Filsafat dan Etika

advertisement
Materi Kuliah Ke-4 : Filsafat dan Etika Komunikasi
Tema dan Dimensi Pokok dalam Etika Komunikasi
Oleh : Tri Guntur Narwaya, M.Si
“Konsep aktifitas komunikasional
mengandaikan bahasa sebagai medium
dalam proses saling pemahaman”
(Jurgen Habermas)
Etika Komunikasi : Catatan Awal
Setiap dinamika dan proses komunikasi tidak berdiri pada dirinya sendiri. Medium komunikasi dan
berbagai praktik, model dan bahkan tradisi-tradisi dalam perkembangan komunikasi kontemporer
tidak hidup pada dirinya sendiri. Nalar rasionalitas, interpretasi, ideologi, kekuasaan atau beberapa
variabel lain menyumbang bagaimana komunikasi bisa dimengerti secara lebih dalam. Interaksi
berbagai nilai di luar merupakan dunia hidup komunikasi. Beberapa logika dan pengandaian teoritik
dan norma-norma aturan komunikasi tentu melandaskan pada kebutuhan kerangka nalar berpikir
yang kerap disebut perpektif. Pangandaian filsafat dan etika adalah salah satu variabel amat penting
itu. Tentunya tanpa pengandaian-pengandaian tersebut komunikasi sebagai entitas hidup manusia
menjadi kering makna dan tak memberi nilai apapun.
Jika saja kita mengambil contoh kehidupan berkomunikasi kita maka kita akan menemukan berbagai
relevansi pentingnya membangun etika di dalamnya. Dalam kasus fenomena hidup ‘media massa’
misalnya, kerap akan memberi gambaran bagaimana etika ini amat berfungsi besar. Harapan
komunikasi dalam ruang media massa tentu adalah bisa membangun idealisme untuk menjadi
sarana komunikjasi yang baik bagi semua manusia. Pada realitasnya, kenyataan ini sering kali
bertolak belakang dan melahirkan banyak masalah dan pertanyaan. Sebagaimana fungsi media yang
tidak netral, maka tentu saja ia akan membawa berbagai perangkat pertimbangan dan kepentingan
yang berkenaan dengan hidup manusia. Cita-cita ideal membangun kehidupan komunikasi yang
lebih manusiawi bisa saja tidak berjalan ketika media massa justru membangun nalar dehumanisasi
yang menghancurkan sendi-sendi kemanusiaan. Ambilah contoh kasus kebebasan pers, pornografi,
kekerasan media, eksploitasi dan lainnya merupakan sebagian residu persoalan yang cukup
mengemuka pada wajah media hari ini.
Dalam konteks kasus media semacam ini maka ‘etika komunikasi’ menjadi sarana dan instrumen
penting untuk mengkritisi dan membongkar berbagai praktik dan perilaku bermedia dan terutama
praktik berkomunikasi. Haryatmoko di buku tentang ‘Etika Komunikasi” menjelaskan bahwa etika
komunikasi bisa menjadi sarana untuk membangun kepedulian dalam rangka untuk mengkritisi
praktik berkomunikasi yang dewasa ini cenderung membuat permirsa dan pembaca kompulsif
sehingga membuat refleksi diabaikan demi emosi.1 Begitu terlarutnya manusia dengan mainstream
budaya berkomunikasi (ambil kasus media massa) sehingga mengeringkan sikap reflektif kritis untuk
bisa membaca berbagai nalar etis yang dibangun oleh media massa. Etika komunikasi bisa
membantu mencari berbagai dasar cara kerja untuk memotret berbagai kepentingan tersembunyi
yang dihadirkan dalam setiap diskursus media massa. Dengan begitu tak hanya hanyut oleh ‘emosi
1
Lihat, Haryatmoko, Etika Komunikasi : Manipulasi Media, Kekerasan dan Pornografi, Penerbit
Kanisius, Yogyakarta, 2009, hal. 12.
1
hasrat’ tetapi mampu mempertimbangkan secara rasional dan empatik terhadap berbagai problem
yang dimunculkan.
Dalam perbincangan etika komunikasi biasanya sering merujuk pada dua sumber yakni ‘etika yang
berkait dengan keberadaan institusional media’ dan relasinya dengan berbagai struktur sosial yang
lain. Etika ini lebih mennagkap pada dimensi makro tentang keberadaan kelembagaan media. Poin
kedua lebih bersumber pada berbagai pendikusian teori-teori moral yang mendasari berbagai
perilaku dari para pelaku media.2 Namun dalam beberapa perspekti lain seperti yang dikembangkan
oleh B. Sutor3, lebih menjelaskan bahwa dalam kenyataannya ‘etika komunikasi’ tidak hanya berkait
dengan masalah perilaku aktor komunikasi semisal: wartawan, editor, agen iklan, dan penelola
rumah produksi) tetapi juga menyangkut dimensi yang lebih luas diantaranya adalah ‘dimensi
kelembagaan’ yang menjadi unsur penting dalam dimensi sarana dengan juga dimensi ‘meta etika’
yang menjadi tujuan besar media massa seperti ‘demokratisasi’, ‘kebebasan’, ‘hak untuk
berekspresi’ dan lain-lain.
Fungsi dan Peran Etika?
Sebelum masuk pada perbincangan tentang dimensi-dimensi penting etika komunikasi, tentu saja
lebih bijak kiranya kita memperdalam telaah tentang pengertian dan makna etika dalam tulisan ini.
Apa sejatinya fungsi dan guna dari etika? Bagaimana relasinya dengan berbagai nilai moral yang
ada? Poin ini menarik untuk diperjelas. Etika bisa dimengerti sebagai ‘sarana sarana orientasi bagi
usaha manusia untuk menjawab suatu pertanyaan yang amat fundamental: bagaimana saya harus
hidup dan bertindak?4 Etika dalam dimensi lain amat membantu agar setiap manusia lebih mampu
untuk mempertanggungjawabkan kehidupan kita. Dalam beberapa relasi dimensi ‘etika’ dan ‘moral’
amatlah berdekatan, tetapi keduanya sebenarnya tidak terletak dalam pengertian yang sama. Jika
‘ajaran moral’ dimaksudkan sebagai ajaran-ajaran, petuah-petuah, peraturan-peraturan dan
patokan-patokan tindakan tentang bagaimana manusia harus hidup dan bertindak agar ia menjadi
manusia yang baik, sementara ‘etika’ merupakan filsafat atau pemikiran kritis dan mendasar tentang
ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan moral.5 Dalam pemahaman semacam ini, sejatinya etika
adalah ilmu dan bukan ajaran.
Dalam tulisannya tentang etika, Franz Magnis Suseno memberikan catatan penjelas bahwa ‘etika
bukanlah pelajaran bagaimana kita harus hidup’ tetapi etika mau mengerti mengapa kita harus
mengerti mengapa kita harus mengikuti ajaran moral tertentu atau bagaimana kita dapat
mengambil sikap yang bertanggungjawab berhadapan dengan berbagai ajaran moral.6 Etika bisa
diartikan sebagai pemikiran sistematis tentang moralitas. Etika bukan perangkat untuk menjadi
sarana menuju kebaikan, tetapi memahami secara kritis mengapa sebuah moralitas tertentu harus
kita pegang dan kita jalankan. Etika tidaklah memberikan kiat-kiat ajaran, tetapi memeriksa
berbagai praktik nilai dan dasar-dasar moralitas hidup manusia.
Setidaknya dalam catatan Suseno, ada empat dasar mengapa kita penting membawa dasar
pengetahuan etika ini; Pertama, karakteristik masyarakat yang ‘plural’ dan ‘majemuk’. Masyarakat
plural lebih banyak akan menyediakan berbagai ragam ajaran moral yang menjadi rujukan. Mengapa
kita memakai itu dan mengapa kita tidak memilih itu akan sangat terbantu jika kita belajar tentang
2
Lihat, Ashadi Siregar, Etika Komunikasi, Pustaka Book Publisher, Yogyakarta, 2008, hal. 7 – 8.
Dikutip dalam bukunya Haryatmoko, Ibid, hal. 44.
4
Lihat, Franz Magnis Suseno, Etika Dasar : Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral, Penerbit Kanisius,
Yogyakarta, 1985, hal. 13.
5
Lihat, Franz Magnis Suseno, Ibid, hal. 14.
6
Lihat, Franz Magnis Suseno, Ibid, hal. 14.
3
2
pengetahuan etika; kedua, masyarakat yang selalu berubah (bertransformasi), perubahan peradaban
masyarakat akan selalu melahirkan berbagai kondisi perubahan baik dalam tingkat struktur maupun
kultur masyarakat. Dengan perubahan itu maka bisa dipastikan akan terjadi pergeseran-pergeseran
nilai-nilai hidup termasuk ‘moralitas’; ketiga, potensi penyimpangan dan bias kepentingan dalam
berbagai relasi-relasi hidup yang ada. Etika amat membantu bisa membaca berbagai nalar dan
modus berbagai kepentingan yang ada; keempat, relasi nilai nilai keagamaan, keyakinan, ideolohgi
dengan berbagai dimensi perubahan masyarakat yang ada. Etika membantu manusia untuk
membangun dialog berbagai benturan-benturan nilai seperti norma-norma moralitas agama dengan
berbagai dimensi nilai hidup masnuia yang lain seperti misal ilmu pengetahuan. Tak jarang kita akan
banyak menemukan benturan-benturan itu bahkan bisa membesar menjadi potensi konflik sosial
yang meluas.
Sedang apa yang dimengerti sebagai ‘moralitas’ adalah berada pada dimensi manusia sebagai
manusia. Seringkali kita akan sering meletakakn penilaian moral itu dengan sembarangan. Padahal
penilaian semisal bahawa “Si A adalah seseorang yang bermoral baik” merujuk pada pengertian
manusia sebagai manusia dan bukan manusia dalam kedudukan dan fungsi identitas atau profesi
tertentu. Kata moral selalu mengacu pada baik buruknya manusia sebagai manusia.7 Penilaian moral
bahwa seorang “pemain bola itu bermoral baik” bukan karena bahwa permainan bolanya baik tetapi
memang secara prinsip dan mendasar pemain bola itu bermoral baik.
Sebagaimana diketahui bahwa hak berkomunikasi dalam ranah-ranah publik merupakan hak yang
dimiliki setiap orang. Pengandaian ini tentu saja merupakan prinsip dasar dalam mendorong
terciptanya bangunan demokrasi yang lebih luas. Tidak bisa dibayangkan jika prasyarat kebebasan
berkomunikasi ini tidak memiliki. Demokrasi hanya menjadi jargon di atas kertas semata. Namun
kita juga tidak akan menutup mata jika kondisi realitas etika berkomunikasi ini tidak sesuai dengan
idealitas yang diharapkan. Banyak dimensi dalam etika komunikasi yang jauh dari harapan untuk
mengembangkan berdemokrasi secara baik. Secara garis besar pemahaman tentang etika
komunikasi ini penting untuk mengurai dimensi-dimensi penting tersebut.
Dimensi-Dimensi Etika Komunikasi8
Dimensi-dimensi etika komunikasi yang penting adalah: pertama, ‘dimensi yang langsung terkait
dengan perilaku komunikasi’. Dimensi ini bisa diletakan sebagai bagian dari ‘aksi komunikasi’. Secara
garis besar semua kode etik dan aturan-aturan etis dari dimensi ini lebih banyak mempertegas fungsi
‘tanggungjawab’ yang harus dimiliki oleh para ‘perilaku komunikasi’. Misalnya aturan-aturan itu
tertuang dalam kode etik profesi dalam rangka mengatur dan mengarahkan prinsip-prinsip kerja
yang harus dilakukan oleh perilaku komunikasi. Misal masalah-masalah dan tema-tema norma etika
yang menjadi katagori dimensi ini bisa dilihat dalam kasus; perlindungan atas sumber berita,
perbedaan antara fakta dan komentar (berita dan opini), dan beberapa pemberitaan informasi yang
benar, jujur, tepat dan berimbang. Dimensi ini lebih banyak membaca dan mempersoalkan landasan
pertimbangan moral dan hati nurani para perilaku komunikasi.
Dimensi kedua adalah ‘dimensi sarana’ yang lebih banyak menjawab ‘etika strategi’. Dimensi ini
untuk menambahkan kekurangan dari dimensi aksi komunikasi/perilaku komunikasi (aktor). Dimensi
ini lebih berbentuk bagaimana strategi sarana ini dibangun dalam bentuk peraturan, hukum,
perundangan dan sistem kebijakan yang mengatuir soal praktik komunikasi. Soal tanggungjawab
tidak bisa diserahkan semata dalam kesadaran naif pelaku. Tugas dari institusi, lembaga, aturan dan
7
Lihat, Franz Magnis Suseno, Ibid, hal. 19.
Sebagian catatan mengenai dimensi ini diambil dari buku Haryatmoko, Etika Komunikasi :
Manipulasi Media, Kekerasan dan Pornografi, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 2009, hal.45 – 51.
8
3
hukum kebijakan adalah membantu untuk mengorganisir proses tanggungjawab dari pelaku
komunikasi. Dimensi ini lebih berbicara pada struktur sistem yang mengawal para pelaku komunikasi
sehingga tidak mudah mengelak dari tanggungjawabnya. Dalam aturan biasanya secara eksplisit
tergambarkan peran, tugas dan juga sanksi bagi para pelaku yang melanggar tanggungjawabnya.
Dimensi sarana ini memfokuskan pada sistem media dan prinsip dasar pengorganisiran praktik
penyelenggaraan informasi, termasuk yang mendasari hubungan produksi informasi. Dimensi moral
yang ingin diangkat adalah persoalan ‘keadilan’ dan ‘kesetaraan’. Sebagaimana fungsi dan tugas dari
idealitas hukum dan aturan, maka dimensi sarana ini untuk mengontrol dan mencegah berbagai
penyalahgunaan yang akan serta menimbulkan ketidakadilan. Di titik inilah etika komunikasi menjadi
penting untuk digunakan untuk membaca potensi-potensi tersebut.
Dimensi ketiga, yakni ‘dimensi tujuan’ yang lebih mengangkat persoalan ‘meta etika’ tentang
bagaimana secara mendasar etika komunikasi harus dirumuskan. Meta etika ini melampui persoalan
etika normatif yang ada dalam berbagai profesi. Dimensi tujuan ini menjangkau pendasaran
pertimbangan yang lebih fundamental semisal tentang prinsip-prinsip dasar berdemokrasi dan juga
kebebasan pers,. Menurut B Libois, dalam penggambaran skema tiga dimensi ini, dimensi tujuan
mengarah pada teoritisasi materi moral, yang lebih luas dari sekedar etika normatif. Ia menjangkau
sampai pada refleksi dan pengujian batas-batas yang diterima dalam pelaksanaan praktik jurnalistik
yang sah.9. Perbincangan dan persoalan yang diangkat oleh ‘dimensi tujuan’ ini semisal tentang
bagaimana yang dimengerti tentang kebebasan pers, kekebasan pers dan demokrasi atau misal
tentang pers dan kekuasaan. Tentu masih banyak problem-problem meta etik yang saat ini menjadi
bahan menarik untuk didiskusikan dalam ranah mengembangkan etika komunikasi lebih baik.
Selamat Belajar !!
9
Lihat, Haryatmoko, Ibid, hal 52.
4
Download