Perusahaan dan Pekerja Harus Seimbang dalam Proses Penentuan UMP Dikirim oleh prasetya1 pada 20 September 2006 | Komentar : 0 | Dilihat : 2016 Gerakan buruh di Indonesia yang menuntut perbaikan upah minimum dan perlakuan adil perusahaan dapat dilihat dari dua akar permasalahan. Pertama, adanya asumsi bahwa di pasar tenaga kerja terjadi penawaran tenaga kerja ( supply) melebihi permintaan (demand). Kedua, belum terciptanya hubungan industrial yang lebih baik, yang seharusnya dibangun melalui sistem dan mekanisme komunikasi dua arah antara pengusaha dengan pekerja. Perkembangan demokratisasi telah menimbulkan kesadaran pekerja akan hak-haknya dan menimbulkan dorongan unjuk rasa sebagai pengungkapan kekuatan keberadaan buruh. Pengetahuan pekerja terhadap upah minimum provinsi (UMP) menimbulkan anggapan bahwa UMP yang mereka terima belum memenuhi standar kehidupannya sesuai dengan kebutuhan riil mereka. onstruksi Kebijakan Upah Minimum Provinsi (UMP): Studi Kerangka Kerja Koalisi Advokasi Institusi Pengupahan dalam Mendorong Kompromi Perubahan Pilihan Kebijakan UMP di Sulawesi Selatan”. Ujian terbuka disertasi Drs Muhammad Rusdi MSi digelar Fakultas Ilmu Administrasi (FIA) Universitas Brawijaya, Rabu 20/9. Sidang ujian dipimpin Dekan FIA Dr Suhadak MEc. Promotor Muhammad Rusdi adalah Prof Dr H Rijadi Soeprapto MS (almarhum), dengan kopromotor Prof Dr HM Irfan Islamy MPA dan Dr H Sumartono MS. Tim penguji terdiri dari Prof Dr Salladien, Prof Drs Solichin Abdul Wahab MA PhD, Dr Soesilo Zauhar MS, dan Deddy T Tickson MSc PhD. Rusdi melakukan pengamatan terhadap empat subsistem kebijakan UMP 2006 yang meliputi kelompok asosiasi pengusaha (Apindo), serikat buruh, pemerintah, dan perguruan tinggi. Dari penelitiannya Rusdi menemukan bahwa perubahan nilai nominal UMP 2006 secara langsung disebabkan oleh adanya implikasi perubahan internal subsistem kebijakan yang telah mengubah sistem kepercayaan, terutama aspek sekunder dari dua koalisi kebijakan UMP. Mekanisme lobi antara kelompok Apindo dan kelompok buruh memiliki perbedaan pola dan sistemnya. Apindo umumnya lebih mengandalkan mekanisme negosiasi di luar sidang pembahasan UMP, sementara kelompok pekerja lebih mengandalkan kegigihan dan daya represifnya melalui aksi demonstrasi yang dapat mengancam eksistensi perusahaan. Rusdi merekomendasikan tiga hal menyangkut penentuan UMP. Pertama, pihak perusahaan dan pekerja harus diberi kesempatan untuk berkontribusi dalam proses penentuan UMP secara seimbang. Kedua, diperlukannya dialog di tingkatan perusahaan, dibutuhkannya mekanisme penyelesaian perselisihan yang jelas, adil dan fungsional yang dapat diandalkan oleh pihak pekerja maupun pihak perusahaan. Hal ini menekankan peran pemerintah dalam membuat peraturan yang memberikan kepastian bagi hubungan industrial serta memberikan keadilan dari segi hak dan tanggungjawab bagi semua pihak. Ketiga, peran penengah kebijakan selama proses pembahasan UMP harus berperan lebih optimal dengan cara membangun pola strategi yang efektif dan efisien. Dalam yudisium, Rusdi dinyatakan lulus dan berhak atas gelar doktor dalam bidang ilmu administrasi (minat administrasi publik). Dr Muhammad Rusdi MSi (36 tahun) adalah sarjana administrasi negara dari Universitas Hasanuddin (1992), dan magister dalam bidang administrasi pembangunan dari universitas yang sama (1998). Dosen tetap pada Jurusan Ilmu Administrasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Hasanuddin sejak tahun 2000 ini, sebelumnya pernah menjabat sebagai Ketua Jurusan Ilmu Administrasi Universitas Muhammadiyah Makassar (1997-1999), dan ketua tim pakar Lembaga Kajian Kebijakan dan Pemberdayaan Publik Provinsi Sulawesi Selatan (2000-2003). [nik]