BAB I - Fakultas Hukum UNSOED - Universitas Jenderal Soedirman

advertisement
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Manusia adalah makhluk yang diciptakan di dunia sebagai makhluk sosial,
sejak kelahirannya manusia membutuhkan manusia lain untuk bertahan hidup,
manusia telah bergaul dengan manusia-manusia lain di dalam suatu wadah yang
bernama masyarakat. Pada awalnya, manusia berhubungan dengan orang tuanya
dengan semakin meningkatnya umur, maka semakin luas pula daya cakup
pergaulannnya dengan manusia lain di dalam masyarakat tersebut. Pada dasarnya
manusia mengetahui bahwa dalam berbagai hal dia mempunyai persamaan dengan
orang lain, sedangkan dalam hal-hal lain dia mempunyai sifat-sifat yang khas dan
berlaku bagi dirinya sendiri baik laki-laki atau perempuan.
Berdasarkan lingkungannya, manusia mulai menyadari dan mengetahui
bahwa dalam hubungannya dengan orang lain dari masyarakat itu dia bebas,
namun tidak boleh berbuat semaunya dengan kata lain bebas bertanggung jawab.
Dari ayah, ibu, saudara-saudaranya serta lingkungan masyarakat manusia belajar
tentang tindakan-tindakan apa yang boleh dilakukan dan tindakan-tindakan apa
yang terlarang (Soerjono Soekanto, 1988 : 1).
Berdasarkan hal di atas, kehidupan di dalam suatu masyarakat pada
dasarnya berpedoman pada suatu aturan yang telah lama berlaku dalam
masyarakat tersebut dan oleh sebagian masyarakat dipatuhi dan ditaati karena
merupakan pegangan baginya, jadi sejak dilahirkan manusia telah sadar bahwa
2
mereka bagian dari satu kesatuan manusia yang lebih luas lagi dan kesatuan tadi
memiliki kebudayaan.
Manusia sebagai individu mempunyai kehidupan jiwa yang menyendiri,
namun manusia sebagai makhluk sosial tidak dapat dipisahkan dari masyarakat
manusia lahir, hidup berkembang dan meninggal dunia di dalam masyarakat.
Sebagai individu, manusia tidak dapat mencapai segala sesuatu yang di
inginkannya dengan mudah, dibutuhkan usaha dan kerja keras dalam rangka
memenuhi kebutuhan manusia tersebut.
Kebutuhan manusia yang semakin
meningkat dan berkembang dalam kehidupan dewasa ini memunculkan bermacam
cara dalam usaha pemenuhannya, tidak terkecuali kebutuhan biologis guna
terciptanya regenerasi.
Sudah menjadi kodrat alam pula, bahwa pada tiap-tiap manusia yang
normal terdapat hasrat untuk melanjutkan jenisnya dengan mengadakan
keturunan. Hal ini tentu tidak dapat dilakukan orang seorang, hasrat itu menjadi
dorongan untuk adanya bentuk hidup suami isteri salah satunya dengan cara yang
formal yaitu dengan mengadakan hubungan perkawinan.
Mengingat arti
pentingnya perkawinan di dalam masyarakat, maka pemerintah mengeluarkan
Undang-Undang Perkawinan yaitu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 1
yang menyatakan bahwa : “ perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang
pria dan wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah
tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa “. Dari
definisi tersebut di dapatkan salah satu tujuan dari perkawinan adalah membentuk
keluarga (rumah tangga) yang bahagia. Di sinilah awal peran ganda dari seorang
3
perempuan, di samping sebagai isteri diharapkan dapat menjadi seorang ibu bagi
anak-anaknya di kemudian hari.
Berdasarkan kodrat sebagai perempuan untuk mewujudkan kesempurnaan
hidup menjadi seorang ibu diawali dengan melalui proses kehamilan dan di
lanjutkan proses kelahiran pada saatnya, proses yang begitu panjang dan penuh
dengan harapan bagi calon ibu dan keluarga. Harapan akan kehidupan baru untuk
menjadi seorang ibu dalam keluarganya. Suatu proses yang memberikan dampak
terhadap program-program pelayanan kesehatan ibu dan anak baik pra maupun
pasca melahirkan, adanya program-program tersebut di harapkan efektif di dalam
meningkatkan pelayanan kesehatan bagi ibu dan anak dan mengurangi angka
kematian pada ibu dan anak. Dimana hal tersebut harus didukung oleh semua
pihak-pihak terkait baik pusat, daerah maupun swasta.
Dalam rangka mewujudkan peningkatan kesehatan masyarakat Indonesia
tujuan pembangunan kesehatan adalah untuk untuk meningkatkan kesadaran,
kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat
kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya. Berdasarkan Pasal 46 UndangUndang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan bab VI pada bagian kesatu
berbunyi sebagai berikut :
Untuk mewujudkan derajat kesehatan yang setinggi-tingginya bagi
masyarakat,
diselenggarakan
upaya
kesehatan
yang
terpadu
dan
menyeluruh dalam bentuk upaya kesehatan perseorangan dan upaya
kesehatan masyarakat.
Hal ini senada dengan Pasal 12 ayat 1 UU Nomor 23 Tahun 1992 yang
berbunyi " kesehatan keluarga diselenggarakan untuk mewujudkan keluarga sehat,
4
kecil, bahagia, dan sejahtera ", sedangkan Ayat 2 menyatakan bahwa kesehatan
keluarga sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) meliputi kesehatan suami istri,
anak, dan anggota keluarga lainnya.
Mencerrnati hal tersebut di atas, hak-hak perempuan/istri harus
mendapatkan suatu pengakuan dan perlindungan berupa peraturan-peraturan atau
pun perundangundangan. Di dunia internasional pengakuan hak-hak perempuan
pertama kali muncul dari adanya piagam PBB yaitu Komisi Kedudukan
Perempuan atau Commision on the Status of Women (CSW) yang dibentuk pada
tahun 1964. Konvensi CEDAW merupakan perjanjian internasional tentang
perempuan yang paling komprehensif, menetapkan kewajiban hukum yang
mengikat untuk mengakhiri diskriminasi. Konvensi ini sering digambarkan
sebagai "international bill of rights for women". Konvensi ini merupakan satusatunya perjanjian internasional yang menegaskan hak reproduksi perempuan.
Komitmen dan perkembangan yang terjadi secara internasional tersebut
berpengaruh pula pada langkah yang dilaksanakan di Indonesia dalam menangani
masalah hak-hak perempuan terutama pada masalah kematian ibu. Pada tahun
1988 diadakan Lokakarya Kesejahteraan Ibu, yang merupakan kelanjutan
konferensi tentang kematian ibu di Nairobi setahun sebelumnya. Lokakarya
bertujuan mengemukakan betapa kompleksnya masalah kematian ibu, sehingga
penanganannya perlu dilaksanakan di berbagai sektor dan pihak terkait ( Sarwono
Prawirohardjo, 2002 : 4 ).
Berdasarkan Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun
2002/2003 angka kematian ibu di Indonesia masih berada pada angka 307 per 100
5
ribu kelahiran. Tingginya angka kematian ibu dan bayi sebesar 307 per 100 ribu
kelahiran hidup menjadi salah satu indikatornya buruknya pelayanan kesehatan
ibu dan anak. Masalah kematian ibu adalah masalah yang kompleks, meliputi
hal-hal nonteknis seperti status wanita dan pendidikan, walaupun masalah tersebut
perlu diperbaiki sejak awal, namun kurang realistis bila mengharapkan perubahan
drastis dalam tempo singkat. Karena itu diperlukan intervensi yang mempunyai
dampak nyata dalam waktu relatif pendek ( Sarwono Prawirohardjo, 2002 : 5 ).
Pemerintah Indonesia mengeluarkan beberapa strategi dan aktivitas untuk
menurunkan Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Anak (AKA)
antara lain melalui peningkaian program upaya kesehatan perorangan, program
upaya kesehatan masyarakat, program pencegahan dan pemberantasan penyakit
dan program promosi kesehatan. Di dalam Rencana Strategik Nasional Making
Pregnancy Safer (MPS) di Indonesia 2001-2010 di sebutkan bahwa dalam
konteks rencana pembangunan kesehatan menuju Indonesia sehat 2010, visi MPS
adalah " kehamilan dan persalinan di Indonesia berlangsung aman, serta bayi di
lahirkan hidup dan sehat. Sedangkan misi MPS adalah menurunkan kesakitan dan
kematian maternal dan neonatal. Melalui pemantapan sistem kesehatan untuk
menjamin akses terhadap intervensi yang cost effective berdasarkan bukti ilmiah
yang berkualitas, memberdayakan wanita, keluarga dan masyarakat melalui
kegiatan yang mempromosikan kesehatan ibu dan bayi baru lahir. Dan menjamin
agar kesehatan maternal dan neonatal dipromosikan dan dilestarikan sebagai
prioritas program pembangunan nasional. (Sarwono Prawirohardjo, 2002:1).
Masalah gizi pada kesehatan ibu, bayi baru lahir dan anak juga perlu
mendapatkan perhatian yang sama. Hal ini disebabkan karena sekitar 54%
6
kematian bayi dan balita terkait dengan kondisi gizi yang kurang. Oleh sebab itu,
peningkatan program perbaikan gizi dengan sendirinya akan berdampak pada
penurunan angka kematian bayi dan balita. (Majalah Info Forum Parlemen,
2006:6). Demikian pula dengan penyakit-penyakit yang diderita oleh ibu hamil
seperti anemia, hipertensi, hepatitis dan lain-lain dapat membawa resiko kematian
ketika akan, sedang atau setelah persalinan.
Melihat pada penyebab langsung kematian ibu yang sangat terkait dengan
kualitas prosedur klinis, maka jelas dukun tidak dapat diharapkan untuk
menangani masalah perdarahan, eklamsia, dan infeksi. Oleh sebab itu, saat ini
peningkatan persalinan oleh tenaga kesehatan terlatih menjadi sangat mendesak.
Peningkatan akses mutu tenaga kesehatan memerlukan berbagai pelatihan
disamping upaya yang menjamin bahwa mereka bekerja berdasarkan standar
sehingga memenuhi kinerja mutu yang diharapkan ( Majalah Info Forum
Parlemen, 2006 : 5 ).
Dalam rangka menunjang peningkatan pelayanan kesehatan dibutuhkan
anggaran pembangunan kesehatan, anggaran pembangunan bidang kesehatan dari
tahun ke tahun selalu ada peningkatan namun masih belum sesuai dengan
rekomendasi WHO bahwa pembiayaan pembangunan minimal 5-15% dari
pendapatan negara. Anggaran pembangunan kesehatan oleh Pemerintah, Pemda
Propinsi, dan Kabupaten/Kota masih belum ada sinkronisasi antara Pusat dan
Daerah dimana desentralisasi masih belum sesuai dengan harapan, karena masih
rendahnya dukungan dan kepedulian Pemda akan arti pentingnya kesehatan.
Di Indonesia, desentralisasi kesehatan yang dimulai tahun 2001
diharapkan dapat mendorong kebijakan dan program kesehatan yang lebih
7
berorientasi kepada kebutuhan prioritas masyarakat, namun masih menjadi suatu
pertanyaan sejauh mana harapan desentralisasi tersebut telah terwujud. Banyak
faktor baik institusi dan non-institusi mempengaruhi langsung dan tidak langsung
proses dan konteks kebijakan kesehatan (Majalah Info Forum Parlemen, 2006 : 9).
Berdasarkan pasal 1 ayat,(7) Undang-Undang No. 32 tahun 2004 tentang
Desentralisasi "Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh
pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan
pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia". Sesuai dengan
sistem desentralisasi, bahwa kewenangan pusat telah dilimpahkan kepada daerah,
dan oleh karena itu diperlukan kebijakan-kebijakan yang bersifat menyeluruh
guna meningkatkan kesehatan terutama bagi ibu dan anak di seluruh
daerah-daerah di Indonesia, khususnya di Kabupaten Banyumas.
Kebijakan kesehatan yang mendasarkan pada data dan bukti dengan
mempertimbangkan norma sosial budaya menghadapi tantangan banyak faktor.
Sementara banyak pihak sepakat pentingnya kebijakan kesehatan yang
mendasarkan pada informasi akurat dari lapangan, diperlukan suatu mekanisme
pengumpulan dan pelaporan data yang lebih baik untuk pembelajaran kebijakan.
Guna tercapainya hasil yang maksimal dalam pelaksanakan program-program
kesehatan dalam kaitannya terhadap kesehatan ibu dan anak.
Upaya percepatan penurunan angka kematian ibu dan bayi ini diharapkan
peran aktif dari semua pihak-pihak terkait baik pemerintah pusat, pemerintah
daerah maupun peranan dari pihak-pihak swasta. Dengan adanya Undang-Undang
No 32 tahun 2004 tentang desentralisasi maka pemerintah daerah memegang
8
peran penting dalam alokasi dana daerah guna mendukung program-program
kesehatan, disamping itu diharapkan pemerintah daerah mampu memanfaatkan
semaksimal mungkin semua sumber daya yang ada pada daerah tersebut dalam
upaya untuk mendukung program tersebut.
Anggaran pembangunan bidang kesehatan dari tahun ke tahun selalu ada
peningkatan namun masih belum sesuai dengan rekomendasi WHO bahwa
pembiayaan pernbangunan kesehatan minimal 5-15% dari PDB. Sedang standar
WHO untuk sebuah negara dengan kondisi layanan kesehatan yang baik minimal
adalah 15 persen dari GDP. Adapun ketentuan besarnya anggaran kesehatan
bersifat relatif tergantung kepada kemampuan keuangan negara, anggaran
kesehatan yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat secara normatif dapat dilihat
dari UU APBN. (Majalah Info Forum Parlemen, 2006:13).
Berkaitan dengan hal di atas, pada Pasal 171 ayat (1) UU No. 36 tentang
kesehatan yang berbunyi “Besar anggaran kesehatan pemerintah dialokasikan
minimal sebesar 5% (lima persen) dari anggaran pendapatn dan belanja negara di
luar gaji”. Ayat (2) “Besar anggaran kesehatan pemerintah daerah provinsi,
kabupaten/kota dialokasikan minimal 10% (sepuluh persen) dari anggaran
pendapatan dan belanja daerah di luar gaji”.
Bahwa untuk mencapai tujuan pembangunan kesehatan harus dilaksanakan
ataupun diselenggarakan secara berkeseinambungan baik oleh Pemerintah Pusat,
Pemerintah Propinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota maupun oleh masyarakat
termasuk swasta. Anggaran pembangunan kesehatan oleh Pemerintah, Pemda
Propinsi, dan Kabupaten/Kota masih belum ada sinkronisasi antara pusat dan
9
daerah dimana desentralisasi masih belum sesuai dengan harapan, karena masih
rendahnya dukungan dan kepedulian Pemda akan arti pentingnya kesehatan
khususnya kesehatan ibu dan anak tak terkecuali di Kabupaten Banyumas. Hal
inilah yang membuat penulis tertarik untuk mengkaji lebih dalam masalah
tersebut dan merumuskan dalam judul, "Kesehatan Ibu dan Anak (Studi Tentang
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kebijakan Peningkatan Kesehatan lbu dan
Anak di Kabupaten Banyumas)".
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, maka perumusan masalah
yang di kaji adalah :
1. Bagaimana pelaksanaan kebijakan peningkatan kesehatan ibu dan anak di
Kabupaten Banyumas ?
2. Faktor-faktor apa sajakah yang mempengaruhi pelaksanaan kebijakan
peningkatan kesehatan ibu dan anak di Kabupaten Banyumas ?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui pelaksanaan kebijakan peningkatan kesehatan ibu dan
anak di Kabupaten Banyumas;
2. Untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan
kebijakan peningkatan kesehatan ibu dan anak di Kabupaten Banyumas.
10
D. Kegunaan Penelitian
1. Kegunaan teoritis
a. Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan sumbangan
perkembangan ilmu pengetahuan, khususnya yang berkaitan dengan
kebijakan peningkatan kesehatan ibu dan anak ;
b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan bagi penelitian
sejenis yang akan datang dan sekaligus sebagai pembanding terhadap
penelitian-penelitian sejenis yang telah ada sebelumnya.
2. Kegunaan praktis
a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan input (mandat)
bahan pertimbangan dalam rangka pelaksanaan kebijakan peningatan
kesehatan ibu dan anak di Kabupaten Banyumas khususnya.
b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan (input) bagi
pembuat, perencana kebijakan di bidang kesehatan ibu dan anak dalam
rangka menekan angka kematian ibu, meningkatkan kualitas
kekurangan gizi anak serta peningkatan kesadaran tentang arti
pentingnya kesehatan bagi masyarakat.
11
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. HUKUM DAN MASYARAKAT
1. Definisi Hukum
Manusia adalah makhluk sosial yang selalu berinteraksi dengan
sesama manusia di dalam kehidupan bermasyarakat, interaksi tersebut
menyebabkan manusia untuk berhubungan dan saling membutuhkan. Oleh
karenanya diperlukan adanya suatu aturan-aturan atau norma-norma yang
harus ditaati oleh semua anggota masyarakat, mempunyai sanksi yang
tegas, dan berlaku tetap.
Untuk mengatur dan memberikan batasan-
batasan dalam hubungannya manusia satu dengan yang lain di dalam
kehidupan bermasyarakat.
Kumpulan dari suatu norma, sanksi, dan peraturan yang
membentuk suatu sistem dan saling mempengaruhi dapat disebut dengan
suatu hukum. Hukum memaksa karena memiliki sanksi yang tegas.
Dalam melindungi masyarakatnya negara menggunakan hukum untuk
mengatur berbagai kepentingan yang ada di dalam suatu negara.
Hukum adalah seperangkat aturan atau norma yang memiliki
kekuatan sanksi yang pelaksanaannya dapat dipaksakan oleh negara atau
aparat penyelenggara negara.
Hukum berisi seperangkat aturan yang
mengatur sebagian besar kehidupan manusia, hukum dapat di bagi dalam
dua bagian yaitu hukum tertulis dan hukum tidak tertulis. Hukum tertulis
12
dituangkan dalam bentuk pasal-pasal, dalam undang-undang yang disusun
secara sistematis dalam lembaran negara, sedangkan hukum tidak tertulis
bersandarkan pada nilai-nilai yang hidup di dalam masyarakat. Nilai-nilai
yang dimaksud adalah nilai-nilai penghormatan atas jiwa, tubuh, harta,
kehormatan dan kemerdekaan.
Tentunya terdapat fungsi dari hukum tersebut, diantaranya sebagai
fungsi sarana pembaharuan masyarakat. Di samping itu maka hukum
sebagai tata kaedah dapat berfungsi sebagai sarana untuk menyalurkan
arah kegiatan-kegiatan warga masyarakat ke tujuan yang dikehendaki oleh
perubahan yang terencana tersebut. Dari hal tersebut, maka dapat kita
ambil kesimpulan bahwa hukum sebagai alat perubahan masyarakat (a tool
social engineering).
Hukum adalah pengendali utama kegiatan kehidupan masyarakat
dalam suatu negara. Menurut Leon Duguit : “ Hukum ialah aturan tingkah
laku para anggota masyarakat, aturan yang daya penggunaannya pada saat
tertentu diindahkan oleh suatu masyarakat sebagai jaminan dari
kepentingan bersama dan yang jika dilanggar menimbulkan reaksi
bersama terhadap orang yang melakukan pelanggaran itu “. Sedangkan
menurut Prof. Mr. E.M. Meyers dalam bukunya “ De Algemene Begrippen
van het Burgelijk Recht “ memberikan definisi hukum sebagai berikut “
Hukum ialah semua aturan yang mengandung pertimbangan kesusilaan,
ditujukan kepada tingkah laku manusia dalam masyarakat dan yang
13
menjadi pedoman bagi penguasa-penguasa dalam melakukan tugasnya “
(C.S.T Kansil, 1986:36).
Lon Fuller menyatakan bahwa hukum itu sebagai usaha untuk
tujuan tertentu.
Penekanan di sini adalah pada usaha, maka dengan
sendirinya mereka mengandung resiko kegagalan. Keberhasilan usaha
tersebut tergantung pada energi, wawasan, intelegensi, dan kejujuran dari
mereka yang harus menjalankan hukum itu (Satjipto Raharjo, 1986:77).
Di dalam kehidupan bermasyarakat peristiwa-peristiwa hukum
dapat menyebabkan adanya interaksi, kontak atau hubungan satu sama
lain. Kontak dapat berarti hubungan yang menyenangkan atau hubungan
yang menimbulkan pertentangan atau konflik. Mengingat akan banyaknya
kepentingan manusia, maka tidak mustahil dapat memunculkan konflik
atau bentrokan karena kepentingan tersebut. Hal ini terjadi apabila dalam
melaksanakan atau mengupayakan pemenuhan kepentingan tersebut
seseorang merugikan orang lain.
Prof. Van Apeldoorn mengatakan bahwa tujuan hukum ialah
mengatur pergaulan hidup manusia secara damai, hukum menghendaki
perdamaian. Perdamaian di antara manusia dipertahankan oleh hukum
dengan melindungi kepentingan-kepentingan hukum manusia tertentu,
kehormatan, kemerdekaan, jiwa, harta benda terhadap pihak yang
merugikannya.
Kepentingan perseorangan selalu bertentangan dengan
kepentingan golongan-golongan manusia, pertentangan kepentingan ini
dapat menjadi pertikaian bahkan dapat menjadi peperangan, seandainya
14
hukum tidak bertindak sebagai perantara untuk mempertahankan
perdamaian (C.S.T Kansil, 1984:42).
Hukum mempertahankan perdamaian dengan memperhatikan
kepentingan yang bertentangan itu sendiri secara teliti dan mengadakan
keseimbangan diantaranya, karena hukum hanya dapat mencapai tujuan
jika hukum tersebut menuju peraturan yang adil.
Keadilan tidak
dipandang sama arti dengan pemerataan, keadilan bukan berarti bahwa
tiap-tiap orang memperoleh bagian yang sama.
Hukum bertujuan menjamin adanya kepastian hukum tersebut
dalam masyarakat dan tentunya hukum itu harus bersendikan pada
keadilan yaitu asas-asas keadilan dari masyarakat itu. Untuk menjaga agar
peraturan-peraturan hukum itu dapat berlangsung terus dan diterima oleh
seluruh anggota masyarakat, maka peraturan-peraturan hukum yang ada
harus sesuai dan tidak boleh bertentangan dengan asas-asas keadilan dari
masyarakat tersebut. Jelas disini, bahwa hukum mempunyai tugas untuk
menjamin adanya kepastian hukum dalam masyarakat. Selain itu dapat
pula disebutkan bahwa hukum menjaga dan mencegah agar setiap orang
tidak menjadi hakim atas dirinya sendiri tidak mengadili dan menjatuhi
hukuman terhadap setiap pelanggaran hukum terhadap dirinya. Namun
tiap perkara, harus diselesaikan melalui proses pengadilan, dengan
perantara hakim berdasarkan ketentuan hukum-hukum yang berlaku.
15
2. Azas-azas Hukum
Pembentukan suatu kehidup bersama yang baik di dalam
masyarakat hukum dituntut pertimbangan tentang azas atau dasar dalam
membentuk hukum supaya sesuai dengan cita-cita dan kebutuhan hidup
bersama. Dengan demikian, azas hukum adalah prinsip-prinsip yang
dianggap dasar atau fundamen hukum, azas-azas itu dapat juga disebut
titik tolak dalam pembentukan undang-undang dan interprestasi undangundang tersebut. Oleh karena itu azas hukum ini merupakan jantungnya
peraturan hukum karena merupakan landasan yang paling luas bagi
lahirnya suatu peraturan hukum.
Berdasarkan keterangan di atas, jelaslah semua peraturan hukum
harus dapat dikembalikan pada azas hukumnya. Azas hukum ini disebut
sebagai alasan bagi lahirnya peraturan hukum, tidak ada hukum yang bisa
dipahami tanpa mengetahui azas-azas hukum yang ada didalamnya. Oleh
karena itu, untuk memahami hukum suatu bangsa dengan sebaik-baiknya
tidak bisa hanya melihat pada peraturan-peraturan hukumnya saja,
melainkan harus menggalinya sampai kepada azas-azas hukumnya. Azas
hukum inilah yang memberi makna etis kepada peraturan-peraturan
hukum serta tata hukum.
Azaz hukum itu bersifat dinamis, namun menurut Scholten ada
azas hukum yang bersifat universal yang berlaku kepada siapa saja dan
dimana saja tidak terpengaruh waktu dan tempat. Disebutnya ada lima
azas hukum universal yaitu : azas kepribadian, azas persekutuan, azas
16
kesamaan, azas kewibaan, dan azas pemisahan antara baik dan buruk.
Empat azas hukum universal yang pertama dalam setiap sistem hukum,
tidak ada sistem hukum yang tidak mengenal ke empat azas-azas hukum
universal tersebut.
Ada kecenderungan dari ke empat azas hukum
universal yang pertama itu untuk menuju dan mendesak yang lain, ada
suatu masyarakat atau massa tertentu yang menghendaki azas hukum
universal yang satu daripada yang lain. Keempat azas universal tersebut
yang pertama di dukung oleh pikiran bahwa dimungkinan memisahkan
antara baik dan buruk (azas hukum yang kelima), kaedah hukum adalah
pedoman tentang apa yang seyogyannya dilakukan dan apa yang
seyogyannya tidak dilakukan. Ini berarti pemisahan antara yang baik dan
buruk (Sudikno Mertokusumo, 1996:9).
Azas hukum merupakan unsur yang penting dan pokok dari
peraturan hukum merupakan landasan yang paling luas bagi lahirnya suatu
peraturan hukum. Ini berarti, bahwa peraturan-peraturam hukum itu pada
akhirnya bisa dikembalikan kepada azas-azas tersebut. Kecuali disebut
landasan, azas hukum ini layak disebut sebagai alasan bagi lahirnya
peraturan hukum, azas hukum ini tidak akan kehilangan kekuatannya
dengan melahirkan suatu peraturan hukum, dan akan tetap ada serta akan
menghasilkan peraturan-peraturan selanjutnya.
Hukum bukan sekedar
kumpulan dari peraturan-peraturan belaka, hal ini disebabkan oleh karena
azas itu mengandung nilai-nilai dan tuntutan-tuntutan etis. Karena azas
hukum mengandung tuntutan etis, maka azas hukum merupakan jembatan
17
antara peraturan-peraturan hukum dengan cita-cita sosial dan pandangan
etis masyarakatnya.
Paul Scholten menyatakan bahwa azas hukum dengan tuntutan
etisnya itu terdapat di dalam hukum positif tetapi sekaligus melampaui
hukum positif dengan menunjuk kepada suatu penilaian etis. Bagaimana
azas hukum itu bisa memberikan penilaian etis terhadap hukum positif
apabila tidak langsung berada di luar hukum tersebut. Keberadaan di luar
hukum positif ini adalah untuk menunjukkan betapa azas hukum itu
mengandung nilai etis yang self evident bagi yang mempunyai hukum
positif (Satjipto Rahardjo, 1986:89).
Mengenai batasan pengertian azas hukum dapat dilihat beberapa
pendapat para ahli, diantaranya Van Eikema Hommes mengatakan bahwa
azas hukum itu tidak boleh dianggap sebagai norma-norma hukum yang
konkret, akan tetapi perlu dipandang sebagai dasar-dasar umum atau
petunjuk-petunjuk bagi hukum yang berlaku. Pembentukan hukum praktis
perlu berorientasi pada azas-azas hukum tersebut. Dengan kata lain azas
hukum ialah dasar-dasar petunjuk arah dalam pembentukan hukum positif.
Menurut Scholten, bahwa azas hukum adalah kecenderungan yang
disyaratkan oleh pandangan kesusilaan kita pada hukum, merupakan sifatsifat umum dengan segala keterbatasannya sebagai pembawaan yang
umum itu, tetapi yang tidak boleh tidak harus ada.
18
Azas-azas hukum menurut Theo Huijbers ada tiga macam, yaitu
sebagai berikut :
a.
Azas-azas hukum objektif yang bersifat moral. Prinsip-prinsip itu
telah ada pada pemikir zaman klasik dan abad pertengahan.
b.
Azas-azas hukum objektif yang bersifat rasional, yaitu prinsip-prinsip
yang termasuk pengertian hukum dan aturan hidup bersama yang
rasional. Prinsip ini juga telah diterima sejak dahulu, tetapi baru
diungkapkan secara nyata sejak mulainya zaman modern, yakni sejak
timbulnya negara-negara nasional dan hukum yang dibuat oleh kaum
yuris secara profesional.
c.
Azas-azas hukum subyektif yang bersifat moral maupun rasional,
yakni hak-hak yang ada pada manusia dan yang menjadi titik tolak
pembentukan hukum. Perkembangan hukum paling tampak pada
bidang ini (Ishaq, 2007:76).
Selanjutnya azas hukum menurut Sudikno Mertokusumo, dibagi
menjadi dua yaitu :
a.
Azas hukum umum ialah azas hukum yang berhubungan dengan
seluruh bidang hukum, seperti azas restitution in integrum, azas lex
posteriori derogate legi priori, azas bahwa apa yang lahirnya tampak
benar, untuk sementara harus dianggap demikian sampai diputus oleh
hakim.
b.
Azas hukum khusus berfungsi dalam bidang yang lebih sempit seperti
dalam bidang hukum perdata, hukum pidana dan sebagainya yang
19
sering merupakan penjabaran dari azas hukum umum, sering
merupakan penjabaran dari azas hukum umum, seperti azas pacta sunt
survenda,
azas
konsensualisme,
azas
praduga
tak
bersalah
(presumption of innocence).
Berdasarkan hal di atas, dapat dikemukakan bahwa azas hukum itu
bukanlah norma hukum yang konkret, karena hal tersebut adalah dasar
pemikiran yang umum, abstrak dan mendasari lahirnya setiap peraturan
hukum. Dengan demikian, perbedaan antara azas dan norma adalah :
a. Azas merupakan dasar pemikiran yang umum dan abstrak, sedangkan
norma merupakan peraturan yang riil.
b. Azas adalah suatu ide atau konsep, sedangkan norma adalah
penjabaran dari ide tersebut.
c. Azas hukum tidak punya sanksi, sedangkan norma mempunyai sanksi
(Ishaq, 2007:77).
3. Unsur-unsur hukum
Di dalam Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 menjelaskan dengan, bahwa negara Indonesia berdasarkan atas
hukum
(rechtsstaat),
tidak
berdasarkan
atas
kekuasaan
belaka
(machtsstaat). Bahwa kedaulatan atau kekuasaan tertinggi dalam negara
tidak didasarkan kepada kekuatan kekuasaan semata tetapi didasarkan
kepada hukum, dalam arti cita hukum (rechtsidee) yang di dalamnya
mengandung cita-cita luhur bangsa Indonesia. Republik Indonesia ialah
negara hukum yang demokratis berdasarkan Pancasila dan Undang-undang
20
Dasar 1945, menjunjung tinggi hak asasi manusia dan menjamin segala
warga
negara
bersamaan
kedudukannya
di
dalam
hukum
dan
pemerintahan, serta wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu
dengan tidak ada kecualinya.
Di Negara Republik Indonesia hukum bersumber kepada Pancasila.
Hukum yang adil adalah hukum yang bersumber kepada kepribadian dan
filsafat hidup bangsa Indonesia yang mencerminkan rasa keadilan bangsa
Indonesia, maupun melindungi kepentingan-kepentingan material dan
spiritual dan mampu melindungi kepribadian dan kesatuan bangsa,
kelangsungan hidup bangsa dan negara serta perjuangan mewujudkan citacita nasional.
Masalah hukum tidak dapat dipisahkan dengan masyarakatmasyarakat tertentu, di daerah tertentu dan pada waktu tertentu.
Masyarakat adalah masyarakat manusia yang berkedudukan dan
berkepribadian.
Karena fungsi hukum mengatur hubungan kehidupan
manusia dalam masyarakat mempunyai tujuan pula untuk melindungi
kepentingan-kepentingan. Maka dari itu materi hukum di Indonesia harus
digali dan dibuat dari nilai-nilai dan norma-norma yang terkandung dalam
masyarakat Indonesia. Baik mengenai kesadaran dan cita-cita hukum,
cita-cita
moral,
kemerdekaan
individu,
kemerdekaan
bangsa,
perikemanusiaan, keadilan sosial, perdamaian, cita-cita politik, sifat
bentuk dan tujuan negara, kehidupan kemasyarakatan, keagamaan dan
sebagainya (C.S.T Kansil, 1986:539).
21
Hukum tidak tergantung pada kehendak manusia, yaitu hukum
adalah suatu kekuatan memerintah yang terdapat dalam perasaan hukum
manusia, yang sering memaksa manusia bertindak juga yang bertentangan
dengan kehendak atau kecenderungan manusia itu sendiri. Bukan hanya
manusia saja yang dibawah perintah oleh hukum, negara pun dibawah
perintah oleh hukum itu. Utrecht memberikan batasan hukum sebagai
berikut : “ Hukum adalah himpunan peraturan-peraturan (perintah-perintah
dan larangan-larangan) yang mengurus tata tertib suatu masyarakat dan
karena itu harus ditaati oleh masyarakat itu “.(Ishaq, 2007:3).
J.C.T Simorangkir dan Woerjono Sastropranoto memberikan
definisi hukum sebagai berikut : “ Hukum itu ialah peraturan-peraturan
yang bersifat memaksa, yang menentukan tingkah laku manusia dalam
lingkungan masyarakat yang diberikan oleh badan-badan resmi yang
berwajib, pelanggaran mana terhadap peraturan-peraturan tadi berakibat
diambilnya tindakan, yaitu dengan hukuman tertentu “. Dari beberapa
perumusan tentang hukum tersebut di atas, dapatlah diambil kesimpulan
bahwa hukum itu meliputi beberapa unsur, yaitu :
a.
Peraturan
mengenai
tingkah
laku
manusia
dalam
pergaulan
masyarakat;
b.
Peraturan itu diadakan oleh badan-badan resmi yang berwajib;
c.
Peraturan itu bersifat memaksa;
d.
Sanksi terhadap pelanggaran tersebut adalah tegas (C.S.T Kansil,
1986:38-39).
22
Pengertian dan azas itu penting untuk dipahami karena masingmasing mempunyai makna yang berbeda sebagaimana tampak dalam
unsur-unsur hukum (gegevens van het recht) yang terdiri dari unsur ideal
dan unsur riil. Unsur ideal, karena sifatnya yang sangat abstrak yang tidak
dapat diraba dengan panca indera tetapi kehadirannya dapat dirasakan.
Unsur ini bersumber pada diri manusia itu sendiri yang berupa cipta, karsa
dan rasa. Unsur cipta harus diasah, yang dilandasi logika dari beraspek
kognitif, yakni mempunyai metodik, sistematik dan pengertian. Unsur ini
menghasilkan ilmu tentang pengertian. Unsur karsa harus diasuh, yang
dilandasi etika dan beraspek konatif. Adapun unsur rasa harus diasih, yang
dilandasi estetika dan beraspek efektif. Karsa (etika) dan rasa (estetika)
menghasilkan nilai, azas, dan kaedah (Ishaq, 2007:4).
Nilai dan azas menjadi objek kajian filsafat hukum, sedangkan
kaedah menjadi objek kajian ilmu tentang kaedah. Di samping itu, unsur
riil karena sifatnya yang konkret bersumber pada manusia, alam, dan
kebudayaan yang akan melahirkan ilmu tentang kenyataan. Unsur ini
mencakup aspek ekstern sosial dalam pergaulan hidup dalam masyarakat.
Di bagian lain untuk memahami hubungan ilmu-ilmu hukum
dengan hukum positif (tertulis) perlu ditinjau sejenak tentang adanya
unsur-unsur hukum. Unsur-unsur hukum tersebut mencakup unsur idiil
serta unsur riil. Unsur idiil tersebut mencakup hasrat susila dan rasio
manusia; hasrat susila menghasilkan azas-azas hukum (rechtsbeginzelen,
misalnya : tidak ada hukuman tanpa kesalahan), sedangkan rasio manusia
23
menghasilkan pengertian-pengertian hukum (rechtsbegrippen, misalnya :
subyek hukum, hak dan kewajiban, dan seterusnya). Unsur riil terdiri dari
manusia, kebudayaan materiil dan lingkungan alam. Apabila unsur idiil
kemudian menghasilkan kaedah-kaedah hukum melalui filsafat hukum dan
” normwissenschaft atau sollenwissenshaft “, maka unsur ini rill kemudian
menghasilkan tata hukum (Soerjono Soekanto, 1986:4).
4. Hubungan Hukum Dengan Masyarakat
Manusia mempunyai hasrat untuk hidup bersama semenjak
dilahirkan, merupakan suatu keharusan badaniah untuk melangsungkan
hidupnya. Hidup bersama sebagai perhubungan antara individu berbedabeda tingkatannya, misalnya hubungan suami-istri dalam rumah tangga,
keluarga, suku bangsa dan negara. Persatuan manusia yang timbul dari
kodrat yang sama tersebut lazim disebut masyarakat. Jadi masyarakat itu
terbentuk apabila dua orang atau lebih hidup bersama, sehingga dalam
pergaulan hidup itu timbul berbagai hubungan atau pertalian yang
mengakibatkan bahwa yang seorang dan yang lain saling kenal mengenal
dan pengaruh mempengaruhi.
Masyarakat tidak hanya merupakan kumpulan sejumlah manusia,
melainkan tersusun pula dalam pengelompokan-pengelompokan dan
pelembagaan-pelembagaan.
Kepentingan
para
anggota
masyarakat
tidaklah senantiasa sama, namun kepentingan yang sama mendorong
timbulnya
pengelompokan
pengelompokan-pengelompokan
diantara
itu
mereka
timbul
itu.
pula
Disamping
pelembagaan-
24
pelembagaan yang menunjukkan adanya suatu usaha bersama untuk
menangani suatu bidang persoalan di masyarakat (Satjipto Rahardjo,
1986:95).
Keanekaragaman
persoalan
anggota
masyarakat
tersebut
memerlukan aturan-aturan yang dapat menjamin keseimbangan agar dalam
hubungan-hubungan itu tidak menimbulkan kekacauan dalam masyarakat.
Untuk menjamin hubungan-hubungan itu diperlukan aturan-aturan hukum
yang diadakan atas kehendak dan kesadaran tiap-tiap anggota masyarakat,
peraturan-peraturan hukum yang bersifat mengatur dan memaksa anggota
masyarakat untuk patuh mentaatinya, sehingga terdapat keseimbangan
dalam
tiap
perhubungan
dalam
masyarakat.
Setiap
hubungan
kemasyarakatan tidak boleh bertentangan dengan ketentuan-ketentuan
dalam peraturan hukum yang ada dan berlaku dalam masyarakat.
Hukum sebagai perangkat ide diwujudkan melalui berbagai
kelembagaan di dalam masyarakat. Dalam rangka melihat hukum dari
sudut pengorganisasian sosialnya tidak membatasi bekerjanya lembaga
hukum itu hanya melihat apa yang ditentukan secara normatif, misalnya
saja mengenai pengadilan dengan mendasarkan pada undang-undang
tentang kekuasaan kehakiman, tetapi juga memperhatikan aspek-aspek
informal suatu organisasi. Artinya, keseluruhan dari jalinan hubungan
yang tidak ditentukan dalam pengaturan organisasi tersebut, baik di antara
anggota organisasi maupun dalam hubungan antara organisasi dengan
dunia luarnya.
25
Hukum tidak hanya sebagai sarana penyelesaian sengketa, namun
juga mengatur kehidupan manusia secara luas dan menyeluruh.
Baik
dalam lapangan yang sifatnya individual (privat) maupun yang bersifat
komunal atau umum (public).
Seluruh aspek kehidupan manusia di
masyarakat saat ini tidak akan lepas dari hukum dalam upaya
penyelesaiannya. Dan barangsiapa yang mencoba untuk menyelesaikan
masalahnya melalui jalur lain di luar jalur hukum maka akan melekat
padanya suatu statement buruk yang dikenal sebagai eigenrichting yang
diterjemahkan sebagai main hakim sendiri.
Penegakan hukum berasal dari masyarakat dan bertujuan untuk
mencapai kedamaian di dalam masyarakat. Setiap warga masyarakat atau
kelompok sedikit banyaknya mempunyai kesadaran hukum, persoalan
yang timbul adalah taraf kepatuhan hukum, yaitu kepatuhan hukum yang
tinggi, sedang, atau kurang. Adanya derajat kepatuhan hukum masyarakat
terhadap hukum merupakan salah satu indikator berfungsinya hukum yang
bersangkutan (Ishaq, 2007:248).
Apabila kita memperhatikan, bahwa hukum tidak dapat dipisahkan
dengan masyarakat, maka ada alasan pula untuk mengatakan bahwa
sumber hukum adalah masyarakat.
Tetapi hal ini masih memerlukan
penjelasan lebih lanjut, yang dimaksud masyarakat disini adalah hubungan
individu dengan individu dengan masyarakat dalam kehidupan bersama
(bermasyarakat). Sumber hukum disini sebenarnya adalah kesadaran
masyarakat tentang apa yang dirasakan adil dalam mengatur hidup
26
kemasyarakatan yang tertib dan damai. Jadi sumber hukum tersebut harus
mengalirkan aturan-aturan hidup (kaedah-kaedah hidup) yang adil dan
sesuai dengan perasaan atau kesadaran masyarakat
yang dapat
menciptakan suasana damai dan teratur karena kepentingan mereka
diperhatikan (dilindungi) (C.S.T Kansil, 1986:540).
Setiap gangguan atau pelanggaran peraturan hukum yang ada di
masyarakat, akan dikenakan sanksi yang berupa hukuman sebagai reaksi
terhadap perbuatan yang pelanggaran hukum yang dilakukannya. Akan
tetapi walaupun hukum itu tidak dapat kita lihat namun sangat penting
berlaku bagi kehidupan masyarakat, karena hukum itu mengatur hubungan
antara anggota masyarakat seorang dengan yang lain serta hubungan
antara anggota masyarakat itu dengan masyarakatnya. Artinya, hukum itu
mengatur hubungan antara manusia perseorangan dengan masyarakat.
Jelaslah bahwa dalam rumusan yang sederhana, dalam masyarakat
terdiri dari pribadi-pribadi dan kelompok-kelompok yang di dalam
kehidupannya berkaitan secara langsung dengan penentuan pilihan
terhadap apa yang ada di dalam lingkungan sekitarnya. Pilihan-pilihan
yang dapat dilakukan, dibatasi oleh suatu kerangka tertentu.
Hukum
memberikan suatu peta atau bagan bagi hubungan-hubungan yang
dilakukan oleh anggota-anggota masyarakat satu terhadap yang lain.
Secara sederhana dapat dikatakan, bahwa derajat kepatuhan masyarakat
terhadap hukum merupakan salah satu indikator berfungsinya hukum yang
bersangkutan.
27
Pembinaan hukum harus mampu mengarahkan dan menampung
kebutuhan-kebutuhan hukum sesuai dengan tingkat-tingkat kemajuan
pembangunan di segala bidang sehingga tercapai ketertiban dan kepastian
hukum dalam masyarakat, yang mengarah kepada peningkatan pembinaan
persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia.
5. Fungsi Hukum
Hukum bekerja dengan cara mengatur perbuatan seseorang atau
hubungan antara orang-orang dalam masyarakat.
Untuk keperluan
pengaturannya maka hukum menjabarkan pekerjaannya dalam berbagai
fungsinya. Dengan demikian, fungsi hukum adalah menertibkan dan
mengatur pergalulan dalam masyarakat serta menyelesaikan masalahmasalah yang timbul.
Fungsi hukum menurut Lawrence M. Friedman, yaitu :
a.
Pengawasan/pengendali sosial (social control)
Pengendalian sosial dari hukum, pada dasarnya dapat diartikan
suatu sistem yang mendidik, mengajak bahkan memaksa warga
masyarakat agar berperilaku sesuai dengan hukum. Dengan kata lain,
dari sudut sifatnya dapat dikatakan bahwa pengendalian sosial dapat
bersifat preventif maupun represif. Preventif merupakan suatu usaha
untuk mencegah terjadinya perilaku menyimpang, sedangkan represif
bertujuan untuk mengembalikan keserasian yang terganggu (Ishaq,
2007:10).
28
Fungsi hukum yang telah banyak diketahui oleh umum ini
adalah fungsi hukum sebagai suatu mekanisme pengendalin sosial.
Mekanisme pengendalian sosial merupakan suatu proses yang telah
direncanakan lebih dahulu dan bertujuan untuk menganjurkan,
mengajak, menyuruh, atau bahkan memaksa anggota-anggota
masyarakat agar supaya mematuhi norma-norma hukum atau tata
tertib hukum yang sedang berlaku.
b.
Penyelesaian sengketa (dispute settlement)
Hukum sebagai sarana penyelesaian sengketa. Persengketaan
atau perselisihan dapat dengan mudah terjadi di dalam masyarakat,
antara keluarga yang dapat meretakkan hubungan keluarga, antara
mereka dalam suatu urusan bersama (company), yang dapat
membubarkan kerjasama. Sengketa dapat mengenai perkawinan atau
waris, kontrak, tentang batas tanah, dan sebagainya. Sengketa atau
perselisihan pastinya memerlukan suatu penyelesaian.
Cara-cara penyelesaian sengketa dalam suatu masyarakat, ada
yang diselesaikan melalui lembaga formal yaitu pengadilan dan ada
juga yang diselesaikan dengan sendiri oleh orang-orang yang
bersangkutan dengan mendapat bantuan orang yang ada di sekitarnya.
Hal ini telah dijelaskan oleh T.O. Ihromi, yaitu “ dalam masyarakat
manapun sebenarnya banyak sengketa diselesaikan sendiri oleh orangorang yang bersangkutan dengan bantuan orang-orang yang ada di
sekitarnya. Dalam proses penyelesaian sengketa terutama di daerah
29
pedesaan, sering terdapat beberapa tokoh yang diakui pengaruhnya
oleh orang-orang sekitarnya dan yang mempunyai peranan yang lebih
penting dibandingkan dengan orang-orang lain. Mereka itu pimpinan
informal, dan diakui oleh masyarakat sekitarnya sebagai juru bicara,
yang di dapat menyuarakan norma yang berlaku sehingga dapat
mengukur sampai berapa jauh terjadi pelanggaran norma dan apa yang
harus diwajibkan kepada pelanggar supaya yang telah dilanggar itu
dapat diluruskan kembali “ (Ishaq, 2007:12).
c.
Rekayasa Sosial (Social Engineering)
Hukum sebagai sarana rekayasa sosial menurut Satjito
Rahardjo, tidak saja digunakan untuk mengukuhkan pola-pola
kebiasaan dan tingkah laku yang terdapat dalam masyarakat,
melainkan juga untuk mengarahkan pada tujuan yang dikehendaki,
menghapuskan
kebiasaan
yang
dipandang
tidak
sesuai
menciptakan pola-pola kelakuan baru dan sebagainya.
lagi
Dengan
demikian, hukum dijadikan sebagai sarana untuk melakukan
perubahan masyarakat.
Sebagai sarana social engineering, hukum merupakan suatu
sarana
yang ditujukan untuk
mengubah
perikelakuan
warga
masyarakat, dan kegiatan-kegiatan warga masyarakat ke tujuan yang
dikehendaki oleh perubahan yang terencana tersebut.
Masyarakat
yang keadaannya tenang dan tentram biasanya lebih berhasil
mempergunakan hukum sebagai sarana pengendali sosial. Dengan
30
demikian, maka pengendalian sosial bertujuan untuk mencapai
keseimbangan
antara
stabilitas
dengan
perubahan
di
dalam
masyarakat.
Tujuan yang ingin dicapai dengan pengendalian sosial adalah
suatu kedamaian melalui keseimbangan antara kepastian hukum
dengan kesebandingan. Maka, dari sudut sifatnya dapat dikatakan
bahwa pengendalian sosial dapat bersifat preventif atau represif, atau
bahkan keduanya. Preventif merupakan suatu pencegahan terhadap
terjadinya gangguan-gangguan pada keseimbangan antara stabilitas
dengan fleksibilitas, sedangkan usaha-usaha yang bersifat represif
bertujuan
untuk
mengembalikan
keseimbangan
yang
pernah
mengalami gangguan (Soerjono Soekanto, 1988:180).
Berdasarkan hal di atas memang benar bahwa hukum merupakan
sarana pengendalian sosial, akan tetapi di lain pihak hukum juga berfungsi
sebagai sarana untuk mempelancar proses interaksi sosial (”law as a
facilitation of human interaction”). Mana yang lebih utama senantiasa
tergantung pada bidang hukum yang dipersoalkan dan kadang-kadang
kedua fungsi tadi berkaitan dengan eratnya, sehingga sulit untuk
dibedakan secara tegas.
Akan tetapi adalah kurang tepat dengan
menyatakan bahwa kedua adalah penting, semata-mata untuk mengatasi
masalah.
Fungsi hukum nasional kita adalah pengayoman. Hukum dengan
aturan-aturan hukum yang bersumber pada rasa keadilan (bagi bangsa
31
Indonesia adalah Pancasila), melindungi segenap bangsa Indonesia,
seluruh tumpah darah Indonesia, cita-cita dan tujuan bangsa Indonesia,
masyarakat Indonesia dan individu-individu, terhadap pelaksanaan
pembangunan (hukum harus berfungsi sebagai sarana penunjang
perkembangan modernisasi dan pembangunan menyeluruh). Karena fungsi
hukum yang mengatur hubungan kehidupan manusia dalam masyarakat
mempunyai tujuan pula untuk melindungi kepentingan-kepentingan.
Hukum yang berfungsi sebagai sarana penunjang perkembangan
modernisasi dan pembangunan yang menyeluruh dapat dilakukan dengan :
1.
Peningkatan dan penyempurnaan hukum nasional antara lain dengan
mengadakan pembaharuan, kodifikasi serta unifikasi hukum di bidang
tertentu dengan jalan memperhatikan kesadaran hukum dalam
masyarakat.
2.
Menertibkan fungsi lembaga-lembaga hukum menurut proporsinya
masing-masing.
3.
Peningkatan kemampuan dan kewibawaan penegak-penegak hukum.
4.
Memupuk kesadaran hukum dalam masyarakat dan membina sikap
para penguasa dan para pejabat pemerintahan ke arah penegakan
hukum, keadilan terhadap perlindungan terhadap harkat dan martabat
manusia, dan ketertiban serta kepastian hukum sesuai dengan Undangundang Dasar 1945 (C.S.T Kansil, 1986:547).
Hukum tidak tergantung pada kehendak manusia, yaitu hukum
adalah suatu kekuatan memerintah yang terdapat dalam perasaan hukum
32
manusia yang sering memaksa manusia bertindak juga yang bertentangan
dengan kehendak atau kecenderungan manusia itu sendiri. Bukan hanya
manusia saja yang dibawah perintah oleh hukum, negara juga dibawah
perintah hukum itu.
Hukum berdaulat, yaitu di atas segala sesuatu
termasuk negara. Oleh karena itu menurut Krabbe, negara yang baik
adalah negara hukum (rechtstaat), tiap tindakan negara harus dapat
dipertanggungjawabkan pada hukum.
B. KEBIJAKAN PUBLIK
1. Definisi Kebijakan Publik
Istilah policy seringkali penggunaanya saling dipertukarkan dengan
istilah-istilah lain seperti tujuan (goals) program, keputusan, undangundang, ketentuan-ketentuan, usulan-usulan dan rancangan-rancangan
besar.menurut perserikatan bangsa-bangsa, kebijakan itu di artikan sebagai
pedoman untuk bertindak. Pedoman itu boleh jadi amat sederhana atau
kompleks, bersifat umum atau khusus, luas atau sempit, kabur atau jelas,
longgar atau terperinci, bersifat kualitatif atau kuantitatif, publik atau
privat. Kebijaksanaan dalam maknanya seperti ini mungkin berupa suatu
deklarasi mengenai suatu dasar pedoman bertindak, suatu arah tindakan
tertentu, suatu program mengenai aktivitas-aktivitas tertentu atau suatu
rencana (Solichin Abdul W, 1997:2).
Istilah kebijaksanaan dewasa ini lebih sering dan secara luas
di pergunakan dalam kaitannya dengan tindakan-tindakan atau kegiatankegiatan pemerintah serta perilaku negara pada umumnya. Dalam kaitan
33
inilah maka mudah dipahami jika kebijaksanaan itu acapkali diberikan
makna sebagai tindakan politik, menurut Carl Friedrich menyatakan
bahwa kebijaksanaan adalah suatu tindakan yang mengarah pada tujuan
yang diusulkan oleh seseorang, kelompok atau pemerintah dalam
lingkungan tertentu sehubungan dengan adanya hambatan-hambatan
tertentu seraya mencari peluang-peluang untuk mencapai tujuan atau
mewujudkan sasaran yang diinginkan (Solichin Abdul W, 1997:3).
Di dalam masyarakat yang sederhana sejumlah kecil orang dapat
memutuskan segala urusan dan mengetahui semuanya yang terjadi. Akan
tetapi, di dalam masyarakat yang lebih kompleks suatu keputusan di
konsultasikan bersama (to be shared) di delegasikan dan di lembagakan
dalam saluran-saluran yang rutin. Proses kebijakan publik adalah
berhubungan dengan lembaga elit dan pengikut-pengikutnya yang
mempunyai ketidaksamaan satu sama lain.
Suatu usaha untuk membedakan antara pembuatan kebijaksanaan
dengan pembuatan keputusan pada umumnya dan pembuatan keputusan
pemerintahan pada khususnya sering dilakukan dengan tanpa memberikan
kepuasan. Banyak orang menapsiri bahwa public policy adalah hasil dari
suatu pemerintahan dan administrasi negara adalah sarana untuk
mempengaruhi terjadinya hasil-hasil tersebut. Dengan demikian, public
policy lebih diartikan sebagai apa yang di kerjakan oleh pemerintah
dibandingkan daripada bagaimana proses hasil-hasil itu di buat. Proses
pembuatan kebijaksanaan atau public policy itu tidak mudah. Ia
34
memerlukan suatu rasa tanggung jawab yang tinggi dan suatu kemauan
untuk mengambil inisiatif dan resiko. Jarang orang-orang bisa memahami
mengapa dan bagaimana suatu keputusan itu dibuat (Miftah Thoha,
1984:54-55).
Policy adalah suatu peristiwa yang ditimbulkan baik untuk
mendamaikan claim dari pihak-pihak yang konflik, atau untuk
menciptakan incentive bagi tindakan bersama bagi pihak-pihak yang ikut
menciptakan tujuan, tetapi mendapatkan perlakuan yang tidak rasional
dalam usaha bersama tersebut. Dengan demikian, jika ada pihak-pihak
yang konflik usaha untuk mengatasinya antara lain dihasilkan suatu policy.
Bentuk lain jika terjadi beberapa pihak yang bersama-sama ikut
menentukan tujuan yang ingin dicapai bersama, akan tetapi dalam
perjalanan ada pihak-pihak yang mendapatkan perlakuan yang tidak sama
dan tidak rasional. Maka, diciptakan suatu tindakan yang berupa policy
yang dapat mendorong agar diciptakan situasi yang rasional. Policy
semacam ini merupakan dorongan atau incentive bagi pihak-pihak yang
sudah sepakat menentukan tujuan bersama tersebut untuk bersama-sama
bekerja secara rasional.
Public policy menurut Thomas R. Dye adalah apa pun yang dipilih
oleh pemerintah untuk dilakukan ataupun tidak dilakukan (whatever
government choose to do or not to do). Dalam pengertian seperti ini, maka
pusat perhatian dari public policy tidak hanya pada apa saja yang
dilakukan oleh pemerintah, melainkan termasuk juga apa saja yang tidak
35
dilakukan oleh pemerintah. Justru dengan apa yang tidak dilakukan
pemerintah ini mempunyai dampak yang cukup besar terhadap masyarakat
seperti halnya dengan tindakan-tindakan yang dilakukan oleh pemerintah.
Dapat dibayangkan betapa besar pengaruhnya terhadap masyarakat jika
pemerintah mendiamkan atau tidak melakukan tindakan apa-apa terhadap
kejahatan yang semakin merajalela dalam masyarakat, dengan demikian
tindakan tidak melakukan apa-apa merupakan policy yang diambil
pemerintah. (Miftah Thoha, 1984:62).
2. Azas-azas Kebijakan Publik
Kebijakan bersangkut paut dengan apa yang senyatanya dilakukan
pemerintah dalam bidang-bidang tertentu. Kebijakan pada hakikatnya
terdiri atas tindakan-tindakan yang saling berkaitan dan berpola yang
mengarah pada tujuan tertentu yang dilakukan oleh para pejabat-pejabat
pemerintah dan bukan merupakan keputusan-keputusan yang berdiri
sendiri.
Hakikat kebijaksanaan negara sebagai jenis tindakan yang
mengarah pada tujuan akan dapat dipahami lebik baik lagi apabila
kebijaksanaan itu diperinci dalam beberapa kategori yakni, policy demand
(tuntutan kebijaksanaan), policy decisions (keputusan kebijaksanaan),
policy statement (pernyataan kebijaksanaan), policy outputs (keluaran
kebijaksanaan), dan policy comes (hasil akhir kebijaksanaan). (Solichin
Abdul W, 1997:8).
36
Pembuat kebijakan publik adalah para pejabat-pejabat publik
termasuk pegawai senior pemerintah (public bueruecrats) yang tugasnya
tidak lain adalah untuk memikirkan dan memberikan pelayanan demi
kebaikan publik/kemaslahatan umum (public good ). Dalam hal ini
Fisterbusch (1983) memakai kebaikan dalam lima (5) unsur, keamanan
(security), hukum dan ketertiban umum (law and order), keadilan
(justice), kebebasan (liberty), dan kesejahteraan (welfare). (Solichin Abdul
W, 1997:47).
Menurut Gerald Caiden merumuskan bahwa ruang lingkup
kebijakan public meliputi hal-hal berikut ini :
a. Adanya Partisipasi Masyarakat (Public Participation)
Kebijakan publik merupakan suatu bidang yang seharusnya semua
pihak ikut memikirkan dan semua orang percaya bahwa mereka
mempunyai sesuatu yang berharga yang patut disumbangkan sebagai
kewajiban warga negara. Kebutuhan-kebutuhan masyarakat merupakan
suatu kebutuhan yang mempunyai kelebihan dibandingkan yang
lainnya, kebutuhan-kebutuhan ini disumbangkan berdasarkan tanpa
adanya interest, objektivitas, beeralasan kebenaran, kesungguhan
penelitian, dan kejujuran.
Partisipasi masyarakat untuk bersama-sama memikirkan cara-cara
yang baik untuk mengatasi persoalan-persoalan masyarakat, tanpa
adanya partisipasi masyarakat dan rakyat banyak public policy kurang
bermakna. Partisipasi dalam public policy merupakan aktivitas yang
37
dilakukan oleh warga negara baik secara pribadi ataupun berkelompok,
partisipasi adakalanya dilakukan secara mandiri dan adakalanya
dilakukan dengan mobilisasi. Partisipasi mandiri adalah suatu usaha
berperan serta yang dilakukan sendiri oleh pelakunya untuk
mempengaruhi kebijakan yang akan dibuat, sedangkan partisipasi
mobilisasi adalah keikutsertaan rakyat dalam berperan serta untuk
mempengaruhi kebijaksanaan pemerintah dengan cara dimobilisasikan
oleh pihak lain. (Miftah Thoha, 1984:75).
b. Adanya Kerangka Kerja Policy (Policy Framework)
Kerangka kerja di sini dimaksudkan untuk memberikan batas kajian
yang dilakukan oleh public policy. Batas ini hendaknya mampu
mendorong untuk mengkonstruksi semua faktor-faktor yang potensial
dalam
proses
pembuatan
policy,
kesemuanya
ini
hendaknya
dipertimbangkan oleh pembuat policy. Kerangka kerja ini merupakan
checklist yang memberikan dasar untuk mengkaji secara empiris,
membangun kerangka teori, dan memperlakukan masa berlakunya
(validation).
c. Adanya Strategi-strategi Policy (Policy Strategies)
Public policy pada masa-masa terakhir ini tampaknya mulai banyak
memperhitungkan ke komplekan dan saling ketergantungannya
beberapa faktor yang mempengaruhi public policy. Suatu masalah
sosial yang tampil ke permukaan public policy tidak lagi dipandang
38
berasal dari satu bidang kajian saja, masalah tersebut saling kaitmengkait dengan bidang kajian lainnya.
Pembuat kebijaksanaan harus mampu mengamati kesemuanya itu
secara jeli sebelum menetapkan strategi yang dapat diandalkan.
Sungguh policy yang terbaik itu adalah policy yang berlandaskan akan
strategi yang tepat, yang pemecahannya bergayutan dengan wilayah
persoalannya, dan yang sama sekali tidak menghilangkan struktur
kekuasaan
dan
instrumen-instrumen
inovatif
yang
ada
untuk
pelaksanaan public policy.
d. Adanya Kejelasan Tentang Kepentingan Masyarakat (Public Interst)
Persoalan-persoalan masyarakat senantiasa tumbuh dan cenderung
jarang terselesaikan dengan tuntas karena persoalan yang satu berkaitan
dengan lainnya. Semua persoalan-persoalan yang hidup dan tumbuh
dalam masyarakat belum tentu mencerminkan kepentingan-kepentingan
masyarakat pada umumnya. Adakalanya persoalan-persoalan tersebut
merupakan pencerminan dari kepentingan masyarakat kalau persoalan
tersebut mempunyai pengaruh yang luas dan diangkat kepermukaan
oleh masyarakat pada umumnya.
Teori public interest dalam satu sistem demokrasi tidaklah hanya
merupakan
ikhtisar
dari
kepentingan-kepentingan
pribadi
dan
melibatkan kepentingan orang lain karena orang lain simpati. Akan
tetapi, public interest lebih merupakan objek kepentingan yang setiap
orang merasa memberikan andil bersama-sama dengan orang lain dalam
39
suatu negara tertentu. Pengertian public interest seperti yang
dikemukakan tadi dalam wujudnya misalnya dapat berupa penentuan
tujuan negara yang menjamin adanya keamanan dan harta milik
individu, kebebasan dan keadilan. (Miftah Thoha, 1984:82).
e. Adanya Pelembagaan Lebih Lanjut Dari Kemampuan Public Policy
Beberapa studi yang dilakukan di bidang public policy menyatakan
bahwa struktur lembaga-lembaga yang telah ada tidak mampu
mengatasi persoalan-persoalan kontemporer yang timbul dan tidak
mampu mengatasi halangan-halangan institusional untuk mendapatkan
policy yang lebih baik.
Pada saatnya perlulah dibentuk suatu lembaga riset mengenai policy
yang bersifat independen. Lembaga ini nantinya diharapkan mampu
menganalisa implikasi jangka panjang dari sesuatu policy dengan cara
menggambarkan pernyataan-pernyataan gambaran masa depan yang
realistis, menciptakan unit-unit baru pembuat kebijaksanaan, merancang
kembali organisasi-organisasi yang menangani program dan persoalanpersoalan
pokok,
penilaian
dan
evaluasi
dari
kebijaksanaan-
kebijaksanaan, sistem anggaran yang inovatif, dan sistem sensorsif yang
agak retak, dan lain sebagainya.
Dengan demikian lembaga semacam ini sangat bermanfaat untuk
menutup kesenjangan antara teori dan praktik. Selain itu, dapat pula
dipergunakan
sebagai
recevoir
untuk
melatih
analisa-analisa
kebijaksanaan yang nantinya mampu merencanakan dan mengevaluasi
40
policy, proses, dan teknik membuat kebijaksanaan, dan kebutuhankebutuhan policy pada masyarakat.
f. Adanya Isi Policy dan Evaluasi
Proses pembuatan public policy didasarkan atas kebijaksanaan yang
nyata (actual policies). Public policy antara lain :
1. Penelitian mengenai permainan kekuasaan;
2. Partisipasi-partisipasi dalam public policy;
3. Pelaku-pelaku pembuat kebijaksanaan yang menjelaskan variabelvariabel policy.
Sekarang ini isi public policy banyak mengamati pelaku-pelaku
public policy, hubungan-hubungan di antara mereka, strategi-strategi
public policy, dan hasil-hasil yang dapat mempengaruhi sistem sosial
dan tujuan-tujuan yang akan dicapai. Keduanya baik isi public policy
dahulu maupun yang sekarang telah Memberikan andilnya dalam
menciptakan proses pembuatan public policy dan kebijaksanaankebijaksanaan pemerintah yang lebih baik. (Miftah Thoha, 1984:85).
3. Tujuan Kebijakan Publik
Sebagaimana diketahui bahwa sesuatu masyarakat itu tumbuh dan
berkembang mulai dari kelompok kecil ke kelompok yang lebih luas, dari
suku bangsa dan berkembang ke suatu masyarakat internasional. Pada
akhirnya timbul suatu maasyarakat yang aturannya tidak bisa di hindari
oleh setiap orang, tidak ada satu orang pun yang mampu lari dari
keputusan orang lain. Perluasan dan perkembangan suatu masyarakat
41
tersebut
telah
menimbulakan
adanya
suatu
proses
pengambilan
kebijaksanaan yang semakin kompleks.
Perkembangan kehidupan masyarakat semakin hari semakin
bertambah. Hal ini sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi. Manusia yang merupakan salah satu anggota masyarakat
kebutuhanya semakin meningkat, kebutuhan yang bertambah ini akan
membawa persoalan dalam pemenuhannya kalau sumber-sumber tersedia
kebutuhan itu akan mudah terpenuhi akan tetapi jika sumber-sumber
tersebut langka tersedia manusia ditantang untuk mengusahakan dalam
pemenuhanya. Persoalan-persoalan hidup manusia itu akan mengkomulasi
sebagai persoalan masyarakat dan persoalan itu lalu mengkristal sebagai
persoalan Negara, barulah orang menyadari bahwa persoalan tersebut
memerlukan
suatu
tindakan
pemecahan
yang
serius.
Birokrat
pemerintahan harus berperan aktif untuk berpikir, menganalisa, dan
mengajukan
mis-premis
pemecahan.pada
saatnya
pemecahan
permasalahan tersebut tercapai dibutuhkan tindak lanjut dan seterusnya
tindak lanjut ini membutuhkan pengawasan.
Policy merupakan suatu tindakan berpola yang mengarah pada
tujuan tertentu dan bukan sekedar keputusan untuk melakukan sesuatu.
Kebijaksanaan sebagai langkah tindakan yang secara sengaja dilakukan
oleh seorang atau sejumlah orang berkenaan dengan adanya masalah atau
permasalahan tertentu yang dihadapi. Konsep ini mendalilkan bahwa
dalam mempelajari kebijaksanaan negara ini seyogianya diarahkan pada
42
apa yang senyatanya dilakukan oleh pemerintah dan bukan sekedar apa
yang ingin dilakukan. Konsep tersebut membedakan secara tegas antara
kebijaksanaan (policy) dan keputusan (decision), yang mengandung arti
pemilihan diantara sejumlah alternatif yang tersedia.
Pemerintah dapat melakukan banyak hal lewat proses pengambilan
kebijaksanaan. Pemerintah dapat mengatur konflik yang tersedia di dalam
masyarakat dan menata birokrasi untuk melaksanakan konflik tersebut,
pemerintah juga dapat melakukan distribusi aneka simbol-simbol
penghargaan dan bantuan pelayanan materi terhadap anggota masyarakat.
Public policy mengatur banyak hal mulai dari mengatur perilaku,
mengorganisasikan birokrasi, mendistribusikan penghargaan sampai pula
pada penarikan pajak-pajak anggota masyarakat.
Kebijaksanaan negara, paling tidak dalam bentuknya yang positif
pada umumnya dibuat berlandaskan hukum dan kewenangan tertentu. Para
warga masyarakat dengan demikian menerima sebagai sesuatu yang absah
bahwa hasil dari kebijaksanaan itu harus dilaksanakan oleh warga
masyarakat. Kebijaksanaan negara sebagai demikian, memiliki daya ikat
yang kuat terhadap masyarakat secara keseluruhan (community as a whole)
dan memiliki daya paksa tertentu yang tidak dimiliki oleh kebijaksanaan
yang dibuat oleh organisasi-organisasi swasta. (Solichin Abdul W,
1991:7).
43
4. Hubungan Antara Kebijakan Publik Dengan Otonomi Daerah
Jalan menuju ke arah suatu perwujudan kebijakan yang baik
bukanlah jalan yang mudah dan mulus. Implementasi, sebagaimana halnya
dengan pembuatan kebijakan publik itu sendiri melibatkan berbagai
macam kepentingan apalagi untuk sebuah kebijaksanaan yang membawa
implikasi perubahan yang begitu besar sebagaimana diharapkan oleh
kebijakan otonomi daerah yang dirumuskan dalam Undang-Undang
No. 22 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pusat dan
Daerah.
Desentralisasi atau otonomi daerah diharapkan dapat menjadi salah
satu pilihan kebijaksanaan nasional yang dapat mencegah kemungkinan
terjadinya disintegrasi nasional. Otonomi daerah juga merupakan sarana
kebijaksanaan yang secara politik ditempuh dalam rangka memelihara
keutuhan bangsa, karena dengan otonomi akan kembali memperkuatikatan
semangat kebangsaan serta persatuan dan kesatuan diantara segenap warg
bangsa ini.
Implementasi merupakan salah satu langkah
yang sangat
menentukan apakah kebijaksanaan publik dalam sebuah negara berhasil
mencapai tujuanya atau tidak. Di negara kita ada gejala yang sangat
memprihatinkan
tentang
kesenjangan
antara
kebijaksanaan
dan
implementasi dari kebijaksanaan tersebut. Hal lain yang tidak kalah
pentingnya adalah supervisi dari pemerintah dalam hal implementasi
kebijaksanaan otonomi daerah. Pemerintah pusat harus jelas dan tegas
44
memberikan supervisi kepada daerah apa yang dapat dilaksanakan, bukan
menimbulkan persoalan baru. Dengan demikian daerah tahu secara jelas
apa yang akan mereka lakukan dalam rangka menyelenggarakan otonomi
di daerahnya. (Syaukani, Affan G, Ryass R, 2003:287).
C. OTONOMI DAERAH
1.
Definisi Otonomi Daerah
Otonomi daerah adalah wewenang untuk mengatur dan mengurus
rumah tangga daerah, yang melekat pada negara kesatuan maupun pada
negara federasi. Di negara kesatuan otonomi daerah lebih terbatas dari
pada di negara kesatuan meliputi segenap kewenangan pemerintah
kecuali beberapa urusan yang dipegang oleh Pemerintah Pusat antara
lain: hubungan luar negeri, pengadilan, moneter dan keuangan, serta
perahanan dan keamanan. (Winarna Surya A, 2002:1).
Desentralisasi merupakan sebuah mekanisme penyelenggaraan
pemerintahan yang menyangkut pola hubungan antara pemerintah
nasional dan pemerintah lokal. Pada mekanisme ini pemerintah nasional
melimpahkan kewenangan kepada pemerintah dan masyarakat setempat
atau lokal untuk di selenggarakan guna meningkatkan kemaslahatan
hidup masyarakat.
Mission yang sangat kental dari otonomi daerah yang dicanangkan
melalui Undang-Undang No. 22
tahun
1999
adalah
penguatan
masyarakat lokal dalam rangka peningkatan kapasitas demokrasi baik
ditingkat lokal maupun nasional, pengembalian martabat, dan harga diri
45
masyarakat daerah yang sudah sekian lama dimarginalkan, bahkan
dinaifkan Pemerintah di pusat. Kekuasaan yang hegemonistik yang
dinikmati oleh pemerintah dan masyarakat di pusat menjadi terganggu.
Kekuasaan dengan segala atributnya kemudian harus dibagi dengan
masyarakat di daerah. Tentu saja tidak mudah bagi Pemerintah pusat
untuk merelakan kekuasaan tersebut untuk dibagi-bagi, sementara itu
kata kunci dari desentralisasi dan otonomi adalah “devolusi” kekuasaan
kepada daerah.
Pengertian otononomi daerah dalam Pasal 1 huruf c UndangUndang No. 5 tahun 1974 yang berbunyi : “Otonomi Daerah adalah hak,
wewenang, dan kewajiban Daerah untuk mengatur dan mengurus rumah
tangganya sendiri sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku”. Jadi, selain aspek hak dan kewajiban, juga aspek wewenang
ada di dalamnya walaupun sebenarnya wewenang itu sebenarnya
merupakan konsekuensi dari hak dan kewajiban tersebut. Aspek
wewenang merupakan derivat bagi aspek hak dan kewajiban. Bahwa
aspek hak di sebut lebih dulu, itu tidak berarti lebih penting dari aspekaspek lain yang disebut kemudian. (Sujamto, 1991:3 ).
Makna otonomi daerah menurut Undang-Undang No. 5 tahun 1974
juga dapat di simak lebih lanjut dari tujuan pemberiannya, yang dalam
penjelasan umum Undang-Undang tersebut antara lain dijelaskan sebagai
berikut: “Tujuan pemberian otonomi kepada Daerah adalah untuk
memungkinkan Daerah yang bersangkutan mengatur dan mengurus
46
rumah tangganya sendiri untuk meningkatkan dayaguna dan hasilguna
penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka pelayanan terhadap
masyarakat dan pelaksanaan pembangunan”.
2.
AzasAzas Otonomi Daerah
Prinsip-prinsip penyelenggaraan pemerintah di daerah sebagaimana
dijelaskan dalam penjelasan umum UU No. 5/1974, masih tetap sahih
(valid) dan perlu dipertahankan terus. Persoalan yang sering timbul
adalah kurangnya pemahaman terhadap prinsip-prinsip tersebut. Untuk
jelasnya prinsip-prinsip yang dimaksud adalah sebagai berikut :
a.
Pelaksanaan pemberian otonomi kepada daerah harus menunjang
aspirasi perjuangan rakyat, yakni memperkokoh negara kesatuan dan
mempertinggi tingkat kesejahteraan rakyat Indonesia seluruhnya;
b.
Pemberian otononomi kepada daerah harus merupakan otonomi yang
nyata dan bertanggung jawab;
c.
Azas desentralisasi dilaksanakan bersama-sama dengan azas
dekonsentrasi
dengan
memberikan
kemungkinan
pula
bagi
pelaksanaan azas tugas pembantuan;
d.
Pemberian otonomi kepada daerah mengutamakan aspek keserasian
dengan tujuan disamping aspek pendemokrasian;
e.
Tujuan pemberian otonomi kepada daerah untuk meningkatkan
dayaguna dan hasilguna penyelenggaraan pemerintahan daerah,
terutama dalam pelaksanaan pembangunan dan pelayanan terhadap
47
masyarakat serta untuk pembinaan kestabilan politik dan kesatuan
bangsa.
Kecenderungan yang pernah terjadi di masa lalu, dengan otonomi
seluas-luasnya
yang bermaksud mengabaikan sama sekali azas
dekonsentrasi jelas tidak dapat dibenarkan dalam negara kesatua. Peranan
pemerintah pusat di daerah, meskipun tidak boleh terlalu menonjol masih
tetap
diperlukan,
Undang-Undang
ini
juga
memungkinkan
dilaksanakannya berbagai urusan pemerintahan menurut azas tugas
pembantuan (medebewind), yang dahulu juga pernah disebut sebagai azas
sertatantra.
Mencermati hal di atas, dengan Undang-Undang No. 5 tahun 1974
pokok-pokok pemerintahan di daerah yakni azas desentralisasi, azas
tentang dekonsentrasi dan azas tugas pembantuan. Hal ini dinyatakan
dengan jelas dalam penjelasan umum butir 3 huruf a yang berbunyi
sebagai berikut: di muka telah dijelaskan bahwa sebagai konsekwensi
dari Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945 yang kemudian diperjelas
dalam GBHN, pemerintah wajib melaksanakan azas desentralisasi dan
dekonsentrasi dalam penyelenggaran pemerintah di daerah. Pada azas
desentralisasi dan dekonsentrasi Undang-Undang itu juga diberikan
dasar-dasar bagi penyelenggaraan berbagai urusan pemerintahan di
daerah menurut azas tugas pembantuan.
Di bagian lain dalam penjelasan umum itu juga, yakni pada butir 1
huruf I (3) dapat dijumpai penegasan yang sama. Bahkan pelaksanaan
48
ketiga azas tersebut dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah
diangkat sebagai salah satu prinsip dari lima prinsip penyelenggaraan
pemerintahan di daerah. Prinsip tersebut berbunyi sebagai berikut: Azas
desentralisasi dilaksanakan bersama-sama dengan azas dekonsentrasi,
dengan
memberikan
kemungkinan
pula
bagi
pelaksanaan
azas
pembantuan. (Sujamto, 1991:14).
Pengertian tentang azas tersebut dapat di lihat dalam pasal 1 huruf
b (desentralisasi), pasal 1 huruf d (tentang tugas pembantuan), dan pasal
1 huruf f (tentang dekonsentrasi). Makna dari ketiga azas tersebut dan
konsekuensi-konsekuensi dalam pelaksanaanya dijelaskan lebih jauh
dalam penjelasan umum. Penjelasan tentang desentralisasi dapat di lihat
pada butir 3 huruf b sebagai berikut: Urusan-urusan pemerintahan yang
telah diserahkan kepada daerah dalam rangka pelaksanaan azas
desentralisasi pada dasarnya menjadi wewenang dan tanggung jawab
daerah sepenuhnya. Dalam hal ini prakarsa sepenuhnya diserahkan
kepada daerah, baik yang menyangkut kebijaksanaan, perencanaan,
pelaksanaan, maupun yang menyangkut segi-segi pembiayaan. Demikian
pula perangkat pelaksanaanya adalah perangkat daerah itu sendiri, yaitu
terutama dinas-dinas daerah
Penjelasan tentang makna azas dekonsentrasi dapat di lihat pada
penjelasan umum butir 3 huruf c yang berbunyi sebagai barikut: Oleh
karena tidak semua urusan pemerintahan dapat diserahkan kepada daerah
menurut azas desentralisasi, maka penyelenggaraan berbagai urusan
49
pemerintahan di daerah dilaksanakan oleh perangkat pemerintah di
daerah berdasarkan azas dekonsentrasi. Urusan-urusan yang dilimpahkan
oleh pemerintah kepada pejabat-pejabatnya di daerah menurut azas
dekonsentrasi ini tetap menjadi tanggung jawab pemerintah pusat, baik
mengenai perencanaan pelaksanaan, maupun pembiayaanya. Unsur
pelaksanaanya adalah terutama instansi-instansi vertikal, yang di
koordinasikan oleh Kepala Daerah dalam kedudukanya selaku perangkat
Pemerintah Pusat, tetapi kebijaksanaan terhadap pelaksanaan urusan
dekonsentrasi tersebut sepenuhnya ditentukan oleh Pemerintah Pusat.
(Sujamto, 1991:15).
Mengenai makna azas tugas pembantuan, dijelaskan secara lebih
panjang lebar dalam penjelasan umum butir 3 huruf d, yakni sebagai
berikut: Di muka telah disebutkan bahwa tidak semua urusan
pemerintahan dapat diserahkan kepada daerah menjadi urusan rumah
tangganya, jadi beberapa urusan pemerintahan masih tetap merupakan
urusan pemerintah pusat. Akan tetapi adalah berat sekali bagi pemerintah
pusat untuk menyelenggarakan seluruh urusan pemerintahan di daerah
yang masih menjadi wewenang dan tanggung jawabnya itu oleh
perangkat pemerintah pusat di daerah. Dan juga ditinjau dari segi
dayaguna dan hasilguna adalah kurang dapat dipertanggung jawabkan
apabila semua urusan pemerintah pusat di daerah harus dilaksanakan oleh
perangkatnya di daerah, karena hal itu akan memerlukan tenaga dan
biaya yang sangat besar jumlahnya. Lagi pula, mengingat sifatnya
50
berbagai macam urusan sulit untuk dapat dilaksanakan dengan baik tanpa
ikut sertanya pemerintah daerah yang bersangkutan. Atas dasar
pertimbangan-pertimbangan
tersebut
maka
Undang-Undang
ini
memberikan kemungkinan untuk dilaksanakanya berbagai urusan
pemerintah di daerah menurut azas tugas pembantuan. (Sujamto,
1991:16).
3.
Tujuan Otonomi Daerah
Undang-Undang No. 22 tahun 1999 tentang Pemerinta Daerah
adalah salah satu landasan yuridis bagi pengembangan otonomi daerah di
Indonesia. Dalam undang-undang ini disebutkan bahwa pengembangan
otonomi pada daerah kabupaten dan kota diselenggarakan dengan
memperhatikan prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat,
pemerataan, keadilan, serta memperhatikan potensi dan keanekaragaman
daerah.
Otonomi yang diberikan kepada daerah kabupaten dan kota
dilaksanakan dengan memberikan wewenang yang luas, nyata, dan
bertanggung jawab kepada pemerintah daerah secara proporsional.
Artinya pelimpahan tanggung jawab akan di ikuti oleh pengaturan
pembagian, pemanfaatan dan sumberdaya nasional yang berkeadilan,
serta perimbangan keuangan pusat dan daerah.
Pemberian otonomi kepada daerah merupakan otonomi yang nyata
dan bertanggung jawab. Nyata dalam arti bahwa pemberian otonomi
kepada daerah haruslah didasarkan pada faktor-faktor, perhitungan-
51
perhitungan, dan tindakan-tindakan atau kebijakan-kebijakan yang benarbenar dapat menjamin daerah yang bersangkutan secara nyata mampu
mengurus rumah tangga sendiri. Bertanggung jawab, dalam arti bahwa
pemberian otonomi itu benar-benar sejalan dengan tujuannya, yaitu
melancarkan pembangunan yang tersebar di seluruh pelosok negara dan
serasi atau tidak bertentangan dengan pengarahan-pengarahan yang telah
diberikan. Serasi dengan pembinaan politik dan kesatuan bangsa,
menjamin hubungan yang serasi antara pemerintah pusat dan daerah serta
menjamin perkembangan dan pembangunan daerah. (Sujamto, 1991:80).
Tujuan utama dari kebijaksanaan desentralisasi tahun 1999 itu
adalah di satu pihak, membebaskan pemerintah pusat dari beban-beban
yang tidak perlu dalam menangani urusan domestik, sehingga terdapat
kesempatan mempelajari, memahami, merespon berbagai kecenderungan
global dan mengambil manfaat dari padanya. Pada saat yang sama,
pemerintah pusat diharapkan lebih mampu berkonsentrasi pada
perumusan kebijakan mikro nasional yang bersifat strategis. Di lain
pihak, dengan desentralisasi kewenangan pemerintah ke daerah, maka
daerah akan mengalami proses pemberdayaan
yang signifikan.
Kemampuan prakarsa dan kreatifitas mereka akan terpacu, sehingga
kapabilitasnya dalam mengatasi berbagai masalah domestik akan
semakin kuat. (Syaukani, Affan G, Ryass R, 2003:172).
Desentralisasi merupakan simbol adanya trust (kepercayaan) dari
pemerintah
pusat
kepada
daerah,
ini
akan
dengan
sendirinya
52
mengembalikan harga diri pemerintah dan masyarakat daerah. Jika dalam
sistem yang sentralistik mereka tidak bisa berbuat banyak dalam
mengatasi berbagai masalah, dalam sistem otonomi ini mereka di tantang
untuk secara kreatif menemukan solusi-solusi dari berbagai masalah yang
dihadapi.
Peran pemerintah pusat dalam konteks desentralisasi ini adalah
melakukan
supervisi,
memantau,
mengawasi,
dan
mengevaluasi
pelaksanaan otonomi daerah. Peran ini tidaklah ringan, tetapi juga tidak
membebani daerah secara berlebihan. Karena itu, dalam rangka otonomi
daerah diperlukan kombinasi yang efektif antara visi yang jelas serta
kepemimpinan yang kuat dari pemerintah pusat, dengan keleluasaan
berprakarsa dari pemerintah daerah.
Visi otonomi daerah itu dapat dirumuskan dalam tiga ruang lingkup
interaksinya yang utama yakni: Politik, Ekonomi, serta Sosial dan
Budaya. Di bidang politik, karena otonomi adalah buah dari kebijakan
desentralisasi dan demokratisasi. Harus di pahami sebagai sebuah proses
untuk membuka ruang bagi lahirnya kepala pemerintah daerah yang
dipilih
secara
demokratis,
memungkinkan
berlangsungnya
penyelenggaraan pemerintahan yang responsif terhadap kepentingan
masyarakat luas, dan memelihara suatu mekanisme pengambilan
keputusan yang taat pada azas pertanggung jawaban publik.
Demokratisasi pemerintahan juga berarti transparansi kebijakan.
Artinya untuk setiap kebijakan yang diambil, harus jelas siapa yanag
53
memprakarsai kebijakan itu, apa tujuanya, berapa ongkos yang harus
dipikul, siapa yang harus bertanggung jawab jika kebijakan itu gagal.
Otonomi
daerah
juga
berarti
kesempatan
membangun
struktur
pemerintahan yang sesuai dengan kebutuhan daerah, membangun sistem
dan pola karir politik dan administrasi yang kompetitif, serta
mengembangkan sistem manajeman pemerintahaan yang efektif.
Di bidang ekonomi, otonomi daerah di suatu pihak harus menjamin
lancarnya pelaksanaan kebijakan ekonomi daerah, dan di lain pihak
terbukanya peluang bagi pemerintah daerah mengembangkan kebijakan
regional dan lokal untuk mengoptimalkan pendayagunaan potensi
ekonomi di daerahnya. Dalam konteks ini, otonomi daerah akan untuk
menawarkan fasilitas investasi, memudahkan proses perizinan usaha, dan
membangun berbagai infrastruktur yang menunjang perputaran ekonomi
di daerahnya.
Di bidang sosial budaya, otonomi daerah harusa dikelola dengan
sebaik mungkin demi menciptakan dan memelihara harmoni sosial, pada
saatnya memelihara nilai-nilai lokal yang dipandang bersifat kondusif
terhadap kemampuan masyarakat merespon dinamika kehidupan di
sekitarnya. (Syaukani, Affan G, Ryass R, 2003:174).
4.
Hubungan Otonomi Daerah dengan Pembangunan Kesehatan
Keinginan untuk menciptakan suatu sistem pemerintahan yang
berdasarkan
prinsip-prinsip
demokrasi,
keadilan,
dan
partisipasi
masyarakat, efisien dan efektif menuntut diselenggarakanya praktek
54
otonomi daerah dan desentralisasi. Pemerintah merespon dengan
mengeluarkan Undang-Undang No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan
Daerah dan Undang-Undang No. 25 tahun 1999 tentang Perimbangan
Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah. Kedua undang-undang tersebut
membawa implikasi pada perubahan berbagai sektor dalam sistem sosial
masyarakat kita, antara lain sektor kesehatan.
Krisis ekonomi yang terjadi sejak tahun 1997 telah menyadarkan
kepada kita semua bahwa pembangunan kesehatan bukanlah sekedar
urusan teknis belaka. Arti penting krisis tersebut adalah timbulnya
implikasi negatif yaitu berupa turunnya derajat pemenuhan kebutuhan
dasar secara drastis yang dialami oleh masyarakat. Jika hal ini dibiarkan
begitu saja dan tidak ditangani secara serius maka akan tercipta suatu
kondisi yang disebut sebagai the lost generation.
Berangkat dari fenomena tersebut maka sudah seharusnya menjadi
kewajiban kita semua tidak hanya para dokter dan tenaga medis lainnya
untuk peduli terhadap pembangunan kesehatan. Wacana pembangunan
kesehatan bertolak dari paradigma yang dijadikan landasan untuk
mengatur dan mengendalikan pembangunan kesehatan. Salah satu
paradigma yang popular adalah healt for all, atau kesehatan untuk semua.
Artinya adalah pembangunan sebagai jasa publik harus bisa diakses oleh
seluruh lapisan masyarakat, tidak hanya lapisan masyarakat menengah ke
atas.
55
Konsekuensi logis dari prakik healt for all sejalan dengan prinsipprinsip yang mendasari pelaksanaan otonomi daerah yaitu keadilan,
demokrasi, partisipasi, efisiensi dan efektifitas. Oleh karena itu, praktik
penyelenggaraan otonomi luas dan desentralisasi merupakan langkah
konkrit untuk mewujudkan pembangunan kesehatan masyarakat.
Desentralisasi kesehatan juga menjadikan sektor kesehatan sebagai
urusan pemerintah daerah yang harus dipertanggung jawabkan kepada
masyarakat (public accountability). Dengan demikian pembangunan
kesehatan adalah salah satu ukuran dalam menilai kinerja pemerintah
daerah terhadap masyarakat. (Mardiasmo, 2002:74).
Desentralisasi di sektor kesehatan menimbulkan perubahanperubahan dalam sistem kesehatan nasional. Bentuk desentralisasi di
sektor kesehatan meliputi :
a.
Struktur otoritas kesehatan
Kejelasan struktur otoritas kesehatan. Perlu adanya kejelasan
wewenang dan yang bertanaggung jawab mengurusi masalah
kesehatan apakah propinsi atau kabupaten, apakah kepala dinas
kesehatan
atau
kepala
departemen
kesehatan.
Dengan
dikeluarkannya UU No. 22 tahun 1999 tentang pemerintah Daerah
hal tersebut sudah jelas.
b.
Jaringan dan fungsi-fungsi penting
Jaringan dan fungsi-fungsi penting. Berdasarkan PP No. 45
tahun 1992 terdapat perbedaan fungsi yang jelas berkenaan dengan
56
fungsi pemerintah propinsi dan kabupaten. Pemerintah pusat
menyerahkan wewenang kepada pemerintah propinsi untuk urusanurusan sebagai berikut :
1. Kepentingan yang melibatkan lebih dari satu kabupaten.
2. Pengaruhnya kecil terhadap pembangunan dan pertumbuhan
daerah.
3. penerapannya akan lebih efisien dan efektif jika dikerjakan oleh
pemerintah propinsi.
Karena tidak semua urusan pemerintah pusat dapat diberikan
kepada pemerintah daerah, maka pengelolaan urusan-urusan
pemerintah pusat di daerah dipegang oleh kantor wilayah. Dalam
bidang urusan-urusan tersebut dalah petunjuk teknis dan pengawasan
yang meliputi perencanaan pembangunan kesehatan, standarisasi
perijinan,
pengendalian
dan
evaluasi.
Petunjuk
teknis
dan
pengawasan terhadap puskesmas dan rumah sakit daerah, akademi
kesehatan dan keperawatan diserahkan kepada pemerintah daerah
kabupaten/kota.
c.
Tanggung jawab dan wewenang yang didelegasikan
Tanggung jawab dan wewenang yang didelegasikan.
Berdasarkan PP No. 7 tahun 1987 urusan-urusan kesehatan dan
fasilitas yang dilaksanakan dan dimiliki pemerintah daerah menjadi
tanggung jawabnya sendiri. Pasal 3 menyatakan bahwa, pemerintah
daerah diberi hak untuk menyediakan pelayanan kesehatan dasar
57
termasuk pelayanan kesehatan utama. Berdasarkan pasal 4 urusanurusan yang diserahkan kepada pemerintah daerah adalah sebagai
berikut, antara lain ; kesehatan ibu dan anak termasuk keluarga
berencana, perbaikan gizi, sanitasi dan higienis, kesehatan
lingkungan, pengawasan dan pencegahan penyakit, kesehatan
sekolah, perawatan kesehatan umum, kesehatan mulut dan gigi,
laboratorium
sederhana,
penelitian
terhadap
penyakit,
pengembangan peran serta masyarakat, pemeliharaan kesehatan,
penyembuhan dan pengobatan, keperawatan, kesehatan utama,
penyediaan obat-obatan dan pelayanan kesehatan.
Sehubungan dengan hal di atas, pemerintah daerah juga
diberi wewenang untuk mengatur masalah pegawai kesehatan,
pendidikan,
pelatihan
pegawai
kesehatan,
pengawasan
tarif
pelayanan kesehatan, dan pemberian ijin sementara kepada sektor
swasta untuk bergerak dalam sektor kesehatan. Sedangkan tanggung
jawab dan wewenang yang didelegasikan kepada pemerintah
propinsi adalah sebagai berikut, antara lain ; perencanaan urusanurusan kesehatan pemerintah daerah dalam bidang kesehatan
mempertimbangkan seluruh sumber dana dan dilaksanakan secara
integral dengan melibatkan rumah sakit dan unit-unit teknis
pelaksanaan
kesehatan
pemerintah
daerah,
pengawasan
dan
monitoring pelaksanaan urusan-urusan kesehatan kesehatan secara
integral yang dijalankan oleh rumah sakit dan unit pelaksana teknis
58
lainnya, perijinan, standarisasi tarif pelayanan, pendirian dan
pemeliharaan kesehatan, pelaksanaan kerjasama dalam bidang
kesehatan sesuai dengan arahan Menteri Kesehatan. (Mardiasmo,
2002:77).
Tanggung jawab dan wewenang yang diberikan kepada
pemerintah daerah kabupaten pada dasarnya serupa tetapi berbeda
dalam jangkauan daerah administrasi yaitu sebatas wilayah
kabupaten atau kota. Peranan pemerintah dalam pembangunan
kesehatan pada dasarnya bertanggung jawab kepada perbaikan
kesehatan masyarakat, dengan tugas-tugas sebagai berikut :
1.
Menyediakan pelayanan kesehatan yang dapat di distribusikan
kepada masyarakat.
2.
Mengatur,
mengawasi,
dan
mengendalikan
pelaksanaan
kesehatan.
3.
Mengembangkan
partisipasi
masyarakat
dalam
menyelenggarakan dan membiayai usaha-usaha kesehatan tanpa
melupakan fungsi sosial.
4.
Pengaturan aset-aset pemerintah yang berhubungan dengan
tugas-tugas rutin administrasi pemerintah dan usaha-usaha
pembangunan di sektor kesehatan.
5.
Pengawasan
pemerintahan
pelaksanaan
dan
tugas-tugas
usaha-usaha
rutin
pembangunan
administrasi
di
sektor
kesehatan yang berada di bawah kebijakan umum yang
59
digariskan presiden dan peraturan-peraturan yang berlaku.
(Mardiasmo, 2002:78).
d.
Akuntabilitas
Ada beberapa jenis pengawasan yang menjamin akuntabilitas
administrasi pemerintah secara rutin dan usaha-usaha pembangunan,
antara lain sebagai berikut :
1. Pengawasan integral
Pengawasan
integral
adalah
pengawasan
yang
dijalankan oleh pengawas terhadap bawahannya dalam unit
kerjanya. Pencapaian tujuan organisasi dan pelaksanaanya atau
gambaran
tentang
organisasinya
adalah
tanggung
jawab
pemimpin organisasi. Demikian juga masalah-masalah yang
dihadapi organisasi atau kualitas sumber daya manusia organisasi.
Setiap pimpinan lembaga pemerintah atau unit kerja struktural
dan fungsional seperti project team, komitmen, dan kelompok
kerja memiliki tanggung jawab seperti di atas, sehingga jika
mereka melakukan tindakan akan selalu mempertimbangkan good
performance.
2. Pengawasan fungsional
Pengawasan
fungsional
adalah
pengawasan
yang
dilaksanakan oleh sebuah lembaga yang kewajiban utamanya
adalah mengawasi seperti Unit Pengawas Internal, Inspektorat
Propinsi,
Inspektorat
Kabupaten/Kota,
Inspektorat
Jendral
60
Pembangunan (Irjenbang), Badan Pengawas Keuangan dan
Pembangunan (BPKP), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
3. Pengawasan legislatif
Pengawasan
legislatif
adalah
pengawasan
yang
dijalankan oleh DPR dan DPRD. Berdasarkan UUD 1945, DPR
memiliki kewajiban untuk menjalankan pengawasan terhadap
pemerintah.
4. Pengawasan masyarakat
Pengawasan masyarakat adalah pengawasan yang
dilakukan oleh masyarakat seperti media massa, LSM, Ormas,
dan lain-lain. Pengawasan masyarakat harus dikembangkan
dengan alasan-alasan sebagai berikut :
i. Pemerintah Republik Indonesia berdasarkan atas prinsipprinsip demokrasi, dimana kekuasaan berada di tangan raakyat.
Pegawai-pegawai pemerintah tidak hanya berfungsi sebagai
aparat negara tetapi juga pelayan masyarakat.
ii. Keberhasilan menciptakan good governance dan clean
government tergantung dari partisipasi masyarakat untuk
mengawasi negara.
iii. Pembangunan adalah dari, oleh dan untuk masyarakat. Oleh
karena itu masyarakat memiliki kewajiban untuk mengawasi
agar praktek pembangunan sesuai dengan aspirasi dan
kepentingan masyarakat.
61
5. Pengawasan hukum
Pengawasan hukum adalah pengawasan yang dilakukan
oleh Mahkamah Agung (MA). Mahkamah Agung memiliki
wewenang dan kewajiban untuk menjalankan pengawasan atas
pemerintah dalam bidang perundang-undangan. (Mardiasmo,
2002:79).
Pelaksanaan desentralisasi kesehatan yang bentuknya
telah diuraikan dimuka adalah adanya perubahan-perubahan
penting dalam sistem kesehatan nasional. Perubahan itu secara
garis besar terdiri atas dua hal sebagai berikut :
a. Perubahan dalam sistem dan proses organisasional.
b. Keadilan, efisien dan kualitas pelayanan.
Perubahan dalam sistem dan proses organisasional
meliputi :
a) Pembangunan
kebijakan
kesehatan
(healt
policy
development).
b) Kebutuhan penghitungan dan informasi (needs assessment
and information).
c) Perencanaan dan alokasi sumber daya (planning and resource
allocation).
d) Pembiayaan dan manajemen keuangan (financing and
financial management).
e) Perencanaan dan manajemen sumber daya manusia (human
resource planning and management).
f)
Koordinasi antar sektoral (intersectoral coordination).
g) Partisipasi masyarakat (public participation).
62
Kebijakan
desentralisasi
mengakibatkan
proses
pembuatan kebijakan kesehatan di distribusikan sesuai dengan
wewenang yang di pegang oleh setiap unit. Pemerintah pusat
adalah Menteri Kesehatan yang membuat kebijakan nasional
berupa : Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Surat Keputusan
(SK) bersama, SK Menteri dan petunjuk-petunjuk teknis eselon
satu, sedangkan di daerah hanya Kanwil Depkes yang berada di
tingkat
propinsi.
Pemerintah
daerah
membuat
kebijakan
operasional yang berhubungan dengan unit-unit kesehatan
tersebut, kebijakan ini dijalankan oleh Rumah Sakit Daerah,
Puskesmas, dan lain-lain.
Desentralisasi
kesehatan
bagi
pemerintah
daerah
memerlukan mekanisme penghitungan kebutuhan kesehatan
beserta segala informasi kebutuhan kesehatan, hal ini diperlukan
untuk membuat perencanaan pelayanan kesehatan di daerah agar
efisien dan efektif. Desentralisasi kesehatan menuntut agar
perencanaan dan alokasi sumber daya tidak hanya menjadi
tanggung jawab pemerintah daerah saja tetapi melalui suatu
proses dialog yang sejajar atau horizontal communication yang
terdiri atas Bappeda, Dinas Kesehatan, LSM, perguruan tinggi,
Ormas, dan lain-lain. Dampaknya adalah bahwa alokasi sumber
daya di usahakan untuk tidak merugikan kepentingan masyarakat
banyak. (Mardiasmo, 2002:81).
63
Desentralisasi kesehatan menuntut perbaikan sistem
pembiayaan
dan
manajemen
keuangan
daerah.
Masalah
pembiayaan selalu menjadi hambatan utama dalam mewujudkan
otonomi daerah termasuk sektor kesehatan. Permasalahan kedua
adalah pemerintah daerah kabupaten pada umumnya memiliki
Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang rendah, oleh karena itu
pemerintah daerah kabupaten/kota perlu melakukan usaha-usaha
sebagai berikut : meninjau Perda yang berhubungan dengan tarif
yang tidak sesuai lagi, memperbaiki fasilitas-fasilitas pelayanan
umum agar menarik masyarakat untuk menggunakannya,
meningkatkan kegiatan komunikasi dan pendidikan (seperti,
pendidikan kesehatan untuk masyarakat), dan memperbaiki
pengawasan atas manajemen keuangan daerah.
Desentalisasi
kesehatan
berdampak
juga
pada
manajemen dan perencanaan sumber daya manusia daerah yaitu
daerah memiliki wewenang dan kekuasaan untuk menentukan
jumlah pegawai tetap kesehatan, jumlah pegawai tidak tetap
(PTT). Desentralisasi kesehatan akan memacu kerjasama dan
koordinasi antar sektor meskipun dalam tingkat yang berbedabeda untuk setiap daerah. Bentuk dari koordinasi dan kerjasama
berupa pembentukan kelompok dan pembuatan SK (Surat
Keputusan) Bersama.
64
Dampak
desentralisasi
yang
selanjutnya
adalah
partisipasi masyarakat. Pada level teknis dapat berupa kaderkader kesehatan dan pelayanan kesehatan yang tergabung dalam
Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu). Pada level makro adalah
keterlibatan LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) baik dalam
bidang pelaksanaan maupun proses pembuatan kebijakan. Peran
masyarakat yang lain adalah sektor swasta dalam bentuk
penyediaan
obat-obatan,
bahan-bahan
kimia,
perlengkapan
kantor, percetakan, konstruksi, pemeliharaan, dan lain-lain.
(Mardiasmo, 2002:82).
Keadilan, efisien dan kualitas pelayanan kesehatan
sebagai akibat desentralisasi kesehatan ditentukan oleh faktorfaktor sebagai berikut :
1. Sumber daya keuangan sektor publik.
2. Pola alokasi sumber daya secara keseluruhan (nasional).
3. Distribusi sumber daya manusia.
4. Pemanfaatan pelayanan.
5. Jangkauan dan ketersediaan pelayanan.
6. Perubahan dalam sistem-sistem pendukung.
7. Ketersediaan obat-obatan dasar.
65
D. PEMBANGUNAN KESEHATAN
1.
Definisi Hukum Kesehatan
Dalam era reformasi saat ini, hukum memegang peran penting
dalam berbagai segi kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Dalam
rangka mewujudkan derajat kesehatan yang optimal bagi setiap orang
yang merupakan bagian integral dari kesejahteraan, diperlukan dukungan
hukum bagi penyelenggaraan berbagai kegiatan di bidang kesehatan.
Perubahan konsep pemikiran penyelenggaraan pembangunan
kesehatan tidak dapat dielakkan. Pada awalnya pembangunan kesehatan
bertumpu upaya pengobatan penyakit dan pemulihan kesehatan, bergeser
pada penyelenggaraan upaya kesehatan yang menyeluruh dengan
penekanan pada upaya pencegahan penyakit dan peningkatan kesehatan.
Paradigma ini dikenal dalam kalangan kesehatan sebagai paradigma
kesehatan. Kegiatan-kegiatan tersebut sudah barang tentu memerlukan
perangkat hukum kesehatan yang memadai, dimaksudkan agar adanya
kepastian hukum dan perlindungan yang menyeluruh baik bagi
penyelenggaraan upaya kesehatan penerima pelayanan kesehatan.
Hukum kesehatan dapat didefinisikan sebagai keseluruhan
aktivitas yuridis dan peraturan hukum dibidang pelayanan kesehatan atau
pemeliharaan kesehatan dan beserta studi ilmiahnya dan kaitanya dengan
hukum pidana, hukum perdata, dan hukum administrasi. Secara
sederhana hukum kesehatan dapat diartikan sebagai keseluruhan
66
kumpulan peraturan yang mengataur tentang hal-hal yang berkaitan
dengan kesehatan.
Harmien Hadiati Koeswadji menyatakan pada dasarnya hukum
kesehatan bertumpu pada hak atas pemeliharaan kesehatan sebagai hak
dasar sosial (the right to healt care) yang ditopang oleh dua hak dasar
individual yang terdiri dari : hak atas informasi (the right to information)
dan hak untuk menentukan nasib sendiri (the right of self determination).
Sejalan degan hal tersebut Roscam Abing menentukan hukum kesehatan
dengan hak untuk sehat dengan menyatakan bahwa hak atas
pemeliharaan kesehatan mencakup berbagai aspek yang merefleksikan
pemberian perlindungan dan pemberian fasilitas dalam pelaksanaanya.
(Jurnal Hukum Kesehatan, 2008:2).
Hukum kesehatan menurut Anggaran Dasar Perhimpunan Hukum
Kesehatan Indonesia (PERHUKI) adalah semua ketentuan hukum yang
berhubungan langsung dengan pemeliharaan/pelayanan kesehatan dan
penerapannya. Hukum kesehatan menyangkut hak dan kewajiban baik
dari perorangan dan segenap lapisan masyarakat sebagai penerima
pelayanan kesehatan maupun penyelenggara pelayanan kesehatan.
Hukum kesehatan mencakup mencakup komponen-komponen hukum
bidang kesehatan yang bersinggungan satu dengan lainnya, yaitu hukum
kedokteran atau kedokteran gigi, hukum keperawatan, hukum rumah
sakit, hukum farmasi klinik, hukum kesehatan masyarakat, hukum
kesehatan lingkungan.
67
Dalam rangka peningkatan derajat kesehatan masyarakat perlu
adanya hukum kesehatan yaitu, rangkaian peraturan perundang-undangan
dalam bidang kesehatan yang mengatur pelayanan medik. Sedangkan
yang dimaksud kesehatan adalah suatu keadaaan yang meliputi kesehatan
badan, rohani (mental), serta sosial dan bukan hanya keadaan bebas dari
penyakit, cacat, dan kelemahan. (C. S. T Kansil, 19991:1).
Secara umum dari ruang lingkup hukum kesehatan tersebut, materi
muatan yang dikandung di dalamnya pada dasarnya adalah memberikan
perlindungan
kepada
individu,
masyarakat,
dan
memfasilitasi
penyelenggaraan upaya kesehatan agar tujuan kesehatan dapat tercapai.
Menurut Jayasuriya, bertolak dari materi muatan yang mengatur masalah
kesehatan menyatakan ada lima fungsi yang mendasar, yaitu pemberian
hak, penyediaan perlindungan, peningkatan kesehatan,
pembiayaan
kesehatan, dan penilaian terhadap kuantitas dan kualitas dalam
pemeliharaan kesehatan. (Jurnal Hukum Kesehatan, 2008:2).
2.
Tujuan Hukum Kesehatan
Kesehatan sebagai salah satu unsur kesejahteraan umum harus
diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa melalui pembangunan
nasional yang berkesinambungan berdasarkan Pancasila dan UndangUndang Dasar 1945. Pembangunan kesehatan diarahkan untuk
mempertinggi derajat kesehatan yang besar artinya bagi pembangunan
dan sebagai modal bagi pelaksanaan pembangunan nasional. Berdasarkan
Pasal 3 Bab II Undang-Undang Kesehatan No.36 tahun 2009 menyatakan
68
bahwa
”Pembangunan
kesehatan
bertujuan
untuk
meningkatkan
kasadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar
terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya, sebagai
investasi bagi pembangunan sumber daya manusia yang produktif secara
sosial dan ekonomis”.
Hukum kesehatan bertujuan untuk menciptakan tatanan masyarakat
yang tertib, menciptakan ketertiban dan keseimbangan di bidang
kesehatan.
Terlaksananya
semua
ketentuan
perundang-undanggan
dengan baik dan saling pengertian diantara pelaku profesi dalam setiap
bagian yang mendukung terlaksananya upaya kesehatan, maka akan
tercipta ketertiban dan keseimbangan dalam pemenuhan hak dan
kewajiban masing-masing profesi.
3.
Asas-asas Kesehatan
Berdasarkan Pasal 2 Bab II Undang-Undang No. 36 tahun 2009
menyatakan
bahwa
pembangunan
kesehatan
di
Indonesia
diselenggarakan berasaskan :
a. Perikemanusian yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Azas perikemanusian yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa berarti bahwa penyelenggaraan kesehatan harus dilandasi atas
perikemanusiaan yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa
dengan tidak membeda-bedakan golongan, agama, dan bangsa.
69
b. Manfaat
Azas manfaaat berarti memberikan manfaat yang sebesarbesarnya bagi kemanusiaan dan perikehidupan yang sehat bagi setiap
warga negara.
c. Usaha bersama dan kekeluargaan
Azas usaha bersama dan kekeluargaan berarti bahwa
penyelenggaraan kesehatan dilaksanakan melalui kegiatan yang
dilakukan oleh seluruh lapisan masyarakat dan di jiwai oleh semangat
kekeluargaan.
d. Adil dan merata
Azas adil dan merata berarti bahwa penyelenggaraan kesehatan
harus dapat memberikan pelayanan yang adil dan merata kepada
segenap lapisan masyarakat dengan biaya yang terjangkau oleh
masyarakat.
e. Perikehidupan dalam keseimbangan
Azas perikehidupan dalan keseimbangan berarti bahwa
penyelenggaraan kesehatan harus dilaksanakan seimbang antara
kepentingan individu dan masyarakat, antara fisik dan mental, antara
materiil dan spiritual.
f. Serta kepercayaan akan kemampuan dan kekuatan sendiri
Azas kepercayaan pada kemampuan dan kekuatan berarti
bahwa
penyelenggaraan
kesehatan
harus
berlandaskan
pada
70
kepercayaan akan kemampuan dan kekuatan sendiri dengan
memanfaatkan potensi seluas-luasnya.
E. KESEHATAN IBU DAN ANAK
1. Definisi Kesehatan Ibu dan Anak
Kesehatan adalah keadaan sejahtera dan badan, jiwa, dan sosial yang
memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomis.
Kesehatan ibu dan anak adalah pelayanan kesehatan ibu dan anak yang
meliputi pelayanan ibu hamil, ibu bersalin, ibu nifas, keluarga berencana,
kesehatan reproduksi, pemeriksaan bayi, anak balita dan anak prasekolah
sehat.
Kesehatan dan keselamatan ibu dan anak merupakan hal yang
penting tidak saja bagi pemenuhan hak asasi mereka, tetapi juga sangat
penting bagi pemecahan masalah ekonomi, sosial, dan pembagunan yang
lebih luas. Hal ini senada dengan Pasal 126 ayat (1) Undang-Undang
Kesehatan No. 36 tahun 2009 yang berbunyi :”Upaya kesehatan ibu harus
ditujukan untuk menjaga kesehatan ibu sehingga mampu melahirkan
generasi yang sehat dan berkualitas serta mengurangi angka kematian ibu”.
Di perjelas lagi dalam Pasal 126 ayat (2) :”Upaya kesehatan ibu
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi upaya promotif, preventif,
kuratif, dan rehabilitatif”.
Upaya peningkatan kesehatan anak diperlukan untuk mengatasi
permasalahan kesehatan yang khas pada masa perkembangan anak sejak
masih dalam kandungan, masa bayi, masa balita, usia prasekolah, dan usia
71
sekolah. Dalam mengatasai permasalahan kesehatan anak dapat dilakukan
upaya antara lain dengan : pencegahan penyakit dengan cara pemberian
pengebalan/imun, upaya peningkatan gizi, dan upaya bimbingan lain. Hal
ini sesuai dengan Pasal 131 ayat (1) Undang-Undang Kesehatan No. 36
tahun 2009 yang menyatakan bahwa :”Upaya pemeliharaan kesehatan bayi
dan anak harus ditunjukkan untuk mempersiapkan generasi yang akan
datang yang sehat, cerdas, dan berkualitas serta untuk menurunkan angka
kematian bayi dan anak”. Lebih lanjut dijelaskan dalam Pasal 132 ayat (3)
yaitu :“Setiap anak berhak memperoleh imunisasi dasar sesuai dengan
ketentuan yang berlaku untuk mencegah terjadinya penyakit yang dapat
dihindari melalui imunisasi”.
Pemeliharaan kesehatan dan perawatan kehamilan merupakan salah
satu faktor yang
amat perlu diperhatikan untuk mencegah terjadinya
komplikasi dan kematian ketika persalinan, disamping itu juga untuk
menjaga pertumbuhan dan kesehatan janin. Memahami perilaku perawatan
kehamilan (ante natal care) adalah penting untuk mengetahui dampak
kesehatan bayi dan si ibu sendiri. Hal ini senada dengan Pasal 131 ayat (2)
Undang-Undang Kesehatan tahun 2009 yaitu, “Upaya pemeliharaan
kesehatan anak dilakukan sejak anak masih dalam kandungan, dilahirkan,
dan sampai berusia 18 (delapan belas) tahun”. Ayat (3) “Upaya
pemeliharaan kesehatan bayi dan anak sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dan ayat (2) menjadi tanggung jawab dan kewajiban bersama bagi
orang tua, keluarga, masyarakat, dan Pemerintah, dan pemerintah daerah”.
72
2. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Peningkatan Kesehatan Ibu dan
Anak
Dalam rangka meningkatkan kesehatan ibu dan anak maka perlu
memperhatikan beberapa faktor berikut ini :
a. Angka Kematian Ibu
Angka kematian ibu adalah jumlah kematian ibu akibat proses
reproduktif per 100.000 kelahiran hidup. Kematian ibu merupakan
kematian perempuan pada saat hamil atau kematian dalam kurun waktu
42 hari sejak terminasi kehamilan tanpa memandang lamanya
kehamilan atau tempat persalinan, yaitu kematian yang disebabkan
karena kehamilannya atau pengelolaannya bukan karena sebab-sebab
lain seperti kecelakaan, terjatuh dan lain-lain. Pada jumlah kematian ibu
dapat diubah menjadi rasio kematian ibu dan dinyatakan per 100.000
kelahiran hidup, dengan membagi angka kematian dengan fertilitas
umum.
Angka kematian ibu (AKI) menurut Survei demografi Kesehatan
Indonesia (SDKI) 1994 masih cukup tinggi, yaitu 390 per 100.000
kelahiran. Penyebab kematian ibu terbesar (58,1%) adalah perdarahan
dan eklampsia, kedua penyebab itu sebenarnya dapat dicegah dengan
pemeriksaan kehamilan (antenatal care/ANCE) yang memadai. Dalam
kaitannya terhadap kesehatan ibu dan anak, dipengaruhi juga oleh halhal nonteknis yang masuk dalam kategori penyebab mendasar. Hal non
teknis ini ditangani oleh sektor terkait di luar sektor kesehatan,
73
sedangkan sektor kesehatan lebih memfokuskan intervensinya untuk
mengatasi penyebab langsung dan tidak langsung dari kematian ibu.
Sebagai realisasi dalam menjalankan fokus intervensinya itu maka
Departeman
Kesehatan
perlu
adanya
kebijakan
dalam
upaya
mempercepat penururnan Angka Kematian Ibu (AKI). Hal ini perlu
mengacu kepada intervensi strategis “Empat Pilar Safe Matherhood”.
(Sarwono Prawirohardjo, 2006:5).
-
Pilar pertama ; Program Keluarga Berencana
-
Pilar kedua ; Akses terhadap pelayanan antenatal
-
Pilar ketiga ; Persalinan yang aman
-
Pilar keempat ; Cakupan pelayanan obsteri esensial
Dalam penurunan Angka Kematian Ibu (AKI), keterlibatan sektor
lain disamping kesehatan juga sangat diperlukan. Bebrapa bentuk
keteribatan lintas sektoral dalam upaya penurunan AKI seperti, Gerakan
Sayang
Ibu
(GSI),
kelangsungan
hidup,
perkembangan
dan
perlindungan ibu dan anak, Gerakan Reproduksi Keluarga sehat
(GRKS). Selain ketiga lintas sektor tersebut, masih ada berbagai
kegiatan lain yang dilaksanakan pihak-pihak terkait seperti, organisasi
profesi yaitu : POGI, IBI, Perinsai PKK dan pihak lain sesuai dengan
peran dan fungsinya masing-masing.
Mengukur Angka Kematian Ibu (AKI) sebagai dampak indicator
secara berkala dalam waktu kurang dari 5-10 tahun tidak realistis, pakar
74
dunia menganjurkan pemakaian indikator praksis atau indikator
outcome yaitu :
-
Cakupan penanganan kasus obstetri,
-
Case fatality rate, kasus obsteri yang ditangani,
-
Jumlah kematian absolute,
-
Penyebaran fasilitas pelayanan obstetri yang mampu PONEK dan
PONED,
-
Presentase bedah besar terhadap seluruh persalinaan di suatu
wilayah.
Penyebab kematian ibu berantai mulai dari penyebab paling
langsung sampai penyebab tidak langsung. Penyebab medis atau
obstetrik merupakan penyebab paling langsung, sedangkan penyebab
ditingkat masyarakat merupakan penyebab tidak langsung atau
determinan. Determinan yang terkait dengan kualitas pelayanan
obstetrik merupakan determinan dekat, sedangkan determinan yang
lebih jauh terkait dengan standar hidup. Dalam hal yang terakhir ini,
kesehatan ibu yang buruk dianggap sebagai produk ketimpangan sosial
di masyarakat.
b. Program Air Susu Ibu (ASI)
Dalam rangka meningkatkan derajat kesehatan anak sebagai
generasi penerus bangsa, bayi dan anak perlu dijamin pertumbuhan dan
perkembangannya dengan berbagai macam program peningkatan
kesehatan bayi/anak. Program tersebut antara lain pemberian Air Susu
75
Ibu (ASI) sejak lahir, bahwa air susu ibu adalah makanan yang paling
baik dan tepat untuk pertumbuhan dan perkembangan yang sehat bagi
bayi dan anak.
Air Susu Ibu (ASI) merupakan makanan atau cairan hidup yang
terdiri dari zat kekebalan dan zat gizi yang sesuai dengan kebutuhan
bayi. Tidak ada satu pun makanan yang dapat menyamai ASI dalam
kandungan gizi dan anti infeksi sehingga ASI merupakan makanan
alamiah terbaik yang sangat tepat untuk mencapai pertumbuhan dan
perkembangan bayi secara optimal. Menyusui adalah cara pemberian
makanan bayi yang normal dan alamiah untuk memberikan gizi yang
optimal, perlindungan imun, dan pemenuhan kebutuhan emosional ibu
dan bayi.
Kasih sayang yang ditunjukkan pada saat seorang ibu menyusui
bayinya tidak akan diperoleh pada pemberian makanan jenis lain
dengan menyusui akan membangun hubungan intim dan hangat antara
ibu dan bayinya, hal ini mempunyai dampak penting bagi
perkembangan psikologis yang sehat dari sang bayi.
Menyusui
merupakan suatu anugerah ilahi yang merupakan karunia seorang
perempuan. Tidak di ragukan lagi bahwa menyusui adalah cara
pemberian makan bayi yang paling baik dan utama, menyusui suatu
cara terbaik untuk memenuhi kebutuhan nutrisi bayi. Menyusui
merupakan standar emas untuk pemberian makanan bayi sejak lahir
76
sampai berumur 2 (dua) tahun. Menyusui bayi berarti menberikan awal
kehidupan yang baik kepada seorang anak.
c. Kesehatan reproduksi
Masa remaja merupakan masa pertumbuhan dan perkembangaan
secara fisik dapat dilihat dengan jelas adanya beberapa perubahan pada
tubuh mereka, proses ini diseratai adanya resiko-resiko kesehatan
reproduksi dalam diri mereka yang dapat menimbulkan gangguan karna
masih terbatasnya pengetahuan mereka tentang perihaal yang berkaitan
dengan kesehatan reproduksi.
Kebutuhan akan peningkatan pelayanan kesehatan sosial terhadap
remaja menjadi perhatian di seluruh dunia. Hal ini dapat dilihat dari
adanya rekomendasi dari hasil International conference on population
and Development (ICPD) tahun 1994 atau yang lebih dikenal dengan
Konferensi Internasional mengenai Kependudukan dan Pembangunan.
Banyak organisasi di berbagai negara telah menciptakan program agar
lebih dapat memenuhi kebutuhan para remaja di bidang kesehatan
reproduksi.
Gerakan Reproduksi Keluarga Sehat (GRKS) dimulai oleh
BKKBN sebagai tindak lanjut dari Gerakan Ibu Sehat Sejahtera.
Gerakan ini intinya merupakan promosi untuk mendukung terciptanya
keluarga yang sadar akan pentingnya mengupayakan kesehatan
reproduksi. Diantara masalah yang dikemukakan adalah masalah
kematian ibu, karena itu promosi yang dilakukan melalui GRKS juga
77
termasuk promosi untuk kesejahteraan ibu (Sarwono Prawirohardjo,
2002:8).
3. Kebijakan Peningkatan Kesehatan Ibu dan Anak
Kesehatan ibu, bayi baru lahir dan anak masih merupakan masalah
utama di Indonesia. Kondisi ini dapat dilihat bahwa dalam setiap jam dua
ibu meninggal terkait dengan komplikasi kehamilan dan persalinan,
sementara pada bayi baru lahir terdapat sepuluh yang meninggal. Hal yang
sama terjadi pada 18 bayi dan 24 anak balita yang meninggal pada jam
yang sama, ironisnya sebagian besar penyebab kematian ibu, bayi baru
lahir serta anak balita itu sebenarnya dapat dicegah hanya dengan
teknologi sederhana yang tersedia di Puskesmas dan jaringan-jaringan
yang mendukung pelayanan kesehatan masyarakat tersebut. Hanya sedikit
yang memerlukan penanganan dengan biaya mahal dan teknologi tinggi.
Mengingat kira-kira 90% kematian ibu terjadi saat sekitar proses
persalinan dan ada kurang lebih 95% penyebab kematian ibu adalah
komplikasi obsteri yang sering tidak dapat diperkirakan sebelumnya, maka
dari hal tersebut Kebijakan Departemen Kesehatan untuk mempercepat
penurunan AKI adalah dengan mengupayakan agar :
a. Setiap persalinan ditolong atau minimal didampingi oleh bidan.
b. Pelayanan obsteri sedekat mungkin kepada semua ibu hamil.
Program jangka menengah Departemen Kesehatan (2005-2009)
bertujuan untuk menurunkan angka kematian ibu serta angka kematian
bayi. Untuk mencapai tujuan tersebut, Departemen Kesehatan telah
78
menyiapkan empat strategi utama yaitu : (1) Menggerakkan dan
memperdayakan masyarakat untuk hidup sehat, (2) Meningkatkan akses
masyarakat
terhadap
pelayanan
kesehatan
yang
berkualitas,
(3)
Meningkatkan sistem surveilans, monitoring, dan informasi kesehatan, (4)
Meningkatkan pembiayaan kesehatan. (Majalah Info Forum Parlemen,
2006:5).
Di bagian lain masalah mengenai kebijakan dalam rangka untuk
menurunkan jumlah Angka Kematian Ibu (AKI) di atur juga dalam dalam
Undang-Undang Kesehatan, antara lain dalam Pasal 133, 134, dan 135.
Bahwa
pemerintah,
pemerinyah
daerah,
dan
masyarakat
adalah
bertanggung jawab atas penyelenggaraan dalam upaya kesehatan ibu dan
anak, melalui program-program kesehatan ibu dan anak yang telah
dilaksanakan oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah di seluruh
wilayah Indonesia.
Terdapat dua program dalam upaya penurunan angka kematian ibu
dan anak. Pertama, peningkatan jangkauan dan kualitas pelayanan
mencakup peningkatan persalinan oleh tenaga kesehatan, penanganan
kegawatdaruratan obsteri dan neonatal, pencegahan kehamilan yang tidak
di inginkan dan penanggulangan aborsi, penanganan balita sakit dan
pembinaan tumbuh kembang, pemantapan kerjasama lintas sektor serta
peningkatan partisipasi keluarga dan masyarakat. Program ke dua,
peningkatan kapasitas manajemen pengelolaan program yang mencakup
79
peningkatan perencanaan yang berbasis data akurat, peningkatan fasilitas,
supervisi, pemantauan dan evaluasi peningkatan metode penelitian.
Kebijakan kesehatan yang mendasarkan pada data dan bukti dengan
mempertimbangkan norma sosial budaya menghadapi tantangan banyak
faktor. Sementara banyak pihak sepakat pentingnya kebijakan kesehatan
yang mendasarkan pada informasi akurat dari lapangan, diperlukan suatu
mekanisme pengumpulan dan pelaporan data yang lebih baik untuk
pembelajaran kebijakan. Disamping itu, pertimbangan konteks lokal perlu
dijamin mengingat variasi besar profil geografis, sosial dan ekonomi dari
berbagai kabupaten/kota. Kurangnya keterlibatan organisasi masyarakat
sipil dalam proses kebijakan kesehatan perlu di koreksi di semua tingkatan
supaya dihasilkan kebijakan implementasi kebijakan yang lebih sesuai
dengan kebutuhan. (Majalah Info Forum Parlemen, 2006:11).
80
BAB III
METODE PENELITIAN
Penelitian
merupakan
sarana
pokok
dalam
pengembangan
ilmu
pengetahuan maupun teknologi dalam mengungkap kebenaran secara sistematis,
metodologis dan konsisten. Menurut Moch. Nasir, penelitian adalah penyelidikan
yang hati-hati dan kritis dalam mencari fakta dan prinsip-prinsip, suatu penyidikan
amat cerdik untuk menetapkan sesuatu. (Moch. Nasir, 1999:13).
Dalam penelitian ini akan digunakan beberapa metode penelitian, antara
lain :
A. Metode Pendekatan
Dalam rangka membahas masalah yang terdapat dalam skripsi ini
digunakan pendekatan secara yuridis sosiologis, yaitu pendekatan yang
menekankan
pada
pencarian-pencarian,
keajegan-keajegan
(empirical
regularistis) karena mengkonstruksikan hukum sebagai refleksi kehidupan
masyarakat itu sendiri. Di dalam praktek konsekuensinya adalah apabila
tahap pengumpulan data sudah dikerjakan yang dikumpulkan bukan hanya
yang disebut hukum tertulis saja, akan tetapi diadakan observasi terhadap
tingka laku yang benar-benar terjadi. (Rony Hanitijo S, 1988:35).
Metode pendekatan kualitatif di sini digunakan untuk meneliti objek
pada kondisi yang alamiah, (sebagai lawannya adalah eksperimen) dimana
peneliti adalah sebagai instrumen kunci. Metode kualitatif juga dimaksudkan
sebagai upaya yang sistematis dalam penelitian hukum, termasuk di dalamnya
kaidah dan teknik, untuk kajian penelitian pada suatu gejala sosial yuridis
81
dalam menemukan kebenaran dan memperoleh pengetahuan. (Rony Hanitijo
S, 1988:40).
Pendekatan kualitatif, data yang disajikan dalam bentuk kata verbal
bukan dalam bentuk angka. Data dalam kata verbal sering muncul dalam kata
yang berbeda dengan maksud yang sama atau sebaliknya. Data kata verbal
yang beragam tersebut pula diolah agar menjadi ringkas dan sistematis.
Olahan tersebut mulai dari menuliskan hasil observasi, wawancara, atau
rekaman, mengedit, mengklarifikasi, mereduksi, dan menyajikan. (Noeng
Muhadjir, 1996:29).
Penelitian yuridis sosiologis dengan pendekatan kualitatif dimaksudkan
untuk menemukan fakta atau realita. Di samping itu juga metode penelitian
kualitatif bertujuan untuk memperoleh gambaran hubungan antara aspek
hukum dan non hukum. Dalam penelitian ini, perhatian peneliti akan terfokus
pada faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi pelaksanaan kebijakan
peningkatan kesehatan ibu dan anak di Kabupaten Banyumas.
B. Spesifikasi Penelitian
Spesifikasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian secara
deskriptif, yaitu apa yang dinyatakan oleh informan secara tertulis atau lisan,
dan juga perilakunya yang nyata, yang diteliti dan dipelajari sebagai sesuatu
yang utuh. (Noeng Muhadjir, 1996:45).
Spesifikasi penelitian secara deskriptif bertujuan untuk memperoleh
gambaran seuatu yang realitas yang terjadi di lapangan tentang faktor-faktor
82
pelaksanaan peningkatan kebijakan kesehatan ibu dan anak di Kabupaten
Banyumas.
C. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan mengambil lokasi di daerah Kabupaten
Banyumas. Lokasi tersebut diambil karena pertimbangan sebagai berikut :
1.
Untuk dapat memberikan gambaran nyata dalam upaya pemerintah
daerah Banyumas meningkatkan kesehatan ibu dan anak.
2.
Mengefisiensikan biaya dan waktu karena peneliti bertempat tinggal di
kota Purwokerto, terkait objek penelitian yang dikaji peneliti.
D. Informan Penelitian
Informan penelitian adalah petugas Dinas Kesehatan Kabupaten
Banyumas Kabid Yankes, Kasi KIA, Kabid Promkes, Programmer Ibu,
Programer Anak, Petugas Puskesmas, Ibu dan Anak, serta pihak-pihak yang
terkait dalam penelitian ini.
E. Metode Pengambilan Informan
Purposive sampling yaitu salah satu strategi pengambilan informan nonacak yaitu, semua anggota atau objek penelitian tidak mempunyai peluang
yang sama untuk dipilih sebagai informan. Purposive sampling digunakan
dengan tujuan mendapatkan informan yang benar-benar mengetahui dan
memiliki wewenang dalam bidangnya. Dalam purposive sampling, pemilihan
sekelompok subjek atas ciri-ciri atau sifat-sifat tertentu yang dipandang
mempunyai sangkut paut erat dengan ciri-ciri atau sifat-sifat informan yang
83
sudah diketahui sebelumnya. Dalam penelitian ini data dikumpulkan dengan
metode-metode sebagai berikut :
1.
Metode angket dengan instrumen kuisioner yang disebarkan kepada
seluruh responden sebagai sample;
2.
Metode interview dengan instrumen yang berupa outline interview yang
diajukan kepada responden tertentu, bila mana data tidak diperoleh
dengan angket;
3.
Metode dokumenter dengan instrumen yang berupa blanko dokumentasi
yang digunakan untuk mengumpulkan data-data yang bersifat sekunder.
F. Jenis Data dan Sumber Data
Data yang diperlukan untuk dipakai dalam penelitian ini adalah :
1.
Data Primer
Data primer adalah data yang dapat memberikan informasi secara
langsung mengenai segala sesuatu yang berkaitan dengan objek
penelitian. Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari
informan penelitian.
2.
Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang lebih dulu dikumpulkan dan
dilaporkan oleh orang diluar peneliti sendiri. Data ini diperlukan untuk
melengkapi data primer. Data sekunder ini terdiri dari :
a.
Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang memiliki suatu
otoritas mutlak dan mengikat. Bahan hukum primer terdiri dari
peraturan dasar, peraturan perundangan, catatan resmi lembar negara
84
penjelasan, putusan hakim dan yurisprudensi. Pada penelitian ini
digunakan bahan hukum yang berkaitan seperti, Undang-Undang
Dasar 1945, Undang-Undang No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan,
Undang-Undang No. 32 tahun 2004 tentang Desentralisasi, UndangUndang No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah.
b.
Bahan
hukum
sekunder,
yaitu
bahan-bahan
hukum
yang
memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer, terdiri dari
studi pustaka dan hasil penelitian di bidang ilmu hukum, literaturliteratur, surat edaran, dan sumber lain yang akan diteliti. Bahan
hukum sekunder digunakan dengan pertimbangan bahwa data primer
tidak dapat menjelaskan realitas secara lengkap sehingga diperlukan
bahan hukum primer dan sekunder untuk melengkapi deskripsi suatu
realitas.
G. Metode Pengumpulan Data
Data primer, yaitu data yang diperoleh secara langsung dari lokasi
penelitian di Dinas Kesehatan Kabupaaten Banyumas, yaitu :
1.
Metode Wawancara (interview)
Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu. Percakapan
itu dilakukan oleh dua pihak yaitu, pewawancara (interviewer) yang
mengajukan
pertanyaan
dan
terwawancara
(interviewee)
yang
memberikan jawaban atas pertanyaan itu.(Lexy J Moleog, 2008:86).
Dalam penelitian ini peneliti menggunakan wawacara semi
terstruktur yaitu wawancara campuran antara wawancara terstruktur yang
85
untuk mengetahui informasi baku dimana peneliti memiliki panduan
wawancara, dan wawancara tak terstruktur dimana wawancara berjalan
mengalir sesuai topik atau dikatakan wawancara terbuka. Pemilihan
wawancara semi terstruktur ditujukan untuk mendapatkan informasi yang
lengkap selain informasi dari wawancara yang menggunakan panduan.
2.
Observasi
Observasi yang digunakan adalah observasi tak terlibat (non
participant observation) berperan atau keterlibatan pasif dalam penelitian
ini dilakukan oleh peniliti ketika peneliti tidak terlibat dalam kegiatan
yang dilakukan oleh para pelaku yang diamati, jadi peneliti hanya
mengamati saja. Observasi dimaksudkan untuk meneliti gejala-gejala,
aktivitas dan hal lain yang dapat mendukung metode wawancara. (Rony
Hanitijo S, 1982:32).
H. Instrumen Penelitian
a.
Instrumen penelitian yang utama adalah penelitian karena penelitilah
yang berperan aktif dilapangan yang ditunjang oleh instrumen lainnya
seperti tape recorder, dan alat dokumentasi lainnya. Moleong
menyebutkan bahwa manusia adalah sebagai instrumen penelitian karena
didasarkan pada manusialah yang menentukan semua tahapan penelitian.
(Lexy J Moleong, 2009:163).
b.
Metode interview dengan instrumen berupa outline interview yang
diajukan kepada informan tertentu. Kemudian digunakan pula form
pengamatan, kamera, dan catatan lapangan.
86
c.
Studi kepustakaan, adalah pengumpulan data dengan memanfaatkan
buku-buku
untuk
memperoleh
data
sekunder
yang
menunjang
kelengkapan penelitian. Dalam studi kepustakaan digunakan instrumen
dokumentasi, kartu perpustakaan, katalog dan lainnya.
I.
Metode Pengolahan Data
Reduksi data diartikan sebagai proses pemilihan, pemusatan perhatian
pada penyederhanaan, pengabstrakan, dan transformasi data “kasar” yang
muncul dari catatan tertulis di lapangan, oleh karenanya reduksi data
merupakan suatu bentuk analisis yang menajamkan, menggolongkan,
mengarahkan, membuang yang tidak perlu, atau mengorganisasi data dengan
sedemikian rupa hingga kesimpulan-kesimpulan finalnya dapat ditarik
diverifikasi. Pada tahap reduksi data, data dirangkum, dipilih hal-hal yang
pokok, memfokuskan pada hal-hal yang penting dicaari tema dan polanya.
(Rony Hanitijo S, 1982:16).
Display data merupakan cara analisis lapangan dengan membuat berbagai
macam matriks, grafik, network, dan chart, agar dapat diperoleh gambaran
keseluruhan bagian-bagian tertentu dari data penelitian. Kemudian tahap
berikutnya adalah tahap penarikan kesimpulan yang merupakan konklusi
akhir dari tahapan analisis.
Tahapan pengolahan data kemudian memasuki tahap kategorisasi data.
Kategorisasi data adalah proses mengorganisasikaan dan mengurutkan data
ke dalam pola, kategori, dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan
tema atau inti dari suatu data. (Rony Hanitijo S, 2008:97-98).
87
Pada tahap data collection peneliti mengumpulkan semua data baik primer
maupun sekunder dengan teknik pengumpulan data, kemudian data
direduksikan yaitu dipilah dan diabstraksikan sehingga didapatkan suatu
konsep mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi kebijakan peningkatan
kesehatan ibu dan anak di Kabupaten Banyumas. Setelah tahap reduksi data
ditampilkan melalui penyajian data yaitu dengan suatu matriks, kemudian
diambil suatu kesimpulan dan dikategirisasikan sehingga dapat ditemukan
tema atau inti dari semua data.
J.
Metode Penyajian Data
Hasil penelitian disajikan dalam bentuk teks naratif yang disusun secara
sistematis. Sistematis di sini maksudnya adalah keseluruhan data primer yang
diperoleh akan diuhubungkan data sekunder yang di dapat serta dihubungkan
satu dengan yang lainnya dengan pokok permasalahan yang diteliti sehingga
merupakan satu kesatuan yang utuh. Hasil penelitian disajikan pula dalam
matriks data, data yang diperoleh akan disajikan secara sistematis dan
terperinci sehingga dapat menggambarkan dengan jelas pokok penelitian
secara utuh dan menyeluruh.
K. Metode Analisa Data
Bahan-bahan hukum yang akan dikumpulkan dalam penelitian ini,
kemudian akan dianalisis secara kuantitatif dengan model statistik sederhana
terutama distribusi frekuensi analitis, yang berfungsi untuk menyederhanakan
data penelitian yang besar jumlahnya menjadi informasi yang lebih sederhana
dan lebih mudah untuk dipahami dan model tabel silang analitis. Di samping
88
itu juga digunakan metode analisis kualitatif dengan model komperatif
analisis (analisis perbandingan) yang memungkinkan peneliti untuk menguji
apakah hubungan yang diamati memang betul terjadi karena adanya
hubungan sistematis antara variabel-variabel yang diteliti atau hanya terjadi
secara kebetulan. (Masri Singarimbun, 1995:263).
Untuk
mengetahui
faktor-faktor
yang
mempengaruhi
kebijakan
peningkatan kesehatan ibu dan anak di Kabupaten Banyumas digunakan
model interpretasi dan diskusi, dimana data di dialogkan dengan teori-teori
sehingga mengambil keputusan yang menyimpang dapat dihindari.
89
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Pelaksanaan Kebijakan Peningkatan Kesehatan Ibu dan Anak di
Kabupaten Banyumas
Pembangunan kesehatan adalah sebagai bagian dari pembangunan
nasional, dalam pembangunan kesehatan tujuan yang ingin dicapai adalah
meningkatkan kesehatan masyarakat yang optimal. Pembangunan kesehatan
diarahkan untuk mempertinggi derajat kesehatan yang besar artinya bagi
pembangunan dan pembinaan sumber daya manusia Indonesia dan sebagai
modal bagi pelakasanaan pembangunan nasional yang pada hakikatnya adalah
pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan seluruh
masyarakat Indonesia.
Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan sebagai salah satu unsur
kesejahteraan umum harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar
1945 melalui Pembangunan Nasional yang berkesinambungan berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Setiap kegiatan dalam upaya
untuk memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang
setinggi-tingginya dilaksanakan berdasarkan prinsip-prinsip nondiskriminatif,
partisipatif, dan berkelanjutan dalam rangka pembentukan sumber daya
manusia serta peningkatan ketahanan dan daya saing bangsa bagi
pembangunan nasional.
90
Sistem informasi kesehatan merupakan suatu tatanan yang mencakup
komponen masukan (input) yang berupa data tentang kesehatan dan yang
terkait, komponen proses dan komponen keluaran (output). Informasi
kesehatan yang terkait digunakan sebagai bahan dalam proses pengambilan
keputusan. Pengambilan keputusan dalam manajemen kesehatan dilakukan
untuk perumusan kebijakan, perencanaan strategis, manajemen operasional
dan manajemen transaksi.
Data dan informasi kesehatan semakin dibutuhkan masyarakat. Hal ini
menunjukan bahwa masyarakat semakin peduli dengan situasi kesehatan
sebagai hasil pembangunan kesehatan yang telah dilakukan oleh pemerintah
terutama terhadap masalah-masalah kesehatan yang berhubungan dengan
kesehatan mereka, sebab kesehatan menyangkut hajat hidup masyarakat luas
dan semua orang butuh untuk sehat. Kepedulian masyarakat akan informasi
kesehatan memberikan nilai positif bagi peningkatan pembangunan kesehatan,
di samping itu harus bisa menyediakan data dan informasi yang dibutuhkan
masyarakat dengan penyajian yang sistematik, informatif, lengkap dan tepat
waktu.
Berdasarkan rumusan pemikiran di atas, maka pemerintah disini perlu
membangun dan meningkatkan program-program peningkatan kesehatan ibu
dan anak yang merupakan bagian integral dari rencana pembangunan
kesehatan nasional dalam jangka panjang. Kesehatan merupakan suatu
program nasional yang harus segera di wujudkan dan di aplikasikan sebagai
91
program utama dalam rangka mewujudkan peningkatkan derajat kesehatan
masyarakat Indonesia pada umumnya dan masyarakat Banyumas khususnya.
Situasi dan perubahan sistem politik menentukan proses dan
pelaksananan kebijakan, termasuk kebijakan dalam bidang kesehatan.
Sebelum tahun 1997, sistem politik di Indonesia bersifat otoriter di mana
pemerintah mendominasi pengambilan keputusan di semua tingkatan. Di
sektor kesehatan, pemerintah pusat mengendalikan kebijakan, perancangan
dan pelaksanaan program. investasi besar sektor kesehatan dan pendidikan
dilakukan tahun 1970-an sampai akhir tahun 1990-an, tetapi akuntabilitas
rendah dan masyarakat sipil kurang terlibat dalam politik dan proses kebijakan
dalam bidang kesehatan.
Kondisi pemerintah saat ini telah mengalami perubahan dimana
terdapat pergeseran paradigma dalam sistem penyelenggaraan pemerintahan
dari pola sentralisasi menjadi pola desentralisasi yang ditandai dengan
lahirnya Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 sebagaimana telah dirubah
dengan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintah Daerah.
Pada Peraturan Pemerintah No. 25/2000 yang formalnya dimulai pada tahun
2001 berimplikasi terhadap desentralisasi wewenang perancangan dan
pelaksanaan program pembangunan, termasuk kesehatan, pendidikan,
pertanian, komunikasi, industri dan perdagangan, kepada pemerintah
kabupaten/ kota.
Desentralisasi menyebabkan perubahan mendasar dalam tatanan
pemerintah. Perubahan yang besar ini mengharuskan adanya perubahan peran
92
dan fungsi birokrasi di semua tingkat administrasi. Namun demikian, UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah dan UndangUndang Nomor 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Antara
Pemerintah Pusat dan Daerah, masih perlu diikuti pengembangan berbagai
kebijakan dalam bentuk Peraturan Pemerintah maupun Peraturan Menteri
Kesehatan untuk mendukung keberhasilan penerapan disentralisasi. Kebijakan
ini diperlukan dalam rangka mewujudkan pelayanan kesehatan yang
menjamin eksternalitas, akuntabilitas dan efisien urusan kesehatan sesuai
dengan kebutuhan masyarakat setempat.
Berdasarkan hal di atas, maka kebijakan kesehatan untuk tingkat
Kabupaten/Kota di dasarkan pada Keputusan Menteri Kesehatan untuk
sebagian besar pelaksanaan kebijakan-kebijakanya, begitu juga untuk di
Kabupaten Banyumas khususnya dan di Indonesia pada umumnya.
Keputusan-keputusan
tersebut
antara
lain,
Kepmenkes
Nomor
004/MENKES/SK/X/2003 Tentang Kebijakan dan Strategi Desentralisasi
Bidang Kesehatan, Kepmenkes Nomor 1457/MENKES/SK/X/2003 Tentang
Standar Pelayanan Minimal Bidang Kesehatan di Kabupaten/Kota.
Perubahan yang mendasar sepantasnya melalui proses transisi yang
kompleks.
Untuk itu, dibutuhkan upaya khusus
untuk mendukung
keberhasilan proses transisi tersebut. Dirasakan adanya kebutuhan mendesak
untuk meningkatkan sinergi antara unit utama dan antar program. Pertukaran
informasi tentang inovasi baru dilaksanakan sehingga dapat di capai kesamaan
pemahaman tentang situasi yang di hadapi. Beberapa pedoman telah
93
ditetapkan antara lain Kepmenkes Nomor 004/MENKES/SK/X/2003 Tentang
Kebijakan dan Strategi Desentralisasi Bidang Kesehatan, Kepmenkes Nomor
1419/MENKES/SK/X/2003 Tentang Pedoman Penatalaksanaan Tenaga
Pendamping
Desentralisasi
Kesehatan,
Kepmenkes
Nomor
1457/MENKES/SK/X/2003 Tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang
Kesehatan di Kabupaten/Kota, serta Kepmenkes Nomor 1247/SK/VIII/2005
Tentang Rencana Strategis Departemen Kesehatan Tahun 2003-2009.
Lampiran
Keputusan
Menteri
Kesehatan
Nomor:
004/MENKES/SK/I/2003 telah ditetapkan tujuan desentralisasi di bidang
kesehatan adalah mewujudkan pembangunan nasional di bidang kesehatan
yang
berlandaskan
prakarsa
dan
aspirasi
masyarakat
dengan
cara
memberdayakan, menghimpun, dan mengoptimalkan potensi daerah unruk
kepentingan daerah dan prioritas nasional dalam mencapai Indonesia Sehat
2010. Guna mencapai tujuan tersebut telah ditetapkan beberapa kebijakan
desentralisasi bidang kesehatan, yaitu :
1. Desentralisasi bidang kesehatan dilaksanakan dengan memperhatikan
aspek demokrasi, keadilan, pemerataan, serta potensi dan keanekaragaman
daerah.
2. Pelaksanaan desentralisasi bidang kesehatan didasarkan kepada otonomi
luas, nyata dan bertanggung jawab.
3. Desentralisasi bidang kesehatan yang luas dan utuh diletakkan di
kabupaten dan kota, sedangkan desentralisasi bidang kesehatan di provinsi
bersifat terbatas.
94
4. Pelaksanaan desentralisasi bidang kesehatan harus sesuai dengan
konstitusi negara, sehingga tetap terjamin hubungan yang serasi antara
pusat dan daerah serta antar daerah.
5. Desentralisasi bidang kesehatan harus lebih meningkatkan daerah otonom.
Pemerintah pusat berkewajiban menfasilitasi pelaksanaan pembangunan
kesehatan daerah dengan meningkatkan kemampuan daerah dalam
pengembangan sistem kesehatan dan manajemen daerah.
6. Desentralisasi bidang kesehatan harus lebih meningkatkan peran dan
fungsi badan legislatif daerah, baik dalam hal fungsi legislasi. Fungsi
pengawasan, maupun fungsi anggaran.
7. Sebagai pelengkap desentralisasi bidang kesehatan, dilaksanakan pula
dekonsentrasi bidang kesehatan yang diletakkan di daerah provinsi sebagai
wilayah administrasi.
8. Untuk mendukung desentralisasi bidang kesehatan dimungkinkan pula
dilaksanakan tugas pembantuan di bidang kesehatan, khususnya dalam hal
penanggulangan kejadian luar biasa, bencana, dan masalah-masalah
kegawatdaruratan kesehatan lainnya.
Pencapaian
keberhasilan
pelaksanaan
desentralisasi
di
bidang
kesehatan, telah dirumuskan pula dalam 5 (lima) tujuan strategis, yaitu :
1. Terbangunnya komitmen antara pemerintah daerah, legislatif, masyarakat
dan stakeholder lainnya guna kesinambungan pembangunan kesehatan;
2. Meningkatnya kapasitas sumberdaya manusia;
95
3. Terlindunginya kesehatan masyarakat, khususnya penduduk miskin,
kelompok rentan dan daerah miskin;
4. Terwujudnya komitmen nasional dan global dalam program kesehatan
daerah;
5. Tertatanya manajemen kesehatan di era desentralisasi.
Keberhasilan pembangunan di daerah khususnya di kabupaten dan
kota sangat ditentukan oleh kualitas dan sumberdaya manusia dan peran aktif
masyarakat sebagai pelaku pembangunan tersebut. Oleh karena itu dalam
pertemuan Nasional Bupati dan Walikota se-Indonesia dalam rangka
Desentralisasi di bidang kesehatan telah disepakati bahwa peningkatan
kualitas sumber daya manusia di daerah merupakan prioritas dalam
pelaksanaan pembangunan di daerah.
Pada tahun 2007, Pemerintah Kabupaten/Dati II Banyumas Dinas
Teknis yang memiliki tugas pokok dan fungsi mengelola hal-hal yang
berkaitan dengan kesehatan dengan nama Dinas Kesehatan Kabupaten /Dati II
Banyumas. Dinas ini berkantor di Jl. Wiryaatmadja No. 4 Purwokerto, seiring
dengan berkembangnya waktu dan pergantian dari Bupati Banyumas yang
baru pada tahun 2008 maka, berdasarkan Perda No. 11 tahun 2008 tentang
Organisasi dan Tata Kerja Dinas Daerah Kabupaten Banyumas pada Bagian
ke tiga pasal 8 menerangkan “Dinas kesehatan mempunyai tugas
melaksanakan teknis operasional pemerintah daerah bidang kesehatan
berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan”. Berdasarkan pasal tersebut
96
bahwa dalam rangka meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan maka perlu
adanya program-program untuk pelaksanaan kegiatan tersebut.
Pelaksanaan dari pada program-program tersebut akan menentukan
arah kebijakan Pemerintah Banyumas terhadap peningkatan kesehatan.
Keberhasilan pengelolaan dan penanganan rencana kebijakan pemerintah
daerah Kabupaten Banyumas diharapkan mampu meningkatkan pembangunan
kesehatan yang mencakup disegala sektor program-program kesehatan
termasuk pelaksanaan peningkatan kesehatan ibu dan anak.
Upaya pelayanan kesehatan dasar merupakan langkah awal yang
sangat penting dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat
Banyumas. Dengan pemberian pelayanan kesehatan dasar secara cepat dan
tepat, diharapkan sebagian besar masalah-masalah kesehatan ibu dan anak
yang ada dan akan ada dapat diatasi.
Mendasarkan pada hal tersebut di atas, dan di hubungkan dengan
masalah penelitian maka dapat di interprestasikan bahwa, pelaksanaan
kebijakan Pemerintah Daerah dalam pelaksanaan peningkatan kesehatan
masyarakat di Kabupaten Banyumas dapat dikaji dengan parameter-parameter
yang dapat dirumuskan dari ketentuan Undang-Undang, teori maupun
kebijakan/kebijakan atau program-program Pemerintah Daerah Kabupaten
Banyumas, dalam hal ini Dinas Kesehatan yang dapat di fokuskan pada
pelaksanaan kebijakan peningkatan kesehatan ibu dan anak.
97
Berbagai pelaksanaan peningkatan kesehatan ibu dan anak tersebut
yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten Banyumas tersebut dapat
dilihat melalui program-programnya antara lain:
1. Kebijakan penurunan angka kematian ibu dan anak;
2. Kebijakan peningkatan pelayanan kesehatan ibu dan anak;
3. Kebijakan peningkatan pemberian ASI eksklusif dan perbaikan gizi (ibu
dan anak).
Dengan adanya kesesuaian antara rencana kebijakan pemerintah
daerah Kabupaten Banyumas melalui Dinkes dalam upaya pembangunan
kesehatan dengan pelaksanaan kebijakannya dilakukan dan dimasukkan ke
dalam program kerja Dinkes sehingga dapat terealisasikan dengan baik.
Bilamana parameter-parameter tersebut dapat diaplikasikan ke dalam
permasalahan penelitian, maka dapat diperoleh kesimpulan, bagaimanakah
pelaksanaan kebijakan pemerintah daerah Kabupaten Banyumas dalam
peningkatan kesehatan ibu dan anak.
Gambaran perkembangan derajat kesehatan masyarakat dapat dilihat
dari kejadian kematian dalam masyarakat. Di samping itu kejadian kematian
juga dapat digunakan sebagai indikator dalam penilaian keberhasilan
pelayanan kesehatan dan program pembanguanan kesehatan lainnya. Angka
kematian pada umumnya dapat dihitung dengan melakukan berbagai survey
dan penelitian.
Telah disadari bahwa untuk menurunkan angka kematian ibu haruslah
memperhatikan baik penyebab langsung, maupun penyebab tidak langsung
98
yang memberi kontribusi terhadap kematian ibu. Hal ini sangat relevan
mengingat kondisi masyarakat dan infrastruktur pelayanan kesehatan yang
masih belum maksimal. Penyebab langsung kematian ibu sering disebut
sebagai TRIAS yaitu; perdarahan, eklamsia, dan infeksi. Sedangkan dengan
istilah ‘tiga terlambat’ dan ‘empat terlalu’. Tiga terlambat adalah:
1.
Terlambat mengenal tanda bahaya dan mengambil keputusan;
2.
Terlambat mencapai fasilitas kesehatan;
3.
Terlambat mendapatkan pertolongan di fasilitas kesehatan.
Adapun empat terlalu adalah:
1. Terlalu tua punya anak.
2. Terlalu muda punya anak.
3. Terlalu banyak melahirkan.
4. Terlalu rapat jarak melahirkan.
Melihat pada penyebab langsung kematian ibu yang sangat terkait
dengan kualitas prosedur klinis, maka jelas dukun tidak dapat diharapkan
untuk menangani masalah perdarahan, eklamsia, dan infeksi. Oleh sebab itu,
saat ini peningkatan persalinan oleh tenaga kesehatan terlatih menjadi sangat
mendesak. Peningkatan akses mutu tenaga kesehatan memerlukan berbagai
pelatihan disamping upaya yang menjamin bahwa mereka bekerja berdasarkan
standar sehingga memenuhi kinerja mutu yang diharapkan dalam programprogram Dinas Kesehatan Kabupaten Banyumas.
Kematian ibu dalam kehamilan dan persalinan dapat terjadi diberbagai
tempat. Dapat terjadi di rumah, dalam perjalanan pencarian pertolongan dan di
99
fasilitas kesehatan (khususnya Rumah Sakit). Oleh sebab itu, upaya penurunan
angka kematian ibu harus dilakukan secara komprehensif, dengan melakukan
peningkatan pada sisi pemberi pelayanan (supply), sisi penerimaan pelayanan
(demand) dan sisi manajemen.
Pelaksanaan kebijakan peningkatan kesehatan ibu dan anak ini dapat
dilihat dari kebijakan penurunan angka kematian ibu dan anak, yang menitik
beratkan pada perencanaan, realisasi, hasil dan makna kebijakan yang
dilakukan. Hal ini dapat di lihat dari wawancara dan observasi informan
sebagaimana di sajikan dalam matriks di bawah ini ;
Matriks 1. Kebijakan penurunan angka kematian ibu dan anak.
Kode
Informan
Rencana
Kebijakan
Pemda/Dinkes
Realisasi
Kebijakan
Hasil Kebijakan
Makna
Kebijakan
01/KABID
02/KASI
03/PROG
IBU
04/PROG
ANAK
05/
…”Perencanaan
persalinan
dan
pecegahan
komplikasi pada
ibu hamil…”
…”Memberikan
layanan
ANC
dengan T7, semua
persalinan dengan
TK,
komplikasi
harus tertangani,
persediaan P3K di
gunakan
dengan
benar,
keikutsertaan
suami dan keluarga
dalam pemeriksaan
ibu hamil sampai
persalinan dalam
pengawasan dan
perlidungannya…”
…”Komplikasi dalam
persalinan
ataupun
kehamilan
teratasi
sehingga
bahaya
kematian pun batal
terjadi, ibu hamil
tidak merasa takut
dengan segala resiko
yang mungkin terjadi
karena
ada
yang
melindungi, agar tidak
terjadi
kehamilan
yang
tidak
diinginkan…”
…”Kebijakan
terkait dengan angka
kematian
ibu
terlaksana
dan
berjalan
sesuai
dengan
program
yang direncanakan
oleh
Pemda
Banyumas/Dinkes
meskipun hasilnya
belum
maksimal
karena
kurang
transformasi
pengetahuan tentang
kehamilan
sehat,
banyaknya penyakit
degeneratif…”
03/PROG
IBU
…”Menurunkan
angka
tempat
bersalin di rumah
bagi ibu hamil..”
…”Dampak yang
terjadi
pada
persalinan
di
rumah,
perbandingan
antara keuntungan
dan
kerugian
persalinan
di
rumah dengan di
…”Ibu
bersalin/keluarga
paham dengan: efisien
waktu, kelengkapan
alat,
kebersihan
tempat, aman dari
keramaian lingkungan
sekitar,
ibu
bersalin/keluarga bisa
…”Kebijakan
terkait
dengan
penurunan tempat
bersalin di rumah
dapat
terlaksana
dengan
baik,
kesadaran dari ibu
hamil/keluarga
terhadap
manfaat
100
04/PROG
ANAK
sarana kesehatan,
promosikan
kegiatan
sayang
ibu
sudah
diberlakukan
di
tempat
layanan
tenaga kesehatan
pemerintah
ataupun swasta..”
mempertimbangkan
yang terbaik, ibu
bersalin
nyaman
karena memiliki hak
penuh sesuai dengan
keinginannya…”
dan
hasil
dari
bersalin di sarana
kesehatan
dengan
bantuan
tenaga
medis…”
…”Pemeriksaan
kesehatan
ibu
hamil…”
…”Pemeriksaan
kehamilan secara
rutin, rencanakan
melahirkan dengan
pertolongan bidan
atau dokter di
fasilitas
kesehatan…”
…”Ibu hamil/keluarga
dapat
mengetahui
kondisi kesehatan ibu
dan bayi sebelum
proses
kelahiran,
penanganan
yang
dilakukan pihak yang
profesional
mampu
memberikan
rasa
nyaman pada ibu
hamil/keluarga…”
...”Semua
proses
kebijakan dapat di
laksanakan dan di
harapkan
dapat
memberikan hasil
yang
memuaskan
terhadap kesadaran
dan pengetahuan ibu
hamil/keluarga
untuk
lebih
memperhatikan
kondisi
kesehatan…”
…”Pelayanan
kesehatan
bagi
bayi baru lahir…”
…”Cegah infeksi
kuman pada bayi
begitu bayi lahir,
jaga
kebersihan
selama persalinan,
pemberian vitamin
dan imunisasi pada
bayi,
pemberian
ASI eksklusif…”
…”Tujuan
itu
memberikan hasil
dan makna terhadap
keberhasilan
program penurunan
kematian bayi yang
telah direncanakan
Pemda
Banyumas/Dinkes…
”
…”Pemberian
vitamin
dan
imunisasi
pada
bayi…”
…”Berikan
vitamin K1 untuk
mencegah
perdarahan pada
bayi, pencegahan
infeksi
kuman
pada bayi dengan
salep anti biotik
untuk
matanya,
imunisasi hepatitis
B sebelum bayi
berumur
24
jam…”
…”Harapan
bayi
berlangsung
hidup
terjamin dan terjaga,
bayi
baru
lahir
mendapatkan
pelayanan kesehatan
dari
bidan/perawat/dokter,
ASI
mencegah
perdarahan pada ibu
nifas…”
…”ASI
mencegah
perdarahan pada ibu
nifas, ASI bermanfaat,
sehat, praktis, tidak
butuh biaya serta
menjalin kasih sayang
ibu
dan
anak,
imunisasi mencegah
anak dari penyakit
dan cacat…”
…”Semua
proses
pelaksanaan
kebijakan tersebut
dapat mencegah dan
mengurangi angka
kematian
pada
bayi/anak…”
Sumber : Data Primer yang diolah
Berdasarkan pada matriks di atas dapat dijelaskan bahwa, pelaksanaan
kebijakan yang telah dijalankan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten Banyumas
101
dalam upaya peningkatan kesehatan ibu dan anak melalui perencanaan
penurunan angka kematian ibu dan anak berkaitan dengan perencanaan yang
dilakukan, realisasi kebijakan, hasil nyata yang sudah terwujud atas kebijakan
dan makna kebijakan yang terkandung dalam proses pelaksanaan penurunan
angka kematian ibu dan anak dapat dilaksanakan sesuai dengan programprogram dan arah kebijakan yang diharapkan.
Kebijakan yang telah direncanakan dan selanjutnya untuk dilaksanakan
memiliki suatu upaya dan tujuan untuk mencegah serta mengurangi perilaku
dan pengetahuan masyarakat mengenai terbatasnya kesadaran warga
masyarakat dalam pelaksanaan program-program penurunan kematian ibu dan
anak di Banyumas.
Mencermati hal di atas, berlaku suatu teori yang dikemukakan oleh
Carl I Frederich “mengemukakan bahwa kebijakan publik adalah serangkaian
tindakan yang diusulkan seseorang, kelompok, atau pemerintah dalam suatu
lingkungan tertentu, dengan ancaman dan peluang yang ada, di mana
kebijakan yang diusulkan tersebut ditujukan untuk memanfaatkan potensi
sekaligus mengatasi hambatan yang ada dalam rangka mencapai tujuan
tertentu. (D. Riant Nugroho, 2003:4).
Hasil penelitian dalam matriks, di kaitkan dengan teori di atas dapat di
interprestasikan bahwa perencanaan kebijakan pemerintah daerah dalam
peningkatan kesehatan ibu dan anak melalui Dinas Kesehatan Kabupaten
Banyumas dalam upaya untuk melakukan perencanaan, realisasi, hasil dan
makna yang diberikan terhadap penurunan angka kematian ibu dan anak di
102
Banyumas dengan kesesuaian program yang dijalankan, pengawasan yang
dilakukan, dana yang disediakan, pencegahan dari ibu/keluarga maka tujuan
dari kebijakan dapat dilaksanakan dengan baik.
Kenyataan tersebut di atas didukung oleh hasil penelitian yang
dikumpulkan melalui wawancara dengan beberapa pegawai kesehatan
Kabupaten Banyumas yang pada garis besarnya menyatakan bahwa:
1. “...perencanaan dari kebijakan pemerintah daerah terhadap penurunan
angka kematian ibu dan anak telah sesuai dengan program yang diusulkan
oleh pihak Dinas Kesehatan dengan sebelumnya telah melihat/melakukan
survey di lapangan yang strategis terhadap situasi dan kondisi yang ada
pada warga masyarakat Banyumas dengan dukungan dari semua pihak
terkait.
2. “…pelaksanaan kebijakan dalam rangka penurunan angka kematian ibu
dan anak sangat bermanfaat dan berhasil guna dalam ikut mensukseskan
program pembangunan kesehatan.
3. “…penurunan angka kematian ibu dan anak merupakan program penting
untuk segera direalisasikan pelaksanaanya dan sangatlah tepat dilakukan
dengan didukung adanya kebijakan kesehatan dari Pemerintah Daerah
Kabupaten Banyumas.
4. “…lebih meningkatkan pengetahuan dan kesadaran masyarakat tentang
peningkatan kesehatan ibu dan anak, melalui program-program yang ada
dan yang telah dilaksanakan.
103
Upaya pelayanan kesehatan dasar merupakan langkah awal yang
sangat penting dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat.
Dengan pemberian pelayanan kesehatan dasar secara cepat dan tepat,
diharapkan sebagian besar masalah kesehatan masyarakat sudah dapat diatasi.
Berbagai pelayanan kesehatan dasar yang dilaksanakan dalam upaya
peningkatan kesehatan ibu dan anak yang dilaksanakan oleh fasilitas
pelayanan kesehatan dapat di lihat dalam rencana kebijakan Dinkes.
Pelaksanaan kebijakan ini secara rinci dapat disajikan dalam matriks di
bawah ini :
Matriks 2. Kebijakan peningkatan pelayanan kesehatan ibu dan anak di
Kabupaten Banyumas.
Kode
Informan
Rencana
Kebijakan
Pemda/Dinkes
Realisasi
Kebijakan
Hasil
Kebijakan
Makna
Kebijakan
01/KABID
YANKES
02/KASI KIA
03/PROG IBU
04/PROG
ANAK
05/KABID
PROMKES
…”Peningkatan
pelayanan
kesehatan ibu dan
anak
melalui
pelayanan K-4.
…”Ibu
hamil
lebih intensive
mendapat
pelayanan K-4,
standar
pelayanan
minimal untuk
cakupan
kunjungan
ibu
hamil...”
…”Kegiatankegiatan
dalam
rangka pelayanan
K-4 ibu hamil
sudah
dilaksanakan
melalui
PuskesmasPuskesmas…”
02/KASI KIA
…”Pertolongan
ibu hamil dan
bayi oleh tenaga
kesehatan
(Nakes)…”
…”Penurunan
komplikasi dan
pertolongan dini
pada
ibu
maternal
dan
bayi baru lahir
oleh
tenaga
kesehatan yang
profasional…”
…”Pengembangan
Pondok Bersalin
Desa(Polindes)
menjadi Poliklinik
Kesehatan
Desa
(PKD) di desadesa,
sosialisasi
persalinan
sehat
dan aman…”
…”Kebijakan
peningkatan
pelayanan K-4
ibu hamil sudah
mulai terlaksana
namun
begitu
hasilnya masih
belum
memenuhi
standar
pelayanan
minimal yang di
harapkan…”
…”Target
standar
pelayanan
minimal untuk
pertolongan
persalinan oleh
nakes Kabupaten
Banyumas sudah
memenuhi
standar
pelayanan.
104
02/KASI KIA
03/PROG IBU
04/PROG
ANAK
…”Kebijakan
pelayanan
Keluarga
Berencana…”
…”Mengatur
jumlah kelahiran
atau
menjarangkan
kelahiran,
suami/istri lebih
diprioritaskan.
…”Terjadi
kenaikan Pasangan
Usia Subur (PUS),
peningkatan
program peserta
KB baru…”
01/KABID
YANKES
02/KASI KIA
05/KABID
PROMKES
…”Peningkatan
pelayanan
kesehatan
Puskesmas,
Rumah
Sakit
sebagai
rujukan…”
…”Jumlah
kunjungan
pasien,
kunjungan
jalan dan
inap…”
…”Peningkatan
jumlah kunjungan
baru
pada
Puskesmas,
peningkatan
kunjungan rawat
jalan, pemanfaatan
rawat inap…”
01/KABID
YANKES
05/KABID
PROMKES
…”Kebijakan
pencegahan dan
pemberantasan
penyakit
menular…”
…”Pencegahan
dan
pemberantasan
polio,
pencegahan dan
pemberantasan
TB
Paru,
pencegahan dan
pemberantasan
penyakit
ISPA…”
baru
target
rawat
rawat
..”Standar
pelayanan minimal
kasus Acute Flacid
Paralysis (AFP),
tingkat kesadaran
masyarakat
TB
paru
dalam
kepatuhan berobat,
penegakan
diagnosa
pneumonia balita.
…”Secara
keseluruhan
program peserta
KB baru dan
peserta KB aktif
sedikit
mengalami
penurunan…”
…”Kebijakan
pelayanan
kesehatan
Puskesmas dan
Rumah
Sakit
dalam
penggunaan
fasilitas
kesehatan telah
memenuhi
target…”
…”Kebijakan
pencegahan dan
pemberantasan
penyakit
menular
telah
dilaksanakan
dengan
hasil
Standar
Pelayanan sudah
memenuhi
target.
Dari matriks di atas dapat diungkapkan bahwa pelaksanaan kebijakan
peningkatan pelayanan kesehatan ibu dan anak di Kabupaten Banyumas di
laksanakan melalui berbagai rencana kebijakan, antara lain : peningkatan
pelayanan ibu hamil, pertolongan ibu hamil dengan Nakes dan peningkatan
pelayanan kesehatan Puskesmas, Rumah Sakit sebagai rujukan.Untuk
terlaksananya rencana-rencana program tersebut, maka perlu diadakannya
kegiatan-kegiatan nyata pada masyarakat dengan di dukung dan ditunjang dari
pemberlakuan kebijakan yang telah disahkan, dana/biaya anggaran yang
tersedia/telah digunakan, maksud dan tujuan diselenggarakan pelayanan
peningkatan kesehatan tersebut.
105
Peningkatan pelayanan kesehatan ini mempunyai tujuan untuk
memberikan pelayanan, pemahaman dan arti penting pelayanan kesehatan
bagi ibu dan anak. Oleh karena itulah rencana kebijakan yang dilakukan di
dalamnya di rasa sangatlah penting dan berguna untuk segera dilaksanakan
secara cepat, tepat dan menyeluruh sesuai dengan perencanaan yang telah
ditetapkan untuk memberikan hasil yang dapat dinikmati seluruh warga
masyarakat.
Hasil data yang dituangkan dalam matriks di atas untuk kemudian
dianalisa dengan Standar Pelayanan Minimal di Kabupaten Banyumas tentang
peningkatan pelayanan kesehatan ibu dan anak, maka dapat ditafsirkan bahwa
pelaksanaan kebijakan peningkatan pelayanan kesehatan ibu dan anak
sangatlah tepat dan sesuai, serta telah memenuhi target pelayanan secara
menyeluruh dari pelaksanaan perencanaan kebijakan tersebut.
Kenyataan ini didukung oleh data penelitian hasil wawancara dengan
petugas pelayanan kesehatan ibu dan anak, yang antara lain menyatakan :
1. “…pelayanan kesehatan ibu dan anak melalui pelayanan K-4 telah
dilaksanakan sesuai rencana melalui kegiatan-kegiatan yang di berikan
pada warga meskipun pemahaman dan kesadaran dari warga di rasa belum
menunjukan hasil yang maksimal namun pelaksanaanya telah memberikan
perubahan-perubahan perilaku dan kesadaran warga dalam upaya
peningkatan kesehatan ibu dan anak”
2. ”…proses yang dilaksanakan dalam peningkatan pelayanan kesehatan
melalui tenaga kesehatan (Nakes) dalam upaya peningkatan kesehatan ibu
106
dan anak oleh Pemda/Dinkes Banyumas menunjukkan peningkatan serta
respon yang positif dari warga masyarakat ini terbukti dengan
terpenuhinya standar pelayanan minimal”
3. ”…peningkatan Pasangan Usia Subur (PUS) di Kabupaten Banyumas
ditanggapi dengan peningkatan pelayanan kesehatan dengan pelaksanaan
program peserta KB baru dan peserta KB aktif di seluruh wilayah
Banyumas”
4. ”…untuk pelaksanaan pencegahan dan pemberantasan penyakit menular
Pemda/Dinkes telah melakukan dan memberikan pengobatan dan
penyuluhan di seluruh wilayah kecamatan melalui tenaga-tenaga medis
dokter, perawat dan bidan yang ada di Puskesmas”.
Pembangunan kesehatan diarahkan untuk mempertinggi derajat
kesehatan yang besar artinya bagi pembangunan dan pembinaan sumber daya
manusia Indonesia dan sebagai modal bagi pelaksanaan pembangunan
nasional yang pada hakikatnya adalah pembangunan manusia seutuhnya dan
pembangunan manusia seluruhnya.
Bahwa dalam rangka meningkatkan derajat kesehatan anak sebagai
generasi penerus bangsa, bayi dan anak perlu dijamin pertumbuhan dan
perkembangannya dengan cara memberi Air Susu Ibu sejak lahir. Pembahasan
“kesehatan anak” diselenggarakan untuk mewujudkan pertumbuhan dan
perkembangan anak, “anak” dalam hal ini dibatasi yaitu bayi dari usia baru
lahir sampai berusia 12 (dua belas) bulan.
107
Mendasarkan pada hal di atas, Pasal 128 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan menyatakan bahwa, “Setiap bayi
berhak mendapat air susu ibu eksklusif sejak dilahirkan selama 6 (enam)
bulan, kecuali atas indikasi medis”. Ayat (2) “Selama pemberian air susu ibu,
pihak keluarga, pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat harus
mendukung ibu bayi secara penuh dengan penyediaan waktu dan fasilitas
khusus”.
Air Susu Ibu (ASI) adalah makanan atau cairan hidup yang terdiri dari
zat kekebalan dan zat gizi yang sesuai dengan kebutuhan bayi. Tidak ada satu
pun makanan yang dapat menyamai ASI dalam kandungan gizi, enzim, faktor
pertumbuhan, hormon, zat imunologik dan anti infeksi sehingga ASI makanan
alamiah terbaik yang sangat tepat untuk mencapai pertumbuhan dan
perkembangan bayi yang optimal, berdasarkan berbagai keunggulan ASI
tersebut, menyusui merupakan standar emas untuk pemberian makanan bayi
sejak lahir sampai berumur 2 (dua) tahun.
Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
menyatakan bahwa setiap anak berhak dapat hidup, tumbuh kembang, dan
berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan
serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Dalam
Konvensi Hak-Hak Anak tahun 1990 antara lain menegaskan bahwa tumbuh
kembang secara optimal merupakan salah satu hak anak, memperoleh
pelayanan kesehatan dan jaminan kesehatan sesuai kebutuhan fisik, mental,
spiritual dan sosial.
108
Berdasarkan analisa perkembangan situasi perilaku pemberian ASI di
Indonesia umumnya dan secara khusus di Kabupaten Banyumas ternyata
masih perlu ditingkatkan, hal ini dapat di lihat dari penelitian lembaga yang
berwenang melakukan penelitian seperti Survei Demografi dan Kesehatan
Indonesia (SDKI) dan BKKBN. Langkah
pemerintah untuk mendukung
kebijakan program tersebut di tetapkan melalui Pasal 129 ayat (1) UndangUndang Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan yang berbunyi sebagai
berikut : “Pemerintah bertanggung jawab menetapkan kebijakan dalam rangka
menjamin hak bayi untuk mendapatkan air susu ibu secara eksklusif”.
Menindaklanjuti hal di atas, pengaturan tentang ASI eksklusif juga
terdapat dalam Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
450/MENKES/SK/IV/2004 tentang Pemberian Air Susu ibu (ASI) secara
eksklusif pada bayi di Indonesia. Maksud dan tujuan pengaturan waktu dalam
memberikan ASI yaitu agar bayi dapat mencapai pertumbuhan dan
perkembangan yang optimal melalui pemberian ASI sebagai makanan yang
terbaik dan yang mengandung gizi yang sesuai.
Dalam pelaksanaan kebijakan di atas, diperlukan sekali peranan
pemerintah daerah dalam hal ini pemerintah daerah Kabupaten Banyumas
untuk dapat mewujudkan tujuan kebijakan tersebut. Pelaksanaan kebijakan
pemberian ASI secara eksklusif dan perbaikan gizi ibu dan anak di Kabupaten
Banyumas dilakukan melalui program-program kesehatan ibu dan bayi yang
dilaksanakan melalui tenaga medis, Puskesmas dan Posyandu-posyandu yang
terdapat hampir di seluruh kecamatan/desa di wilayah Kabupaten Banyumas.
109
Berdasarkan pada penelitian yang dilakukan, pelaksanaan kebijakan
pemberian ASI eksklusif dan perbaikan gizi ibu dan anak yang berada di
seluruh wilayah Banyumas ini dapat berjalan dengan lancar dan baik
sebagaimana data yang dituangkan dalam matriks di bawah ini :
Matriks 3. Kebijakan Peningkatan Pemberian ASI eksklusif dan perbaikan
gizi (ibu dan anak) di Kabupaten Banyumas.
Kode
Informan
Rencana
Kebijakan
Pemda/Dinkes
Realisasi
Kebijakan
Hasil
Kebijakan
Makna
Kebijakan
01/KABID
YANKES
02/KASI KIA
03/PROG IBU
04/PROG ANAK
05/KABID
PROMKES
…”Kebijakan
pemberian
ASI
sebagai
makanan
untuk bayi…”
…”Menetapkan
pemberian
ASI
secara
eksklusif
bagi bayi sejak
bayi lahir sampai
dengan
bayi
berumur 6 bulan
dianjurakan untuk
dilanjutkan sampai
anak berusia 2
tahun…”
…”Kebijakan ini
mengupayakan
terbentuknya
kelompok
pendukung
ASI
(KP-ASI)…”
02/KASI KIA
03/PROG IBU
04/PROG ANAK
…”Perencanaan
program pengganti
air susu ibu…”
03/PROG IBU
04/PROG ANAK
05/KABID
PROMKES
…”Peningkatan
peran
tenaga
kesehatan
dalam
pemberian ASI…”
…”Pengganti air
susu ibu adalah
produk makanan
yang
dipasarkan
dan
dinyatakan
sebagai makanan
untuk
bayi,
makanan
pendamping
air
susu ibu (MP-ASI)
adalah
makanan
atau
minuman
yang mengandung
zat gizi…”
…”Peningkatan
promosi pemberian
ASI eksklusif oleh
dokter,
bidan,
perawat dan tenaga
kesehatan lainnya
yang berada di
Rumah
Sakit,
Puskesmas
dan
Posyandu…”
…”Menjelaskan
kepada semua ibu
hamil
tentang
manfaat menyusui
sejak bayi lahir,
bahwa air susu ibu
adalah
makanan
yang paling baik
dan tepat untuk
pertumbuhan dan
perkembangan
yang sehat bagi
bayi dan anak…”
…”Pelaksanaan
kegiatan makanan
pendamping
air
susu ibu (MP-ASI)
dari umur 6-23
bulan…”
…”Melakukan
advokasi
dan
sosialisasi secara
luas akan manfaat
dan
pentingnya
ASI, penyediaan
anggaran
pelaksanaan
kegiatan
ASI
eksklusif melalui
APBD,
mengadakan
pelatihan
dan
pendidikan formal
…”Kebijakan ini
dimaksudkan agar
dapat
meningkatkan dan
mampu
memberikan hasil
yang yang lebih
baik dalam upaya
peningkatan
pemberian
ASI
eksklusif…”
…”Kebijakan ini
dimaksudkan agar
pemahaman
dan
pengetahuan
ibu
hamil
dan
menyusui tentang
MP-ASI
meningkat…”
110
02/KASI KIA
03/PROG IBU
04/PROG ANAK
…”perbaikan gizi
ibu dan anak…”
…”peningkatan
pelayanan
pemberian
gizi
pada anak dan ibu
hamil.
di bidang advokasi,
sosialisasi,
dan
promosi
kesehatan…”
…”pemantauan
pemberian
gizi
pada anak da ibu
hamil, pelayanan
gizi
denga
pemberian kapsul
vitamin
A,
pemberian tablet
besi (Fe) guna
mengurangi
dampak
buruk
kekurangan (Fe).
…”Kebijakan ini
bertujuan
untuk
meningkatkan gizi
pada ibu dan anak,
meminimalisasi
kekurangan
vitamin A dan
(Fe)…”
Sumber : Data Primer yang diolah
Berdasarkan pada matriks di atas, dapat dijelaskan bahwa pelaksanaan
kebijakan pemberian ASI eksklusif dan perbaikan gizi pada ibu dan anak di
wilayah kabupaten Banyumas masih perlu diupayakan lebih giat lagi melalui
kegiatan-kegiatan promosi dan penyuluhan oleh semua pihak yang
berkompeten. Kegiatan tersebut telah dilaksanakan oleh tenaga-tenaga
kesehatan yang ada di seluruh wilayah kabupaten Banyumas melalui Rumah
Sakit, Puskesmas dan Posyandu.
Fakta tersebut di atas di dukung oleh hasil wawancara kepada beberapa
tenaga kesehatan di Kabupaten Banyumas yang antara lain :
1. ”…rencana kebijakan yang dilakukan dalam upaya pemberian ASI
eksklusif diwujudkan dalam berbagai kegiatan. Melakukan penyuluhan
kepada ibu hamil dan ibu menyusui, melakukan pelatihan dan ketrampilan
pada tenaga kesehatan”
2. ”…pelaksanaan kebijakan pemberian makanan pengganti ASI terus di
tingkatkan dengan kegiatan-kegiatan promosi mengenai produk yang di
pasarkan harus memenuhi kebutuhan zat gizi sebagai pengganti air susu
111
ibu baik sebagian atau selurunya, hal ini harus lebih ditekankan oleh
tenaga kesehatan kepada ibu hamil atau menyusui”
3. ”…masih terbatasnya pengetahuan ibu tentang kandungan gizi ASI, belum
ada pendidikan dan pelatihan tentang ASI eksklusif 6 bulan di daerah,
kerjasama lintas program belum terbina”.
4. “…perbaikan gizi bagi ibu dan anak dengan memberikan kapsul vitamin A
dan pemberian tablet Besi (Fe) telah dilaksanakan, di lakukan pula upayaupaya peningkatan kesadaran tentang arti penting perbaikan gizi bagi ibu
dan anak di seluruh wilayah Kabupaten Banyumas.
Upaya perbaikan gizi masyarakat sebagai upaya dalam peningkatan
kesehatan ibu dan anak ditujukan untuk meningkatkan mutu gizi ibu dan anak
serta masyarakat pada umumnya. Dalam kaitanya dengan peningkatan
kesehatan ibu dan anak, pemberian gizi dilakukan agar dapat memantau
pertumbuhan gizi anak/balita dan ibu hamil di wilayah Kabupaten Banyumas.
Dari kenyataan di atas dapat ditarik kesimpulan sementara bahwa
pelaksanaan kebijakan pemerintah daerah Kabupaten Banyumas dalam upaya
peningkatan kesehatan ibu dan anak melalui kebijakan-kebijakan yang telah
direncanakan adalah tepat dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku. Dengan demikian kebijakan peningkatan kesehatan ibu dan
anak sebagaimana telah dipaparkan dalam matriks-matriks di muka
merupakan tugas dan wewenang Dinas Kesehatan yang secara yuridis formal
menjadi kewajiban hukum yang harus dijalankan sebagai dinas yang
menangani dan mengurusi semua kegiatan bidang kesehatan. Oleh karena itu
112
pelaksanaan peningkatan kesehatan ibu dan anak sangat perlu diperhatikan
karena pada dasarnya merupakan suatu kewajiban dari kebijakan yang telah
direncanakan dan ditetapkan pemerintah daerah, dalam hal ini Dinas
Kesehatan Kabupaten Banyumas sebagai salah satu wujud dari pengembangan
pembangunan kesehatan dengan harapan menjadi lebih baik.
B. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pelaksanaan Kebijakan Peningkatan
Kesehatan Ibu dan Anak di Kabupaten Banyumas
Sebagaimana telah dijelaskan di atas, bahwa pelaksanaan kebijakan
pemerintah daerah dalam peningkatan kesehatan ibu dan anak melalui Dinas
Kesehatan Kabupaten Banyumas, merupakan pengembangan pembangunan
kesehatan di daerah untuk menuju perubahan-perubahan peningkatan
kesehatan ibu dan anak di Kabupaten Banyumas tentunya tidak terlepas dari
faktor-faktor yang mempengaruhi dari pelaksanaan kebijakan-kebijakan
tersebut agar terwujud dengan baik dan pemanfaatannya dapat langsung
dirasakan oleh masyarakat Banyumas. Rencana pelaksanaan kebijakan sebagai
upaya peningkatan kesehatan ibu dan anak yang ingin di capai dapat dilihat
dengan
adanya
kebijakan-kebijakan
pelaksanaannya, antara lain :
yang
mempengaruhi
dalam
113
Matriks 1. Faktor-faktor
yang
mempengaruhi
pelaksanaan
kebijakan
peningkatan kesehatan ibu dan anak di Kabupaten Banyumas.
Kode
Informan
Jenis Kebijakan
Faktor-faktor yang
memepengaruhi
01/KABID
02/KASI
03/PROG IBU
04/PROG ANAK
05/KABID PROMKES
1. kebijakan penurunan angka
kematian ibu dan anak.
02/KASI KIA
03/PROG IBU
04/PROG ANAK
2. kebijakan peningkaatan
pelayanan kesehatan ibu dan
anak.
01/KABID YANKES
02/KASI KIA
03/PROG IBU
04/PROG ANAK
05/KABID PROMKES
3. kebijakan peningkatan
pemberian ASI eksklusif dan
perbaikan gizi ibu dan anak.
…”terdapat beberapa faktor
yang mempengaruhi dalam
proses pelaksanaan kebijakan
mengenai penurunan angka
kematian ibu dan anak, seperti:
1. adanya
kesesuai
dengan
kebijakan/program
yang telah ditetapkan;
2. target yang akan di
capai;
3. dukungan dan peran
aktif warga;
4. anggaran
yang
disediakan
kurang
mencukupi;
5. faktor pendidikan dan
ekonomi;
6. tingkat
morbiditas
yang masih tinggi;
…”terdapat beberapa faktor
yang mempengaruhi dalam
proses pelaksanaan kebijakan
mengenai upaya peningkatan
pelayanan kesehatan ibu dan
anak, seperti :
1. telah sesuai dengan
kebijakan/program
yang telah di tetapkan;
2. untuk
meningkatkan
derajat kesehatan ibu
dan anak;
3. belum
maksimalnya
pemanfaatan
sarana
dan tenaga kesehatan;
4. anggaran
yang
disediakan
kurang
cukup memenuhi.
…”terdapat beberapa faktor
yang mempengaruhi proses
pelaksanaan
kebijakan
mengenai
peningkatan
pemberian
ASI
eksklusif,
seperti :
1. peningkatan promosi
ASI eksklusif;
2. terbatasnya
alokasi
dana dari APBD dan
114
APBN;
kerjasama
lintas
program belum terbina;
4. belum
adanya
peraturan
daerah
Kabupaten Banyumas
yang secara khusus
mengatur
tentang
program
serta
pelaksanaan pemberian
ASI eksklusif.
…”terdapat beberapa faktor
yang mempengaruhi proses
pelaksanaan
kebijakan
mengenai
peningkatan
perbaikan gizi bagi ibu dan
anak, seperti :
1.
telah sesuai dengan
kebijakan/program
yang ditetapkan;
2.
target yang akan di
capai;
3.
peningkatan promosi
pemberian gizi bagi
anak dan ibu;
4.
masih
rendahnya
kesadaran keluarga
dan ibu hamil.
3.
Sumber : Data Primer yang diolah
Berdasarkan pada matriks di atas dapat dijelaskan, bahwa dalam
pelaksanaan kebijakan peningkatan kesehatan ibu dan anak harus diselaraskan
dengan kebijakan/program yang telah ditetapkan. Dalam hal ini Pemerintah
Daerah Banyumas mempunyai peranan yang besar dalam pelaksanaan
kebijakan-kebijakan tersebut, khususnya melalui Dinas Kesehatan sehingga
pelaksanaan tersebut dapat dilakukan secara menyeluruh di wilayah
Kabupaten Banyumas.
Mencermati hal diatas, maka dapat diketahui bahwa terdapat faktorfaktor positif yang mempengaruhi pelaksanaan kebijakan peningkatan
kesehatan ibu dan anak yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah
Kabupaten Banyumas melalui Dinas Kesehatan dilaksanakan untuk lebih
115
meningkatkan derajat kesehatan ibu dan anak. Melalui program-program yang
direncanakan dan dilaksanakan oleh seluruh tingkat pelayanan kesehatan yang
ada di Kabupaten Banyumas. Faktor tersebut meliputi : kebijakan penurunan
angka kematian ibu dan anak, kebijakan peningkatan pelayanan kesehatan ibu
dan anak, kebijakan peningkatan pemberian Air Susu Ibu (ASI) eksklusif dan
perbaikan gizi ibu dan anak.
Pelaksanaan kebijakan penurunan angka kematian ibu dan anak telah
dilaksanakan sesuai dengan program/kebijakan yang ditetapkan. Hal ini dapat
di lihat dari kesesuaian kebijakan/program yang ditetapkan, kejelasan dan
ketepatan target yang akan di capai, dan adanya dukungan serta peran aktif
masyarakat. Di harapkan pelaksanaan kebijakan tersebut dapat memberikan
manfaat dan dampak positif
bagi peningkatan kesehatan masyarakat
Kabupaten Banyumas.
Kebijakan peningkatan pelayanan kesehatan ibu dan anak telah
dilaksanakan sesuai dengan kebijakan/program yang telah ditetapkan.
Pelaksanaan kebijakan tersebut bertujuan untuk meningkatkan derajat
kesehatan ibu dan anak di seluruh wilayah Kabupaten Banyumas.
Pelaksanaan kebijakan pemberian Air Susu Ibu (ASI) eksklusif dan
perbaikan gizi anak yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah Kabupaten
Banyumas. Kebijakan pemberian ASI eksklusif ditingkatkan melalui promosi
yang dilakukan oleh Dinkes, peningkatan tersebut dilaksanakan melalui
penyuluhan-penyuluhan yang diberikan oleh tenaga pelayan kesehatan yang
ada di Rumah Sakit, Puskesmas, dan Posyandu. Kebijakan perbaikan gizi anak
116
telah dilaksanakan sesuai dengan kebijakan/program yang telah ditetapkan,
kejelasan dan ketepatan target yang akan dicapai, dan peningkatan promosi
pemberian gizi bagi ibu dan anak di seluruh wilayah Kabupaten Banyumas.
Terlepas dari faktor-faktor positif sebagaimana disebutkan di atas,
terdapat pula faktor-faktor negatif yang mempengaruhi kebijakan pelaksanaan
tersebut dalam upaya peningkatan kesehatan ibu dan anak di Kabupaten
Banyumas.
Faktor-faktor tersebut dapat di lihat dari beberapa hal diantaranya
faktor pendidikan dan ekonomi masyarakat di Kabupaten Banyumas.
Berdasarkan data dari BKCKB di informasikan bahwa tingkat pendidikan
paling banyak adalah tamat SD ada sekitar (38,78%), kemudian tidak tamat
SD (15,46%), masih tingginya jumlah penduduk yang belum/tidak bekerja
yaitu (25, 46%) merupakan faktor yang mempengaruhi untuk dapat
menghambat suksesnya pelaksanaan kebijakan peningkatan kesehatan ibu dan
anak di Kabupaten Banyumas. (Prifil Kesehatan Kab. Banyumas, 2008:6).
Tingkat morbiditas yang ada di Kabupaten Banyumas juga ikut
mempengaruhi pelaksanaan kebijakan ini. Kasus penyakit malaria klinis
mengalami kenaikan 729 kasus, jumlah kasus demam berdarah dengue juga
terjadi peningkatan. Hal ini dapat dijadikan indikasi masih lemahnya tingkat
kesadaran masyarakat Banyumas terhadap kesehatan, diharapkan peran aktif
dari masyarakat untuk ikut serta meningkatkan kesehatan guna mencegah
suatu wabah penyakit muncul di lingkunganya. Jika peran masyarakat ini tidak
berjalan ini akan berpengaruh terhadap kebijakan yang telah direncanakan.
117
Tidak setiap kegiatan atau usaha yang bertujuan supaya warga menaati
hukum, menghasilkan kepatuhan tersebut. Ada kemungkinan bahwa kegiatan
atau usaha tersebut malahan menghasilkan sikap tindak yang bertentangan
dengan tujuannya. Misalnya, kalau ketaatan terhadap hukum dilakukan
dengan hanya mengetengahkan sanksi-sanksi negatif yang berwujud hukuman
apabila hukum dilanggar, maka mungkin warga masyarakat malahan hanya
taat pada saat ada petugas saja. (Soerjono Soekanto, 1983:49).
Minimnya anggaran untuk alokasi peningkatan kesehatan ibu dan anak
juga merupakan salah satu faktor negatif atau kurang mendukung, telah
ditentukan bahwa alokasi anggaran untuk pelayanan kesehatan untuk daerah
provinsi, kabupaten/kota minimal 10% dari anggaran pendapatan dan belanja
daerah di luar gaji. Pada beberapa kebijakan lain terdapat juga faktor yang
mempengaruhi pelaksanaan kebijakan tersebut, yakni belum adanya peraturan
daerah yang secara detail mengatur tentang pelaksanaan pemberian Air Susu
Ibu (ASI) secara eksklusif pada bayi. Peraturan yang ada masih mendasarkan
pada Pasal 129 ayat (1) Undang-Undang Nomor 36 tahun 2009 tentang
Kesehatan
dan
Keputusan
Menteri
Kesehatan
Nomor
450/MENKES/SK/IV/2004.
Peran atau peraturan-peraturan yang penting yang harus dibuat
pemerintah untuk kepentingan tersebut adalah Pelaksanaan Kebijakan dalam
peningkatan kesehatan ibu dan anak. Selain itu, pemerintah juga bertanggung
jawab atas peningkatan sumber daya manusia masyarakat Banyumas. Oleh
karena itu, perencanaan dan pelaksanaan suatu kebijakan dalam peningkatan
118
kesehatan ibu dan anak untuk dapat diterapkan yang sesuai dengan peraturan
pemerintah dan undang-undang yang berlaku mutlak dilaksanakan oleh
pemerintah. Didalam pembangunan kesehatan harus merupakan pembangunan
yang berencana secara menyeluruh, sehingga dapat diperoleh hasil yang
optimal bagi masyarakat, baik dari segi ekonomi, sosial dan kultural.
Pelaksanaan suatu pembangunan dan pengembangan kesehatan harus
melalui tahap dasar yaitu sebuah perencanaan. Perencanaan tersebut harus
mengintegrasikan pembangunan kesehatan
ke
dalam
suatu
program
pembangunan ekonomi, fisik, dan sosial dari suatu negara. Di samping itu,
rencana tersebut harus mampu memberikan kerangka kerja kebijakan
pemerintah, untuk mendorong dan mengendalikan pembangunan dan
pengembangan kesehatan. Peranan pemerintah dalam mengembangkan
kesehatan dalam garis besarnya adalah menyediakan infrastruktur tidak hanya
dalam bentuk fisik, memperluas berbagai fasilitas, kegiatan koordinasi antara
aparatur pemerintah dengan berbagai pihak, pengaturan, dan promosinya.
Suatu kenyataan yang tidak dapat di pungkiri bahwa diseluruh wilayah
Indonesia berupaya untuk meningkatkan derajat kesehatan ibu dan anak, maka
yang perlu diperhatikan juga adalah sarana transportasi, keadaan infrastruktur
dan sarana-sarana kesehatan.
Kenyataan yang ada di lapangan daerah Banyumas dalam peningkatan
kesehatan ibu dan anak memang sangat perlu mendapat perhatian khusus dan
pelaksanaan secepat mungkin oleh pemerintah daerah Banyumas guna
mengoptimalkan peningkatan kesehatan ibu dan anak. Kebijakan kesehatan
yang mendasarkan pada data dan bukti dengan mempertimbangkan norma
119
sosial budaya menghadapi tantangan banyak faktor. Sementara banyak pihak
sepakat pentingnya kebijakan kesehatan yang mendasarkan pada informasi
akurat dari lapangan, diperlukan suatu mekanisme pengumpulan dan
pelaporan data yang lebih untuk ‘pembelajaran kebijakan’. Di samping itu,
pertimbangan konteks lokal perlu dijamin mengingat variasi besar profil
geografis, sosial, dan ekonomi di Kabupaten Banyumas. Masih minimnya
keterlibatan organisasi masyarakat sipil dalam proses kebijakan kesehatan
perlu dikoreksi di semua tingkat supaya dihasilkan kebijakan dan
implementasi kebijakan yang lebih sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Beberapa hal yang cenderung mempengaruhi pelaksanaan kebijakan
pemerintah daerah dalam peningkatan kesehatan ibu dan anak, antara lain :
1. Sumber daya kesehatan di Kabupaten Banyumas;
2. Penyelenggaraan pembiayaan kesehatan untuk Gakin dan masyarakat
rentan di Kabupaten Banyumas.
Sumber daya di bidang kesehatan adalah segala bentuk dana, tenaga,
perbekalan kesehatan, sediaan farmasi dan alat kesehatan serta fasilitas
pelayanan
kesehatan
dan
teknologi
yang
dimanfaatkan
untuk
menyelenggarakan upaya kesehatan yang dilakukan oleh pemerintah,
pemerintah daerah, dan/atau masyarakat.
Fasilitas pelayanan kesehatan adalah suatu alat dan/atau tempat yang
digunakan untuk menyelenggarakan upaya pelayanan kesehatan, baik
promotif, preventif, kuratif, maupun rehabilitatif yang dilakukan oleh
pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat. Jumlah sarana
120
pelayanan kesehatan berupa Rumah Sakit dan Puskesmas di Kabupaten
Banyumas sampai dengan 2009 kurang lebih telah ada sebanyak 54 buah.
Jumlah sarana kesehatan yang meliputi Rumah Sakit, Puskesmas, dan
Pelayanan Kesehatan (Rumah Bersalin) sebanyak 80 buah, semuanya
mempunyai kemampuan pelayanan gawat darurat. Sedangkan jumlah
Puskesmas yang ada di Kabupaten Banyumas sebanyak 39, yang terdiri dari
14 Puskesmas Perawatan dan 25 Puskesmas Non Perawatan. Memperhatikan
jumlah pertumbuhan penduduk yang mengalami peningkatan sebesar 0.07%
serta kepadatan penduduk sebesar 1.193 jiwa/km persegi maka bisa
dimungkinkan untuk pengembangan jumlah sarana kesehatan di Kabupaten
Banyumas
untuk
lebih
meningkatkan
derajat
kesehatan
masyarakat
Banyumas.
Tenaga kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam
bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan/atau keterampilan melalui
pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan
kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan. Data terakhir tenaga medis
baik yang ada di Puskesmas, Rumah Sakit maupun yang ada di institusi lain
sebanyak 303 orang, rasio tenaga medis terhadap penduduk sebesar 1,93 per
10.000 penduduk jumlah ini di nilai masih kurang untuk peningkatan
kesehatan di Kabupaten Banyumas. Adapun jumlah tenaga medis yang ada di
Puskesmas sebanyak 90 orang atau sebesar 0,57 per 10.000 penduduk.
Jumlah tenaga perawat dan bidan yang ada di Puskesmas, RS maupun
yang ada di institusi yang lain sebanyak 1.346 orang, rasio tenaga perawat dan
bidan terhadap penduduk sebesar 8.56 per 10.000 penduduk. Adapun jumlah
121
tenaga perawat dan bidan yang ada di Puskesmas sebanyak 529 orang atau
sebesar 3.41 per 10.000 penduduk. (Profil Kesehatan Kab. Banyumas,
2008:34)
Jumlah tenaga farmasi yang ada di Puskesmas, RS maupun yang ada di
institusi lain sebanyak 94 orang, rasio tenaga farmasi terhadap penduduk
sebesar 0,6 per 10.000 penduduk. Adapun jumlah tenaga farmasi yang ada di
Puskesmas sebanyak 7 orang, atau sebesar 0,04 per 10.000 penduduk. Jumlah
tenaga gizi di Puskesmas, RS maupun di institusi lain ada sebanyak 38 orang,
untuk rasio tenaga gizi terhadap penduduk sebesar 0,24 per 10.000. adapun
jumlah tenaga gizi yang ada di Puskesmas sebanyak 19 orang atau sebesar
0,09 per 10.000, jumlah ini tentunya masih kurang sangat dibutuhkan
penambahan tenaga gizi terutama untuk yang di Puskesmas-Puskesmas.
Sehingga diharapkan mampu memberikan dan meningkatkan kesadaran
tentang arti penting manfaat pemenuhan. gizi bagi peningkatan kesehatan.
(Profil Kesehatan Kab. Banyumas, 2008: 34-35).
Tenaga teknis medis di Puskesmas, RS maupun di institusi yang lain
sebanyak 126 orang. Jumlah tenaga medis yang ada di Puskesmas sebanyak 6
orang, atau sebesar 0,04 per 10.000 penduduk, jumlah yang terlalu sedikit untuk
upaya peningkatan kesehatan. Untuk tenaga sanitasi yang ada 61 orang dengan,
sedangkan untuk tenaga kesehatan masyarakat ada sebanyak 49 orang, rasio
tenaga Kesmas terhadap penduduk sebesar 0,31 per 10.000 penduduk. Sedangkan
tenaga Kesmas yang ada di Puskesmas sebanyak 16 orang atau sebesar 0,1 per
10.000 penduduk. (Profil Kesehatan Kab. Banyumas, 2008:36).
122
Sehubungan dengan hal di atas, berdasarkan data hasil penelitian yang
dilakukan, faktor yang cenderung mempengaruhi kebijakan peningkatan
kesehatan ibu dan anak di daerah Banyumas dengan memperhatikan sarana,
prasarana dan tenaga kesehatan yang ada di Kabupaten Banyumas dituangkan
ke dalam bentuk matriks di bawah ini :
Matriks. 2. Faktor-faktor
yang
mempengaruhi
kebijakan
peningkatan
kesehatan ibu dan anak di lihat dari sarana, prasarana dan tenaga
kesehatan yang ada di Kabupaten Banyumas.
Kode
Informan
Jenis Kebijakan
Jumlah sumber daya
kesehatan
01/KABID YANKES
05/KABID PROMKES
1.Kebijakan penyebaran sarana
pelayanan kesehatan di Rumah
Sakit dan Puskesmas di
Kabupaten Banyumas.
01/KABID YANKES
2.
Kebijakan
penyebaran
tenaga medis menurut unit
kerja di Kabupaten Banyumas
jumlah
sarana
pelayanan
kesehatan yang ada di
Banyumas sebagai berikut:
Rumah Sakit Umum ada 11
buah, Rumah Sakit Jiwa 0
buah, Rumah Sakit Khusus 4
buah, Puskesmas 39 buah.
jumlah tenaga medis yang
tersebar
di
kabupaten
Banyumas sebagai berikut :
Puskesmas 90 orang, Rumah
Sakit 197 orang, Dinas
Kesehatan
dan
Sarana
Kesehatan lain 11 orang.
Penyebaran tenaga kesehatan
perawat dan bidan, sebagai
berikut :
Puskesmas 576 orang, Rumah
Sakit 767 orang, Dinas
Kesehatan
dan
Sarana
Kesehatan lain 3 orang.
3.
Kebijakan
penyebaran
tenaga perawat dan bidan
menurut unit kerjanya di
Kabupaten Banyumas.
4.
Kebijakan
penyebaran
tenaga farmasi menurut unit
kerjanya
di
Kabupaten
Banyumas.
Penyebaran tenaga kesehatan
farmasi, sebagai berikut :
Puskesmas 7 orang, Rumah
Sakit
81
orang,
Dinas
Kesehatan 2 orang, dan Sarana
Kesehatan lain 4 orang.
Sumber : Data Primer yang diolah
Berdasarkan matriks di atas dapat dijelaskan bahwa, faktor-faktor yang
cenderung mempengaruhi pelaksanaan kebijakan peningkatan kesehatan ibu
123
dan anak dalam sumber daya kesehatan yang ada di Kabupaten Banyumas
adalah masih terbatasnya sarana dan tenaga pelayanan kesehatan serta belum
dapat
terlaksananya
penyebaran
tenaga
pelayanan
kesehatan
secara
menyeluruh menjangkau seluruh daerah-daerah pelosok wilayah Kabupaten
Banyumas.
Kepastian dan kecepatan penanganan permasalahan senantiasa
tergantung pada masukan sumber daya yang diberikan di dalam programprogram pelaksanaan peningkatan kesehatan ibu dan anak. Tanpa adanya
sarana atau fasilitas tertentu, maka tidak mungkin penegakan hukum akan
berlangsung secara lancar. Sarana atau fasilitas tersebut antara lain, mencakup
tenaga manusia yang berpendidikan dan terampil, organisasi yang baik,
peralatan yang memadai, keuangan yang cukup, dan seterusnya. Kalau hal-hal
itu tidak terpenuhi, maka mustahil penegakan hukum mencapai tujuannya.
(Soerjono Soekanto, 1983:37).
Akses kesehatan dan kualitas pelayanan kesehatan masih di rasa belum
maksimal. Belum ada suatu mekanisme efektif yang menjamin akses terhadap
pelayanan kesehatan yang berkualitas bagi masyarakat. Kinerja sektor
kesehatan diperlemah oleh rendahnya kompetensi dan ketimpangan distribusi
tenaga kesehatan. Di samping itu, masih terdapat tenaga kesehatan pemerintah
yang bekerja tidak resmi di sektor swasta karena alasan pendapatan.
Sistem informasi kesehatan terutama informasi puskesmas melemah,
sejalan dengan berlangsungnya desentralisasi. Sekarang ini, kurang dari 30%
puskesmas yang melaporkan secara teratur data pelayanan ke tingkat
124
administrasi yang lebih tinggi. Kepincangan sistem informasi puskesmas ini
membuat survei menjadi sumber utama data untuk perencanaan kebijakan,
manajemen dan evaluasi program kesehatan. Data survei ini mempunyai arti
penting, tetapi belum mampu menggambarkan secara utuh dan menyeluruh
situasi pelayanan kesehatan.
Pemahaman sempit tentang arti penting ‘kesehatan’ membuat fokus
pelayanan lebih kuratif dibanding preventif dengan investasi besar pada rumah
sakit dan puskesmas. Anggaran kesehatan yang masih rendah sebagai satu
elemen kronis penyebab lemahnya sistem pelayanan kesehatan ibu dan anak.
Sejauh ini sumber swasta menempati 75 sampai 80 % pembiayaan kesehatan.
Dari sumber swasta ini, sekitar 72% dari kantong masyarakat, situasi ini
membuat pelayanan kesehatan menjadi mahal terlebih bagi masyarakat
miskin.
Proses dan implementasi kebijakan kesehatan yang memihak
kebutuhan masyarakat masih menghadapi banyak tantangan. Proses kebijakan
kesehatan belum mendasarkan pada ‘data’ atau ‘bukti’ dan belum melibatkan
masyarakat sipil dan aktor kunci lain. Di samping itu, budaya pendekatan
‘proyek’ , kelemahan sistem kesehatan, dan diskoneksi kebijakan pusat-daerah
membuat implementasi kebijakan perbaikan pelayanan kesehatan semakin
tidak mudah.
Penggunaan data dalam proses kebijakan kesehatan masih tantangan.
Penggunaan data bagi para pengambilan kebijakan kesehatan belum sebagai
suatu budaya. Akibatnya, perencanaan kesehatan sering kurang mendasarkan
125
pada kebutuhan prioritas, dan manajemen program kesehatan kurang didukung
dengan monitoring dan evaluasi yang ditunjang dengan data yang memadai.
Kurangnya penggunaan data boleh jadi karena data yang tersedia kurang
akurat, sebaliknya kurangnya penggunaan data menyebabkan rendahnya
motivasi dan upaya memperbaiki pengumpulan dan pelaporan data kesehatan.
Pelaksanaan yang terjadi sampai saat ini derajat kesehatan masyarakat
masih rendah khususnya masyarakat miskin, hal ini dapat digambarkan bahwa
angka kematian ibu dan angka kematian bayi bagi masyarakat miskin tiga kali
lebih tinggi dari masyarakat tidak miskin. Salah satu penyebabnya adalah
karena mahalnya biaya kesehatan sehingga akses ke pelayanan kesehatan
umumnya masih rendah. Derajat kesehatan masyarakat miskin berdasarkan
indikator Angka Kematian Bayi (AKB) dan Angka Kematian Ibu (AKI) di
Indonesia, masih cukup tinggi yaitu AKB sebesar 35 persen per 1000
kelahiran hidup (Susenas, 2003) dan AKI sebesar 307 per 100.000 kelahiran
hidup (SDKI 2002-2003). (Jurnal Hukum Kesehatan, 2009:1).
Kesehatan ibu, bayi baru lahir dan anak masih menjadi masalah utama
di Indonesia. Keadaan menunjukkan bahwa setiap jam, 2 ibu meninggal
terkait dengan komplikasi kehamilan dan persalinan, sementara pada bayi baru
lahir 10 yang meninggal. Hal yang sama terjadi pada 18 bayi dan 24 anak
balita yang meninggal pada jam yang sama. Ironisnya, sebagian besar (80%)
penyebab kematian ibu, bayi baru lahir serta anak balita itu dapat dicegah
dengan teknologi sederhana yang tersedia di Puskesmas dan jaringannya.
126
Hanya sedikit yang memerlukan penanganan dengan biaya mahal dan
teknologi tinggi.( Majalah Info Forum, 2006:5).
Dalam jangka menengah, Departemen Kesehatan bertujuan untuk
menurunkan angka kematian ibu (AKI) dari 307/100.000 kelahiran hidup
menjadi 226/100.000 kelahiran hidup melalui kebijakan Making Pregnancy
Safer (MPS), serta menurunkan angka kematian bayi (AKB) dari 35/1000
kelahiran hidup menjadi 26/1000 kelahiran hidup, serta meningkatkan kualitas
hidup tumbuh kembang anak.
Departemen Kesehatan menyiapkan empat strategi utama untuk
mencapai tujuan tersebut, yaitu; (1) Menggerakkan dan memperdayakan
masyarakat untuk hidup sehat, (2) meningkatkan akses masyarakat terhadap
pelayanan kesehatan yang berkualitas, (3) meningkatkan sistem surveilans,
monitoring dan informasi kesehatan serta (4) meningkatkan pembiayaan
kesehatan. Pemerintah Daerah yang mempunyai kemampuan keuangan, maka
masyarakat miskin di luar kuota Jamkesmas pelayananya ditanggung oleh
Pemerintah Daerah yang penyelenggaraanya dilaksanakan secara berbedabeda.
Banyak faktor yang menyebabkan ketimpangan di dalam pelayanan
kesehatan terutama yang terkait dengan biaya pelayanan kesehatan,
ketimpangan tersebut di antaranya diakibatkan perubahan pola penyakit,
perkembangan teknologi kesehatan dan kedokteran, pola pembiayaan
kesehatan berbasis pembayaran swadana (out of pocket). Biaya kesehatan
127
yang mahal dengan pola pembiayaan kesehatan berbasis pembayaran semakin
mempersulit masyarakat untuk melakukan akses ke pelayanan kesehatan.
Selama ini dari aspek pengaturan masalah kesehatan baru di atur dalam
tataran undang-undang dan peraturan yang ada di bawahnya, tetapi semenjak
amandeman UUD 1945 perubahan ke dua dalam pasal 28H Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia, yang menyatakan bahwa setiap orang
berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan
lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan
kesehatan. Dalam amandemen UUD 1945 perubahan ketiga Pasal 34 ayat (3)
dinyatakan bahwa negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas
pelayanan kesehatan dan fasilitas umum yang layak.
Mencermati hal di atas, berdasarkan Pasal 170 Ayat (1) UndangUndang Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan yang berbunyi sebagai
berikut : “Pembiayaan kesehatan bertujuan untuk penyediaan pembiayaan
kesehatan yang berkesinambungan dengan jumlah yang mencukupi, teralokasi
secara adil, dan termanfaatkan secara berhasil guna dan berdaya guna untuk
menjamin terselenggaranya pembangunan kesehatan agar meningkatkan
derajat kesehatan masyarakat setinggi-tingginya”. Ayat (3) berbunyi “Sumber
pembiayaan
kesehatan
berasal
dari
pemerintah,
pemerintah
daerah,
masyarakat, swasta, dan sumber lain”.
Departemen
kesehatan
menetapkan
kebijakan
untuk
lebih
memfokuskan perhatian pelayanan kesehatan terhadap masyarakat miskin dan
masyarakat tidak mampu. Dasar pemikirannya adalah selain memenuhi
128
kewajiban pemerintah, tetapi juga berdasarkan kajian dan pengalaman bahwa
akan terjadi percepatan perbaikan indikator kesehatan apabila lebih
memperhatikan dan fokus pada pelayanan kesehatan masyarakat miskin dan
tidak mampu. Saat ini pemerintah sedang memantapkan penjaminan kesehatan
bagi
masyarakat
miskin
melalui
Jamkesmas
sebagai
bagian
dari
pengembangan jaminan secara menyeluruh. Melalui Jaminan Kesehatan
Masyarakat (Jamkesmas) diharapkan dapat meningkatkan umur harapan hidup
masyarakat Banyumas, menurunkan angka kematian ibu melahirkan,
menurunkan angka kematian bayi dan balita serta penurunan angka kelahiran,
disamping itu dapat terlayaninya kasus-kasus kesehatan masyarakat Banyumas
pada umumnya.
Pemerintah Daerah yang mempunyai kemampuan keuangan, maka
masyarakat miskin di luar kuota Jamkesmas pelayanan kesehatannya
ditanggung oleh Pemerintah Daerah yang penyelenggaraanya berbeda-beda.
Sesuai Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
dalam Pasal 22H dinyatakan bahwa daerah mempunyai kewajiban
mengembangkan sistem jaminan sosial. Dengan demikian maka Pemerintah
Daerah di wajibkan mengembangkan sistem jaminan sosial yang di dalamnya
termasuk jaminan kesehatan. Pada bagian lain tentang pelayanan sistem
jaminan sosial tercantum pada Peraturan Pemerintah Nomor 38 tahun 2007
tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah Daerah Provinsi
dan Pemerintah Daerah Kabupaten Kota, dalam lampiran Peraturan
Pemerintah tersebut pada huruf B tentang pembagian urusan pemerintahan
129
Bidang Kesehatan dalam sub bidang pembiayaan kesehatan Pemerintah
Daerah Provinsi mempunyai kewenangan melakukan 1) Pengelolaan
penyelenggaraan, bimbingan, pengendalian jaminan pemeliharaan kesehatan
skala provinsi, 2) Bimbingan pengendalian penyelenggaraan jaminan
kesehatan nasional (tugas pembantuan). Sementara Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota
mempunyai
kewenangan
melakukan
1)
Pengelolaan/Penyelenggaraan Jaminan Pemeliharan Kesehatan sesuai dengan
kondisi lokal, 2) Menyelenggarakan Jaminan Kesehatan Nasional (tugas
pembantuan).
Terdapat beberapa kendala-kendala dalam pelaksanaan Jamkesmas,
kendala utama dalam pengorganisasian adalah masih kurang optimal peran
fungsi tim pengelola dan tim koordinasi provinsi/kabupaten/kota. Sosialisasi,
advokasi, monitoring, evaluasi dan pelaporan dalam keuangan serta serta
kinerja pelayanan kesehatan masih belum berjalan sebagaimana seharusnya.
Karena itu diperlukan komitmen dari Dinas Kesehatan sebagai penanggung
jawab pengelolaan Jamkesmas di Kabupaten Banyumas. Pemerintah daerah
Kabupaten Banyumas kurang komitmen dalam pendanaan Jaminan Kesehatan
masyarakat di luar kuota, sedangkan yang sudah mempunyai pendanaan
pengelolaan belum seluruhnya mengikuti mekanisme JAMKESMAS, hal ini
menyebabkan menjadi kurang harmonisnya pelaksanaan Jamkesmas yang
dibiayai oleh APBN dan pengelolaan yang dibiayai oleh APBD. Adanya
indikasi pemerintah daerah memasukkan dana belanja bantuan sosial ini ke
dalam PAD, hal ini akan menggangu pelayanan kesehatan bagi orang miskin.
130
Seharusnya dana belanja bantuan sosial sepenuhnya diperuntukan bagi
pelayanan kesehatan peserta sebelum menjadi pendapatan Rumah Sakit.
Besaran anggaran untuk kesehatan sebagaimana terdapat dalam
Undang-Undang Nomor 36 tahun 2009 tentang kesehatan pada pasal 171 ayat
(1) di tentukan sebagai berikut “Besar anggaran kesehatan Pemerintah
dialokasikan minimal sebesar 5% (lima persen) dari anggaran pendapatan dan
belanja negara di luar gaji”, ayat (2) “Besar anggaran kesehatan pemerintah
daerah provinsi, kabupaten/kota dialokasikan minimal 10% (sepuluh persen)
dari anggaran pendapatan dan belanja daerah di luar gaji”. Pada ayat (3)
dinyatakan “Besaran anggaran kesehatan sebagaimana dimaksudkan pada ayat
(1) dan ayat (2) diprioritaskan untuk kepentingan pelayanan publik yang
besarannya sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari anggaran kesehatan
dalam anggaran pendapatan dan belanja negara dan anggaran pendapatan dan
belanja daerah”.
Penyelenggaraan pembiayaan untuk keluarga miskin dan masyarakat
rentan di Kabupaten Banyumas dilaksanakan melalui program Jamkesmas,
dan dana sehat. Jumlah masyarakat miskin sebesar 658.945 jiwa, yang
mendapat pelayanan kesehatan (meliputi rawat inap dan rawat jalan) sebanyak
251.372 (41,77%). Dibandingkan dengan standar pelayanan minimal angka
tersebut masih di bawah target yaitu 100%, yang berarti belum semua
keluarga miskin tercakup dalam pelayanan kesehatan Gakin dan masyarakat
rentan. Akan tetapi hal tersebut bisa juga terjadi karena masyarakat miskin
131
tidak memanfaatkan hak-nya untuk berobat dan mengakses layanana
kesehatan yang telah ada.
Sebagai dasar hukum pemungutan retribusi pelayanan kesehatan pada
Unit Pelaksana Teknis Dinas Kesehatan Kabupaten Banyumas telah di bentuk
Peraturan Daerah Kabupaten Banyumas Nomor 3 Tahun 2006 tentang
Retribusi Pelayanan Kesehatan Pada Unit Pelaksana Teknis Dinas Kesehatan
Kabupaten Banyumas, pada Pasal 64 ayat 1 yang berbunyi: pengelolaan
penerimaan sebagaimana dimaksud dalam pembagianya sebagai berikut :
a. 80% untuk operasional, pengadaan obat, bahan habis pakai dan
peningkatan pelayanan Puskesmas.
b. 20% untuk Jasa pelayanan.
Berdasarkan Pasal 2 ayat (2) Peraturan Bupati Banyumas Nomor 47
tahun 2006 tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Daerah Kabupaten
Banyumas Nomor 3 tahun 2006 tentang Retribusi Pelayanan Kesehatan pada
Unit Teknis Dinas Kesehatan Kabupaten Banyumas. Pemungutan retribusi
pelayanan kesehatan pada Unit pelaksana Teknis Dinas Kabupaten Banyumas
sesuai tarif dalam Peraturan Daerah Kabupaten Banyumas Nomor 3 Tahun
2006 diberlakukan secara bertahap.
Sebagai tindak lanjut dari Peraturan Bupati Banyumas Nomor 2 Tahun
2009 tanggal 09 Januari 2009 Tentang Perubahan Atas Peraturan Bupati
Banyumas Nomor 47 Tahun 2006 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan
Daerah Kabupaten Banyumas Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Retribusi
Pelayanan Kesehatan Pada Unit Pelaksana Teknis Dinas Keseahatan
Kabupaten Banyumas, sesuai dengan Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2006
132
Tentang Retribusi Pelayanan Kesehatan Pada Unit Pelaksana Teknis Dinas
Kesehatan Kabupaten Banyumas pasal 34 ayat 1, terhitung mulai tanggal 12
Januari 2009 besarnya retribusi pelayanan di Puskesmas sebesar Rp. 5000 (
lima ribu rupiah ) untuk tiap kali kunjungan. Tarif retribusi pelayanan
kesehatan tersebut masih di rasa berat bagi sebagian masyarakat miskin dan
masyarakat rentan yang ada di Kabupaten Banyumas. Kebijakan tersebut
berpengaruh secara langsung terhadap upaya peningkatan kesehatan ibu dan
anak di Kabupaten Banyumas.
133
BAB V
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dikemukakan
di atas, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
a. Pelaksanaan kebijakan peningkatan kesehatan ibu dan anak di
Kabupaten Banyumas, antara lain :
1) Kebijakan penurunan angka kematian ibu dan anak.
2) Kebijakan peningkatan pelayanan kesehatan ibu dan anak.
3) Kebijakan peningkatan pemberian Air Susu Ibu eksklusif dan
peningkatan gizi ibu dan anak.
b. Faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan kebijakan peningkatan
kesehatan ibu dan anak di Kabupaten Banyumas dibagi dalam dua
faktor, yaitu faktor positif dan faktor negatif :
Faktor positif :
- Pelaksanaan kebijakan peningkatan kesehatan ibu dan anak telah
dilaksanakan
sesuai
dengan
kebijakan/program,
pelaksanaan
kebijakan yang di tetapkan untuk meningkatkan derajat kesehatan ibu
dan anak, peningkatan promosi pemberian ASI secara eksklusif
melalui berbagai program, peningkatan perbaikan gizi bagi ibu dan
anak melalui pemberian kapsul vitamin A dan tablet besi (Fe).
Faktor negatif :
- Masih rendahnya sumber daya manusia dan minimnya tingkat
kesejahteraan, minimnya anggaran yang ditetapkan, tingginya tingkat
morbiditas, belum adanya beberapa Perda/Perbup yang secara khusus
dan mendetail mengatur tentang kebijakan peningkatan pemberian
ASI secara eksklusif di Kabupaten Banyumas.
134
B. SARAN
a. Pemerintah Daerah Kabupaten Banyumas melalui Dinas Kesehatan
dalam merencanakan dan melaksanakan kebijakan peningkatan
kesehatan ibu dan anak melalui program-program kerja yang telah
ditetapkan harus dapat dilaksanakan secara tepat, cepat, dan
menyeluruh. Pelayanan kesehatan harus dapat di akses dan
dinikmati dengan mudah oleh seluruh warga masyarakat Gakin dan
masyarakat rentan. Dalam rangka meningkatkan pelayanan
kesehatan diperlukan Perda/Perbup yang komprehensif dan
mendetail tentang pelaksanaan kebijakan peningkatan kesehatan
ibu dan anak di Kabupaten Banyumas.
b. Dinas Kesehatan Kabupaten Banyumas agar lebih meningkatkan
mutu pelayananan kesehatan warga. Upaya promotif, preventif,
kuratif dan rehabilitatif harus dilaksanakan secara terpadu,
menyeluruh, dan berkesinambungan dalam upaya peningkatan
kesehatan ibu dan anak.
135
DAFTAR PUSTAKA
A. BUKU LITERATUR
Ishaq, 2007, Dasar-dasar ilmu hukum, Sinar Grafika Jakarta.
Kansil C.S,T, 1986, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai
Pustaka, Jakarta.
Mardiasmo, 2002, Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah, Penerbit Andi,
Yogyakarta.
Mertokusumo, Sudikno, 1996, Penemuan Hukum, Liberty, Yogyakarta.
Moleong, J Lexy, 2008, Metodologi Penelitian Kualitatif, PT. Remaja
Rosdakarya, Bandung.
Noeng, Muhadjir, 1996, Metodologi Penelitian Kualitati, PT Bayu Indra Grafika,
Yogyakarta
Nugroho, D. Riant, 2003, Kebijakan Publik : Formulasi, Implementasi, dan
Evaluasi, Elex Media Komputindo, Jakarta.
Prawirohardjo, Sarwono, 2002, Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal,
JNPKKR-POGI, Jakarta.
Rahadjo, Satjipto, 1980, Hukum Masyarakat dan Pembangunan, Penerbit Alumni,
Bandung.
__________. 1986, Ilmu Hukum, Penerbit Alumni, Bandung
Soekanto, Soerjono, 1983, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan
Hukum, PT Rajagrafindo Persada, Jakarta.
__________. 1984, Pengantar Penelitian Hukum. UI Press, Jakarta.
Soemitro, Ronny Hanitijo, 1982, Metodologi Penelitian Hukum. PT. Grafindo
Persada, Jakarta.
Sujamto, 1991, Cakrawala Otonomi Daerah. Sinar Grafika, Jakarta.
Syaukani, Affan, 2003, Otonomi Daeerah Dalam Negara Kesatuan, Pustaka Unit
Penerbit dan Percetakan AMP YKPN, Yogyakarta.
136
Thoha, Miftah, 1984, Ilmu Administrasi Negara, PT. Raja Grafindo Persada,
Jakarta.
Wahab, Solichin Abdul., 1997, Analisis Kebijakan Dari Formulasi Ke
Implementasi Kebijaksanaan Negara, PT. Bumi Aksara. Jakarta.
Winarna, S, 2002, Otonomi Daerah Reformasi, Unit Penerbit Percetakan (UPP)
AMP YKPN, Yogyakarta.
B. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Undang-undang Dasar 1945
Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan
Undang-undang No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah
Undang-undang No. 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah
Pusat dan Daerah
Undang-undang No. 32 tahun 2004 tentang Desentralisasi
Undang-undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
KEPMENKES No.504/MENKES/SK/X/2003
Desentralisasi Bidang Kesehatan.
Tentang
Kebijakan
Strategi
KEPMENKES No. 450/MENKES/SK/IV/2004 Tentang Pemberian ASI Secara
Eksklusif.
PERDA No. 3 tahun 2006 Tentang Retribusi Pelayanan Kesehatan Pada Unit
Pelaksana Teknis Dinas Kesehatan Kab. Banyumas
PERBUP No. 2 tahun 2009 tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Daerah.
C. SUMBER LAIN
Majalah Info Forum Parlemen, 2006.
Jurnal Hukum Kesehatan, 2009.
137
KESEHATAN IBU DAN ANAK
(STUDI TENTANG FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI
KEBIJAKAN PENINGKATAN KESEHATAN IBU DAN ANAK DI
KABUPATEN BANYUMAS)
SKRIPSI
Oleh :
BUDI SANTOSO
E1E004067
KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS HUKUM
PURWOKERTO
138
2010
Download