kegiatan belajar 2

advertisement
KEGIATAN BELAJAR 2
Pendidikan Musik dalam Perspektif Ki Hajar Dewantara
1. SEKILAS KI HADJAR DEWANTARA
Ki Hajar Dewantara Bapak Pendidikan Nasional ini lahir di Yogyakarta tanggal 2 mei
1889. Terlahir dari lingkungan keluarga keraton Yogyakarta, sesungguhnya ia bernama Raden
Mas Suwardi Soeryaningrat. Ratusan tulisan Ki Hajar Dewantara tentang pendidikan yang
ditulisnya sejak ia mendirikan perguruan taman siswa, merupakan bukti besarnya perhatian dan
keseriusannya terhadap dunia pendidikan. Berkat jasa-jasanya yang besar maka hari
kelahirannya senantiasa diperingati sebagai hari pendidikan nasional.
Kemahirannya dalam menulis
mengantarkannya pada profesi sebagai wartawan di
beberapa surat kabar antara lain Midden Java, De Express, Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda,
Tjahaja Timoer dan Poesara.
Ia berjuang melalui goresan penanya. Salah satu tulisannya
mengkritik dengan pedas pemerintah Belanda yang memungut dana dari negara-negara
jajahannya, untuk memperingati bebasnya Belanda dari jajahan Perancis. Tulisan yang dimuat
surat kabar Ekspres milik dr. Douwes Deker ini, menyebabkan ia dibuang ke Pulau Bangka oleh
pemerintah Belanda.
Persabatannya dengan Douwes Deker (dr. Danudirdja Setyabudhi) dan dr. Cipto
Mangoenkoesoemo diwujudkan dalam sebuah partai politik bernama Indische Partij,
yang
terbentuk tanggal 25 Desember tahun 1912, dan bertujuan mencapai kemerdekaan Indonesia.
Douwes Deker dan Cipto Mangoenkusumo memprotes keputusan pemerintah Belanda yang
memberlakukan hukuman “buang” terhadap Ki Hajar Dewantara. Akibatnya merekapun
diasingkan ke
Kupang dan pulau Banda. Mereka tidak menerima keputusan tersebut dan
meminta agar ketiganya di hukum buang ke negeri Belanda. Pemerintah Belanda mengabulkan
permintaan mereka bertiga, sehingga pada bulan Agustus 1913 mereka dikirim ke Belanda.
Kesempatan ini dimanfaatkan oleh Ki Hajar Dewantara untuk belajar mengenai pendidikan dan
pengajaran, hingga ia memperoleh Europeesche Akte. Tahun 1918 ia kembali ke tanah air dan
mencurahkan perhatian pada dunia pendidikan. Pendidikan digunakan sebagai bagian dari alat
perjuangan untuk meraih kemerdekaan yang dicita-citakannya. Pada tanggal 3 juli 1922 ia
mendirikan perguruan Nasional Taman Siswa. Perguruan ini menekankan pendidikan rasa
kebangsaan kepada peserta didik, agar mereka mencintai bangsa dan tanah air, serta berjuang
untuk memperoleh kemerdekaan.
Bandjar (2004) menjelaskan bahwa gelar kebangsawanan di depan namanya seringkali
membatasi kebebasannya dalam bergerak. Keinginannya yang besar untuk senantiasa merasa
dekat dengan rakyat baik secara batin maupun lahir/fisik, menyebabkan ia memutuskan untuk
mengubah namanya dengan nama Ki Hajar Dewantara, tepat di usianya yang empat puluh tahun.
Nama Hajar Dewantara sendiri memiliki makna sebagai guru yang mengajarkan kebaikan,
keluhuran, keutamaan. Pendidik atau Sang Hajar adalah seseorang yang memiliki kelebihan di
bidang keagamaan dan keimanan, sekaligus masalah-masalah sosial kemasyarakatan.
Analoginya seperti Kyai Semar dalam pewayangan yang menjadi perantara antara Tuhan dan
manusia, guna mewujudkan kehendak Tuhan di dunia ini. Sebagai pendidik yang merupakan
perantara Tuhan maka guru sejati sebenarnya adalah berwatak pandita juga, yaitu mampu
menyampaikan kehendak Tuhan dan membawa keselamatan.
Melalui perubahan nama ia ingin menunjukkan perubahan sikapnya dalam melaksanakan
pendidikan yaitu dari satria pinandita ke pinandita satria, yaitu dari pahlawan yang berwatak
guru spiritual ke guru spiritual yang berjiwa ksatria. Guru Spiritual yang berjiwa satria adalah
guru yang mempersiapkan diri dan peserta didik untuk melindungi bangsa dan negara. Bagi Ki
Hajar Dewantara, para guru hendaknya menjadi pribadi yang bermutu dalam kepribadian dan
kerohanian, baru kemudian menyediakan diri untuk menjadi pahlawan dan juga menyiapkan para
peserta didik untuk menjadi pembela nusa dan bangsa. Dengan kata lain, yang diutamakan
sebagai pendidik pertama-tama adalah fungsinya sebagai model atau figure keteladanan, baru
kemudian sebagai fasilitator atau pengajar.
Perjuangan panjang untuk meraih kemerdekaan melalui jalur pendidikan, terus
dijalaninya dengan penuh semangat, hingga akhirnya Indonesia merdeka. Presiden Soekarno
mempercayainya sebagai menteri pendidikan Indonesia, dengan demikian ia merupakan menteri
pendidikan Indonesia yang pertama. Tahun 1957 ia memperoleh gelar Dr. Honoris Causa dari
Universitas Gadjah Mada, dan dua tahun kemudian ia menghembuskan nafas terakhirnya. Ki
Hajar Dewantara adalah pahlawan pendidikan dan pahlawan pergerakan nasional.
2. PANDANGAN KI HADJAR DEWANTARA TENTANG PENDIDIKAN MUSIK
Pada kegiatan belajar satu dijelaskan bahwa ruang lingkup filsafat pendidikan musik
mencakup pemahaman tentang kealamiahan atau sifat dasar dan pemaknaan pendidikan musik.
Selain itu dijelaskan pula bahwa filsafat pendidikan musik sebagai upaya kritis untuk meninjau
kembali konsep dan keyakinan–keyakinan tentang pendidikan musik, memiliki fungsi untuk
memberikan arah dan petunjuk bagi pelaksanaan pendidikan musik. Hal-hal ini akan menjadi
dasar dalam pembahasan berikut berkaitan dengan pemikiran Ki Hajar Dewantara tentang
pendidikan musik.
a. Sifat Dasar dan Makna Musik Menurut Ki Hajar Dewantara
Pembahasan mengenai sifat musik, akan berkaitan dengan pengertian-pengertian seni
dalam kehidupan manusia, karena musik merupakan salah satu cabang seni. Menurut Ki Hajar
Dewantara seni yaitu segala perbuatan manusia yang timbul dari hidupnya perasaan dan sifat
indah, hingga dapat menggerakkan jiwa/perasaan manusia.
Perasaan
dan sifat
indah
Perbuatan Manusia
Menggerakkan
jiwa dan
Seni
perasaan
manusia
Diagram di atas menjelaskan seni merupakan perbuatan manusia. Manusia memiliki derajat yang
lebih tinggi dibandingkan binatang atau mahluk lainnya, karena manusia adalah mahluk yang
beradab dan berbudaya. Beradab berarti gerak raga dan gerak jiwanya menunjukkan sifat halus
dan luhur. Berbudaya berarti sanggup dan mampu mencipta segala sesuatu yang mengandung
corak keluhuran dan keindahan. Seni timbul dari jiwa manusia yang berbudi luhur, karena proses
terjadinya seni melibatkan rasa keindahan, pemikiran yang diperhalus oleh rasa kemanusiaan,
dan rasa moral/etika. Terolahnya rasa keindahan, pemikiran dan rasa etika/moral saat seseorang
berkesenian, menuntunnya untuk menjadi manusia yang berbudi luhur.
Semua jenis seni termasuk musik, memiliki sifat dasar ketertiban yang dapat
mewujudkan keindahan, atau dengan kata lain ketertiban dan keindahan merupakan sifat dasar
seni. Mengapa demikian? Mengenai hubungan antara seni musik, dengan ketertiban dan
keindahan dapat kita pahami dari beberapa tulisan Ki Hajar Dewantara yang terkumpul dalam
buku “Karya Ki Hadjar Dewantara”.
Ada tulisan yang menjelaskan bahwa gending ialah wirama dalam bentuk suara, atau
wirama yang dapat didengar. Wirama merupakan jiwanya gending, sedangkan suara adalah
raganya gending. Wirama adalah tanda dari segala yang hidup seperti teraturnya kodrat alam,
pergantian siang dan malam, perputaran dunia, jalannya matahari dan bulan, ... semuanya
memakai wirama yang jelas ialah teratur, tertib, harmonis, patut dan sebagainya (ketertiban
simetri).
Wirama : Sifat
tertib yang berlaku
dalam kehidupan
Bersifat
indah
Memberi rasa
senang/bahagia
Bila kita amati bagaimana fenomena alam dan kehidupan maka ada proses pergantian yang
berurutan, misalnya biji yang ditanam berubah menjadi tunas yang berdaun, tumbuh semakin
besar hingga berbunga. Setelah berbunga ia akan berbuah, dari buah ini didapat biji, dan dengan
biji inilah dapat dilangsungkan kembali kehidupan suatu tanaman. Ada proses yang berurutan,
tetapi wujud setiap tahapan tidak sama, waktu yang dibutuhkan untuk setiap tahapanpun tidak
selalu sama. Demikian pula halnya wirama dalam gending, bagian satu dengan bagian lain dalam
gending tidak harus selalu sama. Patut dan runtutnya bagian satu dengan lainnya, merupakan
aspek utama yang menjadi kekuatan suatu gending terasa indah, dan mampu menimbulkan
kebahagiaan.
Mengapa wirama bersifat indah dan dapat menimbulkan kebahagiaan atau rasa senang?
Marilah kita amati cara seorang pembawa acara atau penyiar radio, berbicara. Apa yang
diucapkannya tidak akan menarik bila ia berbicara dengan datar. Perlu aksentuasi tertentu dalam
pengucapan kalimat, sehingga hal-hal pokok yang ingin disampaikan dapat dipahami dengan
jelas. Mungkin ada bagian yang diucapkan lebih cepat dan semakin keras atau lebih lambat dan
lembut, untuk menarik perhatian pendengar. Perilaku pembawa acara atau penyiar radio tersebut
merupakan contoh penggunaan wirama dalam kehidupan.
Wirama itu ialah segala getaran dan gerak yang teratur serta harmonis, cepat lambatnya
laku, dalam dangkalnya ungkapan suara, berat ringannya greget (kegairahan), dan graita
(pengertian). Semuanya selalu silih berganti hingga akhirnya menjadikan hidupnya suasana
dan menimbulkan rasa yang mengesankan. (Dewantara, 1967:216)
Untuk memperjelas pernyataan Ki Hajar Dewantara, kita dapat amati contoh suara kendang
dalam gending Jawa. Cepat lambatnya laku terjadi karena desakan pukulan kendang. Dalam dan
dangkalnya ungkapan suara disebabkan oleh adanya suara dung dan dang. Kegairahan akan
muncul karena terjadinya variasi bunyi dang, dung, pak, tong dan tek dengan hiasan bunyi
seperti delang, delung, sut, gembleb dan sebagainya. Tertib serta tertaturnya getar dan gerak
selalu mengikuti suara tek. Dari suara-suara kendang saja kita sudah dapat temukan kekuatan
wirama pada gending jawa sebagai perwujudan adanya hidup yang mengandung sifat indah dan
menimbulkan perasaan senang, puas serta bahagia.
Wirama atau irama merupakan salah satu kekayaan dan ciri khas musik Indonesia.
Banyak sekali kita jumpai musik tradisi di nusantara ini yang didominasi oleh aspek wirama.
Ada musik talempong dari Sumatera Barat, rampak beduk dari Banten, musik gambang kromong
dari Betawi, gending gamelan Bali, Angklung dari Jawa Barat dan lain-lain. Permainan lesung,
terbang, bedug dan ciblon (permainan air di sungai) merupakan musik yang dapat dijumpai
dalam kehidupan sehari-hari masyarakat kita.
Uraian-uraian di atas mudah-mudahan dapat membantu anda memahami pemikiran Ki
Hajar Dewantara tentang sifat dasar dari musik maupun seni. Uraian tersebut bermaksud
memperjelas pandangan tentang musik sebagai perbuatan manusia yang memiliki sifat tertib dan
indah. Setelah mempelajari tentang sifat dasar musik, marilah kita telusuri pandangan Ki Hajar
Dewantara tentang makna musik dalam kehidupan manusia.
Sebelum membahasnya lebih dalam, perlu kita sadari bahwa pemikiran Ki Hajar
Dewantara
lahir
dalam
suasana
perjuangan
untuk
memperoleh
kemerdekaan,
dan
mempertahankannya. Rasa kebangsaan dan nasionalisme yang tinggi seringkali mengantarkannya pada pemikiran dikotomis tentang Barat dan Timur. Apa yang diungkapkannya merupakan
hasil renungannya terhadap situasi saat itu
Secara khusus Ki Hajar Dewantara seringkali membandingkan sifat lagu Timur dengan
sifat lagu Barat. Karena pada hakikatnya dalam musik terdapat pengolahan rasa maka ia
menjelaskan bedanya rasa barat dan rasa timur. Salah satu tulisannya pada sebuah majalah
Keluarga, juli 1937, th ke-1 no. 8 mengandung intisari pemikiran sebagai berikut:
 Orang barat umumnya lebih mementingkan suara daripada wirama.
 Orang Timur lebih menghargai wirama daripada suara, oleh karenanya orang barat sering
merasa gending gangsaran, kodok ngorek maupun kebo giro, kurang bervariasi dan
menjemukan.
 Aesthetika menurut anggapan barat mengandung syarat berjenis-jenis, lengkap dan tertib.
Sementara menurut anggapan kita hanya mengandung dua syarat yakni lengkap dan
tertib.
Istilah suara dalam kutipan di atas dapat diterjemahkan sebagai nada. Nada-nada dalam musik
barat memiliki tempat yang lebih dominan dibandingkan musik Timur. Walaupun dalam musik
Timur juga terdapat nada, tetapi kekayaan dan kekuatan wirama menjadi hal yang lebih
diutamakan. Secara lugas Ki Hajar Dewantara menjelaskan “dalam hal musik, bolehlah kita
tetapkan bahwa suaranya lagu itu sifat lahirnya, sedangkan wiramanya itu sebenarnya rohnya
lagu” (Dewantara, 1962:333). Dari penjelasan ini kita dapat pahami bahwa penikmatan musik
bagi orang Timur adalah penjelajahan batin, sementara bagi orang Barat penikmatan musik
terjadi manakala ada penjelajahan materi/suara.
Pandangan Ki Hajar Dewantara tersebut, memberi petunjuk bahwa seni sebagai
perbuatan manusia yang mampu menggerakkan jiwa dan perasaan manusia, memiliki makna
penting bagi kehidupan. Orang yang melakukan seni maka ia terus-menerus melatih ketertiban
jiwa, yang dapat mempengaruhi ketertiban laku perbuatannya. Oleh karenanya seni termasuk
musik dapat digunakan sebagai alat untuk membantu seseorang menjadi manusia yang berbudi
luhur.
Ilmu pengetahuan ada dua macam yakni pengetahuan yang mempunyai daya
mempertajam dan mempercerdas pikiran dan pengetahuan yang mempunyai daya memperdalam
dan memperhalus budi. Musik memiliki kekuatan untuk mempertajam dan mempecerdas pikiran
serta memperhalus budi. Ki Hajar Dewantara memberi contoh adanya kedua hal tersebut dalam
Sastra Gending. “Selain melatih kehalusan pendengaran, yang akan membawa halusnya rasa dan
budi, latihan gending itu menjadi imbangan latihan bahasa, kedua-duanya tak dapat dipisahkan
satu sama lain, untuk menuju kesempurnaan tindak kesarjanaan dan kesujanaan”(1962:303).
Tindak kesarjanaan memiliki makna laku perbuatan yang didasari oleh ketajaman dan
kecerdasan berpikir, sementara laku kesujanaan bermakna laku perbuatan yang dilandasi oleh
kedalaman dan kehalusan budi. Penjelasan tersebut menggaris bawahi pemaknaan musik dalam
konsepsi Ki Hajar Dewantara sebagai perwujudan nalar dan budi manusia.
3. Sifat Dasar dan Makna Pendidikan Musik
Konsepsi Ki Hajar Dewantara mengenai pendidikan musik senantiasa berhubungan
dengan pemikirannya tentang kebudayaan dan pendidikan manusia secara menyeluruh. Seni
sebagai bagian dari kebudayaan merupakan perwujudan dari nalar dan budi manusia, oleh karena
itu senantiasa sesuai dan cocok dengan budi manusia yang membuatnya. Ki Hajar Dewantara
menekankan pentingnya belajar seni bangsa sendiri. Alasan yang dikemukakan berkaitan dengan
pentingnya mempelajari seni bangsa sendiri, karena seni suatu bangsa sesuai dengan roh dari
bangsa pemilik seni itu.
Jika kita kembali pada dasar kulturil kita, jika kita mempelajari kesenian kita sendiri,
bukannya itu berarti kita kembali kepada alam yang sudah lenyap, akan tetap kita mencari
hubungan dengan alam yang lalu itu untuk meneruskan laku yang laras dengan kodrat kita,
yaitu laku yang beraliran maju. Jika kita tidak berhubungan lebih dahulu dengan garis
kulturil kita, boleh jadi kita lalu hanya dapat meniru, mengkopi atau memola kultur Barat,
...(1962:329).
Memiliki jati diri merupakan modal utama untuk memiliki kepribadian matang yang amat
diperlukan dalam membangun dan meningkatkan kualitas kehidupan. Meniru sesuatu dari luar
tanpa memikirkan keselarasan dengan kepribadian diri akan membawa manusia pada mimpi
yang berpeluang besar merugikan dirinya sendiri.
Fenomena kehidupan kesenian kita saat ini bisa jadi merupakan buah dari lemahnya
pendidikan seni kita yang kurang memperhatikan seni budaya bangsa sendiri. Apa yang
dipikirkan oleh Ki Hajar Dewantara, ternyata menjadi kenyataan dalam kehidupan kita saat ini.
Begitu banyak jenis kesenian, khususnya musik yang digemari masyarakat di seluruh tanah air,
sebenarnya merupakan peniruan atau dalam istilah Ki Hajar memola seni musik dari Barat.
Contoh konkritnya yakni musik-musik populer
yang meraup keuntungan milyaran rupiah.
Sementara seni musik tradisi kita seperti gamelan, kecapi suling, talempong dll, hidupnya
kembang kempis. Hanya sedikit kalangan yang mengapresiasinya dengan baik. Implikasi dari
perilaku peniruan ini juga nampak pada wujud kebudayaan lainnya seperti cara berbusana, gaya
hidup, cara berpikir dan bertindak. Kita perlu memikirkan dan menyikapi pemikiran Ki Hajar
Dewantara tersebut dalam perbuatan nyata melalui pendidikan seni, agar kita tidak terus-menerus
berada dalam situasi kebudayaan yang diombang-ambingkan oleh negara lain.
Pendidikan seni termasuk penddikan musik, sesungguhnya memiliki kekuatan untuk
membantu manusia Indonesia mewujudkan kehidupan lahir batin yang lebih baik. Seperti
dijelaskan Ki Hajar Dewantara, sifat dari seni termasuk musik, sesungguhnya adalah ketertiban
dan keindahan. Oleh karenanya sifat dari pendidikan musik tidak lain adalah pendidikan
ketertiban dan keindahan atau pendidikan etis/moral dan estetis.
Mengapa pendidikan musik memiliki sifat mendidik rasa ketertiban dan keindahan? Mari
kita analisis perilaku seorang anak yang belajar bernyayi. Indahnya suara lagu yang ia dengar
akan membangkitkan keinginan atau kemauanya untuk meniru. Telinga sebagai indera
pendengaran kita merupakan media yang menghubungkan suara dengan rasa yang terdapat
dalam jiwa anak. Kemudian anak akan meniru dan mencocok-cocokkan suaranya dengan suara
yang ia dengar. Pada akhirnya ia akan mampu mewujudkan kehendak atau keinginannya untuk
menyanyi. Proses mendengar, merasakan, mencocok-cocokkan hingga mampu menirukan suara
dengan baik merupakan satu alur yang terus berkesinambungan. Alur tersebut merupakan wujud
dari terjadinya proses pendidikan musik, dari pendidikan rasa atau estetis, dengan sendirinya
menuju pada pendidikan intelektual
dan akhirnya sampai pada pendidikan watak, yakni
pendidikan moril atau budi pekerti.
Contoh lain yang menjelaskan sifat pendidikan musik sebagai pendidikan rasa ketertiban
dan keindahan dapat kita amati dalam pelajaran gamelan atau gending. Melalui pelajaran
gending seorang akan belajar memainkan perannya dalam kelompok. Ia harus paham betul bunyi
apa yang harus dibunyikannya, sesuai contoh yang diajarkan oleh gurunya. Saat itu seorang
pemain gamelan harus teliti, berteguh hati untuk merasakan irama yang harus dikuasainya
hingga ia memiliki rasa mandiri dalam memainkan instrumen yang menjadi tanggung jawabnya.
Selain dituntut menguasai instrumen yang dimainkannya seorang pemain gamelan juga
dituntut merasakan bunyi yang dimainkan oleh instrumen lain. Setiap instrumen dalam gamelan
memiliki peran tertentu. Ada yang berfungsi sebagai pembawa irama seperti kendang dan
keprak, pencipta suara yakni: rebab, gender, gambang, suling dan saron peking. Ada pula yang
berperan sebagai pemelihara irama dan pemelihara suara. Pemelihara irama diantaranya kempull,
kenong, gong, ketipung, kecer dll. Sementara pemelihara suara yakni bonang panembung, gender
panembung (slentem), dan saron demung.
Demikian kompleksnya peran instrumen dalam
sebuah karya gamelan, menuntut pemain untuk disiplin pada tugasnya masing-masing, saling
menghargai bunyi masing-masing untuk menciptakan kesatuan bunyi yang harmonis.
Ki Hajar dewantara menjelaskan bahwa melalui pembelajaran gending atau gamelan ada
beberapa hal yang dapat diperoleh, diantaranya ialah tumbuhnya rasa kebatinan, rasa estetika
dan rasa etika.
GENDING
RASA
KEBATINAN
ESTETIKA
ETIKA
Pelajaran gending tidak saja perlu untuk memperoleh pengetahuan dan kepandaian hal
gending, namun perlu juga bagi tumbuhya rasa kebatinan, karena selalu menuntun rasa
kewiramaan (perasaan ritmis) seperti; rasa runtut, patut, teliti, tepat , tetap tak gentar,
bersungguh-sungguh, setia dan sebagainya. Begitu pula menimbulkan rasa keindahan
(perasaan estetis) seperti: sangat baik, berharga, bersih indah, halus, luhur, jernih. Selain
itu juga memurnikan rasa kesusilaan (perasaan etis) seperti perasaan halus, suci, dalam,
sentosa, teguh, berwibawa, mandiri, hidup bersama dll. (Dewantara, 1967:214)
Berdasarkan contoh-contoh pendidikan musik tersebut, kita dapat merenungkan lebih
lanjut tentang sifat pendidikan musik. Bila sifat pendidikan musik adalah pendidikan ketertiban
dan keindahan ? Apa yang dimaksud dengan pendidikan ethis (ketertiban) dan pendidikan estetis
(keindahan)? Ki Hajar Dewantara menegaskan : “Pendidikan ethis memungkinkan anak-anak
mengembangkan berbagai jenis perasaan yakni rasa religius, rasa sosial, individual dan lain-lain.
Pendidikan estetis bermaksud menghaluskan perasaan terhadap segala benda lahir yang bersifat
indah.”(1962:323-324)
Mencermati pernyataan Ki Hajar Dewantara, kita dapat menyimpulkan bahwa pendidikan
musik sebagai pendidikan rasa estetis akan berimplikasi pada pendidikan etis. Bila demikian apa
makna pendidikan musik yang sesungguhnya?
Ki Hajar Dewantara menjelaskan bahwa pendidikan pada dasarnya merupakan usaha
kebudayaan. Usaha pendidikan pada dasarnya ditujukan pada tiga hal utama yakni halusnya
budi, cerdasnya otak dan sehatnya badan (1962:303)
Halusnya Budi
Usaha
Pendidikan
Cerdasnya Otak
Sehatnya Badan
Apa kaitan antara usaha pendidikan dengan kebudayaan?
Pendidikan sebagai usaha kebudayaan bermaksud memberi tuntunan dalam hidup
tumbuhnya jiwa dan raga manusia agar kelak dalam garis kodrat pribadinya dan pengaruh
segala keadaan yang mengelilinginya, mendapat kemajuan dalam hidup lahir batin
menuju ke arah adab kemanusiaan. (1962:165-166)
Adab Kemanusiaan dalam beberapa penjelasan Ki Hajar Dewantara dapat dimaknai sebagai
kesanggupan, kemampuan dan keinsyafan manusia akan keharusannya menuntut kecerdasan,
keluhuran dan kehalusan budi pekerti bagi diri dan masyarakat. Bila kita renungkan baik-baik
apa yang dijelaskan Ki Hajar Dewantara tersebut, dapat kita simpulkan bahwa pendidikan
merupakan satu usaha kebudayaan yang bertujuan untuk membangun dan memajukan kehidupan
manusia yang beradab.
Pada penjelasan sebelumnya tentang makna musik, dijelaskan bahwa musik merupakan
perwujudan nalar dan budi manusia, maka pendidikan musik sebagai bagian dari usaha
pendidikan dapat dimaknai sebagai pendidikan untuk mempertajam nalar dan memperhalus budi.
Proses mempertajam nalar dan memperhalus budi diperoleh karena kehalusan rasa yang dibina
melalui pengolahan rasa estetis. Dengan demikian dalam pendidikan musik terdapat pendidikan
rasa estetis, rasa moral/etis dan nalar.
Pendidikan musik yang dilandasi oleh musik bangsanya selain musik bangsa lain,
diharapkan mampu membentuk manusia yang berbudi luhur. Kehalusan rasa digunakan sebagai
pelita untuk mempertajam pemikiran dan menyelaraskan tindakan, baik tindakannya sebagai
individu maupun tindakannya sebagai bagian dari masyarakat. Melalui uraian-uraian tersebut
dapat kita simppulkan bahwa makna dari pendidikan musik ialah pendidikan untuk membentuk
manusia yang berbudi luhur.
Pendidikan musik yang mengutamakan seni bangsa sendiri akan memberi peluang bagi
penanaman benih atau bekal budi pekerti sesuai dengan nilai-nilai budaya bangsanya. Ada
kesempatan untuk merapatkan jiwa anak dengan kebangsaannya. Melalui pendidikan musik kita
dapat mematangkan jiwa anak-anak agar kelak mencapai derajat manusia utama, yang mampu
menyusun peri kehidupan yang pantas dalam masyarakat secara
bersama-sama. Beberapa
pernyataan Ki Hajar Dewantara berikut ini mudah-mudahan dapat menjadi motivasi dan pemberi
arah bagi kita semua yang memiliki tugas mengembangkan pendidikan musik, khususnya
berkaitan dengan mengembangkan strategi pembelajaran musik.
Kesenian itu salah satu perwujudan lahir dari jiwa kita, yang timbul dari kemauan jiwa
kita sendiri dan halus kasarnya terbatas oleh rasa keindahan kita ( perasaan estetis)...
Kalau rakyat kita sungguh sadar, tak boleh tidak keseniannya juga akan bersifat sadar.
Kalau rakyat kita berwatak budak, tentulah juga keseniannya akan bersifat kebudakan,
baik dalam arti hanya bisa meniru atau terikat (beku), yakni tidak berani mengadakan
perubahan baru, karena terperintah oleh kebiasaan (adat yang mati). Berhubung dengan
keterangan tersebut, maka perlulah kita menjaga jangan sampai rakyat kita hanya meniru
saja kesenian barat, lalu kehilangan garis hidup dan menjadi permainan dari gelombang
keadaan yang berganti-ganti. Kita harus menanam benih kultur kita sendiri, agar mudah
dan cepat kita dapat membangun hidup baru yang bersifat kontinu, terusannya hidup kita
yang sudah lalu. (1962:327-328)
PUSTAKA RUJUKAN
Bandjar, D. A. D. Ratna. (2004). Pendidikan Merupakan Usaha Pembudayaan Untuk
Meningkatkan Daya Pikir, Rasa, dan Psikomotorik. (Ki Hajar Dewantara) -Belajar
Menjadi Peka dan Kritis. Bali Post 1 mei 2004
Dewantara, Ki Hajar.(1962).Pendidikan. Yogyakarta: Percetakan Taman Siswa.
Dewantara, Ki Hajar.(1967). Kebudajaan. Yogyakarta: Percetakan Taman Siswa.
Download