pendahuluan - Gede Sandiasa

advertisement
BUKU BAHAN KULIAH
HUMAN RELATION
BAGI MAHASISWA FISIP UNIVERSITAS PANJI SAKTI SINGARAJA
Di susun oleh: Gede Sandiasa, S.Sos, M.Si
*Staf Pengajar pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UNIPAS
I. P E N D A H U L U A N
A. Manusia
Manusia sebagai mahluk termula di muka bumi semakin lama
semakin cerdas. Kecerdasan yang semakin meningkat itu mengakibatkan
manusia telah di juluki dengan berbagai “predikat”, seperti “homo faber”,
“homo sapiens”, “homo politikus”, dan “homo ekonomikus”. Dikatakan pula
bahwa manusia itu adalah zoon politikon. Disamping semuanya ini penulis
berpendapat bahwa manusia modern adalah pula “homo administratikus”,
serta organisation man.
Naluri masyarakat, naluri berorganiasi serta ketidakmampuan
manusia untuk memenuhi sendiri kebutuhan-kebutuhanya yang semakin
kompleks itu serta sifat hakiki dari manusia itu sebagai “mahluk yang
tidak puas” menyebabkan manusia itu merupakan milik yang paling
berharga bagi pimpinan suatu organisasi.
Itulah sebabnya secara hakiki dapat dikatakan bahwa jika seseorang
ingin berbicara tentang “filsafat administrasi”, maka fokus analisanya
harus bertitik tolak dari manusia dan berorientasi kepada manusia karena
seluruh proses administrasi dimulai oleh manusia, dimaksudkan demi
kepentingan manusia, dan diakhiri pula oleh manusia. (bahan-bahan
tersebut di atas dari buku Filsafat Administrasi Sondang P. Siagihan).
B. Bagaimana Dasar Perbedaan Manusia
Manusia berbeda dalam tiga hal :
Dalam cara mereka berpikir ; dalam cara mereka berperasaan ;
dalam cara mereka bertindak.
1. Berpikir menunjukkan pada sifat-sifat rohani seseorang
kecerdasan, kecakapannya untuk berpikir secara logis,
kecakapan untuk menangkap sesuatu, kebiasaan-kebiasaan
berpikirnya.
2. Merasa menunjukan pada sifat emosional, sikap seseorang dalam
menghadapi kritik, sifatnya sebagai penyerang dalam
percakapan, cepatnya ia menjadi marah, kebiasaan-kebiasaan
emosionalnya.
3. Bertindak menunjukan pada sifat kejasmanian-kekuatan badan
seseorang, gaya tahannya, kecepatannya untuk bergerak,
caranya berhubungan, kebiasaan-kebiasaan berbuatnya.
Melihat perbedaan antara orang yang satu dengan yang lain tidak
selalu mudah. Hal ini membutuhkan pengamatan dan pengalaman. Akan
1
tetapi jika saudara berusaha melatih di dalam hal menggolong-golongkan
dan menilai orang, saudara akan berpendapat, bahwa bergaul dengan para
pekerja, merupakan pekerjaan yang lebih mudah daripada apa yang
saudara kira.
C. Bagaimana Dasar Persamaan Manusia
Kita semua mempunyai beberapa kebutuhan-kebutuhan, keinginankeinginan dan sifat-sifat tertentu, yang merupakan sebab adanya
“penyebut” dari tabiat manusia seperti tersebut di atas. Hal ini tidak saja
terdapat pada penduduk asli dari Pulau Laut Selatan, tapi juga pada
seseorang sekretaris pada suatu kantor, seorang gadis penjual di belakang
meja kedai, atau seseorang pekerja di dalam Pabrik.
Persamaan-persamaan tersebut diantaranya adalah :
1. Naluri untuk bergolong.
Telah menjadi kodrat alam, bahwa manusia mempunyai kebutuhan
untuk berkumpul. Orang ini berkawan dengan orang lain. Ia ingin
bersatu dengan sebuah gerombolan, atau beberapa gerombolan
manusia. Hal ini merupakan kenyataan pula bagi para pekerja yang
berada di bawah kekuasaan saudara dan para pemimpin yang
mempunyai kedudukan yang lebih tinggi daripada saudara. Hal
yang sama terdapat pula pada saudara sendiri, isteri, anak dan
tetangga saudara.
2. Perlawanan tehadap perubahan.
Menurut Hukum Ilmu Alam, jika sebuah benda sekali bergerak
dalam jurusan tertentu, kekuatan harus dipergunakan guna
merubah jurusannnya.
Makin cepat perubahan itu diadakan dan makin besar
adanya perubahan, maka makin besar pula kekuatan yang
dibutuhkan. Contoh itu dapat saudara lihat jika saudara
mengendarai mobil saudara. Kita umpamakan saudara melalui
sebuah jalan sambil membelok dengan belokan yang tajam, saudara
akan melihat adanya perlawanan dari mobil saudara. Roda setir
seolah-olah menghendaki berputar kembali. Apabila belokannya
terlalu tajam, saudara bahkan akan menubruk pagar pelancar, tak
dapat lagi menguasai kendaraan dan akan mendapat kecelakaan.
Akan tetapi jika saudara berbelok dengan perlahan, saudara akan
melihat bahwa saudara dapat menjalankannya dengan mudah,
halus dan aman. Hal tersebut mengandung kebenaran dalam
pergaulan dengan manusia. Sekali orang mengerjakan sesuatu
dengan cara yang tertentu, hal itu merupakan kebiasaan jasmani
dan rohani. Untuk merubah kebiasaan jasmani dan cara berpikir itu
dibutuhkan usaha-usaha secara bertingkat-tingkat atau berangsur–
angsur. Hal tersebut membutuhkan kesabaran yang tidak sedikit.
Apabila perubahan itu saudara kerjakan secara bertingkat-tingkat
2
dan berangsur-angsur, saudara akan membutuhkan lebih sedikit
usaha daripada jikalau perubahan jurusan itu dilakukan secara
tajam.
Jika perubahan diadakan dengan terlalu sekonyongkonyong akan timbul bahaya, bahwa orang seperti halnya dengan
Auto Mobil, akan memberontak atau melawan terhadap
pengawasan saudara.
Umpam sebagai contoh, langganan saudara bermaksud
menaikkan harga susunya, yang semula besarnya dua rupiah
setengah botol besar, menjadi tiga rupiah, yakni menaikkan harga
perbotol dengan lima picis. Apabila ia berpengalaman, ia tahu
bahwa menaikkan harga dengan lima picis sebotol dengan
sekonyong-konyong akan menimbulkan amarah daripada
langganan dan menyebabkan mereka mencari langganan lain.
Berdasarkan atas pengalaman tersebut langganan saudara tidak
menaikkan harga susunya sekaligus dengan lima picis sebotol,
melainkan mula-mula ia menaikkan harganya dengan sepicis sambil
memberi keterangan bahwa biaya-biaya pemerasan susu naik, dan
karenanya terpaksa menaikan harga susunya. Jika ia yakin, bahwa
saudara telah menerima dan dapat membiasakan diri dengan harga
baru itu, maka ia pada suatu ketika menaikkan lagi harganya
dengan sepicis, dan mengulanginya dengan berangsur-angsur
sehingga akhirnya harga susunya sebotol menjadi tiga rupiah.
Hal yang sama belaku pula dengan keadaan yang lain.
Ambillah tuntutan serikat buruh mengenai kenaikan upah. Seorang
pemimpin buruh yang cerdik mengetahui bahwa menuntut
kenaikan upah yang besar dengan sekaligus hanya akan menemui
perlawanan dari pihak majikan dan pendapat umum. Dari sebab itu
ia mengajukan tuntutannya secara bertingkat-tingkat dan
berangsur-angsur. Ia mengetahui bahwa dengan cara demikian
kemungkinannya untuk berhasil menjadi lebih besar.
3. Kehausan akan “Ego”
Kita semua ingin menjadi orang yang penting. Bagi
seseorang manusia, titik sekitar mana dunia berputar adalah tempat
yang dapat ditentukan dengan memegang sebuah potlot di atas
tengah-tengah kepalanya. Apabila orang kena kepotong jarinya, rasa
sakit yang dideritanya merupakan hal yang terpenting baginya.
Mungkin sekali hal tersebut pada saat itu baginya jauh lebih dari
pada kematian beberapa ratus orang akibat gempa bumi yang
terjadi ditempat yang jauh letaknya.
Apakah artinya “Ego”? Artinya ialah :
“Diri pribadi” yaitu “Aku” dan “Aku” merupakan salah satu
perikatan yang paling penting dalam kamus bahasa kita. Pernah
diadakan penyelidikan tentang kata-kata yang paling biasa di pakai
dalam percakapan dengan melalui telepon. Ternyata bahwa”Aku”
3
merupakan satu-satunya perkataan yang paling sering di
pergunakan dalam percakapan tersebut.
John Dewey seseorang ahli filsafat yang tersohor pernah
berkata : “Keinginan agar menjadi penting adalah dorongan yang
paling besar yang terdapat dalam tabiat manusa”. Berhubungan
dengan itu kehausan akan”Ego” atau diri pribadi merupakan faktor
yang amat penting dalam pergaulan dengan manusia. Hal ini
menunjukkan adanya beberapa peraturan dasar
dalam
perhubungan antara manusia dan manusia. Salah satu diantaranya
ialah adanya kodrat manusia untuk menjadi marah apabila
menerima celaan. Itulah sebabnya maka saudara akan menganggap
mudah untuk membuat seorang tidak menyukai saudara apabila
saudara kurang memberi penghargaan baginya, tidak mau
mengenal kepadanya, memberi tegoran kepadanya dimuka kawankawannya sekerja, atau tidak memberi penghargaan, jika
penghargaan seharusnya diberikan.
Pukulan-pukulan semacam itu pada diri pribadi atau ego seseorang
tak dapat diterima begitu saja olehnya. Unsur bergaul dengan
manusia dengan cara yang baik, saudara harus belajar untuk
menghargai diri pribadi mereka dengan memandang persoalanpersoalan tidak hanya dari sudut diri kita sendiri melainkan juga
dari sudut mereka.
4. Keinginan terhadap ketentraman
Jikalau saudara bertanya kepada beberapa orang akan anti
“ketentraman” maka mereka sering kali akan menjawab : Uang
simpanan dalam Bank. Jawaban tersebut adalah singkat akan tetapi
juga bersifat menyesatkan. Ketentraman itu adalah keadaan pikiran.
Tidaklah merupakan suatu syarat. Cara lain yang lebih baik untuk
menentukan arti kata ketentraman ialah dengan menyatakan bahwa,
ketentraman itu adalah perasaan percaya pada diri sendiri dan
kekuatan batin yang tenang dengan disertai ketentraman pikiran.
Uang saja tidak dapat menjamin adanya pikiran yang tentram.
Seorang pekerja, yang dapat dipercayai yang dapat menjalankan
pekerjaannya dengan baik, dan yang karena pekerjaannya serta cara
penghidupannya merasa dirinya berguna, mempunyai rasa tentram
yang mendalam, faktor-faktor apa yang membuat orang merasa
tentram? Untuk menyelidiki hal itu saudara umpamakan diri
saudara terdampar pada kepulauan Laut Selatan. Apa yang saudara
butuhkan untuk mendapatkan ketentraman pikiran dan jiwa?
Dalam hubungannya dengan para pemimpin, penulis buku
ini mengajukan pertanyaan tersebut kepada mereka. Jawabanjawaban yang diterimanya, dengan tak diduganya, menunjukkan
banyak persesuaian. Jawaban-jawaban itu adalah sebagai berikut :
4
a. Soal makanan akan menjadi perhatian saudara yang pertama,
saudara akan menjadikan atau mencari apa saja yang dapat
dimakan, barangkali buah kelapa, dan mata air untuk minum.
b. Soal perlindungan kemudian akan menjadi buah pikiran
saudara. Setelah saudara mengetahui darimana saudara akan
mendapat bahan-bahan makanan, saudara akan membutuhkan
tempat untuk tidur dan untuk berlindung terhadap angin dan
hujan, pakaian agar tidak kedinginan, api untuk menakuti dan
mengusir binatang.
c. Keinginan untuk berteman menjadi kebutuhan saudara yang
ketiga. Saudara ingin berhubungan dengan sesama manusia.
Saudara membutuhkan kawan, seseorang dengan siapa saudara
dapat bercakap-cakap dan dengan siapa saudara dapat bergaul.
d. Selanjutnya saudara membutuhkan kemakmuran yang lebih
besar. Saudara mungkin memutuskan untuk membuat tempat
tidur yang lebih empuk, tempat berteduh yang lebih besar, meja
dan kursi, dan mungkin juga sebuah selokan agar dapat
mengambil air secara lebih mudah.
e. Akhirnya saudara mencari kepuasan hati dengan mengetahui
bahwa orang lain yang berada di Pulau itu mempunyai rasa
hormat terhadap saudara. Dalam usaha saudara supaya orang
lain menghormati dan menghargai saudara, barangkali saudara
ingin mencoba untuk menjadi pimpinan mereka.
Jika saudara tidak mempunyai sifat menyerang, saudara mungkin
akan mencoba pula supaya mereka mempunyai perasaan dan pikiran yang
baik terhadap diri saudara. Saudara barangkali akan menawarkan
pertolongan kepada tetangga saudara dalam membangun rumah tangga
mereka. Mungkin saja saudara sedia menolong melaksanakan beberapa
pekerjaan, yang meskipun tak menyenangkan, perlu untuk kepentingan
umum. Marilah kita merubah pemandangan tersebut. Dalam buku yang
lain berjudul “Teori dan Manajemen Konflik”, oleh Kusnadi & Bambang
Wahyudi (2001). Disampaikan tentang hakekat persamaan dan perbedaan
manusia seperti dijelaskan di bab II.
II. HAKEKAT PERSAMAAN DAN PERBEDAAN MANUSIA
Tindakan atau perilaku seseorang dalam organisasi dan di tengahtengah masyarakat dapat searah (sama) atau berbeda dan persamaan serta
perbedaan pada diri manusia merupakan potensi manusia yang dapat
menjadi potensi positif atau potensi negatif. Memahami secara tepat dan
cepat dari komponen persamaan dan perbedaan manusia di dalam
organisasi secara khusus akan memberikan kearifan yang tinggi sehingga
keputusan dan tindakan individu, kelompok atau organisasi tidak
ditetapkan dan diterapkan secara gegabah melainkan telah melalui suatu
proses pemikiran dan pertimbangan yang matang dan dengan demikian
iklim kelompok, organisasi atau masyarakat akan semakin sejuk sehingga
5
semua pihak yang terlibat di dalam kelompok, organisasi atau masyarakat
akan memperoleh kepuasan yang patut dibanggakan.
Mengingat perseteruan atau konflik awalnya berasal dari
perbedaan maka mengenal prinsip dasar perbedaan manusia merupakan
studi yang relevan dan sangat kondusif untuk menyelesaikan berbagai
konflik yang muncul meskipun tidak semua para pakar menganggap
konflik suatu hal yang negatif yang mesti harus dijauhi akan tetapi para
ahli sepakat bahwa konflik dapat berpotensi berdampak negatif jika pihak
yang terkait salah di dalam mengambil langkah yang tepat di dalam
menyelesaikan suatu konflik. Karena manusia di samping mempunyai
perbedaan dasar juga mempunyai persamaan dasar yang sekaligus
merupakan pasangannya maka dalam tulisan ini akan dibahas pula prinsip
persamaan dasar dan prinsip perbedaan dasar manusia. Dengan
mengetahui hakekat prinsip dasar persamaan dan perbedaan dasar
manusia ini diharapkan kita semua semakin arif, bijak dan harmonis di
dalam melakukan pergaulan dengan semua pihak, sehingga kita juga
dapat menempatkan atau memposisikan diri kita secara proporsional.
A. Hakekat Persamaan Dasar Manusia.
Setiap orang baik yang ada di dalam organisasi pada dasarnya
mempunyai persamaan universal sebagai pemberian dari Tuhan. Adapun
unsur (komponen) persamaan universal manusia adalah:
1. Setiap orang umumnya mempunyai sifat lebih mengutamakan dirinya
dan keluarga dekatnya. Dalam organisasi tentunya setiap orang lebih
mengutamakan dirinya, teman dekatnya dan kelompoknya. Oleh
karena itu konsep nepotisme akan mengedepan jika orang tidak
berpikir rasional dan tidak berpegang kepada perintah Tuhan maupun
peraturan yang ada.
2. Setiap orang menganggap dirinya mempunyai posisi atau peranan yang
penting. Hal ini dapat dilihat dari pengakuan dirinya di hadapan orang
lain seperti “jika tidak ada saya maka sangat sulit mencapai keadaan
seperti ini atau saya dibegitukan makanya saya melakukan tindakan
begini atau jangan coba-coba melawan atau merugikan saya kalau tidak
ingin saya hadapi secara begini dan seterusnya”. Pernyataan tadi
sebenarnya merupakan pengungkapan penonjolan diri dan
memandang pihak lain lebih rendah, padahal belum tentu pihak lain
lebih rendah dari dirinya.
3. Setiap orang senang dipuji atau diberi penghargaan berupa materi
maupun non materi. Penghargaan berupa materi merupakan
penghargaan kelas bawah yang hanya akan efektif jika yang diberi
penghargaan masih berada pada pemenuhan yang bersifat materi.
4. Setiap orang tidak menghendaki atau tidak menyenangi penderitaan
dan sedapat mungkin akan berupaya untuk menghindarinya. Semua
sepakat bahwa penderitaan adalah suatu keadaan yang kurang atau
sangat tidak menyenangkan bagi manusia.
6
5. Setiap orang akan selalu berusaha menghindari bahaya. Sudah
merupakan fitrah manusia jika manusia lebih mengutamakan selamat
dan senantiasa akan menjauhi bahaya sebab bahaya senantiasa akan
membuat manusia menderita dan susah.
6. Setiap orang menghendaki atau menyenangi kepuasan dan kenikmatan
dan akan selalu berusaha untuk mendapatkannya. Setiap tingkat
kepuasan tercapai maka manusia senantiasa akan mengejar kepada
tingkat kepuasan yang lebih tinggi.
7. Umumnya setiap orang tidak menghendaki berurusan dengan resiko
dan seandainya ada orang yang berani beresiko, jumlahnya tidak begitu
banyak. Resiko seringkali ditafsirkan tidak mengenakkan (tidak
menguntugkan).
B. Perbedaan Dasar Manusia
Sebagaimana persamaan, perbedaan dasar manusia juga
merupakan anugerah Tuhan dan juga ada di setiap organisasi, baik
organisasi formal maupun organisasi non formal. Tiap orang baik yang ada
di dalam organisasi maupun yang tidak berada di dalam organisasi pada
dasarnya pasti mempunyai perbedaan universal sebagai pemberian
dariNya. Perbedaan dapat menjadi kontribusi positif yang berguna bagi
organisasi akan tetapi dapat juga memberikan kontribusi negative,
sehingga dapat membahayakan organisasi. Adapun unsur (komponen)
perbedaan universal manusia adalah :
1. Setiap manusia mempunyai perbedaan dalam befikir. Manusia
mempunyai perbedaan berfikir dikarenakan perbedaan latar belakang
pendidikan, perbedaan latar belakang budaya, perbedaan latar
belakang sistim nilai yang dipercayai, perbedaan latar belakang sosial,
perbedaan latar belakang politik, perbedaan latar belakang ekonomi
dan berbagai latar belakang lainnya. Latar belakang yang berbeda ini
akan berpengaruh kepada kualitas kognisi (kepandaian) seseorang. Tak
seorangpun di dunia ini yang mempunyai latar belakang yang persis
sama meskipun dilahirkan dari bapak dan ibu yang sama apalagi dari
bapak ibu yang berbeda.
2. Setiap manusia berbeda di dalam merespon keadaan sekitarnya baik
terhadap keadaan ekonomi, politik, sosial, budaya, sistim nilai,
pertahanan dan keamanan dan keadaan lainnya yang terjadi dalam
segenap aspek hidup dan kehidupan manusia. Yang perlu disadari di
sini bahwa keadaan ekonomi, politik, sosial, budaya, sistim nilai,
pertahanan dan keamanan dan keadaan lainnya senantiasa berada
dalam kondisi dinamis. Oleh karena itu respon manusia senantiasa
berubah sepanjang waktu di dalam menyesuaikan dengan keadaan
ekonomi, politik, sosial, budaya, sistem nilai, pertahanan dan keamanan
dan keadaan lainnya yang serba berubah tersebut. Tidaklah
mengherankan jika seorang tokoh dinyatakan kepadanya: mengapa
pandangan anda dahulu dan sekarang berubah, apakah berarti
7
3.
4.
5.
6.
7.
8.
pendirian anda berubah? Maka tokoh tersebut menyatakan bahwa
pendiriannya tidak berubah yang berubah kondisi dan pendekatan
analisis yang digunakannya berubah karena keadaan ekonomi, politik,
sosial, budaya, sistim nilai, pertahanan dan keamanan dan keadaan
lainnya telah berubah pula. Jika tehnik dan metode lama yang
digunakan mata dipandang kurang sesuai dengan keadaan yang
sedang terjadi sekarang.
Setiap manusia mempunyai perbedaan emosi dan perasaan. Perbedaan
emosi dapat disebabkan karena bawaan lahir, pengaruh lingkungan
atau karena perbedaan struktur bio- kimiawi yang ada di dalam tubuh
manusia, atau juga karena perbedaan struktur dan komposisi vitamin,
struktur gizi, struktur mineral yang semuanya akan berpengaruh
kepada metabolisme tubuh dan emosi seseorang. Suatu misal,
seseorang yang dalam tubuhnya mempunyai kandungan lemak dan
kolesterol yang tinggi akan mempunyai tingkat emosi yang berbeda
dengan yang mempunyai lemak dan kolesterol yang rendah sehingga
akan berbeda pula di dalam merespon segala sesuatu yang menyangkut
kepentingannya.
Setiap manusia mempunyai perbedaan bertindak. Perbedaan bertindak
ini disebabkan karena perbedaan berfikir, emosi dan perasaan. Ada
orang yang begitu mendengar tentang berita kematian saudaranya
meresponnya dengan menjerit, menangis dan berteriak sedangkan yang
lain mungkin menerima dengan tenang sambil melakukan pendekatan
dengan pencipta. Ada orang yang begitu diputus cintanya oleh
pacarnya kemudian berusaha membunuh diri sedangkan yang lain
malah mungkin tertawa.
Setiap orang mempunyai kepribadian yang berbeda. Umumnya setiap
orang di dunia ini karena mempunyai latar belakang yang berbeda baik
dari segi biologi, biografis, biokimia, pendidikan, sosial, budaya,
ekonomi, sistem nilai dan lainnya maka akan menghasilkan
kepribadian yang berbeda pula.
Setiap orang akan mempunyai tingkat kepuasan yang berbeda baik di
dalam mengkonsumsi barang dan jasa maupun di dalam berinteraksi
dengan lingkungannya. Tidak menutup kemungkinan respon seseorang
kepada produk A adalah baik sedangkan respon orang atau kelompok
lain kepada produk A adalah jelek. Tentunya, banyak sekali argumen
yang akan diketengahkan mengapa orang mempunyai respon yang
berbeda-beda.
Setiap orang mempunyai referensi (kesukaan, kecenderungan atau
keinginan) yang berbeda-beda. Karena preferensi orang atau kelompok
berbeda-beda maka tidak menutup kemungkinan melahirkan skala
prioritas yang berbeda pula.
Setiap orang akan mempunyai tingkat stamina yang berbeda-beda
sehingga juga akan berpengaruh kepada kinerjanya, baik kinerja
mandiri maupun kinerja di dalam organisasi. Stamina manusia dapat
8
dipengaruhi oleh kondisi psikis dan kondisi biokimia yang ada di
dalam tubuh seseorang.
III. HUMAN RELATIONS DALAM ORGANISASI
Sebagaimana telah dikatakan dimuka, para ahli administrasi pada
umumnya sependapat bahwa manajemen merupakan inti daripada
administrasi, dan kepemimpinan merupakan inti daripada manajemen.
Akan tetapi pendapat ini masih perlu diperdalam dengan melanjutkan
analisa mengenai inti tersebut. Lanjutan dari pendapat ini ialah dengan
mengatakan bahwa human relations merupakan inti daripada
kepemimpinan. Paling sedikit demikianlah halnya untuk masa sekarang ini
meskipun – sebagaimana akan terlihat dalam bab-bab lain dari buku ini –
tidak selalu demikian halnya di masa-masa yang lalu.
Dengan perkataan lain bidang administrasi sekarang ini telah
disadari dan diakui bahwa dalam setiap kegiatan administrasi unsur
manusia serta hubungan-hubungan antar manusia itu merupakan faktor
yang menentukan sukses tidaknya proses administrasi itu dijalankan. Hal
ini berarti manusia didalam suatu organisasi tidak boleh diperlakukan
sama dengan unsur-unsur administrasi lainnya, seperti modal, mesin, alatalat perlengkapan dan lain sebagainya.
Pengertian ini akan menjadi lebih jelas lagi apabila diingat bahwa
human relations adalah “keseluruhan rangkaian hubungan, baik yang
bersifat formal maupun informal, antara atasan dengan bawahan, atasan
dengan atasan, serta bawahan dengan bawahan yang lain yang harus
dibina dan dipelihara sedemikian rupa sehingga tercipta suatu team work
dan suasana kerja yang intim dan harmonis dalam rangka pencapaian
tujuan”.
A. Organisasi
Di dalam buku Filsafat Administrasi oleh S.P. Siagian. Ini definisi
organisasi yang dipergunakan ialah : “Setiap bentuk persekutuan antara
dua orang atau lebih yang bekerja bersama serta secara formal terikat
dalam rangka pencapaian sesuatu tujuan yang telah ditentukan dalam
ikatan mana terdapat seorang/ beberapa orang yang disebut atasan dan
seorang/ sekelompok orang yang disebut bawahan”.
Definisi di atas menunjukkan bahwa organisasi dapat ditinjau dari
dua segi pendapat yaitu :
1. Organisasi sebagai wadah dimana kegiatan-kegiatan administrasi
dijalankan.
2. Organsasi sebagai rangkaian hirarki antar orang-orang dalam suatu
ikatan formal.
9
Sebagai wadah organisasi relatif bersifat statis, sedangkan sebagai
suatu rangkaian hirarki organisasi merupakan suatu program dan dengan
demikian ia bersifat lebih dinamis.
Didalam ilmu administrasi para sarjana semakin banyak perhatian
kepada organisasi sebagai suatu proses dan kurang perhatian terhadapnya
sebagai wadah kegiatan kerja. Hal ini adalah akibat daripada perhatian
yang semakin besar terhadap unsur manusia didalam suatu organisasi.
10
B. Pembinaan Hubungan-Hubungan Intern Dan Ekstern Dalam
Organisasi
Untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan bagi suatu
organisasi, merupakan kewajiban kelompok pimpinan dalam organisasi
menciptakan serangkaian hubungan antara orang-orang didalam
organisasi sendiri yang bersifat intern dan dengan pihak-pihak luar
organisasi, dan bersifat ekstern. Dengan perkataan lain, hubungan yang
perlu diciptakan dan dibina meliputi hubungan antar orang-orang di
dalam organisasi dan antara organisasi dengan fihak luar.
Dalam administrasi hubungan intern itu diklasifikasikan sebagai
“human relations”. Sedangkan hubungan yang bersifat ekstern itu disebut
“public relation”. Sering timbul pertanyaan : yang mana sebenarnya yang
lebih luas? Human relationkah? Atau public relationkah? Jawaban yang
mendekati kebenaran ialah bahwa yang terpenting bukan yang mana
diantaranya kedua macam relations itu yang lebih luas dari yang lain. Yang
terpenting harus diperhatikan ialah bahwa demi tercapainya tujuan
dengan efisien dan ekonomis, kedua macam hubungan itu harus
diciptakan, dikembangkan dan dibina.
IV. HUMAN RELATIONS DALAM ADMINISTRASI
Telah dikatakan dimuka bahwa filsafat administrasi dan
managemen modern sekarang ini didasarkan atas dan berorientasi pada
manusia sebagai unsur yang terpenting. Karena itulah dikatakan bahwa
filsafat administrasi dan managemen sekarang ini adalah suatu filsafat
yang “people centered”.
Telah dikatakaan pula bahwa human relations merupakan inti
daripada kepemimpinan karena cara penggerakan bawahan sekarang ini
memang didasarkan kepada pendapat bahwa manusia adalah mahluk
yang mempunyai martabat, perasaan, cita-cita, keinginan, temperamen dan
harapan-harapan. Disamping itu perlu diperhatikan bahwa tidak ada dua
individu yang sama dalam segala hal meskipun ada tujuan-tujuan manusia
yang sifatnya universal.
Misalnya, setiap manusia ingin bebas, ingin dihargai, ingin memperoleh
kemajuan dalam hidup dan sebagainya.
Tambahan pula setiap manusia mempunyai sifat-sifat yang positif
dan negatif. Keseluruhan sifat-sifat itu, baik yang positif maupun negatif
dibawa oleh seseorang kedalam organisasi ke dalam mana ia
menggabungkan diri.
Dengan perkataan lain, dalam diri setiap manusia ada dua macam
“kekuatan”, yaitu kekuatan-kekuatan yang konstruktif dan kekuatankekuatan yang destruktif. Dalam hubungan ini harus diperhatikan bahwa
kelompok pimpinan didalam suatu organisasi harus mengetahui dan
memahami sifat hakiki manusia itu. Memperkecil jurang antara
mengetahui dan mamahami prasyarat yang sangat penting dalam rangka
11
usaha menggerakkan bawahan. Salah satu sarana untuk memperkecil
jurang antara mengetahui dan memahami hakiki manusia itu ialah
mengetahui dan mampu menerapkan prinsip-prinsip human relations.
Definisi human relations yang telah diberikan dalam permulaan
buku ini ialah : “Keseluruhan hubungan baik yang formal maupun yang
informal yang perlu diciptakan dan dibina dalam suatu organisasi
sedemikian rupa sehingga tercipta suatu teamwork yang intim dan
harmonis dalam rangka pencapaian tujuan yang telah ditentukan”.
A. Prinsip-Prinsip Human Relation
Ada sepuluh prinsip pokok dari human relations yang sering
disebut sebagai “the ten commandments of human relations”. Prinsip-prinsip
pokok itu ialah:
1. Harus ada sinkronisasi antara tujuan manusia atau individu dengan
tujuan-tujuan organisasi didalam organisasi tersebut. Artinya bahwa
setiap manusia mempunyai kemampuan-kemampuan yang sangat
terbatas, baik karena keterbatasan fisik, biologis maupun mental.
Karena keterbatasan itu tidak mampu untuk memuaskan semua
kebutuhannya dengan efisien dan ekonomis tanpa bekerja sama dengan
orang lain. Bekerja sama dengan orang lain berarti menggabungkan diri
dengan berbagai organisasi. William h. White menyebut manusia itu
sebagai “manusia organisasi”.
Akan tetapi manusia itu pada dasarnya adalah mahluk yang
egoistis. Karena ia egoistis, maka harus dijaga agar supaya jangan
sampai ia berusaha mencapai tujuan pribadinya dengan sama sekali
melupakan tugas dan kewajibannya dalam rangka pencapaian tujuan
organisasi. Artinya, didalam kehidupan berorganisasi perlu dijaga agar
jangan sampai timbul pertentangan yang runcing antara tujuan orangorang didalam organisasi dengan meyakinkan orang-orang didalam
organisasi bahwa apabila tujuan organisasi telah tercapai, hal itu
sekaligus akan berarti tercapainya pula tujuan-tujuan pribadi dari
individu-individu didalam organisasi itu.
2. Suasana kerja yang menyenangkan. Suasana kerja yang menyenangkan
disini berarti sangat luas.
Yang dimaksud meliputi: (a) pekerjaan yang menarik, penuh tantangan
dan tidak rutin, (b) hubungan kerja yang intim, (c) lingkungan kerja
yang membangkitkan kegairahan bekerja, seperti penerangan lampu
yang cukup, alat-alat yang lengkap, ventilasi ruangan yang cukup
memberi udara segar, dan (d) perlakuan yang adil.
3. Informalitas yang wajar dalam hubungan kerja. Suatu organisasi yang
baik adalah suatu organisasi yang dpimpin dengan cara-cara yang
demokratis. Administrasi dan managemen yang demkratis sering
disebut dengan istilah “open administration and management”, “permissive
administration and management”, “participative administration and
management”.
12
4.
5.
6.
7.
8.
Sifat keterbukaan dari organisasi yang demokratis dimanifestasikan
terutama oleh hubungan kerja yang informal.
Artinya, semakin baik administrasi dan managemen suatu organsiasi
hubungan kerjapun semakin informal, tanpa melupakan segi formal
dari hubungan kerja itu. Memang pimpinan organisasi harus dapat
mencapai keseimbangan antar informalitas dan formalitas dalam
hubungan kerja. Jika informalitas dibiarkan terlalu merajai hubungan
kerja, rasa hormat terhadap pimpinan dapat berkurang. Sebaliknya, jika
formalitas terlalu menonjol, maka kekakuan dalam hubungan kerja
akan timbul yang mengakibatkan kelambatan-kelambatan.
Manusia bawahan bukan mesin. Berbeda dari uang, mesin, metode,
material dan alat-alat produksi yang lain, manusia ingin diperlakukan
secara terhormat. Kepribadiannya diakui, keinginannya diperhatikan,
kebutuhannya – yang material dan non material – dipuaskan dan
kemampuannya dikembangkan secara teratur. Untuk ini pengertian,
penghargaan dan perasaan memegang peranan yang menentukan.
Kembangkan kemampuan bawahan sampai tingkat yang maksimal.
Kepada setiap orang didalam organisasi harus diberikan kesempatan
yang seluas-luasnya untuk mengembangkan kapasitas mentalnya
melalui pendidikan, latihan – baik yang bersifat latihan jabatan atau onthe-job training maupun yang bersifat off-the-job training dan cara-cara
pengembangan lainnya tour of duty, tour of area dan lain-lain teknik.
Untuk menerapkan prinsip ini dengan sebaik-baiknya adalah tugas
pimpinan untuk mengetahui bakat dan keahlian bawahannya.
Pimpinan harus pula mengetahui batas-batas kemampuan bawahannya
agar dalam usaha pengembangan kemampuan itu pengarahan yang
lebih tepat dan dibuat.
Meskipun harus diakui pula pentingnya kapasitas bawahan, harus
diingat bahwa “no trainning can develop a man, he must develp himself”.
Pekerjaan yang menarik dan penuh tantangan. Seseorang yang
sungguh-sungguh mau bekerja akan tidak menyenangi pekerjaan yang
bersifat rutin. Baginya pekerjaan yang demikian akan segera
membosankan. Sebaliknya, pekerjaan yang interesant dan penuh
tantangan akan memperbsar kegairahan bekerja, memperluas
imainasinya dan memperhebat daya kreasi dan inisiatifnya.
Pengakuan dan penghargaan atas pelaksanaan tugas dengan bak
(extraordinary performance). Pimpinan harus cepat mengakui dan
menghargai, pelaksanaan tugas dengan baik oleh seseorang bawahan.
Bentuk pengakuan dan penghargaan itu dapat berbentuk kenaikan
pangkat luat biasa, kenaikan gaji berkala luar biasa, hadiah uang, surat
penghargaan dan kombinasi dari beberapa hal ini.
Alat perlengkapan yang cukup. Sering keterlambatan terjadi dalam
pelaksanaan tugas disebabkan oleh tidak tersedianya alat perlengkapan
yang diperlukan untuk pelaksanaan tugas.
13
Memang administrasi dan manajemen harus beroperasi dalam keadaan
serba kekurangan, akan tetapi paling sedikit, alat yang minimal
diperlukan untuk melaksanakan tugas dengan baik harus tersedia.
9. “The right man in the right place”. Setiap orang harus ditempatkan
menurut keahlian dan kecakapannya. Untuk ini sangat penting bagi
seorang pemimpin untuk mengetahui apa bakat, kecakapan dan
keahlian
bawahannya.
Harus
diketahui
pula
batas-batas
kemampuannya. Dalam organisasi dikenal apa yang disebut
“occupational incomptence”. Artinya ada batas-batas maksimal untuk
dicapai oleh seseorang dalam kariernya. Ada yang sangat baik sebagai
Kepala Bagian, misalnya, tetapi tidak mampu menjadi Kepala Biro. Jika
toh ia ditempatkan sebagai Kepala Biro, ia akan mencapai “occupational
incompetence” itu. Jika toh ia didudukkan sebagai Kepal Biro ia akan
kehilangan kegairahan bekerja, karena ia akan selalu “frustrated”, tidak
merasa pasti akan tindakan dan keputusannya yang berakibat
ketidakberesan dalam pelaksanaan tugas.
10. balas jasa harus setimpal dengan jasa yang diberikan. Kepada setiap
orang di dalam organisasi harus diberikan upah dan gaji yang setimpal
dengan jasa yang diberikan dan sekligus dapat menjamin tingkat hidup
yang layak baginya dan keluarganya. Prinsip ini merupakan salah satu
prinsip yang tersulit dipraktekkan oleh suatu Negara yang miskin dan
sedang berkembang karena adanya lingkaran setan berupa pendapat
per capita dan nasional yang rendah, perekonomian yang tidak stabil,
produktifitas yang rendah, serta managerial dan technological skill yang
masih sangat kurang. Meskipun demikian, pimpinan harus berusaha
untuk sedapat mungkin menerapkan prinsip ini dibarengi oleh prinsip
“equal pay for qual work” dan “a fair pay for a fair days work”.
Sedangkan menurut Teguh Meinanda dalam buku-buku :
pengantar Public
Relations dalam Management menyebutkan tentang
prinsip-prinsip human relation sebagai berikut:
a. Importence of the individual (pentingnya individu)
Seperti sudah diketahui tiap orang harus diberlakukan sebagai
individu. Menurut Davis, tindakan sesuatu badan harus
memperhitungkan
perasaan
pegawai,
mengakui
dan
memperhatikan kepentingannya.
b. Mutual Acceptence (saling menerima)
Pemimpin, yang dipimpin dan organisasi buruh sesuatu badan
harus bersatu. Mereka satu sama lain harus saling menerima sebagai
individu dan sebagai kelompok. Harus saling menghormati dan
menghargai tugas dan kewajiban masing-masing.
c. Common Interest (kepentingan bersama)
Pemimpin, yang dipimpin dan organisasi buruh satu sama lainnya
terikat oleh kepentingan bersama. Karena mereka bersatu mereka
mampu untuk mencapai sukses dalam pekerjaannya, dan
terjaminkan kebutuhan tiap individu tergantung dari sukses itu.
14
d. Open Communication (komunikasi terbuka)
Berterus terang mengenai ide, perasaan dan mengenai segala
sesuatu yang menyangkut kepentingan bersama. Komunikasi yang
sifatnya terbuka akan menimbulkan pengertian yang lebih baik dan
menghasilkan keputusan-keputusan yang lebih tepat.
e. Partisipasi Pegawai.
Hasil-hasil yang efesien disebabkan karena adanya keseimbangan
dalam pandangan-pandangan dan karena segala problema dihadapi
dan dipecahkan bersama-sama.
f. Lokal Indentify (identitas setempat)
Dengan memberikan pujian yang tepat pada seseorang, orang itu
akan merupakan sebagian dari badan dimana ia ditugaskan.
g. Lokal Decisions (keputusan setempat).
Memberi wewenag pada orang-orang untuk memecahkan sendiri
problema-problema yang langsung timbul ditengah-tengah mereka.
h. High Moral Standards (ukuran moral yang tinggi).
Kebenaran dan keadilan mengenai sesuatu tindakan dapat disebut
benar dan adil bila didasarkan pada moralitas dan hak-hak azasi
manusia.
B. Kreteria Penerapan Prinsip-Prinsip Human Relations
Apabila seseorang hendak meneliti apakah pimpinan organisasi
menerapkan prinsip-prinsip human relations tersebut dimuka dengan baik
atau tidak, ia dapat melihat kriteria sebagai berikut :
1. Ada atau tidaknya loyalitas para bawahan terhadap atasan
2. Ada atau tidaknya loyalitas para atasan terhadap bawahan
3. Ada atau tidaknya loyalitas para atasan terhadap sesama atasan
4. Ada atau tidaknya loyalitas para bawahan terhadap sesama bawahan
5. Ada atau tidaknya loyalitas para anggota kepada organisasi
6. Ada atau tidaknya kegairahan bekerja
7. Sifat hubungan kerja kaku atau luwes, formal atau informal
8. Moral tinggi atau rendah
9. Disiplin tinggi atau rendah
10. Banyak penyelewengan atau tidak
Melihat hal-hal tersebut di atas, jelaslah mengapa dikatakan
bahwa human relations merupakan inti kepemimpinan. Terlihat pula
betapa pentingna penerapan prinsip-prinsip human relations itu dalam
rangka pencapaian tujuan dengan efisien dan ekonomis (bahan-bahan
tersebut di atas dari buku Filsafat Administrasi oleh : S.P. Siagian.
V. HUMAN RELATION DALAM MANAGEMENT
A. Pengertian Dan Pekembangan Human Relations
Di negara-negara yang sudah maju human relations semakin
mendapat perhatian para manager dalam organisasi apapun, karena
semakin dirasakan pentingnya dalam rangka memecahkan berbagai
masalah yang menyangkut faktor manusia dalam manajemen.
15
Benturan-benturan psikologis dan konflik-konflik sering terjadi,
bukan saja antara manager dengan karyawan, tetapi juga antara karyawan
dengan karyawan, yang benar-benar mengganggu jalannya roda organisasi
dalam mencapai tujuan.
Human relations juga dirasakan pentingnya oleh para manager
untuk
menghilangkan
“luka-luka”
akibat
salah
komunikasi
(miscommunication) dan salah inter-pretasi (mis-interpretation) yang terjadi
antar manager beserta karyawannya dengan publik diluar organisasi.
B. Pengertian Human Relations
Tidaklah mudah untuk mencari sebuah perkataan dalam bahasa
Indonesia yang benar-benar tepat sebagai terjemahan dari istilah human
relations. Ada yang menterjemahkannya menjadi “hubungan manusia”,
dan ada pula yang mengalih bahasakannya menjadi “hubungan antar
manusia”.
Secara harfiah terjemahan tersebut mungkin tidak salah, tetapi
kedua-duanya tidak mengandung makna yang sebenarnya yang
dikandung oleh human relations itu.
Baik pada istilah “hubungan manusia” maupun “hubungan antar
manusia” tidak terdapat ciri hakiki human relations. Ciri hakiki human
relations bukan “human” dalam pengertian wujud manusia (human being),
melainkan dalam makna proses rokhaniah yang tertuju kepada
kebahagiaan berdasarkan watak, sifat, perangai, kepribadian, sikap,
tingkah laku dan lain-lain aspek kejiwaan yang terdapat pada diri manusia.
Karena itu, terjemahan yang paling mendekati makna dan maksud human
relations adalah hubungan manusiawi atau hubungan insani.
Contoh berikut ini akan memperjelas pengertian human relations.
Seorang karyawan sebuah perusahaan berkata kepada teman sekerjanya :
“Direktur kita itu adalah paman saya”. Sang teman tersenyum.
Antara si karyawan dengan direkturnya itu terdapat hubungan
baik hubungan keluarga maupun hubungan kerja. Dan hubungan itu
adalah hubungan manusia atau hubungan antar manusia, tetapi itu bukan
“human relations”.
Seorang ayah berkata kepada anaknya : “Tolong bawa kacamataku
kemari, nak”. Si anak mengambilnya, lalu menyerahkannya. Antara sang
ayah dan si anak terdapat hubungan. Dan hubungan itu adalah hubungan
manusia atau hubungan antar manusia, tetapi bukan human relations.
Untuk memperoleh kejelasan mengenai yang mana hubungan
manusia atau hubungan antar manusia, dan yang mana human relation,
berikut ini adalah kisah singkat di sebuah rumah tangga sebagai contoh
sederhana.
Seorang suami berkata kepada istrinya : “ku nanti pulang
terlambat, bu. Jangan lupa si bungsu beri obat batuk”.
“Jangan khawatir pak, dan jangan terlalu malam”.
Jawab sang istri.
16
Dialog singkat itu bukan human relations.
Keesokan harinya ketika sang suami pulang kantor dan
menyerahkan uang rapel kenaikan pangkat, yang tidak kecil jumlahnya
bagi mereka, kepada istrinya, tampak ia aman gembira.
“Belikan kalung mas saja, ya pak, aku ingin sekali. Sejak menikah
sampai punya anak tiga sekarang, kalungku hanya ini saja dari mas
imitasi” kata istrinya memelas.
Suami terdiam. Termenung sejenak. Lalu berkata : “bagaimana,
ya…….. Bukan aku tidak sayang padamu, bu. Tetapi aku rasa ada yang
lebih penting dari itu. Bagaimana pendapatmu, kalau rapelan yang
sekarang ini kita belikan kursi setelan untuk di kamar depan dan lemari
pakaian. Kursi rotan kita itu sudah rusak dan pakaian selalu berserakan.
Aku berjanji rapel yang akan datang akan kubelikan kalung mas untukmu.
Atau, siapa tahu kita dapat rejeki dalam waktu dekat. Akan kukabulkan
keinginanmu itu. Bagaimana, bu?”
“Betul juga katamu itu, pak. Aku setuju sekali dengan gagasanmu
itu”, jawab istrinya dengan muka cerah.
Dialog yang terakhir ini adalah human relations.
Disini terdapat kegiatan komunikatif-persuasif-sugestif dan kedua pihak
merasa hatinya puas, yang merupakan aspek-aspek manusiawi dari human
relations.
Atas dasar itu, maka human relations akan lebih mendekatkan
ketepatan apabila diterjemahkannya menjadi “hubungan manusiawi dari
para “hubungan manusia” dan “hubungan antar manusia”.
Dari paparan di atas jelas bahwa human relations bersifat “action
oriented”, bukan hanya hubungan yang pasif, dan yang dituju adalah
kepuasan batin. Karena itu human relations banyak diterapkan dalam
manajemen. Kapan dimulainya gerakan human relations dalam
manajemen itu?
C. Sejarah Singkat Human Relations
Menurut Jack Hallowan dalam hubungannya “Applied Human
Relations, An Organizational Approach”, meskipun tidak dapat ditentukan
tanggal berapa gerakan human relations dimulai, namun tahunnya dapat
disebutkan, yakni setelah tahun 1850, ketika perhatian banyak
ditumpahkan kepada kebutuhan para pekerja, dan tatkala disadari
bagaimana kebutuhan tersebut mempengaruh keseluruhan produktivitas.
Sebelumnya, para manager memandang para pekerja sebagai suatu
komuditi – untuk dibeli dan dijual seperti komuditi lainnya. Bekerja sehariharian yang teramat lama dengan upah yang rendah serta kondisi kerja
yang menyedihkan merupakan kenyataan bagi kehidupan rata-rata
pekerja. Persatuan kaum buruh masih berjuang untuk dapat berdiri, dan
masih belum dapat memenangkan hak untuk mewakili kekuatan kaum
buruh.
17
Kemudian pada tahun-tahun sekitar peralihan abad muncul
Frederick Taylor dengan teorinya yang terkenal dengan apa yang
dinamakan “Scientific management”. Teori ini menyatakan bahwa
produktivitas yang lebih besar akan dapat diperoleh dengan memerinci
tugas-tugas secara khusus.
Tujuan utama dari “scientific management” tersebut, menurut
Taylor, adalah “untuk menghilangkan antagonisme antara majikan dan
bawahannya”. Dia merasa yakin bahwa apabila para pengusaha dan para
pekerjanya bersama-sama mengkonsentrasikan dirinya pada metode untuk
meningkatkan produksi, dan bersama-sama menumpahkan perhatian
terhadap peningkatan–bukunya mempersoalkan pembagian surplus, maka
surplus tersebut akan menjadi sedemikian besarnya, sehingga tidak akan
menimbulkan konflik mengenai bagaimana membaginya, karena sudah
lebih dari cukup.
Teori Taylor ini ternyata mendapat kecaman juga, yakni bahwa
manajemen ilmiah tersebut cenderng untuk lebih mengeksploitasi para
pekerja daripara memberikan keuntungan kepadanya. Dikatakan bahwa
teori tersebut menitik beratkan kontrol dan disiplin pada pengerusakan
morale atau daya juang para pekerja. Si pencipta scientific management itu
dituduh menganggap para pekerja semata-mata alat ekonomi, dipisahkan,
hampir-hampir mekanik, dan merupakan bantuan dari proses produksi,
bukan sebagai manusia dengan kebutuhannya.
Kecaman berikutnya menyatakan bahwa scientific management tidak
menaruh perhatian terhadap jaringan sosial yang kompleks yang
diciptakan oleh para pekerja di dalam lingkungan kerjanya. Ditegaskan
oleh para pengecam itu bahwa sesungguhnya jaringan sosial yang
kompleks itulah yang menimbulkan pengaruh paling besar terhadap
produksi.
Lepas dari banyaknya kecaman tersebut, pengenalan scientific
management itu telah meluas pula ke kalangan industriawan dan para
manager.
Dengan menyebarnya teknik-teknik management ilmiah itu, dalam
rangka meningkatkan penentuan tugas dan prosedur penempatan para
pekerja, para usahawan dan industriawan menyadari bahwa kemampuan
para pekerja secara individual adalah unik.
Pada tahun 1920 citra para pekerja telah berubah banyak
dibandingkan dengan tahun-tahun pada waktu peralihan abad. Pandangan
baru menyatakan bahwa semua pekerja adalah manusia-manusia yang
kompleks dan unik, yakni bahwa ketrampilan dan kemampuannya secara
individual dapat diukur, diuji, dan dilatih. Seorang pekerja secara
individual dapat dianggap sebagai perpaduan dari berbagai sifat-sifat yang
dapat diukur secara cermat dan dikembangkan dengan latihan yang tepat.
Selama dekade ini para manager menjadi percaya bahwa testing dapat
memecahkan, jika tidak seluruh masalah, setidak-tidaknya penentuan
tugas, penempatan dan kenaikan pangkat.
18
Pada waktu yang sama, ketika citra baru dari para pekerja
berkenan dihati para manager, serikat sekerja menjadi semakin kuat.
Antara tahun 1897 dan 1904 di Amerika Serikat keanggotaan serikat
pekerja meningkat dari 400.000 menjadi dua juta. Dan pada tahun 1920
serikat-serikat pekerja di seluruh negeri telah mendapat pengakuan dari
para industriawan beserta para managernya.
Perkembangan yang terpisah tehnik-tehnik management ialah,
perjuangan pemimpin-pemimpin serikat buruh, dan teknologi yang
berubah cepat – kesemuanya menuju kepada pengakuan bahwa seorang
pekerja adalah manusia dengan segala kebutuhannya. Ketiga
perkembangan tersebut juga menyebabkan para manager mengkaji
kembali citranya masing-maisng. Mereka menilik diri dan mulai
mempertanyakan kearifannya mengenai pandangannya yang tradisional
terhadap gaya kepemimpinan dan pengambilan keputusannya.
Pada pertengahan tahun 1920 titik fokal dari pendekatan
humanistik dalam bisnis dan industri adalah studi Hawthorne yang sangat
terkenal yang dilakukan oleh Elton Mayo dan kawan-kawannya pada
National Research Council yang bekerja sama dengan Massachustta Institute of
Technology. Regu Mayo ini memulai studinya mengenai efek penerangan
lampu, ventilasi dan kepenatan para-para pekerja Hawthorne Plant of
Western Electric.
Setelah eksperimen yang berlangsung selama beberapa tahun itu
selesai, menjadi jelas bagi para peneliti bagaimana pentingnya faktor-faktor
morale atau daya juang kelompok lain motivasi pribadi. Sebagai
kesimpulan, studi Hawthorne itu menunjukkan bahwa dengan
pengukuran secara kuantitatif, interaksi normal dari para pekerja yang
sedang melakukan tugasnya selamanya menciptakan suatu jaringan sosial
yang dinamakan organisasi informal yang amat besar pengaruhnya
terhadap pola tingkah laku para pekerja.
Sejak itu bagi management sudah tidak mungkin lagi memandang
para pekerja semata-mata sebagai alat ekonomi atau sebagai unit yang
terpisahkan dari proses produksi. Mereka harus dilihat sebagai manusia
yang kompleks yang interaksinya berpengaruh terhadap hasil produksi
secara keseluruhan tanpa mempersoalkan proses teknologi yang jelimet.
Perhatian dan minat terhadap human relations itu pernah menurun
disekitar tahun 1930-an selama berlangsungnya depresi di Amerika Serikat.
Tetapi pada tahun-tahun Perang Dunia II dan sesudahnya para
industriawan dan usahawan telah menunjukkan pengertian yang lebih
mendalam terhadap hubungan antara produktivitas dan kepuasan hati
para pekerja.
Sejak itu amat banyak studi yang dilakukan dan diterbitkan oleh
para teoritisi bisnis dan ilmuwan sosal. Menurut Jack Hallowan, dua
diantaranya yang dianggap paling penting adalah karya Mc Cregor
mengenai teori management tradisional yang ia namakan Theory X sebagai
19
lawan dari pendekatan humanistik yang disebut theory Y ; dan Abraham
Maslow mengenai “jenjang kebutuhan manusia” (hierarchy of human needs).
Kontrbusi kepada disiplin ilmu yang cepat berkembang itu
mengalami peningkatan selama tahun 1940-an dan 1950-an. Berbagai studi
dilakukan, diantaranya oleh para psikolog seperti Carl Rogers dan Kurt
Lewin ; para sosiolog Daniel Bell dan C. Wright Mills ; dan para manager
organisasi-organisasi besar, antara lain Chester I. Barnard.
Pada tahun 1960-an dan 1970-an para usahawan diberbagai negara
maju telah menunjukkan penilaiannya bagaimana pentingnya kontribusi
secara teoritis dan eksperimental tersebut. Human relations telah menjadi
ilmu pengetahuan yang tidak bisa diabaikan oleh mereka yang bergerak
dalam bidang bisnis.
D. Ruang Lingkup Human Relations
Telah disinggung dimuka bahwa masalah human relations adalah
masalah rohaniah, yaitu proses rohaniah yang menyangkut watak, sifat,
perangai, kepribadian, sikap dan tingkah laku menuju suatu kebahagiaan
atau kepuasan hati. Proses rohaniah dengan perasaan bahagia ini
berlangsung pada dua atau tiga orang yang terlibat dalam hubungan
komunikatif, yakni komunikasi antar personal yang karena sifatnya
dialogis, maka masing-masing tahu, sadar dan merasakan efeknya. Jika
kesemuanya merasa bahagia, maka orang yang melakukan kegiatan
human relations itu berhasil. Apabila tidak menimbulkan rasa puas,
human relations itu gagal.
Bahwa human relations sebagai suatu aktivitas itu tidak mudah
dilaksanakan, adalah benar. Karena itu senantiasa menjadi bahan studi.
kesukaran utama dalam kegiatan human relations itu dikarenakan pelik
dan jelimetnya rohani manusia.
“Ho two leaces, no two anowflakes, no two people of individualityis know
as variation”. Demikian kata Calvin C. Thomaso dan Frank A. Clement
dalam bukunya “Human Relations in Action”.
Memang, demikian banyak manusia di bumi ini, tetapi tidak ada
dua pun yang sama dan serupa dalam segala hal, bahkan diantara yang
kembarpun, terutama dalam watak, sifat, perangai, kepribadian, sikap dan
tingkah laku.
Berdasarkan paparan di atas, maka jika seseorang ingin sukses
dalam kehidupannya, human reations adalah salah satu cara untuk dapat
dipergunakan; lebih-lebih bagi seorang pimpinan, pemimpin dalam
organisasi apapun dan dalam bidang apapun. Dalam hubungan ini ia
seyogyanya memahami ilmu komunikasi dan ilmu jiwa, meskipun hanya
ala-kadarnya.
Akan lebih baik lagi apabila ia mempelajarinya secara mendalam. Dengan
demikian, ia akan disenang, disegani, dan di hormati, baik oleh orangorang yang berada di organisasinya atau bidangnya, maupun diluar
organisasinya dan diluar bidangnya.
20
Mengenai human relations itu terdapat dua pengertian, yakni
human relations dalam arti luas dan human relations dalam arti sempit.
E. Human Relations Dalam Arti Luas
Human relations dalam arti luas adalah komunikasi persuasive
yang dilakukan oleh seseorang kepada orang lain secara tatap muka dalam
segala situasi dan dalam semua bidang kehidupan, sehingga menimbulkan
kebahagiaan dan kepuasan hati pada kedua belah fihak.
Jadi human relations dalam arti luas dilakukan dimana saja ; di
rumah, di jalan, di pasar, di toko, di kampus, dalam bis, dalam kereta api,
dan sebagainya.
Pada awal pembahasan Bab II ini telah diketengahkan contoh
human relations yang dilakukan oleh seorang suami dengan istrinya. Si
suami melakukannya dalam situasi tatap muka, secara psikologis dan
manusiawi, sehingga timbul kebahagiaan dan kepuasan hati pada kedua
belah pihak.
Mungkin saja sang suami dapat membuat istrinya tunduk
kepadanya, tetapi harinya gemas, karena keinginannya dibelikan kalung
mas tidak dikabulkan. Human relations si suami berhasil, apabila
pernyataan setuju yang diucapkan istrinya memang benar-benar
merupakan pencerminan hatinya yang murni, sebab bisa saja si istri
menunjukkan mukanya yang gembira atau usul suaminya, tetapi hatinya
merasa kesal. Mungkin saja si istri menunjukkan wajah senang, hanya
karena takut atau tidak ingin mengecewakan suaminya.
Jadi human relations yang dicontohkan dalam situasi rumah
tangga itu berhasil, kalau sikap (attitude), pernyataan (opinion) dan tingkah
laku (behavior) sang istri tadi sama, yakni puas hatinya lahir batin.
Bagi seorang pemimpin – apakah direktur perusahaan, Kepala
Jawatan, perwira angkatan bersenjata, ketua partai politik, atau pemuka
masyarakat – human relations dalam segala situasi ini penting
dilaksanakan, karena akan mencerminkan pribadinya dan citra organisasi
yang dipimpinnya.
Suksesnya seseorang dalam melaksanakan human relations, karena
ia berkomunikasi secara etis : ramah, sopan, menghargai dan menghormati
orang lain.
F. Human Relations Dalam Arti Sempit
Human relations dalam arti sempit adalah komunikasi persuasive
yang dilakukan seseorang kepada orang lain secara tatap muka dalam
situasi kerja (work organization) dengan tujuan untuk menggugah
kegairahan dan kegiatan bekerja dengan semangat kerjasama yang
produktif dengan perasaan bahagia dan puas hati.
Human relations dalam organisasi kekaryaan inilah yang banyak
diteliti dan dipraktekkan di negara-negara yang sudah maju, terutama
dalam bidang ekonomi sektor industri.
21
Sebabnya ialah karena ternyata perkembangan masyarakat sebagai akibat
kemajuan teknologi telah meimbulkan berbagai pengaruh kepada
individu-individu yang merupakan tenaga kerja (manpower), yang sering
menghambat lancarnya pekerjaan.
Dengan kegiatan human relations para pemimpin organisasi kekaryaan
berusaha memecahkan masalah-masalah (problems) dalam situasi kerja dan
masalah-masalah yang menimpa para karyawannya secara individual,
sehingga dengan demikian mereka dapat digairahkan dan digerakkan ke
arah yang lebih produktif.
Dengan human relations dapat diusahakan untuk menghilangkan
rintangan-rintangan komunikasi, mencegah salah pengertian, dan
mengembangkan segi konstruktif sifat tabiat manusia. Demikian kata
Norman R.F. Maier.
Jadi human relations dalam organisasi kekaryaan adalah
komunikasi persuasif antara orang-orang yang berada dalam struktur
formal untuk mencapai suatu tujuan.
Antara seorang manager–direktur perusahaan, kepala jawatan, atau
pemimpin lembaga lainnya – dengan bawahannya mendapat struktur
formal antara yang memimpin dan yang dipimpin. Karena itu human
relations dalam organisasi kekaryaan ini sering dinamakan “Organizational
human relations”.
Di atas dikatakan, human relations adalah suatu komunikasi
persuasif, bukan hanya sekedar relasi atau hubungan saja. Jadi human
relations bukan suatu keadaan yang pasif, melainkan suatu aktivitas. Suatu
kegiatan. Human relations adalah suatu “action oriented”. Suatu kegiatan
untuk mengembangan hasil yang lebih produktif dan memuaskan (to
develop moreproduktive and satisfying results).
Karena itu, human relations adalah seni dan ilmu pengetahuan terapan
(appkied art and science). Dan dipandang dari sudut seorang pemimpin yang
bertanggung jawab untuk memimpin sebuah kelompok, human relations
adalah pengintegrasian orang-orang kedalam suatu situasi kerja yang
menggiatkan mereka untuk bekerja bersama-sama serta dengan rasa puas,
baik kepuasan ekonomis, psikologis maupun kepuasan sosial. Atau
singkatnya: human relations adalah pengembangan usaha kelompok
karyawan secara produktif dan memuaskan (human relations is the
development of produktive, satisfying group effort).
G. Kunci Aktivitas Human Relations
Titik sentral human relations adalah manusia. Dan titik sentral
human rleatins dalam organisasi kekaryaan adalah karyawan. Manusia
karyawan ini harus ditinjau dari segi manusiawinya. Untuk
mempraktekkan human relations, seorang pemimpin perlu sedikit banyak
mempelajari sifat tabat manusia karyawan tadi. Meskipun tidak secara
mendalam, pemimpin organisasi perlu memahami mengapa para
karyawan satu sama lainnya berbeda dalam tabiat dan tingkah lakunya ;
22
dan perlu mengetahui bagaimana tingkah laku mereka dalam hidup
berkelompok dan bermasyarakat.
Bahwa manusia berbeda dengan mahluk-mahluk lain bahkan
memiliki kelebihan dari mahluk lain, sudah diakui sejak dahulu kala.
Manusia bukan hanya mempunyai kemampuan vegetatif : makan dan
berkembang biak ; bukan saja hanya memiliki kemampuan sensitif :
bergerak, mengamat-amati, bernafsu, dan berperasaan; tetapi juga
berkemampuan intelektif : berkemauan dan berkecerdasan.
Kemudian yang membedakan manusia yang satu dengan yang
lainnya ialah sifat-sifat rohaniahnya. Dalam pertumbuhannya, manusia
bukan saja mengalami prkembangan dalam segi jasmaniahnya, tetapi juga
rohaniahnya. Dan perkembangan ini membentuk jiwanya, sifat tabiatnya
dan tingkah lakunya.
VI. FAKTOR PEMBAWAAN DAN FAKTOR LINGKUNGAN
Ada dua faktor yang menentukan sifat tabiat manusia yakni
pembawaan sejak ia dilahirkan (heredity) dan lingkungan hidupnya
(environment). Yang menjadi dasar dari watak sifat tabiat seseorang ialah
sifat-sifat yang dimilikinya begitu ia dilahirkan, sifat mana adalah warisan
dari orang tuanya dan nenek moyangnya. Sifat-sifat tersebut terpengaruhi
oleh lingkungan di mana ia hidup. Lingkungannya akan menentukan
apakah sifat-sifat yang dibawanya sejak lahir itu akan berkembang atau
bertahan. Interaksi dengan orang-orang dalam lingkungannya akan
berpengaruh kepada sifat-sifat yang sudah ada padanya. Yang diartikan
pengaruh disini adalah bahwa sifat-sifat yang sudah ada itu berkembang
atau tertahan ; tetapi tidak mematikan.
Dalam perjalanan hidupnya – dalam berinteraksi dengan
lingkungannya – seseorang menangkap kesan-kesan dari luar dirinya
melalui panca inderanya. Yang ia lihat, yang ia dengar, dan sebagainya,
berpadu dengan kesan-kesan pengalaman warisan nenek moyangnya yang
sudah ada sejak ia lahir. Kesan-kesan pengalaman sendiri yang bersatu
dengan kesan-kesan pengalaman nenek moyangnya, pada orang yang satu
berbeda dengan orang lainnya. Dan itulah yang menimbulkan perbedaan
sifat tabiat manusia. Karena itu untuk mengetahui pribadi seseorang tidak
cukup mengenal individu itu saja tetapi harus mengetahui pula kehdupan
orang tua dan nenek moyangnya.
Selanjutnya dalam perjalanan hidupnya dan perkembangan
jiwanya, seseorang mengalami aktivitas psikhis. Dan bila aktivitas kejiwaan
itu tetap sama tanpa terpengaruhi oleh kesan-kesan yang pada suatu saat
muncul, ini dinamakan fungsi psikhis. Fungsi psikhis ini adalah fikir, rasa,
intuisi dan penginderaan. Dan salah satu diantaranya pada seseorang bisa
dominan. Jadi pada seseorang yang dominan bisa fikirannya, perasaannya,
intuisinya atau penginderaannya.
Orang yang dominan fikirannya akan berusaha memahami
lingkungannya dengan jalan pengetahuan, menghubungkan pengertian
23
yang satu dengan yang lainnya dengan mengambil kesimpulan yang logis ;
sedang ukuran penilaiannya ialah benar atau salah (right or wrong).
Orang yang dominan perasaannya memahami lingkungannya
dengan ukuran penilaian senang atau tidak senang, suka atau tidak suka
(like or dislike). Pikiran dan perasaan tidak akan sama. Ukuran penilaian
pikiran adalah benar atau tidak benar. Walaupun hati tidak senang, pikiran
bisa menyatakan benar. Atau sebaliknya, meskipun hati merasa senang,
pikiran bisa menyatakan tidak benar.
Dalam pada itu pada seseorang bisa intuisi yang dominan. Orang
yang demikian akan menangkap segala hal dalam lingkungannya lebih
banyak melewati penglihatan batin; tidak melihat secara mendetail. Tetapi
melihat makna secara keseluruhan.
Diantara keempat fungsi psikhis tersebut yang pokok adalah
fikiran dan perasaan ; yang dua lainnya hanya sebagai pembantu. Tetapi
biasanya fikiranlah yang melebihi lainnya. Fikiranlah yang menuntun.
Pada kenyataannya fikiran tidak pernah bekerja sendiri, tetapi
dibantu oleh penginderaan atau intuisi. Selalu bekerja dengan sempurna.
Jika fikiran seseorang bekerja sama dengan penginderaan, ia berpikir
secara empiris, yakni berpikir tentang kenyataan berdasarkan tangkapan
inderanya, berdasarkan empirisnya. Orang semacam itu biasanya senang
mempelajari ilmu pengetahuan. Ada pula orang yang fikirannya dibantu
oleh intuisi. Ia berpikir intuitif ; berpikir tidak berdasarkan kenyataan,
melainkan berdasarkan firasat.
Kalau perasaan seseorang dibantu oleh penginderaan, ia
berperasaan empiris. Ia merasa senang atau tidak senang, suka atau tidak
suka, menerima atau menolak didasarkan atas empirisnya. Dan bila intuisi
yang membantu perasaannya itu, ia berperasaan intuitif. Dalam
berperasaan intuitif ini, jika ia merasakan senang atau tidak senang, suka
atau tidak suka, menerima atau menolak itu, didasarkan atas intuisinya ; ia
tidak tahu apa sebabnya.
VII. EXTRAVERT, INTROVERT DAN AMBIVERT
Berdasarkan fungsi psikhis tersebut di atas, ahli jiwa Jung
membedakan manusia menjadi dua golongan menurut arah perhatiannya.
Jika perhatiannya terutama ditujukan keluar, yakni kesekelilingnya, ini
dinamakan type extraverse. Dan orangnya disebut extravert. Seorang
extravert lebih mementingkan lingkungannya dari pada dirinya sendiri;
lebih mengutamakan kepentingan umum daripada kepentingan sendiri.
Orang semacam ini umumnya berhati terbuka, gembira, ramah-tamah,
lancar dalam pergaulan, dan memancarkan sikap hangat, sehingga cepat
mendapat banyak kawan.
Golongan yang kedua ialah orang yang perhatiannya terutama
diarahkan kedalam dirinya sendiri. Ini disebut tipe introverse. Dan orangnya
dinamakan introvert. Orang yang bertype ini lebih mementingkan dirinya
24
sendiri daripada kepentingan umum. Dirinya sendiri menjadi primer,
lingkungannya sekunder. Seorang introvert biasanya pendiam, egoistis,
suka merenung, senang mengasingkan diri, tidak bisa bergaul.
Yang penting ialah jika seorang extravert hidup bersama dengan
seorang introvert, maka antara kedua orang tersebut akan terjadi
ketegangan psikologis.
Akan tetapi pada kenyataannya perbedaan yang extrim itu hanya
terdapat pada sebagian kecil manusia saja, sebab antara kedua golongan itu
ada segolongan yang mengantarainya, yakni type ambiverse. Dan ternyata,
bahwa orang-orang ambivert jauh lebih banyak daripara orang-orang
extravert dan introvert.
Jadi berdasarkan fungsi psikhis dan arah perhatiannya maka
terdapat orang-orang extravert yang terbiasa berfikir empiris, berfikir
intuitif, berperasaan empiris, berperasaan intuitif ; dan orang introvert
yang berfikir empiris, berfikir intuitif, berperasaan empiris, berperasaan
intuitif.
Sebagai manusia para karyawan-pun terdiri dari orang-orang
extravert, ambivert dan introvert dengan kebiasaan-kebiasaan berfikir dan
berperasaan seperti disebutkan di atas.
Itu semua perlu diketahui oleh para manager atau pemimpin
eksekutif. Dengan demikian para pemimpin kelompok kekaryaan akan
dapat memahami, mengapa seorang karyawan mempunyai sifat tabiat
tertentu. Dan ini akan memudahkan memecahkan masalah yang dihadapi
pada karyawan. Masalah-masalah yang dihadapi para karyawan, baik
dirumahnya maupun ditempat pekerjaannya, akan besar pengaruhnya
kepada pelaksanaan tujuan organisasi. Dengan berhasilnya memecahkan
masalah para karyawan, berarti seorang manager telah sukses
melaksanakan human relations. Dan ini besar artinya bagi manajemen.
VIII. MANUSIA DALAM DINAMIKA KELOMPOK
Manusia tidak pernah hidup sendiri. Sejak ia dilahirkan ia
tergantung dari orang lain. Ia mengadakan interaksi dengan orang lain.
Dan dalam interaksi itu terjadi pengaruh mempengaruhi. Semakin lama ia
hidup dan tumbuh, semakin banyak ia berinteraksi. Dan semakin luas
ruang lingkup interaksinya. Ia berada dalam kehidupan kelompok. Ia
berinteraksi dengan masyarakat lingkungannya.
Ada tiga faktor mendasari interaksi manusia dalam kehidupannya
dengan manusia lain. Ke tiga faktor tersebut ialah imitasi, sugesti dan
simpati.
Imitasi tampak dengan jelas tingkah laku anak-anak dalam
pertumbuhannya menjadi dewasa. Bahasa untuk menyatakan setiap
keinginannya adalah imitasi dari ibunya. Cara makan, cara berpakaian,
cara mengucapkan selamat jalan, cara memberikan isyarat dan lain
sebagainya semuanya adalah hasil imitasi.
25
Jadi imitasi adalah tanggapan yang dipelajari. Hasil interaksi,
pengaruh lingkungan. Bukan pembawaan sejak dilahirkan. Demikianlah,
dalam perkembangan anak itu selanjutnya imitasi memegang peranan
penting. Dalam memperoleh pengetahuan, cara berpakaian mengikuti
mode dan sebagainya ia banyak berimitasi. Bahwa imitasi tidak, selalu
bersifat positif, tampak dalam kehidupan sehari-hari. Banyak yang tidak
sesuai dengan norma-norma hidupnya. Rambut gondrong atua bertingkah
laku ala Hippies adalah imitasi yang oleh segolongan masyarakat dianggap
tercela.
Para karyawanpun sebagai manusia yang hidup bermasyarakat
tidak akan lepas dari imitasi. Imitasinya itu tidak selalu positif.
Kemungkinan besar banyak yang negatifnya. Terutama imitasi dari film.
Akibat dari imitasinya itu, seperti umpamanya tingkah laku bintang film
yang tidak sesuai dengan norma hidup masyarakat kita, bisa berpengaruh
pada kehidupan kelompok kekaryaan dimana para karyawan bekerja.
Beruntunglah, apabila para karyawan berimitasi dari teman sejawatnya
yang rajin menambah pengetahuannya diluar pekerjaan. Imitasi yang
positif itu akan berpengaruh pula kepada organisasi kekaryaan dimana
mereka bekerja.
Faktor lain adalah sugesti. Sugesti diterima seseorang dari orang
lain yang mempunyai otoritas, prestise sosial yang tinggi, atau ahli dalam
lapangan tertentu. Ia mengoper tingkah laku atau adat kebiasaan dari
orang lain tadi tanpa sesuatu pertimbangan. Sugesti ini memegang peranan
penting dalam hidup kelompok kekaryaan, karena disitu terdapat orangorang yang mempunyai otoritas, mempunyai prestise sosial yang tinggi,
atau yang mempunyai keahlian dalam lapangan tertentu, terutama dalam
organisasi yang besar.
Faktor ketiga yang mempunyai peranan penting dalam interaksi
adalah simpati. Simpati adalah perasaan tertariknya seseorang oleh orang
lain. Perasaan simpati ini dapat timbul secara tiba-tiba atau secara lambat
laun.
Berlainan dengan sugesti, timbulnya simpati ini adalah sebagai
proses yang disadari ; dan timbulnya tidak atas dasar logis rasional,
melainkan berdasarkan penilaian perasaan. Pada simpati dorongan utama
ingin mengerti dan ingin kerja sama dengan orang lain. ”Murtual
understanding” atau pengertian bersama hanya dapat dicapai kalau
terdapat simpati.
Seorang karyawan tidak selalu bersimpati kepada managernya,
pemimpin eksekutifnya, atau pimpinan kelompoknya ; bisa juga
bersimpati kepada karyawan lainnya, ini berarti ia ingin bekerja sama
dengan orang tua. Bagi sebuah organisasi kekaryaan kerja sama kearah
yang produktif adalah tujuan yang selalu ingin dicapai. Dan itu salah satu
kegiatan human relations.
26
A. Situasi Kelompok
Para karyawan yang hidup dalam situasi kelompok (group
situation) berbeda dengan orang-orang yang hidup dalam situasi
kebersamaan (togetherness situation).
Orang yang berada dalam situasi keberamaan tidak mempunyai hubungan
yang mendalam dengan orang-orang lainnya, karena sebelumnya mereka
tidak saling mengenal.
Beradanya mereka itu pada suatu tempat secara bersama-sama karena
kebetulan saja. Orang-orang yang berada di pasar adalah dalam
togetherness situation.
Mereka berada disana dan bertemu satu sama lainnya hanya secara
kebetulan saja ; karena suatu kepentingan yang sama, yakni berbelanja.
Kebanyakan hubungan mereka hanya pada waktu itu saja ; selanjutnya
tidak saling mengenal lagi.
Lain dengan situasi kelompok. Di situ terdapat hubungan
psikologis. Anggota kelompok – seperti umpamanya para karyawan –
mempunyai hubungan yang erat, karena mereka berinteraksi dalam waktu
yang sama. Hubungan para karyawan itu selain bersifat pribadi, juga
struktural dan hirarkhis, karena ada pemimpin, yang dipimpin, peraturan,
dan sebagainya. Serta terdapat pembagian tugas untuk mencapai tujuan
tertentu yang merupakan kepentingan bersama.
Kenyataan menunjukkan bahwa sifat kelompok menentukan sifat dari
pengaruhnya terhadap kemajuan para anggota kelompok. Nilai kelompok,
stabilitas dari nilai-nilai tersebut, suasana kelompok, dan sifat dari
kesesuaian yang dikehendaki oleh kelompok menentukan apakah suatu
kelompok menimbulkan pengaruh yang positif atau negatif terhadap
pertumbuhan dan tingkah laku anggota-anggotanya. Sehubungan dengan
kenyataan itu, penting peranan seorang pemimpin kelompok untuk selalu
menjaga nama baik kelompoknya dan dan menjaga suasana kelompoknya
senantiasa hangat dan penuh pengertian diantara sesama anggotaanggotanya. Situasi seperti itu akan menimbulkan pengaruh yang positif
terhadap anggota-anggotanya. Sebaliknya suasana yang penuh
permusuhan dan tidak disenangi oleh orang-orang luar, akan
menimbulkan pengaruh yang negatif pada pertumbuhan dan tingkah laku
anggota-anggotanya.
Pengaruh positif terhadap para karyawan akan menyebabkan para
karyawan bekerja giat. Dan ini akan berpengaruh pula kepada tujuan yang
dicapai oleh organisasi.
B. Mengapa Orang Memasuki Kelompok ?
Pada umumnya orang memasuki sebuah kelompok, karena
percaya bahwa dengan bersama-sama dengan orang lain, kebutuhannya
akan bisa terpenuhi dibandingkan kalau diusahakan sendirian.
Demikianlah, maka orang memasuki kelompok, apakah kelompok itu
27
berbentuk kelompok kekaryaan atau bentuk perkumpulan. Para karyawan
bekerja di perusahaan, jawatan, atau organisasi kekaryaan lainnya, dengan
tujuan untuk memuaskan kebutuhan hidupnya.
Sekali si-karyawan itu menjadi anggota kelompok, mungkin saja
ternyata baginya kebutuhannya tidak terpuaskan, tetapi ia tetap tidak
keluar dari kelompoknya itu, karena ia memperoleh keuntungan lain.
Seorang karyawan, umpamanya, bekerja di sebuah perusahaan dengan
pikiran bahwa ia akan menerima upah secara teratur, dan banyak
kemungkinan tiap tahun akan naik. Andaikata dikemudian hari ternyata
bahwa tidak demikianlah apa yang diharapkan itu, ia tetap tidak keluar
dari kelompoknya itu, karena ia melihat kondisi-kondisi kerjanya
menyenangkan.
Pada kenyataannya ada dua jenis kebutuhan yang menyebabkan
seseorang memasuki suatu kelompok kebutuhan yang pokok sebagaimana
ia ingin peroleh ketika memasuki kelompok tersebut, dan kebutuhan
sampingan. Seseorang yang bekerja di sebuah Departemen pada pokoknya
bertujuan untuk memperoleh upah yang teratur dan yang akan meningkat
terus secara teratur pula; kenyataannya, perlawatannya ke luar negeri
merupakan keutungan sampingan. Demikian pula seorang pemain sepak
bola. Semula tujuannya hanya untuk kesehatan dan untuk mendapat
bimbingan dari seorang ahli secara teratur. Ternyata hanya karena
kehadirannya dalam sepak bola itu, ia ditawari pekerjaan oleh sebuah
perusahaan besar dengan jaminan hidup yang memuaskan.
Tidak semua mahasiswi bertujuan untuk memperoleh ilmu
pengetahuan; banyak juga untuk memperoleh suami yang “memuaskan”.
Tidak sedikit pemuda yang menjadi Hansip bertujuan untuk dipandang
gagah karena seragamnya. Banyak juga ibu-ibu yang memasuki
perkumpulan arisan bukan karena manfaat arisan, melainkan takut tidak
disenangi oleh teman-temannya.
Jadi orang memasuki suatu kelompok dengan tujuan tertentu,
dengan motif tertentu. Dan motifnya itu mempengaruhi tingkah lakunya.
Apakah motif karyawan memasuki suatu organisasi kekaryaan
semata-mata untuk dapat terpenuhi kebutuhan sehari-harinya?.
Sebuah penelitian telah dilakukan terhadap 500 orang karyawan
mengenai kebutuhannya; mengenai apa yang mereka inginkan. Kepada
mereka ditanyakan apa yang mereka paling senangi dalam pekerjaannya
dan apa yang paling mereka tidak sukai. Jawaban mereka ternyata bukan
hanya mengenai kebutuhan pokok, tetapi juga kebutuhan sampingan. Pada
dasarnya, yang mereka inginkan tercakup dalam 10 jawaban dibawah ini :
1. Kami ingin pimpinan yang baik, karena kami tergantung dari
kepemimpinan.
2. Kami ingin mendapat penerangan. Kami ingin mengetahui tujuan
yang akan dicapai, di fihak mana kami berada, dan kekuatankekuatan apa yang mempengaruhi lingkungan kerja kami.
28
3. Kami ingin diberlakukan sebagai manusia terhormat. Kami adalah
manusia yang masing-masing mempunyai masalah dan kebutuhan
yang berlainan.
4. Kami ingin perangsang dan kesempatan untuk maju. Kami
mengharap adanya usaha dan kompetisi dengan mereka yang
sedang mengalami kemajuan.
5. Kami ingin kebebasan dalam sikap kami sehubungan dengan
persoalan kami.
6. Kami ingin hidup bermasyarakat dan ingin penghormatan dari
orang-orang lain. Kami adalah manusia-manusia bermasyarakat.
Kami ingin mencegah pertentangan pribadi.
7. Kami ingin jaminan keamanan. Kami menentang perubahan.
8. Kami ingin kondisi dan kesenangan bekerja sejauh kemungkinan
yang bisa diberikan kepada kami. Ini termasuk upah.
9. Kami ingin melaksanakan pekerjaan yang bermanfaat. Kami ingin
berprestasi dalam pekerjaan sebagai sumbangan kepada kebutuhan
masyarakat. Partisipasi akan membentuk kami mencapai prestasi.
10. Kami ingin diperlakukan secara jujur. Ini adalah keadilan yang
berarti menyebabkan kegiatan kami akan tetap terus sesuai dengan
keadaan.
Penelitian tersebut dilakukan terhadap para karyawan Amerika
Serikat, akan tetapi manusia dimana-mana sama saja dalam hal
kebutuhan psikologis, dan sosial. Karena itu hasil penelitian di atas
terdapat saja dipergunakan sebagai pegangan dalam rangka
meningkatkan karyawan-karyawan di Indonesia.
C. Masalah Dan Pemecahannya
Kehidupan manusia sebenarnya merupakan rentetan pemecahan
masalah (problem solving). Mulai bangun tidur di pagi hari sehari-harinya
setiap orang dihadapkan kepada masalah-masalah. Setiap masalah yang
timbul segera di atasi, tetapi kemudian muncul masalah lain yang juga
meminta pemecahan. Banyak masalah yang datang bersamaan yang secara
serentak pula menghendaki pemecahan.
Setiap masalah tidak sama kadarnya; karena itu periode
pemecahannya tidak sama. Ada yang dapat dipecahkan seketika, ada yang
memerlukan waktu yang lama. Sebagai contoh yang sederhana: gatal
adalah masalah. Masalah ini mudah dipecahkan seketika kalau terasa
dikulit terbuka. Lain kalau gatal itu terasa di punggung ketika sedang
memakai jaket kulit. Masalahnya agak lebih berat, dan periode
pemecahannya pun lebih lama. Demikian pula ingin buang air adalah
masalah yang mudah diatasi, jika berada di rumah atau di kantor. Adalah
lain, kalau waktu menonton sepak bola di Buana Patra. Pemecahannya
lebih berat. Dan periode pemecahannya pun lebih lama.
Contoh di atas hanyalah masalah-masalah yang sederhana yang
dapat dipecahkan sendiri oleh yang bersangkutan dengan mudah. Pada
29
kenyataannya masing-masing orang dihadapkan kepada masalah-masalah
yang lebih berat, bahkan berat sekali, sehingga untuk memecahkannya
bukan saja sulit, tetapi juga memerlukan bantuan orang lain.
Bagi seorang karyawan, istrinya yang sakit merupakan masalah.
Dan masalahnya itu akan merupakan masalah besar jika sakitnya parah,
dan ia tidak mempunyai uang.
Untuk memecahkannya diperlukan periode yang lebih lama dan
memerlukan bantuan orang lain. Seorang akan selalu berusaha
memecahkan masalahnya sendiri. Ini bisa menimbulkan dua
kemungkinan; Kesesuaian yang menyenangkan (adjugtmant) yang berarti
masalahnya terpecahkan; atau malah menimbulkan masalah baru
(maladjusment).
Kembali kepada contoh masalah yang dihadapi karyawan tadi:
istrinya sakit, sedang uang tidak punya. Dengan menjual jam tangannya,
masalahnya itu terpecahkan. Tetapi ketika arloji yang akan dijualnya itu
mati sehingga tidak laku, maka masalahnya itu bukan terpecahkan, bahkan
menimbulkan masalah baru.
1. Frustasi
Maladjusment bisa berakibat lebih jauh, yakni menimbulkan
frustasi. Frustasi ialah rasa kecewa, disebabkan kegagalan dalam
memecahkan masalah; kegagalan dalam memecahkan masalah; kegagalan
dalam menghilangkan rintangan yang menghambat terlaksananya suatu
keinginan.
Antara orang yang satu dengan yang lainnya berbeda
kemampuannya dalam memecahkan masalahnya. Ada yang cepat ada
yang lambat. Demikian pula dalam frustasi. Ada orang yang mudah
menderita frustasi bila menghadapi kegagalan, ada yang lambat. Akan
tetapi cepat atau lambat, apabila seseorang menderita frustasi, ia berada
dalam keadaan yang menyedihkan. Dalam tingkah lakunya ia tidak
inteligen lagi. Usahanya tidak lagi diarahkan kepada masalahnya,
melainkan ditujukan untuk melepaskan diri dari penderitaan frustasinya.
Orang yang menderita frustasi bisa macam-macam tingkah
lakunya. Ia bisa merasa tidak berdaya, sedih, putus asa, lalu
mengundurkan diri dari pergaulan. Ia mungkin juga bertingkah laku yang
tidak pantas bagi orang setua dia. Atau bisa juga mencari suatu dalih atau
alasan untuk menutupi ketidakmampuannya dalam mengatasi
kegagalannya. Atau dapat pula berfantasi, mencari kepuasan dengan
menghayalkan hal-hal yang menyenangkan. Selain itu, orang yang
menderita frustasi bisa juga melakukan kompensasi. Ini bisa merupakan
tingkah laku yang terpuji, bisa juga sebaliknya.
Seorang karyawan yang gagal dalam melakukan tugasnya
mungkin mencari kompensasi dengan mengerahkan tenaganya sehingga
ternyata ia dapat melaksanakan tugasnya dengan gemilang; akan tetapi
bisa juga ia lalu melakukan kompensasi dengan “menyakit-nyakitkan diri”
30
di rumah, atau melawak di depan teman-teman sekerjanya untuk menarik
perhatian.
Akan tetapi yang lebih parah jika frustasi itu merupakan frustasi
yang disertai afresi, sehingga bertingkah laku agresif. Ia menyerang orang
lain secara fisik atau menyerang benda-benda umpamanya membanting
kursi, menendang meja, atau barang-barang lain, semata-mata
melampiaskan nafsunya akibat emosinya yang meluap-luap. Akan tetapi
serangan yang dilakukan orang-orang yang menderita frustasi agresif itu
dapat juga dalam bentuk kata-kata: memarahi orang tanpa berasalan,
menyebarkan fitnah, memutar balikkan kenyataan, dan lain sebagainya.
Apa yang harus dilakukan oleh seorang manajer atau pimpinan
kelompok jika menghadapi orang yang bertingkah laku seperti itu? Dalam
hal inilah human relations harus dilaksanakan. Bukanlah seorang
pemimpin yang bijaksana, apabila ia memegang tengkuk karyawan marahmarah seperti itu, lalu mengancamnya akan memberhentikan dari
pekerjaannya. Dalam rangka melaksanakan human relations, seorang
pemimpin hendaknya memanggil dia dengan baik-baik kekantornya, lalu
mengajak bercakap-cakap dari hati ke hati. Orang yang mengalami frustasi
marah tidak baik dihadapi dengan marah pula, sebab hasilnya akan
negatif, bukan saja bagi orang yang bersangkutan, tetapi bagi pekerjaan
yang dilakukan. Tugas human relations adalah menggiatkan seluruh
karyawan kearah sasaran bersama dengan hati yang sama-sama puas dan
senang. Karyawan yang marah-marah tadi bukan harus dihadang,
melainkan dibimbing, dipimpin, dikendalikan terlebih dahulu kearah
suasana yang tenang tanpa emosi. Apabila sudah reda, pemimpin
mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang memungkinkan ia berceritera
terus terang tentang masalahnya yang menyebabkan dia menderita
frustasi. Bagi seorang yang menderita frustasi, kenyataannya (to express)
saja, yakni menyatakan masalahnya kepada orang lain, sudah merupakan
keringanan; ia merasa sedikit terbebaskan dari gumpalan kesesakan dalam
dadanya. Jika karyawan tadi mengutarakan masalahnya, maka bagi
pemimpin sebagai tahap pertama sudah berhasil.
2. Tingkah laku pemecaan masalah
Tugas pemimpin selanjutnya ialah membawa karyawan yang
sudah mengeluarkan isi hatinya itu ke suasana “tingkah laku pemecahan
masalah (problem solving behavior):
Tingkah laku pemecahan masalah berarti lebih menggiatkan lagi
usahanya dalam mencapai sasarannya.
Orang yang menderita frustasi tadi tidak berhasil memecahkan
masalahnya. Jadi frustasinya tadi dikembalikan kepada suasana
pemecahan masalah untuk kemudian lebih digiatkan usahanya dalam
mencapai tujuannya itu.
Ia dibimbing untuk memberikan masalahnya lebih teliti dan
memikirkan cara-cara yang lebih tepat untuk mengatasi kesulitannya.
31
Dalam sub bab “counceling” pada bab yang akan datang soal itu
akan diuraikan lebih dalam lagi.
IX.MOTIF DAN MOTIVASI
Prestasi kerja seorang karyawan kadang-kadang tidak sama
dengan kecakapan yang dimilikinya. Memang factor penyebabnya tidak
sama antara karyawan yang satu dengan yang lainnya. Faktor penyebab ini
tergantung dari orangnya sendiri atau lingkungan kerjanya. Tidak sesuai
prestasi kerjanya dengan kecakapannya itu bagi seorang karyawan
mungkin karena tidak mempunyai kemauan; bisa juga karena tidak
menyukai pemimpinnya; atau dapat juga karena kekurangan energi, dan
lain sebagainya.
Dalam psikologi, keadaan seperti itu dikatakan sebagai berikut:
bukan kecakapan (ability) yang kurang, melainkan motivasi (motivation)
yang kurang atau tidak ada motifnya yang tidak kuat, sehingga hasil
pekerjaannya tidak sesuai dengan kecakapannya.
Apakah motif dan motivasi itu? Motif adalah kondisi seseorang
yang mendorong untuk mencari suatu kepuasan atau mencapai suatu
tujuan. Atau dapat juga dikatakan, motif
gaya/daya gerak yang
mendorong seseorang berbuat sesuatu. Sedang motivasi adalah kegiatan
memberikan dorongan kepada seseorang atau diri sendiri, untuk
mengambil suatu tindakan yang dikehendaki. Jadi motivasi berarti
membangkitkan motif, membangkitkan daya gerak, atau mengerakkan
seseorang atau diri sendiri untuk berbuat sesuatu dalam rangka mencapai
suatu tujuan atau kepuasan.
Seseorang melaksanakan kecakapannya, karena ada suatu motif.
Kalau motif itu tidak timbul, belum tentu ia berbuat sesuatu melaksanakan
kecakapannya, meskipun ia sanggup berbuat demikian. Hampir semua
orang bisa lari tapi kenyataannya tidak semua orang lari. Kalau seseorang
lari, itu disebabkan ada motif yang timbul padanya, entah mengejar
sesuatu, ada pembunuhan, maka pertama-tama timbul pada benak
seorang detektif ialah pertanyaan : “Apakah motif pembunuhan itu?” Bila
seseorang membunuh orang lain pasti ada motifnya.
A. Motif dan Motivasi
Prestasi kerja seorang karyawan biasanya tidak sama dengan
kecakapan yang dimilikinya. Dan faktor penyebabnya tidak sama antar
karyawan yang satu dengan yang lainnya. Faktor ini tergantung dari
lingkungan kerjanya serta orangnya. Dan tidak sesuainya prestasi kerja
dengan kecakapannya itu bagi seorang karyawan mungkin disebabkan
tidak ada kemauan; bisa juga dengan tidak menyukai pimpinannya.
Keadaan seperti itu dalam psikologi bukanlah kecakapan (ablity) yang
kurang, melainkan motivasi yang kurang. Motif yang tidak kuat,
sehingga hasil pekerjaannya tidak sesuai dengan kecakapannya.
32
Apakah motif dan motivasi itu? Motif adalah kondisi seseorang
yang mendorong untuk mencari kepuasan atau mencapai suatu tujuan.
Sedangkan motivasi adalah kegiatan memberikan dorongan kepada
seseorang atau diri sendiri untuk mengambil suatu tindakan yang
dikehendaki.
Seseorang melaksanakan kecakapannya, karena ada suatu
motif. Kalau motif tidak timbul, belum tentu ia berbuat sesuatu untuk
melaksanakan kecakapannya, meskipun ia sanggup berbuat demikian.
Suatu motif timbul berdasarkan kebutuhan hidup. Kebutuhan hidup
manusia ada dua jenis; pertama kebutuhan primer atau kebutuhan
phisiologis yang pokok; kedua kebutuhan sekunder atau kebutuhan
yang bersifat sosial psikologis.
Kebutuhan primer ini sifatnya universil, seperti makan, minum, dan
lain-lain, yaitu untuk kelangsungan hidup.
Sedangkan kebutuhan sekunder bersifat yang menunjang kebutuhan
pikiran dan kerokhanian. Kebutuhan ini sangat berpengaruh pada
tingkah laku seseorang. Motif yang sama bisa menimbulkan tingkah
laku yang berbeda pada saat yang berbeda.
Sebaliknya tingkah laku yang sama dapat disebabkan oleh berbagai
motif.
Fungsi human relations dalam manajemen ialah memotivasikan
para karyawan; membangkitkan motif mereka, membangkitkan daya
gerak mereka untuk bekerja lebih giat. Jadi jika dalam memotivasikan
para karyawan akan menggunakan kata-kata, maka kata-kata itu harus
positif, mengandung kebijaksanaan, menimbulkan sifat optimis; bukan
kata-kata negatif yang menjatuhkan mental.
B. Apa yang Mendasari Motif
Suatu motif timbul berdasarkan kebutuhan hidup. Kebutuhan
hidup manusia ada dua jenis :
Pertama kebutuhan primer atau kebutuhan psikologis yang pokok;
kedua kebutuhan skunder, atau kebutuhan yang bersifat sosial psikologis.
Kebutuhan primer atau motif primer diantaranya ialah kebutuhan
akan makanan, air untuk minum, udara untuk nafas, tidur, sex, dan lainlain untuk kelangsungan hidup dan untuk meneruskan jenisnya. Karena
itu kebutuhan primer ini sifatnya universal. Kebutuhan skunder kurang
begitu pasti dibandingkan dengan kebutuhan primer oleh karena
merupakan kebutuhan bagi pikiran dan rohaniahnya. Dan kebutuhan
kedua ini berkembang sejalan dengan usia yang semakin bertambah.
Contoh untuk itu ialah persaingan, harga diri, kepentingan diri sendiri,
memiliki sesuatu, melaksanakan tugas, dan sebagainya. Kebutuhan
sekunder ini lebih bervariasi dari pada kebutuhan primer.
Kebutuhan kedua atau motif skunder itu berpengaruh kepada
tingkah laku seseorang. Motif yang sama bisa menimbulkan tingkah laku
33
yang berbeda pada saat yang berbeda. Sebaliknya suatu tingkah laku yang
sama dapat disebabkan oleh berbagai motif.
Karyawan yang mengambil kursus atau kuliah di waktu sore
mungkin karena ingin cepat naik pangkat atau menjadi orang yang
terpandang di masyarakat atau agar dapat pindah ke perusahaan yang
diidam-idamkan, atau karena terbawa oleh kawannya saja. Karyawan yang
absen, mungkin tidak menyenangi, atau disebabkan tidak menyukai
pekerjaan atau bermusuhan dengan kawan sekerjanya atau tidak menyukai
pimpinannya.
Fungsi human relations dalam manajemen adalah memotivasikan
para karyawan; membangkitkan motif mereka, mengugah daya gerak
mereka untuk bekerja lebih giat.
Jadi jika dalam memotivasikan para karyawan akan menggunakan
kata-kata, maka kata-kata itu harus positif, mengandung kebijaksanaan,
menimbulkan sikap optimistis; bukan kata-kata negatif yang menjatuhkan
mental. Sebagai contoh, adalah salah sekali bila berkata kepada seorang
karyawan sebagai berikut: “Bodoh sekali kamu” yang begini saja tidak bisa
kamu kerjakan”. Adalah lebih baik jika berkata seperti ini : “Sebetulnya
saudara bisa mengerjakannya lebih baik. Coba kerjakan dengan cermat”.
C. Eksperimen Motivasi
Seorang ahli ilmu jiwa R.S. Woodworth telah mengadakan
beberapa eksperimen mengenai motivasi ini, yang hasilnya didasarkan
untuk dipraktekkan dalam kelompok kekaryaan. Salah satu diantaranya
ialah persaingan (compettion). Dalam percobaan ini diambil seorang
karyawan yang sedang bekerja. Sebagai hasil pekerjaannya ia memperoleh
jumlah tertentu. Kemudian ia digantikan oleh karyawan lain yang
diperkirakan lebih tinggi jumlah hasilnya. Karyawan yang pertama tadi
disuruh menyaksikannya. Setelah melihat kawan yang menggantikannya
itu berprestasi lebih tinggi, karyawan yang pertama tadi berusaha dengan
sungguh-sungguh untuk menyamai hasil kerja saingannya tadi.
Eksperimen kedua ialah dengan cara bersaing sendiri (selfcompotition). Ini sederhana saja. Berikan kepada seorang karyawan sebuah
pekerjaan, lalu berikanlah kepadanya kesempatan untuk mencoba
beberapa kali lagi. Tetapi sebelumnya perlihatkan dulu hasil percobaan
yang pertama. Ia berusaha agar berhasil lebih baik dari pada sebelumnya.
Eksperimen berikutnya ialah dengan cara “membuat jarak (pace
making)”. Eksperimen ini sebenarnya dilakukan di luar situasi kerja, tetapi
dapat dipraktekkan dalam pekerjaan. Eksperimen dilakukan terhadap
seorang pelari. Seorang pelari “akan lari lebih cepat” jika didepannya
terdapat seorang pengendara sepeda sebagai pembuat jarak (face maker)
yang terus-menerus berada didepannya.
Si pembuat jarak bukanlah saingan yang sebenarnya, dan si pelaripun
tidak ingin menyusulnya. Jadi apakah gunanya pembuat jarak itu? Ia
merupakan tujuan terdekat selalu berada dekat di depan si pelari, sehingga
pelari itu dari saat ke saat selalu berusaha sebaik-baiknya agar jaraknya
34
dengan pace maker itu tetap. Sedang untuk tujuan yang jauh daya
dorongnya kurang. Eksperimen ini menunjukkan betapa pentingnya
tujuan yang dekat dan dapat dilihat.
Dalam situasi kerjapun demikian. Target yang dekan akan
menimbulkan daya dorong yang lebih besar daripada taget yang jauh
untuk dicapai.
Ketiga eksperimen tersebut telah menggunakan perangsangperangsang. Dan perangsang-perangsang itu telah menimbulkan daya
dorong yang lebih besar, motif serta menggerakkan motif itu untuk
mencapai tujuan.
Untuk meningkatkan suatu hasil karya, perlu sekali diadakan
tujuan yang tegas dan jelas. Tanpa tujuan yang tegas dan jelas, tanpa
tujuan yang definitif kemungkinan besar para karyawan tidak bekerja giat
sebagaimana diharapkan. Tujuan itu harus yang mungkin dapat dicapai.
Jika tujuan akhir memang jauh, hendaknya dibuat tujuan sementara yang
lebih dekat yang dapat dicapai dengan segera. Sebab tujuan yang dapat
dicapai dengan segera akan menimbulkan usaha yang lebih giat.
Sehubungan dengan itu, semakin jelas terlihat cara-cara untuk menempuh
tujuan itu, akan semakin giat usaha untuk mencapainya. Ini berlainan
dengan tujuan yang samar-samar. Karena itu pula, dalam rangka mencapai
suatu tujuan, terlebih dulu perlu dicari metode-metode yang tepat dan alat
yang tepat. Dalam pelaksanaannya, baik sekali apabila karyawan yang
akan mengerjakannya diberi kesempatan untuk memperbincangkannya.
Biasanya sukses tidaknya suatu pekerjaan menyangkut harga diri orangorang yang mengerjakannya. Para karyawan akan merasa bangga, jika apa
yang dikerjakannya berhasil dengan sukses, sebaliknya akan kecut hatinya
apabila ia gagal. Orang yang ikut membicarakan suatu pekerjaan yang
akan dilaksanakannya, akan mempunyai rasa tanggung jawab. Karenanya
mereka akan bekerja giat demi prestasi dirinya dan kelompoknya.
Diskusi diantara para karyawan mengenai pelaksanaan suatu
pekerjaan, merupakan “laboratorium” untuk memotivasikan mereka;
untuk membangkitkan motif-motif mereka; untuk menggerakkan mereka
bekerja lebih giat, sehingga tujuan yang akan dicapai oleh mereka dengan
semangat kerja sama.
Motivasi adalah seni, tetapi seni yang dapat dipelajari dan
dipraktekkan oleh siapa saja. Menurut Kate Keenam (1996), tentang
pentingnya motivasi menyebutkan tindakan memotivasi merupakan aspek
vital untuk bekerja dengan baik. Aktivitas ini berhubungan seberapa jauh
komitmen orang terhadap pekerjaan mereka dan dalam mencapai tujuan
mereka. Bahkan hal ini sesederhana keinginan untuk menghasilkan lebih
banyak uang atau pulang ke rumah lebih awal.
35
D. Merancang Pekerjaan
Memahami kebutuhan yang perlu dipenuhi orang merupakan
suatu hal. Memahami apa yang memotivasi orang untuk bekerja dengan
baik sama sekali merupakan hal lain. Untuk dapat mengajak orang untuk
bekerja keras sesuai dengan potensinya berarti memastikan bahwa kondisi
yang tepat sudah diciptakan dan bahwa apa yang mereka kerjakan
merupakan sumber kepuasan sehingga diangap cukup berharga untuk
dikerjakan.
Untuk melakukan hal ini, anda perlu memahami bagaimana cara
merancang pekerjaan, pekerjaan dengan sedemikian rupa untuk memberi
orang tingkat kepuasan bekerja yang paling baik. Untuk mencapai proses
itu dapat melakukan beberapa tindakan:
1. Melakukan sesuatu yang berharga, menciptakan tindakan atau
system kerja yang membuat para pekerja berharga, menghasilkan
pekerjaan bernilai tinggi dan memenuhi rasa puas dan bangga
dalam pekerjaannya.
2. Menciptakan kondisi yang tepat; menyusun prosedur kerja yang
dapat memberikan kenyamanan, merasa tepat kehalian/pekerjaan,
kedudukan, terampil dalam mengerjakan pekerjaan sendiri dan
mencapai standar yang tinggi.
3. Memberikan kepuasan; untuk mencapai kepuasan maka perlu
beberapa persyaratan: menghayati pekerjaan sebagai suatu yang
berguna, ikut bertanggungjawab dalam menentukan hasil, dan
diberi umpan balik dalam kinerja.
E. Sikap Dalam Motivasi
Sikap anda pada waktu sedang memotivasi orang sama pentingnya
dengan sikap pada saat mereka pada saat anda memotivasi karena sikap
orang sebagian besar akan mencerminkan sikap anda pula. Ada beberapa
sikap yang perlu dikembangkan antara lain:
1) Memiliki pandangan positif dengan cara: bersikap antusias terhadap
pekerjaan yang sedang dihadapi, memberi dorongan kepada orang
dalam pekerjaan mereka, bersedia membantu bila diperlukan,
menunjuk kepada orang lain bahwa anda membuat komitmen
untuk menyelesaikan tugas, dan mau mendengar pendapat
oranglain.
2) Menunjukkan perhatian, dengan mengetahui : ambisi khusus
masing-masing orang sehingga bisa mendelegasikan kualitas
pekerjaan yang tepat dan keterampilan yang ingin diperoleh
seseorang sehingga anda dapat menawarkan kepada mereka
kesempatan untuk berkembang.
3) Berperilaku konsisten berarti: anda sudah cukup yakin benar akan
maksud dan tujuan anda; menghitung sampai enam sebelum
memberikan reaksi sehingga anda mempunyai kesempatan untuk
36
berpikir tentang respon yang akan diberikan dan tetap tenang dalam
berbagai situasi.
4) Mempertahankan hasil pekerjaan yang bagus, dengan selalu
memperhatikan para pekerja yang menghasilkan kualitas pekerjaan
yang tinggi dan memotivasi yang untuk menghasilkan pekerjaan
yang berkualitas.
F. Mempertahankan Motivasi
Setelah pekerjaan dikerjakan dalam situasi motivasi yang tinggi,
maka perlu ada upaya untuk mempertahankan motivasi tersebut. Ada
beberapa langkah yang dapat dilakukan yaitu:
1) Selalu memberi informasi, semakin banyak orang yang tahu tentang
tentang apa yang telah terjadi semakin memperbesar keyakinan
mereka tentang pekerjaannya dalam hal ini mempunyi dampak
positif dalam mempertahankan semangat juang para pekerja.
2) Mempertahankan kinerja; dengan cara: melakukan pemeliharaan
rutin, melakukan pemeriksaan besar-besaran jika perlu dan
peninjauan kembali pada interval yang telah disepakati.
3) Mengendalikan
pengaruh;
kepribadian
individu
dapat
mempengaruhi semangat juang. Bagaimana kepribadian ini
dikendalikan atau dimanfaatkan merupakan hal yang penting jika
ingin mempertahankan motivasi.
4) Memperbaiki keadaan lingkungan sekitar, menciptakan kondisi
bekerja yang menyenangkan, nyaman, harmonis dan aman.
G. Manfaat Motivasi
Memotivasi orang berarti memahami apa yang mendorong
dan merangsang orang untuk bekerja. Kegiatan ini dicapai melalui
suatu kombinasi antara memahami kebutuhan individu mereka dan
menciptakan kesempatan bagi mereka untuk ingin kerja dengan baik.
Manfaat yang diperoleh dari bekerja dengan orang yang bermotivasi,
yaitu:
1) Pekerjaan akan diselesaikan sesuai dengan standar yang benar dan
dalam skala waktu yang sudah ditentukan.
2) Orang akan senang melakukan pekerjaannya dan merasa berharga.
3) Orang akan bekerja keras karena mereka ingin mengerjakan apa
yang sedang mereka kerjakan.
4) Kinerjanya akan dipantau oleh individu yang bersangkutan dan
tidak akan membutuhkan pengawasan yang terlalu banyak.
5) Semangat juang akan tinggi, hal ini akan memberikan suasana
bekerja yang bagus di semua bagian.
X. HUMAN RELATIONS TEORI DAN PRAKTEK
A. Human Relation Sebagai Kegiatan Komunikasi
Pada Bab I telah dipaparkan secara agak luas, mengenai
komunikasi manajemen, dan pada Bab II telah disinggung bahwa human
37
relation adalah komunikasi persuasif secara tatap muka. Jadi para manajer
dapat, perlu dan seyogyanya melakukan human relations, baik kepada
khalayak atau publik di dalam organisasi, maupun kepada khalayak diluar
organisasi.
Selain dengan hubungan dengan tugas pekerjaan, juga diluar tugas
pekerjaan. Dengan orang-orang yang berada di dalam organisasi, jelasnya
para karyawan, human relations perlu dilaksanakan untuk meniadakan
gangguan sebagai akibat salah komunikasi dan salah interpretasi, lebihlebih untuk menghilangkan frustasi terutama frustasi agresif, serta
menggugah kegairahan dan kegiatan kerja, sehingga timbul kerja sama
yang lebih produktif, dari pada yang sudah-sudah dengan perasaan
bahagia dan puas hati.
Tetapi diluar tugas pekerjaan pun, para manager tingkat tinggi,
tingkat menengah maupun tingkat rendah, serta seluruh pegawai
sepantasnya senantiasa melakukan human relations dengan siapapun,
selain dengan orang-orang yang ada sangkut pautnya dengan organisasi,
juga dengan mereka yang tidak ada hubungannya. Human relations ini
dilaksanakan dalam perkumpulan olahraga, kesenian, keagamaan, dan
lingkungan hidup lainnya; diupacara perayaan, di konverensi, di seminar,
dan pergaulan lainnya; di restoran, di stasiun kereta api, di pesawat
terbang, dan perjumpaan lainnya; singkatnya di mana saja, ketika
berhubungan dengan siapa saja. Ini semua selayaknya dilakukan demi citra
organisasi yang diwakilinya.
B. Komunikasi antar pesona persuasif manusiawi
Sebagaimana telah ditegaskan dimuka, human relation dalam arti
sempit atau dalam manajemen, adalah komunikasi persuasif secara tatap
muka untuk menggugah kegairahan dan kegiatan bekerja dengan
semangat kerja sama yang produktif dengan perasaan bahagia dan puas
hati pada kedua belah pihak, baik manajer maupun karyawan dan/atau
orang lain yang ada hubungannya dengan organisasi.
Komunikasi yang berlangsung dalam kegiatan human relations
adalah komunikasi antar persona (interpersonal communications). Karena
komunikasi bentuk ini sifatnya dialogis, maka prosesnya berlangsung
secara timbal balik (two way traffic communication). Ini berarti bahwa
komunikator, dalam hal ini si manager mengetahui efek komunikasinya
pada saat itu juga. Umpan balik atau feed back terjadi pada ketika itu juga.
Memang manager yang bermaksud melakukan human relations
harus melaksanakannya dalam bentuk komunikasi antar persona, sebab
kalau ia menggunakan bentuk komunikasi kelompok atau komunikasi
bermedia, lebih-lebih lagi bila memakai media massa, maka ia tidak akan
memahami frame of reference komunikan secara menyeluruh, Wilbur
Schramm dalam karyawanya “Communication Research in the United States”
menyatakan bahwa komunikasi akan berhasil, apabila pesan yang
disampaikan komunikator cocok dengan frame of reference– yakni paduan
38
pengalaman dan pengertian (collection of experiences and meanings) yang
pernah diperoleh komunikan. Frame or reference atau “kerangka acuan” ini
meliputi nilai-nilai keagamaan, kebudayaan,pendidikan dan lain
sebagainya yang pernah dialami seseorang. Menurut Schramm, bidang
pengalaman (dield or experience) merupakan faktor yang penting dalam
komunikasi. Jika bidang pengalaman komunikator sama dengan bidang
pengalaman komunikan, komunikasi akan berlangsung lancar. Sebaliknya,
bila mana tidak sama, akan terdapat kesulitan untuk mengerti satu sama
lain. Kesukaran ini akan dijumpai pada situasi komunikasi, misalnya
seseorang yang tidak berilmu pengetahuan mencoba karya Einstein; atau
jika seseorang berkomunikasi dengan orang lain yang kebudayaannya
berbeda dengan kebudayaan dia.
C. Homophily dan heterophily
Everett M. Rogers dan Rekha Agarwala-Rogers dalam bukunya
“Communication in Organizations” menanamkan “homophily” dan
“heterophily” untuk kesamaan dan ketidak samaan dalam frame of reference
dan field of experience antara komunikator dan komunikan itu.
Jelasnya adalah sebagai berikut : homophily ialah derajat pasangan
komunikator-komunikan yang sama dalam ciri-ciri tertentu, seperti
kepercayaan, pendidikan atau status sosial (homophily is the degree to which a
source receiver pair are similar in certain attributes, such as beliefs, education, or
social status : heterophily adalah derajat pasangan komukator-komunikan
yang tidak sama dalam ciri-ciri tertentu (heterophiy is the degree to which a
source receiver pair are different in certain atrtibutes)
Lalu kini timbul pertanyaan: untuk melakukan human relations,
bagaimana mungkin seorang manager dapat berkomunikasi secara lancar
dengan seorang karyawan yang antara keduanya terdapat heterophily atau
ketidak samaan dalam frame of reference-nya?.
Menurut Everett M. Rogers dan Dilip K. Bhowmik situasi
komunikasi yang “heterpphilous” seperti itu dapat ditembus dengan
kemampuan “empathic” fihak manager sebagai komunikator.
Empathy adalah kemampuan seseorang untuk memproyeksikan
dirinya kepada peranan orang lain. Ini berarti bahwa apabila komunikator
mengetahui bagaimana perasaan komunikan dan bisa merasakan apa yang
dirasakan komunikan tersebut maka mungkin sekali komunikator dapat
menyampaikan pesan yang tepat kepadanya. Jika manager mempunyai
empathy yang dalam dengan karyawan yang heteropilous, maka keduaduanya benar-benar berada dalam keadaan homophilous dalam pengertian
sosial psikologis.
Joseph A. Devito dalam bukunya “Communicology: An Introduction
to the Study of Communication” membandingkan empati (empathy) dengan
simpati (sympathy).
Menurut Devito empati berarti seperasaan dengan seseorang :
berempati dengan orang lain adalah merasakan apa yang dirasakan orang
39
tersebut. Dalam pada itu, bersimpati berarti mempunyai satu perasaan
terhadap–seesorang, misalnya merasa kasihan (by empathizing is meant a
feeling with the individual ; to empathize with some one is to feel as that prson
does. To sympathize, on the other hand, is to felt to the individual, to be sorry for
the person, for example).
Dijelaskan lebih jauh oleh Devito bahwa jika kita bisa berempati
dengan seseorang, maka kita berada dalam posisi mengerti dari mana ia
datang, dimana dia sekarang, dan hendak ke mana ia pergi. Juga kecil
kemungkinan bagi kita untuk menilai sikap atau tingkah lakunya sebagai
hal yang benar atau salah.
Dari paparan di atas jelas bahwa bagi manager untuk melakukan
komunikasi persuasif manusiawi kepada karyawan yang heterophilous,
harus didasari kemampuan berempati.
Komunikasi persuasif akan terjadi apabila komunikasi efektif. Yang
bagaimanakah komunikasi yang efektif itu?
Stewart L. Tubbs dan Sylvia Moss dalam bukunya “Human
Communications, An Interpersonal Perspective” telah menguraikan secara
khusus “What is effective interpersonal Communication?” Dikatakan oleh
Tubbs dan Moss bahwa komunikasi antar pesonal efektif apabila
perangsang yang diprakrasai dan dimaksudkan oleh komunikator amat
cocok dengan perangsang yang dirasakan dan ditanggapi oleh komunikan
(interpersonal communication is effective when the stimulus as it was initiated and
intended by the sender correspondens closely with the stimulus as it is poroolved
and responded to by the receiver).
D. Faktor Human Relations
Pengertian Human Relations mempunyai arti yang sangat luas
dalam interaksi diberbagai bidang. Di dalam pergaulan hidup, baik itu
dalam kelompok kecil maupun dalam kelompok besar kita selalu dapat
jumpai kegiatan Human relations.
Dan Human relations itu sendiri bukanlah kegiatan manusia dalam
wujudnya, melainkan dalam tingkah lakunya, sifat-sifatnya, dan lain-lain
aspek kejiwaan. Sebagai suatu ilustrasi tentang human relations adalah
sebagai berikut :
Misal si istri merengek-rengek agar uang rapel yang baru
diterimanya itu dibelikan kalung emas saja. Mendengar itu si suami
berkata “bukan aku tidak sayang padamu, dik ; Aku pikir uang itu kita
belikan kursi jok saja dulu. Kita malu kalau kedatangan tamu. Nanti kalau
ada rezeki lagi, pasti aku belikan perhiasan apa saja yang kau inginkan. Si
isteri menjadi mengerti dan merasa puas atas pengertian yang diberikan si
Suami 1). Memperlakukan orang lain dengan sifat-sifat positif, artinya
menampilkan sikap serta tindakan dengan dasar saling menghormati,
saling menghargai sesamanya adalah human relations. Dalam pada itu
untuk mencapai kesuksesan dan kebahagiaan pergaulan hidup, K. C.
Ingram mengatakan sukses dan kebahagiaan kita tergantung dari sikap
40
dan tindakan-tindakan orang lain. Sikap orang lain ini tergantung juga dari
kelakuan kita.
E. Dalam Organisasi
Manusia di dalam kehidupannya senantiasa melakukan interaksi.
Di sini terjadi proses pengaruh mempengaruhi, dari individu berkembang
kepada kelompok, dan kemudian pada lingkungannya. Dalam kehidupan
organisasi terdapat hubungan kepemimpinan, yaitu hubungan dalam
struktur formal antara yang memimpin dan yang dipimpin. Dalam
hubungan ini tercipta hubungan psikologis, yang erat dan mengikat
diantara anggotanya. Hubungan mereka itu tidak saja bersifat pribadi,
tetapi juga strukturil dan hirarkhis, dan sebagainya. Karena ada pemimpin,
yang dipimpin, peraturan, dan sebagainya. Serta terdapat pembagian tugas
untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu yang merupakan kepentingan
bersama ). Di sini Keith Davis mengemukakan pendapatnya “From the
viewpoint of a manager who has responsibility for leading a group, human
relations is the interaction of people into a work situation that motivations them to
work together productively, cooperatively, and with economic, psychological, and
social satisvactions (dilihat dari sudut kepemimpinan yang bertanggung
jawab untuk memimpin kelompok, human relations adalah interaksi dari
orang-orang ke dalam suasana kerja dengan motivasi, mereka akan bekerja
bersama-sama secara produktif, cooperatif dengan kepuasan baik itu dari
segi ekonominya maupun segi psikologi dan sosialnya.
Peranan seorang pemimpin sangat penting di dalam suatu
kelompok untuk menjaga nama baik kelompoknya, serta meningkatkan
suasana kerja yang penuh pengertian. Mengingat nilai kelompok, stabilitas
nilai tersebut, suasana kelompok, dan sifat-sifat kesesuaian yang
dikehendaki kelompok menentukan apakah suatu kelompok menimbulkan
pengaruh positif atau negatif terhadap pertumbuhan dan tingkah laku
anggota-anggotanya). Suasana keakraban dan pengertian sudah barang
tentu akan menimbulkan pengaruh positif terhadap anggota-anggotanya.
Oleh karena motivasi yang timbul karena adanya kebutuhan, kebutuhan
psikologi, ekonomi dan sosial, maka human relations yang efektif menurut
Davis adalah memenuhi kebutuhan-kebutuhan orang-orang itu,
memberikan kepuasan kepada mereka dengan batas-batas kemampuan
badan itu.
Dalam suatu penelitian yang dilakukan terhadap 500 karyawan
mengenai kebutuhannya; mengenai apa yang mereka inginkan. Kepada
mereka ditanyakan apa yang paling mereka senangi dalam pekerjaannya
dan apa yang paling mereka tidak sukai. Jawaban mereka ternyata bukan
hanya mengenai kebutuhan pokok, tetapi juga kebutuhan sampingan. Pada
dasarnya jawaban mereka itu tercakup dalam 10 jawaban sebagai berikut :
1. Kami ingin pimpinan yang baik, karena kami tergantung dari
kepemimpinan.
41
2. Kami ingin mendapat penerangan. Kami ingin mengetahui tujuan
yang akan dicapai, dipihak manakah kami berada, dan kekuatankekuatan apa yang mempengaruhi lingkungan kerja kami.
3. Kami ingin diperlakukan sebagai manusia terhormat, kami adalah
manusia yang masing-masing mempunyai masalah dan kebutuhan
yang berlainan.
4. Kami ingin perangsang dan kesempatan untuk maju. Kami
mengharapkan adanya usaha dan kompetisi dengan mereka yang
sedang mengalami kemajuan.
5. Kami ingin kebebasan dalam sikap kami sehubungan dengan
persoalan kami.
6. Kami ingin hidup bermasyarakat dan ingin penghormatan dari
orang-orang
lain.
Kami
adalah
manusia-manusia
yang
bermasyarakat. Kami ingin mencegah pertentangan pribadi.
7. Kami ingin jaminan keamanan. Kami menentang perubahan.
8. Kami ingin kondisi dan kesenangan bekerja sejauh kemungkinan
yang bisa diberikan kepada kami. Ini termasuk upah.
9. Kami ingin melaksanakan pekerjaan yang bermanfaat. Kami ingin
berprestasi dalam pekerjaan sebagai sumbangan kepada kebutuhan
masyarakat. Partisipasi akan membantu kami mencapai prestasi.
10. Kami ingin diberlakukan secara jujur. Ini adalah keadilan yang
berarti menyebabkan kegiatan kami akan tetap terus sesuai dengan
keadaan.
Davis mengemukakan yang menjadi dasar falsafah human
relations adalah sebagai berikut :
a. Mutual Interest (kepentingan bersama)
Di dalam kepemimpinan, antara yang memimpin dan yang
dipimpin, serta diantara orang-orang yang dipimpinnya haruslah
ada suatu kepentingan bersama. Bila hal ini tidak ada, maka usaha
untuk mengumpulkan orang-orang yang dalam satu organisasi dan
menciptakan kerja sama tidak ada faedahnya. Pemimpin tak akan
mencapai tujuannya tanpa bantuan para pegawainya. Demikian
pula sebaliknya, pegawai tidak akan dapat melakukan pekerjaan
yang teratur bahkan tidak akan terorganisir tanpa kepemimpinan
yang baik.
Tujuan atau sukses hanya dapat tercpai bila pemimpin dan para
pegawainya dapat bersatu dalam memperjuangkan kepentingan
bersama.
b. Perbedaan-Perbedaan Individu
Tiap individu berbeda dengan yang lainnya, dan ini merupakan hal
penting dalam kehidupan manusia. Manusia merupakan hal yang
unik di dalam penghidupannya dari hari ke hari. Karena itu agar
para pegawai dapat merasa puas dalam menjalankan tugas dan
kewajibannya, mereka harus diperlakukan berdasarkan perbedaanperbedaan tadi.
42
c. Human Dignity (harga diri)
Menurut Davis bahwa Human Dignity merupakan suatu etika dan
dasar moral bagi Human Relations. Hasil penyelidikan mengenai
proposal wamts ……, telah menunjukan bahwa tiap manusia ingin
diperlakukan dengan respect, dengan dignity, ingin diberlakukan
sebagaimana layaknya manusia. Dalam pada itu, Emerson
menyatakan pendapatnya sehubungan dengan Human Dignity ini,
“setiap orang yang saya jumpai adalah orang yang lebih dari pada
saya dalam sesuatu hal. Dalam hal itulah saya dapat belajar pada
dia”.
F. Counselling
Counselling merupakan kegiatan yang banyak dilakukan dalam
Human Relations. Tujuan counselling ialah membantu para karyawan
dalam memecahkan berbagai masalahnya. Di sini counselor memberikan
nasehatnya, bukan mengarahkan untuk dituruti. Dan Counselleo sendiri
yang harus mengambil kesimpulan dan keputusan berdasarkan jalan
pemecahannya sendiri. Jadi di sini counselor hanya membantu Counselleo
memperoleh pengertian tentang masalahnya. Selama masalahnya itu
belum dimengerti dengan jelas, maka tidak akan ada langkah-langkah
untuk pemecahannya. Counseller akan mencapai suatu sukses apabila ia
mengetahui frame of reference counselleo.
XI. BUDAYA KERJA
A. Pengertian Budaya
Secara harfiah, pengertian budaya (culture) berasal dari kata Latin
Colere, yang berarti mengerjakan tanah, mengolah, memelihara ladang
(Soerjanto Poespowardojo, 1993). Namun pengertian yang semula agraris
ini lebih lanjut diterapkan pada hal yang bersifat rohani (Langeveid, 1993).
Sedangkan Ashley Montagu dan Cristoper Dawson (1993), mengartikan
kebudayaan sebagai way of life , yaitu cara hidup tertentu yang
memancarkan identitas tertentu pula dari suatu bangsa.
The American Herritage Dictonary (dalam Kotter dan Heskett, 1992)
mendefinisikan “kebudayaan” secara lebih formal, “sebagai suatu
keseluruhan dari pola prilaku yang dikirimkan melalui kehidupan sosial,
seni, agama, kelembagaan dan segala hasil kerja dan pemikiran manusia
dari suatu kelompok manusia”. Menurut Koentjaraningrat, budaya adalah
“keseluruhan sistem gagasan tindakan dan hasil karya manusia dalam
rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan
cara belajar”. Selanjutnya dinyatakan, bahwa kebudayaan memiliki tiga
wujud yaitu :
1. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleksitas dari ide-ide,
gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya.
2. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleksitas aktivitas kelakuan
berpola dari manusia dalam masyarakat dan
3. Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia
43
Wujud pertama adalah wujud idiil dan kebudayaan yang sifatnya
abstrak, tak dapat diraba atau difoto. Lokasinya ada di dalam alam pikiran
dari warga masyarakat di mana kebudayaan yang bersangkutan hidup.
Kebudayaan idiil ini berfungsi sebagai adat istiadat yang mengatur,
mengendalikan dan memberi arah kepada perilaku dan perbuatan manusia
dalam masyarakat. Dalam fungsinya ini, kebudayaan idiil terdiri dari
beberapa lapisan. Lapiran pertama, yaitu dapat yang paling “abstrak”
(misalnya sistem nilai budaya); Lapisan kedua, yang lebih “konkret” yaitu
norma-norma dan sistem hukum. Sedangkan lapisan ketiga berupa
peraturan-peraturan khusus mengenai berbagai aktivitas sehari-hari dalam
kehidupan organisasi, seperti aturan sopan santun. Para sarjana yang
menggarap dan memfokuskan dalam wujud pertama antara lain para
sarjana ilmu kesusasteraan.
Wujud kedua dari kebudayaan atau disebut sebagai sistem sosial,
terdiri dari aktivitas manusia yang berinteraksi, berhubungan, bergaul
berdasarkan pola tata laku tertentu. Wujud kedua ini lebih konkret karena
terjadi di sekeliling kita sehari-hari, bisa diamati, difoto dan
didokumentasikan. Pada sarjana yang menggarap wujud kedua ini adalah
para sarjana ilmu sosiologi, anthropologi dan psikologi serta ilmu-ilmu
sosial lainnya yang tergolong dalam “behavioral sciences”.
Wujud ketiga dari kebudayaan disebut kebudayaan fisik, dan
merupakan wujud kebudayaan yang paling konkret, misalnya : candicandi, pabrik-pabrik, bangunan kantor dan sebagainya. Para sarjana seperti
ahli arkeologi yang menggarap wujud kebudayaan ketiga ini.
Dalam kenyataan kehidupan sehari-hari, ketiga wujud kebudayaan
tersebut tidak terpisah satu sama lain, dan bahkan saling mengisi dan
saling berkait secara erat.
Kemudian pada bagian lain, menurut Koentjaraningrat kebudayaan
dirumuskan sebagai, “Keseluruhan gagasan dari karya manusia, yang
harus dibiasakannya dengan belajar beserta keseluruhan dari hasil budi
dan karyanya itu”.
B. Pengertian Kerja
Dalam literatur budaya organisasi dapat juga disebut basic assumption
tentang sesuatu, dalam hal ini kerja. Kata Kerja dapat diidentifikasi
berbagai pernyataan sebagai berikut :
1. Kerja adalah hukuman. Manusia sebenarnya hidup bahagia tanpa
kerja di Taman Firdaus, tetapi karena ia jatuh ke dalam dosa, maka
ia dihukum: untuk bisa hidup sebentar manusia harus bekerja
banting-tulang cari makan. Salah satu bentuk hukuman adalah kerja
paksa:
2. Kerja adalah beban. Bagi orang malas, kerja adalah beban. Juga bagi
kaum budak atau pekerja yang berada dalam posisi lemah;
44
3. Kerja adalah kewajiban. Dalam sistem birokrasi atau sistem
kontraktual, kerja adalah kewajiban, guna memenuhi perintah atau
membayar hutang;
4. Kerja adalah sumber penghasilan. Hal ini jelas. Kerja sebagai sumber
nafkah merupakan anggaran dasar masyarakat umumnya;
5. Kerja adalah kesenangan. Kerja sebagai kesenangan seakan hobi
atau sport. Hal ini ada kaitannya dengan leisure, sampai pada SDM
yang workaholic;
6. Kerja adalah gengsi, prestise. Kerja sebagai gengsi berkaitan dengan
status sosial dan jabatan. Jabatan seseorang struktural misalnya, jauh
lebih diidamkan ketimbang jabatan fungsional.
7. Kerja adalah aktualisasi diri. Kerja di sini dikaitkan dengan peran,
cita-cita atau ambisi. Bagi seseorang yang menganut anggapan dasar
ini, lebih baik jadi kepala ayam ketimbang ekor sapi.
8. Kerja adalah panggilan jiwa. Kerja di sini berkaitan dengan bakat.
Dari sini tumbuh profesionalisme dan pengabdian kepada kerja.
9. Kerja adalah pengabdian kepada sesama. Kerja dengan tulus, tanpa
pamrih.
10. Kerja adalah hidup. Hidup diabdikan dan diisi untuk dan dengan
kerja;
11. Kerja adalah ibadah. Kerja merupakan pernyataan syukur atas
kehidupan di dunia ini. Kerja dilakukan seakan-akan kepada dan
bagi kemuliaan nama Tuhan dan bukan kepada manusia. Oleh
karena itu orang bekerja penuh enthusiasm;
12. Kerja adalah suci. Kerja harus dihormati dan jangan dicemarkan
dengan perbuatan dosa, kesalahan, pelanggaran dan kejahatan.
C. Pengertian Budaya Kerja
Berpijak dari nilai-nilai yang dimiliki oleh bangsa atau masyarakat
Indonesia kebudayaan diolah sedemikian rupa, sehingga menjadi nilainilai baru yang menjadi sikap dan perilaku manajemen dalam menghadapi
tantangan baru. Budaya Kerja itu tidak akan muncul begitu saja, akan
tetapi harus diupayakan dengan sungguh-sungguh melalui suatu proses
yang terkendali dengan melibatkan semua SDM dalam seperangkat sistem,
alat-alat dan teknik-teknik pendukung. Budaya kerja merupakan kawah
Candradimuka untuk merubah cara kerja lam menjadi cara kerja baru yang
akan berorientasi untuk memuaskan pelanggan atau masyarakat.
Kualitas atau mutu suatu produk (jasa atau barang), cara kerja dan
SDM
harus dapat diukur dan merupakan kesepakatan bersama.
Pengukuran kualitas antara lain dari aspek persyaratan, bentuk, warna,
estetika, ketahanan, performa atau kinerja, waktu, jaminan, pelayanan dan
lain-lain. Kembali pada dasar kualitas yang bersumber pada tingkat
kualitas SDM yang bermutu tinggi dapat dipastikan akan dapat bekerja
dengan baik dan menghasilkan produk yang berkualitas tinggi, karena
45
semua orang terlibat dalam proses kerja dan mereka sudah tahu apa yang
seharusnya dikerjakan dengan bahasa yang sama
Budaya Kerja adalah suatu falsafah yang disadari oleh pandangan
hidup sebagai nilai-nilai yang menjadi sifat, kebiasaan dan kekuatan
pendorong, membudaya dalam kehidupan suatu kelompok masyarakat
atau organisasi, kemudian tercermin dari sikap menjadi perilaku,
kepercayaan, cita-cita, pendapat dan tindakan yang terwujud sebagai
“kerja” atau “bekerja”. Budaya Kerja organisasi adalah manajemen yang
meliputi pengembangan, perencanaan, produksi dan pelayanan suatu
produk yang berkualitas dalam arti optimal, ekonomi dan memuaskan.
Dalam Seminar KORPRI Daerah Istimewa Yogyakarta Nopember
1992 berkesimpulan bahwa :
1. Budaya Kerja adalah salah satu komponen kualitas manusia yang
sangat melekat dengan identitas bangsa dan menjadi tolok ukur
dasar dalam pembangunan.
2. Budaya Kerja dapat ikut menentukan integritas bangsa dan menjadi
penyumbang utama dalam menjamin kesinambungan kehidupan
bangsa.
3. Budaya Kerja sangat erat kaitannya dengan nilai-nilai yang
dimilikinya, terutama falsafah bangsa yang mampu mendorong
prestasi kerja setinggi-tingginya.
Program Budaya Kerja akan menjadi kenyataan melalui proses
panjang, karena perubahan nilai-nilai lama menjadi nilai-nilai baru akan
memakan waktu untuk menjadi kebiasaan dan tak henti-hentinya terus
melakukan penyempurnaan dan perbaikan.
Warna Budaya Kerja adalah produktivitas, yang berupa perilaku
kerja yang tercermin antara lain : kerja keras, ulet, disiplin, produktif,
tanggung jawab, motivasi, manfaat, kreatif, dinamik, konsekuen, konsisten,
responsive, mandiri, makin lebih baik dan lain-lain. Menurut Budhi
Paramita dalam tulisannya berjudul “masalah Keserasian Budaya dan
Manajemen di Indonesia”, budaya kerja dapat dibagi menjadi :
1. Sikap terhadap pekerjaan, yakni kesukaan akan kerja dibandingkan
dengan kegiatan lain, seperti bersantai, atau semata-mata
memperoleh kepuasan dari kesibukan pekerjanya sendiri, atau
merasa terpaksa melakukan sesuatu hanya untuk kelangsungan
hidupnya;
2. Perilaku pada waktu bekerja, seperti rajin, berdedikasi, bertanggung
jawab, berhati-hati, teliti, cermat, kemauan yang kuat untuk
mempelajari tugas dan kewajibannya, suka membantu sesama
karyawan, atau sebaiknya.
Selanjutnya oleh Profesor Emil P. Bolongaita, JR dari Asian Institute of
Management menyatakan bahwa pada masa globalisasi ini sebaiknya
pemerintah mampu mengakomodasikan pengalaman manajemen
pemerintahan
dengan
pengalaman
pengelolaan
bisnis,
dan
memperlakukan masyarakat sebagai pelanggan (customer). Kombinasi
46
upaya pengelolaan seperti tersebut mendorong ide yang disebut Total
Quality Governance (TQG) dengan beberapa prinsip sebagai berikut :
1. Mempertemukan
tuntutan
masyarakat
dan
kemampuan
pemerintahan.
2. Mekanisme kerja yang berorientasi pada pasar;
3. Mengaktualisasikan misi lebih penting dari pada mengatur;
4. Fokus kerja pada hasil/keluaran (barang/jasa) bukan masukan;
5. Upaya kualitas lebih banyak mencegah dari pada memperbaiki/
mengobati;
6. Mengutamakan kerja partisipatif/gotong royong;
7. Melakukan kerjasama, koordinasi dan kemitraan.
D. Tujuan Dan Manfaat Budaya Kerja
Melaksanakan Budaya Kerja mempunyai arti yang sangat dalam,
karena akan merubah sikap dan perilaku SDM untuk mencapai
produktivitas kerja yang lebih tinggi dalam menghadap tantangan masa
depan. Manfaat yang didapat antara lain sebagai berikut: menjamin hasil
kerja dengan kualitas yang lebih baik; membuka seluruh jaringan
komunikasi,
keterbukaan,
kebersamaan,
kegotong-royongan,
kekeluargaan, menemukan kesalahan dan cepat memperbaiki, cepat
menyesuaikan diri perkembangan dari luar (faktor eksternal seperti
pelanggan, teknologi, sosial, ekonomi, dan lain-lain).
Di samping itu masih banyak lagi manfaat yang muncul seperti
kepuasan kerja meningkat, pergaulan yang lebih akrab, disiplin meningkat,
pengawasan fungsional berkurang, pemborosan berkurang, tingkat absensi
turun, ingin belajar terus, ingin memberikan yang terbaik bagi organisasi
dan lain-lain.
Di samping itu masih banyak lagi manfaat yang muncul seperti
kepuasan kerja meningkat, pergaulan yang lebih akrab, disiplin meningkat,
pengawasan fungsional berkurang, pemborosan berkurang, tingkat absensi
turun, ingin belajar terus, ingin memberikan yang terbaik bagi organisasi
dan lain-lain.
Selanjutnya oleh Roland E. Wolseley dan Laurance R. Campbell
dalam bukunya Exploring Journalisme menyatakan bahwa :
1. Orang yang terlatih melalui kelompok Budaya Kerja akan menyukai
kebebasan, pertukaran pendapat, terbuka bagi gagasan-gagasan
baru dan fakta baru dalam usahanya untuk mencari kebenaran,
mencocokkan apa yang ada padanya dengan keinsyafan dan daya
imajinasi seteliti mungkin dan seobyektif mungkin;
2. Orang yang terlatih dalam Kelompok Budaya Kerja akan
memecahkan permasalahan secara mandiri dengan bantuan
keahliannya berdasarkan metoda ilmu pengetahuan, dibangkitkan
oleh pemikiran yang kritis, kreatif, tidak menghargai penyimpangan
akal bulus dan pertentangan;
47
3. Orang yang terdidik melalui Kelompok Budaya Kerja berusaha
menyesuaikan diri antara kehidupan pribadinya dengan kebiasaan
sosialnya, baik nilai-nilai spiritual maupun standar-standar etika
yang fundamental untuk menyerasikan kepribadian dan moral
karakternya.
4. Orang yang terdidik dalam Kelompok Budaya Kerja
mempersiapkan dirinya dengan pengetahuan umum dan keahliankeahlian khusus dalam mengelola tugas atau kewajibannya dalam
bidangnya, demikian pula dalam hal berproduksi dan pemenuhan
kebutuhan hidupnya;
5. Orang yang terlatih dalam Kelompok Budaya Kerja akan memahami
dan menghargai lingkungannya seperti alam, ekonomi, sosial,
politik, budaya dan menjaga kelestarian sumber-sumber alam,
memelihara stabilitas dan kontinuitas masyarakat yang bebas
sebagai suatu kondisi yang harus ada.
6. Orang yang terlatih dalam Kelompok Budaya Kerja akan
berpartisipasi dengan loyal kepada kehidupan rumah tangganya,
sekolah, masyarakat dan bangsanya. Penuh tanggung jawab sebagai
manusia merdeka dengan mengisi kemerdekaannya serta, memberi
tempat secara berdampingan kepada oposisi yang berkreasi dengan
yang memegang kekuasaan sebaik mungkin.
E. Unsur-Unsur Falsafah
Falsafah negara, bangsa dan masyarakat Indonesia telah jelas
dimuat dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang kita namakan
PANCASILA. Nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya merupakan
cermin nilai-nilai luhur yang hidup di masyarakat.
Dalam menghadapi tantangan apapun hakekat nilai-nilai luhur
tersebut tidak bisa berubah, yang berubah adalah nilai-nilai instrumental
yang disesuaikan dengan perkembangan lingkungan. Untuk itu kualitas
SDM dituntut responsive atau peka, penuh prakarsa, bersikap proaktif,
trampil, mandiri, disiplin, integritas tinggi dan lain-lain.
Implementasi nilai-nilai luhur Pancasila dalam organisasi menuntut
perubahan cara komunikasi, dari yang biasa dilakukan secara vertikal dari
atas ke bawah, menjadi hubungan lebih horisontal dan partisipatif.
Demikian juga gaya kepemimpinan menjadi lebih banyak mengajak dari
pada memerintah, memberikan keteladanan, mendorong dan memberikan
kepercayaan lebih besar kepada bawahan. Sebagai konsekuensi gaya
partisipatif tersebut maka dalam pengambilan keputusan dilakukan secara
musyawarah dan mufakat. Dengan gaya manajemen seperti tersebut di
atas akan mendorong bawahan menjadi lebih merasa ikut memiliki, ikut
bertanggung jawab dan mawas diri. Hal ini sangat penting bagi
pengembangan SDM agar mampu memberikan sumbangan kerja yang
terbaik atau optimal bagi manajemen.
48
SISTEM
KERJA
Nilai-nilai
budaya
Disiplin
Efektif
Efisien
Cepat
Peningkatan
Mutu
Pasti
Nilai-nilai
Instrumen
Tantangan
Sopan
Ramah
Penolong
Indah
Nyaman
LING. KERJA
Dengan masuknya nilai-nilai budaya dalam manajemen diharapkan
akan terjadi peningkatan kualitas SDM, kualitas cara kerja dan kualitas
produknya. Mengenai kualitas produk dapat diukur dari beberapa aspek
antaralain :
1. Kesesuaian dengan mutu yang diminta oleh pelanggan, mereka
menyatakan puas atau tidak, kalau mereka tidak puas, berarti
kualitas produk tersebut belum mencapai standarnya, dan harus
disempurnakan.
2. Setiap orang dalam organisasi mempunyai sifat peran sebagai
pemasok pelanggan baik yang berorientasi internal maupun
eksteral. Setiap pelanggan mempunyai dimensi persyaratan mutu
yang berbeda-beda tergantung pada keperluannya. Oleh karena itu
untuk menciptakan produk (barang atau jasa) diperlukan kerjasama
internal maupun eksternal agar produk tersebut dapat memenuhi
standard yang dipersyaratkan oleh pelanggan. Untuk kerjasama
yang intensif perlu diciptakan jaringan kerja yang menerobos
kekakuan birokrasi seperti jaringan kerja horisontal, vertikal dan
diagonal;
3. Orientasi pada pencegahan lebih baik dari pada memperbaiki
kesalahan, karena biaya perbaikan akan menjadi lebih mahal dan
mempengaruhi daya saing. Falsafah yang terkenal untuk kegiatan
itu antara lain “Don’t right of thefirs time”, “Zero Defect” “Zero
Discrepencies”.
4. Untuk mencegah pemborosan agar mutu menjadi lebih baik perlu
dilihat dari aspek pembiayaan, yang antara lain meliputi penilaian
(inspeksi, pengujian dan tugas lain), pencegahan (latihan, mencari
penyebab, koreksi, pengembangan), kegagalan (kerusakan,
perbaikan, kerja ulang, kurang waktu), kegagalan eksternal
(penggantian jaminan kerusakan, kehilangan pelanggan (goodwill)
keluhan dan perbaikan).
49
5. Mutu terletak pada sumbernya, yang berarti setiap SDM adalah
inspektur kualitas bagi pekerjaannya. Untuk mencapai tingkat
optimal cara kerja seperti itu diperlukan kerjasama melalui
kelompok tertentu, mereka diberi pelatihan dan peralatan teknik
untuk pemecahan masalah, sehingga mereka mampu mencegah
kesalah-kesalahan yang mungkinkan terjadi;
6. Mutu dapat diraih melalui cara perbaikan yang berkesinambungan,
hal ini merupakan falsafah manajemen yang mendekatkan
tantangan atau tuntutan dengan cara kerja melalui proses yang
berkesinambungan dan mencapai kemenangan kecil. Dalam hal ini
ide-ide dari kelompok akan banyak berperan dalam upaya
memperbaiki terus menerus.
50
XII. MEMBANGUN KOMUNIKASI YANG EFEKTIF
A. Pengertian
Secara etimologis komunikasi berasal dari bahasa latin yaitu cum,
artinya dengan atau bersama dengan, dan kata umus, yang berarti satu.
Akhirnya membentuk kata communion, yang dalam bahasa inggris disebut
dengan communion, yang artinya kebersamaan, persatuan, persekutuan,
gabungan, pergaulan, atau hubungan. Untuk menjadikan kata kerja maka
dibentuk kata baru yaitu communicare, berarti membagi sesuatu dengan
seseorang, tukar menukar, membicarakan sesuatu dengan orang,
memberitahukan sesuatu pada seseorang, bercakap-cakap, bertukar
pikiran, berhubungan, berteman (Endang Lestari & Maliki, 2003).
Menurut Riyono Pratikto, komunikasi adalah mengeluarkan pikiran;
berarti memindahkan gagasan melalui lambang-lambang yang dimengerti
kepada orang lain, dengan tujuan agar orang lain itu memahami apa yang
dimaksudkan.
B. Komunikasi Sosial
Komunikasi social menunjuk pada komunikasi yang dilakukan
antar manusia atau “human communication”. Manusia disebut sebagai suatu
homo socius artinya mahluk ciptaan Tuhan yang tidak berdiri sendiri dalam
hidupnya, dan selalu bergantung kepada orang lain. Untuk itu ia selalu
berusaha untuk berhubungan dengan orang lain; dan kegiatan untuk
berhubungan itulah disebut dengan komunikasi.
Prinsip-prinsip yang diperlukan untuk mengerti komunikasi
menurut Onong Uchjana Effendy (1979) sesungguhnya adalah prinsipprinsip yang diperlukan untuk mengerti aspek-aspek lain dari tingkah
laku, mulai dari perang secara psikologis sampai kepada psikoterapi dalam
situasi tatap muka. Dalam hal ini komunikasi social dimaksudkan adalah
mekanisme di mana terdapat hubungan antar manusia dan yang
memperkembangkan semua lambang pikiran, bersama-sama dengan alatalat untuk menyiarkannya dalam ruang dan merekamnya dalam waktu. Ini
mencakup ekspresi wajah, sikap, gerak-gerik, suara, kata-kata tertulis,
percetakan, kereta api, telegarf, telepon, dan apa saja yang merupakan
penemuan terakhir untuk menguasai ruang dan waktu.
C. Komunikasi Yang Efektif
Sebelum mendefinisikan komunikasi yang efektif, barangkali kita
perlu merujuk dahulu kepada kata “efektif” itu sendiri. Secara etimologis
kata “efektif” sering diartikan sebagai mencapai sasaran yang diinginkan
(producing desired result), berdampak menyenangkan (having a pleasing
effect), bersifat aktual, dan nyata (actual and real). Dengan demikian,
komunikasi yang efektif dapat diartikan sebagai penerimaan pesan oleh
komunikan atau receiver sesuai dengan pesan yang dikirim oleh sender atau
komunikator, kemudian receiver atau komunikan memberikan respon
yang positif sesuai dengan yang diharapkan. Jadi, komunikasi efektif itu
51
terjadi apabila terdapat aliran informasi dua arah antara kemonikator dan
komunikan dan informasi tersebut sama-sama direspon sesuai dengan
harapan kedua pelaku komunikasi tersebut (komunikator dan komunikan).
Bagaimana cara membangun komunikasi yang efektif? Pada bab ini
kita akan berusaha menjawab pertanyaan ini.
a.
Aspek-aspek komunikasi efektif
Sedikitnya ada lima aspek yang harus dipahami dalam membangun
komunikasi yang efektif.
1. Kejelasan (Clarity) : bahasa maupun informasi yang disampaikan
harus jelas. Dalam kehidupan kita sehari-hari, seringkali kita
mendengar ucapan-ucapan seperti ini : “Masalahnya ininya belum
dianukan”. Apa ini dan diapakan? Akan lebih mudah dihapami
maknanya bila, misalnya, kata ini diganti buku dan kata anu diganti bagi.
Jadi kalimat itu berbunyi: Masalahnya, bukunya belum dibagikan.
2. Ketepatan (accuracy): bahasa dan informasi yang disampaikan harus
betul-betul akurat alias tepat. Bahasa yang digunakan harus sesuai dan
informasi yang disampaikan harus benar. Benar ini artinya sesuai
dengan apa yang sesungguhnya ingin disampaikan. Bisa saja informasi
yang ingin kita sampaikan belum tentu kebenarannya, tetapi apa yang
kita sampaikan benar-benar apa yang memang kita ketahui. Inilah yang
dimaksud akurasi disini.
3. Konteks (contex): bahasa dan informasi yang disampaikan harus sesuai
dengan keadaan dan lingkungan dimana komunikasi itu terjadi. Bisa
saja kita menggunakan bahasa dan informasi yang jelas dan tepat tetapi
karena konteksnya tidak tepat, reaksi yang kita peroleh tidak sesuai
dengan yang diharapkan. Contohnya, sepulang kerja seorang suami
berkata kepada istrinya : “Dindaku, tolong kanda berikan segelas air nan
jernih, kanda haus sekali”. Dari segi kejelasan dan keakuratan bahasa dan
informasi tidak ada masalah. Tetapi konteksnya tidak tepat, sehingga
mungkin sang istri tidak segera mengambil air melainkan bertanya
tentang keadaan sang suami.
4. Alur (flow) : keruntutan alur bahasa dan informasi yang efektif.
Sewaktu kita meminjam uang, misalnya, kita cenderung
mengemukakan kesulitan-kesulitan kita terlebih dahulu sebelum kita
menyampaikan maksud kita untuk meminjam uang. Mungkin begitu
juga pada saat kita pertama kali menyampaikan perasaan jatuh cinta
pada seseorang.
5. Budaya (culture) : aspek ini tidak saja menyangkut bahasa dan
informasi, tetapi juga tatakrama atau etika. Bersalaman dengan satu
tangan bagi orang Sunda mungkin terkesan rada kurang sonap, tetapi
bagi etnis lain mungkin suatu hal yang biasa. Kata “juancu” bagi arekarek Suroboyo merupakan kata yang lumrah didengar dan dapat
diterima. tetapi bagi wong Solo atau Johja, mungkin risih mendengar
kata itu.
52
b. Strategi membangun komunikasi efektif
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam menciptakan sutu
komunikasi yang efektif.
1. Ketahui mitra bicara (audience). Kita harus sangat sadar dengan siapa
kita bicara. Apakah dengan orang tua, anak-anak, laki-laki atau
perempuan, status sosialnya seperti apa – pangkat, jabatan, dan
semacamnya – petani, pengusaha, guru, kiyai, dan lain-lain. Dengan
mengetahui audience kita, kita harus cerdik dalam memiliki kata-kata
yang digunakan dalam menyampaikan informasi atau buah fikiran kita.
Artinya, bahasa yang dipakai harus sesuai dengan bahasa yang mudah
dipahami oleh audience kita. Berbicara dengan orang dewasa tentu akan
sangat berbeda dengan berbicara kepada anak-anak. Berbicara dengan
atasan tentu akan berbeda dengan berbicara pada bawahan atau teman
sederajat. Pengetahuan mitra bicara kita pun harus diperhatikan.
Informasi yang disampaikan mungkin saja bukan hal yang baru bagi
mitra kita, tetapi kalau penyampaiannya dengan menggunakan jargonjargon atau istilah-istilah yang tidak dipahami oleh mitra, informasi
atau gagasan yang kita sampaikan bisa saja tidak dapat dipahami. Jadi,
dengan memperhatikan mitra bicara kita, kita akan dapat
menyesuaikan diri dalam berkomunikasi dengannya.
2. Ketahui tujuan. Tujuan kita berkomunikasi akan sangat menentukan
cara kita menyampaikan informasi. Bila kita bermaksud sekedar
menyampaikan informasi, tentu komunikasi kita bersifat pengumuman.
Tetapi bila kita bermaksud membeli atau menjual barang komunikasi
kita akan bersifat negoisasi. Lain pula cara kita berkomunikasi apabila
tujuan kita untuk menghibur, membujuk, atau sekedar basa-basi.
Misalnya kita bertanya : “Anda mau pergi kemana?” Apakah pertanyaan
ini dimaksudkan untuk benar-benar mengetahui agenda orang yang
ditanya ataukah kita bertanya sekedar basa-basi? Jadi, kejelasan tujuan
dalam berkomunikasi harus diketahui sebelum kita berkomunikasi.
3. Perhatikan konteks. Konteks di sini bisa berarti keadaan atau
lingkungan pada saat berkomunikasi. Pada saat berkomunikasi,
konteks sangat berperan dalam memperjelas informasi yang
disampaikan. Dalam hal pemakaian kata, misalnya. Kata „hemat‟ dalam
kalimat : “Kita harus menghemat uang, waktu dan tenaga kita”, sangat
berbeda dengan kata „hemat‟ dalam kalimat “Menurut hemat saya, kita
harus lebih jujur dan terbuka dalam berkomunikasi dengan sesama rekan
sekerja”. Tidak hanya kata konteks kalimat, tetapi cara mengucapkan
dan kepada siapa kata itu diucapkan akan membuat makna yang
disampaikan berbeda pula. “Ah…dasar gila”. Kalimat ini bisa bermakna
cacian bisa juga bermakna kekaguman, tergantung bagaimana kita
mengucapkannya. Bila diucapkan dengan nada tinggi berarti cacian,
tetapi bila diucapkan dengan nada datar apalagi dibarengi dengan
gelengan kepala, kalimat ini bisa berarti kekaguman. Ungkapan “Gila
lu” disampaikan kepada teman dekat, pasti dipahami sebagai ungkapan
53
biasa yang tidak bermakna negatif. Tetapi bila disampaikan kepada
orang yang belum atau baru kita kenal ungkapan ini tentu akan
dipahami sebagai ungkapan yang memiliki makna negatif.
Formalitas dalam konteks tertentu juga dapat mempengaruhi cara
berkomunikasi seseorang. Coba perhatikan gaya komunikasi atasan dan
bawahan di lingkungan dunia kerja, bahkan komunikasi antar sesama
atasan maupun sesama bawahan pasti berbeda. Apabila orang-orang ini
bertemu di mall atau di undangan (tempat resepsi) gaya komunikasi
diantara mereka akan sangat lain dengan gaya pada saat mereka berada
di kantor.
Mengirim bunga kepada orang yang berulang tahun atau kepada orang
yang kita kasihi, akan berbeda maknanya bila disampaikan kepada
orang yang sedang berduka. Bahkan jenis bunga yang disampaikan pun
membawa pesan atau kesan tersendiri.
Dengan ilustrasi singkat di atas, jelaslah bahwa konteks sangat
mempengaruhi makna apapun yang disampaikan.
4. Pelajari Kultur. Kultur atau budaya, habitat atau kebiasaan orang atau
masyarakat juga perlu diperhatikan dalam berkomunikasi. Orang Jawa
atau Sunda pada umumnya dikenal dengan kelembutannya dalam
bertutur kata. Kegemulaian bertutur ini akan sangat baik bila diimbangi
dengan cara serupa. tetapi tentu tidak berati mutlak. Maksudnya,
bukan berarti orang non Jawa atau non Sunda mutlak harus seperti
bertuturnya orang Jawa atau Sunda, meskipun kalau memang bisa itu
lebih baik. Atau orang Batak yang dikenal bernada tinggi dalam
bertutur perlukan diimbangi dengan nada tinggi pula oleh orang yang
non Batak? Perimbangan di sini tidak berarti orang Jawa harus bertutur
seperi orang Batak bila bermitra bicara dengannya, atau orang Batak
harus bertutur seperti orang Sunda, orang Maluku, orang Papua, dan
sebagainya pada saat mereka berkomunikasi. Yang memahami kultur
mitra bicaranya sehingga timbul saling pengertian dan penyesuaian
gaya komunikasi dapat terjadi. Ingat peribahasa : “Dimana bumi dipijak,
di situ langit di junjung” atau “When in Rome, do as the Romans do”.
5. Pahami Bahasa. “Bahasa menunjukkan bangsa” artinya bahasa dapat
menjadi ciri atau identitas suatu bangsa. Berbicara identitas berarti
berbicara harga diri atau kebanggan. Dengan memahami bahasa orang
lain berarti berusaha menghargai orang lain. Tetapi memahami bahasa
di sini tidak berarti harus memahami semua bahasa yang dipakai oleh
mitra bicara kita. Istimewa sekali kalaupun memang demikian. Yang
lebih penting adalah memahami gaya orang lain berbahasa (bukan gaya
bahasa). Coba perhatikan bagaimana anak muda berbahasa dengan
sesamanya, atau bagaimana cara orang terminal (bis atau angkutan
kota) berbahasa. Bahasa orang kantoran, bahasa pedagang, bahasa
petani, bahasa politisi tentu semuanya ada perbedaan. Perhatikan
kalimat berikut. “Masyarakat Indonesia pada umumnya masih berada
pada tingkat kehidupan pra sejahtera”. Apa bedanya dengan :
54
“Masyarakat Indonesia pada umumnya masih miskin”? Siapa memakai
kalimat yang mana akan membantu kita memahami pesan yang
disampaikannya. Orang kebanyakan tentu akan lebih suka memakai
kalimat yang kedua daripada yang pertama. Para politisi biasanya
cenderung memakai bahasa yang sumir-sumir, eufimistis, atau
diplomatis.
Untuk memperjelas pesan yang hendak disampaikan dalam
berkomunikasi, gunakanlah kalimat-kalimat sederhana yang mudah
dipahami. Kalimat panjang dan kompleks seringkali mengaburkan makna.
Kepiawaian dalam menggunakan kalimat-kalimat yang sederhana dan
tepat dalam berbahasa akan sangat mempengaruhi efektivitas komunikasi
kita. Bagaimana bila kita berkomunikasi dengan menggunakan bahasa
angin? Sama saja! Memahami bahasa asing memang prasyarat mutlak
untuk dapat berkomunikasi secara global.
c. Efektifitas komunikasi verbal
Seperti telah disinggung pada bab sebelumnya, kualitas komunikasi
verbal ditentukan oleh tonalitas suara atau tinggi rendahnya dan lemah
lembutnya suara, keras tidaknya suara dan perubahan nada suara. Tetapi
tonalitas suara saja tidak cukup, karena tonalitas suara bisa saja membuat
komunikasi verbal kurang hidup. Oleh karena itu tonalitas suara sebaiknya
dibarengi dengan ekspresi atau raut muka yang sesuai.
Sebuah hasil riset menunjukkan bahwa dalam komunikasi verbal,
khususnya pada saat presentasi, keberhasilan menyampaikan informasi
55% ditentukan oleh bahasa tubuh (body language), postur, isyarat dan
kontak mata – 38% ditentukan oleh nada suara, dan hanya 7% saja yang
ditentukan oleh kata-kata (Mechribian dan Ferris seperti yang dikutip oleh
O‟Connor dan Seymour). Riset lain juga menunjukkan bahwa komunikasi
akan lebih efektif apabila disampaikan secara berbarengan antara bahasa
lisan dengan bahasa tulisan.
Masyarakat senang dengan komunikasi lisan pada saat media
tulisan memberikan hal-hal yang tidak jelas, dan masyarakat akan senang
menggunakan media tulisan apabila media lisan telah jelas.
55%
bahasa
tubuh
Penentu keberhasilan
38%
nada
suara
Komunikasi lisan
7%
kata-kata
55
Pada perkembangan jaman saat ini, komunikasi pada organisasi
modern/ organisasi yang maju menggunakan media yang tersedia yaitu
video display terminal, E-mail, net camera dan Voive mail (voice messaging
system) dan bahkan SMS.
d. Efektifitas komunikasi non verbal
Bagaimana efektifitas komunikasi non verbal dapat dibangun?
Berikut adalah beberapa contoh yang dapat kita kembangkan.
1. Cara berpakaian
Cara berpakaian telah mengkomunikasikan siapa dan apa
status seseorang, baik dalam pekerjaan sehari-hari maupun dalam
waktu-waktu tertentu (pesta, rapat-rapat, kunjungan resmi/ tidak
resmi).
Masyarakat mempunyai kecenderungan percaya diri kalau
ia berpakaian/ berpenampilan dengan sempurna, demikian juga
adanya perbedaan cara berpakaian. Kita mengenal istilah “White
Collar” dan “blue Collar”, yang mengkomunikasi status seseorang
dalam perusahaan.
Kenyataan menunjukkan bahwa pada saat seseorang
wawancara dalam rangka melamar pekerjaan, mereka yang
berpakaian tidak tepat (misalnya: berpakaian berdasi, jas,
berpakaian bisnis), maka yang berpakaian tepat akan mempunyai
rasa percaya diri yang lebih dibandingkan dengan yang berpakaian
tidak tepat, dan hasilnya ia akan mendapatkan pekerjaan dengan
gaji pertama yang lebih baik.
Jadi, pakailah pakaian yang tepat untuk suasana yang tepat pula.
2. Waktu
Bagi sebagian orang, semestinya bagi kita semua, waktu
adalah sesuatu yang sangat berarti. “Time is money” adalah prinsip
yang dipegang oleh para pengusaha bahkan oleh orang-orang yang
memanfaatkan hidupnya untuk suatu produktifitas yang
bermanfaat. Dokter, akuntan, dosen, bahkan sebagian guru, sering
dibayar berdasarkan jam kerja. Dalam konteks organisasi, di mana
masing-masing mempunyai tugas yang harus diselesaikan,
berkomunikasilah secara tepat. Artinya, dalam berkomunikasi
manfaatkan waktu sebaik-baiknya.
3. Tempat
Sama seperti waktu, tempatpun sangat menentukan
efektifitas komunikasi. Kantor adalah tempat bekerja, restoran
adalah tempat makan, lapangan golf adalah tempat olahraga,
diskotik atau karaoke adalah tempat hiburan, dan sebagainya.
Meskipun demikian, seringkali urusan kantor bisa diselesaikan di
56
tempat makan atau lapangan olah raga. Informasi seringkali
menyelesaikan
masalah-masalah
formal.
Jadi,
dalam
berkomunikasi kita perlu memperhitungkan tempat yang tepat
untuk mencapai tujuan komunikasi kita. Untuk itu, kita harus jeli
tentang suasana: lingkungan kerja, rekan kerja, bahkan beban kerja.
Meskipun ada ungkapan bahwa urusan kantor adalah
urusan kantor dan harus diselesaikan di kantor. Tetapi, banyak
sekali urusan kerja yang dapat diselesaikan pada acara konsinyasi
di luar kantor.
Selain tiga aspek di atas, untuk membangun efektifitas dalam
komunikasi non verbal, kita perlu juga memahami fungsi-fungsi yang
menunjukkan ke-nonverbal-an komunikasi. Diantaranya adalah :
 Repetition (pengulangan). Pengulangan pesan dari individu
dilakukan dengan verbal.
 Contradiction (pertentangan/penyangkalan).
Penyangkalan pesan yang dilakukan terhadap seseorang. Misalnya,
mengangkat bahu artinya “tidak tahu”, mengerakkan telapak
tangan ke kiri dan ke kanan dan menghadap ke depan artinya
“tidak”, atau menggelengkan kepala artinya “tidak”. Akan tetapi
untuk orang india, menggelengkan kepala artinya “Ya”.
Pada momen tertentu, komunikasi non verbal mungkin saja lebih
akurat dari pada komunikasi verbal.
 Substitution (pengganti pesan). Misalnya seseorang berkmunikasi
dengan “fire in his eyes” (mendelik), berkomunikasi dengan
mengepalkan tangan, dan sebagainya.
 Complementing (melengkapi pesan verbal). Misalnya mengatakan
“bagus” sambil menunjukkan “ibu jari”, mengatakan seseorang
tidak waras dengan menunjuk “kening dengan jari telunjuk miring”.
 Accenting (Penekanan). Penekanan di sini artinya menggaris bawahi
pesan verbal. Misalnya berbicara dengan sangat pelan, atau
menekan kaki.
D. Komunikasi yang respektif
Para pimpinan, bawahan dan para komunikator lainnya dapat
menciptakan komunikasi respektif (komunikasi yang saling menghargai
antara para pelaku komunikasi), untuk membangun suasana yang saling
mendukung dengan enam prinsip yaitu: 1) positif thinking (berpikir positif),
2) solution oriented (berorientasi pada solusi) terhadap berbagai masalah
yang dikomunikasikan, 3) being honest; gunakan spontanitas dan kejujuran,
serta nyatakan maksud sesusngguhnya, 4) emphaty; gunakan perasaan
dalam mendengarkan dan tunjukkan keseriusan, 5) feeling; rasakan apa
yang orang lain rasakan dan 6) communicate; gunakan teknik-teknik
komunikasi untuk menyelesaikan berbagai persoalan yang ada.
Dalam berkomunikasi banyak hambatan yang ditemuai antara lain:
hambatan semantik dari sisi bahasa yang digunakan, hambatan psikologis
57
(umur, jenis kelamin, pengalaman, tingkat pendidikan, kedudukan, kasta
dll), noise (kebisingan), teknik komunikasi, dll.
XIII. MEMBANGUN KERJASAMA TIM (Team Building)
A. TIM atau Kelompok
Efektivititas suatu organisasi akan tercapai secara maksimal apabila
menerapkan kerjasama TIM dan dinamika kelompok yang merupakan
wujud dari perilaku organisasi yang dinamis, tidak statis. Organisasi yang
efektif bukan sekedar kumpulan individu-individu yang berkantor dalam
suatu gedung yang beperilaku egosentris, melainkan sebuah kelompok
Tim yang berperilaku (Siagian, 1995). Kelompok adalah suatu unit yang
terdapat beberapa individu, yang mempunyai kemampuan untuk berbuat
dengan kesatuannya, dengan cara dan atas dasar kesatuan persepsi (Juni
Pranoto, 2003). Ada beberapa alasan mengapa kelompok dibentuk : a)
dengan adanya kelompok maka resiko terhadap pekerjaan ditanggung
kelompok, b) sumber lebih banyak dan terjadi proses belajar dari kelompok
lain, c) kelemahan individu teratasi oleh kelompok, kemampuan
pemecahan masalah dan pengambilan keputusan dapat lebih akurat.
Sedangkan Tim adalah suatu kelompok yang memiliki ikatan dan
interaksi yang harmonis memacu terjadinya perubahan, pertumbuhan dan
perkembangan pribadi maupun organisasi. Ikatan dan interaksi yang
harmonis tersebut akan muncul dalam wujud keterpaduan pola pikir (way
of thinking), pola emosi dan motivasi (way of feeling) dan pola tindak (way of
action). Menurut Steven Covey (1997) menemukan 7 (tujuh) resep habits
yang perlu dimiliki oleh individu yang ingin memiliki keefektifan yang
tinggi yaitu: 1) pro-aktif, 2) mendahulukan yang utama, 3) selalu memulai
dengan tujuan akhir, 4) pendekatan menang-menang (win-win), 5) berusaha
mengerti orang lain sebelum dimengerti oleh orang lain, 6) selalu
menciptakan sinergi, keterpaduan dan kebersamaan serta 7) selalu
mengasah dan mengembangkan diri baik fisik, social maupun nilai-nilai.
B. Visi Tim
Esensi kepemimpinan adalah bahwa anda memiliki visi. Anda tidak
boleh meniup trompet yang tidak jelas (Theodore Hesburgh dalam
Anonim, 2000).
Ketika organisasi-organisasi menjadi semakin kompleks dalam
menanggapi lingkungan yang semakin berubah-ubah dalam sifat social,
politis, dan ekonomi mereka, tindakan individu dalam organisasi menjadi
semakin berpengaruh. Individu jarang menghasilkan perubahan dalam
organisasi; yang lebih sering adalah tim. Tim mempunyai ketahanan,
rentang ketrampilan, kemampuan, dan pengalaman untuk memastikan
agar ide-ide kreatif dipraktekkan secara inivatif. Perubahan-perubahan
kemasyarakatan juga sering diawali dengan kegiatan keompok-kelompok
kecil yang berkomitmen dan tegar, yang nilai-nilainya mungkin berada
diluar rentang social yang bisa diterima.
58
Agar Tim bisa kreatif, ia harus mempunyai suatu visi untuk
memberikan focus dan pengarahan pada energi-energi kreatif. Ini bukanlah
iming-iming hampa yang menyembunyikan kemiskinan orientasi pada
tindakan. Visi bagi tim harus jelas, dianut bersama, dirundingkan, bisa
dicapai, dan melibatkan sesuatu hasil yang dinilai tinggi di masa depan.
Sebuah tim adalah suatu kekuatan dinamis yang terus berubah. Sejumlah
orang bertemu untuk bekerja, membicarakan sasaran, mengumpulkan ide,
dan membuat keputusan untuk mencapai tujuan bersama (Heller, 2001).
Bekerja bersama, tim
yang baik menunjukkan ciri dasar:
kepemimpinan yang kuat dan efektif; penentuan tujuan yang tepat;
penentuan keputusan yang berdasar; ketentuan bertindak cepat;
komunikasi yang bebas; penguasaan teknik dan keterampilan untuk
menyelesaikan proyek; penentuan sasaran kerja yang jelas dan yang utama
keseimbangan antar orang-orang yang bekerja untuk tujuan bersama.
C. Meningkatkan Kreativitas Tim
Tanpa ide-ide baru, kecil kemungkinan tim bisa sukses. Berpikir
kreatif adalah tanggungjawab tim dengan partisipasi semua anggota.
Kembangkan hal ini bersama tim dengan banyak berlatih. Mendorong
kreativitas; banyak orang terpaku pada pola piker yang ditarik dari
pengalaman dan kepribadian mereka. Untuk membebaskan kreativitas
mereka, jangan biarkan diri anda ataupun anggota tim diglongkan sebagai
kreatif dan tidak kreatif. Setiap orang mampu memiliki atau
mengembangkan ide baru. Dorong orang berpikir kreatif dengan memaksa
mereka datang ke tempat tertentu-membicarakan produk baru atau
memecahkan suatu masalah-dengan sejumlah ide. Semua bisa memainkan
peran kreatif, yang menekankan bahwa berpikir adalah aktivitas tim yang
diemban bersama. Terimalah pandangan dari ide yang beragam, namun
arahkan debat menuju kebulatan pandangan.
Kreativitas melibatkan pembentukan dan pemolesan ide-ide yang
diketengahkan sehingga menjadi solusi-solusi yang sesuai. Kreativitas juga
melibatkan usaha untuk mengubah data baru menjadi cara-cara praktis
yang akan memungkinkan kemajuan substansial dalam pemecahan
masalah secara efektif. Ada beberapa cirri-ciri orang yang kreatif: a)
memiliki nilai-nilai intelektual dan artistic, b) ketertarikan pada
kompleksitas, c) kepedulian pada pekerjaan dan pencapaian hasil, d)
ketekunan; tekad keras untuk mencapai tujuan, e) pemikiran yang mandiri;
mempunyai kedudukan unggul, loyal pada keputusan dan pendiriannya
sendiri, f) toleransi terhadap ambiguitas, g) otonom; memiliki kebutuhan
besar akan kebebasan, kendali, dan kebijaksanaan di tempat kerja, h)
kepercayaan diri; yakin pada kemampuan-kemampuan diri sendiri, dan i)
kesiapan mengambil resiko.
59
D. Pemecahan Masalah Tim
Kesetiaan diantara Tim perlu dibangun, sehingga semua masalah,
baik pribadi, pekerjaan atau procedural ditangani sebelum merusak
semangat kebersamaan Tim (Heller, 2001). Mengenal masalah, setiap Tim
pasti punya masalah. Kita ingin setiap individu bekerja dan berpikir hanya
untuk tim. Padahal belum tentu anggota tim kompak, tanyakan apakah
masalah yang muncul merupakan persoalan pribadi atau menyangkut
semua anggota. Jika masalah mengancam kerja semua tim, maka tidak ada
jalan lain kecuali tujuan harus mengkaji ulang semua strategi dan tujuan
pembentukan tim. Dalam membangun tim terutama pemecahan masalah
tim hal yang perlu diingat: masalah pribadi antar anggota harus diitangani
secara konstruktif, tidak pantas bereaksi terhadap suatu kesulitan sampai
kita tahu apa penyebabnya, selalu saja ada gunung baru yang harus didaki,
dan “budaya menyalahkan” harus dicegah, kalau tidak, akan mematikan
semangat tim.
XIV. PELAYANAN PRIMA
A. Pengertian
Dalam memahami pelayanan ada dua istilah yang perlu diketahui
yaitu: melayani dan pelayanan. Melayani adalah “membantu menyiapkan
(mengurus) apa yang diperlukan seseorang”. Sedangkan pelayanan adalah
“usaha melayani kebutuhan orang lain” (kamus Bhs Indonesia, 1995).
Sedangkan menurut Sutopo & Adi Suryanto (2003) bahwa pelayanan
adalah kegiatan yang ditawarkan oleh organisasi atau perorangan kepada
konsumen (yang dilayani), yang bersifat tidak terwujud dan tidak dapat
dimiliki. Pelayanan yang diberikan harus memiliki sesuai dengan standar
pelayanan, sehingga dapat menghadirkan pelayanan yang memusakan
konsumen, seperti apa yang disampaikan oleh Daviddow dan Utal (1989),
bahwa pelayanan merupakan usaha apa saja yang mempertinggi kepuasan
pelanggan.
Standar pelayanan adalah ukuran yang telah ditentukan sebagai
suatu pembakuan pelayanan yang baik. Sedangkan mutu menurut Goetsch
dan Davis (1994) merupakan kondisi dinamis yang berhubungan dengan
produk, jasa, manusia, proses dan lingkungan yang memenuhi atau
melebihi harapan pihak yang menginginkannya.
Sedangkan pelayanan prima merupakan terjemahan dari “excellent
service” , yang secara harpiah berarti pelayanan yang sangat baik atau
pelayanan yang terbaik. Terbaik di sini adalah mampu memuaskan pihak
yang dilayani, meliputi empat jenis barang menurut Savas yaitu : 1) private
goods; barang untuk kepentingan pribadi, 2) toll goods; barang yang
dikonsumsi bersama-sama dengan persyaratan apabila menggunakannya
harus membayar, 3) collective goods; barang yang digunakan bersama-sama
yang tidak bisa disediakan oleh pasar, disediakan oleh mekanisme
pemerintah dan 4) common pool; barang memiliki jenis umum yang tiap
orang tidak mau membayar.
60
B. Tujuan dan Manfaat Pelayanan Prima
Tujuan pelayanan prima adalah memberikan pelayanan yang dapat
memenuhi dan memuaskan pelanggan atau masyarakat serta memberikan
fokus pelayanan kepada pelanggan. Pelayanan prima pada sektor public
didasarkan pada aksioma bahwa “pelayanan adalah pemberdayaan” kalau
sektor swasta tentunya pelayanan selalu bertujuan atau berorientasi profite
atau keuntungan perusahaan.
Untuk itu pelayanan prima sektor public yang dilakukan
pemerintah selain memenuhi kebutuhan hajat hidup masyarakatnya,
sudah
barang
tentu
adalah
untuk
memberdayakan
bukan
memperdayakan, serta membangun kepercayan masyarakat kepada
pemerintahnya. Jadi pelayanan prima bertujuan memberdayakan
masyarakat, sehingga akan menumbuhkan keperayaan masyarakat kepada
pemerintah.
Adapun manfaat pelayanan prima adalah peningkatan kualitas
pelayanan kepada masyarakat sebagai pelanggan dan acuan untuk
pengembangan penyusunan standar pelayanan.
C. Prinsip-Prinsip Pelayanan
Dalam Kepmen Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor: 81 tahun
1993, mengetengahkan sendi-sendi pelayanan seperti:
a) Kesederhanaan; dalam artian bahwa prosedur dan tata cara pelayanan
disederhanakan secara mudah, lancer, cepat, tidak berbelit-belit, mudah
dipahami, dan mudah dilaksanakan.
b) Kejelasan dan kepastian; tentang prosedur, persyaratan pelayanan, unit
kerja, rincian biaya, jadwal waktu penyelesaian dll.
c) Keamanan; bahwa proses serta hasil pelayanan memberikan keamanan
dan kenyamanan.
d) Keterbukaan; setiap pelayanan wajib dikomunikasikan secara terbuka,
baik proses, hasil dan bentuk-bentuk pelayanan.
e) Efisien; pelayanan dibatasi pada upaya-upaya yang langsung dalam
upaya mencapai sasaran pelayanan.
f) Ekonomis; biaya pelayanan umum harus ditetapkan secara wajar.
g) Keadilan yang merata; dalam artian jangkauan pelayanan harus
diusahakan seluas mungkin dengan distribusi yang merata dan
diperlakukan secara adil.
h) Ketepatan waktu; pelayanan hendaknya diselesaikan tepat waktu.
D. Standar Mutu Pelayanan
Pelayanan pada masyarakat di masa datang hendaknya (Tjiptono,
1997): makin lama makin cepat (faster), makin baik (better), makin
diperbaharui (newer), makin murah (cheaper), dan makin sederhana (more
simple). Menurut (Creehch, 1996) dalam TQM (total quality management) dan
Tjiptono (1997) untuk menghasilkan kualitas pelayanan harus diarahkan
pada: fokus pada pelanggan, obsesi terhadap terhadap mutu, pendekatan
61
ilmiah, komitmen pada jangka panjang, kerjasama tim, perbaikan system
berkesinambungan, serta pendidikan dan pelatihan.
Dimensi pelayanan prima menurut Gaspers (1997), menyatakan
bahwa ada beberapa dimensi yang harus diperhatikan untuk
meningkatkan mutu pelayanan yaitu: ketepatan waktu pelayanan, akurasi
pelayanan, kesopanan dan keramahan, tanggungjawab, kelengkapan,
kemudahan, variasi model pelayanan, pelayanan pribadi, kenyamanan dan
atribut pendukung lainnya.
XV. ETIKA DAN MORAL
A. Pengertian
Etika berasal dari kata ”ethos”, yang berarti kebiasaan atau watak.
Etika yang berarti juga kebiasaan atau cara bergaul, berperilaku yang baik.
Dalam bahasa Indonesia disebut etiket yang berarti pola perilaku atau
kebiasaan yang baik dan dapat diterima oleh lingkungan pergaulan
seseorang atau suatu organisasi tertentu. Etika lebih merupakan nilai-nilai
perilaku yang ditunjukkan oleh seseorang atau sesuatu organisasi tertentu
dalam interaksinya dengan lingkungan (Desi Fernanda, 2003).
Sedangkan moral
”mores” (cara hidup dan kebiasaan), atau
moralitas tampak cenderung lebih merujuk kepada nilai-nilai yang
diyakini dan menjadi semangat dalam diri seseorang atau suatu organisasi
untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Maka oleh sebab itu
moral merujuk pada karakter atau sifat-sifat individu yang bersifat spontan
seperti rasa kasih, kemurahan hati, kebesaran jiwa dan sebagainya.
B. Etika dalam Organisasi
Nilai-nilai etika terungkap di dalam aturan-aturan atau hukum, baik
tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur bagaimana seseorang harus
bersikap dan berperilaku dalam interaksinya dengan orang lain dan
lingkungan masyarakatnya, termasuk juga dengan pemerintah. Menurut
Walls (1989) karakteritik yang mesti dimiliki oleh seorang anggota
organisasi antara lain:
1. Bebas dari segala urusan pribadi (personal free)
2. Setiap anggota harus mengerti tugas dan ruang lingkup jabatan atau
kedudukan dalam hirarki organisasi.
3. Setiap anggota harus mengerti dan dapat menerapkan kedudukan
hukumnya dalam organisasi, dalam arti memahami aturan yang
menetapkan kewajiban dan kewenangan dalam organisasi.
4. Setiap anggota bekerja berdasarkan perjanjian atau kontrak kerja.
5. Setiap anggota diangkat dan dipromosikan berdasarkan prestasi dan
kompetensi.
6. Setiap anggota mendapatkan konvensasi yang sesuai.
7. Anggota wajib mendahulukan tugas pokok dan fungsinya dalam
organisasi.
8. Setiap anggota ditempatkan dalam struktur dan karier yang jelas.
62
9. Setiap anggota organisasi harus disiplin dalam berperilaku kerjanya
dan untuk itu dilakukan pengawasan serta pembinaan.
C. Prinsip-prinsip Etika
Dalam buku Supriyadi (Desi Fernanda, 2003: 6) menyebutkan 6
(enam) prinsip etika yang mestinya dijalankan dalam organisasi yaitu:
1. Prinsip keindahan (beaty) ; prinsip ini mencakup penikmatan rasa
senang terhadap keindahan. Dengan filsafat bahwa hidup dan
kehidupan manusia merupakan keindahan itu sendiri.
2. Prinsip persamaan (Equality); hakekat manusia menghendaki
persamaan antara manusia yang satu dengan yang lainnya. Prinsip
persamaan ini dapat menghilangkan perilaku diskriminatif, yang
membeda-bedakan dan berbagai aspek interaksi manusia.
3. Prinsip kebaikan (goodness); perkataan baik mengandung sifat
seperti: persetujuan, pujian, keunggulan, kekaguman, atau
ketepatan, yang erat kaitannya dengan hasrat dan cita manusia.
4. Prinsip keadilan (justice); keadilan adalah kemauan yang tetap dan
kekal untuk memberikan kepada setiap orang apa yang semestinya.
5. Prinsip kebebasan (liberty); keleluasaan untuk bertindak atau tidak
bertindak berdasarkan pilihan tersedia bagi seseorang, atau dapat
bertindak menurut pilihan sendiri, kecuali jika pilihan tindakan
tersebut melanggar kebebasan yang sama dari orang lain.
6. Prinsip kebenaran (truth); kebenaran dalam pemikiran (truth in
mind), dan kebenaran dalam kenyataan (truth in reality), perlu selalu
diupayakan oleh setiap anggota organisasi.
DAFTAR BACAAN
Anonym, 2000. Developing Creativity In Organisation. Kanisius,
Yogyakarta
Arifin, Anwar, 1988. Ilmu Komunikasi. Rajawali Pers, Jakarta.
Desi Fernanda, 2003. Etika Organisasi Pemerintah. LAN, Jakarta.
Endang Lestari & Maliki, 2003. LAN, Jakarta
Gering Supriadi & Tri Guno, 2003.
Budaya Kerja Organisasi
Pemerintah. LAN, Jakarta.
Heller, Robert, 2001. Managing Team. Dian Rakyat, Jakarta
Indrawanto, 2001. Teori Administrasi Publik dan Birokrasi. Taroda,
Malang
Juni Pranoto & Wahyu Suprapti, 2003. Membangun Tim (Team
Building). LAN, Jakarta.
Jusuf Sutanto, 1999. Tai Chi & Seni Memimpin. Pustaka Snar Harapan
Jakarta.
Koeswara, 1986. Teori-Teori Kepribadian. Erresso, Bandung
Kusnadi & bambang Wahyudi, 2001. Teori dan Manajemen Konflik,
Taroda, Malang.
63
Oemi Abrrachman . 1982. Dasar-Dasar Public Relations. Penerbit
Alumni – Bandung
Onong Uchjana Effendy, 1986. Human Relations dalam Management
Penerbit Alumui – Bandung
Onong Uchjana Effendy, 1993. Human Relation dan Public Relation,
CV Mandar Maju, Bandung
Onong Uchjana Effendy, 1979. Komunikasi dan Modernisasi, Penrbit
Alumni, Bandung.
Riyono Pratikto, 1987. Berbagai Aspek Ilmu Komunikasi. Remadja
Karya, Bandung.
S.P. Siagihan, 1982, Filsafat Administrasi. PT. Gunung Agung –
Jakarta
S. Pamuji BPA, 1970. Diktat Human Relation, Dosen APDN Malang
SP. Robbin, 1994. Teori Organisasi. ARCAN, Jakarta
Steward L. Tubbis Silvia, Humna Communication: Prinsip-Prinsip
Dasar.
Sutopo & Adi Suryanto, 2003. Pelayanan Prima. LAN, Jakarta.
Teguh Meinanda, 1982. Pengantar Public Relations dalam Management.
Armico – Badung
Winardi, 2003. Teori Organisasi & Pengorganisasian. PT Rajagrafindo,
Jakarta.
64
65
Download