1403073730-Fransisikus Borgias, MA

advertisement
KONSEPSI TUHAN DAN HAKEKAT AGAMA
MENURUT KAREN ARMSTRONG
Sebuah Catatan Singkat
Oleh: Fransiskus Borgias M.
Prolog
Tema kita ialah konsepsi Tuhan dan hakekat agama dalam pemikiran Karen
Armstrong. Untuk membahas kedua pokok besar itu kiranya ada dua buku beliau yang
patut dijadikan acuan. Pertama, History of God. Kedua, The Case for God. Kedua
buku ini sudah diterjemahkan ke bahasa Indonesia, masing-masing dengan judul:
Sejarah Tuhan (2001) dan Masa Depan Tuhan (2011), oleh Mizan.
Sejarah Tuhan
Tahun 1993 terbit buku Karen Armstrong, A History of God, the 4000-Year Quest of
Judaism, Christianity and Islam. Buku ini menjadi best-seller di seluruh dunia. 2001
buku itu terjemahkan ke bahasa Indonesia (Mizan). Terjemahan ini juga laris. Judul
kecil buku ini menarik: Pencarian Selama 400 tahun dalam Yudaisme, Kristianitas,
dan Islam. Buku ini bukan “...a history of the ineffable reality of God itself, which is
beyond time and change....” (p.xx); yang melampaui kata-kata, bahasa, dan akal budi
manusia. Buku ini seperti diakui sendiri oleh Armstrong, adalah “...a history of the
way men and women have perceived him from Abraham to the present day” (p.xx).
Sejarah ini adalah sejarah pemahaman manusia. Armstrong yakin bahwa pemikiran
dan pemahaman manusia akan Allah mempunyai sejarah tertentu. Jadi, ia mengalami
tahap-tahap perkembangan tertentu sepanjang sejarah. Sejarah pemikiran dan
pemahaman manusia ini memberitahukan sesuatu hal yang penting tentang akal budi
manusia dan tentang hakekat dari cita-cita manusia (bdk.p.xxii).
Salah satu hasil yang ditunjukkan buku ini ialah fakta adanya ''the plurality of
discourse on God'' atau pluralitas wacana tentang Tuhan. Wacana tentang Tuhan di
dunia ini sepanjang sejarah umat manusia ada banyak, tidak hanya satu. Buku ini
hanya fokus pada tiga wacana tentang Tuhan dalam tiga agama besar agama
Abrahamaik: Yahudi, Kristiani, Islam. Hal itu ia uraikan dalam perbandingan dengan
bermacam latar belakang tradisi keagamaan berbeda. Misalnya, agama Timur Tengah
yang beragam, seperti agama orang Mesir, orang Babel, Persia, Yunani, Turki,
Kanaan, orang Arab, orang Afrika hitam. Juga agama-agama orang India, orang
China, orang Eropa pra Kristen bahkan pra-peradaban (Neandhertal).
Wacana Tuhan dalam Yudaisme, lewat satu drama pertarungan dan perjuangan
yang panjang, akhirnya sampai pada paham akan kesatuan Allah, monotheisme.
Semuanya itu ada jejak-jejaknya di dalam Kitab Suci Perjanjian Lama/Pertama (First
Testament, Hebrew Bible). Ilustrasi: nama Yahweh dan Elohim.
Lewat satu drama perjuangan dan pertarungan yang juga tidak mudah
Kristianitas sampai pada paham Trinitas akan Allah. Jejak-jejak dari perjuangan dan
diskusi teologis itu juga dapat ditemukan endapan endapannya di dalam Kitab Suci
Perjanjian Baru, Perjanjian Kedua (Second Testament, Christian Bible). Sama seperti
bagi orang Yahudi, bagi orang Kristiani paham mereka akan Tuhan itu dipandang
sebagai cahaya baru bagi bangsa-bangsa. Ilustrasi: Trinitas.
Masih ada satu lagi anak dari agama Abraham yaitu Islam. Islam mempunyai
wacana tersendiri akan Allah yang juga muncul lewat sebuah perjuangan dan
pertarungan yang tidak mudah. Islam sampai pada satu paham monoteisme khusus
yang juga dipahami sebagai cahaya bagi para bangsa. Walaupun saya bukan ahli
agama islam, tetapi dari bacaan yang saya lakukan selama ini saya juga yakin bahwa
ada jejak-jejak drama perjuangan itu dalam al Qur’an.
Masa Depan Tuhan
Buku Sejarah Tuhan diakhiri dengan Bab yang berbicara tentang pertanyaan apakah
Tuhan itu mempunyai masa depan? Pertanyaan itu coba dijawab dalam buku yang
terbit tahun 2009: The Case for God: What Religion Really Means? Tahun 2011, buku
ini diterjemahkan ke bahasa Indonesia oleh Mizan, dengan judul: Masa Depan Tuhan,
Sanggahan Terhadap Fundamentalisme dan Ateisme. Dalam buku ini ada dua Bagian
Besar. Bagian Pertama mempunyai judul menarik: Tuhan yang tidak diketahui. Walau
dianggap tidak diketahui tetapi manusia mempunyai intuisi akan adanya Tuhan itu. Itu
sebabnya manusia disebut Homo Religiosus, manusia beragama. Melalui intuisi itu
manusia dalam iman dan nalarnya mengenal Tuhan. Bagian Kedua, berbicara tentang
Tuhan Modern. Tuhan rupanya menjadi problematik dengan munculnya beberapa
pemikiran modern tentang sains dan agama (bab 7), lalu tentang agama ilmiah (Bab
8). Selanjutnya ia berbicara tentang zaman pencerahan (Bab 9), yang rupanya
bermuara pada Ateisme (Bab 10), dan bahkan Agnostisime (Bab 11), bahkan ketidaktahuan akan Allah. Akhirnya buku ini dipuncaki dengan wacana tentang kematian
Tuhan. Buku ini seperti juga buku pertama, sifatnya mengobrak-abrik kemapanan
iman akan Allah dalam komunitas kaum beriman. Itu sebabnya saya rada tidak setuju
dengan terjemahan bebas judul buku asli, yang jika diterjemahkan secara agak harfiah
menjadi sbb: Pembelaan akan Allah: Apa Sesungguhnya Makna Agama?
Makna Sejati Agama
Sungguh menyedihkan dan memalukan bahwa sejarah agama-agama adalah sejarah
yang paling berdarah-darah di dunia ini. Baik itu inter agama, maupun antar agama.
Semuanya berawal dari pembacaan dan tafsir atas teks-teks suci agama. Masingmasing pihak mencoba mencari dalam ayat-ayat sucinya satu pembenaran untuk
menyerang pihak lain. Contong terkenal adalah sejarah Perang Salib: Anti Kristus,
Singa berkepala tujuh, dll. Armstrong sangat anti dengan hal itu. Itu sebabnya ia
mengatakan: “Agama seluruh dunia menegaskan bahwa spiritualitas yang sejati
harus dieskpresikan secara konsisten dalam tindakan berbelas kasih, kemampuan
untuk merasakan bersama orang lain. Jika sebuah ide konvensional tentang Tuhan
mengilhami empati dan rasa hormat terhadap semua orang lain, ide itu sudah
menjalankan tugasnya” (pp.21-22). Selanjutnya ia juga mengatakan bahwa
“....bertengkar tentang agama tidak ada manfaatnya dan tidak kondusif bagi
pencerahan” (p.22). Agama sejati adalah agama humanistik, agama kemanusiaan,
agama yang mengembangkan dan menyuburkan nilai-nilai kemanusiaan. Bukan
sebaliknya: agama yang membinasakan manusia dan kemanusiaan. Agama yang
diperlukan dewasa ini adalah agama yang mewartakan dan menawarkan pembebasan,
menawarkan energi pembebasan bagi kemanusiaan. Untuk itu perlu ada sikap kritis
dalam menghadapi dan menghayati agama. Tanpa adanya sikap kritis itu ada banyak
segi dari hidup agama itu yang justru dapat membelenggu manusia dan kemanusiaan.
Tuhan Yang Berbicara
K.Armstrong mengakhiri pengantar buku Sejarah Tuhan dengan pernyataan menarik:
“The God of Jews, Christians and Muslims is a God who – in some senses – speaks”
(p.xxiii). Tuhan orang Yahudi, orang Kristiani, dan orang Islam itu adalah Tuhan yang
berbicara. Memang FirmanNya adalah penting dalam ketiga agama di atas tadi. Sebab
Firman Tuhan telah membentuk sejarah budaya manusia. Itulah yang terjadi selama
ini. Tantangan kita sekarang ialah kita harus memutuskan apakah firman itu masih
tetap ada maknanya bagi kita atau tidak? Sehubungan dengan ini tahun 2008, saya
diminta Mizan untuk menerjemahkan buku Armstrong yang terbit 2007: The Bible, A
Biography. Judul terjemahan saya ialah, Sejarah Alkitab (Mizan 2013). Dalam buku
ini Armstrong coba menjawab tantangan yang dibuatnya sendiri dalam buku Sejarah
Tuhan. Kitab Suci dalam tradisi Yudeo-Kristiani dipahami sebagai Firman Tuhan,
tetapi proses penyataannya jangan sampai dibayangkan seperti sebuah paket yang
turun dari surga dan manusia menerimanya dalam bentuk sudah dijilid rapi. Yang
diyakini sebagai sabda Tuhan itu sesungguhnya adalah peristiwa dan pergulatan
manusiawi dan sehari-hari tetapi di balik itu orang merasakan adanya invisible hand
yang sedang mengarahkan sejarah. Peristiwa dan pergulatan itu kemudian ditulis,
dibaca, dan dikumpulkan, dan dibukukan. Itulah Kitab Suci. Proses penulisannya
memakan waktu yang sangat lama. Antara kitab yang satu dan kitab yang lain terdapat
jarak waktu yang sangat lama. Gambaran garis besarnya, misalnya mengenai
perbedaan waktu antara Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, bahkan antara kitab
dalam Perjanjian Lama itu sendiri, seperti nabi Yesaya. Buku ini secara sangat singkat
menjelaskan proses lahirnya apa yang di kemudian disebut Kitab Suci, bagaimana dan
mengapa menjadi suci. Buku ini juga secara sangat singkat menjelaskan sejarah tafsir
atas Kitab Suci. Karena ada jarak waktu yang amat besar, maka perlu ilmu tafsir.
Tafsir Cinta Kasih
Kitab Suci yang ditulis dalam rentang jangka waktu yang amat panjang, sangat
memerlukan ilmu tafsir. Sepanjang sejarah ilmu tafsir itu sendiri ada banyak tafsir
yang muncul dan dikembangkan para Rabi dan Bapa Gereja. Ada tafsir alegoris, ada
tafsir anagogis, ada tafsir moral atau makna moral, ada tafsir spiritual (makna
spiritual), ada tafsir harfiah (makna harfiah). Dengan pelbagai macam alat tafsir ini
orang menggali makna Kitab Suci. Kiranya makna itu berguna bagi hidup orang yang
bersangkutan maupun komunitas jemaatnya. Ilmu tafsir itu hanya alat dan bukan
tujuan pada dirinya sendiri. Maka janganlah bertengkar tentang alat itu. Pada abad
modern ini muncul metode historis kristis dengan pelbagai cabang-cabangnya yang
rumit dan canggih. Ambisinya ialah mencari makna harfiah dari teks Kitab Suci.
Sekaitan dengan ini, Armstrong mengingatkan kita bahwa tendensi mencari makna
harfiah itu masih amat baru usianya dalam peradaban manusia. Dulu orang tidak suka
akan yang harfiah.
Di tengah pelbagai tawaran ilmu tafsir yang ada Armstrong memberikan satu
kriteria yang amat penting. Tafsir Kitab Suci itu harus mampu mengembangkan,
menebar, dan menghidupkan cinta kasih dalam hidup dan relasi antar manusia. Bukan
yang menebar kebencian. Jika ada tafsir yang menebar kebencian itu bukanlah tafsir
yang berguna. Tafsir yang berguna adalah tafsir yang mau dan mampu
mengembangkan cinta kasih dalam relasi antar pribadi manusia dan antar kelompok.
Prinsip ini bukanlah temuan Armstrong. Ia justru menimba hal itu dari tradisi agung
Yudeo-Kristiani-Islam yang amat panjang. Misalnya hal itu ia sudah temukan dalam
diri Rabi Hillel, Rabi Akiba, Yesus. Ia juga temukan prinsip ini dalam diri Agustinus,
yang tentu dipengaruhi Yesus Kristus dengan perintah utamaNya dan juga golden
rule-Nya. Yesus sendiri tentu ada dalam bingkai besar keyahudian dalam mana ada
banyak rabi besar seperti Hillel, Akiba, Gamaliel. Ketiga rabi ini juga terkenal sebagai
rabi yang memprioritaskan cinta kasih sebagai prinsip utama tafsir: misalnya tampak
dalam kisah-kisah singkat (anekdot) yang coba menjawab pertanyaan, mana atau apa
inti dari Taurat? Intinya ialah cinta kasih. (Anekdot tentang berdiri di atas satu kaki
itu). Juga cerita tentang hal saling membasuh kaki, saling melayani.
Epilog
Uraian ini belum seutuhnya dapat menggambarkan kepadatan Armstrong dalam ketiga
buku tadi. Tetapi ruang tidak memungkinkan untuk melakukan eksplorasi itu. Sebagai
penutup ada beberapa catatan singkat. Pertama, ternyata perjalanan menuju ke paham
monoteisme itu sangat panjang. Paham monoteisme itu tidak sekali jadi. Sepanjang
sejarah ada banyak kompromi, ada banyak pembantaian juga. Ada sinkretisme juga
baik itu paham Allah maupun wujud materialnya, juga rumah ibadatnya. Ada
pengaruh yang kuat dari filsafat Yunani. Setelah tercapai suatu pemahaman pun,
ternyata masih ada kemungkinan upaya tulis dan tafsir ulang dalam bingkai kesadaran
baru. Kedua, sebagai orang Katolik saya membaca Armstrong dengan kritis. Ia banyak
mengkritik katolik, kuasanya, hirarkinya, visi negatif akan sex. Namun demikian,
menarik bahwa di sana-sini ia masih juga bela gereja Katolik, misal hal.289 soal
heliosentrisme dan kitab suci. Hal itu misalnya berbeda dengan seorang teolog
perempuan Jerman yang mengecam habis-habisan gereja Katolik tanpa ampun.
Namanya, Uta Ranke-Heinemann (Eunuchs for the Kingdom of Heaven, Women,
Sexuality, and the Catholic Church, Penguin Books, 1990; asli Jerman, 1988). Ketiga,
saya mau tutup paper ini dengan kutipan sbb: “Strange it may seem, the idea of 'God',
like the other great religious insights of the period, developed in a market economy in
a spirit of aggressive capitalism” (p27).
Fransiskus Borgias M., lahir 2 Oktober 1962 di Arus, Flores, NTT. SD di SDK LambaKetang, 1969-1974; SMP-SMA Seminari Pius XII Kisol pada 1975-1981; pendidikan
filsafat di STF-Driyarkara Jakarta, 1983-1986; pendidikan teologi di FTW-Kentungan,
Universitas Sanatha Dharma Yogyakarta, 1986-1989. Studi Master Teologi pada Radboud
University of Nijmegen, Belanda (2000-2002). Sedang S3 pada ICRS-UGM. Aktif
menulis di berbagai media, juga sebagai penerjemah untuk Mizan, Kanisius, Obor, dan
Nusa Indah. Lima buku teologi sudah terbit: 1). Berjalan Zig Zag Menuju Allah
(Yogyakarta: Pustaka Nusatama, 2012); 2). Saat-saat Terakhir Hidup Yesus Menurut
Yohanes (Jakarta: Fidei Press, 2012); 3). Terobosan Baru Berteologi (editor, Yogyakarta:
Lamalera, 2009); 4). Menimba Kekayaan Liturgi (Yogyakarta: Pustaka Nusatama, 2008);
5). Devosi Santo Antonius dan Renungan Masa Kini (Yogyakarta: Pustaka Nusatama,
2005). Tiga buku Filsafat-Humaniora sudah terbit: 1). Prof.Dr.N.J.C.Geise, OFM,
Juragan Visioner (editor, Yogyakarta: Kanisius, 2006); 2). Warta Sang Nabi, Membaca
Kahlil Gibran Sebagai Seorang Kristiani (Malang: Serva Minora, 2011); 3). Manusia
Pengembara, Refleksi Filosofis Tentang Manusia (Yogyakarta: Jalasutra, 3013). Catatan
Harian Seorang Pastor Desa (Jakarta: JPIC-OFM, 2013). Pernah menjabat Wakil Ketua
LBI (Lembaga Biblika Indonesia) 2004-2008 (anggota LBI sejak 1996-sekarang) dan
anggota ISBI (Ikatan Sarjana Biblika Indonesia). Sejak 1993 sampai sekarang, menjadi
dosen teologi FF-Unpar Bandung.
Download