Ketahanan Spora dan Sel Vegetatif Bacillus cereus Terhadap Suhu

advertisement
7
TINJAUAN PUSTAKA
Makanan Pendamping ASI (MP-ASI)
Makanan yang ditujukan untuk anak-anak usia dibawah 6 bulan sering
disebut makanan bayi (infant food), sedangkan makanan sapihan (weaning food)
ditujukan untuk anak-anak usia diatas 6 bulan sampai sekitar 24 atau 36 bulan.
Makanan bayi didefinisikan sebagai makanan yang secara tunggal dapat
memenuhi kebutuhan anak, sedangkan makanan sapihan dapat berupa makanan
tunggal maupun makanan campuran yang dapat memenuhi kecukupan gizi anak.
Makanan jenis ini juga dikenal dengan istilah makanan pendamping ASI (MPASI) (Hartoyo et al., 2000).
MP-ASI tidak berperan sebagai pengganti ASI melainkan sebagai
pendamping ASI, sehingga dengan pemberian MP-ASI tidak berarti ASI
dihentikan. Tujuan pemberian MP-ASI adalah memenuhi kebutuhan zat gizi bayi
yang tidak dapat dipenuhi lagi oleh ASI karena bertambahnya umur dan berat
badan bayi. Selain itu, pemberian MP-ASI juga bertujuan mengembangkan
kemampuan bayi untuk menerima berbagai macam makanan dengan berbagai rasa
dan tekstur, mengembangkan kemampuan mengunyah dan menelan serta
melakukan adaptasi terhadap makanan yang mengandung energi tinggi (Anomin,
1992).
Menurut Muchtadi (1994), makanan tambahan untuk bayi sebaiknya
memenuhi persyaratan sebagai berikut : (a) nilai energi dan proteinnya tinggi,
yaitu 370 Kal/100 gr bahan dan 5.4 gr protein/100 gr bahan (PAG, 1972 dalam
Muchtadi, 1994), (b) jumlah yang cukup untuk memenuhi kelengkapan zat gizi
yang dianjurkan, (c) dapat diterima dengan baik oleh pencernaan bayi, (d) harga
relatif murah, (e) dapat diproduksi dari bahan-bahan yang tersedia secara lokal.
Makanan tambahan untuk bayi usia 6-8 bulan diberikan lebih sering daripada bayi
usia 4-6 bulan, yaitu tiga kali sehari kemudian meningkat menjadi lima kali sehari
ketika bayi berusia 12 bulan (WHO, 1997).
Hal yang perlu diperhatikan dalam penyediaan makanan tambahan bagi
bayi adalah jumlah dan mutu makanan yang diberikan harus cukup untuk
mempertahankan kesehatan dan pertumbuhan bayi, selain itu yang perlu diingat
8
bahwa makanan tersebut juga harus dapat melatih kebiasaan makan yang baik
bagi bayi. Hal ini harus diperhatikan karena pada masa tersebut indera pengecap
rasa bayi sedang berkembang. Anak sebaiknya hanya diperkenalkan atau dicoba
dengan satu makanan saja, kemudian ditunggu satu minggu sebelum
diperkenalkan makanan baru lainnya dengan memperhatikan reaksi yang muncul.
Jika anak tidak mau makan makanan yang baru, jangan dipaksa, namun dapat
ditawarkan kembali pada hari berikutnya. Jika makanan tersebut masih ditolak,
tunggu dua atau tiga minggu sebelum ditawarkan kembali (Hartoyo et al., 2000).
Pemberian makanan tambahan sebaliknya diberikan sedikit demi sedikit
dan berangsur-angsur dengan memperhatikan perkembangan anak. Pemberian
makanan tambahan yang terlalu dini, yaitu pada saat bayi berusia kurang dari 4
bulan akan mengurangi keinginan bayi untuk menyusui sehingga kekuatan bayi
untuk menyusui juga berkurang yang akan mengakibatkan produksi ASI
berkurang. Pemberian makanan tambahan yang tidak sesuai dengan usia tidak
jarang menyebabkan kematian. Hal ini disebabkan alat-alat pencernaan bayi
belum kuat untuk menerima makanan. Dalam jangka panjang pemberian makanan
tambahan
yang
terlalu
dini
akan
mengakibatkan
obesitas.
Sebaliknya
keterlambatan pemberian makanan tambahan kepada bayi akan menyebabkan
bayi kekurangan kalori dan protein yang selanjutnya juga akan mengakibatkan
pertumbuhan anak menjadi terhambat. Tujuan, pemberian MP-ASI adalah untuk
menambah energi dan zat-zat gizi yang diperlukan bayi karena ASI tidak dapat
memenuhi kebutuhan bayi secara terus menerus seiring dengan bertambahnya
umur dan berat badan bayi. Apabila berat badan seorang bayi tidak mengalami
peningkatan maka hal ini menunjukkan bahwa kebutuhan gizi bayi tidak terpenuhi
secara maksimal. Hal tersebut dapat disebabkan karena asupan makanan bayi
hanya mengandalkan ASI saja atau pemberian MP-ASI kurang memenuhi syarat.
Disamping itu, faktor terjadinya infeksi pada saluran pencernaan bayi juga
memberikan pengaruh yang cukup besar (Krisnatuti dan Yenrina, 2000)
Menurut RSCM dan PERSAGI (1994), jenis dan bentuk serta frekuensi
makan untuk bayi berusia 6-8 bulan dalam sehari meliputi : ASI diberikan
sebanyak 2-6 kali/hari, buah-buahan diberikan sebanyak 1-2 kali/hari, makanan
9
lumat sebanyak 2 kali/hari, makanan lembek sebanyak 1 kali/hari dan telur
sebanyak 1 kali/ha
Pola Pemberian Makanan Pendamping ASI
Sejak anak berusia 5 bulan, kebutuhannya akan berbagai zat gizi sudah
tidak dapat dipenuhi hanya dengan ASI, maka perlu diberikan makanan tambahan
sebagai pendamping ASI (Moehji, 2003). Penberian MP-ASI pertama kali kepada
bayi merupakan suatu proses dimana bayi mulai secara perlahan-lahan dibiasakan
dengan makanan orang dewasa. Selama masa tersebut makanan anak berubah
secara perlahan dari hanya ASI menjadi campuran ASI dan makanan lain yang
berbentuk padat. Selama proses ini terkadang menjadi masa yang berbahaya
karena sering terjadi resiko infeksi yang lebih tinggi terutama penyakit diare. Hal
ini disebabkan karena terjadinya perubahan konsumsi ASI yang bersih dan
mengandung faktor anti-infeksi, menjadi makanan yang seringkali disiapkan,
disimpan dan diberikan pada anak dengan cara yang tidak higienis. Masalah
kurang gizi lebih banyak terjadi pada masa transisi ini (Muchtadi, 1994). Hal ini
sesuai dengan pendapat Pudjiadi (2001), yang menyatakan bahwa pemberian
makanan tambahan sebelum usia 4-5 bulan akan beresiko :
1. Tingginya solute load hingga dapat menimbulkan hyperosmolality
2. Kenaikan berat badan yang terlalu cepat hingga menjurus ke obesitas
3. Alergi terhadap salah satu zat gizi yang terdapat dalam makanan tersebut
4. Mendapat zat-zat tambahan seperti garam dan nitrat yang dapat merugikan
kesehatan bayi (dilihat dari segi pandang ilmu toksikologi)
5. Mungkin saja dalam makanan padat yang dipasarkan terdapat zat pewarna dan
pengawet yang tidak diinginkan
6. Kemungkinan pencemaran dalam menyediakan atau menyimpannya.
Jika terjadi penundaan pemberian makanan tambahan pada bayi dapat
menyebabkan terhambatnya pertumbuhan bayi, hal ini dikarenakan jumlah energi
dan zat gizi yang dihasilkan oleh ASI tidak dapat lagi mencukupi kebutuhan bayi
yang terus menerus meningkat sesuai dengan bertambahnya usia bayi tersbut
(Pudjiadi, 2001).
Bentuk dan frekuensi makanan bayi (0-12 bulan) disesuaikan dengan
bertambahnya umur, perkembangan dan kemampuan menerima makanan.
10
Menurut Depkes (2000) pola pemberian makanan kepada anak dibawah umur dua
tahun dibagi dalam lima tahap seperti tercantum dalam Tabel 1. Sedangkan untuk
anak diatas dua tahun pola makannya sudah menyerupai makanan orang dewasa.
Tabel 1. Pola Pemberian Makanan Anak Balita
Makanan
Umur
Makanan
Makanan
ASI
Lumat
(bulan)
Lumat
Lunak
Halus
0-4
X
4-6
X
X
6-9
X
X
9-12
X
X
12-24
X
Sumber : Depkes RI, 2000
Makanan
Padat
X
Makanan Bayi Umur 6-9 bulan. Pemberian ASI tetap diteruskan, dan
ASI diberikan terlebih dahulu sebelum MP-ASI. Bayi mulai diperkenalkan
dengan MP-ASI lumat 2 kali sehari. Sumber zat lemak, yaitu santan atau minyak
kelapa/margarine dapat ditambah sedikit demi sedikit, untuk mempertinggi nilai
gizi makanan.
Makanan Bayi Umur 9-12 bulan. Pemberian ASI tetap diteruskan. Pada
umur 10 bulan bayi mulai diperkenalkan dengan makanan keluarga secara
bertahap. Bentuk makanan adalah lunak dan diberikan 3 kali sehari. Makanan
selingan yang bernilai gizi tinggi seperti bubur kacang hijau dan buah diberikan 1
kali sehari.
Makanan Anak Umur 12-24 bulan. Pemberian ASI juga tetap diteruskan,
dan pemberian MP-ASI dengan bentuk makanan seperti makanan keluarga
diberikan 3 kali sehari. Pemberian makanan selingan 2 kali sehari (Depkes dan
Kessos RI, 2000).
Frekuensi pemberian makan pada anak umur lebih dari 6 bulan adalah 46 kali sebagai tambahan untuk ASI, sedangkan untuk anak umur 2-3 tahun yang
dapat dikurangi menjadi 3 kali sehari. Pemberian makan kepada anak dengan
frekuensi yang sering tapi dengan porsi kecil dikarenakan anak umur 1-3 tahun
hanya bisa mengkonsumsi 200-300 ml makanan (Muchtadi, 1994).
11
Jenis dan Bentuk Makanan Pendamping ASI
Jenis makanan pendamping-ASI yang pertama kali diberikan kepada
anak bayi cukup beragam. Jenis MP-ASI yang diberikan oleh kebanyakan ibu
sekitar 78% adalah bubur instant seperti SUN, Promina dan Milna dengan alasan
praktis cara membuatnya dan mudah diperoleh. Selain itu juga ada ibu yang
memberikan pisang mas (11.9%), bubur beras (6.8%) dan biskuit (3.4%) (Sitti,
2004). Pada Tabel 2. Diketahui bahwa sebagian besar (98.3 %) bentuk MP-ASI
yang pertama kali diberikan adalah lumat halus. Hal ini sesuai dengan anjuran
Depkes agar bayi umur 4-6 bulan mulai diperkenalkan MP-ASI berbentuk lumat
halus karena bayi sudah memiliki reflek mengunyah. Untuk lebih jelasnya dapat
di lihat pada Tabel 2. jenis dan bentuk MP-ASI yang umumnya diberikan pada
bayi.
Tabel 2. Jenis dan Bentuk MP-ASI yang Pertama Kali Diberikan
Jenis dan bentuk MP-ASI
n
% (persen)
yang diberikan pertama kali
Jenis MP-ASI
Bubur tepung beras
2
3.4
Bubur beras
3
5.1
Sun/Promina/Milna
44
74.6
Pisang mas
7
11.9
Popeda
1
1.7
Biskuit
2
3.4
Total
59
100.0
Bentuk MP-ASI
Lumat halus
58
98.3
Cair
1
1.7
Total
59
100.0
Sumber : Sitti, 2004
Makanan anak baduta harus mengandung enam kelompok bahan pangan,
yaitu 1) makanan pokok, 2) kacang-kacangan, 3) bahan pangan hewani, 4)
sayuran berwarna, 5) buah-buahan dan 6) lemak dan minyak. Secara komersial,
makanan bayi tersedia dalam bentuk tepung campuran instan atau biscuit yang
dapat dimakan langsung atau dapat dijadikan bubur. Beberapa merek yang
beredar di pasaran adalah SUN, Promina, Milna, Goodmil, Cerelac, dan
12
sebagainya. Produk makanan bayi komersial ini dibuat dengan teknologi modern
dan terkait dengan tatacara produksi yang ketat (Krisnatuti dan Yenrina, 2000).
Untuk menjaga kesehatan masyarakat konsumen, pemerintah membuat
berbagai regulasi yang harus dipatuhi oleh produsen, antara lain :
1.) SNI 01-7111.1-2005 tentang Makanan Pendamping Air Susu Ibu (MPASI) bubuk instant (bagian 1), mencantumkan angka lempeng total 1.0 x
104 koloni/g, MPN koliform harus kurang dari 20/g, E.coli harus negatif,
Salmonella harus negatif dalam 25/g, Staphylococcus sp. tidak lebih dari
1.0 x 102 koloni/g dan produk yang menggunakan madu atau sirup
gula(antara lain maple, fruktosa glukosa) harus diproses sehingga bebas
(negatif) Clostridium botulinum.
2.) SNI 01-7111.2-2005 tentang Makanan Pendamping Air Susu Ibu (MPASI) biskuit (bagian 2), mencantumkan angka lempeng total tidak lebih
dari 1.0 x 104 koloni/g, MPN coliform harus kurang dari 20/gram,
Escherichia coli harus negatif, Salmonella harus negatif dalam 25 gram
contoh (sampel), Staphylococcus sp. tidak lebih dari 1.0 x 102 koloni/gram
dan produk yang menggunakan madu atau sirup gula (antara lain maple,
fruktosa, glukosa) harus diproses sehingga bebas (negatif) dari
Clostridium botulinum.
3.) SNI 01-7111.3-2005 tentang Makanan Pendamping Air Susu Ibu (MPASI) bagian 3 (siap masak), mencantumkan angka lempeng total tidak
lebih dari 1.0 x 104 koloni/g, MPN koliform harus kurang dari 20/g, E.coli
harus negatif, Salmonella harus negatif/25g, Staphylococcus sp. tidak lebih
dari 1.0 x 102 koloni/g dan Clostridium botulinum negatif untuk produk
yang menggunakan madu atau sirup gula.
4.) SNI 01-7111.4-2005 tentang Makanan Pendamping Air Susu Ibu (MPASI) bagian 4 (siap santap), mencantumkan angka lempeng total tidak
lebih dari 1.0 x 102 koloni/g, MPN koliform harus kurang dari 3/g, E.coli
harus negatif, Salmonella harus negatif/25g, Staphylococcus sp. harus
negatif
dan
Clostridium
botulinum
menggunakan madu atau sirup gula.
negatif
untuk
produk
yang
13
Selain Indonesia yang memiliki persyaratan mikrobiologi untuk produk
susu formula dan makanan bayi, ada beberapa negara yang memiliki kiteria
khusus untuk produk susu formula dan makanan bayi yang beredar di negaranya.
Peraturan yang berhubungan dengan susu formula dan makanan bayi dibuat lebih
ketat dan lebih terinci, hal ini dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel tersebut
menggambarkan persyaratan standar mikrobiologi yang tercantum dalam sebuah
peraturan di beberapa negara/lembaga yang berhubungan dengan susu formula
dan makanan bayi (dalam CFU).
Tabel 3. Standar Mikrobiologi Dalam Peraturan di Beberapa Negara/Lembaga
yang Berhubungan Dengan Susu Formula dan Makanan Bayi (dalam
CFU/g).
Nama Peraturan
Standar
Codex standard
dalam Code of Hygienic
- bakteri aerob mesofilik/g
Practice for Powdered
- Enterobacteriaceae/10 g
Formulae for Infants and - E. sakazakii/10g
Young Children,
- Salmonella negatif/25g
CAC/RCP 66-2008,
perbaikan CAC/RCP 21-1979
(CAC 2008)
Canadian standard
dalam Health Products
- Mikroba aerob/g
and Food Branch
- E. coli/g
Standards and Guidelines
- Salmonella negatif/25g
For Microbiological
- S. aureus/g
Safety of Food (HPFB
- Bacillus cereus/g
2008)
- C. perfringens/g
FDA dalam 21 Current
Federal Rules (CFR)106107 (FDA 1996)
Australia-New Zealand
dalam Standard 1.6.1
Microbiological Limit for
Food (FSANZ 2001)
n
5
10
30
60
n
5
10
20
10
10
10
c
2
1
0
1
1
1
m
M
1.0 x 103 1.0 x 104
< 1.8
1.0 x 10
0
0
1.0 x 10 1.0 x 102
1.0 x 102 1.0 x 104
1.0 x 102 1.0 x 103
≤ 1.0 x 104
≤ 3.05 MPN
≤ 3.05 MPN
n=60, c=0,
m=0,
negatif
≤ 3.05 MPN
≤ 1.0 x 102
- Mikroba aerob/g
- Koliform/g
- Fekal koliform/g
Salmonella negatif/25 g
L. monocytogenes/g
S. aureus/g
B. cereus/g
- B. cereus/g
- Koagulase positif
staphylococci/g
- Kolifrom/g
- Salmonella negatif/25 g
- C. perfringens/g
- L. monocytogenes/25 g
- SPC* / g
c
m
M
2 5.0 x 102 5.0 x 103
2
0
0
0
0
0
0
0
0
n
5
5
c
1
1
m
1.0 x 102
0
M
1.0 x 103
1.0 x 10
5
5
5
5
5
2
0
2
0
2
<3
0
<1
0
1.0 x 104
1.0 x 102
0
1.0 x 10
0
1.0 x 105
M=0
Keterangan : n = jumlah unit sampel minimal yang harus duji dari sebuah lot makanan, c
= jumlah maksimun unit sampel yang diperbolehkan tidak sempurna, m =
14
konsentrasi mikroba yang dapat diterima dalam sebuah unit sampel pada
2-class plan, pada 3-class plan nilai ini memisahkan antara kualitas
mikroba yang “dapat diterima” dengan “kualitas marginal yang dapat
diterima”, M = hanya digunakan pada 3-class plan, yaitu level mikroba
yang mengindikasikan potensi bahaya, yang memisahkan antara kualitas
marginal yang dapat diterima dan yang harus ditolak; * standard plate
count (SPC) pada suhu 300C, selama 72 jam.
Bacillus cereus
Bacillus cereus merupakan bakteri gram positif berbentuk batang besar
(>0,9 µm) dengan ukuran panjang sel 3-5 mikron dan lebarnya 1 mikron. Bakteri
ini menghasilkan spora yang berbentuk elips dan terletak ditengah-tengah sel.
Spora hanya terbentuk bila terdapat oksigen dilingkungan sekitar (aerob
fakultatif). Bacillus cereus termasuk salah satu organisme mesofilik yaitu dapat
tumbuh pada suhu optimal 30-35◦C (Blackburn dan McClure, 2002). Bakteri
Bacillus cereus mempunyai alat gerak berupa flagella yang jumlahnya lebih dari
dua dan mengeliling seluruh permukaan sel bakteri (peritrichous). Bacillus cereus
dapat menyebabkan beberapa penyakit infeksi dan intoksikasi. Spora sel B.cereus
bertunas dan sel vegetatif menghasilkan toksin selama fase eksponensial
pertumbuhan atau selama masa sporulasi. Munculnya diare terjadi setelah masa
inkubasi 1-24 jam dan terlihat sebagai diare yang terus menerus disertai nyeri dan
kejang perut; jarang terjadi demam dan muntah. Enterotoksin dapat ditemukan
pada bahan pangan atau dibentuk dalam usus (Granum dan Baird-Parker 2000).
Kondisi yang diperlukan bagi pertumbuhan maksimal Bacillus cereus terdapat
pada Tabel 4.
Tabel 4. Kondisi yang Diperlukan Bagi Pertumbuhan Bacillus cereus
Parameter
Nilai data
Referensi
pH minimal
4.3
Reed, 1994
pH maksimal
9.3
Fluer and Ezepchuk, 1970
% maksimal NaCl
18
Pradhan et al., 1985
Suhu minimal
4◦C
FDA, 1998
◦
Suhu maksimal
50 C
FDA, 1998
Bacillus cereus (Gambar 1) mampu tumbuh pada suhu 4-50◦C, dengan
suhu optimum 30-40◦C (ICMSF, 1996). Waktu regenerasi pada suhu 30◦C adalah
15
26-57 menit, pada suhu 35◦C adalah 18-27 menit (Kramer and Gilbert, 1989).
Rentang minimum aktivitas air untuk pertumbuhan sel vegetative adalah 0.910.95 (Jenson and Moir, 1997). Spora Bacillus cereus lebih tahan terhadap panas
kering dibandingkan dengan panas lembab. Spora Bacillus cereus dapat bertahan
untuk waktu yang lama di produk kering (FSANZ, 2003). Spora yang dihasilkan
relatif tahan panas, walaupun nilai D yang dimiliki cenderung bervariasi antara
strain. Secara umum, D 100 Bacillus cereus berkisar antara 2.5-5.4 menit. Spora ini
dapat bertahan hidup pada kondisi ekstrim dan ketika dibiarkan pada suhu yang
dingin, maka kemampuan spora untuk tumbuh dan berkembang menjadi sel
vegetatif relatif lambat. Proses germinasi sporanya cepat dan pada beberapa strain
dapat berlangsung dalam waktu 30 menit. Germinasi membutuhkan beberapa
molekul protein seperti glisin, alanin, dan basa purin (Batt, 2000). Sel vegetatif
dapat tumbuh dan menghasilkan enterotoksin pada kisaran suhu 25-420C. Sel
vegetatif Bacillus cereus berbentuk batang dengan lebar 1.0-1.2 μm (Rajkowski et
al., 2003). Selain itu, germinasi juga dapat terjadi karena adanya perlakuan
pemanasan, pH, dan bahan kimia. Germinasi Bacillus cereus secara optimum
terjadi pada suhu 370C (White et al., 1974).
Gambar 1. Penampakan Bacillus cereus pada media MYP
16
Sifat Biokimiawi
Bacillus cereus bersifat proteolitik yang kuat yaitu memproduksi enzim
(protease, amylase, lecithinase, dan lain-lain) yang dapat memecah protein dan
mempunyai sifat yang hampir sama dengan renin sehingga dapat menggumpalkan
susu (Fardiaz, 1998). Species ini juga memfermentasi karbohidrat (glukosa dan
mannosa). Selain itu, bakteri ini akan tumbuh pada pH 4.3-9.3 dan aktivitas air
(Aw) 0.95 (Blackburn and McClure, 2002).
Bacillus cereus membentuk koloni yang spesifik bila ditumbuhkan pada
agar darah (Horse Blood Agar), pada suhu 35-37◦C, selama 48 jam akan
membentuk koloni yang mempunyai ukuran besar (4-7µm) dengan permukaan
datar dan berwarna kehijauan. Koloni tersebut biasanya menunjukkan sifat αhemolitik, tetapi beberapa strain membentuk β-hemolitik. Pada keadaan
anaerobik, koloni berbentuk kecil dengan diameter 2-3 mm, dikelilingi oleh areal
bersifat β-hemolitik yang menyerupai koloni Clostridium perfringens, hanya
bedanya bagian tepinya tidak rata (Imam dan Sukamto, 1999).
Bacillus
cereus
memproduksi
enzim
ekstraseluler
yang
dapat
menghidrolisis protein, lemak, pati dan karbohidrat lainnya. Oleh karena itu,
mikroorganisme ini dapat
memanfaatkan berbagai jenis pangan untuk
mendukukng pertumbuhannya, tetapi pangan yang mengadung pati merupakan
sumber optimal untuk pertumbuhannya (Gibbs, 2005).
Media yang cukup selektif digunakan untuk mendeteksi adanya Bacillus
cereus dalam bahan makanan adalah agar mannitol egg-yolk polymyxin (MYP).
Penambahan polymyxin-B ditujukan untuk menekan pertumbuhan mikroba lain,
sedangkan Bacillus cereus sangat resisten terhadap polymyxin-B . Mannitol tidak
digunakan oleh Bacillus cereus sehingga akan membentuk koloni yang berwarna
merah jambu dengan zona presipitasi di sekelilingnya. Ekstrak daging sapi dan
pepton yang ada didalam media MYP berfungsi sebagai sumber nitrogen, vitamin,
mineral dan asam amino essensial yang digunakan untuk pertumbuhan Bacillus
cereus (Batt, 2000). Untuk uji konfirmasi mengacu pada karakteristik bentuk
Bacillus cereus dan reaksi metabolisme, yaitu mampu memfermentasi glukosa
dalam kondisi anaerob, mereduksi nitrat menjadi nitrit, uji Voges Proskauer dan
17
motilitas (Harmon et al., 1992). Untuk lebih jelas tentang karakteristik penting
Bacillus spp. dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Karakteristik Penting dari Group Species Bacillus spp.
Bacillus
Bacillus
Bacillus
Bacillus
Ciri-ciri
cereus
thuringiensis
mycoides
anthracis
Reaksi gram
+
+
+
+
Katalase
+
+
+
+
Motil
+/+/Reduksi nitrat
+
+
+
+
Pengurai
+
+
+/tirosin
Resisten
+
+
+
+
lisozim
Reaksi
terhadap
+
+
+
+
kuning telur
Uji fermentasi
glukosa
+
+
+
+
anaerob
Reaksi VP
+
+
+
+
Produksi asam
dari manitol
Hemolysis
+
+
+
(domba RBC)
Kristal
Patogen
Produksi
endotoksin
Karakteristik
Rhizoidal
terhadap
enterotoksi
patogen
sifat patogen
growth
manusia
n
terhadap
dan hewan
serangga
Sumber : BAM, 2001
Habitat
Habitat
utama Bacillus cereus adalah lingkungan dan saluran
pencernaan. Terutama tanah dan air yang menyebabkan bakteri ini mempunyai
peluang yang besar untuk mencemari bahan makanan asal hewan maupun
tanaman. Selain itu pencemaran juga bisa terjadi pada ruang proses pengolahan
karena bakteri ini dapat menempel pada sepatu, pakaian, dan kulit karyawan, serta
dapat melalui udara ataupun debu (Soejoedono, 2002). Genus Bacillus biasanya
18
ditemukan pada beberapa jenis pangan, seperti madu, keju, rempah-rempah
(Iurlina et al., 2006), nasi yang telah dimasak (From et al., 2007), susu
pasteurisasi (Zhou et al., 2008), dan daging (Borge et al., 2001). Pangan yang
mengandung lebih dari 104-105 sel atau spora per gram tidak aman untuk
dikonsumsi karena dosis infeksi diperkirakan berkisar antara 105-108 sel atau
spora per gram (Beattie et al., 1999).
Endospora
Endospora tahan terhadap proses yang secara normal akan membunuh sel
bakteri
vegetatif,
seperti
proses
pemanasan,
pembekuan,
pengeringan,
penggunaan bahan kimia (desifektan) dan radiasi. Kebanyakan sel vegetatif akan
mati dengan temperatur di atas 70◦C, sedangkan endospora dapat bertahan hidup
dalam air mendidih untuk beberapa jam atau lebih. Salah satu bakteri yang
membentuk spora untuk mempertahankan diri dari lingkungan adalah Bacillus
cereus. Spora Bacillus cereus sering ditemukan pada pangan seperti susu, sereal,
rempah-rempah, makanan kering, dan pada permukaan daging karena kontaminasi
debu atau tanah. Bila kondisi memungkinkan untuk tumbuh, maka spora akan
tumbuh menjadi sel vegetatif, beberapa spesies akan menghasilkan toksin yang
berakibat dapat menimbulkan gejala penyakit (Naim, 2003).
Dalam kondisi stress, seperti kekurangan makanan atau dalam lingkungan
yang tidak cocok, Bacillus cereus akan mengalami proses sporulasi. Spora
tersebut kemudian dapat berubah kembali menjadi sel vegetatif (proses
germinasi). Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan germinasi
Bacillus cereus antara lain suhu, pH, kandungan oksigen, serta terdapatnya
kandungan nitrogen dan karbon (Vlaemynck dan Van Heddeghem, 1992). Spora
Bacillus cereus mampu melekat pada berbagai macam permukaan, terutama
permukaan yang terbuat dari bahan hidrofobik. Spora Bacillus cereus juga
memiliki sifat tahan panas dan mampu bertahan hidup melalui proses pasteurisasi.
Spora psikrotropik kemudian mengalami germinasi dan akan tumbuh kembali
selama penyimpanan pada suhu dingin (Kramer dan Gilbert, 1989). Proses
pasteurisasi merupakan pemicu germinasi spora, setelah pasteurisasi selesai
19
mikroba yang tidak tahan panas akan mati dan tak adanya kompetisi mikroba,
Bacillus cereus mampu tumbuh kembali dengan baik (Granum dan Lund, 1997).
Pembentukan endospora melibatkan jalur yang membutuhkan energi dan
produksi struktur morfologi yang kompleks. Sinyal eksternal (dan mungkin
internal)
memaksa sel untuk memberikan respon dengan menghambat
pembelahan sel dan memulai proses sporulasi. Sporulasi menghasilkan sekat yang
membagi sel ke dalam kompartemen dengan ukuran berbeda. Bagian yang lebih
kecil disebut forespore. Selama proses sporulasi, beberapa gen diaktifkan secara
bertahap; aktivasi gen tertentu dimulai karena adanya komunikasi antara sel induk
(mothercell) dan forespore, dengan sinyal yang ditransfer melewati sekat.
Pengaturan transkripsi gen spora dipengaruhi oleh aktivasi faktor sigma yang
berbeda-beda, yang menentukan spesifitas promoter terhadap RNA polymerase.
Pada akhirnya, forespore akan berubah menjadi endospora dan sel induk akan
mati karena lisis (Dahl, 1999).
Germinasi Spora
Endospora dapat tumbuh
menjadi sel vegetatif apabila kondisi
lingkungannya memungkinkan. Proses germinasi dirangsang oleh perlakuan
kejutan panas (heat shock) pada suhu subletal, adanya asam amino, glukosa, dan
ion-ion magnesium dan mangan. Pada waktu germinasi sifat dorman endospora
menghilang sehingga mulai terjadi aktivitas metabolisme yang mengakibatkan sel
dapat tumbuh (Fardiaz, 1992).
Proses germinasi dirangsang oleh faktor nutrisi dan nonnutrisi (bahan
kimia dan enzim). L-alanin merupakan nutrisi paling umum yang merangsang
proses germinasi dengan cara menarik air masuk ke dalam spora dan mengurangi
Ca2+ dan asam dipikolinat sehingga spora kehilangan sifat refraktilnya dan mulai
terjadi metabolisme pada inti spora (Pol et al, 2001).
Perubahan struktur
yang terjadi pada saat germinasi adalah hidrasi
korteks, ekskresi Ca2+ dan DPN serta hilangnya sifat resisten dan refraktil.
Sedangkan perubahan fungsional yang terjadi yaitu inisiasi aktivitas metabolik,
aktivasi beberapa protease spesifik dan cortex-lytic enzymes, dan pelepasan hasil
pelisisan korteks. Germinasi dapat dihambat oleh D-alanin, etanol, EDTA, NaCl
20
(konsentrasi tinggi), NO 2 , dan sorbat. Proses aktivasi spora diperlukan sebelum
germinasi untuk reorganisasi makromolekul di dalam spora. Aktivasi spora dapat
dilakukan dengan perlakuan panas subletal, radiasi, tekanan tinggi, kombinasi
tekanan tinggi dengan oksidator atau reduktor, pH yang ekstrim, dan sonifikasi.
Perlakuan tersebut akan meningkatkan permeabilitas struktur spora untuk
reorganisasi makromolekul. Setelah germinasi maka akan terjadi proses
outgrowth. Outgrowth meliputi biosisntesis dan perbaikan proses setelah
germinasi dan sebelum perumbuhan sel vegetatif. Selama outgrowth akan terjadi
pembengkakan spora karena hidrasi dan pengambilan nutrisi, perbaikan dan
sintesis RNA, protein dan bahan untuk membran dan dinding sel, pelarutan
lapisan luar spora, elongasi sel, dan replikasi DNA. Faktor-faktor yang
mempengaruhi terjadinya outgrowth adalah nutrisi, pH, dan suhu. Setelah
outgrowth maka sel vegetatif keluar dari spora dan mulai tumbuh (Ray, 2004).
Patogenesis
Bakteri Bacillus cereus mempunyai dua tipe toksin yaitu tipe pertama
enterotoksin yang biasanya timbul pada produk pangan nabati dan makanan siap
saji (Soejoedono, 2002). Toksin ini mengandung protein dengan berat molekul
sebesar 38-39 kDa, tidak tahan panas dan akan hancur pada suhu 56◦C selama 5
menit. Bila terkonsumsi oleh manusia dalam jumlah yang tinggi sebesar 105 – 107
sel/gram, maka akan menimbulkan gangguan saluran pencernaan berupa sakit
perut dan diare tipe sedang. Toksin diare dari Bacillus cereus diproduksi selama
fase logaritmik. Enterotoksin tersebut berinteraksi dengan membran sel epitel usus
halus dan menyebabkan gejala keracunan pangan yang mirip dengan Clostridium
perfringens. Keduanya memproduksi toksin yang merusak membran, tetapi
berbeda mekanismenya. Clostridium perfringens membutuhkan ion Ca2+ untuk
mengikat sel target dan menyebabkan kebocoran. Kebalikannya Bacillus cereus
enterotoksin menjadi terhambat kemampuannya dalam menyebabkan kebocoran
sel karena adanya ion Ca2+ (Beattie et al., 1999).
Toksin tipe kedua yaitu emetic toksin yang mengandung peptida dengan
berat molekul < 10 kDa dan relatif tahan panas karena tidak hancur pada suhu
yang mencapai 120◦C selama 1 jam. Toksin ini biasanya dapat ditemukan pada
21
nasi, susu beserta produknya dan bila terkonsumsi oleh manusia dalam jumlah 105
– 108 sel/gram sel dapat menyebabkan mual-mual dan muntah (Harmon et al.,
1992). Toksin emetik Bacillus cereus adalah cereulide. Molekul toksin ini sangat
stabil panas, pH ekstrem, dan proteolisis oleh tripsin. Pembentukan toksin emetic
biasanya dihubungkan dengan Bacillus cereus serovar H-1 dan terjadi setelah
pembentukan spora. Produksi toksin ini dipengaruhi oleh komposisi media
tumbuh. Susu dan media berbasis nasi efektif dalam mendukung pembentukan
toksin emetik (Beattie et al., 1999). Menurut Wijnads et al., (2006), Bacillus
cereus memiliki empat faktor virulen, yaitu tiga enterotoksin (haemolisin
BL/HBL, nono hemolitik enterotoksin/nhE, sitotoksin K) dan cereulide.
Haemolisin BL (HBL) dipercayai merupakan toksin diare utama dari Bacillus
cereus (Burgess and Horwood, 2006). Beecher and MacMillan (1990),
mengidentifikasi bahwa HBL kompleks terdiri atas tiga protein yaitu B, L1 dan
L2 yang menurut Beecher and Wong (1997), protein B berperan sebagai
komponen pelekat dan protein L1 (36 kDa) dan L2 (45 kDa) sebagai pelisis sel.
Toksin ini memiliki aktivitas haemolitik dan dermonekrotik, serta menyebabkan
peningkatan permiabilitas vaskuler dan menyebabkan akumulasi cairan di gelung
ileum kelinci (Beecher et al., 1995).
Gejala awal keracunan umumnya muncul 6-24 jam setelah mengkonsumsi
susu. Lama penyakit sangat pendek sehingga sering diabaikan (Gilbert et al.,
1979). Bacillus cereus baru akan menghasilkan toksin jika tumbuh di dalam usus
halus (Harmon et al., 1992). Untuk lebih jelas tentang karakteristik penyakit yang
disebabkan oleh Bacillus cereus dapat dilihat pada Tabel 6.
22
Tabel 6. Karakteristik Penyakit Akibat Bacillus cereus
Sindrom diare
7
Sindrom emetik
Dosis infektif
Produksi toksin
10 – 10 sel/g
Di usus halus penderita
105 – 108 sel/g
Terbentuk di dalam makanan
Tipe toksin
Masa inkubasi
Lama penyakit
Gejala
Protein
8-16 jam (bisa > 24 jam)
12-24 jam (bisa beberapa hari)
Sakit perut, diare encer dan ada
mual
Produk daging, sup, sayuran, susu
dan produk susu, pudding/sausnya
Peptide siklik
0,5-5 jam
6-24 jam
Mual, muntah dan lesu
Makanan
yang
sering terlibat
5
Nasi, nasi goring,
pastry, dan mie
pasta,
Sumber : Granum dan Lund, 1997
Kasus Cemaran Bacillus cereus pada Makanan Bayi
Keberadaan Bacillus cereus enterotoksigenik dalam makanan bayi telah
dilaporkan oleh Becker et al., (1994), dimana dari 261 sampel yang diperiksa,
yang berasal dari 17 negara positif terkontaminasi oleh bakteri tersebut. Pada
tahun 1992, 70% makanan bayi dan produk susu formula di Jerman juga positif
mengandung Bacillus cereus dengan kisaran sebesar 0.3-600 sel/g. Di negara
Chile, lebih dari 1.3 juta makanan yang disajikan setiap hari untuk anak-anak
sekolah oleh School Feeding Program positif mengandung Bacillus cereus.
Makanan yang disajikan tersebut terdiri dari produk-produk kering seperti :
produk susu, susu bubuk, pengganti susu, dan makanan penutup yang
mengandung susu (misalnya puding karamel, puding susu, dan beras campur
susu), yang pada umumnya sering terkontaminasi Bacillus cereus, produk-produk
ini dilarutkan di dapur sekolah dan sering dibiarkan pada suhu ruang yang tinggi
untuk waktu yang lama sebelum dikonsumsi oleh anak-anak (Kain et al., 2002).
Bacillus cereus dinyatakan sebagai penyebab berbagai infeksi saluran
pencernaan. Hal ini terbukti secara signifikan dimana Bacillus cereus menjadi
penyebab beberapa infeksi sistemik klinis pada bayi (Hilliard et al., 2003). Rowan
dan Anderson (1997), menemukan bahwa Bacillus cereus tumbuh di 63 sampel
susu formula dari 100 sampel yang diuji, hal ini terjadi pada susu formula bayi
yang dilarutkan kemudian dibiarkan selama 4 jam pada suhu 25⁰C. Baru-baru ini
23
beberapa strain Bacillus cereus yang berasal dari makanan bayi juga terungkap
sebagai produsen cereulide (toksin emetik) (Andersson et al., 2004;. EhlingSchulz et al., 2005).
Fitting Model Pertumbuhan
DMFit adalah Excell add-in, dapat digunakan pada Windows 98 dan Excel
97 keatas, untuk membuat fit suatu kurva dimana fase linear didahului dan diikuti
oleh fase diam. Perbedaan utama antara model ini dan kurva sigmoid lainnya
seperti Gompertz, Logistic, dan lain-lain adalah bahwa fase-mid (mid-phase)
sangat dekat dengan linear, tidak seperti kurva sigmoid klasik yang dinyatakan
dengan kelengkungan. DMFit adalah bagian dari sistem yang digunakan in-house
di Institute of Food Research untuk membuat model waktu-variasi logaritma dari
konsentrasi sel pada sejumlah kultur bakteri (DM: Dynamic Modelling). Hal ini
berdasarkan pada model yang sama (Baranyi dan Roberts, 1994) tetapi hanya
cocok untuk kurva pertumbuhan. Namun, juga membandingkan parameterparameter berdasarkan F-test, yang tidak termasuk dalam prosedur DMFit. Model
dari program Growth Predictor, didukung oleh UK Food Standards Agency, di
download dari situs web yang sama http://www.ifr.ac.uk/safety/GrowthPredictor,
yang dikembangkan oleh DMFit.
Download