Bab III - ScholarBlogs

advertisement
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
Bab III
Dalam bab ini, saya akan mendiskusikan konstitusionalisme, hak asasi manusia, dan
kewarganegaraan dalam perspektif Islam. Kombinasi prinsip-prinsip umum tersebut
diharapkan mampu mengatur dan memediasi kerja praksis sekularisme sebagai
sebuah proses untuk menyelesaikan ketegangan antara netralitas negara terhadap
agama, di satu pihak, dengan keterhubungan Islam dan kebijakan publik, di pihak
lain. Konstitusionalisme menyediakan kerangka hukum dan politik untuk
merealisasikan dan melindungi persamaan status, hak asasi manusia, dan
kesejahteraan seluruh warga negara. Standar hak asasi manusia, sebagaimana yang
telah didefinisikan dalam kesepakatan internasional dan regional serta tercantum
dalam hukum adat internasional, hanya bisa dipraktikkan melalui institusi, sistem
hukum dan konstitusi nasional. Tetapi, efektifitas sistem nasional dan internasional
tersebut tergantung pada partisipasi aktif warga negara dalam melindungi hakhaknya sendiri. Pada saat yang sama, norma-norma hak asasi dan konstitusi
membuat warga negara bisa bertukar informasi, mengorganisir dan melakukan aksi
secara bersama-sama untuk mempromosikan visi mereka tentang kemaslahatan
sosial dan melindungi hak-hak mereka. Dengan kata lain, konstitusionalisme dan
hak asasi manusia adalah alat yang penting untuk melindungi status dan hak warga
negara, tetapi fungsi tersebut dapat efektif justru karena peran warga negara sendiri.
Karena
itulah,
proses
klarifikasi
terhadap
dasar
dan
implikasi
konsep
kewarganegaraan menjadi penting. Konsep-konsep tersebut dan institusi yang
menyertainya tergantung satu sama lain dan harus saling berinteraksi jika ingin
merealisasikan tujuannya masing-masing.
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
Dengan berusaha mengklarifikasi prinsip-prinsip tersebut dari perspektif Islam, saya
berharap bisa mendapatkan legitimasi dari kalangan muslim yang harus menerima
prinsip-prinsip tersebut jika mereka ingin menerapkannya secara efektif dalam
masyarakatnya. Hubungan antara Islam dan prinsip-prinsip tersebut tidak
terhindarkan, karena Islam mempengaruhi secara langsung legitimasi dan kekuatan
prinsip-prinsip tersebut dan institusi yang menyertainya dalam masyarakat Islam
kontemporer. Pada saat yang sama, hubungan ini akan memusingkan dan
kontraproduktif ketika Islam disamakan dengan pemahaman sejarah atas syari’ah.
Padahal, pemahaman historis tersebut mengandung beberapa hal yang bertentangan
dengan
prinsip-prinsip
konstitusionalisme,
hak
asasi
manusia,
dan
kewarganegaraan. Namun saya tegaskan, saya tidak bermaksud untuk mengatakan
bahwa prinsip-prinsip umum hak asasi manusia tidak sesuai dengan prinsip-prinsip
umum syari’ah. Malah, saya merujuk pada beberapa pemikiran syari’ah tradisional
yang masih relevan untuk kehidupan publik masyarakat muslim saat ini, meskipun
bukan pada hal-hal yang menyangkut akidah, ibadah atau aspek-aspek lain dalam
muamalah.
Untuk menempatkan diskusi tentang konstitusionalisme, hak asasi manusia dan
konsep kewarganegaraan dalam konteks buku ini secara keseluruhan, saya ingin
mengingatkan pembaca bahwa tujuan utama buku ini adalah untuk meyakinkan
bahwa pemisahan institusi negara dan Islam dengan tetap menjaga keterhubungan
antara Islam dan politik merupakan hal yang perlu dan penting. Dengan kata lain,
adalah penting untuk terus menjaga netralitas negara terhadap agama secara tepat
karena manusia cenderung mengikuti pandangan pribadinya, termasuk agama. Tapi
tujuan pemisahan ini tidak bisa dicapai melalui usaha menempatkan agama dalam
ruang privat, karena usaha seperti ini tidak penting, pun tidak perlu. Malah, upaya
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
pemisahan Islam dan negara harus dilakukan dengan tetap mengakui fungsi publik
Islam dan pengaruhnya dalam pembuatan kebijakan publik dan undang-undang.
Ketegangan seperti ini harus terus diselesaikan melalui upaya pemunculan “public
reason”
dalam
kerangka
konstitusionalisme,
hak
asasi
manusia
dan
kewarganegaraan yang akan didiskusikan dalam bab ini. Saya akan mulai dengan
mengklarifikasi pembedaan antara negara dan politik dan hubungannya dengan
keharusan adanya “public reason”. Prinsip-prinsip konstitusionalisme, hak asasi
manusia dan kewarganegaraan akan didiskusikan dalam tiga bagian berikutnya. Bab
ini akan ditutup dengan kesimpulan dan sekaligus selayang pandang mengenai cara
prinsip-prinsip tersebut beroperasi sebagai kerangka untuk mengatur berjalannya
“public reason” yang diharapkan dapat mengatur hubungan antara Islam dan politik
di satu sisi dan hubungan antara Islam dan negara di sisi lain.
I. Negara, Politik dan “public reason”
1. Karakter negara modern
Semua muslim saat ini tinggal di sebuah teritori yang disebut sebagai “the nation”
state (negara bangsa), yang berdasarkan model Eropa dan telah menjadi model yang
dimapankan melalui penjajahan, bahkan di negara yang secara formal tidak pernah
dijajah. Menurut sarjana Barat, model negara seperti ini ditandai dengan adanya
“administrasi dan tata hukum yang terpusat dan terorganisasi secara birokratis dan
dijalankan oleh sekelompok administratur, serta mempunyai otoritas atas apapun
yang terjadi di wilayah kekuasaannya, basis teritorial dan monopoli untuk
menggunakan kekuasaan”.1 Karena saya khawatir terhadap karakter inheren negara
yang opresif dan hegemonik, saya lebih suka merujuk pada karakter teritorial negara
1
Graeme Gill, The Nature and Development of the Modern State (New York: Palgrave Macmilan,
2003), hlm. 2-3
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
daripada klaimnya sebagai representasi satu bangsa yang koheren dan homogen.
Berikut ini adalah ciri-ciri negara sebagai kawasan teritorial:2

Negara modern adalah organisasi birokratis yang terpusat, hirarkis,
dan dibagi-bagi menjadi institusi dan organ yang berbeda yang memiliki
fungsi masing-masing. Namun, institusi-institusi itu beroperasi sesuai
dengan aturan formal dan struktur akuntabilitas yang hirarkis dan jelas pada
otoritas pusat.

Institusi-institusi negara yang terpisah namun berhubungan ini,
berbeda dengan organisasi sosial lain seperti partai politik, organisasi sipil,
dan asosiasi bisnis. Meskipun pembedaan ini terasa jelas dalam tataran
teoritis, namun dalam praktiknya, institusi-institusi negara sebetulnya
terhubung dengan organisasi-organisasi non-negara tersebut. Hubungan ini
penting agar institusi-institusi negara mendapatkan legitimasi dan dapat
berfungsi efektif. Tapi tentu saja, cakupan dan fungsi institusi negara berbeda
dengan organisasi non-negara sebab institusi dan aparatur negara harus
mengatur aktor non-negara dan harus menengahi perbedaan di antara
mereka. Hubungan kompleks antara perbedaan teoritis dan keterhubungan
praksis antara lembaga negara dan organisasi non negara ini adalah salah
satu aspek penting dalam pembedaan antara negara dan politik.

Domain organisasi negara modern lebih luas
dari organisasi-
organisasi lain karena saat ini domainnya mencakup hampir seluruh aspek
kehidupan manusia baik sosial, politik, ekonomi, pendidikan, kesehatan dan
2
Gill, The Nature and Development of the Modern State, hlm. 3-7
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
lain sebagainya. Fungsi lembaga negara yang komprehensif dan luas ini juga
menandakan keunikan, otonomi, dan independensi negara dari organisasiorganisasi lain.

Untuk menunaikan fungsi dan perannya yang beragam ini, negara
harus memiliki kedaulatan eksternal maupun internal. Lembaga negara
harus menjadi pemilik otoritas tertinggi dalam wilayah kekuasaannya.
Negara juga harus menjadi representasi otoritatif dari warga negara dan
aktor-aktor yang berada dalam kawasan kekuasaannya bagi pihak-pihak
yang berada di luar wilayahnya.

Untuk alasan yang sama yang telah disebut diatas, negara juga harus
memiliki monopoli untuk menggunakan kekuatan dan pemaksaan secara
sah. Kemampuan ini sangat esensial bagi negara agar ia bisa memberdayakan
otoritasnya untuk melindungi kedaulatannya, menjaga keutuhan hukum dan
tatanannya, serta mengatur dan menengahi perselisihan dan lain sebagainya

Namun demikian, kekuasaan negara terbatas pada wilayahnya. Suatu
negara, biasanya, tidak mempunyai otoritas di luar wilayah kekuasaannya.
Organisasi non-negara seperti komunitas keagamaan atau tarikat sufi dapat
beroperasi dimanapun; lepas dari batas-batas politis negara karena mereka
didirikan berdasarkan fungsi dan bukan batasan geografis.

Rakyat suatu negara sering memiliki ikatan dan identifikasi
sentimentil terhadap negaranya, namun itu bukan karakter negara yang
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
penting.
Konsep “negara bangsa” misalnya, memang mengasumsikan
adanya kesamaan identitas semacam etnik atau bahasa antara warga negara.
Tapi asumsi ini bisa keliru, karena kawasan tidak selalu identik dengan etnik,
agama atau ikatan-ikatan popular lain. Ikatan-ikatan semacam itu mungkin
saja beraku bagi beberapa kelompok dalam satu wilayah negara, dan
mungkin juga bisa sama dan berlaku bagi orang lain yang tinggal di wilayah
lain. Memang, hampir semua negara berusaha untuk menumbuhkan
perasaan kesamaan identitas nasional, namun kesamaan bukanlah ciri
esensial sebuah negara modern.

Negara juga cenderung memiliki tipe pemerintahan yang berbeda.
Bisa jadi pemerintahannya adalah partai demokrat liberal, satu partai,
monarki dan lain sebagainya. Tapi juga harus dicatat, ciri ini juga bukan
sebuah karakter definitif. Tak ada satupun dari rezim tersebut yang layak
disebut negara jika ia tidak memiliki administrasi yang terpusat dan
birokratis, kedaulatan, serta monopoli untuk menggunakan kekusaan dan
pemaksaan.

Beberapa elemen negara modern mungkin dimiliki oleh organisasi
non-negara, tapi tidak ada satu pun dari organisasi itu memiliki seluruh
karakter negara. Secara khusus kedauatan atas wilayah merupakan ciri
pembeda negara dari organisasi non-negara karena kedaulatan ini tidak
dimiliki oleh organisasi non-negara manapun.
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
Ciri negara modern tersebut di atas biasanya didiskusikan dalam konteks
pengalaman negeri-negeri Barat, meskipun modelnya juga diterapkan di beberapa
negara Asia dan Afrika yang berpenduduk muslim.
Elaborasi seorang penulis
mungkin akan membantu upaya kita untuk mengklarifikasi ciri-ciri negara yang kita
maksud dalam perbincangan ini.3 Organisasi negara terdiri dari seperangkat aturan,
peran dan sumber daya yang ditujukan untuk meraih seperangkat tujuan yang jelas.
Meskipun semua negara dicirikan dengan pembedaan antara negara dan organisasi
non-negara, tingkat pembedaannya tidak selalu sama persis dan setara. Sebagai
aturan utama, negaranya biasanya berwatak sekular dengan memisahkan dirinya
dari ruang-ruang spiritual penganut atau organisasi agama. Penting pula untuk
dicatat, bahwa meskipun negara dan institusinya berbeda dengan masyarakat sipil
dan organisasinya, bahkan relatif otonom satu sama lain, namun keduanya tetap
saling memberikan dukungan.
Sebagai pemilik kekuasaaan dan otoritas atas wilayah dan hak monopoli
pemaksaan, negara adalah otoritas terakhir. Otoritas terakhir merupakan
konsekuensi dari kepemilikan negara atas kedaulatan dan integritas wilayah.
Namun otoritas ini pun akan melemah, jika kedaulatan dan integritasnya hilang.
Kedaulatan wilayah berarti negara memiliki kontrol eksklusif atas warga yang
tinggal di wilayahnya dan wilayah ini tidak bisa dibagi dengan pihak lain kecuali
atas persetujuan dan kerjasama negara itu sendiri. Dengan demikian, intervensi
negara atau pihak luar lain dianggap melanggar prinsip kedaulatan wilayah yang
dimiliki negara, kecuali bila intervensi itu dilakukan oleh Dewan Keamanan PBB.
Pengecualian ini sah karena dengan menandatangi Piagam PBB, semua negara yang
3
Gianfranco Poggi, The State: Its Nature, Development and Prospects (Stanford, California: Stanford
University Press, 1990), hlm. 19-33.
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
menjadi anggota PBB telah menyetujui otoritas yang dimiliki lembaga ini. Otoritas
sentral negara berarti bahwa ia otonom. Hanya negara yang memiliki otoritas untuk
membuat aturan yang mengatur cara kerjanya dan menjadi sumber bagi seluruh
otoritas politik lain. Meskipun fungsi terakhir ini mungkin diserahkan pada
organisasi atau pihak lain. Sentralitas negara juga berarti bahwa negara harus
mengkoordinasikan fungsi dan aktifitas organ dan institusinya, karena merekalah
yang memapankan kekuasaan negara. 4
Ciri negara yang lain dan relevan dengan pembicaraan kita saat ini adalah ia
mendapatkan legitimasi demokratis atas kekuasaan dan otoritas yang dimilikinya.
Ini berarti bahwa rakyatlah yang memiliki kekuasaan dan otoritas yang paling
mutlak atas negara, yang memang berfungsi untuk melayani mereka. Namun,
meski rakyat memiliki otoritas dan kekuasaan mutlak, ketaatan mereka terhadap
negara juga merupakan hal mutlak agar negara mampu melaksanakan fungsinya.
Dukungan rakyat ternyata juga penting bagi negara yang dikuasai oleh rezim
diktator atau kerajaan yang cenderung menjustifikasi dan melegitimasi otoritas
mereka dengan “kehendak kolektif” dan “kepentingan rakyat”. Dari basis legitimasi
inilah, konsep kewarganegaraan muncul untuk menjamin kesetaraan dan kesamaan
hak dan kewajiban mereka di hadapan negara.5 Kombinasi legitimasi demokratis
dan kewarganegaraan ini juga harus tercermin dalam watak dan fungsi hukum
dalam sebuah negara. Apapun pandangan, sumber dan keputusan hukum di masa
lalu, saat ini negara sudah semakin mampu mengambil alih fungsi pembuatan
hukum dan tidak hanya memberlakukannya. Jika dulu otonomi hukum terletak
pada statusnya sebagai seperangkat prinsip dan norma yang isi dan validitasnya
4
5
poggi, hlm. 22
Poggi, hlm. 28
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
bersumber dari agama, tradisi, dan praktik spontan masyarakat, maka saat ini
hukum telah menjadi produk sekaligus instrumen kebijakan.6
Dari overview singkat di atas, negara modern bisa difahami sebagai representasi
institusional sebuah kekuasaan politik, yang tidak lagi didapat dari otoritas personal
seorang penguasa atau dari mereka yang mendapatkan otoritas dari penguasa.
Kekuasaan politik negara, yang terpusat dan terlembaga, direfleksikan melalui
struktur birokrasi dan organisasinya. Negara bahkan bisa memformalisasikan
penggunaan kekuasaannya itu melalui standar dan prosedur hukum serta
mempromosikan integrasi kekuasaan politik melalui legitimasi demokratis dan
peningkatan pentingnya konsep kewarganegaraan sebagai prinsip yang mengatur
hubungan negara dan masyarakat.7
2. Pembedaan Negara dan Politik
Ciri-ciri negara yang telah saya kemukakan diatas jelas mengindikasikan adanya
pembedaan antara domain negara dan politik secara umum, dimana negaralah yang
menentukan isu-isu yang akan diperdebatkan dan dinegosiasikan di ruang politik
dengan beragam formalitas dan proses. Negara juga diharapkan dapat membuat dan
menegakkan aturan negosiasi bagi pihak-pihak yang berharap idenya terwakili dan
diformulasikan sebagai kebijakan publik. Jangkauan negara modern sangat luas dan
bahkan semakin diperluas hingga mencakup aspek-aspek eksistensi sosial lain
seperti kesejahteraan sosial dan lingkungan. Meskipun berfungsi sebagai aktor
utama yang memiliki jangkauan yang luas dalam struktur politik masyarakat,
cakupan dan wilayah operasional negara dibatasi oleh dinamika relasi sosial di
6
7
Poggi, hlm. 29
poggi, hlm. 33 dengan penekanan khusus pada keaslian teks
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
sekelilingnya. Karena strukturnya yang formal, tugasnya yang penting, dan
karakternya sebagai entitas yang otonom, negara tidak dapat mengeksplorasi secara
penuh domain politiknya dalam masyarakat secara umum. Namun dengan ciri-ciri
ini, tidak berarti negara menjadi berada “di atas” praktik politik massa atau terputus
sepenuhnya dari masyarakat yang diaturnya. Karena untuk disebut sah, sebuah
negara harus bisa mengakar di masyarakat, seperti halnya ia bisa menjaga otonomi
operasional dan fungsionalnya dari politik keseharian.
Relasi yang kompleks antara politik dan negara ini dapat difahami dari logika dan
sikap negara yang harus otonom, namun mengakar dan terhubung dengan
masyarakat. Sebagai institusi dan organ yang sangat kompleks, organisasi negara
dapat dibagi secara vertikal berdasarkan fungsi dan secara horisontal berdasarkan
geografi.8 Pembagian vertikal berhubungan dengan keberadaan “ruang utama”
(major sphere) tempat berbagai aktor sosial bergabung dengan yang lainnya dan
dengan negara: “dalam negara, ruang ini difahami sebagai bidang kebijakan (dan
konstituen), dan ditandai dengan adanya berbagai departemen pelayanan publik
yang dibentuk untuk melaksanakan bidang kebijakan tertentu seperti kesehatan,
transportasi, pendidikan, hukum, tatanan masyarakat dan urusan konsumen”.9
Sedangkan pembagian horisontal berarti pengorganisasian tata pemerintahan
secara spasial. Negara, dengan demikian, bisa dibagi berdasarkan negara kesatuan
ataupun negara federal, atau berdasarkan pembagian pemerintahan lokal atau
regional.10 Pembagian vertikal berdasarkan fungsi juga dapat terbagi lagi secara
horisontal melalui pembagian wilayah atau unit administratif.
8
Gill, hlm. 16
Gill, hlm. 16-17
10
Gill, hlm. 17
9
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
Dalam pembagian vertikal, negara akan banyak berhubungan dengan berbagai aktor
sosial dari kelompok-kelompok yang berkepentingan dengan bidang kebijakan
tertentu. Ia juga akan terlibat dalam hubungan-hubungan yang terus berkembang
antara berbagai aktor negara dan politik dalam ruang sosial dan konstituen
kebijakan yang lebih luas. Otonomi dan stabilitas negara tergantung pada kualitas
hubungannya dengan berbagai segmen dalam masyarakat karena jika kualitas
hubungan ini akan mempersulit kelompok tertentu untuk mengatur dan menguasai
negara. Semakin normal politik negosiasi antar kelompok, semakin rendah pula
kemungkinan
kelompok-kelompok
tersebut
untuk
tergoda
dan
mampu
memaksakan kekuataannya untuk menguasai negara. Semakin banyak kelompok
yang menyatakan klaimnya dan berpartisipasi dalam menekan negara, maka tidak
akan ada satu kelompok pun yang mampu mengambil kontrol penuh atas institusi
negara. Dengan cara seperti ini, otonomi negara akan lebih terjaga. Sebaliknya, bila
sebagian kelompok tersisih dari percaturan politik praktis, mereka akan lebih
termotivasi untuk mendapatkan kekuasaan yang lebih besar dan lebih tidak takut
untuk mengalami kerugian dengan menantang premis dan operasi negara.
Hubungan dinamis antara negara dan aktor sosial ini bersifat saling menguntungkan
karena negara, pada dasarnya,
mungkin
konstituen.
berkepentingan untuk mempengaruhi sebanyak
“Untuk
melaksanakan
tugas,
membuat
dan
mengimplementasikan kebijakan yang dibuatnya, serta untuk melaksanakan
fungsinya sebagai pembuat aturan bagi masyaraktnya, negara membutuhkan
kerjasama konstituen-konstituen dan organisasi yang relevan tersebut. Sebagai
gantinya, negara harus mengizinkan penetrasi
institusinya.11
11
Gill, hlm. 17
pihak-pihak tersebut pada
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
Mekanisme pertukaran kepentingan antar negara dan aktor sosial dan politik lain
dapat berlangsung secara formal dan institusional seperti yang terjadi dalam proses
tawar menawar negara dengan asosiasi dagang atau organisasi professional,
kehadiran perwakilan NGO dalam institusinya, atau terlibatnya perwakilan NGO
dalam merumuskan dan melaksanakan kebijakannya. Mekanisme yang sama juga
dapat ditempuh melalui cara informal seperti pengaruh atau hubungan perorangan.
Apapun cara yang digunakan, itu tidak menjadikan negara sebagai satu-satunya
perwakilan dari kelompok tertentu, bahkan negara tetap dapat menjaga otonominya
karena ia mampu berinteraksi dengan berbagai kelompok. Dengan kata lain,
kompetisi antar berbagai kelompok untuk mempengaruhi kebijakan negara, justru
merupakan jaring pengaman bagi hadirnya kelompok yang ingin mengambil alih
kekuasaan negara. Bahkan, kompleksitas dan sentralitas negara justru berarti bahwa
tidak ada kelompok atau kumpulan aktor-aktor sosial yang akan menantang otoritas
negara atau menghilangkan otoritasnya dengan menekan salah satu institusi.12
Karena institusi negara tergantung pada otoritas sentral dan tunduk pada ketentuan
yang berlaku bagi seluruh aparatur negara, otonomi negara dicapai melalui
pengaruh yang tak proporsional dari institusi non-negara. Dengan demikian, negara
dapat difahami sebagai arena tempat aktor-aktor politik dan sosial berkompetisi
untuk meraih tujuan-tujuannya. Namun pada saat yang sama, keragaman aktoraktor yang berpartisipasi dalam proses kompetisi ini juga menjamin otonomi
negara.13
Negara dapat menempuh jalur ekonomi, sosial maupun budaya untuk mengikatkan
dirinya
12
13
dengan
Gill, hlm. 18
Gill, hlm. 18-19
kelompok-kelompok
dalam
masyarakat,
misalnya
dengan
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
mengangkat pegawai dari kelas sosial atau daerah tertentu dan menyediakan ruang
bagi wakil rakyat terpilih untuk berpartisipasi atas nama konstituennya dalam
proses pembuatan kebijakan negara. Perbedaan antara pegawai negara yang
mewakili kelas sosial atau etniknya dengan wakil rakyat yang dipilih melalui
pemilihan adalah kebebasan kedua kelompok tersebut untuk mempertahankan
ikatan identitasnya ketika mereka telah terpilih. Pegawai negara tidak boleh
mempertahankan ikatan etnis dan sosialnya, tetapi wakil rakyat harus tetap
mempertahankan ikatan tersebut karena ia terikat dengan konstituen yang
memilihnya.14
Sebagai
kesimpulan,
legitimasi
dan
kekuatan
negara
tergantung
pada
keterhubungannya dengan aktor sosial dan politik lain dan juga pada otonominya
dari pengaruh mereka. Semakin terhubung sebuah negara dengan masyarakatnya,
akan semakin rendah resikonya untuk kehilangan otonomi. Banyaknya kelompokkelompok kepentingan yang bersaing untuk mempengaruhi kebijakan negara malah
akan menjaga keseimbangan pengaruh yang mereka miliki terhadap negara.
Otonomi negara juga akan relatif tidak terancam oleh satu kelompok atau beberapa
kelompok, bila struktur negara tetap terpusat, kompleks, dan institusi-institusinya
diatur dengan seperangkat aturan yang jelas. Karena penjelasan lebih lanjut tentang
teori politik dan negara sudah tidak memungkinkan lagi, saya berharap bisa
memanfaatkan ulasan mengenai ciri-ciri dan dinamika hubungan politik dan negara
ini untuk menjelaskan pertanyaan utama kita yaitu: bagaimana hubungan negara
dan masyarakat atau hubungan negara dan politik bisa dijembatani melalui “public
reason”?
14
Gill, hlm. 20
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
3. “Public reason” untuk Memediasi Konflik Kebijakan
Diskusi kita yang telah lalu mengindikasikan bahwa legitimasi negara dapat diukur
dari seberapa dalam dan organiknya hubungan antara negara dengan berbagai aktor
non-negara dalam wilayah politik. Otonomi negara akan hilang atau berkurang bila
negara hanya mengizinkan satu kelompok untuk mempengaruhi dan memaksakan
kepentingan pada salah satu institusinya atau bahkan negara secara keseluruhan.
Dengan kata lain, pelaksanaan kombinasi
legitimasi dan otonomi ini sangat
tergantung pada dua persyaratan. Pertama, aktor non negara membutuhkan ruang
yang aman untuk bersaing secara bebas dan sehat untuk mempengaruhi proses
pengambilan kebijakan melalui peran negara. Kedua, ruang yang tersedia tersebut
harus dapat menjamin terbukanya kesempatan bagi sebanyak-banyaknya kelompok
untuk berkompetisi. Semakin banyak dan beragam kelompok yang dapat bersaing
secara bebas dan sehat untuk mengamankan kepentingan dan urusannya dalam
sebuah kebijakan, semakin kecil pula kemungkinan mereka untuk mengontrol
negara atau institusinya. Dua hal tersebut mengindikasikan apa yang saya istilahkan
sebagai “public reason” dimana para aktor sosial dapat mempengaruhi negara
dengan tetap tidak membahayakan otonomi negara. Konsep ini berisi beberapa
elemen seperti prosedur efektif untuk menjamin partisipasi bebas dan sehat,
pedoman mengenai isi dan etika debat publik, bahkan perangkat pendidikan dan
perangkat lain yang digunakan untuk meningkatkan legitimasi dan efektifitas
persyaratan tersebut.
Dengan berpegang pada penjelasan mengenai ciri-ciri negara modern yang telah
saya kemukakan diatas dan bagaimana ia harus dibedakan dengan politik, saya akan
memberi penekananan pada beberapa point yang berkaitan dengan “public reason”
sebagai berikut:
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
1.
Ruang bagi public reason harus tetap aman sehingga proses
argumentasi terbangun dalam suasana yang mudah untuk dikendalikan oleh
pemerintahan atau rezim tertentu atau dikontrol oleh satu kelompok sosial
tertentu. Agar dapat diterima oleh seluruh elemen masyarakat, ruang bagi
public reason harus didentifikasi sebagai negara, bukan sebagai satu rezim
atau masa pemerintahan tertentu.
2.
Selain itu, ruang bagi “public reason” harus diamankan melalui
prinsip-prinsip konstitusionalisme, sekularisme yang menjamin netralitas
negara terhadap agama, hak asasi manusia dan kewarganegaraan. Prinsipprinsip tersebut merupakan elemen organisasi politik dan tata hukum sebuah
negara, yang tidak akan mudah dibatalkan oleh pemerintahan apapun.
Namun, meski berfungsi sebagai jaring pengaman, prinsip-prinsip tersebut
bukanlah sesuatu yang absolut. Ia dapat berubah seperti Undang-Undang
yang bisa diamandemen. Kadar netralitas negara terhadap agama bisa terus
dinegosiasikan (hal ini akan secara khusus dijelaskan nanti dalam bab 4), pun
prinsip hak asasi manusia terus bisa tumbuh dan berkembang. Sistem politik
dan hukum sebuah negara harus memungkinkan adanya ketentuanketentuan khusus yang berlaku pada saat gawat darurat, tetapi tetap harus
tunduk
pada
jaring
pengaman
ini
agar
tidak
ada
pihak
yang
menyalahgunakan pengecualian ini. Tujuan prinsip-prinsip ini adalah agar
aturan yang menjamin public reason itu tidak mudah diubah hanya untuk
memenuhi keinginan sekelompok kecil masyarakat tertentu.
3.
Selain
menyediakan
jaring
pengaman,
negara
tidak
boleh
mempengaruhi wacana public reason dengan membatasi jumlah pihak yang
boleh terlibat dalam ruang public reason dengan mendiskriminasi kelompok
agama, komunitas atau kelompok minoritas tertentu. Sebaliknya, negara
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
harus dapat menyediakan ruang bagi sebanyak mungkin warga negara, baik
sebagai individu atau bagian dari kelompok tertentu, untuk mewakili dan
berdebat mengenai kebijakan publik. Ini tentu saja bukan perkara mudah,
karena banyak pemerintahan yang bertindak atas nama negara tergoda
untuk memanipulasi public reason untuk kepentingannya sendiri.
4.
Meskipun negara harus mempersiapkan aturan dan pedoman dasar
public reason, namun domain public reason tetap harus berada di wilayah civil
society. Dengan kata lain, meskipun negara mengatur public reason, bukan
berarti public reason adalah institusi negara. Posisi ini justru memperkokoh
status otonom negara karena negara dapat mendorong adanya keragaman di
kalangan aktor sosial politik sekaligus menyediakan ruang bagi terciptanya
debat, konsensus, dan aliansi di kalangan mereka.
Karena istilah “public reason” telah banyak digunakan oleh kalangan sarjana Barat,
nampaknya disini saya perlu mengklarifikasi pengertian “public reason” yang saya
gunakan dalam tulisan ini. Saya akan terlebih dahulu mengulas secara singkat istilah
“public reason” seperti yang digunakan oleh Jhon Rawls dan beberapa komentar
mengenainya. Kemudian, saya akan menjelaskan bagaimana debat tentang istilah ini
berkaitan dengan makna “public reason” yang saya gunakan dalam perbincangan
Islam, Negara dan Politik.
Rawls berpendapat bahwa public reason adalah ciri utama relasi negara dan rakyat
dalam tatanan negara yang demokratis dan konstitusional.15 Menurutnya, “ide
tentang public reason menetapkan bagian terdalam landasan moral dan nilai-nilai
15
John Rawls, Political Liberalism, (expanded edition, New York: Columbia University Press, 2003),
hlm. 212-254, hlm. 435-490.
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
politik yang menentukan relasi antara pemerintahan yang demokratis dan
konstitusional dengan rakyatnya”.16 Ia mendefinisikan public reason sebagai:
“reason ini disebut public karena tiga hal. Pertama, jika reason itu muncul dari warga
negara yang bebas dan setara. Kedua, jika reason ini berisi tentang kemaslahatan
publik yang berkaitan dengan masalah keadilan politik yang fundamental yang
mempermasalahkan esensi undang-undang dasar dan soal keadilan dasar. Ketiga,
watak dan isinya yang memang publik, diungkapkan dengan penalaran publik
melalui sekumpulan konsep keadilan politik rasional yang telah difikirkan secara
rasional pula, untuk memenuhi kriteria resiprositas.17
Dengan demikian, bagi Rawls ruang public reason menyinggung masalah “esensi
undang-undang dasar dan masalah keadilan dasar yaitu hak-hak dan kebebasan
fundamental yang mungkin termasuk dalam undang-undang dasar dan masalah
keadilan dasar yang berkaitan dengan keadilan sosial dan ekonomi serta hal lainnya
yang
tidak
terbahas
dalam
undang-undang
dasar.
Fokus
spesifik
ini
memperlihatkan bahwa Rawls memandang public reason “tidak berlaku untuk semua
diskusi politik tentang pertanyaan-pertanyaan fundamental”.18 Ia membedakan
antara cakupan public reason dengan apa yang dia sebut sebagai “latar belakang
kultural” (background culture) masyarakat sipil yang mewujud dalam bentuk asosiasi
seperti gereja, universitas, dan lain sebagainya.19 Menurutnya, reason yang muncul
dalam ruang-ruang tersebut, meskipun tidak sepenuhnya “privat” dan diungkapkan
dalam ruang “sosial”, namun tetap saja bersifat “non-public” jika dibandingkan
16
Rawls, hlm. 441-442
Rawls, hlm.442
18
Rawls, hlm. 442
19
Rawls, hlm. 443
17
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
dengan masyarakat secara keseluruhan.20 Bahkan, reason yang diungkapkan dalam
media pun tidak dianggap “public reason” oleh Rawls.21
Ruang yang tepat bagi public reason menurut Rawls adalah “forum politik publik”
(public political forum) yang mungkin terjadi dalam tiga keadaan. “Pertama,
perdebatan pada hakim untuk menentukan keputusan, terutama hakim-hakim di
Mahkamah agung. Kedua, perdebatan pegawai pemerintahan, terutama mereka
yang duduk di kursi eksekutif dan para pembuat undang-undang. Ketiga,
perdebatan calon pejabat negara dan manajer kampanyenya, terutama, dalam orasi
publik, platform partai dan ungkapan-ungkapan politiknya.”22 Dalam keadaankeadaan itulah, penerapan public reason mengambil bentuk yang khusus dan
tertentu. Meskipun, “justifikasi publik yang diperlukan untuk reason yang muncul
dalam tiga keadaan itu sama dengan reason yang muncul dalam keadaan lain”,
namun, mungkin akan berlaku lebih ketat bagi para hakim, terutama yang berada di
mahkamah agung.23
Pandangan Rawls mengenai “public reason” menyaratkan adanya demokrasi
konstitusional yang sudah mapan dan didukung oleh adanya tertib hukum. Warga
negara memiliki hak untuk mendasarkan pandangannya pada apa yang dia sebut
sebagai “doktrin-doktrin yang komprehensif” atau pandangan dunia yang luas
seperti agama, moralitas atau filsafat. Namun, doktrin-doktrin tersebut tidak boleh
dikemukakan sebagai public reason.24 “public reason” juga tidak boleh “mengkritisi
atau menyerang” doktrin-doktrin komprehensif manapun, baik doktrin itu doktrin
20
Rawls, hlm. 220
Rawls, hlm. 444
22
Rawls, hlm. 442-443
23
Rawls, hlm. 231-240
24
Rawls, hlm. 441
21
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
keagamaan atau bukan. “Public reason” harus diartikulasikan dalam konsep dan nilai
politik fundamental. “Syarat utama doktrin yang dimunculkan dalam domain public
reason adalah doktrin tersebut dapat difahami dan menerima rezim demokratis
konstitusional serta gagasan mengenai hukum yang sah.”25
Meskipun
demikian,
Rawls
nampaknya
masih
menerima
kemungkinan
pengungkapan doktrin-doktrin komprehensif dalam public reason pada situasi
tertentu, tergantung pada tingkat ekslusivitas dan inklusivitas pandangan terhadap
doktrin yang digunakan. Jika sifatnya ekslusif, doktrin komprehensif tersebut tidak
boleh diungkapkan kepada publik meskipun ia mendukung “public reason”. Tetapi
bila pandangannya inklusif, siapapun bisa menjadikan doktrin tersebut sebagai
sumber nilai-nilai dasar politik yang mereka anut dan mengungkapkannya untuk
memperkuat “public reason”.26 Pandangan yang ekslusif bisa digunakan dalam
“masyarakat yang sudah lebih teratur” (more or less well ordered society), dimana
keadilan dan hak-hak dasar warga negara terjaga dengan baik sehingga ekspresi
“public reason” cukup menggunakan nilai-nilai politik yang tumbuh di masyarakat
sendiri dan tidak perlu merujuk pada doktrin komprehensif apapun. Rawls
membedakan kondisi ini dengan kondisi dimana terjadi “perselisihan serius antara
berbagai kelompok dalam masyarakat yang hampir teratur (nearly well ordered
society)” mengenai penerapan salah satu prinsip keadilan”. Misalnya perselisihan
berbagai kelompok mengenai masalah dukungan pemerintah terhadap pendidikan
agama. Dalam situasi seperti itu, penjelasan di sebuah forum publik tentang
“bagaimana doktrin komprehensif yang diyakini oleh seseorang sesuai dengan nilainilai politik” mungkin dapat mengokohkan dan melegitimasi public reason itu
25
26
Rawls, hlm. 441
Rawls, hlm. 247
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
sendiri.27 Rawls mengambil contoh orang-orang yang berjuang menghapus
perbudakan berdasarkan nilai-nilai agama pada abad 19 di Amerika Serikat. Saat itu
non-public reason dari gereja-gereja tertentu mendukung kesimpulan akhir public
reason.28 Contoh lainnya adalah gerakan perjuangan hak-hak sipil, Meskipun Martin
Luther King Jr. memperoleh rujukan perjuangannya dari nilai-nilai politik dalam
konstitusi,
ia
tetap
menggunakan
non-public
reason
untuk
melegitimasi
perjuangannya. Dalam dua kasus di atas, para pemimpin gerakan penghapusan
perbudakan dan perjuangan hak-hak sipil memang menyetujui cita ideal public
reason, tetapi konteks sejarah perjuangan mereka mengharuskan penggunaan
doktrin komprehensif untuk memperkuat nilai-nilai politik yang sedang mereka
perjuangkan. Gerakan mereka, pada intinya, justru memperkuat cita ideal “public
reason” karena mereka menggunakan pandangan inklusif doktrin komprehensif
tersebut. Dengan demikian, batasan yang tepat untuk “public reason” akan sangat
tergantung pada konteks historis dan sosialnya.29
Saya tidak mungkin mereview semua debat yang berlangsung di kalangan sarjana
barat tentang ide Rawls ini, tapi saya akan menjelaskan secara singkat 2 kritik yang
akan sangat berguna untuk menjelaskan istilah “public reason” yang saya gunakan
dalam buku ini. Pertama, kritik Habermas terhadap ide Rawls terutama mengenai
pembedaan antara istilah “doktrin komprehensif” dengan “nilai-nilai politik”
(political values).30 Habermas juga mempertanyakan pengertian Rawls mengenai
istilah “political” dalam istilah “nilai-nilai politik” dan pembedaan domain privat
dan domain publik dalam kehidupan sosial. Menurut Habermas, “Rawls
27
Rawls, hlm. 248-249
Rawls, hlm. 249-250
29
Rawls, hlm. 251
30
Jurgen Habermas, “Reconciliation Through the Public Use of Reason: Remarks on Jhon Rawls’
Political Liberalism”, in The Journal of Philosophy, 92: 3 (March 1995): 109-131, pada hlm.118-119
28
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
memperlakukan ruang nilai-nilai politik (political value sphere), yang dalam
masyarakat modern ruang ini dibedakan dari ruang nilai-nilai kultural (cultural value
sphere), sebagai sesuatu yang sudah begitu adanya”. Rawls juga telah membagi
identitas seseorang menjadi identitas politik publik dan identitas pra politik yang
non publik di luar pencapaian swa legislasi yang demokratis”.31 Bagi Habermas, ide
Rawls ini bertentangan dengan fakta sejarah mengenai pergeseran batas-batas ruang
publik dan privat. Kedua, penekanan Habermas terhadap ruang-ruang independen
dan ruang-ruang non-pemerintah yang merupakan arena penting bagi tumbuh dan
berkembangnya “public reason”. McCarthy menyimpulkan pandangan Habermas ini
sebagai berikut:
“bagi Habermas, forum publik independen yang terpisah dari sistem ekonomi dan
administrasi kenegaraan dan lebih memiliki tempat di dalam asosiasi-asosiasi
sukarela, gerakan-gerakan sosial termasuk media massa merupakan sumber utama
kedaulatan rakyat. Idealnya, public reason yang diungkapkan dalam ruang nonpemerintah bisa diterjemahkan menjadi kekuasaan administratif negara yang sah,
melalui prosedur pembuatan keputusan yang sah dan terlembagakan seperti
prosedur pemilihan dan legislatif. Dalam bahasa Habermas, “kekuasaan yang
tersedia bagi administrasi ini muncul dari public reason… Opini publik yang bekerja
melalui prosedur-prosedur demokratis memang tidak bisa memerintah secara
langsung, tetapi bisa mengarahkan kekuatan administratif tersebut pada tujuantujuan tertentu.32
Untuk menyimpulkan bagian ini, saya akan mengungkapkan pengertian “public
reason” yang saya gunakan dalam buku ini dan bagaimana pengertian ini berkaitan
31
Habermas, hlm.129
Thomas McCarthy, “Kantian Constructivism and Reconstructivism: Rawls and Habermas in
Dialogue. Dalam Ethics 105: 1 (Oktober 1994): 44-63 pada hlm. 49
32
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
dengan ide-ide yang telah dikemukakan oleh sarjana-sarjana Barat. Saya
mendefinisikan “public reason” dalam bab 1 sebagai syarat yang harus dipenuhi oleh
alasan dan tujuan sebuah kebijakan publik atau undang-undang dalam bentuk
penalaran yang menyediakan kemungkinan bagi seluruh warga negara untuk
menerima, menolak bahkan membuat ajuan tandingan melalui mekanisme debat
publik tanpa berresiko dikenakan tuduhan makar, membangkang atau murtad. Ide
saya ini mungkin didukung oleh pendapat Rawls dan Habermas, namun
pengalaman masyarakat Barat yang menjadi konteks pemikiran mereka, mungkin
tidak akan terlalu relevan untuk pengalaman masyarakat yang saya sebutkan dalam
buku ini. Ide Rawls mengenai pembedaan antara konsep politik dan doktrin
komprehensif, misalnya, akan berguna bagi saya untuk menentukan kerangka bagi
ekspresi public reason. Namun pembedaan ini mengasumsikan adanya sebuah
tatanan undang-undang dan masyarakat yang stabil yang memiliki kondisi kondusif
bagi tumbuhnya debat mengenai isu-isu public reason. Sebuah keadaan yang sulit
ditemui di dunia Islam. Karena itu, saya lebih suka mengambil pendapat-pendapat
tersebut untuk memperkuat argumen yang saya buat tanpa mengidentifikasi diri
secara khusus pada salah seorang di antara mereka atau berpartisipasi dalam debat
kalangan Barat.
Saya mengajukan sebuah pandangan mengenai public reason yang berakar pada
tradisi civil society dan ditandai dengan adanya persaingan sehat antara berbagai
aktor sosial untuk mempengaruhi kebijakan publik melalui peran negara. Dengan
merujuk pada ciri-ciri negara yang telah disebutkan diatas, pelaksanaan public reason
di ruang non-negara justru akan semakin melebarkan legitimasi dan otonomi
negara. Ruang public reason menyediakan tempat bagi warga negara sebuah forum
dan mekanisme untuk menuntut hak-hak mereka atas negara. Keberadaan sebuah
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
forum yang egaliter dan inklusif, tempat dimana warga negara memiliki hak untuk
berpastisipasi, menguatkan fakta bahwa negara bukan merupakan bagian dari satu
kelompok atau beberapa kelompok tertentu. Meskipun ruang public reason harus
dilindungi dan diatur berdasarkan prinsip-prinsip konstitusionalisme, hak asasi
manusia dan kewarganegaraan, ketiga prinsip itu pun harus mendapatkan
legitimasi dari proses public reason. Saya akan mengulang tema ini dalam bagian
kesimpulan, setelah
mendiskusikan
masing-masing prinsip tersebut dalam
kaitannya dengan pikiran saya dalam buku ini secara keseluruhan.
II. Konstitusionalisme dalam Perspektif Islam
Tata pemerintahan yang konstitusional merujuk pada adanya seperangkat prinsip
yang membatasi dan mengontrol kekuasaan pemerintah sesuai dengan hak-hak
fundamental warga negara dan komunitas, serta sesuai dengan tata hukum yang
menjamin hubungan antara individu dan negara diatur oleh prinsip-prinsip hukum
yang jelas, bukan oleh kehendak elit penguasa yang despotik.33 Saya menggunakan
istilah konstitusionalisme untuk memayungi jaringan sejumlah lembaga, proses dan
budaya yang lebih luas, yang diperlukan untuk menjalankan tata pemerintahan
yang konstitusional secara efektif dan berkelanjutan.34 Saya sendiri lebih tertarik
pada seperangkat nilai, lembaga serta proses politik dan sosial yang dinamis dan
komprehensif, daripada penerapan formal prinsip-prinsip umum yang abstrak atau
aturan-aturan hukum yang spesifik. Prinsip-prinsip hukum dan undang-undang
memang relevan dan penting, tetapi implementasi prinsip-prinsip tersebut secara
33
J.T McHugh, Comparative Constitutional Traditions (New York: Peter Lang, 2002, hlm. 2-3
Alan S. Rosenbaum, Introduction to Constitutionalism the Philosophical Dimension, ed. Alan S.
Rosenbaum (Westport, Connecticut: Greenwood Press, 1988), hlm. 4-5; Louis Henkin, “A New Birth
of Constitutionalism: Genetic Influences and Genetic Defects” dalam Constitutionalism, Identity,
Differences and Legitimacy, ed. Michel Rosenfeld (Durham, North Carolina: Duke University Press,
1994), hlm. 39-53; dan Constitutionalism, eds. J. Roland Pennock and John W. Chapman (New York:
New York University Press, 1979).
34
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
efektif dan berkelanjutan hanya dapat dicapai melalui konsep konstitusionalisme
yang lebih luas dan dinamis.
Pemahaman
dasar
tentang
konstitusionalisme
yang
saya
sebutkan
disini
berdasarkan pada dua hal. Pertama, konsepsi yang beragam mengenai prinsipprinsip dan lembaga-lembaga konstitusionalisme harus dilihat sebagai pendekatan
komplementer terhadap model pemerintahan yang akuntabel dan bertanggung
jawab yang bisa beradaptasi pada perubahan waktu dan tempat, daripada sebagai
representasi dikotomi yang tajam atau pilihan-pilihan yang kategoris. Karena
definisi konsep ini merupakan produk pengalaman masyarakat yang hidup dalam
keadaan tertentu, maka menetapkan hanya satu pendekatan terhadap definisi atau
cara implementasi konsep ini dan mengenyampingkan pendekatan lain, menjadi
tidak masuk akal dan tidak penting. Baik berdasarkan dokumen tertulis atau tidak,
konsep ini bertujuan untuk menegakkan tatanan hukum, menjalankan pembatasan
yang efektif terhadap kekuasaan pemerintah, dan melindungi hak asasi manusia.
Pemahaman yang lebih universal terhadap konstitusionalisme mungkin akan
berkembang dari waktu ke waktu, tapi pemahaman ini harus merupakan hasil
analisis komparatif terhadap pengalaman praksis, bukan hasil usaha pemaksaan
satu definisi ekslusif yang berdasarkan satu ideologi atau tradisi filsafat tertentu.
Kedua, saya sangat percaya bahwa prinsip-prinsip tersebut hanya bisa direalisasikan
dan dikembangkan melalui praktik dan pengalaman. Karenanya, kedaulatan rakyat
dan keadilan sosial, misalnya, hanya bisa dicapai melalui praktik aktual yang
kondusif bagi adanya koreksi teori dan modifikasi praktik, bukan dengan menunda
sampai sebuah kondisi ideal bagi pelaksanaan konsep itu dicapai oleh penguasa.
Usaha-usaha untuk mencapai kedaulatan rakyat dan keadilan sosial itulah yang
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
justru menyediakan kesempatan bagi munculnya keadaan yang lebih kondusif bagi
pelaksanaan konstitusionalisme yang sukses dan berkelanjutan. Dengan demikian,
akhir sebuah tata pemerintahan yang konstitusional justru direalisasikan melalui
pengalaman mempraktikkan prinsip-prinsip konstitusional dalam konteks masingmasing
masyarakat.
Pengalaman
praksis
tersebut,
pada
akhirnya,
akan
mempengaruhi refleksi teoritis terhadap prinsip-prinsip tersebut dan meningkatkan
cara praktiknya di masa yang akan datang.
Praktik Lokal dan Prinsip-Prinsip Universal
Secara umum, konstitusionalisme merupakan respon tertentu terhadap paradoks
dasar pengalaman praksis sebuah masyarakat. Di satu sisi, sudah jelas bahwa
seluruh anggota masyarakat tidak mungkin dapat berpartisipasi secara sejajar dalam
pelaksanaan urusan-urusan publiknya. Namun di sisi lain, jelas pula bahwa orang
cenderung untuk memiliki pandangan dan kepentingan yang berbeda berkaitan
dengan hal-hal seperti kekuasaan politik, alokasi dan pengembangan sumber daya
ekonomi, serta pelayanan dan kebijakan sosial. Disinilah negara menjadi pihak yang
berperan untuk menyelesaikan perbedaan pendapat dan konflik kepentingan itu.
Namun dalam praktiknya, fungsi tersebut juga dijalankan oleh aparatur negara
(manusia), dan bukan oleh badan resmi yang abstrak dan lembaga yang netral.
Konstitusionalisme, dengan demikian, berfungsi memberikan ruang bagi pihakpihak yang memiliki kontrol langsung terhadap aparatur negara untuk memastikan
bahwa pandangan dan kepentingan mereka dipenuhi oleh mereka yang bertugas
untuk mengatur negara itu. Realitas inilah yang menjadi dasar bagi semua aspek
konstitusionalisme, baik yang berkaitan dengan struktur dan lembaga negara
maupun aktivitasnya dalam membuat dan menjalankan kebijakan publik dan
administrasi keadilan.
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
Dengan demikian, tata pemerintahan konstitusional mengharuskan adanya
penghormatan dan perlindungan terhadap hak-hak indidividu dan masyarakat
karena makna dan implementasi kedua hak ini berkaitan satu sama lain. Contohnya,
menghormati kebebasan individu untuk mengutarakan pendapat, keyakinan dan
berorganisasi adalah satu-satunya cara untuk melindungi hak kebebasan kelompok
etnik dan agama tertentu. Tapi, kebebasan individual itu akan bermakna dan bisa
dijalankan secara efektif dalam konteks kelompok yang relevan. Selain itu, karena
hak merupakan alat untuk merealisasikan tujuan keadilan sosial, stabilitas politik
dan perkembangan ekonomi untuk seluruh lapisan masyarakat, hak harus difahami
sebagai sebuah proses dinamis daripada aturan-aturan hukum yang abstrak.
Namun, hak-hak seperti kebebasan untuk berekspresi dan berorganisasi tidak akan
berguna tanpa adanya lembaga-lembaga untuk menjalankannya termasuk adanya
kemampuan untuk mengajukan dan menindak perbuatan pegawai pemerintahan
dan menjaga mereka agar tetap akuntabel. Karena itu, pegawai pemerintahan
seharusnya tidak boleh menyembunyikan kegiatannya, menutup-nutupi praktik
penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukannya. Yang secara umum berarti
transparansi kegiatan pegawai negara adalah sebuah kebutuhan. Transparansi ini
dapat dicapai melalui perundang-undangan, aturan administratif dan juga
kebebasan pers, serta kemungkinan adanya tuntutan atas pegawai negara yang
menyalahgunakan
kekuasaannya
atau
menghindari
tanggung
jawabnya.
Transparansi administratif dan finansial tidak mungkin menghasilkan akuntabilitas
politik dan hukum, bila tidak disertai adanya lembaga yang independen dan
kompeten yang bisa menginvestigasi kemungkinan pelanggaran dan bisa
menyelesaikan pertikaian. Namun sayangnya, proses-proses yang berkaitan dengan
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
masalah-masalah teknis tentang adminitrasi peradilan dan hukum sampai persiapan
praktis untuk mengamankan independensi kehakiman atau akuntabilitas politik
pejabat terpilih, tidak bisa didiskusikan secara detail sekarang.
Aspek konstitusionalisme yang terpenting berkaitan dengan motivasi psikologis dan
kemampuan sosiologis warga negara untuk berpartisipasi dalam kegiatan kolektif
mempromosikan dan melindungi hak dan kebebasan. Penegakan semua prinsip,
lembaga dan proses konstitusionalisme tergantung pada kerelaan dan kemampuan
warga negara untuk berbuat demi kemaslahatan bersama, bukan hanya untuk
kepentingan sekelompok golongan dan lapisan masyarakat tertentu. Tentu saja
aspek-apek motivasi dan kemampuan itu sulit untuk dihitung dan diverifikasi,
tetapi semuanya melibatkan motivasi warga negara untuk selalu mengetahui
urusan-urusan kemasyarakatan dan selalu bertindak secara kolektif. Agen dan
lembaga publik yang dioperasikan oleh warga negara tidak saja harus mendapatkan
kepercayaan dari masyarakat lokal, tetapi juga harus ramah, responsif dan dapat
diakses oleh seluruh lapisan masyarakat. Inilah makna yang paling mendasar dan
praksis dari kedaulatan rakyat, dimana rakyat dapat mengatur dirinya sendiri
melalui pegawai publik dan wakilnya yang sudah terpilih. Jadi, konstitusionalisme
pada intinya adalah bagaimana merealisasikan dan mengelola ide ideal ini dengan
cara yang dinamis dan berkelanjutan, dengan menyeimbangkan stabilitas yang
diperlukan sekarang dengan kebutuhan akan adaptasi dan pengembangan di masa
yang akan datang.
Prinsip konstitusionalisme kadang-kadang diekspresikan dalam istilah hak untuk
menentukan nasib sendiri (self-determination) dimana rakyat berhak menentukan
secara bebas status politik mereka dan meraih kemajuan ekonomi, sosial dan
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
kultural mereka. Hak ini kadang-kadang disalahfahami sebagai hak untuk
memisahkan diri dari negara yang sudah ada. Adalah lebih baik untuk melihat
pemenuhan hak untuk menentukan nasib sendiri sebagai sebuah proses yang
berkelanjutan, daripada melihatnya sebagai sesuatu yang harus dipenuhi sekaligus
setelah meraih kemerdekaan politik dari kekuasaan kolonial luar. Benar bahwa
kedaulatan negara merupakan kondisi awal untuk pemenuhan hak untuk
menentukan nasib diri. Tapi kedaulatan negara saja tidak selalu penting dan cukup
dalam segala situasi. Negara terpisah tidak selalu penting bagi mereka yang ingin
merealisasikan hak menentukan nasib sendiri, karena hak itu bisa dicapai dalam
kerangka negara yang sudah ada, asal pemerintahannya akuntabel dan representatif.
Negara terpisah mungkin juga tidak akan cukup, karena rakyat juga bisa ditindas
lagi oleh hegemoni internal kelompok penguasa dan ideologi eksklusif atau
kekuatan kolonial luar.35 Karena kekuasaan kolonial biasanya lebih mudah dihadapi
daripada hegemoni internal, saya akan secara khusus membahas bahayanya
melegitimasi hegemoni dan penindasan semacam itu dalam masyarakat Islam saat
ini, dengan mengungkapkan pentingnya agama dalam upaya menekan kekuatan
oposisi politik dan akuntabilitas pemerintah.
Konstitusionalisme
selalu
berkaitan
dengan
kemampuan
rakyat
untuk
mempengaruhi kejadian-kejadian yang membentuk kehidupan mereka baik pada
tingkat personal, keluarga maupun masyarakat. Konstitusionalisme berkaitan
dengan upaya penataan dan pengamanan ruang publik untuk rakyat agar mereka
dapat mencari, bertukar, berdebat dan menilai sebuah informasi secara bebas serta
dapat bergabung dengan yang lain agar dapat melakukan sesuatu untuk mencapai
35
Lihat misalnya Abdullahi A. An-Na’im dan Francis M. Deng, “Self-Determination and Unity: The
Case of Sudan, dalam “Law and Policy, Vol. 18 (1996), hlm.199-223
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
tujuannnya. Konsep dasar ini juga mengindikasikan bahwa kesamaan akses itu
harus disediakan bagi seluruh anggota masyarakat karena hidup mereka ditentukan
oleh kebijakan-kebijakan yang sedang terbentuk. Dalam praktiknya, prinsip seperti
ini menimbulkan persoalan lain yang terkait dengan pembedaan antara status warga
negara (citizen) yang memiliki keanggotaan penuh serta seperangkat hak dan
kewajiban, dengan permanen residen (permanent resident) yang hanya memiliki
separuh keanggotaan, serta dengan orang asing (aliens) yang jelas-jelas tidak
memiliki hak untuk terlibat dalam proses-proses demokrasi konstitusional.
Prinsip konstitusionalisme berisi beberapa prinsip umum seperti pemerintahan yang
representatif, transparansi, akuntabilitas, pemisahan kekuasaan legislatif, eksekutif,
dan yudikatif, serta independensi lembaga kehakiman. Tapi, ini bukan berarti bahwa
semua
prinsip-prinsip
ini
harus
ada
agar
konstitusionalisme
dapat
diimplementasikan dengan sukses di sebuah negara. Kenyataannya, prinsip-prinsip
dan kondisi itu hanya bisa muncul dan berkembang dalam berbagai model melalui
proses trial and error yang terus menerus.36 Pemerintahan yang representatif,
transparansi, akuntabilitas bisa direalisasikan dalam berbagai model seperti sistem
parlementer Inggris atau Sistem presidensial Perancis dan Amerika. Model-model
tersebut bukan merupakan satu-satunya sistem sebuah negara, sistem itu dapat
berubah dan disesuaikan dengan perubahan yang terjadi di sana.37 Meski
berhadapan dengan masalah dan kesulitan, setiap model negara konstitusional yang
sukses pasti bekerja dengan totalitas dan ia terus bertransformasi dan menyesuaikan
36
D. Franklin dan M. Baun (ed.), Political Culture and Constitusionalism: A Comparative Approach
(New York: M. E. Sharpe), hlm. 184-217
37
McHugh, Comparative Constitutional Traditions, hlm. 50-54, 57-58, 147, 149-150.
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
diri dengan caranya sendiri dalam situasi krisis. Ini dapat dilihat dengan jelas dalam
kasus Perancis dan Jerman pada Abad ke -20.38
Pemisahan kekuasaan dan independensi lembaga kehakiman, misalnya, bisa
diamankan baik melalui penataan struktural dan institusional seperti yang terjadi di
Amerika,39 atau dengan cara politik konvensi dan praktik tradisi dalam kultur
politik negara seperti Inggris.40 Pembedaan yang ketat antara cara konvensi dan
tradisi, di satu pihak, dengan cara struktural dan institusional, di pihak lain, bisa jadi
salah, karena masing-masing model mungkin membutuhkan atau mengandaikan
adanya model lain agar dapat berfungsi dengan baik. Perbedaan seperti ini lebih
merupakan produk pengalaman sejarah dan konteks masing-masing negara,
daripada hasil pilihan yang sengaja dibuat pada titik waktu tertentu.41 Yang paling
penting dari semua itu adalah kemampuan sistem tersebut untuk mencapai tujuantujuan konstitusionalnya meskipun praktiknya berbeda-beda.
Dengan mengatakan bahwa kita harus bertahan pada model tertentu yang sukses
mengimplementasikan konstitusionalisme, bukan berarti bahwa sistem-sistem yang
sudah ada itu juga kondusif untuk menjaga keberlanjutan implementasi beberapa
prinsip konstitusionalisme seperti pemisahan kekuasaan lembaga-lembaga negara
dan independensi lembaga kehakiman. Meskipun ini hanya persoalan tingkat
38
William Safran, “The Influence of American Constitutionalism in Postwar Europe: the Bonn
Republic Basic Law and the Constitution of the Fifth French Republic,” dalam American
Constitutionalism Abroad, ed. George Athan Billias (Westport, Connecticut: Greenwood Press, 1990),
hlm. 91-109.
39
McHugh, Comparative Constitutional Traditions, hlm. 35-36
40
McHugh, Comparative Constitutional Traditions, hlm. 47-63
41
lihat secara umum, McHugh, Comparative Constitutional Traditions; Michel Rosenfeld, “Modern
Constitutionalism as Interplay Between Identity and Diversity,” in Constitutionalism, Identity,
Differences, and Legitimacy, ed. Michel Rosenfeld (Durham, North Carolina, Duke University Press,
1994), hlm. 3-38.
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
kecocokan, namun beberapa metode terbukti tidak cukup kuat karena mereka
memang tidak menerapkan prinsip pokoknya. Contohnya, meskipun kekuasaan
eksekutif untuk menunjuk dan mempekerjakan hakim merupakan satu hal yang tak
terhindarkan, namun dengan memberikan kepercayaan sepenuhnya pada mereka
untuk melakukan penunjukkan tanpa melakukan cek atau pengawasan merupakan
satu bentuk penyimpangan dari prinsip independensi lembaga kehakiman. Sebuah
sistem yang menolak hak-hak dasar masyarakat tertentu seperti kesetaraan di
hadapan hukum atau kesamaan akses terhadap fasilitas publik karena sentimen
gender atau agama berarti menolak prinsip konstitusionalisme itu sendiri.
Meskipun demikian, ini juga tidak berarti bahwa sistem yang tidak dapat diterima,
bisa dengan mudah dan cepat digantikan oleh model lain yang lebih baik.
Pengalaman paska kemerdekaan negara-negara Asia Afrika42 menunjukkan bahwa
transplantasi struktur, lembaga dan proses yang dapat dengan mudah dilakukan di
beberapa negara, ternyata membutuhkan adaptasi dan pengembangan yang cukup
hati-hati di beberapa negara lain. Munculnya konsensus mengenai ciri-ciri
konstitusionalisme, dan bagaimana mereka diturunkan dan diaplikasikan di masingmasing negara, merefleksikan pengalaman lokal dan global negara tersebut. Dengan
kata lain, makna dan implikasi konstitusionalisme untuk sebuah negara adalah hasil
interaksi prinsip-prinsip universal yang luas dengan proses dan faktor lokal yang
spesifik. Namun perlu di catat, prinsip-prinsip universal sendiripun sebetulnya
merupakan
perluasan
dari
pengalaman-pengalaman
berbagai
negara
yang
dihasilkan dari pengalaman interaksi antara nilai-nilai universal dan lokal
negaranya.
42
Lihat sebagai contoh, Okon Akiba, “Constitutional Government and the Future of Constitutionalism
in Africa,” Constitutionalism and Society in Africa, ed. Okon Akiba (Burlington, Vermont: Ashgate
Publishing Company, 2004), hlm. 7-16.
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
Islam, Syari’ah dan Konstitusionalisme
Saya tertarik dengan hubungan antara Islam, Syariah dan Konstitusionalisme karena
interaksi antara ketiga hal tersebut ada dalam hati dan pikiran ummat Islam.43 Ini
bukan berarti bahwa Islam benar-benar secara ekslusif menentukan perilaku
konstitusional
penganutnya,
karena
perilaku
konstitusional
dan
bahkan
pemahaman dan praktik berIslam-nya ummat Islam juga dipengaruhi oleh faktor
politik, ekonomi dan faktor lainnya. Ketertarikan saya lebih karena muslim tidak
mungkin untuk mempertimbangkan konstitusionalisme secara serius jika mereka
menilai konsep atau beberapa prinsipnya secara negatif; sebagai sesuatu yang tidak
sesuai dengan kewajiban agama mereka untuk melaksanakan syari’ah. Tapi
sebagaimana yang sudah saya tekankan sebelumnya, pengetahuan dan praktik
syariah apapun adalah selalu merupakan produk pemahaman dan pengalaman
muslim, yang tidak mungkin mencakup seluruh aspek tentang Islam.
Sumber atau kerangka undang-undang tradisional Islam biasanya diambil dari
pengalaman komunitas awal muslim yang dibangun Nabi di Madinah setelah hijrah
dari Mekah di tahun 622 H dan kemudian diteruskan oleh generasi pertama
pengikutnya.44 Pola perilaku individu dan masyarakat, serta model hubungan dan
lembaga sosial politik, umumnya selalu disandarkan dan dikaitkan dengan periode
yang selalu dianggap sebagai model ideal bagi Muslim sunni itu.
43
45
Namun karena
Lihat sebagai contoh, Ausaf Ali, “Contrast Between Western and Islamic Political Theory” in
Modern Muslim Thought, Vol. 1, Modern Muslim Thought, Vol. 1 (Karachi, Pakistan: Royal Book
Company), hlm. 181; Muhammad Asad, Principles of State and Government in Islam (Gibraltar: Dar
al-Andalus, 1985), hlm. 1-17, 22-23; Saba Habacy, Introduction to J.N.D. Anderson, Islamic Law in
the Modern World (Westport, Connecticut: Greenwood Press, 1975), hlm. ix.
44
Lihat secara umum Kemal Faruki, The Evolution of Islamic Constitutional Theory and Practice from
610 to 1926 (Karachi, Pakistan: National Publication House, 1971).
45
Lihat Asad, State and Government in Islam, hlm. 24-29; Maimul Ahsan Khan, Human Rights in the
Muslim World (Durham, North Carolina: Carolina Academic Press, 2003), hlm. 143-240.
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
sifatnya yang ideal itu pulalah, model tersebut tidak pernah bisa direplikasi secara
utuh setelah Nabi dan sahabat-sahabatnya meninggal.
Terlebih lagi, tidak ada kesepakatan di antara ummat Islam mengenai apa yang
dimaksud dengan model Madinah itu dan bagaimana model itu diaplikasikan dalam
konteks hari ini. Bagi mayoritas muslim sunni, masa Nabi dan Khulafa al-Rasyidun
(sampai terbunuhnya Ali pada tahun 660 M), merepresentasikan model ideal teori
undang-undang dasar Islam yang paling otoritatif.46 Sementara itu, kalangan Islam
syi’ah memiliki model ideal mereka sendiri yaitu imam-Imam Maksum sejak masa
pemerintahan Ali. Jumlah imam-imam maksum ini tergantung pada sekte-sekte
tertentu dalam syi’ah (apakah Ja’fari, Isma’ili, Zaydi dan lain sebagainya).47 Dengan
demikian, baik sunni maupun syi’ah menganggap model yang tumbuh pada masa
tersebut sebagai model yang paling ideal dan mencela generasi sesudahnya. Bahkan
seringkali model ini mendapatkan justifikasi untuk dipaksakan karena terjadinya
situasi-situasi tertentu seperti kekacauan internal atau invasi luar. Seperti yang
sudah diungkapkan Anderson, “nampaknya lip-service lebih suka digunakan untuk
mendukung syari’ah sebagai otoritas hukum yang paling fundamental dan untuk
menggunakan konsep “darurah” guna menerapkannya dalam praktik, daripada
membuat usaha real untuk mengadaptasikan hukum Islam tersebut pada situasi dan
kebutuhan kebutuhan saat ini”. 48
46
Lihat al-Nabhani, the Islamic State; lihat juga Asad, State and Government in Islam, hlm. 24-29; A.
Rahman I. Doi, Non-Muslims Under the Shri’ah (Islamic Law), (Lahore, Pakistan: Kazi Publication,
1981), hlm. 122
47
Lihat sebagai contoh Said Amir Arjomand, The Shadow of God and the Hidden Imam (Chicago:
University of Chicago Press, 1984; and Farhad Daftary, The Isma’ilis: Their History and Doctrines
(Cambridge: Cambridge University Press, 1990).
48
Norman Anderson, Law Reform in the Muslim World (London: Athlone Press 1976), hlm. 36.
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
Karena itulah, saya mencoba untuk mempromosikan pemahaman syari’ah sebagai
sesuatu yang dapat terus dipraktikkan oleh Muslim, daripada terus menerus
memelihara harapan-harapan yang tidak realistis yang menghargai syariah hanya
sebatas teori, bukan praktik. Dengan demikian, masalahnya adalah bagaimana
menerjemahkan esensi keadilan dan implikasi praksis model historis tersebut, bukan
berusaha mengulangnya dalam keadaan yang sangat berbeda ini. Contohnya, ajaran
tentang syura. Ajaran ini tidak mengikat dan tidak pernah pula dipraktikkan dengan
cara yang sistematik dan inklusif.49 Qs. 3: 159 menginstruksikan nabi untuk
bermusyawarah (syawirhum) dengan pengikutnya, tapi jika ia telah menemukan
jawabannya sendiri, ayat tersebut mengatakan bahwa ia harus melaksanakan
keputusannya itu. Ayat lain yang sering dikutip berkaitan dengan syura adalah Qs
42: 38 yang menggambarkan orang-orang mu’min sebagai sebuah komunitas yang
memutuskan masalah dengan musyawarah. Tapi ayat ini tidak menjelaskan
bagaimana musyawarah itu dipraktikkan dan apa yang harus dilakukan bila terjadi
ketidaksepakatan.50 Istilah syura dalam konteks ini, lebih banyak mengindikasikan
keharusan untuk mendengarkan pendapat tanpa harus terikat olehnya. Seperti yang
saya tunjukkan pada bab II, praktik Nabi dan para sahabat nampaknya
membuktikan pemahaman ini. Praktik syura yang seperti ini kemudian menjadi
norma yang berlaku dalam pemerintahan dinasti Umayah, Abbasiyah dan negaranegara yang tumbuh dalam masyarakat Islam pra modern.
Namun demikian, dengan pemahaman syura yang seperti ini tidak berarti bahwa
konsep tersebut tidak bisa dipakai sebagai dasar prinsip-prinsip undang-undang
dasar yang terlembagakan dan melibatkan seluruh penduduk. Justru inilah bentuk
49
Tapi lihat Asad, State and Governmnet in Islam, hlm. 54-55
Noel J. Coulson, “The State and the Individual in Islamic Law”, International and Comparative Law
Quarterly 1957, hlm. 49-60, pada hlm. 55-56.
50
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
evolusi dan pengembangan prinsip-prinsip Islam yang saya ajukan. Namun
segalanya harus kita mulai dengan pemahaman yang jelas tentang apa yang
dimaksud dengan syura dan bagaimana ia pernah dipraktikkan. Menganggap syura
sebagai
sebuah
prinsip
yang
sudah
difahami
dan
dipraktikkan
sebagai
“pemerintahan yang berdasarkan undang-undang” dalam konteks modern, justru
akan menjadi kontra-produktif, karena syura hanya akan digunakan untuk
membenarkan praktik-praktik inkonstitusional. Lagipula, klaim tersebut masih
dipertanyakan karena tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa syura pernah
diimplementasikan dalam bentuk lembaga politik yang bisa mengelola pertikaian
politik dan peralihan kekuasaan secara damai dan baik sepanjang sejarah Islam. Ini
tentu saja berlaku dimanapun, karena konsep dan lembaga-lembaga tersebut
berkembang secara gradual dan tak pasti selama kurang lebih 2 abad. Namun ini
tidak dimaksudkan untuk menjustifikasi pemahaman sejarah yang keliru bahwa
muslim sudah mengetahui dan mempraktikkan prinsip-prinsip pemerintahan
konstitusional seperti itu.
Pendekatan yang sama juga harus diterapkan untuk mengembangkan interpretasi
syari’ah tradisional mengenai kesetaraan perempuan dan non-muslim serta
kebebasan beragama. Fakta bahwa pembatasan itu memang terjadi pada beberapa
masyarakat di masa lalu, tidak bisa menjustifikasi penerapannya secara terus
menerus oleh masyarakat muslim sekarang. Malah, kita harus mengerti terlebih
dahulu alasan justifikasi praktik-praktik tersebut itu dalam berbagai budaya lokal
masyarakat Islam masa lalu, dan bagaimana praktik-praktik itu dilegitimasi sebagai
interpretasi otoritatif syari’ah. Baru kemudian, kita mencari interpretasi alternatif
yang lebih konsisten dengan budaya yang berkembang dan konteks masyarakat
Islam sekarang.
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
Perlu saya tekankan disini bahwa aturan umum syari’ah menjamin kebebasan
ummat
Islam
untuk
melakukan
dan
meninggalkan
syari’ah
kecuali
bila
bertentangan dengan ajaran-ajaran Islam. Secara teoritis, tidak ada pembatasan hakhak konstitusional dalam syari’ah, kecuali dalam keadaan tertentu. Tapi dalam
praktiknya, aturan ini menjadi sangat kompleks karena syari’ah difahami berbeda
oleh beragam mazhab dan para fuqaha berbeda pendapat hampir dalam semua
masalah.51 Akibatnya, ummat Islam seringkali merasa tidak yakin, apakah, menurut
syari’ah, mereka memiliki hak untuk melakukan dan meninggalkan kewajiban atau
tidak. Buruknya, ketidakjelasan ini sering membuka kemungkinan bagi terjadinya
manipulasi oleh para pemimpin atau elite keagamaan. Selain itu, ketidakjelasan ini
juga memiliki konsekuensi serius terhadap hak-hak konstitusional ummat Islam
seperti aturan mengenai pakaian perempuan (jilbab) dan aturan pemisahan laki-laki
dan perempuan yang bisa mengganggu kebebasan personal dan kemampuan
partisipasi mereka dalam kehidupan publik.
Apapun pandangan orang tentang masalah ini, ternyata aturan mengenai hak-hak
konstitusional perempuan dan non-muslim yang harus tunduk pada batasanbatasan tertentu, tidak pernah diperdebatkan. Misalnya, Qs. 4: 34 yang sering
digunakan untuk menekankan prinsip otoritas laki-laki sebagai qawwam atas
perempuan dan dengan demikian, menolak hak perempuan untuk memegang
jabatan pubik apapun.52 Meskipun para fuqaha berbeda pendapat mengenai hal-hal
yang berkaitan dengan prinsip ini, tapi tidak ada seorang pun dari mereka yang
51
Lihat secara umum, Wael B. Hallaq, “Can Shari’ah Be Restored,” Islamic Law and the Challenges of
Modernity, eds. Yvonne Yazbeck Haddad and Barbara Freyer Stowasser (Walnut Creek, California:
AltaMira Press, 2004), hlm. 26-36.
52
Ausaf Ali, “Role of Muslim Women Today,” Modern Muslim Thought, Vol. 1, hlm. 226-227; “The
Development and Integration of Muslim Women as a Human Resource in the Islamic Economy in the
Modern World,” Modern Muslim Thought, Vol. 1, hlm. 256-263.
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
memberikan posisi setara kepada perempuan. Bahkan, prinsip ini kemudian
diterapkan untuk menginterpretasi ayat lain dan bahkan diperkuat oleh berbagai
ayat yang jelas-jelas memberikan hak yang tidak sama kepada perempuan dalam
pernikahan, perceraian, warisan, dan lain-lain.53 Prinsip ini juga diterapkan pada
ayat-ayat seperti QS. 24: 31, Qs. 33: 33, 53, 59 untuk membatasi hak perempuan
berbicara dalam ruang publik atau untuk berkumpul dengan laki-laki. Akhirnya,
kemampuan perempuan untuk berpartisipasi dalam pemerintahan negaranya pun
dibatasi.54 Dengan demikian, meskipun perempuan muslim memiliki kebebasan
yang sama dengan laki-laki dalam beragama dan mengungkapkan pendapat,
kesempatan mereka untuk mendapatkan hak ini sangat dibatasi oleh larangan untuk
mengakses ruang publik.
Kombinasi ayat-ayat umum dan khusus semacam tadi juga digunakan untuk
membatasi hak-hak non-muslim baik ahlul kitab maupun orang-orang kafir.55 Saya
akan
menjelaskan
hal
ini
secara
lebih
luas
dalam
bagian
mengenai
“kewarganegaraan”. Sekarang saya hanya ingin menekankan bahwa meskipun
terdapat banyak perbedaan teoritis di kalangan sarjana muslim dan terdapat pula
beragam variasi antara teori dan praktik, namun dalam khazanah interperetasi
syariah tradisional, prinsip bahwa non-muslim tidak setara dengan muslim tidak
pernah menjadi bagian dalam perdebatan tersebut. Interpretasi alternatif sangat
mungkin dimunculkan, namun bukan dengan mengklaim bahwa pembatasan
53
Lihat sebagai contoh Abul A’la al-Maududi, Purdah and the Status of Women in Islam,
diterjemahkan dan diedit oleh al-‘Ash’ari (Lahore, Pakistan: Islamic Publication Ltd., 1979), hlm. 141158
54
Fatima Mernissi, Women in Islam: an Historical and Theological Enquiry, Mary Jo Lackland (pen.),
(Oxford, England: Basil Blackwell Ltd., 1991), hlm. 49-81; Maududi, Purdah and the Status of
Woman, hlm. 152-153.
55
Sebagai contoh lihat artikel “Dhimma” dalam Shorther Encyclopedia of Islam, (Leiden: EJ Brill,
1991), hlm. 76
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
semacam itu bukan bagian dari syari’ah yang pernah diinterpretasikan oleh muslim
di masa lalu.
Justifikasi sosiologis maupun poilitik apapun yang diajukan untuk menguatkan
aspek-aspek syariah tersebut, aspek-aspek tersebut tidak lagi valid untuk konteks
masyarakat islam modern. Larangan diskriminasi berdasarkan jenis kelamin atau
agama telah ada dalam undang-undang dasar negara-negara yang mayoritas
penduduknya beragama Islam. Negara-negara tersebut juga mengakui kovenan hak
asasi manusia internasional yang menyaratkan adanya kesetaraan dan ketiadaan
diskriminasi. Benar bahwa pemerintahan negara-negara tersebut jarang yang sudah
melaksanakan semua aturan yang tertera dalam undang-undang dasar mereka,
tetapi problem ini dimiliki oleh hampir semua negara. Sambil menekankan perlunya
memahami dan meniadakan sebab-sebab masalah ini, menurut saya penting bagi
seluruh muslim untuk mengungkapkan komitmen mereka pada nilai-nilai
konstitusionalisme, hak asasi manusia dan kewarganegaraan.56 Namun itu saja tidak
cukup, kita harus maju satu langkah lagi menuju apa yang saya sebut sebagai
reformasi Islami. Gerakan ini bertujuan untuk mendorong dan mendukung usahausaha untuk memberikan hak yang sama bagi perempuan dan non-muslim dari
sudut pandang syari’ah dan bukan sekedar untuk kepentingan-kepentingan politik
sesaat. Gerakan ini juga akan memberikan kontribusi bagi proses legitimasi nilainilai partisipasi politik, akuntabilitas dan kesetaraan di hadapan hukum. Pada
akhirnya gerakan ini diharapkan dapat meningkatkan prospek konstitusionalisme
dalam masyarakat Islam.
56
Lihat Brems, Human Rights, hlm. 194-206; contoh diskursus muslim mengenai hal tersebut lihat
juga, Khan, Human Rights in the Muslim World; Ausaf Ali, Modern Muslim Thought; Islamic Law and
the Challenges of Modernity, eds. Yvonne Yazbeck Haddad and Barbara Freyer Stowassesr; Asad,
State and Government in Islam.
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
Dalam menerapkan konsep undang-undang dasar dan kelembagaan yang telah
berkembang selama 2 abad untuk menganalisa pengalaman masyarakat islam di
masa lalu, saya akan menekankan bahwa perkembangan konsep-konsep dan
lembaga-lembaga tersebut tidak membuat mereka menjadi tidak islami. Sebaliknya
harus disadari bahwa perubahan drastis yang terjadi pada masyarakat Islam dalam
konteks lokal dan global, menyebabkan model-model yang pernah berlaku di masa
lalu
tidak
akan
mampu
untuk
diterapkan
secara langsung begitu
saja.
Pertanyaannya kemudian adalah bagaimana menerjemahkan konsep-konsep ideal
syari’ah menjadi model pemerintahan yang bisa berfungsi dengan baik saat ini,
daripada sekedar menekankan bahwa ini adalah aplikasi modern yang diinspirasi
oleh formulasi lama. Untuk menghindari kebingungan, saya ingin menekankan
bahwa meskipun norma sosial dan moral masyarakat Madinah masih merupakan
model ideal yang harus dicapai oleh seluruh muslim, struktur dan cara kerja model
negara yang terjadi di masa itu tidak mungkin diterapkan dalam konteks
masyarakat muslim saat ini. Daripada terus menerus berapologi dengan argumen
negara Madinah tanpa tahu cara menerapkannya, adalah lebih baik baik muslim
untuk menerapkan kembali nilai-nilai ideal dan semangat lembaga-lembaga sosial
dan politik negara madinah dalam sistem pemerintahan, adminsitrasi peradilan dan
relasi internasional yang lebih bisa berfungsi untuk konteks sekarang ini. Prinsipprinsip konstitusionalisme, hak asasi manusia dan kewarganegaraan menurut saya
justru menjadi alat yang lebih cocok untuk menjembatani ketegangan hubungan
antara islam, negara dan masyarakat dalam masyarakat muslim saat ini, daripada
terus secara tidak realistis menganut model dulu yang sudah tidak lagi berfungsi.
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
Konsep baiah57 contohnya. Saat ini konsep itu harus dilihat sebagai dasar yang
otoritatif bagi perjanjian yang saling menguntungkan antara pemerintah dan rakyat
secara keseluruhan, dimana pemerintah harus bertanggung jawab untuk melindungi
hak-hak warga negara sebagai imbalan atas penerimaan pihak kedua atas kekuasaan
pihak pertama dan kepatuhan pihak kedua terhadap aturan dan kebijakan yang
dibuat oleh pihak pertama. Tapi sebetulnya, teori undang-undang dasar modern
manapun, baik yang berdasarkan prinsip-prinsip islam atau tidak, harus
mengembangkan sebuah mekanisme dan lembaga yang layak bagi terselenggaranya
pemilihan, akuntabilitas pemerintahan, dan perlindungan hak-hak dasar warga
negara seperti kebebasan untuk berekspresi dan berorganisasi, seperti yang tertera
dalam konsep baiah yang kita fahami sekarang. Konsep ini bisa dilaksanakan melalui
pengembangan konsep sura menjadi prinsip yang mengikat pemerintah daripada
sekedar konsultasi sukarela. Hak asasi manusia dan konsep “kewarganegaraan yang
setara” sangat dibutuhkan bukan hanya untuk mengembangkan konsep sura
modern ini, tapi juga untuk mengimplementasikan teori undang-undang dasar yang
tepat dan inklusif bagi laki-laki dan perempuan, muslim dan non-muslim sebagai
warga negara yang memiliki hak yang sama di hadapan negara.
Untuk menyimpulkan diskusi kita tentang konstitusionalisme dari perspektif Islam,
saya akan mengulang kembali apa yang saya tekankan mengenai pentingnya peran
umat muslim dalam melakukan proses mendamaikan ketegangan yang timbul dari
konsep netralitas negara terhadap agama di satu pihak sambil menyadari peran
positif Islam dalam mempengaruhi kebijakan publik dan undang-undang di pihak
lain. Proses-proses tersebut haruslah dilakukan secara kontekstual dan hanya bisa
57
Bay’a berarti proses ratifikasi Imam atau khalifah pada periode awal masyarakat muslim. Ann K.S.
Lambton, State and Government in Medieval Islam (Oxford, England: Oxford University Press, 1985),
hlm. 18; Asad, State and Government in Islam, hlm. 69-70; al-Nabhani, The Islamic State, hlm. 278.
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
difahami dalam konteks pengalaman masing-masing masyarakat. Saya sebetulnya
menghargai kebutuhan sederhana akan (dan mungkin agak menyederhanakan)
solusi kategoris, apakah dalam bentuk sebuh negara Islam yang berusaha
menerapkan syariah atau dalam bentuk pemisahan ketat antara negara dan Islam,
dengan asumsi bahwa pemisahan ini akan menetralisasi penagruh problematis islam
atas negara. Tetapi, saya percaya bahwa masalah ini harus dilihat dari kerangka
upaya negosiasi dan mediasi, daripada fusi atau separasi. Lagipula, sekali kita
menyatakan bahwa hubungan antara Islam, masyarakat dan negara tergantung pada
konteks politik dan sosial sebuah masyarakat, maka kita menyadari bahwa
hubungan
tersebut
pasti
dinamis,
berkembang
dan
bisa
dirubah
serta
ditransformasikan, bukan terus dipelihara secara rigid dan permanen dalam satu
bentuk.
III. Islam dan Hak Asasi Manusia
Sebagaimana yang sudah saya tekankan di beberapa bagian dalam buku ini,
berbicara mengenai Islam adalah betul-betul mengenai bagaimana muslim
memahami dan mempraktikkan agama mereka, bukan sebagai agama dalam arti
yang sangat abstrak. Lagipula, diskusi mengenai hubungan antara agama dan hak
asasi manusia bukan berarti bahwa Islam, atau agama lain, bagi pemeluknya hanya
satu-satunya hal yang bisa menjelaskan sikap dan perilaku mereka. Muslim bisa
menerima atau menolak ide mengenai hak asasi manusia atau salah satu norma
yang terdapat di dalamnya tidak karena pemahaman ortodoks mereka terhadap
agama. bahkan, beragamnya tingkat penerimaan atau kepatuhan mereka terhadap
norma-norma hak asasi manusia lebih mungkin terkait dengan kondisi politik,
ekonomi, sosial dan budaya masyarakat Islam saat ini, daripada dengan Islam itu
sendiri. Dengan demikian, apapun peran Islam, ia tidak dapat difahami secara
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
terpisah
dari
faktor-faktor
lain
yang
mempengaruhi
bagaimana
muslim
menginterpretasi dan berusaha untuk mematuhi tradisi mereka sendiri. Karenanya
menjadi salah, bila kita berusaha memprediksi atau menjelaskan tingkat kepatuhan
ummat Islam terhadap nilai-nilai hak asasi manusia sebagai sebuah konsekuensi
teoritis hubungan antara Islam dan hak asasi manusia. Tetapi, menghubungkan
Islam dan Hak Asasi Manusia tetap merupakan hal penting bagi mayoritas ummat
Islam agar motivasi mereka untuk berpegang pada norma-norma hak asasi manusia
tidak hilang begitu saja hanya karena mereka memahami norma-norma tersebut
sebagai sesuatu yang tidak sesuai dengan nilai-nilai Islam. Karena jika mereka
percaya bahwa hak-hak tersebut sesuai dengan sistem kepercayaan mereka,
komitmen dan motivasi mereka untuk melindungi hak-hak tersebut akan
bertambah.
Hal kedua yang penting saya tekankan disini adalah bahwa prinsip-prinsip syari’ah
pada dasarnya sesuai dengan hampir seluruh norma-norma hak asasi manusia,
kecuali pada beberapa point yang berkaitan dengan hak-hak perempuan dan nonmuslim seperti yang akan saya diskusikan nanti. Point lain yang juga cukup serius
dan akan kita diskusikan juga adalah yang berkaitan dengan kebebasan beragama.
Meskipun saya menganggap masalah-masalah tersebut sangat serius dan berusaha
untuk menyelesaikannya melalui reformasi islami, saya lebih suka mengajukan
sebuah proses mediasi daripada konfrontasi. Jika saya, sebagai muslim, diminta
untuk memilih salah satu antara Islam dan hak asasi manusia, saya pasti akan
memilih Islam. Daripada harus menghadapkan pilihan sulit ini
kepada ummat
Islam, saya kira lebih baik kita sebagai muslim mulai mempertimbangkan untuk
mentransformasikan pemahaman kita terhadap syari’ah dalam konteks masyarakat
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
muslim saat ini. Saya percaya bahwa pendekatan ini bisa digunakan sebagai prinsip,
sekaligus solusi pragmatis.
Dengan demikian, menurut saya, masalah ini lebih baik difahami dengan
menggunakan dua kerangka yaitu inherennya keterlibatan manusia dalam
pemahaman dan praktik Islam, di satu pihak, dan universalitas hak asasi manusia di
pihak lain. Pendekatan ini lebih realistis dan konstruktif, daripada sekedar
mengungkapkan kecocokan atau ketidakcocokkan Islam dan hak asasi manusia dan
mengambil keduanya dalam pemahaman yang absolut dan statis. Ketika kita
menguji dinamika dan perkembangan hubungan Islam dan hak asasi manusia, kita
akan menemukan bahwa Islam sebenarnya sangat mendukung hak asasi manusia.58
Universalitas Hak Asasi Manusia
Ide revolusioner hak asasi manusia tetap merupakan tantangan ummat manusia hari
ini, seperti pertama kali diproklamirkan pada tahun 1948. Ide ini sangat penting bagi
ummat manusia, dan dengan demikian harus diakui, agar kita bisa mengklaim hak
kita atas hak-hak tersebut. Untuk merealisasikan tujuan-tujuan saya dalam buku ini,
Muslim tidak harus mengabaikan agamanya hanya untuk mengakui hak-hak
manusia tetapi mereka juga tidak boleh mendiskriminasi orang lain berdasarkan
jenis kelamin, ras, kebangsaan, maupun agama. Karena untuk bisa menjustifikasi
secara moral dan menyadari klaim hak asasi manusia kita tanpa melakukan
diskriminasi kepada orang lain, ummat Islam harus menyadari bahwa yang lain pun
memiliki hak sama dengan kita. Hal yang sama berlaku bagi seluruh ummat
58
Ini premis yang saya bangun dalam buku saya, Toward an Islamic Reformation: Civil Liberties,
Human Rights and International Law (Syracuse University Press, 1990); dan didiskusikan secara lebih
luas dalam berbagai buku saya edit seperti Human Rights in Cross-Cultural Perspectives: Quest for
Consensus (University of Pennsylvania Press, 1992); The Cultural Dimensions of Human Rights in the
Arab World (Arabic) (Cairo, Egypt: Ibn Khaldoun Center, 1993); and Human Rights Under African
Constitutions: Realizing the Promise for Ourselves (University of Pennsylvania Press, 2003).
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
manusia, dan bukan hanya bagi muslim. Namun dalam kesempatan saya akan
memposisikan diri sebagai muslim yang berusaha mempromosikan pentingnya hak
asasi manusia di kalangan muslim sendiri.
Deklarasi hak asasi manusia telah berusaha tidak menggunakan agama apapun
untuk menjustifikasi ide-ide dasarnya agar ia bisa menemukan dasar yang sama bagi
mereka yang beragama maupun tidak. Tapi ini tidak berarti bahwa hak asasi
manusa hanya bisa didasarkan pada justifikasi sekuler, karena cara seperti itu tidak
bisa menjawab persoalan bagaimana melegitimasi dan mengesahkan hak asasi
manusia berdasarkan perspektif yang sangat beragam di dunia ini. Logika yang
dibangun dalam deklarasi itu justru memberikan kesempatan kepada para penganut
agama atau kepercayaan tertentu untuk membangun komitmen mereka pada
deklarasi itu, dengan menggunakan norma yang terdapat dalam kepercayaan atau
agama yang mereka yakini. Begitupula dengan mereka yang membangun
komitmennya atas dasar filfasat sekuler yang mereka pelajari. Semua orang berhak
mendapatkan pengakuan hak asasi yang sama dari orang lain, tapi tidak dapat
menentukan alasan yang digunakan orang lain untuk memberikan pengakuan
tersebut.
Ide hak asasi manusia muncul setelah Perang Dunia II sebagai sebuah usaha untuk
mendapatkan perlindungan hak-hak dasar di tengah berbagai kemungkinan dalam
pentas politik nasional. Pandangan tersebut dibangun diatas kesadaran bahwa hakhak tersebut amat fundamental hingga harus dilindungi dengan konsensus dan
kerjasama internasional agar keberadaannya diakui oleh undang-undang dasar dan
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
sistem hukum nasional.59 Dengan kata lain, tujuan membuat kewajiban hukum
internasional untuk menghormati dan melindungi hak asasi manusia baik melalui
prinsip-prinsip hukum adat atau perjanjian adalah untuk melengkapi pemenuhan
hak-hak tersebut dalam konteks sistem domestik dan untuk mempromosikan
implementasi praksisnya.
Tujuan utama hak asasi manusia adalah untuk meyakinkan perlindungan yang
efektif terhadap beberapa hal penting yang merupakan hak semua manusia
dimanapun mereka berada, termasuk di negara yang tidak menjamin keberadaan
hak itu dalam undang-undang dasar mereka. Ini tidak berarti bahwa deklarasi hak
asasi manusia berbeda atau lebih tinggi kedudukannya daripada hak-hak yang
terdapat dalam undang-undang dasar. Malah, perhormatan dan perlindungan hak
asasi manusia yang terdapat dalam DUHAM dilakukan melalui pencantumannya
dalam undang-undang dasar, anggaran dasar dan rumah tangga lembaga Negara.
Tujuan Gagasan DUHAM, sebagaimana tujuan Undang-Undang Dasar, adalah
untuk melindungi hak-hak tersebut dari ketidakjelasan proses-proses politik dan
administratif. Dengan kata lain, hak asasi manusia dalam DUHAM, seperti halnya
hak yang terdapat dalam undang-undang dasar, harus tunduk pada kehendak
mayoritas, meskipun bukan sekedar pilihan mayoritas. Namun bukan berarti hakhak tersebut absolut, karena banyak di antaranya yang layak dipilih karena berbagai
alasan dan beberapa lainnya bisa ditunda karena alasan darurat. Gagasan DUHAM
dengan demikian adalah agar hak asasi manusia, sebagaimana hak-hak yang
59
Eva Brems, Human rights: Universality and Diversity (the Hague, The Netherlands: Kluwer Law
International, 2001), hlm. 5-7
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
tercantum dalam undang-undang dasar, tidak mudah dilanggar kecuali dalam
kondisi dan keadaan tertentu.60
Dengan mempertimbangkan ketegangan yang terjadi antara gagasan dan prinsip
HAM dengan kedaulatan nasional, mengakui HAM sebagai produk kesepakatan
internasional adalah merupakan hal yang sangat penting. Tantangan yang dihadapi
HAM dari prinsip kedaulatan nasional tidak akan dapat bisa diselesaikan tanpa
adanya kerjasama internasional untuk melindungi HAM.61 Klaim komunitas
internasional untuk berfungsi sebagai arbitrer, yang dapat melakukan tindakan
untuk melindungi standar minimum HAM, tidak akan dianggap layak tanpa
komitmen anggotanya untuk mendorong dan memberikan dukungan kepada yang
lain dalam melakukan proses ini. Peran sebagai arbitrer tersebut lebih mungkin
diterima oleh sebuah negara, jika dilakukan sebagai usaha bersama seluruh negaranegara lain, daripada jika hanya lahir dari kebijakan luar negeri satu atau
sekelompok negara tertentu. Perlindungan HAM yang berkesinambungan tidak
akan terrealisasikan melalui intervensi militer atau pemaksaan dari pihak luar,
karena cara-cara seperti itu hanya dapat berlaku efektif dalam waktu yang temporer
dan tidak menentu. Dengan kata lain, praktik perlindungan HAM hanya dapat
dilakukan melalui peran negara, yang sebetulnya menjadi aktor yang sangat
potensial untuk melanggar hak-hak tersebut.
Hemat saya, DUHAM bisa menjadi instrumen yang kuat untuk melindungi
kemuliaan manusia dan untuk meningkatkan kesejahteraan setiap orang dimanapun
mereka berada berkat universalitas kekuatan moral dan politik yang dimilikinya.
60
61
Brems, Human Rights, hlm. 305
Brems, Human Rights, hlm. 5-6, 309
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
Bahwa DUHAM menyediakan standar yang sama yang harus dicapai oleh seluruh
manusia dan negara seperti yang tercantum dalam pembukaan DUHAM, berarti
bahwa setiap kekuasaan hukum dan undang-undang di sebuah negara harus
berusaha keras melindungi hak-hak tersebut. Prinsip hukum adat dan perjanjian
internasional juga mencantumkan hak-hak dasar seperti kebebasan untuk
berekspresi dan prosedur perlindungannya seperti penyelengaraan peradilan yang
adil. Implementasi dan perlindungan HAM dengan demikian juga menyaratkan
adanya standar kelembagaan dan struktural bagi aparatur negara62. Bagaimana
standar-standar tersebut beroperasi seperti melalui pemisahan kekuasaan dan
independesi kehakiman sudah diungkapkan dalam bagian yang lalu sebagai bagian
dari konsep konstitusionalisme.
Namun, pengakuan DUHAM sebagai norma hak asasi manusia universal lebih
merupakan hasil proses konsensus global daripada sekedar sebuah hasil pemaksaan.
Karena setiap masyarakat berpegang pada sistem normatif yang membentuk
konteks dan pengalamannya, maka sebuah konsep universal tidak bisa begitu saja
diproklamirkan dan diterapkan sama rata. Dengan kata lain, manusia baik laki-laki
atau perempuan, kaya atau miskin, Afrika atau eropa, beragama maupun tidak,
sama-sama mengetahui dan menjalani kehidupan di dunia sebagai dirinya sendiri.
Dimanapun kita berada, kesadaran, nilai dan perilaku kita sebagai manusia dibentuk
oleh tradisi agama dan kultural kita. Pertanyaannya dengan demikian adalah
bagaimana mendapatkan, meningkatkan dan menjaga keberlangsungan konsensus
terhadap norma HAM universal dalam konteks seperti ini? Apa karakter dan
62
Asbjørn Eide, “Economic and Social Rights,” in Human Rights: Concepts and Standards, ed. Janusz
Symonides (Burlington, Vermont: Ashgate Publishing Company, 2000), hlm. 124-128.
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
implikasi perbedaan relasi kuasa antara sejumlah partisipan dan budayanya dalam
proses pembentukan konsensus itu?
Ide mengenai universalitas hak asasi manusia sebagai produk pembentukan
konsensus tidak boleh menjadi alat untuk mempertahankan atau menjustifikasi
klaim sejumlah pemerintahan atau pemimpin negara bahwa rakyatnya dibebaskan
atau dimaklumi untuk tidak melaksanakan standar-standar tersebut. Nyatanya,
klaim-klaim tersebut memang dilontarkan oleh sejumlah elit penguasa, karena
mereka mempersepsi hak asasi manusia sebagai “produk barat” dan, dengan
demikian, merupakan hal yang asing bagi masyarakat Asia dan Afrika secara
umum.63 Dalam kesempatan ini, saya ingin menolak klaim seperti itu dengan
menekankan bahwa semua masyarakat sedang berusaha untuk mencapai dan
mempertahankan komitmen yang genuine terhadap universalitas HAM dan prinsip
penegakan keteraturan hukum dalam hubungan internasional. Secara khusus, saya
menolak gagasan bahwa satu-satunya model yang valid untuk universalitas has
asasi manusia harus dirumuskan oleh masyarakat Barat atau oleh kelompok
masyarakat manapun dan untuk diikuti jika ingin dianggap sebagai manusia
beradab. Jika memang hak asasi manusia adalah universal sebagai hak yang harus
dimiliki oleh setiap manusia di manapun mereka berada, maka hak asasi manusia
harus integral dengan budaya dan pengalaman semua masyarakat dan bukan hanya
integral dengan masyarakat Barat yang mencangkokkan nilai-nilai tersebut pada
kelompok masyarakat lain. Untuk mendukung preposisi ini, saya akan menekankan
dua hal.
63
Sebagai contoh lihat, Joanne Bauer and Daniel Bell (eds.), Human Rights in East Asia, (New York:
Cambridge University Press, 1999).
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
Pertama, jelas bahwa formulasi standar HAM internasional sangat merefleksikan
pengalaman dan filsafat politik barat. Bahkan banyak artikel dalam DUHAM yang
jelas-jelas menyalin bahasa The Bill of Rights-nya Amerika.64 Namun bukan berarti
bahwa norma-norma hak asasi manusia dalam DUHAM merupakan hal yang asing
dan tidak sesuai dengan masyarakat Afrika atau Asia yang juga membutuhkan
perlindungan Hak asasi manusia dalam konteks masyarakatnya. Sebagaimana yang
sudah saya ungkapkan di muka, formulasi standar HAM yang didasarkan pada
model wilayah negara dan hubungan internasional Barat itu, sekarang merupakan
bagian dari realitas yang dihadapi oleh masyarakat muslim dimanapun. Karena
sekarang muslim harus bersentuhan dengan lembaga-lembaga Barat tersebut,
mereka harus bisa mengambil manfaat dari jaring perlindungan yang sudah
dikembangkan oleh masyarakat Barat untuk melindungi hak-hak individu dan
masyarakatnya sendiri.65 Sebaliknya, jika ada masyarakat muslim yang menolak Hak
Asasi Manusia karena ia lahir dari Barat, maka mereka juga harus menolak negara
yang berdasarkan wilayah dan perdagangan, ekonomi dan hubungan internasional
lainnya, karena negara dan hubungan-hubungan internasional itu juga dibangun
dan didasarkan pada konsep dan istilah Barat. Jika mereka tidak bisa menolak, maka
mau tidak mau mereka harus menerima HAM sebagai cara yang efektif dan penting
untuk meminimalisir pelanggaran HAM dan memperbaiki kerugian yang mungkin
terjadi dalam konsep yang didasarkan pada model barat tersebut.
Point kedua yang ingin saya tekankan disini juga bahwa aktivis has asasi manusia
dan hukum internasional juga harus mendesakkan DUHAM sebagai dasar esensial
64
Lihat Brems, Human Rights, hlm. 17
Peter Baehr, Cees Flintermand and Mignon Sender, Pengantar untuk “Innovation and Inspiration:
Fifty Years of The Unievrsal Declaration of Human Rights, eds. Baehr, Flintermadn and Senders
(Amsterdam. The Netherlands: Royal Netherlands Academy of Arts and Sciences, 1999), hlm. 2
65
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
bagi masyarakat yang beradab, bukan malah meninggalkannya hanya karena
kegagalan beberapa pemerintah untuk menegakkan prinsip-prinsip tersebut. Jika
tidak, umat Islam dengan demikian harus mengakui bahwa masyarakat dan
pemerintahan Baratlah, satunya-satunya, pembuat prinsip-prinsip tersebut. Padahal
penegakan
prinsip-prinsip
tersebut
juga
tergantung
pada
kesediaan
dan
kemampuan masyarakat muslim sendiri. Prinsip-prinsip hukum internasional dan
hak asasi manusia harus siap ditegakkan dan dipromosikan untuk menghadapi
tantangan apapun yang datang dari sumber manapun karena prinsip-prinsip
tersebut merupakan usaha bersama seluruh ummat manusia dimanapun mereka
berada. Penting juga untuk dicatat bahwa seperti halnya hasil inisiatif manusia
manapun, perlindungan hak asasi manusia hanya bisa dicapai melalui proses
percobaan, proses terhenti dan memulai, dan juga proses kemunduran dan
kemajuan. Seluruh individu dan masyarakat harus bahu membahu dan bekerja sama
agar proses implementasi dan perlindungan hak-hak ini dapat menjadi usaha yang
benar-benar universal. Ummat Islam, khususnya, justru harus menjadi partisipan
aktif dalam proses ini, bukan sekedar mengeluh karena menjadi korban
kesewenang-wenangan pemerintahannya atau obyek hegemoni Barat dalam
hubungan internasional.
Namun kesulitan menjalankan proses ini sudah muncul sejak akhir era Perang
Dingin karena Negara-Negara yang tergabung dalam Blok Barat dan Blok Timur
bekerjasama untuk mencapai kepentingan sesaat kebijakan luar negerinya tanpa
menghiraukan norma-norma hak asasi manusia. Contoh sementara bisa ditemukan
sepanjang tahun 90an, sejak dari Somalia hingga Rwanda, Bosnia hingga Chechnya,
bahkan Irak di tahun 2003. tentu saja beberapa kebijakan luar negeri hak asasi
manusia yang lama masih berlaku, karena perubahan fundamental dalam kebijakan
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
luar negeri tidak mungikn terjadi secara menyeluruh dan terjadi pada satu waktu.
Tapi juga jelas bagi saya, bahwa ada penurunan kualitas yang terus menerus terjadi
pada kebijakan lama tersebut, karena pemerintah yang bersalah menyaksikan
dengan seksama seberapa besar kemungkinan mereka untuk lari dari pertanggung
jawaban dan mereka yang termotivasi untuk memasukkan DUHAM ke dalam
kebijaan luar negerinya juga mempertimbangkan seberapa besar kerugian yang
mereka dapatkan jika mereka melindungi hak asasi manusia rakyatnya.66 Karena
gerakan hak asasi manusia berhenti mendesakkan kepentingannya akibat lemahnya
posisi tawar yang mereka miliki dalam politik nasional dan regional, pemerintah
menjadi semakin berani untuk mencapai kepentingan nasionalnya yang sesaat tanpa
mempertimbangkan norma-norma hak asasi manusia. Penurunan tingkat urgensi
HAM dalam kebijakan luar negeri sebuah negara, juga dilegitimasi melalui prosesproses demokratis seperti fenomena terpilihnya kembali George W. Bush dalam
Pemilu Amerika kemarin. Padahal, Bush jelas-jelas tidak begitu konsen dengan
HAM dan hukum internasional.
Dengan mengatakan seperti ini, saya tidak bermaksud untuk mendiskreditkan ide
HAM itu sendiri, atau memprediksikan ketidakberdayaannya dalam menghadapi
kondisi domestik dan hubungan internasional. Saya hanya ingin mengalihkan fokus
advokasi HAM kepada masyarakat agar HAM tidak lagi tergantung pada
ketidakjelasan hubungan antar pemerintahan. Namun juga tidak berarti bahwa
peralihan fokus ini akan menghentikan strategi advokasi HAM internasional, karena
66
Sebagai contoh lihat, David P. Forsythe, “Comparative Foreign Policy and Human Rights: the
United States and Other Democracies”, dalam “Innovation and Inspiration: Fifty Years of The
Universal Declaration of Human Rights, eds. Baehr, Flinterman and Senders, hlm. 161-167
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
strategi itu juga masih penting untuk melindungi HAM pada saat ini.67 Yang saya
ingin ajukan adalah bagaimana kita mulai mengurangi ketergantungan pada
advokasi internasional untuk melindungi hak asasi manusia, dengan mulai
mengembangkan kapasitas komunitas lokal untuk melindungi hak mereka sendiri
dengan cara yang efektif dan berkelanjutan.68 Peralihan fokus dari advokasi
internasional ke upaya lokal ini tentu tidak bisa dilakukan dengan mudah dan
menyelesaikan kemunduran yang sedang terjadi, namun ini hanya satu upaya untuk
melangkah maju. Dalam konteks masyarakat muslim, penguatan komunitas lokal ini
bisa dilakukan dengan cara meyakinkan dan memotivasi ummat Islam untuk
menerima dan mengimplementasikan hak asasi manusia. Saya menyadari bahwa
hak sasi manusia bukanlah obat yang manjur dan universal bagi semua masalah
yang muncul dalam masyarakat. Tapi norma dan lembaga-lembaga hak asasi
manusia bisa memberdayakan orang untuk ikut serta dalam upaya politik dan
hukum untuk menegakkan kemanusiaan dan keadilan sosial.
Islam, Syari’ah dan Kebebasan Beragama
Diskusi mengenai konflik antara syari’ah dan konstitusionalisme dan kemungkinan
memediasi konflik tersebut dengan merujuk pada Islam secara lebih luas dapat
diterapkan juga dalam kasus Hak Asasi Manusia. Dengan demikian, kita akan mulai
dengan mengklarifikasi ketegangan yang mungkin timbul antara Syariah dan Hak
Asasi
67
Manusia
kemudian
mengeksplorasi
cara-cara
untuk
menyelesaikan
Sebagai contoh lihat, Robert F. Drinan, The Mobilization of Shame: a World View of Human Rights,
(New Haven, Connecticut: Yale University Press, 2001); dan Claude E. Welch, Jr, (ed.), NGOs and
Human Rights: Promise and Performance, (Philadelphia, Pennsylvania: University of Pennsylvania
Press), 2001.
68
Penjelasan mengenai usulan saya ini lihat “Introduction: Expanding Legal Protection of Human
Rights in African Context”, dalam Abdullahi Ahmed An-Naim, ed., Human Rights under African
Constitutions: Realizing the Promise for Ourselves, Philadelphia, PA: University of Pennsylvania
Press, hlm. 1-28; dan Abdullahi Ahmed an-Naim, “Human Rights in the Arab World: A Regional
Perspective” Human Rights Quarterly, vol 23: 3, 2001 hlm. 701-32
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
ketegangan tersebut melalui reformasi Islami. Mengakui adanya konflik dan
memahami sifatnya sangat penting untuk melakukan proses mediasi dan
penyelesaian konflik. Nah, konflik yang terjadi antara Syari’ah dan Hak Asasi
Manusia biasanya berkisar seputar isu hak perempuan dan non-muslim. Dalam
kesempatan ini saya akan mengungkapkan area konflik yang lain yaitu kebebasan
memeluk agama dan kepercayaan. Pertama-tama saya akan menjelaskan isu-isu hak
asasi
manusia
dan
kemudian
mengeksplorasi
kemungkinan-kemungkinan
penyelesaian konflik antara syariah dan prinsip kebebasan beragama dalam hak
asasi manusia melalui reformasi Islami. Untuk menghindari kebingungan, saya
nyatakan bahwa saya percaya terhadap adanya kemungkinan, bahkan keharusan,
untuk menginterpretasi ulang sumber-sumber Islam untuk menegaskan dan
melindungi kebebasan beragama dan memeluk kepercayaan. Disini saya berbicara
sebagai seorang muslim yang menggunakan perspektif Islam, dan bukan sekedar
berbicara sebagai orang yang mengakui kebebasan beragama hanya karena
kebebasan beragama itu merupakan prinsip yang terdapat dalam DUHAM dan
mengikat muslim menurut prinsip hukum internasional.
Ada dua asalan mengapa diskusi mengenai hal ini menjadi penting. Pertama, konflik
antara aturan agama dengan hak kebebasan beragama tidak hanya terjadi pada
Islam tapi juga terjadi dalam tradisi agama dan ideologi lain. Contohnya,
pemahaman tradisional terhadap teks Yahudi dan Kristen mengharuskan hukuman
mati
dan
konsekuensi-konsekuensi
lain
bagi
orang-orang
yang
murtad.69
Pelaksanaan ketentuan agama dengan menggunakan tindakan-tindakan seperti itu
hampir sama dengan konsep pemberontakan (treason) yang tetap menjadi kejahatan
69
Argumen kitab suci untuk hukuman mati bagi pelaku murtad dan penghinaan ada dalam
Deuteronomy 13: 6-9 dan Letivicus 24: 16; lihat juga Saeed dan Saeed, Freedom of Religion, Apostasy
and Islam, hlm. 35
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
besar dalam sistem hukum Negara modern saat ini. Larangan murtad dalam tradisi
syari’ah Islam bukan hanya sekedar bagian dari tradisi keagamaan, tapi juga terjadi
dalam tradisi ideologi sekuler. Ketidaktundukkan seseorang pada doktrin Marxisme
pada masa pemerintahan Uni Soviet mungkin dihukum lebih berat daripada
fenomena murtad dan kejahatan dalam syari’ah.
Satu hal penting yang juga perlu dicatat adalah bahwa prinsip-prinsip syari’ah
jarang diaplikasikan secara sitematis dan ketat di masa lalu, bahkan lebih jarang
pada masa sekarang. Meskipun demikian, keberadaan prinsip-prinsip tersebut
menimbulkan konflik yang fundamental dengan ide dasar hak asasi manusia
universal dan menjadi sumber pelanggaran terhadap praktik kebebasan beragama.
Dengan demikian, sebagai seorang muslim, saya merasa perlu untuk menghadapi
isu ini untuk menegakkan integritas moral terhadap kepercayaan yang saya anut
sekaligus menolak praktik pelanggaran hak asasi manusia ini meskipun hal ini
mungkin jarang terjadi pada saat sekarang ini.
Saya akan mendiskusikan konsep murtad dan konsep-konsep yang berkaitan
dengannya dalam syari’ah untuk menjelaskan ketidakcocokkan prinsip–prinsip
tersebut dengan kebebasan beragama dari perspektif Islam, bahkan tanpa harus
merujuk pada norma hak asasi manusia modern. Penerapan prinsip netralitas
Negara terhadap agama secara tepat akan mampu mengelimininasi kemungkinan
konsekuensi negatif hukum murtad dan konsep lainnya. Namun tidak akan
mungkin mampu untuk mengeliminasi implikasi sosial negatif dari prinsip-prinsip
syariah tradisional tersebut. Aspek tersebut harus diselesaikan melalui langkahlangkah pendidikan secara terus menerus untuk mempromosikan pluralisme yang
genuine dan berkelanjutan. Diskusi berikut ini berlaku untuk aspek sosial dan
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
hukum dengan memperlihatkan bahwa prinsip-prinsip syari’ah tersebut tidak dapat
dipertahankan lagi secara moral maupun politis sehingga mereka tidak boleh
dilaksanakan oleh negara maupun diterima oleh masyarakat Islam.
Istilah arab “riddah” biasa diterjemahkan sebagai kemurtadan. Namun secara bahasa
berarti “kembali” dan murtad berarti “orang yang kembali”.70 Dalam pemahaman
syari’ah tradisional, riddah berarti berpalingnya kembalinya seseorang yang sudah
menganut Islam menjadi kufur karena sengaja atau implikasi tertentu.71 Dengan kata
lainm sekali seseorang memilih menjadi muslim, tak ada alasan baginya untuk
mengubah agamanya. Menurut para fuqaha, riddah dapat terjadi dalam berbagai
bentuk seperti menolak keberadaan tuhan atau sifat-sifat tuhan, menolak salah satu
rasul Tuhan atau menolak status kenabian salah satu Nabi, menolak salah satu
prinsip keagmaan seperti sholat lima waktu atau berpuasa di bulan ramadlan,
menghalakan yang haram atau mengharamkan yang halal. Status murtad secara
tradisional diberikan kepada muslim yang dianggap sudah beralih dari Islam, baik
secara sengaja atau hanya sekedar ucapan, baik itu diungkapkan sebagai guyonan,
out of stubborness, or out of conviction.72
Keberatan terhadap pendapat bahwa kemurtadan adalah sebuah kejahatan atau
dianggap salah menurut aturan hukum syari’ah sehingga orang murtad harus
mendapatkan hukuman atau konsekuensi-konsekuensi hukum lain adalah, karena
pendapat ini sebetulnya bertentangan dengan sikap al-Qur’an sendiri. Dalam Qs.
2:217, 4:90, 5:54, 59, Qs.16:108, dan Qs.47:25, al-Qur’an memang mengutuk
70
The following review of classical Islamic jurisprudence of apostasy is based on Ibn Rushd, Bidayat
al-Mugjtahid, vol. 2, (Cairo: Dar al-Fikr al-Arabic, not dated); and Nu`man Abd al-Razid al-Samar`i,
Ahkam al-Murtad fi al-Shari`a al-Islamyia (Beirut: al-Dar al-Arabiya, 1968). In English see Shaikh
Abdur Rahman, Punishment of Apostasy in Islam (Lahore, Pakistan: Institute of Islamic Culture, 1972).
71
Saeed and Saeed, Freedom of Religion, Apostasy and Islam, hlm. 36, 42
72
Saeed and Saeed, Freedom of Religion, Apostasy and Islam, hlm. 36-37
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
kemurtadan namun tidak menyebutkan dengan spesifik konsekuensi-konsekuensi
legal perbuatan ini.73 Malah, al-Qur’an dengan jelas menyebutkan beberapa situasi
yang menyiratkan bahwa orang murtad dapat terus hidup di tengah-tengah
komunitas muslim. Contohnya Qs. 4: 137 yang bisa diterjemahkan sebagai berikut:
“mereka yang beriman, kemudian kufur, kemudian beriman kembali, dan kemudian
kufur kembali, dan terus berbuat demikian, Allah tidak akan mengampuni dan
menunjukkan pada mereka jalan yang benar.” Jika memang benar al-Qur’an
menetapkan hukuman mati bagi orang yang murtad, orang tersebut tidak akan terus
hidup di tengah komunitas muslim untuk mengulangi kejahatan yang sama. Namun
demikian, para fuqaha mempergunakan hadits untuk menetapkan hukuman mati
bagi orang yang murtad dan konsekuensi-konsekuensi hukum lainnya seperti
terhapusnya hak waris dari dan untuk orang yang murtad.74
Selain ketidakcocokkan dengan prinsip kebebasan beragama yang berulang kali
ditekankan dalam al-Qur’an, ada dua aspek problematis yang terdapat dalam
konsep murtad dalam tradisi hukum Islam tradisional yaitu ketidakjelasan dan
kelemahan konsepnya dan ketidakjelasan dasar hukum untuk konsekuensikonsekuensi hukum yang harus diterima seorang yang murtad karena ia dianggap
melakukan kejahatan besar. Sumber ketidakjelasan dan kelemahan konsep murtad
sebetulnya terkait dengan definisi dan hukumannya serta kedekatan konsepnya
dengan konsep kufr, sabb ar-rasul, zindiq, dan munafiq (nifaq).
Fuqoha empat mazhab sunni mengklasifikasi kemurtadan pada tiga kategori:
keyakinan, perbuatan dan ucapan. 3 kategori ini kemudian terbagi-bagi lagi kedalam
73
74
Saeed dan Saeed, Freedom of Religion, Apostasy and Islam, hlm. 57
Artikel “Murtad” dalam Shorter Encyclopedia of Islam, hlm. 413-414
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
beberapa bagian. Namun masing-masing kategori tersebut sebetulnya kontroversial.
Contohnya kategori pertama dapat berbentuk keraguan terhadap eksistensi atau
keabadian tuhan, keraguan terhadap pesan-pesan kenabian Muhammad atau Nabi
lain, ragu terhadap qur’an, hari pembalasan, keberadaan surga dan neraka, atau
ragu terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepercayaan yang sudah menjadi
konsensus (ijma) di kalangan muslim seperti sifat-sifat tuhan. Maka, dengan
demikian, konsep murtad tidak berlaku pada persoalan yang tidak menjadi
konsensus ummat. Padahal sebetulnya, tidak banyak konsensus yang terjadi di
antara muslim termasuk mereka yang terdapat dalam daftar para fuqoha atau
mazhab mengenai banyak hal. Misalnya karena ada kesamaan pendapat yang
signifikan di kalangan muslim mengenai sifat-sifat Tuhan75, maka orang yang
menolak atau menerima salah satu sifat tuhan yang ditetapkan atau ditolak oleh
seorang ulama, dapat disebut murtad. Padahal, para ulama tidak membedakan
konsep-konsep tersebut dan cenderung menggunakan kategori yang luas mengenai
konsep murtad sehingga bisa mencakup seluruh aspeknya.76 Cara seperti ini justru
membuat istilah murtad menjadi sangat luas dan samar, serta mengacaukan dasar
hukum kejahatan dan hukumannya. Saya akan memberikan ilustrasi singkat
mengenai hal ini.
Karena murtad berarti kembali tidak mempercayai Islam setelah secara rela pernah
memeluknya, berari murtad berkaitan erat dengan konsep kufur (kufr) yang berati
penolakan
terbuka
terhadap
pesan-pesan
Islam.77
Meskipun
berkali-kali
menyebutkan istilah kufr dan iman, al-Qur’an tidak memberikan arahan yang jelas
mengenai makna kedua istilah tersebut kecuali berkaitan dengan pengakuan
75
Saeed dan Saeed, Freedom of Religion, Apostasy and Islam, hlm. 37 (catatan kaki no. 13), hlm. 189
Saeed dan Saeed, Freedom of Religion, Apostasy and Islam, hlm. 37
77
Saeed dan Saeed, Freedom of Religion, Apostasy and Islam, hlm. 42
76
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
keimanan dengan bersaksi tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad sebagai utusan
Allah. Al-Qur’an misalnya berulang kali menghubungkan konsep iman dengan
mendirikan shalat, mengerjakan puasa atau beramal saleh, tapi
tidak pernah
mengungkapkan apa yang harus dilakukan pada mereka yang gagal mematuhi
kewajiban tersebut kecuali hukuman pada hari kemudian.
Al-Qur’an juga tidak dengan jelas menyatakan konsekuensi-konsekuensi yang akan
didapatkan jika ummatnya mempertanyakan pengakuan iman itu sendiri.
Contohnya, apakah makna menyatakan “tiada Tuhan selain Allah”? apa yang orang
beriman ketahui dan harus mereka ketahui tentang Tuhan? Apa konsekuensi
langsung dari beriman kepada Allah pada kehidupan personal dan perilaku muslim
baik dalam level individual maupun dalam hubungannya dengan lembaga dan
proses social, ekonomi dan politik di sekellingnya? Siapa yang memiliki otoritas
untuk menghakimi perbedaan pendapat mengenai hal tersebut atau mengenai halhal lainnya setelah wafatnya Nabi Muhammad dan bagaimana caranya?
Al-Qur’an membiarkan ummat Islam dengan sendirinya bergulat dengan persoalanpersoalan tersebut. Benar bahwa ummat Islam memiliki sunnah, teladan kehidupan
Nabi sebagai sumber pedoman lain, namun sunnah juga memiliki ketidakjelasan
yang sama. Dengan demikian, tidaklah heran jika perbedaan pendapat mengenai
peran “perbuatan” (amal) dalam konsep iman terjadi. Beberapa ulama bisa menerima
pengakuan lisan keimanan sebagai ciri status muslim seseorang, tapi beberapa
ulama lain mengharuskan pengakuan lisan ini dibuktikan dengan melakukan
perbuatan dan praktik tertentu. Bagi mereka yang mengharuskan adanya
“perbuatan” sebagai bukti keimanan, pertanyaannya kemudian adalah bagaimana
status
orang
yang
sudah
mengaku
muslim
namun
tidak
melaksanakan
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
kewajibannya sebagai muslim. Persoalan lain timbul, siapa yang menilai bahwa
seseorang sudah melaksanakan kewajiban agama atau belum dan konsekuensi apa
yang harus diterima karena penilaian tersebut? Debat mengenai hal tersebut muncul
dalam beragam bentuk; sejak dari pendapat dan perilaku kalangan Khawarij selama
perang sipil pada abad ke-7, status Ahmadiyah di Pakistan sejak tahun 1950, bahkan
hingga
keberadaan
sejumlah
sekte-sekte
pembunuhan
dan
terorisme.78
Ketidakjelasan ini kemudian diperparah dengan kesamaran dan ketidaksepakatan
mengenai konsep-konsep lain.
Kesamaran dan ketidakjelasan seperti ini juga terjadi pada larangan sabb al-naby. Sabb
al-naby adalah penggunaan kata-kata hinaan yang ditujukan kepada Nabi
Muhammad SAW, Tuhan, atau para Malaikat. Orang yang melakukan pelanggaran
ini menurut tradisi ulama fiqih tradisional harus dihukum mati.79 Pada tahap
selanjutnya, bentuk pelanggaran ini kemudian diperluas mencakup segala bentuk
pelarangan dan mengungkapkan kata-kata hinaan kepada para Sahabat nabi.
Sebagian Ulama tetap menganggap orang yang melakukan tindakan ini sebagai
muslim, tapi ia harus menerima hukuman tertentu. Tetapi ada pula yang
berpendapat bahwa tindakan seperti ini menyebabkan seseorang tidak layak lagi
dianggap sebagai seorang muslim. Jika tindakan ini dilakukan oleh non-muslim, ia
tidak dianggapp murtad, tetapi tetap harus dihukum mati. Seperti halnya ketentuan
mengenai murtad, hukuman tindakan penghinaan ini juga berdasarkan beberapa
peristiwa yang terjadi pada masa Nabi, sementara dalam al-Qur’an sendiri tidak ada
petunjuk jelas mengenai hal tersebut. Bahkan meskipun al-Qur’an menggunakan
istilah sabb seperti dalam Qs. 6: 108, ia hanya menginstruksikan ummat Islam untuk
78
Sebagai contoh lihat, Khaled Abou el-Fadl, Rebellion and Violence in Islamic Law (New York:
Cambridge University Press, 2001)
79
Saeed dan Saeed, Freedom of Religion, Apostasy and Islam, hlm. 37-38
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
berhenti mencaci dewa-dewa non-muslim, karena mereka juga sebetulnya menghina
Tuhan. Namun al-Qur’an tidak menyebutkan hukuman apapun berkaitan dengan
hal ini. Sementara para ulama merujuk pada beberapa peristiwa pada masa awal
Islam untuk menetapkan hukuman mati bagi pelaku penghinaan, namun jelas sekali
bahwa baik Qur’an maupun Sunnah tidak mengungkapkan keberadaan pelanggaran
yang bernama “sabb al-naby” ataupun hukuman khusus terhadap pelakunya.80
Terdapat masalah
yang sama menyangkut status hukum zindiq. Istilah zindiq
digunakan dalam sumber-sumber syari’ah untuk menyebut orang zindiq yang
ajarannya berbahaya bagi komunitas muslim dan menurut aturan syari’ah mereka
layak untuk dihukum mati. Namun istilah zindiq dan kata turunannya tidak pernah
muncul dalam al-Qur’an sama sekali, bahkan nampaknya merupakan istilah yang
diserap Bahasa Arab dari Bahasa Persia. Istilah ini nampaknya pertama kali
digunakan dalam kaitannya dengan eksekusi Ja’d bin dirham pada tahun 742 M—
setelah lebih dari satu abad wafatnya nabi. “pada praktiknya apa yang difahami oleh
kalangan konservatif sebagai zindiq adalah orang yang pengakuan Islamnya,
menurut mereka, tidak cukup meyakinkan”.81 Namun, tidak tampak adanya
kesamaan pendapat tentang definisi istilah yang mereka maksud. Bahkan terdapat
perbedaan pendapat mengenai tipe-tipe perilaku yang dianggap sebagai perilaku
zindiq atau membuat seseorang dihukumi zindiq. Misalnya orang yang mengaku
muslim, tapi masih mengikuti ajaran agama lamanya. Namun bagaimana definisi ini
dapat diketahui dan digunakan dalam kasus-kasus spesifik? Karena tiadanya
definisi istilah yang jelas dan spesifik, tak heran bila beberapa ulama menganggap
seseorang zindiq jika ia melakukan hal-hal terlarang dalam Islam seperti zina atau
80
81
Saeed dan Saeed, Freedom of Religion, Apostasy and Islam, hlm. 38-39
Article “Zindiq” Shorter Encyclopedia of Islam, hlm. 659
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
meminum arak.82 Pentingnya definisi yang jelas ini juga berkaitan dengan sikap
sebagian ulama khususnya dari mazhab Hanafi dan Maliki menolak kemungkinan
pelaku zindiq untuk mendapatkan pengampunan jika mereka menyesal, padahal
orang murtad bisa mendapatkan kesempatan itu.83
Review singkat ini bisa dengan jelas memperlihatkan bahwa selalu ada kebingungan
dan kesamaran dalam konsep-konsep tersebut dan bagaimana konsep tersebut
didefinisikan. Bahkan ada juga ketidakjelasan mengenai dasar hukum bagi jenis
hukuman yang ditetapkan bagi pelaku pelanggaran tersebut. Karena al-Qur’an tidak
mendefinisikan konsep-konsep tersebut dengan jelas dan juga tidak menentukan
hukuman tertentu yang harus ditimpakan pada pelaku pelanggaran tersebut saat
mereka hidup, masyarakat Islam saat ini nampaknya bisa dan bahkan mungkin
mempertimbangkan kembali aspek-aspek syariah tersebut dalam kerangka
kebebasan beragama. Bahkan, nampaknya jumlah ayat-ayat al-Qur’an yang
mendukung pandangan terakhir ini lebih banyak daripada ayat yang mendukung
keharusan adanya ketentuan hukum bagi para pelaku pelanggaran tersebut.84
Dengan kata lain, seharusnya tidak ada hukuman atau konsekuensi legal apapun
terhadap perbuatan murtad atau perbuatan sejenis lainnya, karena konsep iman
dalam Islam mengandaikan dan mengharuskan adanya kebebasan untuk memilih
dan tidak dapat dianggap sah jika dilakukan di bawah tekanan. Kemungkinan untuk
mempercayai sesuatu secara logis mengharuskan adanya kebebasan untuk memilih.
Dengan demikian seseorang tidak akan bisa mempercayai sesuatu tanpa ada
kebebasan dan kemampuan untuk mempercayainya.
82
Saeed dan Saeed, Freedom of Religion, Apostasy and Islam, hlm. 40
Saeed dan Saeed, Freedom of Religion, Apostasy and Islam, hlm. 41, 54-55
84
Saeed dan Saeed, Freedom of Religion, Apostasy and Islam, hlm. 69-87
83
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
Ketidakjelasan dan kemenduaan prinsip-prinsip syari’ah tersebut memicu lahirnya
manipulasi dan pelanggaran terhadapnya demi tujuan-tujuan politik atau polemik.
Banyak ulama besar yang dihormati dan diakui otoritasnya seperti Abu Hanifah, Ibn
Hanbal, al-Ghazaly, Ibnu Hazm,dan Ibnu Taimiyyah pernah didakwa murtad
semasa mereka hidup.85 Resiko semacam ini cenderung meniadakan kemungkinan
terjadinya proses refleksi hukum dan teologi serta proses perkembangan dalam
masyarakat muslim sendiri atau ummat secara umum. Mengemukakan alasanalasan meyakinkan mengenai pentingnya penghapusan doktrin murtad dan konsepkonsep lainnya untuk kepentingan Islam (sebagai suatu agama) dan masyarakat
muslim secara keseluruhan, tanpa mengambil rujukan kepada norma-norma Hak
asasi manusia, adalah untuk menunjukkan bahwa dalam Islam sendiri terdapat
argumen dan pendekatan untuk melindungi kebebasan beragama. Cara ini sangat
tepat untuk menunjukkan mempromosikan validitas dan efektivitas prinsip-prinsip
hak asasi manusia itu sendiri.86 Bagaimana hasil yang memuaskan ini bisa dicapai
dalam praktik kehidupan sekarang?
Dilema yang dirasakan oleh mereka yang mendukung reformasi semacam itu dalam
masyarakat kita adalah apakah mereka harus mencapai tujuan mereka dengan
mempergunakan korpus dan metodologi syariah yang sudah ada atau berusaha
menghindari keterbatasan pendekatan tersebut dengan menerapkan pemisahan
yang ketat antara agama dan negara. Menurut pendapat saya, kedua pendekatan
tersebut memiliki keterbatasan. Di satu sisi, reformasi terhadap kerangka syariah
tradisional tidak mungkin bisa menghapus semua gagasan mengenai murtad dan
85
Saeed dan Saeed, Freedom of Religion, Apostasy and Islam, hlm. 30-31
Argumentasi Islam dan Hak Asasi Manusia mengenai pentingnya memerangi kejahatan-kejahatan ini
lihat tulisan saya “Islamic Foundation of Religious Human Rihts, dalam John Witte, Jr., dan Johan D.
Van der Vyver, (ed.), Religious Human Rights in Global Perspectives: Religious Perspective. (The
Hague: Martinus Nijhoff Publishers, 1996), hlm. 337-359.
86
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
konsep lainnya, karena hal semacam itu tentu saja tidak mungkin dibenarkan oleh
metodologi ushul fiqih yang sudah diformulasikan oleh para ulama seperti al-Syafi’i
1200 tahun yang lalu. Ushul fiqih tradisional pasti mendukung penetapan hukuman
mati atau ketentuan hukum lainnya pada orang murtad karena hukuman tersebut
didasarkan pada aturan yang terdapat dalam sunnah, meskipun bukan al-Qur’an.
Pada saat yang sama, konsep murtad dan konsep lainnya tidak bisa begitu saja
dihapus dari ketentuan syari’ah tanpa justifikasi yang cukup, karena otoritas moral
dan sosial syari’ah di tengah-tengah ummat muslim. Upaya penghapusan yang
efektif dan berkelanjutan terhadap konsep-konsep tersebut sebagai upaya untuk
menginterpretasi ulang syari’ah harus menggunakan logika Islam tradisional
daripada sekedar menggantungkan diri pada otoritas negara sekular untuk menolak
menerapkan aturan-aturan hukum yang berkaitan dengannya.
Reformasi Islam juga mengharuskan adanya reformasi ushul fiqih karena baik
interpretasi tradisional maupun alternatif terhadap al-Qur’an dan sunnah adalah
produk sebuah konteks historis tempat masyarakat muslim tinggal dan hidup.
Dengan demikian untuk menghadapi transformasi politik, sosial dan ekonomi yang
terjadi dalam masyarakat muslim saat ini, sebagaimana yang ternah terjadi di masa
perkembangan pemahaman syariah tradisional, metodologi interpretasi harus
merefleksikan kondisi tersebut agar bisa menghasilkan formulasi syari’ah yang
tepat. Ini bisa dilakukan dengan cara misalnya dengan menguji ulang logika
penerapan sejumlah ayat Qur’an dan sunnah ke dalam prinsip-prinsip syariah dan
menekankan ketidak cocokkan rujukan keagamaan lain untuk konteks masyarakat
Islam saat ini. Dengan memahami pilihan-pilihan tersebut dibuat oleh manusia dan
bukan merupakan perintah tuhan secara langsung, maka mempertimbangkan
kembali relevansi teks tersebut untuk diterapkan dalam konteks sekarang dan
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
perlunya menekankan ulang konsep-konsep tersebut menjadi hal yang mungkin.
Meskipun saya mengikuti model pendekatan yang sudah dikembangkan oleh ulama
Sudan, Mahmoud Muhammad Toha,87 bukan berarti pendekatan lain tidak berlaku.
Penting untuk dicatat, debat teologis ini mungkin memiliki dimensi politik dan
kontekstual. Kemampuan seorang reformer untuk mendapatkan kepercayaan dari
komunitas dan otoritas di kalangan anggotanya tergantung pada pemahamannya
terhadap kompleksitas sejarah komunitasnya serta konteks, kepentingan dan
aspirasi mereka. Kita bisa melihat contoh Mahmud Muhammad Toha yang
mengadvokasikan pikirannya di Sudan selama 40 tahun dan ia tetap dihukum mati
karena dakwaan murtad pada Januari 1985.88 karena itu, di samping harus memiliki
metodologi refomasi yang koheren dan efektif, seorang reformer juga harus
mempertimbangkan
faktor
politik,
ekonomi,
sosial
dan
budaya
dalam
mengadvokasikan ide-idenya. Ini juga berarti mempertimbangkan faktor atau
kekuatan pendukung sekaligus kekuatan yang menentang proses reformasi yang
diajukan.
Negara, sebetulnya, berperan besar dalam prose-proses tersebut bukan saja dengan
menghentikan usaha-usaha menerapkan syari’ah sebagai hukum positif, tapi juga
melalui sistem pendidikan, upaya mempromosikan pemikiran kritis dalam media
dan mengamankan ruang politik sosial dan politik agar debat publik dapat
terlaksana dengan baik dan bebas. Namun negara dan komunitas international
secara luas, sebetulnya juga bisa menjadi bagian dari masalah. Proses liberalisasi
politik dan sosial yang diinginkan bisa mengancam posisi elite yang mengontrol
87
Mahmoud Muhammad Toha, The Second Message of Islam, (Syracuse University press, 1987).
Abdullahi Ahmed an-Na’im, “The Islamic Law of Apostasy and its Modern Applicability: A Case
from the Sudan”, Religion, vol. 16, 1986, hlm. 197-223.
88
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
negara, bahkan sekalipun mereka mengklaim sebagai elit yang memiliki orientasi
politik sekular. Selain itu, negara-negara lain juga mungkin saja mendukung rezim
opresif yang ada di negara-negara Islam atau menerapkan politik luar negeri yang
keras dan malah menimbulkan konservatisme dan pembelaan membabi buta dalam
masyarakat Islam, bukannya melahirkan kepercayaan dan tingkat keamanan yang
justru lebih diperlukan untuk mendorong proses liberalisasi politik dan sosial
internal. Meskipun tanggung jawab untuk mengamankan kebebasan beragama
dalam masyarakat islam tergantung pada diri mereka sendiri, komunitas
interrnasional juga mempunyai peran penting dalam menumbuhkan kondisi yang
kondusif untuk kesuksesan usaha yang dilakukan masyarakat muslim tersebut.
Proses ini membawa kita pada isu terakhir yaitu relevansi ide kewarganegaraan
dalam proses ini, lagi-lagi dari perspektif Islam.
IV. Kewarganegaraan
Apapun argumennya, adalah sebuah fakta bahwa kolonialisme Eropalah yang
mentransformasikan secara drastis dasar dan asal-ususl organizasi politik dan sosial
dalam negara tempat muslim tinggal.89 Transformasi ini begitu mendasar dan sangat
mendalam; menyebar pada seluruh aspek aktivitas ekonomi, proses politik,
kehidupan sosial dan relasi komunal, pemenuhan pendidikan, kesehatan dan
pelayanan lainnya sehingga membuat ide untuk mengembalikan semuanya pada
sistem dan ide prakolonial menjadi tidak mungkin. Perubahan dan adaptasi apapun
yang dilakukan pada sistem yang sekarang berlaku, hanya bisa dilakukan melalui
konsep dan institusi post kolonial domestik dan global saat ini. Namun banyak
muslim, bahkan mungkin mayoritas dari mereka di berbagai negara, belum bisa
89
Lihat James Piscatori, Islam in a Wold of Nation States (Cambridge: Cambridge University Press,
1986).
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
menerima beberapa aspek dalam proses transformasi ini termasuk berbagai
konsekuensinya. Untuk mengklarifikasi dan memahami ketimpangan ini, saya akan
memfokuskan bahasan ini pada persoalan kewarganegaraan yang ternyata
mempunyai implikasi jangka panjang terhadap stabilitas politik, pemerintahan dan
pengembangan yang konstitusional di dalam negeri serta hubungan internasional.
Secara khusus, saya akan mengajukan hak asasi manusia sebagai kerangka untuk
menggaris bawahi dan menyelesaikan ketegangan yang ada dalam ketimpangan
pemahaman masyarakat Islam saat ini terhadap konsep kewarganegaraan.
Manusia cenderung mencari dan mengalami tipe dan bentuk keanggotaan yang
beragam dan saling bersinggungan dalam kelompok yang berbeda yang
berdasarkan etnik, agama atau identitas kultural, afiliasi politik, sosial atau
profesional atau kepentingan ekonomi. Motivasi untuk menjadi anggota sebuah
kelompok cenderung terkait dengan alasan dan tujuan kelompok tersebut, tanpa
membatasi atau mengurangi pentingnya bentuk keanggotaan yang lain. Nah, bentuk
keanggotaan yang beragam dan bersinggungan ini tidak selalu ekslusif, karena
keragaman tersebut justru bisa memenuhi tujuan masing-masing individu dan
komunitas yang berbeda. Ini mungkin hanya sekedar sebuah model yang terlalu
sederhana, karena dasar keanggotaan dalam sebuah kelompok tidak mungkin bisa
didefinisikan dengan jelas. Interaksi yang terjadi mungkin akan menjadi kompleks
dan tergantung pada faktor-faktor lain dan orang juga tidak selalu sadar dengan
dasar-dasar tersebut atau secara konsisten berbuat dan berlaku sesuai dengannya.
Namun hal penting yang ingin saya tekankan di sini adalah bahwa orang cenderung
secara sadar atau setengah sadar untuk menjadi atau mengidentifikasi diri sebagai
bagian dari sebuah kelompok karena tujuan-tujuan yang berbeda. Dan harus pula
dicatat bahwa keanggotaan itu bukan hanya pada satu kelompok.
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
Istilah kewarganegaraan yang saya gunakan disini berarti sebagai sebuah bentuk
keanggotaan dalam komunitas politik sebuah wilayah negara dalam konteks
globalnya dan dengan demikian terkait dengan alasan dan tujuan tertentu, namun
dengan tanpa membatasi kemungkinan bentuk keanggotaan lain. Ini bukan berarti
bahwa setiap orang akan sadar sepenuhnya dengan bentuk atau tipe keanggotaan
ini atau mereka akan menganggap bentuk keanggotaan ini sebagai sesuatu yang
inklusif terhadap bentuk keanggotaan lain atau menyadari bahwa masing-masing
bentuk keanggotaan memiliki tujuan dan alasan tertentu. Bahkan, di sini saya akan
mengungkapkan bahwa ada kebingungan di kalangan muslim mengenai makna dan
implikasi kewarganegaraan dalam sebuah wilayah negara, yang dibedakan
meskipun tidak ekslusif, dengan bentuk dan tipe keanggotaan lain.
Penting untuk dicatat bahwa kebingungan seperti ini tidak hanya terjadi pada
masyarakat muslim atau terjadi karena mereka memeluk Islam. Contohnya ada
kecenderungan umum di kalangan masyarakat utuk menghilangkan beberapa
bentuk keanggotaan seperti keanggotaan berdasarkan etnis atau agama yang luntur
karena afiliasi politik atau sosial. Dengan demikian, perkembangan negara bangsa
model Eropa yang berbasis wilayah sejak abad 18 tidak hanya cenderung
menyamakan konsep kewarganegaraan dengan kebangsaan, tapi juga terus
menekankan pentingnya praktik konsep warga negara yang setara.90 Menyamakan
konsep
kewarganeganegaraan
dengan
kebangsaan
adalah
keliru
karena
keanggotaan seseorang dalam sebuah komunitas politik sebuah negara tidak selalu
bersamaan dengan adanya perasaan memiliki. Pun tidak pula memperlihatkan
hubungan apapun dengan cara orang merasa menjadi bagian dari sebuah negara
90
Derek Heater, A Brief History of Citizenship (Edinburgh: Edinburgh University Press, 2004).
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
atau lainnya. Lagipula, dalam teorinya hak-hak warga negara tunduk pada berbagai
pembatasan hukum dan dalam praktiknya pada pembatasan tertentu, sebagaimana
yang akan kita lihat dalam kasus kerudung yang terjadi di Perancis dalam bab 4
nanti.
Seperti halnya nasionalisme, konsepsi dan praktik kewarganegaraan menjadi norma
yang sudah diterima dalam hubungan politik domestik dan intenasional di seluruh
dunia termasuk di kalangan masyarakat Islam. Bahkan konsep-konsep identitas dan
kedaulatan yang memiliki nilai “menentukan nasib sendiri” (self-determination)
sekarang dibangun di atas dasar yang sama dengan model Eropa. Dan bagusnya,
konsepsi-konsepsi tersebut terus berkembang dan merefleksikan pengalamanpengalaman
masyarakat
lain
terutama
melalui
proses
dekolonisasi
dan
perkembangan norma-norma hak asasi manusia universal sejak pertengahan abad
20.
Konsepsi-konsepsi kewarganegaraan, kedaulatan dan hak untuk menentukan diri
sendiri yang sedang berkembang ini adalah konsep-konsep yang saya tawarkan
kepada masyarakat muslim untuk diterima dan dipergunakan sebagai prinsip, dan
bukan hanya sebagai konsesi pragmatis untuk menghadapi realitas pasca kolonial.
Benar
bahwa
umat
Islam
di
manapun
sudah
menerima
konsep
dasar
kewarganegaraan sebagai dasar sistem politik dan undang-undang domestik mereka
bahkan juga menjadi dasar bagi hubungan internasional mereka dengan negaranegara lain. Kewarganegaraan memang sudah menjadi dasar hubungan antar
muslim, maka saya kemudian membutuhkan visa yang dikeluarkan oleh Pemerintah
Saudi Arabia agar saya bisa melaksanakan ibadah haji atau umrah disana dan tidak
bisa berharap akan diterima bagitu saja di sana hanya karena saya seorang muslim
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
yang akan melaksanakan kewajiban agama saya. Meskipun dasar konsep
kewarganegaraan sudah diterima, namun kita perlu melangkah satu tindak ke
depan.
Yaitu
mengembangkan
dan
mempromosikan
prinsip-prinsip
kewarganegaraan di kalangan muslim agar mereka dapat memegang prinsip
tersebut dan berusaha untuk merealisasikan pemahaman positif dan proaktif
terhadap konsep kesetaraan warga negara untuk semua orang tanpa membedakan
agama,
jenis
kelamin, etnis,
bahasa
atau opini
politik
apapun.
Konsep
kewarganegaraan harus menandakan adanya pemahaman bersama tentang
kesetaraan posisi semua manusia dan partisipasi politik yang inklusif dan efektif
untuk menjamin akuntabilitas pemerintah dalam menghargai dan melindungi hak
asasi manusia semua pihak.
Keinginan untuk menyebarkan pemahaman mengenai konsep kewarganegaraan ini
ke seluruh dunia tentu saja bisa didasarkan pada berbagai macam pertimbangan,
termasuk realitas pragmatis hubungan kekuasaan dalam sebuah masyarakat
sebagaimana yang sudah saya sebutkan tadi. Namun, keinginan itu juga
membutuhkan
asas
keagamaan,
filosofis
dan
moral
agar
pengertian
kewarganegaraan konsisten dengan norma-norma hak asasi manusia universal.
Kombinasi dasar moral dan pragmatis ini bisa dilihat dalam apa yang disebut
sebagai the golden rule prinsip resiprokal (mu’awada) dalam diskursus keislaman.
Memperlakukan orang lain dengan penuh rasa hormat dan empati adalah hal yang
diperlukan dalam membangun sensibilitas moral di antara tradisi agama dan
filasafat tertentu. Dan tentu saja menjadi syarat bagi adanya perlakuan yang sama
dari orang lain. Dengan demikian, baik individu maupun komunitas dimanapun
berada harus mengakui adanya kesamaan status warga negara, jika mereka ingin
diperlakukan sama di negeri sendiri maupun di negeri lain. Karena itulah,
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
memahami konsep kewarganegaraan berdasarkan hak asasi manusia universal
adalah merupakan dasar politik, hukum dan moral untuk menikmatinya.
Ummat Islam sebetulnya sudah menerapkan ide-ide tersebut melalui hukum
negaranya maupun hukum internasional, termasuk melalui kerjasama dengan orang
lain untuk mendefinisikan dan mengimplementasikan hak-hak asasi manusia
universal dalam proses yang lebih luas. Standar dan proses internasional itu
memang memberikan kontribusi untuk memahami dan melindungi hak-hak warga
negara dalam level domestik. Dengan demikian, hubungan antara hak asasi manusia
dan kewarganegaraan merupakan sesuatu yang inheren dan saling mendukung
dalam hubungan antar keduanya. Jika kewarganegaraan difahami dari sudut
pandang hak asasi manusia, maka sebagai seorang warga negara, muslim bisa
berpartisipasi secara lebih efektif dalam mendefinisikan dan mengimplementasikan
hak
asasi
manusia.
Dan
ia
bisa
menikmati
status
kewarganegaraannya.
Keterhubungan antara dua konsep tersebut mengasumsikan bahwa negara yang
terikat oleh hukum internasional dan piagam-piagam hak asasi manusia lain adalah
representasi warga negaranya. Namun realitasnya, ini tidak selalu sama di semua
negara apalagi di negara-negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam
seperti di Asia dan Afrika.
Dengan demikian tantangannya adalah bagaimana menerapkan pendekatan hak
asasi manusia ini dalam konsep kewarganegaraan sehingga proses ini pada akhirnya
bisa memberikan kontribusi dalam merealisasikan prinsip akuntabilitas dan
pemerintah yang demokratis. Masalahnya adalah bagaimana mempergunakan
sumber daya yang ada, termasuk konsep kewarganegaraan dan hak asasi manusia
yang sudah diterima, untuk mempromosikan sumber daya yang sama. Proses
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
pengembangan konsep kewarganegaraan dan hak asasi manusia ini akan
dipengaruhi oleh jaringan faktor dan aktor yang kompleks dan luas baik di tingkat
lokal, nasional maupun internasional. Termasuk di dalamnya relasi sosial dan
ekonomi, pengaruh sistem pendidikan dan aktifitas media dan juga seluruh konteks
sejarah dan sosial politik aktual. Persepsi negatif dan hegemoni relasi kekuasaan
yang mungkin mengurangi efektifitas dan relevansi konstitusionalisme dan hak
asasi manusia, sebagaimana sudah disebutkan di muka, juga mungkin terjadi dalam
konteks hubungan konsep kewarganegaraan dengan hak asasi manusia.
Dengan pemahaman yang jelas terhadap kompleksitas proses dan hasil yang sulit
diperkirakan, saya akan memfokuskan diskusi tentang konsep dzimmihood dalam
syariah tradisional sesuai dengan tujuan buku ini. Sebagaimana yang akan
dijelaskan nanti, konsep dzimmi menandakan adanya perlindungan negara terhadap
hak-hak dasar dan otonomi komunal yang terbatas masyarakat non-muslim (ahldzimmah) sebagai konsesi atas pengakuan mereka atas kedaulatan muslim.91
Meskipun konsep ini lemah untuk digunakan sebagai dasar bagi konsep
kewarganegaraan dalam konteks negara muslim saat ini, namun ia terus memiliki
pengaruh pada perilaku dan sikap ummat Islam.
Konsep Dzimmi dalam Perspektif Sejarah
Untuk membahas konsep dzimmi dalam syariah tradisional, perlu kiranya untuk
mengklarifikasi dua elemen kebingungan metodologis yang mendasari beberapa
diskursus keislaman yang keliru menginterpretasikan syari’ah atau memberlakukan
91
Lihat artikel “Dhimma” dalam Shorter Encyclopaedia of Islam, Leiden: EJ.Brill, 1991, hlm. 75-76;
Mahmoud Ayoub, “Dhimmah in the Qur’an and Hadits”, Muslims and Others in Early Muslim Society,
ed. Robert Hoyland (Trowbridge,Wiltshire, England: Ashgate Publishing Ltd., 2004), hlm. 25-26.
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
prinsip-prinsipnya secara langsung.92 Pertama, fokus kita di sini adalah bagaimana
para pendiri mazhab syari’ah memahami text yang relevan dalam al-Qur’an dengan
cara yang sistematis. Jadi pertama-tama kita harus memahami terlebih dahulu
prinsip-prinsip syari’ah tentang dzimmi yang sudah ada, sebelum menguji
kemungkinan untuk mereformasinya. Kedua, reformasi apapun yang diajukan harus
mengikuti metodologi yang jelas dan sistematik, daripada sekedar pemilihan
arbitrer berbagai sumber atau hanya sekedar merujuk sumber yang bertentangan,
karena cara seperti itu pasti akan ditolak. Pun tidak ada gunanya mengutip ayat-ayat
al-Qur’an atau sabda Nabi yang mendukung kesetaraan non-muslim tanpa
menyebutkan ayat-ayat yang dapat dirujuk untuk mendukung pandangan yang
menentangnya.
Sistem dzimmi tradisional sebetulnya dikembangkan oleh para ulama sebagai
bagian dari sebuah pandangan yang menentukan afiliasi politik berdasarkan afiliasi
keagamaan dan bukan berdasarkan wilayah negara seperti yang terjadi pada saat
ini.93 Dengan cara seperti itu, ide ini bertujuan untuk menggeser loyalitas politik dari
ikatan kesukuan ke Islam sehingga keanggotaan dalam komunitas politik dapat
diakses oleh siapapun yang menerima kepercayaan ini. Karena generasi awal ummat
Islam percaya bahwa mereka adalah penerima agama wahyu terakhir, mereka
berasumsi bahwa mereka mempunyai kewaiban untuk menyebarkan Islam melalu
jihad yang bisa dilakukan, namun bukan satu-satunya, melalui penaklukan militer.94
92
Kebingungan metodologis terlihat pada misalnya A. Rahman I. Doi, Non-Muslims under Shari’ah
(Islamic Law), (Lahore: Kazi publications, 1981); dan Maimul Ahsan Khan, Human Rights in the
Muslim World: Fundamentalism, Constitutionalism, and International Politics, (Durham: Caroline
Academic Press, 2003).
93
Michael G. Morony, “Religious Communities in Late Sassanian and Early Muslim Iraq”, Muslims
and Others in Early Islamic Societies, ed. Robert Hoyland (Trowbridge, Wiltshire, England: Ashgate
Publishing Ltd.,2004), hlm. 1-23
94
al-Nabhani, The Islamic State, hlm. 147
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
Senada dengan keyakinan tersebut, para ulama menyarankan ummat Islam untuk
mendakwahkan Islam dengan cara damai terlebih dahulu. Namun jika seruan
tersebut ditolak, mereka boleh memaksa orang-orang kafir untuk menyerah dan
memberlakukan ketentuan yang dipercayai oleh umat Islam sebagai wajib.95 Sistem
ini, dengan demikian, mengandaikan adanya pembedaan tegas antara wilayah Islam
(dar al-Islam) tempat muslim berkuasa dan syariah berlaku, dengan wilayah yang
penduduknya memerangi Muslim (dar al-harb).96 Visi yang dibangun oleh sistem ini
adalah bahwa kewajiban untuk menyebarkan islam dengan cara damai maupun
perang tetap berlaku sampai seluruh dunia menjadi dar al-Islam. Pandangan ini, tak
salah lagi, didukung oleh kesuksesan ummat Islam menaklukkan berbagai daerah
sejak dari Afrika Selatan sampai
Spanyol bagian selatan di Barat, Persia, Asia
Tengah, dan Indian bagian utara di Timur setelah Rasulullah meninggal. Namun
keterbatasan praktik karena ketidakpastian ekspansi yang dilakukan semakin jelas
dari waktu ke waktu. Penguasa muslim kemudian harus menanda tangani
kesepakatan damai (sulh) dengan orang-orang kafir yang sah sehingga wilayah
tempat mereka tinggal dianggap wilayah yang mempunyai kesepakatan damai
dengan ummat Islam (dar al-sulh).97
Berdasarkan model relasi non-muslim yang dikembangkan selama abad ke-7 dan 8
ini, syari’ah mengklasifikasikan manusia pada tiga kategori yaitu muslim, ahl al-kitab
(mereka yang dianggap ummat Islam sebagai ummat yang juga menerima
95
lihat Lambton, State and Government itun Medieval Islam, hlm. 201; al-Nabhani, The Islamic State,
hlm. 147-150
96
Ali, “Role of Muslim Women Today,” dalam Modern Muslim Thought, Vol. 1, hlm. 236; Doi, NonMuslim under shari’ah, hlm. 22-23; Lambton, State and Government in Medieval Islam, hlm. 201.
97
Muhammad Hamidullah, Muslim conduct of state, revised 5th edition (Lahore: Sh. M. Ashraf, 1968);
Majid Khadduri, Islamic Law of Nations: Shaybani’s Siyar (Baltimore: Johns Hopkins Press, 1966),
hlm. 158-79; Majid Khadduri, War and Peace in the Law of Islam (Baltimore: The Johns Hopkins
Press, 1955), hlm. 162-69, 245-46, 243-44; dan H.A. Gibb dan J. H. Kramers, Shorter Encyclopaedia
of Islam (Leiden: E. J. Brill, 1953), s.v. ‘Ahl al-Kitab’, hlm.16-17, ‘Dhimma’, hlm. 75-76, ‘Dizya’,
hlm. 91-92, ‘Kafir’, hlm. 205-06, and ‘Shirk’, hlm. 542-44.
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
pewahyuan kitab suci seperti Kristen dan Yahudi), dan kafir. Status ahl al-kitab
kemudian diperluas oleh para ulama hingga mencakup penganut agama Magi
berdasarkan asumsi bahwa mereka juga menerima pewahyuan kitab suci.98 Namun
skema dasar yang menyatakan bahwa hanya muslimlah yang berhak menjadi
anggota penuh komunitas muslim sedangkan ahl al-kitab hanya anggota parsial tetap
tidak bisa dirubah atau dimodifikasi menurut pandangan syari’ah. Orang kafir
malah tidak memiliki kualifikasi untuk mendapatkan pengakuan hukum atau
perlindungan seperti itu, kecuali mereka mendapatkan jaminan perlindungan
temporer (aman) karena alasan-alasan praktis seperti perniagaan atau diplomat.99
Istilah dhimma merujuk pada perjanjian yang dibuat antara negara yang dipimpin
oleh muslim dan komunitas ahl a-kitab agar mereka mendapatkan jaminan keamanan
atas diri dan hartanya, kebebasan untuk melakukan kewajiban agamanya dengan
otonomi komunal dan privat untuk mengelola urusan-urusan internalnya. Sebagai
balasan, komunitas ahl al-kitab harus membayar pajak yang disebut jizyah dan
mematuhi perjanjian yang mereka buat dengan negara.100 Mereka yang mendapat
status dzimma didorong untuk memeluk Islam, tapi tidak diperbolehkan untuk
menyebarkan keyakinannya. Ciri umum perjanjian dhimma biasanya berisi klausul
yang melarang ahl-dzimmah untuk berpartisipasi dalam urusan-urusan publik atau
memegang jabatan yang akan memberinya kesempatan untuk memiliki otoritas atas
ummat Islam.101 Namun, isi perjanjian itu bervariasi sesuai dengan waktu dan
aplikasinya, pun tidak selalu konsisten dengan teorinya, karena beberapa alasan
98
Muhammad Abu Yusuf, Kitab al-kharaj (Cairo: al-Matba`a al-Salafiyya, 1963), hlm.128-30; Saeed
and Saeed, Freedom of Religion, Apostasy and Islam, hlm. 13.
99
Shorter Encyclopaedia of Islam, ‘Kafir,’ hlm. 206.
100
Article, “Djizya,” Shorter Encyclopaedia of Islam, p. 91; Ali, “Contrast Between Western and
Islamic Political Theories,” Modern Muslim Thought, Vol. 1, hlm. 192; Doi, Non-Muslims Under
Shari’ah, hlm. 22-23.
101
Doi, Non-Muslims Under the Shari’ah, hlm. 115-116.
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
pragmatis seperti yang akan saya jelaskan berikut ini. Namun karena komunitas
yang berstatus dzimmah tidak dianggap sama dengan ummat Islam, dalam istilah
modern mereka tidak mempunyai status kewarganegaraan penuh. Sementara itu,
orang kafir selalu dianggap dalam keadaan perang dengan ummat Islam, kecuali
jika mereka mendapatkan perlindungan sementara untuk melakukan perjalanan
melewati atau tinggal sementara di daerah yang dikuasai oleh ummat Islam.102
Sedangkan status dan hak mereka yang tinggal di daerah yang memiliki perjanjian
damai dengan ummat Islam (dar al-sulh) ditentukan sesuai dengan perjanjian yang
dibuat.103
Sistem dzimmi jelas sudah tidak bisa dipertahankan lagi sekarang. Kegagalan Sudan
untuk memahami keterbatasan konsep ini, misalnya, berujung pada meledaknya
perang sipil di bagian selatan negeri ini.104 jika saja kita menilik lebih hati-hati
konteks sejarah konsep ini, jelaslah bahwa ia merefleskikan standar yang berlaku
dalam pemerintah dan hubungan antar komunitas saat itu. Konsep ini juga cukup
disukai jika dibandingkan sistem lain pada saat itu.
Namun, tidak ada sistem hukum internasional lain yang lebih efektif untuk
melawan negara-negara Barat yang suka mendominasi negara lain atau menuntut
sejumlah pemerintahan yang suka menindas rakyatnya kecuali tata hukum
internasional dan perlindungan HAM yang berlaku sekarang. Hukum ini hanya bisa
ditegakkan ketika masyarakat memegang teguh nilai-nilai kesetaraan dan tertib
102
Ausaf Ali, “Role of Muslim Women Today,” Modern Muslim Thought, Vol. 1 (Karachi, Pakistan:
Royal Book Co., 2000), hlm. 236.
103
Gordon D. Newby, A Concise Encyclopaedia of Islam (Oxford, England: Oneworld Publications,
2002), hlm. 51.
104
Abdullahi Ahmed An-Na`im and Francis Deng, ‘Self -determination and Unity: the Case of Sudan,’
Law and Society, vol. 18 (1997), hlm. 199-223; Francis M. Deng, War of visions (Washington, DC:
The Brookings Institution, 1995).
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
hukum dalam kebijakan dalam dan luar negerinya. Dengan cara inilah, mereka bisa
memiliki landasan moral dan politik untuk menuntut hak yang sama dari
masyarakat lain. Untuk merealisasikan hal ini, ummat Islam tidak saja harus
menghapus sistem dzimmi dalam syari’ah secara formal, namun juga menolak nilainilai diskriminasi yang terdapat di dalamnya hingga mereka bisa menginternalisasi
dan mengimplementasikan konsep kewarganegaraan modern yang sudah dijelaskan
tadi. Trend ini sudah dimulai pada beberapa komunitas muslim, tugas kita sekarang
adalah bagaimana mengembangkan dan mengamankan trend ini dari kemunduran.
Dari Konsep Dzimmi menuju Kewarganegaraan Berbasis Hak Asasi Manusia
Konsep warga negara berbasis hak asasi manusia berarti bahwa norma substantif,
prosedur dan proses status ini, harus lahir dari, atau paling tidak sesuai dengan,
standar HAM yang berlaku universal saat ini.
Sebagaimana yang sudah kita
diskusikan, tujuan utama HAM adalah untuk menjamin adanya perlindungan yang
efektif terhadap sejumlah hak-hak dasar manusia dimanapun mereka berada, baik
melalui sistem perundangan-undangan negara atau tidak.
Piagam HAM internasional tidak mendefinisikan konsep warga negara secara rigid,
namun ia berisi beberapa prinsip yang mungkin relevan atau bisa diaplikasikan di
sebuah negara. Piagam HAM berisi beberapa prinsip fundamental seperti hak untuk
menentukan nasib sendiri (self-determination), persamaan, anti diskriminasi yang
disebutkan dalam pasal 1, 2 dan 3 Piagam PBB 1945, yang dianggap sebagai
perjanjian yang mengikat semua negara, termasuk negara-negara tempat komunitas
muslim tinggal. Prinsip-prinsip tersebut juga terdapat dalam perjanjian HAM lain
seperti pasal 1 dan 2 Kovenan Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya dan Kovenan
Hak-Hak Sipil dan Politik yang disepakati tahun 1966. Dua kovenan tersebut dan
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
juga perjanjian lainnya menyebutkan Hak Asasi Manusia tertentu, seperti hak untuk
diperlakukan setara di hadapan hukum dan kebebasan beragama, berlaku baik bagi
negara Islam maupun non-Muslim.105
Realisasi konsep warga negara berbasis HAM di kalangan muslim ini hanya bisa
dicapai melalui kombinasi tiga elemen. Pertama, transisi aktual dari konsep dzimmi
menuju konsep warga negara dalam era post-kolonial. Kedua, bagaimana menjaga
dan mengembangkan transisi ini melalui reformasi Islam yang kuat secara
metodologis dan berkelanjutan secara politik agar nilai-nilai HAM berakar kuat
dalam doktrin Islam. Ketiga, konsolidasi dua elemen pertama agar konsep ini
menjadi diskursus lokal yang mampu menyelesaikan persoalan keterbatasan dan
kelemahan konsep ini sekarang dan praktiknya dalam masyarakat Islam. Kombinasi
elemen-elemen tadi bisa dilihat dalam pengalaman transisi India dan Turki sebagai
Kerajaan Islam terakhir menjadi Negara Modern bermodel Eropa di awal abad 20.
Namun sampai hari ini, seperti yang akan saya jelaskan dalam bab 5 dan 6,
transformasi konsep warga negara yang terjadi di dua negara tersebut masih
ambivalen, bermasalah dan tetap rawan terhadap kemungkinan terjadinya
kemunduran.
Mari kita lihat proses pengembangan konsep warga negara di India terlebih dahulu.
Islam disebarkan di daerah India beberapa dekade setelah Rasulullah meninggal,
namun umat Islam membutuhkan waktu berabad-abad untuk menjadi kelompok
105
United Nations, Human rights: a Compilation of International Instruments (New York: United
Nations, 1994) volume 1; and Antonio Cassese, Self-determination of Peoples: a Legal Reappraisal
(Cambridge: Cambridge University Press, 1995).
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
minoritas yang berkuasa di beberapa bagian negeri ini.106 Meskipun berasal dari
etnis dan kelompok budaya yang berbeda (sebagian dari berasal Turki, Afganistan,
Persia, Arab dan juga pribumi yang pindah agama), ummat Islam di India pelanpelan mengembangkan tradisi toleransi dan koeksistensi yang membuat mereka bisa
berinteraksi dan berasimilasi dengan komunitas agama lain yang tinggal di sana.
Namun tradisi ini baru dalam kerangka menjaga mutualisme simbiosis dengan tuantuan tanah beragama Hindu dan kelompok-kelompok elite lainnya, daripada sebuah
tradisi yang mengakui konsep warga negara yang secara luas berlaku bagi seluruh
masyarakat.107 Saya mengatakan ini bukan sebagai kritik, saya memahami bahwa
konsep warga negara berbasis HAM memang belum diketahui komunitas manapun
di dunia saat itu.
Sistem kepegawaian dan administrasi negara yang dikembangkan oleh Akbar (15421605) telah memadukan semua kepentingan dan kelompok ke dalam hirarki yang
sama. Namun stagnasi teknologi dan administrasi, perang sipil, dan invasi regional,
lambat laun menyebabkan terjadinya perpecahan dalam tubuh kerajaan Mughal
selama abad 18.108 Bahkan usaha-usaha untuk menghentikan penjajahan Inggris
seperti yang dilakukan Shah Wali Allah (1703-72) dengan memperbaharui konsepkonsep syari’ah atau Gerakan jihadnya Sayyid Ahmad Barelwi (1786-1831), Hajji
Shari’at Allah (1781-1840) dan Haji Muhsin (1819-62) pun gagal.109 Dislokasi ekonomi
yang disebabkan oleh ekspansi pengaruh perusahaan East India sekaligus
perubahan administrasi pendapatan dan peradilan yang diperkenalkan Inggris pada
106
I. H. Qureshi, “Muslim India Before the Mughals,” in The Cambridge History of Islam, P.M. Holt,
Ann K.S. Lambton, and Bernard Lewis (eds.) (New York: Cambridge University Press, 1996), hlm. 334.
107
S.A.A. Rizvi, “The Breakdown of Traditional Society,” in The Cambridge History of Islam, hlm.
67.
108
I.H. Qureshi, “India Under the Mughals,” in The Cambridge History of Islam, hlm. 52-57.
109
Rizvi, “The Breakdown of Traditional Society,” in The Cambridge History of Islam, hlm. 71-74.
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
akhir abad 18, menyebabkan menurunnya kekuasaan dan otoritas ummat Islam di
India.110
Melalui strategi politik, militer dan ekonomi yang direncanakan untuk meluaskan
pengaruhnya di India, kerajaan Inggris akhirnya bisa mengambil alih kontrol
pemerintahan di seluruh India pada pertengahan abad 19. Beberapa pemimpin
muslim seperti Sayyid Ahmad Khan (1817-98) mempunyai sikap positif terhadap
Inggris dan pengaruh Barat secara umum, tapi ia juga masih ambivalen dengan
konsep warga negara dan jangkauan penerapannya di India. Ia nampaknya
mengkombinasikan komitmen untuk melakukan modernisasi India sebagai negara
kesatuan dengan tetap memelihara kecurigaan pada institusi-institusi populer yang
demokratis. Usahanya memobilisasi ummat Islam India untuk beroposisi pada
Indian National Congress merupakan tanda ambivalensinya terhadap usaha-usaha
kemerdekaan, yang berakhir dengan pemisahan India dan Pakistan pada 1947.111
Nampaknya kita tidak mungkin membahas perkembangan peristiwa-peristiwa
tersebut saat ini, tapi saya ingin mencatat bahwa peristiwa-peristiwa tersebut
merefleksikan baik kemarahan Hindu terhadap hegemoni ummat Islam termasuk di
dalamnya pada konsep dzimmi, maupun ketakutan Muslim terhadap dominasi
Hindu. Ironisnya, meskipun banyak ummat Islam yang masih menjadi warga negera
India, pemisahan tersebut tidak memberikan keuntungan apa-apa bagi konsep
warga negara bagi Ummat Islam di Pakistan. Di dua negara tersebut, konsep warga
negara harus dikembangkan dan dilindungi dari bahaya pemisahan kategori
Muslim dan non-muslim.112
110
Rizvi, “The Breakdown of Traditional Society,” in The Cambridge History of Islam, hlm. 77.
Rizvi, “The Breakdown of Traditional Society,” in The Cambridge History of Islam, hlm. 67-96.
112
Aziz Ahmad, “India and Pakistan”, in P.M. Holt, Ann K.S. Lambton and Bernard Lewis (eds.), The
Cambridge History of Islam, (Cambridge: Cambridge University Press1970), volume 2A, hlm. 97-119.
111
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
Pemahaman konsep warga negara berkembang dengan cara yang berbeda pada
zaman Dinasti Ottoman dan Republik Turki. Fleksibilitas dan elastisitas sistem Millet
dinasti Ottoman di Asia Barat dan Afrika Utara sudah merepresentasikan
ketidaktergantungan dinasti ini pada konsep dzimmi sebagai bentuk respon mereka
terhadap realitas ekonomis sosial dan militer yang mereka hadapi. Realitas-realitas
tersebut mungkin difasilitasi dan terus didukung oleh proses penetrasi Barat dan
keterbukaan
Ottoman,
yang
akhirnya
mentransformasi
kerajaan
ini
dan
membukakan jalan untuk proses transisi menuju terbentuknya Negara Turki sekuler
pada tahun 1920. Selain faktor tersebut, ada pula faktor yang tak kalah pentingnya
dalam pembentukan negara modern berbasis prinsip kewarganegaraan modern
Turki, yaitu kemunculan gerakan-gerakan nasionalis di kalangan ummat muslim,
yang berasal dari Arab dan Albania misalnya, dan juga kehadiran minoritas Kristen.
Meskipun dilakukan perlahan dan bertahap, perubahan kebijakan dan praktik
dinasti Ottoman dimulai pada saat dideklarasikannya Keputusan Tanzimat tahun
1839, yang menandai dimulainya proses formal pengakuan kesamaan status antara
muslim dan non-muslim di hadapan sultan.113
Sementara keputusan Tanzimat
pertama menegaskan syari’ah sebagai hukum negara, keputusan Tanzimat tahun
1856 justru menetapkan kesamaan status non-muslim, penghapusan jizyah,
pelarangan sikap diskriminatif terhadap komunitas ahl al-dzimmah tanpa merujuk
sedikitpun pada prinsip-prinsip Islam. Malah, aspek-aspek modern prinsip
kesetaraan di hadapan hukum dan anti-diskriminasi ditetapkan dalam pasal 8 - 22
konstitusi Ottoman tahun 1876. Prinsip-prinsip tersebut terus dijaga melalui
113
Cevdet Küçük, “Ottoman Millet System and Tanzimat”, in Tanzimat’tan Cumhuriyet’e Türkiye
Ansiklopedisi, vol. 4, (Istanbul: İletişim, 1986), hlm. 1007-24.
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
pengembangan konstitusi selama akhir masa dinasti Ottoman dan kemudian
diperluas selama masa Republik sejak 1926.
Proses yang terjadi di India dan Turki, juga terjadi di negara muslim lain selama
abad ke-20 dan secara formal terus berkembang selama proses dekolonisasi pasca
perang dunia II. Dengan demikian, konsep dzimmi tidak lagi dipraktikkan dan
dianjurkan di negara muslim manapun yang telah mengintegrasikan diri dengan
sistem negara yang berlaku sekarang.114 Walaupun transformasi tersebut secara
formal dilaksanakan oleh kolonial Eropa, namun semua masyarakat Islam telah
secara sukarela meneruskan sistem tersebut setelah mereka merdeka. Ummat Islam
bahkan tidak menolak atau berusaha untuk memodifikasi sistem tersebut baik di
tingkat lokal maupun internasional, malah penguasa di negara-negara Muslim justru
aktif berpartisipasi untuk mengoperasikan sistem ini di dalam maupun luar
negaranya.115 Namun ketegangan yang ditimbulkan oleh konsep dzimmi dan nilainilai yang terkandung di dalamnya masih tetap saja ada, seperti yang terjadi dalam
kasus kontroversi mengenai kebolehan mengucapkan selamat Natal kepada ummat
kristiani atau nikah antar agama di Indonesia116, perang sipil di Sudan117, kerusuhan
bernuansa kekerasaan akibat penerapan syari’ah di negara-negara bagian Nigeria
sejak tahun 2001.118 Ketegangan inilah yang menjadikan pentingnya peralihan ke
konsep warga negara melalui reformasi Islami yang kuat secara metodologis dan
berkelanjutan secara politis.
114
Saeed and Saeed, Freedom of Religion, Apostasy and Islam, hlm. 13-14.
James Piscatori, Islam in a World of Nation-states.
116
Darul Aqsha, Islam in Indonesia: a survey of events and developments from 1998 to March 1993
(Jakarta: INIS, 1995), hlm. 470-73; Greg Barton, Gagasan Islam Liberal (Jakarta: Paramadina,1999);
and Mun’im A. Sirry, Fiqh Lintas Agama: membangun masyarakat inklusif-pluralis (Jakarta:
Paramadina, 2004).
117
Jok Madut Jok, War and Slavery in Sudan (Philadelphia: University of Pennsylvania Press, 2001).
118
Simeon O. Ilesanmi, “Constitutional Treatment of Religion and the Politics of Human Rights in
Nigeria”, African Affairs (2001), hlm. 529-54.
115
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
Sekedar mengulang diskusi yang telah lalu, premis utama pentingnya proses
reformasi Islami adalah meskipun Qur’an dan Sunnah adalah sumber ketuhanan
dalam Islam, tidak berarti bahwa makna dan implementasi keduanya dalam
kehidupan sehari-hari lepas dari interpretasi dan perilaku manusia dalam konteks
sejarahnya yang spesifik. Bahkan, rasanya tidak mungkin kita mengetahui dan
menerapkan syari’ah dalam kehidupan ini tanpa adanya faktor manusia, karena
Qur’an sendiri diungkapkan dalam Bahasa Arab (bahasa manusia) dan terkait
dengan pengalaman sejarah masyarakat tertentu saat itu. Pendapat apapun yang
diterima muslim sebagai bagian dari syari’ah sekarang atau kapanpun, bahkan
jikapun disepakati secara anonim, pasti muncul sebagai pendapat manusia
mengenai makna al-Qur’an dan sunnah atau merupakan praktik komunitas Islam.
Pendapat dan praktik tersebut menjadi bagian dari Syari’ah melalui konsensus
ummat Islam berabad-abad lamanya, dan bukan hasil dari keputusan spontan
seorang penguasa atau kehendak sekelompok ulama. Dengan demikian, di samping
pendapat yang telah disepakati, tentu ada alternatif formulasi syari’ah lain yang
sama validnya dan bisa diterima oleh ummat Islam. Selain itu, reformasi yang
berbasis metodologi yang kuat juga harus memperhatikan dua hal penting yang
sudah disebutkan pada permulaan bab ini. Pertama, usaha reformasi harus bisa
membedakan dua hal penting yaitu prinsip-prinsip syari’ah yang sudah ada dan
telah ditetapkan oleh para ulama dengan kemungkinan reinterpretasi. Kedua,
seseorang yang ingin melakukan reformasi harus menghindari memilih teks Qur’an
dan sunnah yang nampaknya saling bertentangan secara arbitrer, tanpa
memperhatikan
teks-teks
yang
menguatkan pendapat oposisi.
mempunyai
kemungkinan
dirujuk
untuk
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
Metodologi reformasi yang berdasarkan premis diatas dan memenuhi persyaratan
yang sudah disebutkan nampaknya adalah metodologi yang diajukan Ustadz
Mahmud Muhammed Toha. Metodologinya mendukung adanya peralihan dari
penggunaan ayat-ayat Madaniyah ke ayat-ayat Makiyah sebagai dasar bagi aspek
sosial dan politik syari’ah. Alasan pentingnya peralihan ini adalah karena ayat-ayat
yang diturunkan pada masa awal pewahyuan lebih merepresentasikan pesan-pesan
universal Islam, sedangkan ayat-ayat sesudahnya lebih merupakan respon spesifik
terhadap konteks historis ummat manusia saat itu. Melalui metodologi ini, Ustaz
Mahmud juga menunjukkan bahwa alasan yang digunakan dalam sistem dzimmi
untuk melegitimasi konsep jihad yang agresif dan
diskriminasi terhadap non-
muslim berupa ayat-ayat madinah itu, sifatnya temporer. Point utama dalam
perbincangannya adalah Islam disebarkan pertama kali melalui cara-cara damai
dengan menggunakan pesan-pesan universal yang diturunkan dalam periode
Mekkah. Namun, setelah pesan-pesan tersebut tampak tidak realistis bagi konteks
negeri Arab abad ke-7, maka pesan-pesan yang lebih cocok secara historis pun
diturunkan di Madinah termasuk konsep jihad yang agresif dan diskriminasi
terhadap non-muslim itu. Dengan demikian, pesan Madinah yang turun belakangan
justru lebih dulu diterapkan sebagai Syari’ah sejak abad ke-7. Dengan memahami
bahwa kondisi saat ini sudah mungkin untuk mengimplementasikan pesan-pesan
dakwah damai dan non diskriminatif yang datang lebih dulu, Ustadz Mahmoud
menyerukan pentingnya peralihan ini melalui konsep dan metodologi ijtihad yang
baru.
Dengan
cara
seperti
ini,
Metodologi
Taha
ini
mampu
secara
eksplisit
mengenyampingkan ayat-ayat yang mendasari konsep dzimmi sebagai bagian dari
syari’ah, walaupun mereka tetap menjadi bagian dari al-Qur’an. Karena proses
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
pemilihan ayat-ayat al-Qur’an yang sesuai atau tidak, selalu menjadi tugas para
fuqaha, maka jika pilihan-pilihan dulu diganti dengan yang baru maka hendaknya
itu difahami sebagai sebuah revisi terhadap apa yang pernah dilakukan ummat
Islam di masa lalu, bukan revisi terhadap al-Qur’an atau sunnah itu sendiri.
Kerangka yang ditawarkan Taha mampu menyediakan metodologi interpretasi
Qur’an dan Sunnah yang sistematis dan koheren, daripada sekedar sebuah proses
pemilihan serampangan terhadap sejumlah ayat al-Qur’an seperti yang dilakukan
oleh ulama modern lain yang ternyata gagal untuk menjelaskan apa yang terjadi
pada ayat-ayat yang tidak mereka pilih. Dengan metodologi Taha, beberapa ayat
relevan yang turun pada periode Makkah dapat mendukung pengembangan konsep
warga negara modern dari sudut pandang Islam.119 Meskipun saya menganggap
pendekatan Taha ini sangat meyakinkan, saya tetap membuka diri pada metodologi
lain yang bisa mencapai tingkat reformasi yang sama dengan metodologi Taha.
Tapi bagaimana caranya kita menetapkan bahwa metodologi ini atau itu kuat dan
bisa diaplikasikan dalam perspektif Islam, layak dipilih untuk digunakan
menghapus sistem dzimmi tradisional? Pertama, alasan yang sudah saya tekankah
sejak semula, Aturan Emas (Golden Rule) atau doktrin Islam tentang resiprositas
bahwa seorang muslim harus mengakui kesetaraan derajat orang lain jika mereka
ingin diberi pengakuan yang sama. Kedua, adalah sebuah kemunafikan jika kita tetap
memegang sistem dzimmi secara teoritis, padahal kita menyadari bahwa konsep itu
tidak pernah diterapkan di masa lalu dan juga tidak relevan untuk diterapkan di
masa yang akan datang. Dengan tetap mempertahankan interpretasi yang tidak
realistis terhadap syariah yang seperti itu dalam tingkat teoritis, sambil
mengabaikannya dalam tingkat praktis, justru akan merusak kredibilitas dan
119
Taha, the Second message of Islam; and An-Na`im, Toward an Islamic Reformation
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
koherensi Islam sebagai agama. jika ada orang yang khawatir bahwa konsep ini sulit
diterima oleh kalangan muslim, saya hanya akan meminta kesempatan untuk
mempresentasikan ini secara bebas dan terbuka kepada mereka, agar mereka bisa
menentukan sendiri keputusannya.
Agar debat publik yang bebas dan terbuka
tentang masalah-masalah seperti ini bisa terjadi, maka penting bagi masyarakat
muslim untuk menjaga penuh kebebasan mereka untuk berpendapat, berekspresi
dan memiliki keyakinan tertentu. Manusia tidak bertanggung jawab atas keputusan
atau perbuatan yang dilakukannya, jika ia tidak memiliki kebebasan untuk memilih,
dan kebebasan memilih itu tidak bisa didapatkan jika ia tidak memiliki kemampuan
untuk mendapatkan dan mengevaluasi semua informasi yang relevan, agar ia bisa
mendebat dan menilai argumen yang berbeda.
Karena
itulah,
mengapa
saya
selalu
menekankan
pentingnya
peran
konstitusionalisme dan hak asasi manusia sebagai kerangka fikir dan jaring
pengaman yang berguna untuk menegosisasikan hubungan antara Islam, negara,
dan masyarakat dalam konteks masyarakat Islam saat ini. Kesemuanya itu menuntut
adanya otoritas publik yang bisa menjaga tatanan dan hukum, mengatur debat dan
refleksi, dan memutus pertikaian sesuai dengan prinsip-prinsip yang adil dan masuk
akal. Keberadaan otoritas itu diimplementasikan dengan kehadiran institusi-institusi
yang transparan dan akuntabel. Dengan demikian, mengamankan pemerintahan
yang konstitusional dan perlindungan HAM tidak saja penting bagi kebebasan
beragama ummat Islam dan non-muslim yang hidup di sebuah negara, tetapi juga
untuk ketahanan dan pengembangan Islam itu sendiri. Kebebasan untuk memiliki
pendapat yang berbeda dan berdebat selalu esensial untuk pengembangan syari’ah,
karena itu memungkinkan munculnya ide-ide baru, yang bila diterima, akan
menjadi sebagai konsensus yang berkembang di sekeliling mereka, sampai ide-ide
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
itu matang dan menjadi prinsip-prinsip yang mapan melalui penerimaan dan
praktik beberapa generasi ummat Islam di berbagai tempat dan waktu. Daripada
melakukan sensor terhadap pemikiran-pemikiran baru yang justru sebetulnya
kontra-poduktif untuk pengembangan doktrin-doktrin Islam, adalah lebih penting
untuk menjaga berlangsungnya kemungkinan munculnya inovasi dan perbedaan
pendapat karena itulah cara agama merespon kebutuhan penganutnya.
Kesimpulan
Sepanjang buku ini saya sudah menekankan pentingnya perspektif Islam untuk
menjaga netralitas negara terhadap agama di samping pentingnya menjaga
keterhubungan antara Islam dan politik di sisi lain. Namun masih ada ketegangan
yang belum terselesaikan menyangkut konsep-konsep seperti konstitusionalisme,
HAM, dan warga negara dalam perspektif Islam, statusnya yang diformulasikan di
tengah masyarakat Barat dan aplikasinya di tengah masyarakat Islam Asia dan
Afrika. Bisakah konsep-konsep yang berkembang melalui pengalaman masyarakat
Barat diaplikasikan di tempat lain? Jawabannya ya. Saya percaya penerapan itu
bukan saja mungkin, tetapi juga penting dengan menyediakan ide-ide, asumsiasumsi, dan institusi-institusi yang berkaitan dengan prinsip-prinsip tersebut agar
bisa diadaptasikan secara lebih baik dengan konteks lokal dan masyarakat yang
berbeda.
Penerapan prinsip-prinsip tersebut di tengah masyarakat muslim menjadi penting
karena mereka terus hidup dalam model negara Eropa setelah merdeka dari
penjajahan.
Model Negara Eropa ini nampaknya akan terus berlanjut sebagai
kerangka dominan politik domestik dan hubungan internasional di masa yang akan
datang. Bahkan trend globalisasi dan integrasi regional seperti Uni-Eropa, Uni-
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
Afrika yang beroperasi melalui peran negara sering menghadapi resistensi yang kuat
dari pendukung konsep tradisional kedaulatan nasional atau teritorial. Realitasrealitas tersebut menuntut implementasi prinsip-prinsip konstitusionalisme, hak
asasi manusia, dan kewarganegaraan yang ternyata penting untuk mengatur
kekuasaan negara dan mengorganisasi relasi antara individu dan komunitas di
bawah model negara Eropa ini.
Dengan demikian, pentinglah kiranya untuk
mengembangkan prinsip-prinsip tersebut dalam masyarakat muslim sebagai
parameter yang mengatur politik domestik dan hubungan mereka dengan
masyarakat lain.
Walaupun jelas dalam level teoritis, konsep seperti konstitusionalisme, HAM, dan
kewarganegaraan
masih
perlu
dispesifikasi
dan
diadaptasikan
bila
ingin
diaplikasikan dalam konteks lokal. Agar relevan dan berguna, prinsip-prinsip
teoritis tersebut harus bisa menjawab pertanyaan dan masalah yang muncul dari
konteks sosio-ekonomi, politik dan tradisi budaya masing-masing masyarakat. Logis
jika kemudian proses adaptasi prinsip universal dalam konteks lokal ini mungkin
saja tidak bekerja di tempat atau waktu tertentu. Kegagalan proses ini mungkin
terjadi dalam berbagai bentuk, baik pada level minor menyangkut susunan praktis
seperti pemisahan kekuasaan atau judicial review, sampai pada ketidakcocokkan
mengenai
aspek-aspek
fundamental
atau
substansiaal
dalam
konsep
konstitusionalisme. Kegagalan ini bisa memiliki tingkat kesulitan yang beragam.
Dengan demikian, saya merekomendasikan agar kita lebih memfokuskan diri pada
dinamika
dan
proses
internal
untuk
membangun
dan
mengkonsolidasikan
konstitusionalisme, HAM dan kewarganegaraan di tengah masyarakat muslim
dengan menggunakan istilah mereka sendiri dan bukan menyebutnya sebagai
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
pemaksaan Barat. Kegagalan atau kemunduran yang kita lihat dalam masyarakat
Islam saat ini, merupakan sebuah kepastian dari proses evolusi dan pemapanan
konsep-konsep tersebut, sekaligus dasar bagi kesuksesan di masa yang akan datang.
Saya mengajukan pendekatan berbasis proses dan praktik yang memungkinkan kita
untuk sampai pada analisis yang lebih dalam dan kaya. Pendekatan ini
mengharuskan seseorang untuk mempertimbangkan dinamika sosial, budaya dan
politik yang komplek dimana aktor-aktor negara dan non-negara, individu dan
komunitas,
kelompok-kelompok
etnis,
sosial
dan
agama
memahami
dan
menghubungkan diri mereka dengan konsep-konsep dan implementasi konsepkonsep tersebut. Daripada melihat kegagalan yang tampak sebagai indikasi adanya
cacat inheren dalam masyarakat, seseorang seharusnya mempertimbangkan adanya
kemungkinan kelemahan dalam konsep itu sendiri atau kelemahan pada tingkat
adaptasinya di masyarakat tertentu. Alangkah sombong dan picik, jika kita
mengasumsikan bahwa kegagalan menerapkan konsep atau kerangka yang sudah
definitif itu, terjadi karena ada hal yang salah dengan faktanya.
Sebagaimana sudah saya tekankan di bagian awal bab ini, relevansi penerapan
prinsip ini dalam masyarakat Islam adalah karena peran penting yang diembannya
sebagai kerangka untuk menegosiasikan hubungan antara Islam dan negara, di satu
pihak, dengan Islam dan politik di sisi lain. Review terhadap ciri-ciri negara modern
di bagian awal bab ini menjadi relevan karena model negara tersebut masih terus
dipraktikkan di negara-negara yang berpenduduk mayoritas atau minoritas muslim.
Kemudian saya memperjelas pembedaan antara politik dan negara untuk
mendukung ide saya untuk memisahkan Islam dari negara sambil tetap memelihara
hubungan antara Islam dan politik. Sebagaimana sudah dijelaskan pada bab I,
pemisahan antara negara dan Islam tidak berarti bahwa Islam menurunkan Islam ke
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
level privat karena prinsip-prinsip Islam sebetulnya masih bisa diajukan untuk
diadopsi oleh negara menjadi kebijakan atau undang-undang negara. Namun
pengajuan ini harus didukung oleh “public reason” yang berarti bahwa berbagai
argumen bisa diperdebatkan oleh semua warga negara tanpa harus merujuk pada
keyakinan agama. Namun praktik “public reason” ini membutuhkan jaring pengaman
berupa prinsip-prinsip konstitusionalisme, HAM, dan kewarganegaraan yang sudah
didiskusikan dalam bab ini. Bab berikutnya akan membahas pengalaman
sekularisme negara-negara Barat, dan ini diharapkan akan memperjelas beberapa
elemen dalam proposal saya.
Download