupil dan
kelemahan ekstremitas.
D. CLINICAL PATHWAY
Trauma Sekunder
(Trauma saraf, Trauma akibat persalinan,
kecelakaan)
Trauma Primer
(benturan langsung/tidak langsung)
Fraktur Basis Cranii
Robeknya Meningeal
Resiko Infeksi
Laserasi
Menutupi Mukoperiosti
Resiko Infeksi
Aliran Darah ke Otak
Epistaksis
Kebocoran CSF
Suplai Nutruen ke Otak
Rhinnore
Perubahan Metabolisme
Anaerob
Asam Laktat
Ketidakefektifan Bersihan
Jalan Nafas Tidak Efektif
Hipoksia
Vasodilatasi Cerebri
Edema Jaringan
Otak
Aliran Darah ke Otak
Bertambah
Penekanan Pembulug
Muntah
Darah dan Jaringan Cerebral
Resiko
Ketidakefektifan
Perfusi Jaringan Otak
Resiko
Ketidakseimbangan
Volume Cairan
TIK
Nyeri Akut
Resiko
Infeksi
E. Laporan Pendahuluan
A. Konsep Teori
1. Pengertian
Fraktur basis cranii/Basilar Skull Fracture (BSF) merupakan fraktur akibat benturan
langsung pada daerah-daerah dasar tulang tengkorak (oksiput, mastoid, supraorbita);
transmisi energi yang berasal dari benturan pada wajah atau mandibula; atau efek dari
benturan pada kepala (
2. Klasifikasi
a. Fraktur Temporal
Dijumpai pada 75% dari semua fraktur basis cranii. Terdapat 3 subtipe dari fraktur
temporal berupa longitudinal, transversal dan mixed. Tipe transversal dari fraktur
temporal dan tipe longitudinal fraktur temporal ditunjukkan di bawah ini (Ishman dan
Friedland, 2004; Qureshi, et al, 2009).
(A)Transverse temporal bone fracture dan (B) Longitudinal temporal bone fracture
A
B
b. Fraktur Longitudinal
Terjadi pada regio temporoparietal dan melibatkan bagian squamousa pada os
temporal, dinding superior dari canalis acusticus externus dan segmen timpani. Tipe
fraktur ini dapat berjalan dari salah satu bagian anterior atau posterior menuju cochlea
dan labyrinthine capsule, berakhir pada fossa cranii media dekat foramen spinosum
atau pada mastoid air cells. Fraktur longitudinal merupakan yang paling umum dari tiga
suptipe
(70-90%).
Fraktur
transversal
dimulai
dari
foramen
magnum
dan
memperpanjang melalui cochlea dan labyrinth, berakhir pada fossa cranial media (530%). Fraktur mixed memiliki unsur unsur dari kedua fraktur longitudinal dan
transversal.Namun sistem lain untuk klasifikasi fraktur os temporal telah diusulkan.
Sistem ini membagi fraktur os temporal kedalam petrous fraktur dan nonpetrous fraktur,
yang terakhir termasuk fraktur yang melibatkan mastoid air cells. Fraktur tersebut tidak
disertai dengan deficit nervus cranialis (Qureshi, et al, 2009).
c. Fraktur Condylar Occipital (Posterior)
Fraktur ini merupakan hasil dari trauma tumpul energi tinggi dengan kompresi aksial,
lateral bending, atau cedera rotational pada pada ligamentum alar. Fraktur tipe ini dibagi
menjadi 3 jenis berdasarkan morfologi dan mekanisme cedera. Klasifikasi alternatif
membagi fraktur ini menjadi displaced dan stable, yaitu dengan dan tanpa cedera
ligamen. Tipe I fraktur sekunder akibat kompresi aksial yang mengakibatkan kombinasi
dari kondilus oksipital. Ini merupakan jenis cedera stabil. Tipe II fraktur yang dihasilkan
dari pukulan langsung meskipun fraktur basioccipital lebih luas, fraktur tipe II
diklasifikasikan sebagai fraktur yang stabil karena ligamen alar dan membrane tectorial
tidak mengalami kerusakan. Tipe III adalah cedera avulsi sebagai akibat rotasi paksa
dan lateral bending. Hal ini berpotensi menjadi fraktur tidak stabil (American College of
Surgeon Committe on Trauma, 2004; Sugiharto, dkk, 2006).
d.
Etiologi
Menurut Hudak dan Gallo (1996 : 108) mendiskripsikan bahwa penyebab cedera kepala
adalah karena adanya trauma yang dibedakan menjadi 2 faktor yaitu :








e.
Trauma primer
Terjadi karena benturan langsung atau tidak langsung (akselerasi dan deselerasi)
Trauma sekunder
Terjadi akibat dari trauma saraf (melalui akson) yang meluas, hipertensi intrakranial,
hipoksia, hiperkapnea, atau hipotensi sistemik.
Trauma akibat persalinan
Kecelakaan, kendaraan bermotor atau sepeda, dan mobil, kecelakaan pada saat
olahraga.
Jatuh
Cedera akibat kekerasan.
Patofisiologi
Otak dapat berfungsi dengan baik bila kebutuhan oksigen dan glukosa dapat
terpenuhi. Energi yang dihasilkan di dalam sel-sel saraf hampir seluruhnya melalui proses
oksidasi. Otak tidak mempunyai cadangan oksigen, jadi kekurangan aliran darah ke otak
walaupun sebentar akan menyebabkan gangguan fungsi. Demikian pula dengan
kebutuhan oksigen sebagai bahan bakar metabolisme otak tidak boleh kurang dari 20 mg
%, karena akan menimbulkan koma. Kebutuhan glukosa sebanyak 25 % dari seluruh
kebutuhan glukosa tubuh, sehingga bila kadar glukosa plasma turun sampai 70 % akan
terjadi gejala-gejala permulaan disfungsi cerebral.Pada saat otak mengalami hipoksia,
tubuh berusaha memenuhi kebutuhan oksigen melalui proses metabolik anaerob yang
dapat menyebabkan dilatasi pembuluh darah. Pada kontusio berat, hipoksia atau
kerusakan otak akan terjadi penimbunan asam laktat akibat metabolisme anaerob. Hal ini
akan menyebabkan asidosis metabolik. Dalam keadaan normal cerebral blood flow (CBF)
adalah 50 - 60 ml/menit/100 gr. jaringan otak, yang merupakan 15 % dari cardiac output
dan akibat adanya perdarahan otak akan mempengaruhi tekanan vaskuler, dimana
penurunan tekanan vaskuler menyebabkan pembuluh darah arteriol akan berkontraksi.
Menurut Long (1996) trauma kepala terjadi karena cidera kepala, kulit kepala, tulang
kepala, jaringan otak. Trauma langsung bila kepala langsung terluka. Semua itu berakibat
terjadinya akselerasi, deselerasi dan pembentukan rongga. Trauma langsung juga
menyebabkan rotasi tengkorak dan isinya, kekuatan itu bisa seketika/menyusul rusaknya
otak dan kompresi, goresan/tekanan. Cidera akselerasi terjadi bila kepala kena benturan
dari
obyek
yang
bergerak
dan
menimbulkan
gerakan.
Akibat
dari
akselerasi,
kikisan/konstusio pada lobus oksipital dan frontal batang otak dan cerebellum dapat terjadi.
Sedangkan cidera deselerasi terjadi bila kepala membentur bahan padat yang tidak
bergerak dengan deselerasi yang cepat dari tulang tengkorak. Pengaruh umum cidera
kepala dari tengkorak ringan sampai tingkat berat ialah edema otak, deficit sensorik dan
motorik. Peningkatan
TIK
terjadi dalam rongga tengkorak (TIK normal 4-15 mmHg).
Kerusakan selanjutnya timbul masa lesi, pergeseran otot. Cedera primer, yang terjadi pada
waktu benturan, mungkin karena memar pada permukaan otak, laserasi substansi alba,
cedera robekan atau hemoragi. Sebagai akibat, cedera sekunder dapat terjadi sebagai
kemampuan
autoregulasi
serebral
dikurangi
atau
tak
ada
pada
area
cedera.
Konsekuensinya meliputi hiperemi (peningkatan volume darah) pada area peningkatan
permeabilitas kapiler, serta vasodilatasi arterial, semua menimbulkan peningkatan isi
intrakranial, dan akhirnya peningkatan tekanan intrakranial (TIK). Beberapa kondisi yang
dapat menyebabkan cedera otak sekunder meliputi hipoksia, hiperkarbia, dan hipotensi.
Genneralli dan kawan-kawan memperkenalkan cedera kepala “fokal” dan “menyebar”
sebagai kategori cedera kepala berat pada upaya untuk menggambarkan hasil yang lebih
khusus. Cedera fokal diakibatkan dari kerusakan fokal yang meliputi kontusio serebral dan
hematom intraserebral, serta kerusakan otak sekunder yang disebabkan oleh perluasan
massa lesi, pergeseran otak atau hernia. Cedera otak menyebar dikaitkan dengan
kerusakan yang menyebar secara luas dan terjadi dalam empat bentuk yaitu: cedera akson
menyebar, kerusakan otak hipoksia, pembengkakan otak menyebar, hemoragi kecil
multipel pada seluruh otak. Jenis cedera ini menyebabkan koma bukan karena kompresi
pada batang otak tetapi karena cedera menyebar pada hemisfer serebral, batang otak,
atau dua-duanya. Sedangkan patofisiologi menurut Markum (1999). trauma pada kepala
menyebabkan tengkorak beserta isinya bergetar, kerusakan yang terjadi tergantung pada
besarnya getaran makin besar getaran makin besar kerusakan yang timbul, getaran dari
benturan akan diteruskan menuju Galia aponeurotika sehingga banyak energi yang diserap
oleh perlindungan otak, hal itu menyebabkan pembuluh darah robek sehingga akan
menyebabkan haematoma epidural, subdural, maupun intracranial, perdarahan tersebut
juga akan mempengaruhi pada sirkulasi darah ke otak menurun sehingga suplay oksigen
berkurang
dan
terjadi
hipoksia
jaringan
akan
menyebabkan
odema
cerebral.
Akibat dari haematoma diatas akan menyebabkan distorsi pada otak, karena isi otak
terdorong ke arah yang berlawanan yang berakibat pada kenaikan T.I.K (Tekanan Intra
Kranial) merangsang kelenjar pituitari dan steroid adrenal sehingga sekresi asam lambung
meningkat akibatnya timbul rasa mual dan muntah dan anaroksia sehingga masukan
nutrisi kurang (Satya, 1998).
f.
Tanda Gejala
a. Pasien dengan fraktur pertrous os temporal dijumpai dengan otorrhea dan memar pada
mastoids (battle sign). Presentasi dengan fraktur basis cranii fossa anterior adalah
dengan rhinorrhea dan memar di sekitar palpebra (raccoon eyes). Kehilangan
kesadaran dan Glasgow Coma Scale dapat bervariasi, tergantung pada kondisi
patologis intrakranial (Thai, 2007).
b. Fraktur longitudinal os temporal berakibat pada terganggunya tulang pendengaran dan
ketulian konduktif yang lebih besar dari 30 dB yang berlangsung lebih dari 6-7 minggu.
tuli sementara yang akan baik kembali dalam waktu kurang dari 3 minggu disebabkan
karena hemotympanum dan edema mukosa di fossa tympany. Facial palsy, nystagmus,
dan facial numbness adalah akibat sekunder dari keterlibatan nervus cranialis V, VI, VII
(Netter dan Machado, 2003).
c. Fraktur tranversal os temporal melibatkan saraf cranialis VIII dan labirin, sehingga
menyebabkan nystagmus, ataksia, dan kehilangan pendengaran permanen (permanent
neural hearing loss) (Tuli, et al, 1997).
d. Fraktur condylar os oksipital adalah cedera yang sangat langka dan serius. Sebagian
besar pasien dengan fraktur condylar os oksipital, terutama dengan tipe III, berada
dalam keadaan koma dan terkait cedera tulang belakang servikalis. Pasien ini juga
memperlihatkan cedera lower cranial nerve dan hemiplegia atau guadriplegia (Anderson
dan Montesano, 1988; Tuli, 1997; Netter dan Machado, 2003).
e. Sindrom Vernet atau sindrom foramen jugularis adalah keterlibatan nervus cranialis IX,
X, dan XI akibat fraktur. Pasien tampak dengan kesulitan fungsi fonasi dan aspirasi dan
paralisis ipsilateral dari pita suara, palatum mole (curtain sign), superior pharyngeal
constrictor, sternocleidomastoid, dan trapezius. Collet-Sicard sindrom adalah fraktur
condylar os oksipital dengan keterlibatan nervus cranial IX, X, XI, dan XII (Anderson dan
Montesano, 1988; American College of Surgeon Committe on Trauma, 2004).
g. Pemeriksaan Khusus dan Penunjang
Adapun pemeriksaan penunjamg untuk fraktur basis craniii antara lain:
a.
Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan darah rutin, fungsi
b.
Pemeriksaan radiologi
1) Foto rontgen
2) CT Scan merupakan modalitas kriteria standar untuk membantu dalam diagnosis
skull fraktur. Slice tipis bone window hingga ukuran 1 – 1,5 mm, dengan potongan
sagital, bermanfaat dalam menilai skull fraktur. CT Scan helical sangat membantu
dalam menvisualisasikan fraktur condylar occipital, biasanya 3-dimensi tidak
diperlukan (Qureshi,et al, 2009).
3) MRI atau magnetic resonance angiography merupakan suatu nilai tambahan untuk
kasus yang dicurigai mengalami cedera pada ligament dan vaskuler. Cedera pada
tulang jauh lebih baik divisualisasikan dengan menggunakan CT Scan (Qureshi,et
al, 2009).
4) Pemeriksaan arteriografi
h. Penatalaksanaan dan Komplikasi
Menurut Listiono (1998) dan Legros, et al (2000), prinsip penanganan umum secara
keseluruhan dari trauma kepala meliputi:
a. Pengendalian Tekanan Intrakranial
Manitol efektif untuk mengurangi edema serebral. Selain karena efek osmotik, manitol
juga dapat mengurangi TIK dengan meningkatkan arus microcirculatory otak dan
pengiriman oksigen. Efek pemberian bolus manitol tampaknya sama selama rentang
0,25 sampai 1,0 g/kg.
b. Mengontrol tekanan perfusi otak
Tekanan perfusi otak harus dipertahankan antara 60 dan 70 mmHg, baik dengan
mengurangi TIK atau dengan meninggikan MAP. Rehidrasi secara adekuat dan
mendukung kardiovaskular dengan vasopresor dan inotropik dapat meningkatkan MAP
dan mempertahankan tekanan perfusi otak >70 mmHg.
c. Mengontrol hematokrit
Aliran darah otak dipengaruhi oleh hematokrit. Viskositas darah meningkat sebanding
dengan semakin meningkatnya hematokrit dengan tingkat optimal sekitar 35%. Aliran
darah otak berkurang jika hematokrit meningkat lebih dari 50% dan akan meningkat
dengan tingkat hematokrit di bawah 30%.
d. Obat-obatan sedasi
Pemberian rutin obat sedasi seperti analgesik dan agen yang memblokir neuromuscular
dapat menjadi terapi pilihan. Propofol telah menjadi obat sedatif pilihan. Fentanil dan
morfin sering diberikan untuk membatasi nyeri, memfasilitasi ventilasi mekanis dan
mempotensiasi efek sedasi. Obat yang memblokir neuromuscular dapat juga mencegah
peningkatan TIK yang dihasilkan oleh batuk dan penegangan pada endotrachealtube.
e. Kontrol suhu
Demam dapat memperberat defisit neurologis yang ada dan dapat memperburuk
kondisi pasien. Metabolisme otak dan oksigen meningkat sebesar 6-9 % untuk setiap
kenaikan 1 derajat Celcius. Tiap fase akut cedera kepala, hipertermia harus diterapi
karena akan memperburuk iskemik otak.
f.
Kontrol bangkitan
Bangkitan terjadi terutama padapasien yang telah menderita hematoma, cedera
termasuk patah tulang tengkorak dengan penetrasi dural, adanya tanda fokal neurologis
dan sepsis. Antikonvulsan harus diberikan apabila terjadi bangkitan.
g. Kontrol cairan
NaCl 0,9% dengan osmolaritas 308 mosm/l, telah menjadi kristaloid pilihan dalam
manajemen dari cedera otak. Resusitasi dengan NaCl 0,9% membutuhkan 4 kali
volume darah yang hilang untuk memulihkan parameter hemodinamik.
h. Head Up 30o
Menaikkan posisi kepala dengan sudut 15-30⁰ dapat menurunkan TIK dan
meningkatkan venous return ke jantung.
i.
Merujukke dokter bedah saraf
Indikasi rujukan ke ahli bedah saraf:
1)
GCS kurang dari atau sama dengan setelah resusitasi awal;
2)
disorientasi yang berlangsung lebih 4 jam;
3)
penurunan skor GCS terutama respon motorik;
4)
tanda-tanda neurologis fokal progresif;
5)
kejang tanpa pemulihan penuh;
6)
cedera penetrasi;
7)
kebocoran cairan serebrospinal.
Penanganan khusus dari fraktur basis cranii terutama untuk mengatasi komplikasi yang
timbul, meliputi:
a. Fistula cairan serebrospinal
Mengakibatkan kebocoran cairan dari ruang subarachnoid ke ruang ekstraarachnoid,
duramater, atau jaringan epitel yang terlihat sebagai rinore dan otore.Sebagian besar
rinore dan otore baru terlihat satu minggu setelah terjadinya trauma.Kebocoran cairan
ini membaik satu minggu setelah dilakukan terapi konservatif. Penatalaksanaan secara
konservatif dapat dilakukan secara bed rest dengan posisi kepala lebih tinggi. Hindari
batuk, bersin, dan melakukan aktivitas berat. Diberikan obat-obatan seperti laxantia,
diuretic dan steroid (Haryono, 2006).
b. Rinore
Terjadi pada sekitar 25% pasien dengan fraktur basis anterior. CSS mungkin bocor
melalui sinus frontal (melalui pelat kribrosa atau pelat orbital dari tulang frontal), melalui
sinus sfenoid, dan agak jarang melalui klivus. Kadang-kadang pada fraktur bagian
petrosa tulang temporal, CSS mungkin memasuki tuba eustachian dan mengalir dari
hidung. Pengaliran dimulai dalam 48 jam sejak cedera pada
hampir
80% kasus.
Penatalaksanaan secara konservatif dapat dilakukan secara bed rest dengan posisi
kepala lebih tinggi. Hindari batuk, bersin, meniup hidung dan melakukan aktivitas berat.
Diberikan obat-obatan seperti laxantia, diuretic, dan steroid. Dilakukan punksi lumbal
secara serial dan pemasangan
kateter
subarachnoid
secara berkelanjutan.
Disamping itu dapat diberikan antibiotik profilaksis untuk mencegah timbulnya infeksi
(Haryono, 2006).
Pembedahan dapat secara
intrakranial, ekstrakranial dan secara bedah sinus
endoskopi. Pendekatan intrakranial yaitu dengan melakukan craniotomi melalui daerah
frontal (frontal anterior fossa craniotomi), daerah temporal (temporal media fossa
craniotomi) atau daerah oksipital (ocsipital posterior fossa craniotomi) tergantung dari
lokasi kebocoran. Keuntungan teknik ini dapat melihat langsung robekan dari dura dan
jaringan sekitarnya. Bila dilakukan tampon pada kebocoran akan berhasil baik dan
berguna
bagi pasien yang tidak dapat diketahui lokasi kebocoran atau fistel yang
abnormal. Kerugian teknik ini adalah angka kematian yang tinggi, terjadi retraksi dari
otak seperti edema, hematoma dan perdarahan. Disamping itu dapat terjadi anosmia
yang permanen. Sering terjadi kebutaan terutama pada pembedahan didaerah fossa
craniii anterior. Kerugian lain adalah waktu operasi dan perawatan yang lama.
Pendekatan ekstrakranial dilakukan dengan cara eksternal sinus dan bedah sinus
endoskopi. Pendekatan eksternal sinus yaitu melakukan flap osteoplasti anterior dengan
sayatan pada koronal dan alis mata. Disamping itu dapat juga dengan pendekatan
eksternal etmoidektomi, transe-tmoidal sfenoidotomi, trans-septal sfenoidotomi atau
trans-antral, tergantung dari lokasi kebocoran. Keuntungan teknik ini adalah memiliki
lapang pandang yang baik, angka kematian yang rendah, tidak terdapat anosmia dan
angka keberhasilan 80%. Kerugian teknik ini adalah cacat pada wajah dan tidak dapat
mengatasi fistel yang abnormal. Disamping itu sulit menangani fistel pada sinus frontal
dan sfenoid (Haryono, 2006).
Tindakan bedah sinusmerupakan tehnik operasi yang lebih disukai dengan angka
keberhasilan yang tinggi (83% - 94%) dan angka kematian yang rendah. Pada fistel
yang kecil (<3mm) dapat diperbaiki dengan free graftmukoperikondrial yang diletakkan
diatas fistel. Pada fistel yang besar (>3mm) digunakan graft dari tulang rawan dan
tulang yang diletakkan dibawah fistel dan dilapisi dengan flap lokal atau free graft.
Keuntungan teknik ini adalah lapang pandang yang jelas sehingga memberikan lokasi
kebocoran yang tepat. Mukosa dapat dibersihkan dari kerusakan tulang tanpa
memperbesar ukuran dan kerusakan dari tulang. Disamping itu graft dapat ditempatkan
lebih akurat pada kerusakannya (Haryono, 2006).
c. Otore
Terjadi bila tulang petrosa mengalami fraktur, duramater dibawahnya serta arakhnoid
robek, serta membran timpanik perforasi. Fraktur tulang petrosa
diklasifikasikan
menjadi longitudinal dan transversal berdasarkan hubungannya terhadap aksis
memanjang dari piramid petrosa, namun kebanyakan merupakan fraktur campuran.
Pasien dengan fraktur longitudinal tampil dengan kehilangan pendengaran konduktif,
otore, dan perdarahan dari telinga luar. Pasien dengan fraktur transversal umumnya
memiliki membran timpanik normal dan memperlihatkan kehilangan pendengaran
sensorineural akibat kerusakan labirin, kokhlea, atau saraf kedelapan di dalam kanal
auditori. Paresis fasial tampil hingga pada 50% pasien. Fraktur longitudinal empat
hingga enam kali
lebih sering dibanding yang transversal, namun kurang umum
menyebabkan cedera saraf fasial. Otore CSS berhenti spontan pada kebanyakan
pasien dalam seminggu. Insidens meningitis pasien dengan otore mungkin sekitar 4%,
dibanding 17% pada rinore CSS. Pada kejadian yang jarang, dimana otore tidak
berhenti, sehingga diperlukan pengaliran lumbar dan bahkan operasi (Haryono, 2006).
d. Infeksi
Meningitis merupakan infeksi tersering pada fraktur basis cranii.Penyebab paling sering
dari meningitis pada fraktur basis cranii adalah S. Pneumoniae.Profilaksis meningitis
harus segera diberikan, mengingat tingginya angka morbiditas dan mortalitas walaupun
terapi antibiotik telah digunakan. Pemberian antibioti tidak perlu menunggu tes
diagnostik karena pemberian antibiotik yang terlambat berkaitan erat dengan tingkat
morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Profilaksis antibiotik yang diberikan berupa
kombinasi vancomycin dan ceftriaxone.Antiobiotik golongan ini digunakan mengingat
tingginya angka resistensi antibiotik golongan penicillin, cloramfenikol, maupun
meropenem (Pillai, 2010).
e. Pnemocephalus
Adanya udara pada cranial cavity setelah trauma yang melaluimeningen.Meningkatnya
tekanan di nasofaring menyebabkan udara masuk melalui cranial cavity melalui defek
pada duramater dan menjadi terperangkap.TIK yang meningkat dapat memperbesar
defek yang ada dan menekan otak dan udara yang terperangkap. Terapi dapat berupa
kombinasi dari operasi untuk membebaskan udara intrakranial,serta memperbaiki defek
yang ada, dan tredelenburg position (Qureshi, et al, 2009).
C. Asuhan Keperawatan
ASUHAN KEPERAWATAN (ASKEP)
A. PENGKAJIAN PRIMER
Adapun data pengkajian primer menurutRab, Tabrani.2007 :
a.
Airway
Ada tidaknyasumbatanjalannafas
b.
Breathing
Ada tidaknyadispnea, takipnea, bradipnea, sesak, kedalamannafas.
c.
Circulation
Ada tidaknyapeningkatantekanandarah, takikardi, bradikardi, sianosis, capilarrefil.
a.
Disability
b.
Ada
tidaknyapenurunankesadaran,
kehilangansensasidanrefleks,
pupil
anisokordannilai GCS.
c.
Exposure of extermitas
Ada tidaknyapeningkatansuhu, ruangan yang cukuphangat.
B. PENGKAJIAN SEKUNDER
Pengkajiansekundermeliputi
anamnesis
danpemeriksaanfisik.
Anamnesis
dapatmeggunakan format AMPLE (Alergi, Medikasi, Post illnes, Last meal, dan Event/
Environment yang berhubungandengankejadian). Pemeriksaanfisikdimulaidarikepalahingga
kaki dandapat pula ditambahkanpemeriksaandiagnostik.
Data pengkajian secara umum tergantung pada tipe, lokasi dan keparahan cedera dan
mungkin diperlukan oleh cedera tambahan pada organ-organ vital (Marilyn, E Doengoes.
2000).
a. Aktivitas/ Istirahat
Gejala
: merasa lemah, lelah, kaku, hilang keseimbangan.
Tanda
:
1) Perubahan kesehatan, letargi
2) Hemiparase, quadrepelgia
3) Ataksia cara berjalan tak tegap
4) Masalah dalam keseimbangan
5) Cedera (trauma) ortopedi
6) Kehilangan tonus otot, otot spastik
b. Sirkulasi
Gejala
:
1. Perubahan darah atau normal (hipertensi)
2. Perubahan frekuensi jantung (bradikardia, takikardia yang diselingi bradikardia
disritmia).
c. Integritas Ego
Gejala
: perubahan tingkah laku atau kepribadian (tenang atau dramatis)
Tanda : cemas, mudah tersinggung, delirium, agitasi, bingung depresi dan impulsif.
d. Eliminasi
Gejala :inkontenensia kandung kemih/ usus atau mengalami gngguan fungsi.
e. Makanan/ cairan
Gejala :mual, muntah dan mengalami perubahan selera.
Tanda :muntah (mungkin proyektil), gangguan menelan (batuk, air liur keluar, disfagia).
f.
Neurosensoris
Gejala : kehilangan kesadaran sementara, amnesia seputar kejadian, vertigo, sinkope,
tinitus kehilangan pendengaran, fingking, baal pada ekstremitas.
Tanda
:
1) Perubahan kesadaran bisa sampai koma
2) Perubahan status mental
3) Perubahan pupil (respon terhadap cahaya, simetri)
4) Wajah tidak simetri
5) Genggaman lemah, tidak seimbang
6) Refleks tendon dalam tidak ada atau lemah
7) Apraksia, hemiparese, Quadreplegia
g. Nyeri/ Kenyamanan
Gejala:sakit kepala dengan intensitas dan lokasi yang berbeda biasanya koma.
Tanda: wajah menyeringai, respon menarik pada rangangan nyeri yang hebat, gelisah
tidak bisa beristirahat, merintih.
h. Pernapasan
Tanda
:
1) Perubahan pola nafas (apnea yang diselingi oleh hiperventilasi). Nafas berbunyi
stridor, terdesak
2) Ronki, mengi positif
i.
Keamanan
Gejala
: trauma baru/ trauma karena kecelakaan
Tanda
:
1) Fraktur/ dislokasi
2) Gangguan penglihatan
3) Gangguan kognitif
4) Gangguan rentang gerak, tonus otot hilang, kekutan secara umum mengalami
paralisis
5) Demam, gangguan dalam regulasi suhu tubuh
j.
Interaksi Sosial
Tanda : afasia motorik atau sensorik, bicara tanpa arti, bicara berulang-ulang.
DAFTAR PUSTAKA
American College of Surgeon Committe on Trauma. 2004. Cedera Kepala. Dalam: Advanced
Trauma Life Support for Doctors. Edisi 7. Komisi Trauma IKABI.
Anderson, P. A. dan Montesano, P. X. 1988. Morphology and Treatment of Occipital Condyle
Fractures. Spine (Phila Pa 1976).
Bulechek, G. M., dkk. 2013. Nursing Intervention Classification (NIC). Sixth Edition. United
States of America: Elsevier Mosby.
Haryono, Y. 2006. Rinorea Cairan Serebrospinal. USU: Departemen THT-KL FK USU.
Herdman, T. H. 2014. Nanda International Nursing Diagnoses: Definition & Classification, 20152017. Oxford: Wiley-Blackwell.
Ishman, S. L. dan Friedland, D. R. 2004. Temporal Bone Fractures: Traditional Classification
and Clinical Relevance. Laryngoscope.
Legros, B., et al. 2000. Basal Fracture of The Skull and Lower (IX, X, XI, XII) Cranial Nerves
Palsy: Four Case Reports Including Two Fractures of The Occipital Condyle. J Trauma.
Listiono, L. D. 1998. Ilmu Bedah Saraf Satyanegara. Edisi III. Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama.
Moorhead, S., dkk. 2008. Nursing Outcomes Classification (NOC). Fourth Edition. United States
of America: Mosby Elsevier.
Netter, F. H. dan Machado, C. A. 2003. Atlas of Human Anatomy. Version 3. Icon Learning
System LLC.
Pillai, P.,et al. 2010. Traumatic Tension Pneumocephalus: Two Cases andComprehensive
Review of Literature. OPUS 12 Scientist.
Qureshi,
N.
H.,et
al.
2009.
Skull
Fracture.
On
Emedicine
Health.
online.http://emedicine.medscape.com/article/248108clinicalmanifestations.
Serial
[diakses
20November2015].
Sugiharto, L., dkk. 2006. Anatomi Klinik Untuk Mahasiswa Kedokteran. Edisi 6. Jakarta: EGC.
Thai, T. 2007. Helmet Protection Against Basilar Skull Fracture. Biomechanical of Basilar Skull
Fracture. ATSB Research and Analysis Report Road Safety Research Grant Report.
Australia.
Tuli, S.,et al. 1997. Occipital Condyle Fractures. Neurosurgery.
Download