RINGKASAN DISERTASI Deni Miharja NIM 3.209.4.0003 INTEGRASI AGAMA ISLAM DENGAN BUDAYA SUNDA (Studi Pada Masyarakat Adat Cikondang Desa Lamajang Kecamatan Pangalengan Kabupaten Bandung) Integration of Islam into Sundanese Culture (A Study in the Traditional Society of Cikondang, Lamajang Village, Pangalengan Subdistrict, the Regency of Bandung) اﻹﺗﺤﺎد ﺑﯿﻦ اﻻﺳﻼم واﻟﺜﻘﺎﻓﺔ اﻟﺴﻮﻧﺪوﯾﺔ دراﺳﺔ ﻋﻠﻲ ﻋﺮف ﻣﺠﺘﻤﻊ ﺛﯿﻜﻮﻧﺪاﻧﺞ ﻓﻲ ﻗﺮﯾﺔ ﻻﻣﺎﺟﺎﻧﻎ ﻓﺎﻧﺠﺎﻟﯿﻨﺠﺎن اﻟﻤﺤﺎﻓﻈﺔ ﺑﺎﻧﺪوﻧﺞ Tim Promotor: Prof. Dr.H. Dadang Kahmad, M.Si Prof. Dr.H. Afif Muhammad, MA Prof. Dr. H. Abdul Rozak, M.Ag PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG 1434 H / 2013 M 2 Integrasi Agama Islam dengan Budaya Sunda (Studi pada Masyarakat Adat Cikondang Desa Lamajang Kecamatan Pangelangan Kabupaten Bandung) A. Permasalahan Masyarakat Cikondang dikenal sebagai etnis Sunda yang dikategorikan sebagai komunitas adat, dan seluruhnya beragama Islam. Identifikasi ini bisa saja berhubungan dengan berbagai ungkapan yang menyebutkan pola hubungan Islam dengan budaya Sunda yang begitu dekat, seperti ungkapan “Islam teh Sunda, Sunda teh Islam”1(Islam itu Sunda dan Sunda itu Islam) atau “Urang Sunda mah geus Islam samemeh Islam”2(Orang Sunda sudah Islam sebelum Islam masuk ke wilayah Tatar Sunda). 1 Ungkapan Islam teh Sunda, Sunda teh Islam, disampaikan pertama kali oleh Endang Saefudin Anshori pada tahun 1967. Menurut Ajip Rosidi ungkapan tersebut merupakan strategi kebudayaan dalam upaya membendung gerak paham komunis yang mulai merajalela di tengah-tengah masyarakat Sunda. Periksa Agus Ahmad Safei,”Fenomena Kultural Islam-Sunda” dalam Cik Hasan Bisri, dkk. Pergumulan Islam Dengan Kebudayaan Lokal di Tatar Sunda. Cetakan Ke-1. Bandung: Kaki Langit. 2005, h. 139. 2 Urang Sunda mah geus Islam samemeh Islam, diungkapkan oleh Penghulu K.H. Hasan Mustofa dalam menafsirkan al-Qur`an pada ayat-ayat awal suarat Al-Baqoroh. “Islam” yang pertama adalah Islam lawas, yakni Islam yang dibawakan oleh Nabi dan Rasul sejak Nabi Adam, a.s yakni agama tauhid. Sedangkan Islam ayeuna yakni Islam yang dibawakan oleh Nabi Muhammad saw. Dengan demikian, orang Sunda yang keluar dari agama Islam sama dengan keluar dari lingkungan budaya Sunda. Periksa Juhaya S. Praja, “Hukum Islam dalam Tradisi dan Budaya Masyarakat Sunda”, dalam Cik Hasan Bisri, dkk., Op. Cit. h. 131. 3 Apabila dicermati secara seksama, maka ada yang menarik dari bentuk ungkapan tersebut, yaitu terjalinnya hubungan agama Islam dengan budaya Sunda yang harmonis yang menunjukan adanya hubungan dalam bentuk integrasi. Fenomena tersebut menunjukan bahwa agama dan kebudayaan ada secara bersamaan pada suatu masyarakat. Tentu keberadaannya tidak bisa dipahami secara sepihak, tetapi harus dipahami secara utuh terhadap adanya proses dialektik agama dengan kebudayaan pada masyarakat itu sendiri, serta adanya unsur-unsur yang saling berhubungan secara fungsional . Agama dan kebudayaan merupakan dua hal yang bisa ditemukan keberadaan fungsinya pada masyarakat. Oleh karena itu, ketika berbicara agama dan kebudayaan, bisa melihat aplikasi fungsinya dalam wujud system budaya dan juga dalam bentuk tradisi ritual atau upacara keagamaan yang nyata-nyata bisa mengandung nilai agama dan kebudayaan secara bersamaan. Berbicara agama Islam dengan kebudayaan, tentu merupakan pembahasan yang menarik. Dimana Islam sebagai agama universal merupakan rahmat bagi semesta alam dan dalam kehadirannya di muka bumi, Islam berbaur dengan budaya lokal suatu masyarakat (local culture), sehingga antara Islam dengan budaya lokal tidak bisa dipisahkan, melainkan keduanya merupakan bagian yang saling mendukung dan melengkapi. Islam sebagai agama yang diturunkan oleh Allah Swt. untuk semua umat manusia telah memainkan peranannya di dalam mengisi kehidupan umat manusia di muka bumi ini. Kehadiran Islam di tengah-tengah masyarakat yang sudah memiliki kebudayaan tersendiri, ternyata membuat Islam dengan kebudayaan mengalami proses dialektik yang dapat membentuk pola interelasi yang beragam dan terwujud 4 kedalam tradisi ritual atau upacara keagamaan yang beragam pula. Namun demikian, al-Quran dan as-Sunah sebagai sumber ajaran Islam tetap menjadi ujung tombak di dalam suatu masyarakat muslim, sehingga Islam begitu identik dengan keberagaman. al-Qur`an sebagai wahyu Allah, dalam pandangan dan keyakinan umat Islam adalah sumber kebenaran dan mutlak benarnya. Meskipun demikian, kebenaran mutlak itu tidak akan tampak manakala al-Quran tidak berinteraksi dengan realitas sosial, atau menurut Qurasih Shihab, dibumikan: dibaca, dipahami, dan diamalkan. Ketika kebenaran mutlak itu disikapi oleh para pemeluknya dengan latar belakang kultural atau tingkat pengetahuan yang berbeda,maka akan muncul kebenaran-kebenaran parsial, sehingga kebenaran mutlak tetap miliki Tuhan.3 Kebenaran dalam Islam bersumber dari Allah, sedangkan kebenaran parsial hadir pada realitas sosial suatu masyarakat yang kebenarannya akan relatif. Akan tetapi Islam tetap menghargai kebenaran yang ada dalam suatu masyarakat, termasuk keberagaman kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat etnik Sunda. Quraish Shihab dalam satu Kata Pengantar sebuah buku, mengatakan bahwa berdasarkan analisis M.B. Hooker, Robert Hefner, John L. Esposito dan William Liddle, keberadaan Islam di Nusantara bercorak sangat spesifik dimana ekspresinya secara intelektual, kultural, sosial, dan politik bisa jadi dan kenyataannya memang berbeda dengan ekspresi Islam yang berada dibelahan dunia yang lain. Islam Indonesia merupakan perumusan Islam dalam konteks sosiobudaya bangsa yang berbeda dengan pusat-pusat Islam di 3 Lihat Dadang Kahmad, Sosiologi Agama. Bandung: Rosdakarya, 2000, h.172. 5 Timur Tengah. Kenyataan ini bukanlah peristiwa baru, melainkan berlangsung semenjak awal masuknya agama yang diserukan Muhammad ini ke bumi Nusantara.4 Senada dengan pernyataan Quraish Shihab, Richard Bulliet pernah menyatakan hipotesisnya bahwa “Sekarang waktunya untuk melihat Islam dari jendela Jakarta, Kuala Lumpur, atau Teheran, bukan lagi dari jendela Bagdhad, Damaskus atau Kairo.5 Memperhatikan dua pernyataan tersebut, secara substansi tidak jauh berbeda, maka timbul suatu fakta sosial bahwa keberadaan Islam dan umat Muslim di bumi Nusantara telah menjadi “ikon” yang memiliki kelebihan yang sangat unik dan spesifik bila dibandingkan dengan Islam dan umat Muslim di belahan Negara lainnya. Kemudian, hal ini telah menjadikan Islam di Nusantara menjadi kajian para Islamisis (orientalis) yang melihat adanya perkembangan serta pengaruh yang cukup signifikan dalam kesejarahan Islam di Nusantara ini. Variasi Islam dengan kebudayaan lokal di Indonesia sudah menjadi fenomena yang tidak bisa dihindari. Dimana Islam sebagai ajaran keagamaan yang lengkap, memberi tempat pada dua jenis penghayatan keagamaan, Pertama, 4 M. Qurasih Shihab, “Era Baru, Fatwa Baru” Kata Pengantar dalam M.B. Hooker, Islam Mazhab Indonesia: Fatwa-Fatwa dan Perubahan Sosial. Cet. Pertama Jakarta: Teraju, 2002, h.18. 5 Richard Bulliet adalah Guru Besar Columbia University, New York. Pernyataan ini diperoleh dalam endorsement pada buku Menjadi Indonesia: 13 Abad Eksistensi Islam di Bumi Nusantara, sebuah karya yang menyajikan tentang keberadaan Islam di Nusantara dari pelbagai perspektif dan melibatkan cendikiawan-cendikiawan terbaik Indonesia. Karya ini dieditori oleh Komarudin Hidayat dan Ahmad Gaus AF, dan diterbitkan oleh Mizan Media Utama (Mizan Pustaka). 6 eksoterik (zhahiri), yaitu penghayatan keagamaan yang berorientasi pada formalitas atau pada norma-norma dan aturan-aturan agama yang ketat. Kedua, esoterik (batini), yaitu penghayatan keagamaan yang berorientasi dan menitikberatkan pada inti keberagamaan dan tujuan beragama. Tekanan yang berlebihan kepada salah satu dari dua aspek penghayatan itu akan menghasilkan kepincangan yang menyalahi ekuibirium (tawazun) dalam Islam.6 Penafsiran terhadap hubungan Islam dengan kebudayaan lokal pada masyarakat tertentu. Ternyata dalam proses penghayatan terhadap ajaran Islam sendiri bisa ditafsirkan sangat beragam, sesuai dengan tingkat pengetahuan dari masyarakat tersebut. Ketika Islam diposisikan sebagai sesuatu yang kecil, di sisi lain budaya lokalnya diposisikan sebagai sesuatu yang besar, atau sebaliknnya, sehingga bentuk hubungan Islam dengan kebudayaan lokal akan berwujud kepada pola tertentu sesuai dengan kondisi sosial suatu masyarakat. Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, fokus penelitian ini adalah untuk mengungkap model integrasi Islam dengan budaya Sunda pada masyarakat adat Cikondang Desa Lamajang Kecamatan Pangalengan Kabupaten Bandung. B. Identifikasi dan Rumusan Masalah Hubungan agama dengan kebudayaan pada suatu masyarakat akan senantiasa terjadi dalam berbagai pola. Pola hubungan yang dihasilkan akan bermacam-macam sesuai dengan objek penelitiannya. Sebagaimana halnya yang terjadi 6 Dadang Kahmad, Sosiologi Agama, Bandung: Rosdakarya, 2000, h. 200. 7 pada masyarakat adat Cikondang, dimana ada kecenderungan hubungannya dalam bentuk integrasi dalam pola tertentu. Fokus masalah penelitian ini adalah model integrasi Islam dengan budaya Sunda pada masyarakat adat Cikondang. Adapun identifikasi masalah dapat dimunculkan sebagai berikut: Pertama, sebuah masyarakat muncul melalui proses panjang, begitu pun yang terjadi pada masyarakat adat Cikondang. Tentu, memiliki sejarah panjang dalam proses pembentukannya sebagai sebuah masyarakat yang masih berpegang teguh pada tradisi nenek moyangnya sehingga dikategorikan sebagai masyarakat adat. Kedua, masyarakat dalam kehadirannya memiliki perangkat yang mendukungnya, diantaranya adalah agama dan kebudayaan. Hubungan manusia, masyarakat, agama, dan kebudayaan, terjadi melalui sebuah proses dialektik. Ketiga, masyarakat adat Cikondang dikategorikan sebagai masyarakat Sunda yang seluruhnya beragama Islam. Identifikasi ini bisa saja berhubungan dengan berbagai ungkapan yang menyebutkan pola hubungan Islam dengan budaya Sunda yang begitu dekat, seperti ungkapan “Islam teh Sunda, Sunda teh Islam” (Islam itu Sunda dan Sunda itu Islam) atau “Urang Sunda mah geus Islam samemeh Islam” (Orang Sunda sudah Islam sebelum Islam masuk ke wilayah Tatar Sunda). Keempat, ada kecenderungan bahwa pola hubungan yang terjadi antara Islam dengan Budaya Sunda pada masyarakat adat Cikondang adalah hubungan dalam bentuk Integrasi dalam pola tertentu yang harus diteliti lebih lanjut dan mendalam berdasar pada kearifan lokal masyarakat Sunda Cikondang. Berdasarkan latar belakang masalah dan identifikasi masalah tersebut, maka diajukan pertanyaan penelitian sebagai berikut: 8 1. Bagaimana proses terjadinya integrasi Islam dengan budaya Sunda pada masyarakat adat Cikondang? 2. Bagaimana bentuk kebudayaan hasil integrasi agama Islam dengan budaya Sunda pada masyarakat adat Cikondang? 3. Bagaimana model integrasi Islam dengan budaya Sunda pada masyarakat adat Cikondang? C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi dan menggali serta mengetahui: 1. Proses terjadinya integrasi Islam dengan budaya Sunda pada Masyarakat Adat Cikondang. 2. Bentuk kebudayaan hasil integrasi Islam dengan budaya Sunda pada Masyarakat Adat Cikondang. 3. Model integrasi agama Islam dengan budaya Sunda pada Masyarakat Adat Cikondang. Adapun kegunaan penelitian secara akademik. Pertama, penelitian ini diharapkan dapat menambah dan memperkaya pengetahuan terkait penggunaan teori-teori pada ranah Sosiologi Agama dan Antropologi Agama serta penguatan terhadap Mata Kuliah Studi Budaya Lokal/Studi Masyarakat Lokal. Kedua, dapat menemukan formulasi baru tentang pola hubungan agama dengan kebudayaan pada suatu masyarakat. Ketiga, membuka penelitian lanjutan tentang pola hubungan agama dengan kebudayaan pada masyarakat multikultural dan lainnya. Kegunaan Praktis. Pertama, membantu insan akademik untuk melakukan penelitian serupa dengan objek kajian yang berbeda. Kedua, membantu masyarakat adat Cikondang dalam memperkenalkan tradisi lokalnya serta memperkokoh identitasnya. Ketiga, membantu Pemerintah dalam upaya 9 mensosialisasikan program pembangunan dan menerapkan kebijakan yang berbasis pada kearifan lokal. D. Kerangka Berfikir Penelitian ini berangkat dari adanya hubungan agama dengan kebudayaan pada suatu masyarakat. Hubungan agama dengan kebudayaan terjadi secara berkesinambungan dan dalam waktu yang lama, sehingga hasil dari adanya hubungan agama dengan kebudayaan akan menghasilkan suatu pola hubungan yang berlainan, tergantung dari objek masyarakat yang diteliti. Perbedaan terhadap pola hubungan yang terjadi disesuaikan dengan kondisi sosial masyarakat, serta faktor lingkungan dimana masyarakat tersebut tinggal. Kajian tentang kearifan lokal sendiri sebenarnya tidak terlepas dari persoalan agama dan kebudayaan yang tumbuh pada suatu masyarakat. Evans Pritchard menegaskan, tak ada masyarakat yang dapat hidup tanpa sesuatu seperti sains dan sesuatu seperti agama, semua kebudayaan selalu membutuhkan konsepsi pikiran dari sains dan “construct of heart” dari agama. Seorang sarjana tanpa komitmen agama tidak akan berhasil dalam usaha menteoritisasikan agama, karena ia akan jatuh pada reduksionisme.7 Agama dalam kedudukannya sebagai sistem budaya sebenarnya adalah bagian dari kebudayaan, karena kebudayaan itu memiliki tiga wujud, yakni: sistem budaya, sistem sosial dan kebudayaan fisik (artefak). Agama sebagai sistem budaya sangat bisa berbeda dengan agama sebagai doktrin yang tertulis dalam kitab-kitab suci karena ia 7 Lihat. E.E. Evans Pritchard, “’Construct of Herat’Masyarakat”, dalam Daniel L. Pals, Seven Theories of Religion,Alih Bahasa Ali Noer Zaman, Peny Ruslani, Yogyakarta: Qalam, 2001, h. 378. 10 mengalami interelasi dialektis dengan kebudayaan dan masyarakatnya. Jika agama telah menjadi bagian dari kebudayaan maka menurut Geertz, ia secara sosial adalah konteks makna yang dipahami bersama, terdiri atas struktur arti yang mapan, dimana orang-orang melakukan hal-hal semacam itu sebagai konspirasi yang jelas untuk bergabung didalamnya, merasakan penghinaan bersama dan 8 menjawabnya bersama. Dalam konteks ini, maka hubungan Islam dengan kebudayaan Sunda sama halnya dengan hubungan Islam dengan kebudayaan Jawa atau agama lokal lainnya adalah agama dalam kedudukannya sebagai sistem budaya yang menjadi world view masyarakatanya. Diakui atau tidak, ia terus hidup dan berkembang dalam masyarakat seiring dengan dinamika sosial dan kulturual. Kemudian perlu dijelaskan bahwa bagaimana sebenarnya proses terjadinya agama lokal atau sistem kultural itu dalam realitas sosial. Salah satu usaha untuk mendekati masalah ini adalah melalui analisis konstruksi sosial, di mana realitas sosial dipandang sebagai diciptakan oleh individu. Individu adalah manusia bebas yang melakukan hubungan antar manusia satu dengan yang lain. Individu menjadi penentu dalam dunia sosial yang dikonstruksi berdasarkan kehendaknya. Individu bukanlah korban fakta sosial, namun sebagai mesin produksi sekaligus reproduksi yang kreatif dalam mengkonstruksi dunia sosialnya.9Namun, kehendak individu sendiri tentunya tidak mungkin terlepas sepenuhnya dari sistem keyakinan dari ajaran agama yang dianutnya. Perilaku individu dan sosial digerakkan oleh kekuatan dari 8 Ibid, h. 409 Basrowi & Sukidin, Metode Penelitian Kualitatif: Perspektif Mikro. Cet. I, Surabaya: Insan Cendekia, 2002, h. 194. 9 11 dalam yang didasarkan pada nilai-nilai ajaran agama yang telah menginternalisasi sebelumnya. 10 Peter L.Peter Berger11 mengungkapkan, eksistensi manusia itu pada pokoknya dan pada akhirnya adalah aktivitas yang mengeksternalisasi. 12Selama eksternalisasi tersebut manusia mencurahkan makna ke dalam realitas. Agama, dalam hal ini agama sebagai fakta sosial, merupakan jangkauan terjauh dari ekstrenalisasi diri manusia, dari peresapan makna-maknanya sendiri ke dalam realitas. Agama berarti, bahwa tatanan manusia itu diproyeksikan ke dalam totalitas kedirian. Dengan kata lain, agama adalah usaha berani untuk membayangkan adanya keseluruhan semesta sebagai bernilai manusiawi. Karena itu agama memainkan 10 Dadang Kahmad, Sosiologi Agama, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000, h. 53. Adapun internalisasi adalah proses panjang seorang individu sejak ia dilahirkan sampai hampir meninggal, di mana ia belajar menanamkan dalam kepribadiannya segala perasaan, hasrat, nafsu, serta emosi yang diperlukan dalam hidupnya. Lihat, Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, cetakan kedelapan, Jakarta: Rineka Cipta, 1990, h. 228. 11 Peter L. Berger adalah tokoh yang mencetuskan teori konstruksi sosial bersama rekannya Thomas Luckman, 1990. dalam bukunya, The Sosial Construction of Reality: A Treatise in the Sociology of Knowledge. 12 Dalam konsepsi Peter L. Berger, istilah eksternalisasi dimaksudkan sebagai salah satu dari 3 momentum dari proses dialektika fundamental masyarakat. 2 momentum lainnya adalah objektifikasi dan internalisasi. Istilah eksternalisasi sendiri dimaksudkan sebagai suatu pencurahan kedirian manusia secara terus menerus ke dalam dunia, baik dalam aktifitas fisik maupun mentalnya. Periksa, Peter L. Berger, The Sacred Canopy, (Alih Bahasa Hartono), Jakarta: LP3ES, 1990, h. 34-35. 12 peranan sangat strategis dalam usaha manusia membangun dunia. Dalam kerangka penelitian ini, agama dimaksudkan sebagai makna-makna tertinggi yang dicapai oleh puncak eksternalisasi manusia dan menyerap dalam realitas. Agama dalam perspektif ini lebih dekat pada fakta sosial “yang hidup” di masyarakat daripada sekedar konsep-konsep “yang mati”, lebih dekat pada aspek “praktis” ketimbang “teoritis”. Maka dengan konsep ini bisa dijelaskan bagaimana hubungan Islam dengan kebudayaan Sunda bisa terbangun sebagai suatu sistem kultural pada masyarakat Sunda. Berdasarkan kerangka pemikiran di atas, kajian tentang integrasi Islam dengan budaya Sunda bisa menjadi sebuah kenyataan. Apalagi banyak penulis yang menyebutkan bahwa Islam dengan Sunda ibarat gula dengan manisnya (jiga gula jeung peueutna), karena dalam kenyataannya perkembangan Islam di tatar Sunda sealur dengan local genium masyarakat Sunda itu sendiri. Dalam perkembangannya, Islam lebih mudah berinteraksi dengan sistem nilai yang berlaku saat itu. Karena ciri khas dari agama ini adalah memberikan kebudayaannya berkembang sesuai dinamika (hands off).13 Islam-Sunda atau Sunda-Islam dapat dikatakan “dua-duaning atunggal” dan sepertinya sudah sangat kental satu sama lainnya, sebab dalam beberapa hal ajaran-ajaran atau adat istiadat Sunda adalah juga ajaran Islam. 14 13 Itoc Tochija, dalam pengantar Pergumulan Islam dengan Kebudayaan Lokal di Tatar Sunda, Bandung: Kaki Langit, 2005, h. ix. 14 Tata Gautama Suryaman, dalam pengantar Pergumulan Islam dengan Kebudayaan Lokal di Tatar Sunda, Bandung: Kaki Langit, 2005, h. xii. 13 Terdapat dua asumsi, minimalnya yang menyebabkan Islam dengan mudah menjadi bagian dari kehidupan orang Sunda. Pertama, Islam yang datang dan diterima oleh masyarakat Sunda merupakan sebentuk ajaran yang mudah dicerna dan dipahami sesederhana karakter budaya orang Sunda itu sendiri. Kedua, kebudayaan yang membungkus ajaran Islam tersebut merupakan kebudayaan yang mudah bersinergis dengan budaya Sunda. Oleh karena itu, ketika proses Islamisasi di Tata Sunda Islam menyebar dengan mudah, maka Islam secara tidak langsung membentuk jati diri kesundaan orang sunda terintegralkan secara natural dalam perilaku keseharian sekaligus menjadi identitas permanen orang Sunda.15 Dua asumsi yang disampaikan ini, tentu bisa menjadi benar dan juga bisa menjadi tidak benar. Oleh karena itu, perlu diadakan penelitian terhadap kebenaran dua asumsi tersebut, dengan berusaha mengungkapnya pada masyarakat adat Cikondang yang memiliki kategori sebagai masyarakat Sunda seluruhnya beragama Islam. 16 E. Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan antropologi dan sosiologi. Studi kualitatif yang dimaksud ini pun dibangun atas landasan multidisipliner 15 Dadang Kahmad, “Agama Islam dan Budaya Sunda”, dalam Ajip Rosidi, Edi S. Ekajati dan A. Chaedar Alwasilah (Penyunting). Konferensi Internasional Budaya Sunda Jilid I, cetakan kesatu, Bandung: Kiblat Buku Utama, 2006, h. 322. 16 Makna seluruhnya beragama Islam, berarti seluruh penduduknya memeluk agama Islam, walaupun Islam yang dianut oleh masyarakat Cikondang memiliki variasi yang beragam, sesuai tingkat pengetahuan dan pemahaman dari masyarakatnya. 14 yang bertitik tolak pada pendekatan antropologi dan sosiologi yang diterapkan untuk memberikan jawaban terhadap permasalahan yang dikemukakan. Penerapan ini dilakukan untuk menjangkau berbagai aspek, tidak hanya satu aspek saja, sehingga hasilnya menjadi sebuah kesimpulan yang komprehensif dan terintegral. Penggunaan pendekatan antropologi adalah karena masyarakat adat Cikondang memiliki kearifan lokal yang masih dilaksanakan dan dipertahankan, sedangkan pendekatan sosiologi adalah karena masyarakat adat Cikondang merupakan salah satu masyarakat adat di Jawa Barat yang seluruhnya beragama Islam. 17. F. Teori yang Digunakan Teori yang pakai untuk menganalisis integrasi Islam dengan budaya Sunda. Pertama, teori struktur fungsional, yang dikembangkan oleh Parsons, dan Merton. Parsons dalam kerangka struktur fungsionalnya menjelaskan bahwa masyarakat dapat dianggap sebagai suatu organisme yang hidup. Bagian-bagian dari organisme itu, khususnya mereka yang terdiri dari sistem-sistem yang terlembagakan dalam peran-peran tertentu disebut sebagai struktur, bekerjasama secara erat satu dengan yang lain. Kedua, teori konstruksi sosial.Secara komprehensif Peter L. Berger, menyebutkan bahwa hubungan manusia dengan masyarakat dan kebudayaannya dapat dilihat sebagai proses dialektik yang terdiri dari tiga momentum: eksternalisasi, objektivikasi, dan internalisasi. 17 Judistira K. Garna, telaah terhadap naskah disertasi, Jum`at, 4 Januari 2013. 15 G. Temuan Penelitian Hasil penelitian terkait integrasi agama Islam dengan budaya Sunda pada masyarakat adat Cikondang Desa Lamajang Kecamatan Pangelangan Kabupaten Bandung. Pertama, proses terjadinya integrasi Islam dengan budaya Sunda pada masyarakat adat Cikondang terjadi karena masing-masing struktur yang ada mengalami proses A-G-I-L, sehingga setiap struktur berfungsi secara fungsional. Proses integrasi agama Islam dengan budaya Sunda, terjadi juga melalui proses dialektika sosial. Dimana melalui proses dialektika sosial masing-masing unsur yang saling berhubungan mengalami proses eksternalisasi, internalisasi, dan objektivikasi. Pada momentum eksternalisasi ada kecenderungan terjadinya interaksi awal antara manusia Cikondang dengan berbagai kebudayaan. Pada momentum ini manusia awal Cikondang dianggap sebagai individu yang berusaha untuk menciptakan masyarakat sebagai wadah aktifitasnya, kemudian terbentuklah masyarakat adat Cikondang yang kemudian menciptakan berbagai kebudayaan sebagai alat untuk mempertahankan keberlangsungan hidup dengan ragam bentuknya. Pada momentum eksternalisasi, hubungan agama Islam dengan budaya Sunda pada masyarakat adat Cikondang bisa dilihat dalam pandangan hidup (termuat dalam ungkapan tradisional, naskah, uga) dan aktifitas ritual keagamaan yang diciptakannya. Salah satu konsep pandangan hidup yang dikenal pada masyarakat adat Cikondang, tergambar dalam ungkapan silih asih, silih asah dan silih asuh. Kemudian dalam ritual keagamaan terlihat pada tradisi wuku taun, tradisi ruat lembur, ruat bumi, ruat solokan, ruat hajat, tradisi wuku taun, tradisi ruat lembur, ruat bumi, ruat solokan, ruat hajat, tingkeban mengandung 16 tujuh bulan, empat puluh hari dari melahirkan, khitanan dan gusaran, hotaman, perkawinan, dan tradisi kematian. Tradisi ritual keagamaan tersebut, merupakan bentuk kebudayaan hasil integrasi agama Islam dengan budaya Sunda yang diciptakan dan dilaksanakan oleh masyarakat adat Cikondang dalam menyambut setiap moment kehidupan yang dialaminya. Makna yang terdapat pada setiap tradisi tersebut, pada hakikatnya merupakan media ungkapan rasa syukur kepada Allah Swt. yang telah melimpahkan segala rezeki dan karunia-Nya. Kemudian hubungan antara masyarakat Cikondang dengan agama Islam dalam momentum internalisasi, mengalami kecenderungan bahwa masyarakat Cikondang dipengaruhi oleh agama Islam, sehingga terjadilah proses integrasi agama Islam dengan masyarakat Cikondang dalam bentuk sinkretik dan akulturatif. Hubungan masyarakat Cikondang dengan agama Islam pada momentum objektivikasi, mengalami kecenderungan bahwa masing-masing dari unsur yang saling berinteraksi memposisikan dirinya sebagai realitas sosial yang saling berhadap-hadapan dan tidak saling memberi pengaruh. Artinya, masyarakat sebagai realitas sosial dan juga agama Islam sebagai realitas sosial eksis secara masingmasing. Dalam konteks ini antara agama Islam dengan budaya Sunda pada masyarakat Cikondang tidak saling berbaur. Misalkan dalam pelaksanaan sholat wajib lima waktu, sholat dilaksanakan sesuai dengan syariat agama Islam tidak dibaurkan dengan budaya Sunda. Kedua, berdasarkan analisis teori struktur fungsional dan teori dialektika sosial, maka kebudayaan hasil integrasi agama Islam dengan budaya Sunda bisa dilihat pada konsep pandangan hidup (termuat dalam ungkapan tradisional, naskah, uga), tradisi wuku taun, tradisi ruat lembur, ruat 17 bumi, ruat solokan, ruat hajat, tingkeban mengandung tujuh bulan,melahirkan, empat puluh hari dari melahirkan, khitanan dan gusaran, hotaman, perkawinan, dan tradisi kematian. Kebudayaan hasil integrasi tersebut, dilaksanakan dan dilestarikan oleh masyarakat adat Cikondang sampai saat ini. Walaupun dalam prakteknya tidak semua tradisi tersebut dilaksanakan secara rutin. Terjadinya proses dialektik agama Islam dengan budaya Sunda pada masyarakat adat Cikondang sudah berjalan cukup lama, maka kemungkinan untuk kuatnya agama Islam berbaur dengan budaya Sunda, tidak bisa dihindari dan sudah menjadi perjalanan sejarah yang dilalui. Ketiga, masyarakat Cikondang dikategorikan sebagai komunitas masyarakat adat, karena sampai saat ini masih berpegang teguh terhadap tradisi leluhurnya dan seluruhnya beragama Islam. Artinya disini terjadi integrasi Islam dengan budaya Sunda dalam pola-pola tertentu. Setelah dilakukan pengkajian secara mendalam, maka pola integrasi sinkretik cenderung pada masyarakat yang masih berpegang teguh terhadap tradisi leluhurnya (Cikondang dalam), sehingga pemahaman keagamaan mereka dikategorikan tradisional dengan sebutan Islam sinkretik. Sedangkan pola integrasi akulturatif cenderung pada masyarakat yang tidak terikat dengan tradisi leluhur (Cikondang luar), sehingga pemahaman keagamaan mereka dikategorikan modern dengan sebutan Islam akulturatif. Hasil penelitian ini menguatkan teori yang dikembangkan oleh Clifford Geerzt (1960), Andrew Beaty (1999) yang mengkategorikan hubungan agama Islam dengan budaya Jawa sebagai sinkretik dan menguatkan teori Mark R. Woodward (1989) yang mengkategorikan hubungan agama Islam dengan budaya Jawa sebagai akulturatif. Selanjutnya, berdasarkan analisis terhadap munculnya integrasi sinkretik 18 dan akulturatif pada beberapa ritual keagamaan masyarakat adat Cikondang, menunjukan adanya pendekatan agama Islam terhadap budaya Sunda yang lebih akomodatif atau dengan istilah lain Islam akomodatif. Dalam kaitan ini pula, peneliti sependapat terhadap berkembangnya wacana yang menyebutkan bahwa Islam itu Sunda dan Sunda itu Islam, Islam nu nyunda dan nyunda nu Islam, urang Sunda geus Islam samemeh Islam (Orang Sunda sudah Islam sebelum Islam masuk ke wilayah Tatar Sunda), urang Sunda teu mungkin lamun teu ngageum agama Islam (Orang Sunda tidak mungkin kalau tidak beragama Islam). Pernyataan-pernyataan tersebut tidak hanya wacana, melainkan sudah terbukti ada pada masyarakat adat Cikondang. Hal ini nampak sekali dari sisi kehidupan sosial keagamaan yang dibangun oleh masyarakat adat Cikondang dewasa ini. Terlebih dengan sikap keterbukaan yang dianut oleh masyarakat adat Cikondang sejak awal, semakin menguatkan bahwa Islam bersahaja pada masyarakat adat Cikondang dalam bentuk integrasi sinkretik dan akulturatif. H. Penutup 1. Kesimpulan Berdasarkan hasil temuan penelitian, maka diperoleh kesimpulan sebagai berikut: Pertama, Kehidupan manusia akan eksis apabila menjalankan keterbukaan terhadap berbagai kebudayaan yang masuk atau melintas dalam kehidupannya. Artinya, bertahannya kehidupan suatu masyarakat sangat tergantung dari keterbukaan masyarakat itu sendiri dalam menghadapi berbagai kebudayaan luar atau asing yang dihadapinya. Kenyataan tersebut menunjukan bahwa masyarakat tidak berdiri tegak di atas salah satu kebudayaan, melainkan berdiri 19 diatas penggunaan beragam kebudayaan hasil internalisasi yang dialaminya. Kedua, proses integrasi terjadi, dikarenakan terjalin hubungan yang erat dan fungsional antara semua unsur yang ada, serta melalui proses dialektik antara agama Islam dengan budaya Sunda dalam berbagai ritual keagamaan yang terdapat pada masyarakat adat Cikondang. Hasil integrasi agama Islam dengan budaya Sunda terungkap dalam konsep pandangan hidup, ritual wuku taun dan ritual keagamaan lainnya. Adapun pola hubungan integrasi agama Islam dengan budaya Sunda pada masyarakat adat Cikondang adalah dalam bentuk integrasi sinkretik dan akulturatif, sehingga penelitian ini menguatkan teori sinkretiknya Clifford Geertz (1960), Andrew Beaty (1999) dan teori akulturatifnya Mark R Woodward (1989). Kedua, fenomena hubungan integrasi sinkretik dan akulturatif Islam dengan budaya Sunda, menjadi salah satu bukti bahwa eksistensi sebuah masyarakat mengakar pada dua atau lebih kebudayaan. Perlu dicerna dan dipahami bahwa Islam sebagai agama rahmatan lil `alamiin hadir di tengah-tengah masyarakat yang sudah sejak awal memiliki kebudayaan tersendiri. Sehingga tidak lantas kemudian agama Islam memberangus keberadaan budaya lokal yang dijumpainya. Sikap yang mungkin elegan adalah melihat sisi positif dari proses dialektik agama Islam dengan beragam kebudayaan lokal sebagai sebuah kenyataan sejarah. 2. Saran Ada beberapa ikhtiar atau jalan yang mungkin bisa menjadi bahan pertimbangan, baik itu oleh masyarakat, ormas, para pemuka agama, maupun pemerintah dalam 20 melihat fenomena hubungan agama Islam dengan budaya Sunda. Pertama, adanya pengakuan terhadap perbedaan. Hal ini harus dipahami bersama bahwa perbedaan adalah sudah menjadi hukum alam yang tidak bisa ditawar-tawar lagi, sehingga ketika melihat perbedaan pada diri seseorang, pada masyarakat, maka munculkanlah sikap positif untuk merespon perbedaan itu sebagai sebuah kenyataan hidup. Kedua, perlu ditanamkan sikap saling menghormati terhadap perbedaan yang dijumpainya. Janganlah kemudian merasa paling benar dan menyalahkan orang lain. Hal ini penting, karena berbagai kebudayaan yang dijumpai terkadang suka dibenturkan dengan keyakinanan keberagamaan yang dipahaminya. Ketika dalam kehidupan masyarakat, dijumpai ada kebudayaan atau ritual keagamaan yang dipahami berbeda dengan keyakinannya, tanpa basa basi menyebutnya bid`ah, bahkan musyrik. Ketiga, keberagaman kebudayaan pada suatu masyarakat adalah sebuah kenyataan hidup, oleh karena itu sikap keterbukaan untuk menerima keberagaman tersebut menjadi salah satu sikap yang elegan untuk menghindari konflik sosial yang dimungkinkan terjadi. Keempat, sikap menerima dan mengakomodir setiap kebudayaan yang berkembang di daerah, akan memudahkan pemerintah dalam merealisasikan tugasnya untuk mensejahterakan rakyat, karena beraneka ragamnya kebudayaan yang dimiliki oleh sebuah daerah bisa menjadi potensi untuk merealisasikan cita-cita pemerintah mewujudkan masyarakat adil dan sejahtera. 21 DAFTAR BACAAN Abdullah, Irwan. 2007. Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan. Cetakan Ke2. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. ------- et al. (eds.). 2008. Agama dan Kearifan Lokal dalam Tantangan Global. Yogyakarta: Sekolah Pascasarjana UGM & Pustaka Pelajar. Adimihardja, Kusnaka. 1983. Kerangka Studi Antropologi Sosial dan Pembangunan, Bandung: Tarsito -------. 2008. Dinamika Budaya Lokal. Bandung: Indra Prahasta & Pusat Kajian LBPB. Alisjahbana, Sutan Takdir. 1986. Antropologi Baru. Jakarta: Dian Rakyat. Basrowi & Sukidin. 2002. Metode Penelitian Kualitatif; Perspektif Mikro. Surabaya: Insan Cendekia. Berger, Peter L. (tt.) The Sacred Canopy. Alih Bahasa Hartono. Jakarta: LP3ES. Bisri, Cik Hasan et al. (eds.). 2005. Pergumulan Islam Dengan Kebudayaan Lokal di Tatar Sunda. Cetakan ke-1. Bandung: Kaki Langit. Connolly, P. (ed.). 1999. Aneka Pendekatan Studi Agama. Alih Bahasa Imam Khoiri. Yogyakarta: LKiS. Garna, Judistira K. 1996. Ilmu-Ilmu Sosial Dasar-Konsep-Posisi. Bandung: Pascasarjana Unpad. 22 Geertz, Clifford. 2001. “Agama sebagai Sistem Budaya”, dalam Daniel L. Pals, Seven Theories of Religion. Alih Bahasa Ali Noer Zaman. Yogyakarta: Qalam Hardjasaputra, A. Sobana 2012. Kearifan Lokal; Kearifan Leluhur Sunda Zaman Kerajaan. Makalah Pada ”Seminar Lokal Peninggalan-peninggalan Kerajaan”. Senin 23 Januari 2012. Bandung: Ruwat Sunda. Hadikusuma, Hilman. 1993. Antropologi Agama. Bagian I. Bandung: Citra Aditya Iskandar, Jusman. 2001. Teori Sosial. Jilid I. Bandung: Program Pascasarjana UIN Sunan Gunung Djati. Kahmad, Dadang. 2000. Metode Penelitian Agama (Perspektif Ilmu Perbandingan Agama). Bandung: Pustaka Setia. -------. 2006. “Agama Islam dan Budaya Sunda”, dalam Ajip Rosidi et al. (Penyunting). Konferensi Internasional Budaya Sunda. Jilid I. Bandung: Kiblat Buku Utama. -------. 2006. Sosiologi Agama. Cetakan Ke-4. Bandung: Remaja Rosdakarya. Kasmahidayat, Yuliawan. 2010. Agama Dalam Transformasi Budaya Nusantara. Bandung: Bintang Warli Artika. Koentjaraningrat. 1990. Pengantar Ilmu Antropologi. Cetakan Ke-8. Jakarta: Rineka Cipta. -------. 2004. 23 Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Cetakan Ke20. Jakarta: Djambatan. Lubis, Nina H. et al. 2003. Sejarah Tatar Sunda. Jilid I. Bandung: Satya Historiko. Pals, Daniel L. 2001. Seven Theories of Religion. Alih Bahasa Ali Noer Zaman. Yogyakarta: Qalam. Praja, Juhaya S. (ed.). 2005. “Hukum Islam dalam Tradisi dan Budaya Masyarakat Sunda”, dalam Pergumulan Islam Dengan Kebudayaan Lokal di Tatar Sunda. Cetakan Ke-1. Bandung: Kaki Langit. Rozak, Abdul. 2005. Teologi Kebatinan Sunda. Bandung: Kiblat Buku Utama. Suryani, Elis. 2010. Ragam Pesona Budaya Sunda. Bandung: Ghalia Indonesia. Syam, Nur. 2004. Islam Pesisir. Yogyakarta: LKiS. 24