BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Pelatihan Olahraga Pelatihan adalah

advertisement
10
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1
Pelatihan Olahraga
Pelatihan adalah suatu proses yang sistematis dari berlatih atau bekerja yang
dilakukan secara berulang-ulang dengan kian hari meningkatkan jumlah beban
latihan atau pekerjaan, dan salah satu yang paling penting dari latihan harus
dilakukan secara berulang-ulang dan meningkatkan beban atau tahanan untuk
meningkatkan kekuatan dan daya tahan otot yang diperlukan untuk pekerjaannya
(Hairy, Junusul, 1989). Pelatihan dilakukan secara sistematis dan berulang-ulang
(repetitive) dalam jangka waktu lama, dengan pembebanan yang meningkat secara
progressive, memiliki tujuan untuk memperbaiki sistema serta fungsi fisiologi dan
psikologi tubuh agar pada waktu melakukan aktivitas olahraga dapat mencapai
penampilan yang optimal (Nala, 1998).
Menurut Nossek (1982) pelatihan adalah suatu proses atau dinyatakan
dengan kata lain periode waktu yang berlangsung selama beberapa tahun sampai
atlet tersebut mencapai standar penampilan yang tertinggi. Nossek (1982)
menyatakan pelatihan adalah suatu proses penyempurnaan olahraga yang diatur
dengan prinsip-prinsip yang bersifat ilmiah, khususnya prinsip-prinsip paedagogis.
Proses ini direncanakan dan sistematis, yang meningkatkan kesiapan untuk
melakukan dan kepastian penampilan atlet.
11
Pelatihan adalah sebuah aktivitas olahraga yang sistematik dalam waktu
yang lama ditingkatkan secara progresif dan individual, yang mana mengarah
kepada ciri-ciri fungsi fisiologis dan psikologis manusia untuk mencapai sasaran
yang telah ditentukan (Bompa, 1999). Pelatihan juga merupakan aktivitas fisik
yang dilakukan secara berkesinambungan, dengan memperhatikan prinsip-prinsip
pelatihan yang benar.
Berdasarkan penjelasan di atas, terlihat beberapa kesamaan dalam
mendefinisikan pelatihan antara lain:
1. Aktivitas yang dilakukan secara sistematis.
2. Bentuk suatu proses
3. Dilaksanakan dengan waktu yang relatif lama.
4. Berkesinambungan.
5. Adanya pembebanan secara bertahap
6. Untuk mencapai tujuan peningkatan kemampuan atau prestasi olahraga.
Dengan demikian pengertian pelatihan dapat disimpulkan sebagai suatu proses
penyempurnaan kemampuan olahraga, yang dilakukan secara sistematis dan
berkesinambungan, dengan memperhatikan prinsip-prinsip pelatihan yang benar,
untuk mencapai tujuan peningkatan kemampuan atau prestasi olahraga.
2.1.1
Tujuan Pelatihan
Tujuan pelatihan dalam bidang olahraga adalah untuk memperbaiki
kemampuan teknik (keterampilan) atau penampilan atlet sesuai dengan kebutuhan
dalam bidang olahraga spesialisasi atau yang digeluti, dan bertujuan untuk
meningkatkan kebugaran, jasmani dan menjaga kesehatan (Nala, 1998).
12
Berdasarkan atas hal ini maka pelatihan ditujukan untuk meningkatkan
pengembangan fisik baik menyeluruh maupun khusus perbaikan terhadap teknik,
pematangan strategi, dan teknik permainan sesuai dengan kebutuhan cabang
olahraga, menanamkan kemauan dan disiplin yang tinggi, pengoptimalan persiapan
tim dan olahraga beregu, meningkatkan serta memelihara kebugaran jasmani dan
kesehatan serta mencegah kemungkinan cedera.
Menurut Bompa (1999), untuk mencapai tujuan dalam latihan, yaitu
memperbaiki prestasi tingkat terampil maupun unjuk kerja dari atlet, diarahkan oleh
pelatihnya untuk mencapai tujuan umum latihan. Adapun tujuan-tujuan latihan
sebagai berikut:
1. Untuk mencapai dan memperluas perkembangan fisik secara menyeluruh.
2. Untuk menjamin dan memperbaiki perkembangan fisik khusus sebagai
suatu kebutuhan yang telah ditentukan di dalam praktik olahraga.
3. Untuk memoles atau menyempurnakan teknik olahraga yang dipilih.
4. Memperbaiki dan menyempurnakan strategi yang penting yang dapat
diperoleh dari belajar teknik lawan berikutnya.
5. Menanamkan kualitas kemauan melalui latihan yang mencukupi serta
disiplin
untuk
tingkah
laku,
ketekunan,
dan
keingginan
menanggulangi kerasnya latihan dan menjamin persiapan psikologis.
6. Menjamin dan mengamankan persiapan tim secara optimal.
7. Untuk mempertahankan keadaan sehat setiap atlet.
untuk
13
8. Untuk mencegah cedera melalui pengamanan terhadap penyebabnya dan
juga meningkatkan fleksibelitas di atas tingkat ketentuan untuk melakukan
gerakan yang penting.
9. Untuk menambah pengetahuan seorang atlet dengan sejumlah pengetahuan
teoritis yang berkaitan dengan dasar-dasar fisiologis dan psikologis latihan,
pencernaan gizi, dan regenerasi.
Beberapa kesimpulan tersebut tidak menyarankan untuk dipakai secara kaku
dalam upaya latihan yang dilakukan, hal tersebut harus disesuaikan dengan ciri-ciri
khusus pada kecabangan olahraga yang dilakukan dan juga memperhatikan kondisi
atlet itu sendiri. Pendekatan yang perlu mendapat perhatian untuk mencapai tujuan
pelatihan utama adalah
mengembangkan dasar-dasar latihan secara fungsional
yang diarahkan untuk mencapai tujuan khusus sesuai dengan kebutuhan cabang
olahraga itu sendiri. Pada cabang olahraga bulutangkis kebutuhan yang digunakan
kekuatan, kecepatan, dayatahan disesuaikan dengan kebutuhan cabang olahraganya.
Jenis Pelatihan menarik katrol berbeban merupakan salah satu tipe pelatihan yang
digunakan dalam penelitian ini. Menurut Nala (2002) cara pelatihan yang paling
tepat untuk melatih kekuatan otot agar smesannya kuat atau pukulannya keras yang
dilakukan dengan pelatihan menarik beban berulang-ulang dengan sikap dan arah
gerakan lengan seperti melakukan smash atau melakukan pukulan overhead.
Apabila diberi pelatihan, efek pada otot terjadi pada unit motorik (saraf dan otot),
ko-kontraksi otot antagonis, sinkronisasi. Adaptasi neural akan meningkatkan
kekuatan dan meningkatkan koordinasi.
2.1.2
Prinsip-Prinsip Pelatihan
14
Pelatihan yang modern harus direncanakan secara berhati-hati. Sebuah
rancangan pelatihan mencakup semua tindakan yang diperlukan untuk mencapai
sasaran-sasaran latihan (Nossek, 1982). Tujuan pelatihan yang telah dijelaskan akan
memberikan arah dari suatu pelatihan olahraga, dan untuk mencapai tujuan tersebut
secara maksimal, suatu pelatihan harus dilaksanakan sesuai dengan prinsip-prinsip
dasar pelatihan. Adapun prinsip-prinsip pelatihan adalah:
a. Prinsip Pelatihan beraturan (the principle of arrange ment of exercise).
Dalam setiap melaksanakan latihan, ada tiga tahap yang harus
dilakukan yaitu; pemanasan, latihan inti serta pendinginan. Latihan
hendaknya dimulai dari kelompok otot besar, kemudian dilanjutkan pada
kelompok otot kecil (Fox, dkk., 1993). Pemanasan bertujuan menyiapkan
kondisi fisik dan psikis sebelum latihan atau pertandingan/ perlombaan.
Pemanasan juga bertujuan meningkatkan suhu tubuh dan aliran darah pada
otot sekelet yang aktif (Nala, 1998). Dalam pelaksanaannya pemanasan
tidak harus selalu lama dilakukan, pemanasan yang berkisar lima sampai
limabelas menit sudah cukup untuk membuat tubuh berkeringat dan
bernafas dalam, sebagai tanda metabolisme meningkat dan tubuh siap untuk
mengikuti latihan berikutrnya. Selanjutnya latihan inti, gerakan inti olahraga
merupakan gerakan atau aktivitas yang pokok dalam suatu pelatihan atau
kecabangan olahraga. Kegiatan ini merupakan utama untuk mencapai tujuan
dari pelatihan. Pendinginan bertujuan untuk mengembalikan kondisi fisik
dan psikis pada keadaan semula. Pendinginan dilakukan setelah aktivitas
fisik atau pelatihan selesai dilaksanakan. Pendinginan akan bermanfaat
15
untuk pulih asal (recovery) setelah aktivitas fisik yang berat. Latihan-latihan
pendinginan mengikuti urutan yang sebaliknya dari urutan latihan
pemanasan (yaitu latihan aerobik ringan, kalistenik dinamis, dan peregangan
statis) (Giam dan Teh, 1993). Lamanya pendinginan tergantung pada tingkat
kelelahan yang diperoleh dari latihan inti atau tergantung pada cepatnya
asam laktat dirubah, lama pendinginan bisa dari 10 sampai 30 menit.
b. Prinsip Kekhususan (the principle of speciafity).
Adalah latihan untuk cabang olahraga mengarah pada perubahan
morphologis dan fungsional yang berkaitan dengan kekhususan cabang
olahraga tersebut (Bompa, 1999). Untuk itu, sebagai bahan pertimbangan
dalam menerapkan prinsip kekhususan, antara lain ditentukan oleh:(a)
spesifikasi kebutuhan energi, (b) spesifikasi bentuk dan model latihan, (c)
spesifikasi ciri gerak dan kelompok otot yang digunakan, dan (d) waktu
periodisasinya.
c. Prinsip Individualisasi (the principle of individuality).
Pelatihan yang diberikan harus disesuaikan dengan kemampuan atlet
untuk mencapai hasil yang baik. Menurut Bompa (1999) faktor individu
harus diperhatikan, karena pada dasarnya setiap individu mempunyai
karakteristik yang berbeda, baik secara fisik maupun secara psikologis.
Sukadiyanto (2005) menjelaskan, hal yang harus diperhatikan dalam prinsip
individualisasi adalah faktor keturunan, kematangan, status gizi, waktu
istirahat dan tidur, tingkat kebugaran, pengaruh lingkungan, cidera, dan
motivasi.
16
d. Prinsip Beban Bertambah (the principle of progressive resistance).
Adalah beban kerja dalam latihan ditingkatkan secara bertahap dan
disesuaikan dengan kemampuan fisiologis dan psikologis setiap individu
olahragawan. Pelatihan dengan penambahaan beban secara bertahap
merupakan suatu keharusan, untuk mencapai hasil dari pelatihan tersebut.
Menurut Bompa (1999) untuk menyiapkan fungsi dan reaksi sistem-sistem
syaraf,
koordinasi
neuromuskular,
dan
kapasitas
psikologi
untuk
menanggulangi stres peningkatan beban latihan, atlet membutuhkan waktu,
dan pendapat Astrand (1986) bahwa; “Peningkatan kinerja olahragawan
memerlukan latihan dan penyesuaian dalam waktu yang panjang, disamping
itu peningkatan kemampuan organisme secara morphologis, fisiologis dan
psikologis bergantung pada peningkatan beban latihan. Dalam pembebanan
latihan, tuntutan ini adalah bahwa beban latihan harus berkelanjutan jika
harus ditingkatkan secara regular (progressive overload). Dalam mendisain
pelatihan overload, Bompa (1999) menyarankan untuk memakai the step
type approach system atau sistem tangga yang tampak pada gambar 1.
11
10
9
7
6
3
2
1
8
5
4
PRESTASI
Gambar 2.1 The Step Type Approach System ( Bompa, 1999).
Setiap garis vertikal menunjukan perubahan (penambahan) beban,
sedangkan garis horisontal adalah fase adaptasi terhadap beban yang baru.
17
Beban latihan tiga tangga (cycle) pertama ditingkatkan secara bertahap.
Pada cycle ke empat beban diturunkan (ini adalah yang dimaksud unloading
fase) yang maksudnya adalah untuk memberi kesempatan kepada organorgan tubuh untuk melakukan regenerasi (Harsono, 1988). The step type
approach atau sistem tangga berlaku untuk pelatihan olahraga yang
bertujuan untuk prestasi maupun kesehatan.
e. Prinsip Beban Berlebih (the overload principle).
Pelatihan untuk komponen kebugaran membutuhkan berkali-kali
kondisi-kondisi overload yang diikuti dengan kesempatan untuk istirahat
untuk mendapatkan efek pelatihan (Rushall dan Pyke, 1992). Menurut
Sukadiyanto (2005), beban latihan harus mencapai atau melampaui sedikit
di atas batas ambang rangsang. Sebab beban yang terlalu berat akan
mengakibatkan tidak mampu diadaptasi oleh tubuh, sedangkan bila terlalu
ringan tidak akan berpengaruh terhadap peningkatan kualitas, sehingga
beban latihan harus memenuhi prinsip moderat. Untuk pembebanan
dilakukan secara progresif dan diubah sesuai dengan tingkat perubahan
yang terjadi pada olahragawan. Apabila tubuh sudah mampu mengatasi
beban latihan yang diberikan, maka beban berikutnya harus ditingkatkan
secara bertahap. Irianto (2002) mengatakan apabila tubuh ditantang dengan
beban latihan maka terjadi proses penyesuaian. Penyesuaian tersebut tidak
saja seperti pada kondisi awal namun secara bertahap mengarah pada
tingkat yang lebih tinggi yang disebut overkompensasi. Overkompensasi
(peningkatan prestasi) akan terjadi bila pembebanan yang diberikan pada
18
latihan tepat di atas ambang rangsang (threshold), disertai dengan
pemulihan (recovery).
Menurut Martens dalam Sukadiyanto (2005) tingkat penambahan
beban latihan berkaitan dengan tiga faktor, yaitu frekuensi, intensitas, dan
durasi. Penambahan frekuensi dapat dilakukan dengan cara menambah sesi
latihan. Untuk intensitas latihan dapat dengan cara meningkatkan kualitas
pembebanan. Sedangkan durasi dapat dilakukan dengan cara menambah
jam latihan atau bila jam latihan tetap dapat dengan cara memperpendek
waktu recovery dan interval, sehingga kualitas latihan menjadi meningkat.
f. Prinsip Beragam (variety principle).
Latihan memerlukan proses panjang yang dilakukan berulang-ulang,
hal ini sering menimbulkan kebosanan. Untuk mengatasi kebosanan pelatih
menciptakan suasana yang menyenangkan serta membuat aneka macam
bentuk latihan (Bompa, 1999).
g. Prinsip Pulih Asal (revercible principle)
Kualitas yang diperoleh dari latihan dapat menurun kembali apabila
tidak melakukan latihan dalam waktu tertentu. Proses adaptasi yang terjadi
sebagai hasil dari latihan akan menurun bahkan hilang bila tidak
dipraktekkan dan dipelihara melalui latihan yang kontinyu. Dengan
demikian latihan harus berkesinambungan.
2.1.3
Volume Pelatihan
Sebagai komponen utama latihan, volume adalah prasarat yang sangat
penting untuk mendapatkan teknik yang tinggi, taktik dan khususnya pencapaian
19
fisik. Volume latihan disebut juga jangka waktu yang dipakai selama sesion latihan,
yang melibatkan beberapa bagian secara integral sebagai berikut: (1) waktu atau
jangka waktu yang dipakai dalam pelatihan, (2) jarak atau jumlah tegangan yang
dapat ditanggulangin atau diangkat per satuan waktu, (3) jumlah pengulangan
bentuk latihan atau elemen teknik yang dilakukan dalam waktu tertentu. Jadi
diperkirakan bahwa volume terdiri jumlah keseluruhan dari kegiatan yang
dilakukan dalam latihan. Volume diartikan sebagai jumlah kerja yang dilakukan
selama satu kali latihan atau selama fase latihan (Bompa, 1999).
Menurut Nala (1998), bahwa volume latihan merupakan jumlah
seluruh aktivitas yang dilakukan selama latihan. Sering secara tidak
tepat, volume latihan ini disamakan dengan durasi atau lama latihan.
Padahal durasi ini merupakan bagian dari volume latihan. Pada umumnya
volume latihan ini terdiri atas:
a.
Durasi atau lama waktu pelatihan (dalam detik, menit, jam, hari, minggu
atau bulan).
b.
Jarak tempuh (meter), berat beban (kilogram) atau jumlah angkatan
dalam satuan waktu (berapa kilo-gram dapat diangkat dalam waktu satu
menit).
c.
Jumlah repetisi, set atau penampilan unsur teknik dalam satu kesatuan waktu
(berapa kali ulangan dapat dilakukan dalam waktu semenit). Penggunaan
repetisi dan set ini amat penting dalam meningkatkan kemampuan komponen
biomotorik. Volume ini juga menunjukkan jumlah kerja atau aktivitas yang
dapat dilakukan selama phase latihan (Bompa, 1999).
20
Sedangkan menurut Sukadiyanto (2005) adalah ukuran yang menunjukkan
kuantitas (jumlah) suatu rangsangan atau pembebanan. Adapun dalam proses
latihan yang digunakan untuk meningkatkan volume latihan dapat dilakukan
dengan cara latihan itu: (1) diperberat, (2) diperlama, (3) dipercepat, atau (4)
diperbanyak. Untuk itu dalam menentukan besarnya volume dapat dilakukan
dengan cara menghitung: (a) jumlah bobot berat per sesi, (b) jumlah ulangan per
sesi, (c) jumlah set per sesi, (d) jumlah pembebanan per sesi, (e) jumlah seri atau
sirkuit per sesi, dan (f) lama-singkatnya pemberian waktu recovery dan interval.
Dalam penelitian ini volume pelatihan terhadap beban dan repetisi ditentukan
berdasarkan pengukuran sampel yang dilakukan pada penelitian pendahuluan. Hasil
penelitian pendahuluan bahwa kemampuan menarik katrol berbeban dengan beban
duabelas kg. Dari beban duabelas kg diambil 40% dari kemampuan maksimal
(Satriya, dkk., 2007) yaitu lima kg. Beban yang diberikan dari terendah karena
melibatkan anak pemula dalam penggunaan beban untuk daya ledak otot lengan.
Untuk menentukan repetisi dan set dilakukan menarik katrol berbeban lima kg hasil
yang diperoleh berkisar 12-15 kali dengan tiga set. Sehingga dalam penelitian daya
ledak otot lengan dengan menarik katrol beban lima kg, duabelas repetisi dan tiga
set dengan istirahat lima menit yang ditentukan dari denyut nadi istirahat.
2.1.4
Intensitas Pelatihan
Intensitas pelatihan adalah dosis pelatihan yang harus dilakukan seseorang
menurut program yang telah ditentukan (Sajoto, 1995). Intensitas merupakan salah
satu komponen terpenting dari latihan. Intensitas menunjukan komponen kualitatif
pada penampilan kerja dalam suatu periode. Menurut Bompa (1999) bahwa
21
intensitas adalah fungsi dari kekuatan rangsangan syaraf yang dilakukan
dalam latihan dan kekuatan rangsangan tergantung dari beban kecepatan
gerakannya, variasi interval atau istirahat diantara tiap ulangannya. Intensitas
adalah faktor terpenting dalam pengembangan maksimal pemasukan oksigen
(VO2max), intensitas merefleksikan kebutuhan energi dan kalor energi yang
dikeluarkan (Sherkey, 2003). Intensitas juga merupakan ukuran yang menunjukan
kualitas suatu rangsangan atau pembebanan.
Menurut Harsono (1988) tingkatan intensitas beban pelatihan yang
dianjurkan untuk pelatihan kondisi fisik: rendah: 30-50%, ringan: 51-60%, sedang:
61-75%, submaksimal: 76-85%, maksimal: 86-100% dan super maksimal: 100%.
Sedangkan kondisi fisik untuk daya ledak (Satriya, dkk., 2007) pelatihan dengan
tahanan beban yang digunakan 40-80% kemampuan maksimal, kontraksi cepat,
repetisinya kalau kecepatan berkurang pengulangan dihentikan karena dalam daya
ledak ada kekuatan terdapat pula kecepatan (Harsono, 1988). Derajat intensitas
dapat diukur berdasarkan kepada bentuk latihan yang dilakukan untuk pelatihan
yang melibatkan kecepatan diukur dalam satuan meter/detik, atau intensitas untuk
kekuatan diukur dengan satuan kg, sedangkan untuk jarak contohnya jauh dan
tinggi diukur dalam satuan meter (Bompa, 1999).
Dalam meningkatkan kekuatan tanpa mengabaikan kecepatan, pembebanannya
submaksimal dengan lama waktu berkontraksi 7-10 detik. Pembebanan berkisar 6090% dari kekuatan maksimal berdasarkan Oshea (1976). Sedangkan meningkatkan
kecepatan tanpa mengabaikan kekuatan, intensitas pembebanannya berskala ringan
dan sedang dari kemampuan maksimal, demikian pula waktu rangsangan saraf dan
22
kontraksi diperpendek (Jensen dan Fisher, 1983). Manfaat dari pemberian beban
untuk melatih kecepatan atau kemampuan maksimal dapat dipertahankan karena
penyediaan energi dari sistem phospagen berlangsung cepat atau dua kali lipat
kecepatan dalam sistem asam laktat (Guyton dan Hall, 2007).
2.1.5
Repetisi dan Set
Repetisi adalah jumlah ulangan pada waktu pelatihan sedangkan set adalah
suatu rangkaian kegiatan dari suatu repetisi. Menurut Widana (1983) mensitir
pelatihan dari De Lorme dan Watkins, bahwa pelatihan meningkatkan kekuatan
otot dapat terujud melaui program dengan menggunakan 1-3 repetisi untuk 3-4 set
dengan menggunakan beban maksimum. Sedangkan pelatihan yang menggunakan
daya tahan otot hendaknya menggunakan program 10-12 repetisi dan 3-4 set.
Dalam Harsono (1988) untuk meningkatkan daya ledak menggunakan 12–15
repetisi, 3-5 set. Menurut Oshea, (1976) dalam meningkatkan daya ledak
antara
repetisi 8-10 repetisi dan 3-4 set. Menurut Fox (1984) manfaat pengulangan yang
tinggi untuk mengembangkan serabut otot tipe cepat yang sangat dibutuhkan dalam
kecepatan.
2.1.6
Densitas dan Frekuensi Pelatihan
Suatu frekuensi dimana atlet dihadapkan pada sejumlah rangsangan per
satuan waktu disebut densitas latihan. Jadi densitas latihan berkaitan dengan suatu
hubungan yang dinyatakan dalam waktu kerja dan pemulihan latihan. Suatu
densitas yang seimbang akan mengarah kepada pencapaian rasio optimal antara
rangsangan latihan dan pemulihan (Bompa, 1999). Berdasarkan hal tersebut, padat
atau tidaknya densitas ini sangat tergantung oleh lamanya pemberian waktu
23
pemulihan yang diberikan. Semakin pendek waktu pemulihan maka densitas latihan
makin tinggi, sebaliknya semakin lama waktu pemulihan maka densitas pelatihan
semakin rendah (kurang padat). Menurut Harre (Bompa, 1999) untuk membangun
komponen biomotorik dalam daya tahan otot misalnya densitas pelatihan yang
optimal antara waktu kerja dan waktu istirahat perbandingannya berkisar antara
1:½, atau 1:1. Sedangkan untuk rangsangan yang itensif, perbandingannya 1:3 atau
1:6. Sehingga dalam melakukan aktivitas menyemes bola atau memukul shuttle
terus menerus untuk meningkatkan daya tahan otot lengan dan otot bahu bagi
pemain bulutangkis diperlukan selama satu menit maka waktu yang digunakan
selama 3-6 menit ( selama 3 x 1 menit =3 menit sampai 6 x 1 menit= 6 menit).
Setelah itu dilanjutkan kembali dengan gerakan menyemes atau memukul selama 1
menit. Untuk komponen kekuatan kekuatan otot waktu istirahat selama 2-5 menit,
bukan ½-1 menit. Lama istirahat untuk meningkatkan kekuatan tergantung pada
berat ringannya beban, jumlah repetisi, banyak set dan kecepatan irama
angkatannya. Bila beban ringan waktu istirahat cukup 2 menit tapi bila bebannya
berat, waktu istirahat sampai 5 menit.
Densitas latihan menunjukkan kepadatan (densitas) atau kekerapan
(frekuensi) dari suatu seri rangsangan per satuan waktu yang terjadi pada atlet
ketika sedang berlatih sedangkan Frekuensi adalah kekerapan atau kerapnya latihan
per-minggu. Menetapkan frekuensi latihan amat tergantung pada tipe olahraganya
dan jenis komponen biomotorik yang akan dikembangkan. Frekuensi latihan untuk
mengembangkan komponen kekuatan otot, jika dilakukan sebanyak tujuh kali
24
dalam seminggu dianggap densitasnya terlalu tinggi. Bila dilakukan sekali
seminggu dianggap densitasnya terlalu rendah.
Frekuensi latihan merupakan jumlah latihan yang dilakukan dalam periode
waktu tertentu. Pada umunya periode waktu yang digunakan untuk menghitung
jumlah frekuensi tersebut adalah dalam satu minggu. Frekuensi latihan bertujuan
untuk menunjukkan jumlah tatap muka latihan pada setiap minggunya. Frekuensi
latihan misalnya:
a.
Untuk meningkatkan kekuatan otot dianggap cukup baik bila
dilakukan sebanyak 2-3 kali seminggu.
b.
Sebaliknya
untuk
meningkatkan
komponen
daya
tahan
kardiovaskular atau kesegaran jasmani (physical fitness), maka
frekuensi latihannya sebanyak 4-5 kali seminggu, dengan selingan
istirahat maksimal selama 48 jam atau tidak lebih dari dua hari
berturutan.
c.
Sedangkan untuk daya tahan perenang dan pelari jarak jauh
frekuensi lat i h an n ya l eb i h k erap , t i d ak c u k u p s eb an yak 3 -4
k al i s em i n g gu , t et ap i sebanyak 6-7 kali seminggu.
d.
Frekuensi latihan bagi atlet non-daya tahan aerobik (nonendurance) atau anaerobik, cukup sebanyak 3 kali per minggu,
dengan durasi latihan selama 8-10 minggu (Nala, 1998).
Frekuensi tergantung dari jenis komponen yang akan dikembangkan,
untuk menjalankan program latihan tiga kali setiap minggu, agar tidak terjadi
kelelahan yang kronis dan lama latihan diperlukan selama enam minggu atau
25
lebih (Sajoto, 1995). Dalam penelitian ini menggunakan frekuensi pelatihan
tiga kali setiap minggu dan dilaksanakan selama enam minggu. Manfaat
gerakan pelatihan yang dilakukan berulang-ulang selama enam minggu akan
terpola pada sistem saraf sebagai pengalaman sensoris (Guyton dan Hall,
2007).
2.2
Pelatihan Fisik
Kondisi fisik adalah satu kesatuan utuh dari komponen-komponen yang
tidak dapat dipisahkan begitu saja, baik peningkatan maupun pemeliharaannya.
Artinya bahwa didalam usaha peningkatan kondisi fisik maka seluruh komponen
tersebut harus dikembangkan. Walaupun dilakukan dengan sistem prioritas tiap
komponen dan untuk keperluan apa keadaan atau status yang dibutuhkan. (Sajoto,
1988). Kondisi fisik adalah satu prasyarat yang sangat diperlukan dalam usaha
peningkatan prestasi seorang atlet, bahkan dapat dikatakan sebagai keperluan dasar
yang tidak dapat ditunda atau ditawar-tawar lagi. Menurut Harsono (1988), jika
kondisi fisik baik maka: (1) akan ada peningkatan dalam kemampuan sistem
sirkulasi dan kerja jantung. (2) akan ada peningkatan dalam kekuatan, kelentukan,
stamina, kecepatan dan lain-lain komponen kondisi fisik. (3) akan ada ekonomi
gerak yang lebih baik pada waktu latihan. (4) akan ada pemulihan yang lebih cepat
dalam organ-organ tubuh setelah latihan. (5) akan ada respon yang cepat dari
organisme tubuh apabila sewaktu-waktu respon demikian diperlukan. Proses latihan
kondisi fisik dalam olahraga, adalah suatu proses yang harus dilakukan dengan hatihati, dengan sabar dan dengan penuh kewaspadaan terhadap atlet. Melalui latihan
yang berulang-ulang dilakukan, yang intensitas dan kompleksitasnya sedikit demi
26
sedikit bertambah, lama kelamaan atlet akan berubah menjadi seseorang yang lebih
pegas, lebih lincah, lebih terampil dan lebih berhasil menurut Harsono (1988).
Kondisi fisik memegang peranan yang sangat penting. Program latihan kondisi fisik
haruslah direncanakan secara sistematis yang ditunjukkan untuk meningkatkan
kondisi fisik dan kemampuan fungsional dari sistem tubuh sehingga dengan
demikian dapat mencapai prestasi yang lebih baik haruslah direncanakan secara
sistematis yang ditujukan untuk meningkatkan kondisi fisik dan kemampuan
fungsional dari sistem tubuh sehingga dengan demikian dapat mencapai prestasi
yang lebih baik.
2.3
Komponen Biomotorik
Komponen biomotorik merupakan kemampuan dasar gerak fisik atau
aktivitas fisik dari tubuh manusia (Nala, 2002). Menurut Sajoto (1995) komponen
kondisi fisik adalah satu kesatuan utuh dari komponen-komponen yang tidak dapat
dipisahkan baik peningkatan maupun pemeliharanya. Komponen biomotorik yakni
kekuatan, daya tahan, daya ledak, kecepatan, kelentukan, kelincahan, ketepatan,
waktu reaksi, keseimbangan, dan koordinasi (Nala, 2002). Menurut Jensen dan
Fisher (1983) daya ledak merupakan unsur biomotorik yang sangat penting untuk
melakukan berbagai aktivitas dan menentukan seberapa cepat dapat berlari dan
berenang, seberapa tinggi dapat melompat, seberapa jauh dapat melempar, dan
seberapa keras seseorang dapat memukul. Dari kesepuluh komponen biomotorik
ini salah satu komponen biomotorik yaitu daya ledak yang akan digunakan dalam
pelatihan bulutangkis.
2.4
Daya Ledak
27
Daya ledak merupakan komponen biomotorik. Daya ledak adalah
kemampuan otot untuk menggerahkan kekuatan maksimal dalam waktu yang
sangat cepat (Juliantine, dkk., 2007). Daya ledak sering disebut eksplosif
atau daya otot. Menurut Sajoto (1995) daya otot (muscular power) adalah
kemampuan seseorang untuk mempergunakan kekuatan maksimum yang
dikerahkan dalam waktu yang sependek-pendeknya. Daya ledak sangat
penting untuk cabang-cabang olahraga yang memerlukan eksplosif, seperti
lari sprint, nomor-nomor lempar dalam atletik, atau cabang-cabang olahraga
yang gerakannya didominasi oleh meloncat, dalam olahraga voli dan juga
pada bulutangkis serta olahraga sejenisnya. Otot yang kuat otot yang
mempunyai daya ledak yang besar, sebaliknya otot yang mempunyai daya
ledak yang besar hampir dapat dipastikan mempunyai nilai kekuatan yang
besar (Boosey, 1980). Daya ledak ialah kemampuan sebuah otot atau sekelompok
otot untuk mengatasi tahanan beban dengan kekuatan dan kecepatan tinggi dalam
satu gerakan yang utuh (Suharno, 1993).
Daya ledak merupakan hasil dari kekuatan maksimum dan kecepatan
maksimum (Bompa,1999, Bosco, dan Gustafson, 1983). Daya ledak adalah
kemampuan seseorang mengatasi tahanan dengan kecepatan yang tinggi
dalam gerak yang utuh (Harre, 1982). Bosco dan Gustafson (1983)
menyatakan bahwa, daya ledak adalah kemampuan melakukan gerakan
secepat mungkin dengan kekuatan maksimum. Jensen (1983) menyatakan
bahwa daya ledak merupakan komponen yang penting untuk melakukan
aktivitas yang berat seperti meloncat, melempar, memukul dan sebagainya.
28
Bompa (1999), daya ledak merupakan hasil dari kekuatan dalam waktu yang
singkat. Menurut Bucher (Harsono, 1988) dikatakan bahwa seorang individu
yang mempunyai power adalah orang yang memiliki (a) derajat kekuatan otot
yang tinggi, (b) derajat kecepatan yang tinggi, dan (c) derajat yang tinggi
dalam keterampilan menggabungkan kecepatan dan kekuatan otot. Menurut
Suharno (1993), beberapa faktor yang menentukan daya ledak otot adalah: 1)
banyak sedikitnya fibril otot putih dalam tubuh atlet, 2) tergantung banyak
sedikitnya zat kimia dalam otot (ATP), 3) kekuatan dan kecepatan, 4) waktu
rangsangan dibatasi secara konkrit lamanya, 5) Koordinasi gerakan yang harmonis.
Menurut Brandon (2004) daya ledak adalah kemampuan untuk menghasilkan
kekuatan dengan cepat, diistilahkan dalam matematis sebagai kekuatan
dikalikan kecepatan. Berdasar pada definisi-definisi di atas dapat disimpulkan
bahwa dua unsur penting yang menentukan kualitas daya ledak adalah kekuatan
dan kecepatan.
2.4.1 Jenis Daya Ledak
Bompa (1999) membagi daya ledak berdasarkan gerakan olahraga yang
dilakukan yaitu:
a. Daya ledak asiklik, biasanya dilakukan pada olahraga yang gerakannya
tidak sama. Contoh olahraga atletik, lompat, lempar. Pada olahraga
permainan bolavoli, sepakbola, bola basket, bulutangkis dll.
b. Daya ledak siklik, ini biasanya digunakan pada olahraga yang
gerakannya sama dan berulang-ulang. Contoh pada olahraga lari cepat,
berenang, balap sepeda, dan olahraga yang memerlukan kecepatan
29
tinggi.
Nossek (1982) membagi daya ledak menjadi dua bagian berdasarkan
aktivitas yang dilakukan yaitu:
a. Kekuatan eksplosif ini diterapkan untuk mengatasi atau menanggulangi
perlawanan yang lebih rendah dari pada perlawanan yang maksimum,
tetapi dengan kekuatan akselarasi maksimum.
b. Kekuatan Kecepatan, ini dilakukan melawan perlawanan dengan
akselarasi di bawah maksimum.
Penggunaan tenaga oleh otot atau sekelompok otot secara eksplosif
berlangsung dalam kondisi dinamis. Ini terjadi pada melemparkan benda,
pemindahan tempat sebagian atau seluruh tubuh, dan sebagainya hal ini untuk
gerakan tunggal atau satu pengulangan. Kekuatan maksimum dan eksplosif
atau perkembangan kekuatan kecepatan hendaknya dilatih sejajar (Nossek,
1982).
Faktor yang mempengaruhi daya ledak otot lengan bila dilihat lebih
mendalam potensi daya ledak seseorang dipengaruhi oleh faktor internal dan
faktor ekternal (Berger, 1982).
a.
Faktor internal
Faktor internal adalah faktor yang berasal dari dalam tubuh atlet
sendiri diantaranya: jenis kelamin, berat badan, panjang anggota gerak atas,
kebugaran fisik, umur, menunjukkan tingkat kematangan yang dikaitkan
dengan pengalaman. Perbedaan dan penambahan umur sangat menentukan
kekuatan otot, selain itu dimensi anatomis dan diameter otot (Astrand, 1986).
30
Tenaga mencapai puncak pada umur 20 tahun (Sharkey, 2003). Adapun
beberapa faktor internal yaitu:
1.
Jenis Kelamin.
Secara biologis laki-laki dan wanita akan berbeda kekuatan
dan kecepatan karena adanya hormone testosterone pada laki-laki
dan wanita. Perbedaan terjadi sangat mencolok setelah mengalami
pubertas karena adanya perbedaan proporsi dan besar otot dalam
tubuh. Pada umur 18 tahun ke atas laki-laki mempunyai kekuatan
dua kali lebih besar daripada wanita (Powers dan Howleys 2004).
2. Berat Badan
Berat badan menentukan penampilan. Persen lemak adalah
presentasi keseluruhan berat badan yang berlemak. Berat badan
seseorang menyebabkan pembesaran massa otot dan juga akan
meningkatkan kekuatan. Makin tebal otot makin kuat otot
tersebut. Sehingga tebal otot mempengaruhi berat badan.
Kekuatan otot erat kaitannya dengan berat badan. Semakin berat
badan seseorang karena otot makin tebal maka kekuatan akan
bertambah. Tetapi otot kuat belum menjamin akan mempunyai
daya ledak tinggi tetapi dengan memiliki otot kuat merupakan
modal utama untuk dapat meraih daya ledak yang tinggi.
3. Tinggi badan
Tinggi badan adalah jarak dari alas kaki sampai titik
31
tertinggi pada posisi kepala dalam posisi berdiri. Tinggi badan
yang lebih tinggi dapat menpengaruhi pertumbuhan organ tubuh
lainnya yaitu panjang lengan dan panjang tungkai (Hadi, 2005)
4. Kesegaran jasmani
Kesegaran
jasmani
seseorang,
merupakan
salah
satu
parameter dalam memeberikan pembebanan pelatihan, karena
tingkat kesegaran jasmani yang kurang dapat mengakibatkan
kelelahan sehingga tidak dapat melakukan pelatihan secara
maksimal. Semakin baik kapasitas aerobik sesorang akan makin
baik pula kebugaran fisiknya (Soekarman, 1986). Kebugaran
fisik dapat diukur melalui lari 2,4 km diukur menggunakan
stopwatch, yang dinyatakan dalam waktu tempuh, satuan menit
dengan
ketelitian
0,01
menit.
Penilaian
kebugaran
fisik
berdasarkan umur dan jenis kelamin dalam tabel (Sajoto, 2002).
b.
Faktor Eskternal
1. Suhu lingkungan
Suhu
lingkungan
yang
panas
akan
berpengaruh
terhadap aktivitas kerja otot karena akan mempercepat terjadinya
pengeluaran keringat. Sebagaian dari volume darah akan dibawa
kekulit untuk mengkompessasi kelebihan panas. Hal ini berarti
bahwa telah terjadi kekurangan kerja otot didalam melakukan
pelatihan. Begitu juga sebaliknya, pada suhu lingkungan yang
dingin tubuh akan bereaksi untuk mengimbangi kosentrasi panas
32
tubuh dengan reaksi menggigil, gerakan mengigil memerlukan
energi tambahan (Manuaba, 1983).
2. Kelembaban relatif
Kelembaban relatif menentukan proses pelatihan karena
perbandingan udara basah dan kering sangat menentukan
kenyamana dalm pelatihan. Apabila kelembaban udara cukup
tinggi atau diatas 90%, maka akan sangat mempengaruhi
kesanggupan pengeluaran panas tubuh akibat aktivitas pelatihan
melalui evaporasi. Apabila kelembaban udara dibawah 80%,
maka
akan
mempengaruhi
keseimbangan
panas
tubuh,
metabolism meningkat akibat aktivitas tubuh untuk mengimbangi
suhu dingin sehingga tubuh mengeluarkan energi yang lebih besar
untuk
menyesuaikan
suhu
tubuh
dan
suhu
lingkungan.
Kelembaban relatif Indonesia berkisar antara 70-80% (Manuaba,
1983).
2.4.2
Penggunaan Daya ledak dalam olahraga bulutangkis
Bulutangkis merupakan olahraga prestasi yang mampu membawa
bangsa Indonesia ke prestasi tingkat dunia. Untuk mencapai prestasi
seseorang harus menguasai teknik dasar, teknik pukulan dan pola
pukulan dari tingkat kesukaran masing-masing. Teknik dasar merupakan
penguasaan yang pokok yang harus dikuasai oleh setiap pemain.
Adapun teknik pukulan menurut Tohar (1992) terdiri atas (1) pukulan
33
service, (2) pukulan lob, (3) pukulan drive, (4) pukulan dropshot, (5)
pukulan pengembalian service, (6) pukulan smash. Dilihat dari teknik
pukulan dalam bulutangkis seperti dropshot, lob dan smash, gerakannya
diawali dari atas kepala (overhead). Pukulan overhead (atas) yang
diarahkan ke bawah. (Tahir, dkk 2004). Dalam Faktor fisik diperlukan
adalah daya ledak. Gerakan pukulan overhead lebih banyak didominasi
oleh gerakan otot lengan. Oleh karena itu, perlu koordinasi gerak yang
baik dari gerakan pukulan lob secara cepat diubah menjadi pukulan
dropshot dan berubah ke pukulan smash. Dengan demikian semakin
cepat perubahan itu dilakukan maka semakin banyak pula komponen
gerakan yang harus dikoordinasikan. Mekanisasi gerakan tubuh yang
sama, terjadi pada tiga jenis pukulan clear (pukulan bersih), drop
(pukulan jatuh), dan smash (pukulan keras) menurut James (2009). Agar
faktor daya ledak otot lengan dapat berkembang optimal, seorang
pebulutangkis perlu latihan rutin dan mengarah pada kekhususan dengan
memperhatikan pola latihan. Salah satunya dalam pelatihan menarik
beban dengan katrol yang gerakannya sama dengan gerakan bulutangkis
pada saat melakukan pukulan atas (overhead).
Gerakan melakukan
pukulan overhead yang sesuai dengan pelatihan menarik katrol berbeban
dalam bulutangkis:
1. Berat badan berpindah dari kaki kanan ke kaki kiri pada saat badan
berputar sehingga menghadap kedaerah sasaran
2. Lengan bergerak keatas mulai dari siku dan lengan bawah serta serta
34
pergelangan tangan berputar ke arah dalam
3. Pada saat raket menyentuh shuttle, pergelangan berubah menjadi lurus
4. Kepala raket mengayun ke bawah dengan pergelangan tangan setinggi
dada, sehingga terjadi suatu putaran ayunan penuh dan gerakan akhir
ayunan raket menyilang sebelah kiri tubuh (James, 2009).
Gambar 2.2 Gerakan Pukulan overhead (James, 2009)
2.4.3
Pengukuran Daya Ledak Otot Lengan
a. Melempar menggunakan bola softball
Alat yang digunakan bola softball dengan 198,45 gr dan lingkaran
30,80 cm. Pada tahap pelaksanaan orang coba berdiri melempar bola
soptball gerakannya seperti gerakan dalam bulutangkis pukulan atas
kepala (overhead). Lemparannya sejauh-jauhnya yang dimulai dari
belakang garis batas. Dalam pelaksanaan diberi kesempatan tiga kali
melempar. Skor lemparan diambil dari lemparan terjauh. Jarak diukur
diukur dengan satuan sentimeter (Nurhasan, 2000).
b. Melempar two hand mendicine ball put.
Alat yang digunakan bola medicine dengan berat 6 pound atau 2,7
kg. dan seutas tali. Pada tahap pelaksanaan orang coba duduk tegak
35
dengan punggung menyentuh dinding, sambil kedua tangannya
memegang bola medicine sehingga bola tersebut menyentuh dada.
Kemudian tangan mendorong bola medicine sejauh-jauhnya. Sebelum
orang coba mendorong bola medicine, badan bersandar pada dinding.
Hal ini untuk mencegah agar orang coba padawaktu mendorong tidak
dibantu oleh badan ke depan. Dalam pelaksanaan diberi kesempatan
melempar tiga kali. Skor jarak tolakan terjauh dari tiga kali percobaan,
yang diukur mulai dinding tembok, tempat bersandar
sampai batas
tanda dimana bola tersebut jatuh. Jarak diukur dalam satuan sentimeter
(Nurhasan, 2008).
2.5
Pelatihan Pembebanan
Latihan otot untuk meningkatkan kemampuan fungsionalnya perlu
menggunakan beban yang berupa berat badan sendiri atau beban yang berasal
dari luar. Pemberian beban disesuaikan dengan kemampuan yang dimiliki
dalam menjalani pelatihan, sesuai dengan tujuan pelatihan, dan juga sesuai
dengan cabang olahraganya. (Giriwijoyo, 2008). Pada pelatihan yang
menggunakan beban hendaknya berpedoman pada empat prinsip yaitu prinsip
overload, prinsip penggunaan beban secara progresif, prinsip pengaturan
latihan dan prinsip kekususan program latihan menurut Sajoto (1995). Pada
permainan bulutangkis, untuk pelatihan otot lengan menggunakan beban pada
daerah 1/3 bawah minimal karena kebutuhan akan daya tahan dalam
melakukan pukulan secara beulang-ulang (Giriwijoyo, 2008). Sedangkan
(Satriya, dkk., 2007) penggunaan beban untuk daya ledak otot lengan yaitu
36
40-80% dari kemampuan maksimal.
2.5.1. Alat yang digunakan pada pelatihan menarik katrol berbeban
a. Beban dengan menggunakan karung berpasir
b. Katrol yang digunakan untuk menarik beban
c. Tali
Gambar 2.3 Pelatihan menarik katrol
2.5.2. Pelatihan menarik katrol
Pelaksanaan pelatihan menarik katrol. Posisi berdiri selebar bahu
membelakangi, kaki kiri maju didepan, kedua tungkai sedikit ditekuk
kemudian pelaksanaan tangan kanan lurus vertikal yang berada di atas kepala
samping dan tangan yang melakukan tarikan memegang pegangan tali.
Kemudian menarik katrol/mengayun lengan dengan hentakan sampai di depan
dada. Kemudian diulang lagi.
Beban yang digunakan lima kg repetisi
duabelas dan tiga set, istirahat setiap set lima menit. Dan beban lima kg,
37
sembilan repetisi dan empat set.
2.5.3. Struktur angggota gerak atas.
2.5.3.1.Struktur Otot Bahu
Menurut Syaifuddin (1996), otot bahu hanya meliputi sebuah sendi
saja dan membungkus tulang lengan dan tulang belikat akromion yang
teraba dari luar.
1. Muskulus Deltoid (otot segi tiga), otot ini untuk membentuk lengkung
bahu dan berpangkal di sisi tulang selangka ujung bahu, balung tulang
belikat dan diafise tulang pangkal lengan. Fungsinya mengangkat lengan
sampai mendatar.
2. Muskulus Subskapularis (otot depan tulang belikat) otot ini mulai dari
depan tulang belikat menuju taju kecil pangkal lengan. Fungsinya
menengahkan dan memutar tulang humerus ke dalam.
3. Muskulus Suprasuspinatus (otot atas tulang belikat) otot ini berpangkal
dilekuk sebelah atas menuju tulang pangkal lengan fungsinya mengangkat
lengan.
4. Muskulus. Infraspinatus (otot bawah tulang belikat) otot ini berpangkal di
lekuk sebelah bawah tulang belikat dan menuju ke taju besar tulang
pangkal lengan. Fungsinya memutar lengan keluar.
5. Muskulus Teresmayor (otot lengan bulat besar)otot ini berpangkal di siku
bawah tulang belikat dan menuju ke taju kecil tulang pangkal lengan.
Fungsinya memutar lengan ke dalam.
38
6. Muskulus Teres minor (otot lengan belikat kecil) otot ini berpangkal di
siku sebelah luar tulang belikat dan menuju ka taju besar tulang pangkal
lengan. Fungsinya memutar lengan keluar
Gambar 2.4 Anatomi anggota gerak badan (Widiastuti, 2011)
2.5.3.2. Struktur Otot Lengan Atas
Menurut Syaifuddin (1996), otot-otot lengan atas terdiri dari:
1. Otot-otot ketul (fleksor).
a. Muskulus Biseps braki (otot lengan kepala dua) kepala yang panjang
melekat pada sendi bahu, kepala yang pendek melekat di sebelah luar dan
yang kedua di sebelah dalam. Otot itu kebawah menuju tulang
pengumpil. Di bawah uratnya terdapat kandung lender. Fungsinya
membengkokkan lengan bawah siku, merata hasta dan mengangkat
lengan.
39
b. Muskulus Brakialis (otot lengan dalam). Otot ini berpangkal di bawah
otot segitiga di tulang pangkal lengan dan menuju taju di pangkal tulang
hasta. Fungsinya membengkokkan lengan bawah siku.
c. Muskulus korako brakialis. Otot ini berpangkal pada prosesuskorakoid
dan menuju ke tulang pangkal lengan. Fungsinya mengangkat lengan.
2.Otot-otot kedang (ekstensor). Muskulus triseps braki (otot lengan
berkepala tiga).
a. Kepala luar berpangkal di sebelah belakang tulang pangkal dan menuju
ke bawah kemudian bersatu dengan yang lain.
b. Kepala dalam di mulai di sebelah dalam tulang pangkal lengan.
c. Kepala panjang di mulai pada tulang di bawah sendi dan ketiga-tiganya
mempunyai sebuah urat yang melekat di olekrani
2,5.3.3. Struktur Otot Lengan Bawah
1. Otot-otot kedang yang memainkan peranannya dalam pengetulan di atas
sendi siku, sendi-sendi tangan dan sendi-sendi jari dan sebagian dalam
gerak silang hasta.
a. Muskulus ekstensor karpi radialis longus.
b. Muskulus ekstensor karpi radialis brevis.
c. Muskulus ekstensor karpi ulnaris.
d. Digitonum karpi radialis, fungsinya ekstensi dari jari tangan kecuali
ibu jari.
e. Muskulus ekstensor policis longus, fungsinya ekstensi dari ibu jari
D. Gerakan Sendi Bahu
40
Damiri (1994) gerakan-gerakan yang dapat dilakukan pada sendi bahu
adalah sebagai berikut:
1. Mengayun lengan ke depan (swing forward anteflexion/flexion)
2. Mengayun lengan ke belakang (swing backward/flexion)
3. Mengangkat lengan ke samping menjahui badan (abduction)
4. Menarik lengan dari samping mendekati badan (addunction)
5. Memutar lengan ke arah dalam (inward rotation)
6. Memutar lengan ke arah luar (outward rotaion)
7. Sirkumduksi lengan (circumduction)
8. Menarik lengan dari posisi abduksi ke arah depan (horizontal adduction)
9. Menarik lengan dari posisi antefleksi ke posisi abduksi lengan (horizontal
adduction)
Pada saat melakukan overhead merupakan gerakan rotasi yang berpangkal
pada bahu. Sesuai dengan gerakan yang dapat dilakukan pada sendi bahu yaitu
mengayun lengan kebelakang (swing backward atau extention), maka untuk
melakukan gerakan overhead tersebut dibutuhkan ruang gerak sendi bahu yang
luas, serta elastisitas otot-otot disekitarnya.
41
Gambar 2.5 Anatomi lengan (Anonim. 2011)
2.6. Sistem Energi Latihan
Energi didefinisikan sebagai kapasitas atau kemampuan untuk melakukan
pekerjaan. Kerja kita artikan sebagai penerapan tenaga sehingga tenaga dan kerja
tidak dapat dipisahkan (Foss dan Keteyian, 1998). Energi diperoleh dari pemecahan
glukosa. Karbohidrat glukosa merupakan karbohidrat terpenting dalam kaitannya
dengan penyediaan energi di dalam tubuh. Hal ini disebabkan karena semua jenis
karbohidrat baik, monosakarida, disakarida maupun polisakarida yang dikonsumsi
oleh manusia akan terkonversi menjadi glukosa di dalam hati.
Banyak energi yang digunakan untuk kerja otot tergantung pada intensitas,
densitas, frekuensi, dam jenis latihan. Energi yang diperlukan untuk suatu kegiatan
42
atau kontarsi otot tidak dapat diserap langsung dari makanan yang kita makan, akan
tetapi melalui proses oksidasi yang terjadi di dalam sel-sel tubuh, karbohidrat
ataupun lemak kemudian akan digunakan untuk mensintesis molekul ATP
(adenosine triphosphate) yang merupakan molekul-molekul dasar penghasil energi
di dalam tubuh.
ATP terdiri dari satu molekul adenosine dan tiga molekul phosphate. Energi
dibutuhkan untuk kontraksi otot diperoleh dari pembebasan dengan merubah ATP
menjadi ADP + Pi (Bompa, 1999).
Persediaan ATP dalam sel otot sangat terbatas, walaupun begitu suplai ATP
harus secara berkesinambungan diganti lagi untuk memudahkan aktivitas fisik
secara berkelanjutan. Jumlah ATP yang terdapat dalam otot, bahkan didalam otot
seorang atlet yang berlatih baik, hanya cukup untuk mempertahankan daya tahan
otot yang maksimal yang baru terus menerus dibentuk (Guyton dan Hall 2008).
ATP diperlukan untuk menyediakan energi kontraksi otot dan daur cross
bridge selama kontraksi. Pemecahan ATP yang disebabkan oleh enzim ATPase
akan menghasilkan sejumlah energi, dimana energi tersebut akan memberikan
kesempatan pada cross bridge yang merupakan kepala dari filamen miosin untuk
berputar dan membentuk sudut baru dimana sebelumnya pada fase eksitasi cross
bridge saling tertarik dengan filamen aktin, sehingga filamen aktin akan meluncur
melewati filamen miosin mengakibatkan kedua filamen tersebut saling tumpangtindih dan terjadilah kontraksi otot.
Tanpa ATP filamen aktin tidak akan bisa meluncur melewati filamen
miosin. Tetapi persedian ATP di dalam otot hanya sedikit, cukup untuk kontraksi
43
maksimal otot yang berlangsung dalam satu detik. Untungnya tubuh mampu
mengisi/melengkapi ATP hampir secepat waktu yang dibutuhkan untuk
memecahkannya. Pengisian ATP ini terjadi apabila cadangan molekul bahan bakar
seperti karbohidrat dan lemak dipecah untuk menyediakan energi bebas yang dapat
dipergunakan bersama-sama ADP dan Pi untuk membentuk ATP (Hairy, Junusul,
1989). ATP senantiasa digunakan setiap kali otot berkontraksi, oleh karena itu ATP
harus selalu tersedia. Sedangkan untuk menyediakan ATP saja diperlukan energi.
Untuk itu tiga macam proses menghasilkan ATP (Hairy, Junusul, 1989):
1. ATP-PC atau sistem fosfagen. Dalam sistem ini energi untuk resintesis ATP
berasal dari hanya satu persenyawaan creatin phosphate (PC). Creatin
phosphate akan dipecah yang akan menghasilkan energi untuk mensintesis
ADP + P menjadi ATP dan selanjutnya ATP akan dipecah lagi menjadi ADP +
P yang akan menyebabkan pelepasan energi yang akan digunakan untuk
kontraksi otot. Menurut David (1984) sistem ini sangat penting ketika
melakukan latihan yang berat, seperti lari sprint dan angkat berat.
2. Glikolisis anaerobik atau sistem asam laktat (LA) penyediaan ATP berasal dari
glukosa atau glikogen. Sistem ini dilakukan dengan memecahkan glukosa atau
glikogen yang disimpan dalam sel otot dan hati. Sistem ini akan melepaskan
energi untuk meresintesi ADP + P menjadi ATP. Selama glikolisis anaerobik
hanya beberapa mol ATP yang dapat diresintesis dari glikogen, jika
dibandingkan dengan adanya oksigen. Melalui proses glikolisis ini 4 buah
molekul ATP akan dihasilkan serta pada awal tahapan prosesnya akan
44
mengkonsumsi 2 buah molekul ATP sehingga total 2 buah ATP akan dapat
terbentuk.
3. Sistem aerobik (O2). Bila suplai oksigen berlimpah dan otot tidak bekerja berat,
maka pemecahan glikogen atau glukosa dimulai dengan cara yang sama pada
glikolisis anaerobik. Bagaimanapun juga, dalam kondisi aerobik molekul asam
piruvat tidak dikonversi menjadi asam laktat, tetapi melewati sarkoplasma
masuk ke mitokondria, tempat rangkaian reaksi pemecahan. Di dalam
mitokondria asam piruvat hasil proses glikolisis akan teroksidasi menjadi
produk akhir berupa H2O dan CO2 di dalam tahapan proses yang dinamakan
respirasi selular (Cellular respiration). Proses respirasi selular ini terbagi
menjadi 3 tahap utama yaitu produksi Acetyl-CoA, proses oksidasi Acetyl-CoA
dalam siklus asam sitrat (Citric-Acid Cycle) serta Rantai Transpor Elektron
(Electron
Transfer
Chain/Oxidative
Phosphorylation).
Sistem
aerobik
memerlukan kira-kira dua menit untuk memulai memproduksi energi dalam
meresintesis ATP dari ADP + P. Sistem aerobik memecahkan glikogen
berdasarkan hadirnya oksigen, sehingga denyut jantung dan pernapasan harus
ditingkatkan secara memadai untuk membawa sejumlah oksigen yang
dibutuhkan sel otot. Sistem aerobik merupakan sumber energi utama untuk
aktivitas olahraga yang berjangka waktu 2 menit sampai 2-3 jam. Aktivitas
yang lebih dari 3 jam akan mengakibatkan pemecahan lemak dan protein untuk
menggantikan cadangan glikogen yang mendekati habis.
Secara umum proses metabolisme secara aerobik akan mampu untuk menghasilkan
energi yang lebih besar dibandingkan dengan proses secara anaerobik. Dalam
45
proses metabolisme secara aerobik, ATP akan terbentuk sebanyak 36 buah
sedangkan proses anaerobik hanya akan menghasilkan dua buah ATP. Ikatan yang
terdapat dalam molekul ATP ini akan mampu untuk menghasilkan energi sebesar
7.3 kilokalor per-molnya.
Kebanyakan cabang olahraga dalam kaitannya dengan penggunaan sistem
energi sering secara kombinasi. Kegiatan fisik dalam waktu singkat dan eksplosif
sebagian besar energi diperoleh dari sistem energi anaerobik (ATP-PC dan LA).
Sedangkan kegiatan fisik dalam jangka waktu yang lama, energinya dicukupi dari
sistem aerobik.
Tabel 2.1
Karakteristik Sistem Energi (Fox, Bower, dan Foss, 1993)
Sistem ATP-PC
Sistem Asam Laktat (LA)
• Anaerobik (tanpa • Anaerobik
oksigen)
• Sangat cepat
• Cepat
• Bahan bakar dari : • Bahan bakar dari:
PC
glikogen
• Produksi
ATP • Produksi
ATP
sangat terbatas
terbatas
• Dengan simpanan • Dengan
di otot yang terbatas
memproduksi asam
laktat, menyebabkan
kelelahan otot
• Menggunakan
• Menggunakan
aktivitas lari cepat
aktivitas
dengan
atau berbagai power
durasi antara 1-3
yang tinggi dengan
menit
aktivitas pendek
Sistem Oksigen (O2)
• Aerobik
•
•
•
•
•
Lambat
Bahan bakar dari:
glikogen
Produksi ATP bukan
tak terbatas
Dengan
memproduksi
kembali,
tidak
melelahkan
Menggunakan daya
tahan atau aktivitas
dengan durasi yang
panjang
Pemahaman setiap pelatihan olahraga dalam menggunakan sistem energi
sangat diperlukan. Menurut Nala, (2002) bahwa dalam dunia olahraga kebanyakan
atlet menggunakan kedua sistem tersebut baik aerobik maupun anaerobik.
46
Penelitian ini tentang pelatihan menarik katrol berbeban yang menekankan pada
perbedaan jumlah set dan repetisi (pengulangan). Pengulangan yang tinggi menurut
Nala, (2002) akan menjadikan suatu pelatihan sangat efektif dan sangat baik dalam
mengembangkan tipe serabut otot putih yang sangat diperlukan dalam daya ledak
eksplosif.
Download